Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KUCUMBU TUBUH INDAHMU

BAB 10

Tepat pukul delapan malam, tamu yang dinantikan Bambang datang. Ridwan—teman lama Bambang, memberi salam. Kedua pria paruh baya yang masih tampan dan gagah itu saling berpelukan.

"Assalamu'alaikum ... apa kabar, Mas Bambang?"

"Wa'alaikumussalaam, Alhamdulillah baik dan sehat, Mas Ridwan."

Seorang pemuda tampan berkulit sawo matang, menjabat tangan Bambang dengan sopan.

"Kenalkan ini Sandi--putra saya, yang saya ceritakan kemarin ...."

"Ini putriku, Fania..." Setelah Fania duduk di samping Laras, Bambang mengenalkan putrinya pada Ridwan.

"Masyaa Allah ... apa kabar, Fania? Sudah dewasa sekarang. Masih ingat sama Om?" Fania mengangguk dan tersenyum di balik cadarnya.

"Insyaa Allah, Fania ingat Om. Ini Om Ridwan yang dulu pernah menginap di sini waktu tersesat itu, kan? Waktu itu masih ada Tante Astri." Ridwan mengacungkan ibu jarinya pada Fania.

"Kamu memang cerdas, masih ingat saja, padahal itu sudah lama sekali. Sekarang masih kuliah atau sudah bekerja?"

"Alhamdulillah Fania sudah lulus, Om. Alhamdulillah juga ada bisnis kecil-kecilan," jawab Fania dengan sopan.

"Masyaa Allah, Om ikut bangga sama kamu. Oh ya, ini anak Om yang ke dua--Sandi. Dia bekerja di salah satu departemen pemerintah. Om berharap ...."

"Maaf, Pa, aku mau ijin ke kamar mandi. Bisa?" Sandi memotong ucapan papanya.

"Silakan, Nak, langsung saja, kamar mandinya di belakang dekat dapur," sahut Laras.

"Biar Fania antar sekalian mau ambil camilan di dapur." Fania berdiri dan berjalan terlebih dahulu, Sandi mengikuti. Setelah sampai di dapur, Sandi mengajak bicara Fania.

"Fania, meskipun bercadar, sepertinya kamu gadis modern. Memangnya kamu mau dijodohin?" tanya Sandi dengan angkuh.

"Dijodohin? Siapa yang mau dijodohin?" Fania berpura-pura tak mengerti maksud Sandi.

"Ya orang tua kita. Aku ke sini 'kan disuruh kenalan sama kamu. Papaku ingin menjodohkan kita berdua. Tapi maaf, kamu jangan GR dulu. Terus terang saja aku sudah punya pacar. Aku cinta sama dia dan aku akan menolak perjodohan ini," tegas Sandi.

"Oke..."

"Oke? Hanya oke jawabanmu?" Sandi tak menyangka Fania langsung setuju dengan penolakannya.

"Terus Fania mau jawab apa? Kamu sendiri 'kan yang bilang menolak perjodohan ini. Ya sudah Fania setuju,” jawab Fania dengan tenang.

"Terus kalau mereka maksa?"

"Maaf, ya, bapakku bukan tipe orang tua yang suka maksain kehendak. Apalagi masalah jodoh. Biar Fania nanti yang bilang kalau memang papamu maksa." Mendengar ucapan Fania, membuat Sandi kebingungan.

"Tapi...."

"Katanya mau ke kamar mandi. Fania mau ke depan duluan." Fania langsung meninggalkan Sandi sendirian. Pemuda itu berdecak kesal.

"Hemm ... sialan! Santai banget sih dia! Apa dia nggak tertarik sama aku? Secara aku ini 'kan ganteng maksimal. Harusnya dia sedih, kek, karena aku nggak mau sama dia dan bilang sudah punya pacar. Ah, sudahlah! Ngapain juga aku jadi kesal, harusnya kan aku senang dia bantuin aku kalau papa nanti maksa. Tapi ... memangnya dia berani ngomong? Jadi penasaran ...." Sandi masuk ke dalam kamar mandi sembari menggerutu. Setelah selesai, dia Kembali duduk di samping Ridwan. Sesekali pandangan matanya melirik ke arah Fania yang terlihat tenang.

"Mas Bambang, Mbak Laras dan Fania, sebenarnya saya ingin Sandi dan Fania bisa berjodoh. Saya yakin Fania berbeda dengan gadis yang lainnya. Saya juga yakin Fania calon istri yang baik bagi Sandi. Saya tidak ingin Sandi seperti kakaknya yang salah memilih pasangan. Bagaimana?" Ridwan melanjutkan percakapan mereka dan menyampaikan maksud kedatangannya.

"Sebenarnya ...."

"Maaf, abi, boleh Fania yang bicara?" Fania memotong ucapan Bambang. Pria paruh baya itu mengernyitkan dahi, heran dengan sikap Fania yang tak seperti biasanya. Putrinya bukan gadis yang biasa menyela ucapannya, apalagi di hadapan tamu. Pandangan mata Fania memohon, membuat Bambang terpaksa mengangguk mengiakan. Laras hanya diam memperhatikan.

"Begini, Om. Fania sangat menghargai niat baik Om. Tapi kembali lagi pada Sandi, apalagi dia juga calon imam keluarga nantinya. Apakah Om sudah tanyakan pada Sandi, dia bersedia atau tidak dijodohkan dengan Fania? Apakah dia sudah punya pilihan sendiri atau belum? Fania tidak mau jika semuanya karena terpaksa.” Fania menjelaskan dengan hati-hati.

"Sandi tidak pernah punya pacar, Fania. Seandainya punya, Om pasti tahu dan akan menilai terlebih dahulu bagaimana pacarnya itu."

"Tapi Om, Sandi mengaku sendiri kalau dia sudah punya pacar dan nggak mau dijodohkan dengan Fania."

Kepala Sandi tertunduk mendengar ucapan Fania. Dia tak menyangka gadis bercadar itu bicara terus terang. Ridwan terkejut mendengar ucapan Fania dan langsung bertanya pada putranya.

"Sandi, benar kamu bicara begitu sama Fania?"

"Eh itu anu, Pa. Aku tadi hanya bercanda ...."

"Kamu ini, bikin malu saja!" sahut Ridwan geram.

"Begini saja, Mas Ridwan. Sebaiknya kita jangan memaksakan kehendak. Kalau memang Sandi nggak mau, jangan dipaksa. Apalagi Sandi sudah bicara seperti itu, insyaa Allah putri saya tidak pernah berbohong dan saya percaya." Bambang berusaha mencairkan suasana yang mulai tegang. Wajah Ridwan merah menahan malu sekaligus kecewa.

"Maafkan Sandi, Mas. Saya malu...."

"Tidak perlu malu, Mas. Anggap saja kita menyambung silaturahmi biar persahabatan kita nggak putus. Janganlah karena masalah seperti ini membuat hubungan kita renggang. Kami sudah biasa dengan penolakan." Bambang berbicara jujur. Penolakan dan menolak, sudah terbiasa mereka hadapi.

Laras mendesah perlahan, memandang iba putrinya. Namun, Fania tetap terlihat duduk dengan tenang, tanpa rasa marah apalagi kecewa.

"Mas Bambang memang bijaksana. Dari dulu tidak pernah berubah. Itulah alasan saya ingin menjadikan Fania menantu. Dia berani dan pasti bijaksana seperti bapaknya. Sayang anak saya mengacaukan semuanya," ucap Ridwan sedih.

"Mungkin memang belum berjodoh." Bambang berusaha menenangkan perasaan Ridwan. Sandi hanya diam danmenundukkan kepala. Kedua tangannya berkeringat karena ketakutan, takut pada papanya. Sandi tahu Ridwan sangat berharap pada perjodohan ini dan dirinya sudah mengacaukan harapan Ridwan. Beberapa saat kemudian terdengar suara salam dari teras. Laras berdiri dan berjalan keluar, menyambut tamu yang datang. Laras terkejut sekaligus senang melihat kedua orang di hadapannya.

"Ummi Aini, ya? Silakan masuk." Aini menjabat tangan dan mencium kedua pipi Laras. Fahri mengangguk sopan.

Mereka bertiga masuk dan duduk di sofa. Bambang beranjak dan mengambil kursi kayu di dalam kamar untuk dirinya.

"Lho, Ummi Aini? Pak Fahri?" Ridwan terkejut melihat kedua orang yang sangat dikenalnya.

"Pak Ridwan?" Ridwan mengangguk dan tersenyum.

"Maaf kami bertamu malam-malam," ucap Aini dengan sopan.

"Tidak apa-apa, justru kami senang kita bisa berkumpul bersama seperti ini. Kalian sudah saling kenal?" tanya Muktar penasaran.

"Ummi Aini dan Pak Fahri ini 'kan pemilik restoran langganan perusahaan kami. Kalau ada meeting atau acara syukuran, kami selalu memakai jasa catering beliau," jelas Ridwan.

"Ooh begitu ...."

"Pak Bambang ini sahabat saya, Ummi." Ridwan memberi penjelasan pada Aini.

"Masyaa Allah, tidak menyangka kalau Pak Ridwan dan Pak Bambang bersahabat." Dari arah belakang, Fania datang membawa nampan yang di atasnya dua cangkir the hangat untuk Aini dan Fahri.

"Silakan diminum ... Ummi, Fahri."

"Terima kasih."

"Ummi dari mana?" tanya Fania.

"Nggak dari mana-mana. Dari rumah memang sengaja mau main ke sini. Sekalian jalan-jalan, mumpung malam minggu." Laras dan Fania tersenyum mendengar ucapan Aini yang ramah.

"Ummi Aini kenal Fania di mana?" tanya Ridwan penasaran.

"Di depan toko Fania, Pak Ridwan. Waktu itu saya menyeberang nggak lihat jalan. Alhamdulillah Fania datang menyelematkan saya dari kecelakaan." Ridwan mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ooh Fania punya toko? Toko apa dan di mana?" Ridwan kembali penasaran. Bambang tak pernah menceritakan atau pun membanggakan usaha Fania padanya. Itulah yang sangat disukai Ridwan dan berusaha membuat mereka menjadi keluarga.

"Iya, Om. Toko busana muslim di daerah pertokoan tengah kota," jawab Fania.

"Masyaa Allah, bagus juga bisnismu. Pasti bangga yang jadi kedua orang tuamu."

"Alhamdulillah, Om."

"Tuh lihat, Fania gadis yang baik dan mandiri. Harusnya kamu jangan bersikap seperti tadi." Ridwan kembali berkata pada Sandi dengan geram. Dia masih tak terima dengan penolakan putranya itu.

"Sudahlah, Mas Ridwan. Anak-anak kita sudah besar. Biarkan Sandi dengan pilihannya sendiri," sahut Bambang tak ingin memperpanjang masalah.

"Iya, Mas. Tapi sebenarnya saya masih ingin menjadikan Fania menantu. Saya tahu hasil didikan Mas Bambang pasti tak jauh dari sifat Mas sendiri." Ridwan tak ingin menyerah. Kepala Sandi semakin tertunduk.

"Oh, Pak Ridwan ingin menjodohkan putra Bapak dengan Fania?" tanya Aini dan Ridwan mengangguk mengiakan.

"Iya, Ummi. Saya sudah sangat mengenal Mas Bambang dengan sangat baik dan saya ingin putra saya menikah dengan gadis yang shalihah. Saya trauma, putra pertama saya sudah salah memilih pasangan. Saya tidak mau, Sandi juga melakukan hal yang sama," jelas Ridwan.

"Ternyata tujuan kita sama, Pak Ridwan." Aini tersenyum.

"Maksud Ummi?"

"Saya ke sini juga ingin menjadikan Fania menantu ...."

"Saya mengalah ... Pak Fahri lebih pantas bersanding dengan Fania." Suara Ridwan terdengar pasrah. Rasa kecewa pada putranya kembali membuat hatinya sedih. Namun Ridwan sadar diri, merasa dirinya tak pantas bersaing dengan Fahri. Aini tersenyum senang,

"Fahri, tolong ambilkan barang-barang kita di mobil. Minta tolong Pak Danang membantumu," perintah Aini.

Fahri mengangguk dan segera beranjak menuju mobilnya. Pemuda itu kembali dengan membawa beberapa bingkisan dibantu Danang--supir pribadi Aini. Bambang, Laras, Fania, Ridwan, bahkan Sandi, melihat semua bingkisan yang dibawa Fahri dengan pandangan mata tak percaya. Pakaian, tas, peralatan make-up, skincare, buah-buahan, berbagai macam kue, semua lengkap seperti sebuah acara lamaran sungguhan. Tubuh Laras membeku, memandang dengan takjub.

"Ummi, ini semua ...."

"Ini semua untuk Fania dan keluarga. Maaf kalau acara lamaran ini mendadak. Tapi saya tahu, Fania banyak yang suka dan saya tidak mau keduluan. Saya benar-benar inginmelamar Fania sebagai istri Fahri dan menantu saya. Tolong diterima."

Bambang dan Laras saling berpandangan. Fania hanya diam tak bisa berkata sepatah kata pun. Semua yang ada di ruangan itu masih terlihat syok dengan lamaran dadakan itu. Bambang menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Dia harus bersikap bijaksana, tak ingin terpengaruh dengan pemberian Aini.

"Saya selaku orang tua, hanya bisa menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Fania. Dia yang akan menjalani pernikahan. Bagaimana, Fania? Apa jawabanmu, Nduk?"

"Fania sangat terkejut dengan semua ini. Ummi, Fahri, kalau diijinkan, Fania ingin diberi waktu berpikir. Insyaa Allah satu minggu lagi Fania akan memberi jawaban." Fahri dan Aini mengangguk mengerti.

Fania menjawab dengan tenang. Dia tak ingin gegabah menerima lamaran tanpa berunding dengan bapak dan umminya. Menikah adalah ibadah seumur hidup dan Fania ingin meminta petunjuk pada Allah terlebih dahulu.

"Baiklah, Fania, Ummi mengerti. Semua bingkisan yang Ummi berikan tidak ada hubungannya dengan jawabanmu nanti. Kamu berhak menerima atau pun menolak. Ummi sudah terlanjur sayang sama kamu. Seandainya kamu menolak lamaran kami, kamu tetap menjadi putriku." Kedua bola mata Laras dan Fania berkaca-kaca mendengar ucapan Aini.

"Terima kasih, Ummi Aini, sudah menyayangi putri kami," ucap Laras dengan haru. Aini mengusap lengan Laras dengan lembut.

"Saya juga berterima kasih, diberi kesempatan manyayangi Fania. Saya sendiri juga tidak mengerti, pertama kali melihat putri Ummi, saya sudah jatuh hati."

"Fania memang anak yang baik, Ummi. Insyaa Allah, dia tak pernah mengecewakan kami sebagai orang tua. Saya setuju saja kalau Fahri bersanding dengan putri saya tapi kembali lagi, yang menjalani Fania. Kami menyerahkan semua keputusan di tangan Fania."

"Tidak apa-apa, Bu. Memang seharusnya begitu. Apa pun keputusan Fania, saya dan putra saya akan menerima dengan ikhlas."

"Kenapa tidak langsung diterima saja lamaran Pak Fahri? Saya jamin kalau Pak Fahri adalah pemuda yang shalih dan cocok menjadi pendamping Fania. Saya mendukung kalian berdua," ucap Ridwan tak sabar. Fania tersenyum di balik cadarnya.

"Maaf, Om, pernikahan adalah ibadah terlama, bahkan semua amalan di dalamnya menentukan kedudukan kita di akhirat nanti. Fania tidak mau gegabah memberi jawaban," balas Fania terus terang.

"Padahal kalau dilihat langsung, apa kurangnya Pak Fahri? Tampan, pengusaha, baik, shalih, setiap gadis pasti akan langsung mau menjadi istrinya tanpa berpikir panjang." Ridwan masih tak terima dengan jawaban gadis bercadar itu.

"Betul, Fania juga mengakui semua itu, Om. Bukan maksud Fania sombong tapi Fania ingin melibatkan Allah dalam masalah ini." Kali ini Ridwan mengangguk mengerti.

"Masyaa Allah, begitu, ya? Kamu memang gadis istimewa, Fania. Semoga hidupmu selalu diberkahi."

"Aamiin ... do'a yang sama buat Om Ridwan dan keluarga." Bambang dan Laras tersenyum bangga pada putrinya. Sementara Sandi menundukkan kepala karena malu. Usianya jauh di atas Fania tapi pemikiran Fania jauh lebih dewasa.

"Bagaimana kalau kita makan malam dulu? Istri dan putri saya sudah menyiapkan semuanya dari pagi. Tolong jangan menolak jamuan makan malam sederhana dari kami," ajak Bambang.

"Jadi merepotkan ...."

"Tidak sama sekali. Silakan ...."

Mereka pun makan bersama hidangan yang sudah disiapkan Laras dan Fania. Nasi, ayam kecap, telur balado, tumis kacang panjang dan wortel, sambal tomat, serta krupuk udang, menu makan malam saat ini. Hidangan sederhana tapi mereka semua sangat menikmati. Setelah makan malam bersama, mereka semua pamit pulang. Bambang, Laras dan Fania mengantar mereka sampai di depan pagar. Saat akan masuk ke dalam rumah, terdengar suara Alif memberi salam.

"Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

"Alif?"

Alif berdiri di hadapan mereka dengan wajah yang lesu.

"Om, Tante, boleh Alif bicara berdua dengan Fania?" tanya Alif pada Bambang dan Laras.

"Baiklah tapi jangan lama-lama." Alif mengangguk mengiakan.

Bambang pun terpaksa mengijinkan, tak tega melihat wajah Alif yang menyedihkan. Bambang dan Laras kemudian masuk ke dalam rumah, meninggalkan Fania dan Alif di teras.

"Ada apa, Alif?"

"Maaf, aku tidak bisa ...."

"Fania mengerti, Alif. Bapak sudah menceritakan semuanya. Jangan bersedih, Allah akan memberikan jodoh terbaik buatmu."

"Aamiin ... terima kasih do'anya. Kamu juga, semoga mendapat suami yang baik, shalih, dan setia. Tampan dan mapan. Pokoknya salah satu cowok Arab itu bisa jadi jodohmu," sahut Alif dengan senyum yang dipaksakan.

"Aamiin ...."

"Fania, ternyata kita saudara. Sebenarnya aku sedih, patah hati. Tapi mungkin aku bisa menjadi kakak buatmu. Jangan sungkan, kalau butuh bantuan, bilang saja." Alif berusaha menerima kenyataan dengan ikhlas.

"Insyaa Allah, terima kasih, Alif. Atau aku harus panggil kamu Mas Alif?" Alif terkekeh mendengarnya.

"Hahaha ... jangan panggil aku Mas. Bikin hatiku tambah patah mendengarnya.Suaramu itu lho, kalau bilang Mas Alif membuatku nggak bisa tidur."

"Bisa saja, kamu!" sahut Fania sembari menggelengkan kepala.

"Kalau begitu, aku pamit, ya. Ingat, kalau butuh bantuan, jangan sungkan." Fania mengangguk mengerti. Alif dari dulu selalu berusaha melindunginya.

"Terima kasih."

Setelah memberi salam, Alif langsung pulang. Fania pun masuk ke rumah dan membantu Laras membereskan dan mencuci semua peralatan makan yang kotor.

"Fania, bingkisan dari Ummi Aini sebaiknya dummika. Takutnya ada kue basah yang tidak tahan lama. Sayang kalau basi."

"Iya, Ummi. Setelah cuci piring, Fania buka."

"Nanti Ummi bantu."

Setelah selesai mencuci piring dan membersihkan meja makan, Fania dan Laras membuka bingkisan yang sudah dikumpulkan di ruang keluarga. Satu per satu bingkisan dari Fahri dan ummi dibuka dan dikeluarkan isinya. Sesekali Laras bergumam takjub melihatnya.

"Masyaa Allah, Ummi Aini benar-benar menghargai kamu, Nduk. Lihatlah, ini semua pasti barang-barang bermerk yang harganya nggak murah."

"Alhamdulillah, Ummi. Ummi Aini memang orangnya baik. Dari awal bertemu Fania sudah menganggap Fania putrinya.” Fania menimpali ucapan Laras.

"Kamu harus bersyukur meskipun tetangga sering menghinamu tapi masih ada orang yang menyayangimu, Nduk." Bambang pun ikut berbicara, mengingatkan Fania.

"Iya, abi. Fania sangat bersyukur. Tapi untuk keputusan menerima lamaran Fahri, Fania akan tetap melakukan sholat istikharah."

"Iya, Nduk, abi mengerti. abi bangga padamu." Bambang tersenyum dan mengusap kepala putrinya dengan lembut.

"Alhamdulillah ini kue-kuenya tahan lama semua. Jadi besok pagi bisa kita bagikan tetangga," ujar Laras senang.

"Alhamdulillah waktu Om Ridwan dan Ummi Aini datang, para tetangga nggak ada yang heboh," balas Fania.

"Mereka semua "kan hari ini ke masjid agung untuk menghadiri pengajian akbar itu," jelas Laras.

"Oh pantesan, kampung kita sepi." Bambang pun heran dan bertanya-tanya, keadaan di sekitar rumah mereka sepi, tak seperti biasanya.

"Iya, abi. Ternyata kalau nggak ada mereka, hidup kita juga kurang berwarna, ya?" ucap Laras, membuat Bambang dan Fania tertawa.

"Ummi ini, ada-ada saja. Nanti kalau mereka julid, Ummi marah-marah." Bambang menggoda istrinya.

"Mulai sekarang, Ummi janji nggak akan marah-marah lagi kalau dengar omongan mereka, abi."

"Aamiin ...."

*********


Setelah dari rumah fania alif duduk diteras sambil merenung dengan wajah yang sedih. Humaira yang melihat itu juga ikut merasa sedih, lalu Humaira mencoba untuk menghibur aalif anaknya.

"Emm kamu sudah makan belum lif?" Tanya humaira.

" Belum ummi." Sahut alif.

"Hmm beli makan dulu yuk..kita beli sate kambing,,," ucap Humaira.

" Ayok...mantep kayaknya” sahut alif senang.

Humaira lalu masuk kamar dan berganti baju. Setelah beberapa saat Humaira keluar lagi dan memberikan kunci mobilnya pada alif, dia juga sudah ganti baju pakai gamis lebar lengkap dengan kerudungnya, mereka lalu keluar untuk membeli sate diwarung yang terkenal enak satenya. Jalanan terlihat sepi mereka hanya sesekali saja berpapasan dengan pengendara lain, muncul ide iseng di kepala alif. Alif menarik tangan kanan umminya dan dia taruh di atas selangkangannya.

"Eh hmmmm" Humaira manatap alif genit.

"Kocokin ummi... mau kan?" Ucap alif menatap Humaira sejenak lalu kembali fokus ke jalan.

"iya sayang” sahut Humaira lalu dia menunduk membuka kancing celana dan mengeluarkan rudal alif yang sudah mengeras tegang.

"Hmm sudah siap tempur aja nih kontol anak ummi!" ucap Humaira menatap rudal perkasa alif.

Humaira duduk normal lagi namun tangan kanannya mengocok kemaluan alif dengan lembut.

" Uhh enak ummi" gumam alif menikmati kocokan umminya sambil terus fokus ke jalan.

Ketika situasi jalan sepi dan gelap Humaira dengan cepat menunduk dan menyedot nyedot ujung kemaluan alif dengan ralifs, lidahnya menari nari dengan lihainya memberikan alif kenikmatan. Saat ada sorot lampu kendaraan dari jauh Humaira kembali duduk normal lagi, saat sepi dia kembali menunduk menyepong kemaluan alif, hal itu terus berlanjut Sampai ahirnya mereka sampai di warung sate.

" Nanti lagi ya ummi" ucap alif membetulkan celana alif lagi.

" iya sayangku...yang penting kamu suka" sahut Humaira lalu turun untuk beli sate.

Alif juga ikut turun menemani umminya yang sedang menunggu satenya di bakar, Humaira pesan dua porsi sate kambing dan satu porsi gulai kambing. Setelah hampir setengah jam menunggu ahirnya pesanan mereka jadi juga, setelah bayar merekapun kembali ke mobil dan pulang. Saat mobil mulai melaju Humaira kembali membuka celana alif dan kembali mengocok kemaluan alif namun kocokannya kali ini lebih cepat memberikan alif kenikmatan yang lebih dari yang tadi. Keberuntungan memang lagi berpihak pada alif karena saat pulang mereka hanya berpapasan dengan kendaraan lain hanya dua kali jadi Humaira terus mengulum kemaluan alif sepanjang jalan pulang.

" Hah hah kamu kuat banget lif Sampai pegal nih leher nggak keluar keluar" ucap umminya saat mereka sampai di depan rumahnya lagi.

"Hehe mintanya lubang yang bawah ummi" sahut alif santai sambil membetulkan posisi celananya.

" Nanti ya..kita makan dulu biar ada tenaga” sahut Humaira genit.

Humaira turun dari mobil membawa sate yang baru mereka beli sedangkan alif memarkirkan mobilnya, setelah itu alif menyusul masuk ke dalam rumah dan dia kunci pintunya agar nanti tidak ada yang menggangu. Alif menghampiri umminya yang sedang menata piring buat mereka makan, alif yang sudah tidak tahan lagi langsung memeluk umminya dari belakang, alif menggerayangi tubuh depan umminya naik turun dan berhenti di kedua gunung kembarnya, alif meremas-remas gunung kenyal itu dengan lembut sambil dia tekan tekankan selangkangannya ke pantat montok umminya.

" Ahhh…. alif sabar dulu kita makan dulu ya" Humaira berusaha melepaskan tangan alif yang masih meremas gunung kembarnya.

" Aawwww’ pekik Humaira karena alif mendorong tubuhnya tengkurap di meja, pantat umminya yang kenyal itu semakin terlihat menantang. Alif menyingkap gamis umminya sampai pinggang lalu dia pelorotkan celana dalam umminya yang berwarna putih sampai terlepas.

" Ahhh alif sabar dulu lif" protes humaira saat alif meraba-raba pantat dan juga kemaluan umminya namun tubuhnya masih tengkurap tak mencoba untuk berdiri, kemaluan Humaira pun sudah terasa basah berlendir. Alif melepas celananya karena rudalnya yang sudah terangsang dari tadi ingin segera menuntaskan hasratnya.

" Uhhhh alif" lenguh Humaira saat merasakan ujung kemaluan alif menerobos masuk diantara bibir kemaluanya.

Tak lupa alif mendiamkannya sebentar dulu sebelum alif tekan lebih dalam dan masuk kelubang kenikmatan umminya.

" Aww aw aahhhh aliifff hhooooohhhhhhh" tubuh umminya menggeliat liar diatas meja saat alif sentakkan pinggulnya ke depan dengan kuat, kemaluan alif terasa sangat nikmat menerobos masuk ke lubang sempit dan hangat milik umminya.

Kemaluan alif terasa di remas-remas oleh otot kemaluan Humaira, alif Sampai merem melek merasakan nikmatnya.

"Aliiff…… tunggu di ahh ah ah ah ah shhhh hmm ahhh" Humaira kembali kelojotan saat alif menggenjot pinggulnya dengan cepat.

" CIT… CIT… CIT" suara decit kaki meja menjadi musik pengiring permainan mereka.

" Ah ah alif….. aliff…. ayo lif.. ah.. ah" racau Humaira mulai menikmati permainan alif.

"Hmmm ahhhh ahmmm hmmmm" Humaira melampiaskan kenikmatanya dengan mengigit tanganya sendiri.

" Ahh aliifff…. ohh ohhh ohhhh" alif metarik kerudung umminya sampai kepalanya terdongak lalu dia tambah tempo genjotannya.

" SPlok…splok….splok…splok" suara selangkangan alif yang sedang beradu dengan pantat umminya seolah tak mau kalah dengan suara decitan dari kaki meja yang sedikit demi sedikit ikut tergeser.

" Ohhh ummi….. nikmat banget ummi ……. ohhhhh" alif merasakan hampir sampai puncak dan semakin kuat pula sodokannya

" Ahhh ahh ….. kontoImu lif….. ohhh besar ….ahh ahhhh ahhhh" Humaira juga sepertinya hampir sampai juga.

" Aaaallliiiiffffff" pekik humaira saat alif menghujamkan kemaluannya sedalam dalamnya dan muncratlah spermanya di dalam lubang kemaluan umminya.

Beberapa detik kemudian alif merasakan otot kemaluan umminya berkedut kedut dan keluarlah cairan kenikmatanya yang hangat menyiram kemaluannya yang masih tertancap di lubang kemalua umminya.

" Huhbh huhh huhbh" nafas Humaira ngos ngosan seperti habis lari.

" Ahhhhh" lenguh Humaira saat alif mencabut kemaluannya dari lubang kenikmatan umminya, tak lama setelah itu mengalirlah cairan putih di paha Humaira yang masih berusaha mengatur nafasnya.

" Huuubh huuhhh...kamu ini ummi diperkosa di meja makan" ucap Humaira duduk di kursi masih ngos ngosan mengatur nafasnya, kerudungnya yang tadi rapi kini jadi acak acakan tidak karuan.

" Hehe diperkosa kok mau” sahutalif santai.

" Siapa yang bisa nolak dikasih kontol sebesar itu...rasanya tuh bikin melayang laying kalau di sodok memek ummi" sahut Humaira yang mulai normal lagi nafasnya.

" Ganjel banget tau" imbuh Humaira menatap alif kesal.

" Hehe iya dong alif anak ummi” sahutku.

"ummi kekamar mandi bentar ya mau bersihin ini dulu" ucap Humaira mengambil celana dalamnya yang tergeletak di lantai lalu pergi ke kamar mandi. Memang banyak sekali cairan yang mengalir kalau dibiarkan nanti menganggu saat makan bisa lengket. Alif yang sudah merasa lega setelah kemaluannya yang tegang dari tadi ahirnya muncrat juga, dia pakai lagi celananya karena dingin juga lama lama setengah telanjang, setelah pakai celana lagi alif membuka bungkusan sate yang tadi mereka beli.

" Wah nikmat banget nih apalagi sama nasi hangat," gumam alif melihat beberapa tusuk daging bakar yang ada di depan matanya.
Ingin rasanya langsung alif makan saja sate itu tapi alif nggak enak sama umminya ahirnya alif menunggu umminya selesai dari kamar mandi dulu.

"Lo kok cuman dilihatin aja lif..nggak dimakan?" Tanya Humaira setelah keluar dari kamar mandi berjalan kearah alif.

" Nungguin ummi..." Sahut alif.

" Aduh kasihan..ayo makan makan" Humaira mengambilkan nasi dan menaruhnya di oiring alif, merekapun lalu makan bersama.

" Daging kalau di tusuk memang nikmat ya lif" ucap Humaira sambil makan sate.

"iya ummi..yang nusuk juga enak" sahut alif bercanda.

" Haha" Humaira tertawa mendengar jawaban anaknya.

Setelah selesai makan alif meminta umminya untuk membuatkannya kopi, setelah itu alif menunggu umminya beres-beres sisa makan mereka sambil menikmati kopi dan masih di ruang makan.

" Ah aawww" pekik Humaira saat alif remas pantat kenyal umminya ketika dia lewat di depan alif.

" Ummi buka bajunya dong...alif pingin lihat ummi telanjang " ucap alif.

" Nanti aja lif di kamar..malu ummi disini" sahut Humaira yang masih beresin meja.

" Ayo lah ummi malu sama siapa kan cuma ada kita berdua" sahut alif semakin mendesak umminya untuk buka baju.

"Emm iya deh...untuk anak kesayangan ummi" Humaira ahirnya nurut juga.

Humaira melepas kerudungnya lalu membuka gamis yang dia pakai dan hanya menyisakan bh yang menyangga kedua gunungnya saja.

" Bh nya sekalian ummi" ucap alif.

Bagai kerbau di cucuk hidung Humaira ikuti saja kemauan alif, Humaira melepaskan bhnya lalu membawa pakaian yang baru dia lepas ditaruh ke tempat cucian kotor yang ada di dalam kamar mandi. Humaira kelihatan risih melakukan aktifitasnya karena tidak pakai apa apa lagi tapi alif justru sangat menikmati pemandangan yang ada, Humaira yang telanjang sedang mencuci piring bekas makan mereka tadi. Rambutnya yang bewarna hitam begitu kontras dengan kulitnya yang kuning Langsat.

"Alif buka juga dong bajumu" ucap Humaira setelah selesai mencuci piring.

"iya ummi" sahut alif berpura-pura mau Buka baju.

Alif menyenggol gelas yang berisi kopi dan membuatnya tumpah ke lantai semua namun gelasnya masih alif pegang jadi tidak pecah.

" Pelan pelan dong lif...jangan buru buru gitu minumnya” ucap Humaira melihat kopi mulai mengalir di lantai.

" Maaf ummi alif nggak sengaja" sahut alif polos.

" iya sudah nggak papa nanti ummi yang bersihin itu" ucap Humaira.

Humaira Emengambil kain lap lalu jongkok untuk mengelap lantai, lama lama posisinya jadi seperti merangkak.

"Eehh ehh nakal ya kamu" pekik Humaira saat alif meraba pantatnya.

" AW ah geli lif" pantat Humaira bergerak gerak coba menghindari tangan alif yang nakal menggerayangi pantat sampai kemaluanya.

" Hihihi dasar anak nakal...ke kamar aja yuk" Humaira bangun lalu menari alif untuk ke kamarnya.

Sampai di kamar humaira langsung mendorong tubuh alif untuk rebahan di kasur, dia langsung merangkak menindih tubuh alif. Humaira menatap mata alif dalam-dalam lalu mencium bibir alif dengan mesra, sesaat kemudian dia turun lagi untuk membuka celana alif, alif juga membuka bajunya hingga mereka sama sama telanjang bulat. Setelah baju alif terlepas Humaira kembali naik ke atas tubuh alif namun posisi mereka berlawanan arah, kepala Humaira di atas selangkangan alif sementara selangkanganya di atas wajah alif. Kemaluan Humaira yang bersih tanpa bulu terpampang jelas di depan mata alif. Tanpa banyak bicara lagi humaira langsung mengocok kemaluan alif dan memainkan lidahnya menari-nari di batang kemaluan alif.

Nikmat sekali permainan lidah Humaira, di sedotnya ujung kemaluan alif dengan lidahnya seperti sedang makan eskrim, dua telur alif pun di mainkanya semakin menambah sensasi kenikmatan yang alif rasakan. Alif sengaja belum menyentuh kemaluan Humaira karena masih ingin menikmati permainannya di selangkangannya. Humaira lama lama jadi tidak tahan sendiri dia menurunkan pinggulnya membekap wajah alif dengan lubang kenikmatanya.

" Ahhhhh" lenguh Humaira saat alif mainkan lidahnya di lubang kenikmatanya.

Kocokan Humaira semakin cepat seiring rangsangan yang alif berikan pada selangkanganya, alif membuka bibir kemaluan umminya dan alif mainkan kelentitanya dengan lidahnya.

" Shhh oohhhh… hmmm ohhhh…. eemmmhhhh" humaira terus melenguh nikmat sambil terus mengocok kemaluan alif, sesekali di sedotnya kuat kuat ujung kemaluan alif.

Pinggulnya juga bergerak liar mencari kenikmatan, kadang pinggulnya menekan ke bawah cukup kuat sampai alif kesulitan untuk bernafas.

"Uh uh uh….. aalliiiff" pinggul Humaira bergerak liar saat alif memasukkan dua jarinya ke dalam lubang kenikmatanya yang sudah sangat basah dan licin.

" Cek… cek.. cek.. cek.. cek… ckekckck…" alif menahan pinggulnya dengan satu tangan lalu alif kocok dengan cepat.

" Ah ah alifff….aliiiifff… ohhh ohhh …..eemmmhhh …ahhh ahhhh ahhhh" Humaira terus meracau menikmati kocokan alif yang semakin brutal.

" Huh huh huh…. eeemmhhhh hubhh huhhh" pinggul Humaira ikut bergoyang menyambut dua jari alif yang terus mengobok-obok kemaluannya.

Cairan kemaluanya sampai banjir meleleh di pahanya, namun terus alif mengocok dengan cepat.

" Ah aalliiifff…. hmm hmmm hmmm aduh aduh lif…liff…liff.. cepet lagi liff… uh uhuhuh" Racau humaira minta dipercepat lagi padahal itu sudah alif kocok secepat yang alif bisa.

" Ahh ahhhhh aaaaarrhghhhhhh" Humaira menggeram cukup keras lalu tubuhnya terlonjak berguling ke samping.

Pinggul Humaira sedikit tersentak sentak beberapa saat sebelum lemas terkulai di samping alif. Tak ingin membuang waktu lagi alif bangun dan menarik tubuh Humaira ke arahnya, alif buka lebar lebar paha umminya dan blesss langsung alif tusukkan rudalnya ke dalam lubang kemalua umminya yang masih saja terasa sempit dan seret meskipun sudah sangat basah.

" Oouuhhhhhh" Humaira melenguh panjang saat kemaluan alif menerobos masuk lubang sempit umminya.

"Alliiff…. tahan lifff… tahan dulu lif… uh uh" tangan Humaira berusaha menahan perut alif saat alif mulai bergerak maju mundur.

"Hemm… hmmm… hmm… Auh uh uh… tahan du uh uh lu aliifff…. ah ah ah ah" racau Humaira karena alif menarik kedua tangannya ke atas dan alif genjot dengan cepat dan kuat.

"Hhhhhmmmmm… hhhmmmmmm…. eemmmm" Humaira hanya bisa pasrah menerima sodokan alif yang semakin kuat, kedua gunungnya sampai berguncang naik turun, sungguh pemandangan yang sangat indah sekali.

"Hmmm hmmmm" mata Humaira terpejam erat sekali sesekali kepalanya bergerak liar menggeleng ke kiri kanan merasakan kenikmatan yang alif berikan.

"Alif…liff… oh oh aliifff kontoImu lif…. oh oh oh" kaki Humaira mengait pinggul alif dengan kuat sepertinya dia sudah mau sampai lagi.
Karena kesulitan bergerak alif lepaskan tangan Humaira lalu alif tarik paksa kakinya ke depan lalu alif satukan di depan dadanya, gunung kembar Humaira jadi melebar karena tergencet lututnya sendiri, alif genjot lagi dengan cepat dan kuat sampai tubuh Humaira ikut terhentak hentak.

" Ah ah aliiiiff… ayo liiff… ahh ahh ahhh" Humaira semakin kelojotan menikmati sodokan alif. Setelah beberapa saat alif sodok dengan posisi seperti itu alif merasakan otot paha umminya semakin tegang, kemaluanya pun semakin erat mencengkram rudal alif yang sedang keluar masuk dengan cepat di sana.

" Aaaaaahhhhhhhh" Humaira melenguh panjang.

Bersamaan dengan itu pinggulnya terhentak hentak ke atas cukup kuat, alif menancapkan kemaluannya sedalam-dalamnya untuk menikmati sensasi kedutan saat umminya orgasme.

" Ooohhhhhhhh oh oh" pinggul Humaira terhentak lebih kuat lagi membuat kemaluan alif semakin dalam masuk menusuk lubang kemalua umminya.

Kamaluan alif serasa di guyur air panas di dalam lubang kemaluan Humaira yang berkedut meremas kemaluan alif dengan erat.

" Uhhh " alif Sampai melenguh nikmat dibuatnya.

Setelah beberapa saat menegang tubuh Humaira pun kembali lemas terkulai, hanya nafasnya saja yang masih memburu.

"euhh" lenguh Humaira saat alif cabut kemaluannya.

Dia menatap alif dengan tatapan sayu dan posisinya masih telentang mengangkang, cairan putih pun terlihat mulai meleleh dari lubang kemaluanya. Melihat wajah umminya yang seperti itu di tambah lagi alif belum keluar membuat nafsu alif langsung bangkit lagi ingin segera menggenjotnya. Alif mengelap kemaluan Humaira dengan sprei sampai bersih, setelah itu alif satukan kaki umminya dan alif dorong ke samping, posisi Humaira badan atasnya menghadap ke atas sementara pinggul ke bawah menghadap ke samping, diposisi seperti ini Humaira semakin terlihat seksi dan menggoda. Humaira yang masih menikmati sisa-sisa orgasmenya belum sepenuhnya sadar kalau alif sudah mau menggenjotnya lagi. Alif selipkan kemaluannya diantara bibir kemalua umminya dan blessss langsung alif sentakkan dengan kuat pinggulnya dan masuklah kemaluan alif ke dalam lubang kemaluan umminya yang alif rasakan semakin sempit dengan posisi seperti ini.

" Oh oh oh aliifff" pekik Humaira coba berontak namun tidak bisa karena kakinya terkunci.

" Ohhhh" desah alif kenikmatan.

"Uh uh uh alliiiiiiff" pekik Humaira dengan suara melengking. Badannya juga seperti kaget tapi tak lama dia juga tersenyum pada alif.

"Ini apa lif kok besar sekali uhhh."lenguhnya menikmati sodokan alif sampai mentok.

"Hehehe ini pusaka keramat alif ummi sayang, nikmati saja kalu mau menikmati pusaka alif terus." Ucap alif sudah menggenjot dengan cepat dan memegang kaki umminya agar tak lepas,

"Ahh ahh ahh iyaa ummi suka pusaka kamu ini sayang, besar dan panjang dimemekku penuh." Bhumaira juga meremas payudaranya sendiri saat alif genjot dengan cepat.

"Terus sayang terus itu lagi lagi lagi ahh ahh ahh ahh" humaira makin keras saja berteriak menikmati genjotan alif.

Alif juga kadang gemas dan menampar pantat umminya yang kenyal,

"Plak plak plak plak "alif tampar hingga memerah.

"Auuuww nakal ya, tapi ummi suka terus lagi ahh ahah ahh" makin menikmati permainan mereka.

Alif terus menggenjot umminya sambil sesekali alif tampar pantat Humaira, dia juga semakin bernafsu di perlakukan seperti itu desahanya semakin keras dan menggoda alif untuk terus mengobok-obok kemaluanya dengan rudal alif.

"Ganti posisi ummi, ayo nungging,, alif mau ganti gaya" humaira menurut dan langsung sujud diranjang sambil menggoyangkan pantatnya didepan kemaluan alif.

"Sini sini masuk lubang ummi sayang” ucapnya dengan genit sambil membuka bongkahan pantatnya ke samping.

Tak langsung menuruti kemauan umminya, Alif masukkan tiga jarinya kedalam kemalua umminya dan langsung mengocok dengan cepat membuat Humaira belingsatan, pinggulnya bergerak liar menahan nikmat yang dia rasakan.

“Cekcekcek” bunyi kemaluanya yang sudah banjir juga sangat keras.

"Ahh ahh ah ah ah iya cepat lagi sayang." humaira makin senang dan menikmati apa yang alif lakukan, dia juga ikut maju mundurkan pantatnya untuk menyambut kocokan alif, kadang juga pinggulnya berputar putar mencari kenikmatan yang lebih.

"Abh alif … uhh uhh uhh alif…. ohh ohhh" racau Humaira semakin liar sepertinya dia sebentar lagi akan mencapai puncaknya.

Alif cabut jarinya saat umminya sedang nikmat-nikmatnya menikmati sekali permainan jari yang alif lakukan.

"Ah ah ah... Yahh kok dicabut sayang, ummi mau keluar bentar lagi ini". protes Humaira, tanganya langsung menggantikan tangan alif dan mengocok kemaluanya sendiri dengan cepat karena takut kehilangan momen yang lagi enak-enaknya dia rasakan.

"Alif kasih yang lebih nikmat ummi sayang.!!"alif singkirkan tanganya dan alif memasukkan kemaluannya yang masih tegang dari tadi. Karena kemaluanya yang sudah basah makin mudah untuk alif masuk kedalam dengan sekali hentak .

" aahhhh" humaira langsung bergoyang dan meremas kemaluan alif didalam menggunakan otot vaginanya, Serasa dipijit pijit

"Iya terus sayang kamu pintar sekali bikin ummi suka ahhh "alif yang tak tahan juga Mulai menggenjot dengan pelan, kadang sampai keluar sepenuhnya dari lubang kemaluan humaira. Saat sudah keluar semua alif dorong lagi masuk dengan sempurna.

"Ahh ahh ahh iya seperti itu terus sayang."racau humaira makin semangat.

Alif juga merasakan sebentar lagi akan meledak, alif meremasi payudara umminya yang menggantung. Dengan kedua tangan dari belakang..

"Ahhh kamu sungguh Ionte ummi, kamu menikmati semua yang anakmu lakukan padamu. Hahaha" ucap alif sambil terus menggenjot dengan cepat.

"Iya sayang, ummi lontemu,,, ummi selalu gatal tiap kali ingat kontolmu ahh ahah ahh." humaira juga bergoyang kekanan dan kiri untuk mencari kenikmatan.

"Ahhh alif akan tambah kecepataan tapi ummi juga harus bergoyang terus." Humaira mengangguk.

Alif percepat genjotannya karena alif ingin keluar. Sebelum alif keluar ternyata umminya sudah keluar duluan .

"Ahhh ummi keluar sayang.." ucapnya menikmati orgasmenya. Alif yang sebentar lagi ingin keluar tak menghiraukan Humaira yang sedang menikmati orgasmenya.

"Ahhh ahh ahh sayang…. memek ummi ngilu sayang…. aduhh ah ah." humaira mengerang karena cairan yang keluar sudah mengalir dipahanya, alif tak peduli malah makin seret rasanya. Alif genjot makin cepat dari tadi.

"Ahhh ahh ahh sayang tolong berhenti." Alif tak peduli alif ingin segera sampai. Tak lama alif juga keluar.

"Aaahhhh" akhirnya alif keluar juga didalam kemaluan umminya, ternyata vagina umminya juga berkedut dia sampai lagi.

"Tadi aja bilang berhenti malah keluar lagi dasar Ionte.." ucap alif mencabut kemaluannya.

Alif lihat banyak sekali yang keluar dari lubang kemaluan umminya.

"Iya habis nya ngilu ngilu sedap tapi enak. Hehe" humaira tersenyum tanpa merasa tersinggung.

Alif berguling disampingnya. Untuk memulihkan tenaga. Alif lihat umminya sedang jongkok sambil mengelap cairan putih kental dan bening yang mengalir jelas.

"Banyak sekali ummi?"tanya alif

"iya ini juga ummi bersihin biar tidak basah lagi , hehe kamu suka kan sayang sama memek ummi?" humaira juga ikut berbaring disamping alif setelah selesai.

"iya alif suka banget malah ummi," ucap alif

"Istirahat dulu ummi capek sayang!" ucap humaira sambil menaruh pahanya diatas paha alif.

"iya istirahat dulu ummi.." sahut alif, tak butuh waktu lama Humaira sudah lelap dalam tidurnya, terdengar suara nafasnya yang mendengkur halus.

Dia tertidur masih dalam posisi telanjang memeluk tubuh alif, alif pun lalu ikut mencoba untuk tidur.
*********

Keesokan harinya, Laras membagikan kue dari Aini pada para tetangga di sekitar rumahnya. Seperti biasanya, Mak Ijah, Sari, dan Rani berkumpul di depan rumah Rani.

"Eh ada acara apa kok Bu Laras bagi-bagi kue?" tanya Rani penasaran.

"Tadi malam ada tamu bawa oleh-oleh banyak sekali, jadi ya kita bagi-bagi," jawab Laras terus terang.

"Pasti tamunya orang kaya, ya, Bu? Apa yang waktu itu mau bantuin kita bayar gamis itu?" Sari ikut bertanya dengan nada tak suka.

"Oh, bukan! Yang tadi malam anak pemilik restoran." Jawaban Laras membuat bibir Mak ijah mengerucut.

"Bu, kalau sudah ada yang melamar, cepat-cepat nikahkan mereka. Takutnya nanti pihak keluarga laki-lakinya berubah pikiran," sindir Rani.

"Maksud Bu Rani apa?" tanya Laras tak mengerti.

"Kan mereka belum tahu wajah Fania yang sebenarnya. Saya yakin, kalau mereka tahu, pasti mereka akan cepat-cepat membatalkannya. Mumpung mereka belum berubah pikiran, cepat-cepatlah nikahkan mereka," cibir Mak Ijah.

"Apa perlu kami kasih tahu mereka, kalau Fania itu sebenarnya buruk rupa?" Sari menimpali ucapan Mak Ijah sambil tertawa.

"Silakan saja, silakan kalian bilang ke semua orang yang akan melamar Fania kalau putriku buruk rupa. Kami semua tidak peduli. Yang pasti, putriku akan segera menikah dan akan pergi dari sini, jauh dari tetangga toxic seperti kalian!" tegas Laras.

"Siapa yang kamu bilang toxic itu, hah?!" Mak Jjah tak terima.

"Kalian itu! Kamu, Sari, Mak Ijah, kalian semua tetangga toxic yang selalu menghina putriku! Apa salah Fania pada kalian?" Laras mulai emosi. Ketiga orang di hadapannya hanya diam, tak bisa memberi jawaban.

"Kenapa diam? Kalian tidak bisa menjawab, kan? Lihat saja, kalau kalian selalu bersikap buruk pada putriku, suatu saat nanti kalian pasti akan menerima balasannya!"

"Kami tidak takut ancamanmu!" teriak Rani tak mau mengalah.

Mak Ijah tiba-tiba memegang dadanya. Dia terhuyung, tangannya mencengkram lengan Rani.

"Sari... Rani ... dadaku tiba-tiba sesak. Aku ... aku nggak bisa bernafas...."

"Mak Ijah, Mak Ijah kenapa? Lho, Mak Ijah ...."

Bruukk!!

"Mak Ijah pingsan!"
 
BAB 11

"Bagaimana keadaan Mak Ijah, Ummi?"

Bambang bertanya pada Laras yang baru pulang dari rumah Mak Ijah. Laras langsung memanggil seorang bidan di kampungnya untuk memeriksa keadaan wanita itu.

"Mak Ijah kena stroke, setengah badannya lumpuh."

"Innalilahi ...."

"Apa kalian bertengkar?" tanya Bambang hati-hati, tidak ingin membuat istrinya tersinggung,.

"Ya biasa, trio kwak-kwak itu menghina Fania dan Ibu nggak terima," jawab Laras terus terang.

"Sekarang yang jagain Mak Ijah, siapa? Mak ijah 'kan sendirian." Bambang ikut cemas memikirkan keadaan Mak Ijah.

"Ditemani Bidan Yasmin. Nanti setelah dhuhur, gantian Ummi ke sana." Bambang tersenyum dan mengusap lembut kepala Laras yang tertutup khimar warna hitam.

"Tante Rani dan Tante Sari nggak nemenin Mak Ijah? Mereka 'kan bersahabat, Ummi." Fania penasaran, umminya sama sekali tidak menyebut nama Rani dan Sari.

"Bersahabat itu kalau lagi sehat. Kalau Mak ijah sudah seperti ini, mana mau mereka berdua bersahabat lagi? Setelah Mak Ijah jatuh terus dibawa ke rumahnya, mereka berdua malah pulang," ucap Laras kesal.

"Apa nggak sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja, Ummi?"

"Mak ijah nggak mau. Tapi Bidan Yasmin tadi sudah konsultasi sama dokter kenalannya. Jadi Mak Ijah dikasih obat sesuai resep dari dokter itu. Maaf, Pak, tadi Ummi kasih uang ke Bidan Yasmin buat bantu bayar obatnya Mak Ijah."

Bambang tersenyum bangga pada istrinya. Meskipun terkadang bersikap bar-bar, Laras adalah seorang wanita yang baik dan perasaannya juga lembut, selalu tidak tega melihat orang lain menderita.

"Masyaa Allah, kenapa Ummi harus minta maaf? Abi sangat bersyukur sekali Ummi mau menolong Mak Jjah."

"Kasihan, abi. Meskipun Mak ijah sering gosipin keluarga kita, tapi kalau melihat keadaannya sekarang, Ummi nggak tega." Bambang tersenyum dan kembali mengusap kepala istrinya dengan lembut.

"Fania, kamu tahu kos-kosan tempat tinggal Dinda?" tanya Bambang pada putrinya.

"Insyaa Allah tahu, Abi."

"Ayo kita ke sana, bagaimanapun juga Dinda cucunya. Dia harus tahu keadaan Mak Jjah." Fania mengangguk setuju.

"Baik, Abi."

"Ummi, Abi pergi dulu sama Fania jemput Dinda. Kita naik taksi online saja biar sekalian nanti Dinda bareng kita."

"Baik, Abi. Fania ganti baju dulu."

"Abi juga."

Fania keluar dari kamar dan duduk menunggu Bambang. Sebelum membuka aplikasi taksi online yang ada di ponselnya, terdengar suara seseorang memberi salam. Fania langsung berdiri dan berjalan mendekat.

"Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ... Safira?"

"Kamu mau pergi?" Safira melihat Fania yang sudah rapi dengan gamis lengkap dengan cadarnya.

"Mau menjemput Dinda, cucunya Mak Ijah," jawab Fania.

"Kalau begitu biar aku antar."

"Tapi aku pergi sama abi."

Bambang keluar dari kamar bersama Laras. Safira mencium punggung tangan Laras dengan takzim.

"Nggak apa-apa aku antar, sekalian saja Om ikut. Atau Tante juga ikut?" ajak Safira.

"Nggak usah, Tante di rumah saja. Takut kalau Ummi Bidan nanti membutuhkan bantuan." Laras menolak ajakan Safira karena masih memikirkan Mak Ijah.

"Ya sudah, biar Om yang nyetir, kalian berdua duduk saja di kursi belakang."

"Waahh ... terima kasih, Om."

Mereka bertiga masuk ke dalam mobil Safira. Bambang melajukan kendaraan itu menuju rumah kos tempat Dinda tinggal. Sesampainya di depan pintu kamar Dinda, Fania pun mengetuk pintu. Dinda terkejut melihat kedatangan Fania dan Safira.

"Mbak Fania?"

"Dinda, kamu libur?"

"Iya, Mbak. Ada apa ya, Mbak?" tanya Dinda penasaran. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang, perasaannya gelisah.

"Fania ingin menjemput kamu pulang. Mak Jjah tadi pagi tiba-tiba pingsan dan sekarang kena stroke. Jadi badannya setengah lumpuh, nggak bisa jalan dan bicaranya pun agak susah."

"Innalilahi ...."

"Makanya itu, Dinda, Fania mau menjemputmu. Kamu pulang, ya, tolong temani Mak Ijah. Kasihan kalau sendirian." Fania berusaha membujuk Dinda.

"Tapi, Mbak...."

"Dinda, bagaimanapun Mak [jah itu nenekmu. Beliau yang selama ini sudah merawat dan membesarkanmu. Meskipun sifat dan ucapannya sering kasar, kamu sebagai cucunya nggak boleh menyimpan dendam." Dinda pun mengangguk pasrah.

"Baik, Mbak. Aku akan pulang."

"Yuk, abi sudah menunggu di depan."

"Aku ambil baju-baju dulu, Mbak."

Fania dan Safira menunggu sampai Dinda selesai berkemas. Setelah berpamitan pada ibu kosnya, mereka bertiga masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu di depan pagar. Sampai di rumah Mak Ijah, Dinda masuk dan mendekati neneknya yang berbaring tak berdaya. Mak jah terkejut sekaligus senang, melihat kedatangan cucunya. Fania mengikuti Dinda dan hanya memperhatikan di depan pintu kamar.

"Din... da ...." Mak Ijah berusaha menyebut nama Dinda meskipun bibirnya kaku.

"Iya, Nek. Ini Dinda. Mulai sekarang aku akan pulang ke sini. Aku akan merawat Nenek," janji Dinda, air matanya mulai berjatuhan melihat keadaan Mak jah.

"Dinda, tempat kerjamu 'kan dekat dengan Fania. Mulai besok, berangkatnya bareng Fania saja. Kamu nggak usah kos lagi."

"Tapi, Mbak, siapa nanti yang menemani nenek?" Dinda bimbang,

"Kamu minta tolong ibu Bidan mencari orang yang mau merawat Mak Ijah. Bilang sama ibumu juga kalau Mak jah sakit." Fania memberi saran dan Dinda pun setuju.

"Baiklah, Mbak. Aku nanti akan ke rumah Ummi Bidan dan menelepon ibu. Sayang kalua aku harus keluar kerja."

"Iya, Fania paham. Kalau begitu Fania pulang dulu, ya. Safira sudah menunggu."

"Iya, Mbak. Terima kasih."

Fania menganggukkan kepala pada Mak ijah yang memandangnya. Setelah mengucap salam, Fania berjalan pulang. Dari kejauhan, tampak Alif berlari sambil memanggil namanya.

"Fania ... Fania ...."

"Alif. Ada apa?" tanya Fania pada pemuda itu.

"Ada teman yang mau pesan gamis sama baju Koko, bisa nggak?"

"Oh bisa. Ayo kita ke rumah, biar enak ngobrolnya. Soalnya temanku sedang menunggu."

"Oke..."

Mereka berdua berjalan berdampingan menuju rumah Fania. Terlihat Safira duduk di teras sendiri, memandang layar ponselnya.

"Oh ya, lif, ini sahabatku yang waktu itu, Safira. Masih ingat, kan?"

"Apa kabar, Mbak Safira?" sapa Alif dengan sopan.

"Ish, kok aku dipanggil Mbak, sih! Aku sama Fania itu seumuran, Mas!" protes Safira, membuat Fania terkekeh. Alif hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal mendengar ucapan Safira.

"Aku hanya niat menghormati kamu. Kalau begitu aku panggil Safira saja."

"Ya begitu, dong. Kamu aku panggil Mas Alif. Nggak apa-apa, kan?"

"Silakan, mau panggil Alif atau Mas Alif, Kang Alif, Bang Alif, bebas kok!"

"Duduk, lif! Gimana tadi soal temanmu, mau pesan apa?"

"Temenku ada yang mau nikah, terus dia mau buat seragam buat keluarganya. Tapi acaranya kurang seminggu lagi jadi waktunya sudah mepet, mau pesan ke tukang jahit juga nggak sempet. Mau beli online juga takut nggak sesuai katanya. Kira-kira kamu bisa bantu, nggak? Gamis sama baju koko, masing-masing sekitar sepuluh saja."

"Insyaa Allah, alhamdulillah ada produk baru yang ready stock. Aku kirim gambarnya ke nomermu saja bagaimana?"

"Oke, nanti aku kasih nomernya temanku juga, biar kalian lebih mudah komunikasinya. Nomermu berapa, Fania? Kita tetanggaan sudah lama tapi aku nggak pernah tahu nomermu."”

Fania tertawa mendengar ucapan Alif. Dia memang tidak pernah memberikan nomer ponselnya pada laki-laki.

"Fania memang nggak ada nomer kontak cowok."

"Ya sudah, sebutkan biar aku save."

"Nomerku nggak disave juga, Mas?" sahut Safira sambil tersenyum menggoda.

"Boleh, sini aku save sekalian," balas Alif, tak ingin membuat Safira kecewa. Safira adalah sahabat Fania dan Alif pun ingin berteman dengan gadis itu.

"Kamu kerja di mana, Mas?"

"Di PT. Mencari Cinta Sejati."

"Lho kita 'kan satu gedung. Kok kita nggak pernah ketemu?" Kantor ayah Safira ada di gedung yang sama tempat Alif bekerja.

"Aku bawa bekal dari rumah jadi nggak pernah keluar kantor kalau istirahat."

"Sudah aku kirim gambarnya ya, lif. Kamu kasih tahu temenmu dulu saja, semoga cocok," ucap Fania.

"Terima kasih, ya. Kalau begitu aku pulang dulu. Besok aku kabari lagi."

"Oke, Fania juga terima kasih."

"Ayo, Safira, aku pulang dulu."

"Oke. Kalau ketemu jangan sombong, ya?" Alif tertawa mendengar gurauan Safira.

"Hahaha ... oke!"

Alif pun berjalan meninggalkan rumah Fania. Gadis bercadar itu memperhatikan sahabatnya yang tersenyum sendiri sambil memandang Alif, sampai hilang dari pandangan mereka.

"Safira, kamu kenapa senyum-senyum begitu?"

"Cakep!" jawab Safira terus terang,

"Astaghfirullah ... jaga pandangan, Safira," protes Fania.

"Iya... iya, Ustadzah."

"Abimu juga cakep." Safira terkekeh.

"Ya pastilah, makanya anaknya juga cakep. Fania, kira-kira mamanya Alif type mertua yang baik atau julid, ya?"

"Duubh ... yang lagi jatuh cinta, sampai kepo sama calon mertua," sahut Fania, menggoda sahabatnya.

"Ya harus, dong! Kan kamu sendiri yang bilang kalau kita menikah itu bukan hanya menyatukan dua orang saja tapi juga dua keluarga. Mumpung cintaku belum berat, aku harus tahu dulu bagaimana calon mertuaku. Kalau mereka model julid bin medit, aku nggak maulah!"

Fania tersenyum mendengar alasan Safira. Selama ini dia selalu menasihati Safira tentang masalah pernikahan meskipun dia sendiri juga belum menikah. Safira pun selalu menuruti nasihat yang dia berikan.

"Tante Humaira insyaa Allah baik. Kalau seorang ibu terkadang cerewet, wajar saja. Apalagi Alif adalah putra satu-satunya."

Bagi Fania, Humaira memang orang tua yang baik. Meskipun Humaira sering ikut bergerombol dengan para tetangga mereka yang julid tapi Humaira tak pernah ikut-ikutan menghina, bahkan Humaira seringkali membelanya.

"Iya juga, sih. Aku kayaknya kalau jadi ibu juga cerewet. Hahaha ...."

"Sepertinya begitu." Kedua gadis itu pun tertawa.

"Eh, Fahri dan Fauzan juga putra satu-satunya. Jadi kamu juga harus bersiap-siap ucap Safira.

"Siap-siap ngapain? Aku juga putri Pak Bambang satu-satunya."

"Oh iya, ya... Hahaha ...."

"Entahlah Safira ... rasanya Fania belum ingin menikah. Tapi...."

"Fahri sudah melamarmu, kan? Tante Laras tadi sudah cerita. Bingkisan dari Fahri benar-benar bikin aku iri. Tasnya saja harganya berapa juta itu. Belum lagi set gamisnya dari merk terkenal. Kamu harus bersyukur punya calon suami yang royal. Mau cari yang bagaimana lagi?" Safira berusaha meyakinkan Fania agar mau menerima Fahri.

"Fania mau sholat istikharah dulu untuk lebih memantapkan hati. Pernikahan itu ibadah terlama. Fania nggak mau main-main," balas Fania.

"Dan sebentar lagi Fauzan akan datang marah-marah karena frustasi dan patah hati," sahut Safira.

"Tidak akan! Kata abi, keluarga Fauzan pasti sudah menyiapkan jodoh untuknya. Jadi, meskipun Fauzan nekat pun, kita nggak akan mungkin menikah dan abi juga pasti tidak setuju,” jelas Fania. Safira mengangguk mengerti.

"Aku lihat Fahri juga nggak kalah tampan dengan Fauzan. Apalagi dia low profil. Tapi semua keputusan ada di tanganmu. Insyaa Allah jawaban sholatmu nanti adalah iya. Kamu baik, Fahri baik, kalian berdua insyaa Allah cocok. Pasangan yang serasi. Kalau aku sama Alif, serasi nggak?"

"Serasi, kamu cantik, Alif tampan. Kalian berdua juga sama-sama baik dan konyol!"

"Alhamdulillah kalau begitu. Jadi aku nggak konyol sendirian.” Fania dan Safira pun kembali tertawa.

"Kalau begitu, aku pulang dulu. Sudah siang. Aku ada janji sama ummi habis ashar." Safira pun berpamitan pada Fania tapi Laras berjalan mendekat dan menahannya.

"Nak Safira, jangan pulang dulu. Ayo kita makan siang sama-sama. Sudah lama kamu nggak mencicipi masakan Tante."

"Ya ... gagal diet dong kalau begini." Fania menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya itu.

"Nggak apa-apa, dietnya ditunda besok," sahut Laras.

"Yuk, abi sudah menunggu." Safira dan Fania mengikuti langkah Laras ke ruang makan. Mereka pun berempat makan siang bersama. Safira sudah seperti saudara bagi Fania, begitu juga dengan Safira.


*********


Sementara itu di rumah Fauzan, Laila panik. Sabtu malam, bersamaan dengan Fahri melamar Fania, kedua orang tua Ghaffar membawa seorang gadis pilihan mereka. Gadis cantik blasteran Arab- Indonesia yang bernama Amira. Selama proses perkenalan, Fauzan hanya bicara seperlunya. Ingin marah dan menolak perjodohan tapi dia masih punya aturan. Fauzan tak ingin mempermalukan kedua orang tuanya di hadapan keluarga besarnya dan keluarga besar Amira. Namun, setelah semuanya pulang, Fauzan mengurung diri di kamar sampai Minggu malam.

"Fauzan ... Tolong buka pintunya ...." Laila dan Ghaffar berdiri di depan pintu kamar Fauzan.

"Bagaimana ini, Bi? Dari tadi malam anak kita nggak mau keluar kamar. Dia belum makan, Bi." Ghaffar berdecak kesal. Dia sudah menggedor pintu kamar tapi Fauzan tak kunjung keluar.

"Biarkan saja, kalau lapar pasti dia keluar kamar!" sahut Ghaffar.

"Bi, nggak bisa begitu. Kalau Fauzan sakit bagaimana?" Laila tak terima dengan ucapan Ghaffar.

"Dia tidak akan sakit. Dia laki-laki yang kuat. Sudahlah, mau bagaimana lagi. Kita juga nggak bisa melawan orang tua kita. Aku rasa Amira gadis yang baik. Fauzannya saja yang sudah terobsesi gadis bercadar itu."

"Bi, kalau Ummi minta tolong Fania untuk membujuk Fauzan gimana? Abi setuju nggak?" Pertanyaan Laila membuat Ghaffar semakin geram.

"Ummi jangan aneh-aneh! Bisa-bisa yang namanya Fania itu nanti malah menghasut Fauzan," jawab Ghaffar tak setuju.

"Tidak, Bi. Fania bukan gadis seperti itu. Ummi yakin kalau Fania yang bicara, Fauzan pasti nurut," bujuk Laila.

"Terserah Ummi. Abi nggak mau pusing ngurusin anak itu. Sudah dewasa kelakuannya masih saja seperti balita. Ini semua gara-gara Ummi terlalu memanjakannya. Kalau sampai gadis yang bernama Fania itu bikin ulah, Ummi yang tanggung jawab!" Ghaffar meninggalkan Laila sendiri yang masih berdiri di depan pintu kamar Fauzan. Laila menghela napas panjang, merasa kasihan dengan putranya tapi dirinya tak berdaya.

Fania berangkat bekerja bersama Bambang. Rencana berangkat bersama Dinda terpaksa dia urungkan. Dinda ijin libur karena keadaan Mak Ijah yang semakin parah. Toko Fania hari ini sangat ramai. Fania membantu Mawar dan Citra melayani para pembeli. Tepat pukul empat sore, Bambang menelepon putrinya. Bambang sudah dalam perjalanan menjemput Fania. Gadis bercadar itu segara merapikan berkas-berkas yang ada di meja kerjanya.

"Mbak, ada yang mau bicara sama Mbak, katanya mamanya Mas Fauzan." Fania mendesah perlahan mendengar ucapan Mawar. Tubuhnya ingin segera diistirahatkan tapi terpaksa harus ditunda karena kedatangan wanita cantik itu.

"Suruh masuk saja," balas Fania terpaksa.

"Baik, Mbak." Mawar segera berjalan menemui Laila yang masih berdiri di dekat pintu. Laila pun mengikuti langkah Mawar menuju ruang kerja Fania.

"Assalamu'alaikum, Fania."

"Wa'alaikumussalaam, Ummi. Silakan duduk," jawab Fania dengan sopan.

"Fania, maaf kalau Ummi mengganggu. Ummi mau minta tolong sama kamu."

"Minta tolong apa ya, Ummi?" tanya Fania penasaran.

"Kakek neneknya Fauzan menjodohkan Fauzan dengan gadis pilihan mereka di hari Sabtu malam kemarin. Setelah semuanya sepakat, Fauzan masuk kamar. Sudah dua hari ini Fauzan nggak mau makan dan minum." Perasaan Fania tiba-tiba gelisah mendengar cerita Laila.

"Apa yang bisa Fania lakukan, Ummi? Fauzan sudah dewasa, bukan ABG lagi," ucap Fania.

"Ummi tahu, Fauzan sangat mengagumi kamu. Barangkali kamu bisa menasihatinya karena setahu Ummi, hanya kamu yang bisa meluluhkan hati Fauzan. Ummi mohon ...."

"Fania nggak janji. Fania ijin abi dulu," sahut Fania.

"Kalau perlu Ummi akan datang ke rumahmu. Ummi akan menjemputmu dan minta ijin pada abi dan ibumu. Tolong Ummi, Fania. Kalau menunggu lama, Fauzan bisa sakit." Laila berusaha membujuk Fania agar mau menasehati Fauzan.

Tanpa sepengetahuan Fania dan Laila, Bambang yang berniat menjemput putrinya, sudah mendengarkan percakapan mereka di balik dinding ruangan Fania.

"Ada apa Mbak Laila?" Laila dan Fania terkejut dengan kedatangan Bambang.

"Ini... Aku mau minta tolong Fania untuk membujuk Fauzan. Dia marah karena dijodohkan oleh kakek neneknya. Sudah dua hari ini dia nggak mau makan dan nggak mau bicara," jawab Laila terus terang.

"Kenapa harus Fania yang membujuk Fauzan?" Bambang berusaha menolak.

"Aku rasa Fauzan pasti mau mendengarkan nasihat Fania," balas Laila yakin.

"Mbak Laila ... Fania dan Fauzan bukan mahram. Tidak sepantasnya Mbak Laila menyuruh putri saya untuk membujuk Fauzan!" tegas Fauzan.

"Tolonglah, Bambang. Aku mohon, kali ini saja. Kasihan Fauzan. Aku yang berjanji membantunya mendapatkan Fania ternyata aku sendiri tidak berdaya. Fauzan adalah putraku satu-satunya. Bahkan abinya sendiri sudah tidak peduli. Harapanku hanya pada Fania saja, aku yakin Fania pasti bisa membujuk Fauzan." Laila terus saja merengek. Bambang pun menghela napas panjang kemudian mengembuskannya dengan kasar. Sementara Fania hanya diam memperhatikan. Fania percaya dan patuh pada keputusan Bambang.

"Baiklah, Fania akan saya ijinkan menemui Fauzan tapi dengan satu syarat," tegas Bambang. Laila mengangguk setuju.

"Katakan saja, aku akan mengusahakan apa pun itu,"

"Fania akan menemui Fauzan bersama gadis pilihan kakek neneknya ...."

"Kenalkan, ini Amira--calon istri Fauzan."

Laila akhirnya menyetujui syarat yang diajukan Bambang. Dia tak ingin putranya terus-menerus mengurung diri di kamar. Fania dan Amira berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing,

"Fania."

"Amira."

"Baiklah, Ummi sudah memenuhi permintaan abi kamu. Tolong bujuk Fauzan agar mau menerima perjodohannya dengan Amira. Ummi hanya tidak mau ada keributan di rumah ini. Abinya Fauzan sepertinya sudah tak sabar dan Ummi takut mereka bertengkar," pinta Laila dengan pandangan mata memohon. Fania mengangguk mengerti.

"Insyaa Allah, Fania akan mencoba."

"Maaf, Amira, Ummi terpaksa memanggil Fania untuk bisa menasihati Fauzan," ucap Laila pada Amira. Laila meminta tolong pada Amira untuk datang ke rumahnya.

"Tidak apa-apa, Ummi. Saya mengerti," balas Amira sambil tersenyum. Fania dan Amira berdiri di depan pintu kamar Fauzan. Laila hanya memperhatikan dari kejauhan.

"Fauzan ... buka pintunya. Ini aku ... Fania..."

Fauzan sedang merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar. Mendengar suara Fania, dia meloncat dari ranjangnya dan langsung membuka pintu. Fauzan tersenyum senang melihat gadis pujaannya berdiri di hadapannya. Namun senyum itu langsung menghilang, saat melihat Amira yang berdiri di samping Fania.

"Hemm ... kenapa sama dia?" Fauzan berdecak kesal.

"Boleh kita bicara?" Fania bertanya dengan sabar.

"Mau bicara apa? Apakah Ummi yang memintamu datang ke sini? Apakah kamu datang untuk memberikan ceramah padaku?" cerca Fauzan.

"Kalau kamu tidak mau, Fania pulang!" tegas Fania.

"Jangan!" sahut Fauzan.

"Baiklah, ayo kita bicara di taman belakang." Fauzan pun terpaksa mengiakan. Dia tak ingin membuat Fania membenci dirinya. Dari dulu Fauzan benar-benar tak bisa berkutik jika berhadapan dengan gadis bercadar itu. Setelah mereka bertiga duduk berhadapan, Fania pun mulai percakapan.

"Fauzan ... lihatlah calon istrimu. Dia cantik dan shalihah. Dan Fania yakin kalau Amira juga pasti mau dijodohkan denganmu karena terpaksa. Betul 'kan, Amira?" Amira terkejut mendengar pertanyaan Fania.

"Dari mana kamu tahu?"

"Tentu saja Fania tahu. Ekspresi wajahmu terlihat sedih, tidak ceria seperti kebanyakan gadis yang bertemu dengan pujaan hatinya. Kalau kamu suka dengan Fauzan, pasti wajahmu akan ceria saat datang ke rumah ini. Kamu juga tidak cemburu ketika melihat Fania," jawab Fania dengan suaranya yang merdu dan lembut.

"Ya, aku memang menyukai pemuda lain tapi orang tuaku tidak setuju," balas Amira terus terang.

"Kamu dengar sendiri 'kan, Fauzan? Bukan hanya kamu yang menderita tapi Amira juga. Kenapa kamu harus mengurung diri di kamar dan tidak mau makan? Kamu mendzalimi dirimu sendiri!" Fauzan tersenyum masam mendengar tuduhan Fania, meskipun yang dikatakan Fania benar.

"Aku hanya ingin sendiri, tidak ada niat mendzalimi diri sendiri." Fauzan mencoba mencari alasan, membela diri.

"Kalau ingin sendiri, bisa 'kan bicara terus terang sama ummi dan abimu. Kasihan orang tuamu. Mereka pasti sedih, terutama Ummi Laila. Apa kamu nggak malu sama Amira?

Dia seorang gadis tapi masih terlihat tegar meskipun hatinya tak terima."

Ucapan Fania kembali membuat Fauzan tak berdaya. Dia pun menyadari, dirinya masih belum dewasa dalam menghadapi masalah. Melihat Fauzan dan Amira yang hanya diam, Fania pun melanjutkan ucapannya.

"Orang tua pasti memilihkan yang terbaik buat putri dan putra mereka. Setidaknya, cobalah untuk menerima dan mencari tahu bagaimana sifat dan karakter calon pasangan kalian. Bisa dari teman atau saudara. Atau kalau ingin yang pasti, kalian bisa sholat istikharah terlebih dahulu untuk memantapkan hati kalian berdua. Maaf, bukannya Fania lancang menasehati karena kalian pasti lebih berilmu. Tapi Fania sendiri ingin yang terbaik buat kalian berdua. Terutama kamu, Fauzan!"

"Fania, apakah kamu suka dengan Fauzan?" tanya Amira penasaran.

"Kenapa, Amira? Suka atau tidak, apakah ada pengaruhnya buat kalian?" Amira menggelengkan kepala.

"Paling tidak, aku bisa berusaha membuat kamu dan Fauzan bersatu." Fauzan terlihat sangat mencintai Fania dan Amira ingin mengalah.

"Agar kamu bisa bersatu dengan pujaan hatimu?" Pertanyaan Fania membuat Amira bingung mencari jawaban.

"Bukan ... bukan seperti itu, aku hanya ingin membantu," bantah Amira, Fania tersenyum di balik cadarnya. Fauzan hanya memandang gadis pujaannya itu dengan kagum.

"Maaf, Fania ucapkan terima kasih. Tapi perlu kalian berdua ketahui, saat ini Fania sudah dikhitbah oleh seseorang. Jadi, maaf kalau Fania menolak tawaranmu, Amira. Lagi pula, kita tidak mungkin menikah kalau salah satu dari keluarga kita tidak setuju. Dan Fauzan tahu itu!" Fania memberi ketegasan pada Fauzan dan Amira.

Fauzan menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Dia menyerah mendengar penjelasan Fania. Fauzan memperhatikan wajah Amira. Cantik, kulit putih mulus tanpa jerawat, hidung mancung, alis tebal, bola mata bulat dengan bulu mata yang lentik, dengan senyum yang menawan. Amira pun terlihat baik dan sopan.

"Baiklah, aku akan mencoba menerima Amira," ucap Fauzan.

"Aku juga akan mencoba menerima Fauzan," sahut Amira. Fania pun tersenyum bahagia.

"Baiklah, Fania pamit kalau begitu. Kalian pasangan yang cocok. Pacaran setelah menikah, pasti akan membuat rumah tangga kalian lebih bahagia dan berkah." Fania beranjak dari duduknya dan berpamitan.

"Aku akan mengantar kalian pulang,” ujar Fauzan pada Fania dan Amira.

"Tidak perlu ...."

"Tolong, ini untuk yang terakhir kali," pinta Fauzan.

"Bukan itu masalahnya. Kalian berdua bukan mahram dan tidak pantas kalian pergi berduaan setelah mengantar Fania pulang.” Fania menjelaskan agar Fauzan tidak salah paham. Laila yang mendengarkan percakapan mereka, langsung mendekat.

"Kalau begitu, Ummi akan ikut."

"Baiklah, kalau begitu Fania setuju.”

Akhirnya Fauzan dan Laila mengantar Fania dan Amira pulang. Laila tersenyum, melihat Fauzan yang sudah terlihat ikhlas menerima perjodohannya dengan Amira. Begitu juga dengan Fauzan dan Amira yang membenarkan semua ucapan Fania, memberontak pun percuma karena hanya mempermalukan keluarga dan semakin menambah masalah. Laila meminta Amira duduk di samping Fauzan yang mengemudi, sementara dirinya duduk di samping Fania. Selama dalam perjalanan, Laila berulang kali membisikkan ucapan terima kasih pada gadis bercadar itu. Sesampainya di rumah, Fania langsung membersihkan diri kemudian makan malam bersama. Setelah selesai membersihkan meja makan dan mencuci piring, Fania duduk di ruang keluarga bersama Bambang.

"Bagaimana, sudah beres?" tanya Bambang pada putrinya. Bambang terpaksa pulang sendiri, sementara Fania pergi ke rumah Fauzan bersama Laila.

"Insyaa Allah, Fania hanya berusaha. Selanjutnya terserah mereka," jawab Fania.

"Kamu tidak sakit hati 'kan, Nduk?" tanya Bambang dengan hati-hati.

"Kenapa harus sakit hati, abi?"

"Jangan membohongi dirimu sendiri. Abi tahu kamu punya perasaan sama Fauzan." Fania tersipu, tak mampu bicara. Dalam hati, Fania membenarkan ucapan abinya.

Bambang tersenyum, melihat kedua pipi putrinya yang merona. Bambang menarik napas dalam sebelum melanjutkan ucapannya.

"Tapi Abi bangga sama kamu. Kamu tidak seperti gadis-gadis zaman sekarang yang menentang kedua orang tuanya demi pria pujaannya.” Fania tersenyum menanggapi ucapan Bambang.

"Insyaa Allah Fania tidak akan seperti itu, abi. Allah Maha Tahu mana yang terbaik buat Fania. Fauzan memang sangat tampan tapi sifatnya sering kekanak-kanakan. Fania mencari imam yang bisa membimbing istri, bukan Fania yang membimbing suami. Dan Fania tidak ingin memilih suami hanya karena fisiknya saja." Penjelasan Fania membuat Bambang tersenyum bangga.

"Masyaa Allah, Abi sangat bersyukur memiliki putri sepertimu."

"Ini semua juga ajaran dari Abi. Fania bangga menjadi putri Abi," sahut Fania tak mau kalah. Bambang pun terkekeh.

"Lalu, bagaimana dengan lamaran Fahri? Apa kamu sudah mendapatkan jawaban?"

Fania menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Tak mudah baginya memberikan jawaban meskipun Allah sudah memberikan petunjuk yang baik untuknya. Perasaannya masih belum tenang.

"Fania masih ada sedikit ganjalan dan waktu itu Fania lupa bertanya pada Ummi Aini dan Fahri," jawab Fania terus terang,

"Kalau Abi boleh tahu, apa itu?" tanya Bambang penasaran.

"Soal pamannya Fahri. Dia pernah datang ke toko Fania dan mengancam agar Fania nggak dekat-dekat dengan Fahri karena Fahri sudah dijodohkan."

"Kalau benar Fahri sudah dijodohkan, kenapa Ummi Aini melamarmu? Bahkan dia juga memberikan banyak bingkisan," ujar Bambang tak percaya.

"Memang sih, Fania dengar sendiri Fahri menolak keras perjodohan itu. Fahri bicara dengan gadis itu di depan Fania. Itulah kenapa Fania masih ragu menerima Fahri. Fania takut, keluarga Fahri sama seperti keluarga Fauzan." Fania menceritakan semuanya pada Bambang.

"Kalau melihat Ummi Aini, Abi yakin mereka berbeda. Mungkin itu hanya keinginan pamannya saja. Coba nanti kalau bertemu mereka, kamu tanyakan langsung pada Fahri atau Ummi Aini," ujar Bambang meyakinkan putrinya.

"Iya, abi. Insyaa Allah pasti Fania tanyakan. Fania tidak mau ada masalah di belakangnya nanti apalagi kata pamannya, gadis itu sudah dilamarnya. Makanya Fahri sempat marah karena merasa pamannya berbuat seenaknya." Bambang mengangguk mengerti.

"Sudahlah, sekarang lebih baik kita istirahat. Satu Minggu ini Abi tidak ada lembur, jadi berangkat bareng Abi saja."

"Baik, abi. Ummi sudah tidur, ya?"

"Sudah. Katanya kurang enak badan tapi kamu nggak usah khawatir. Sebelum tidur, ummi sudah minum obat."

"Kalau besok ummi masih sakit, lebih baik Fania di rumah saja, abi. Kasihan kalau ummi sendirian."

"Kita lihat saja besok. Ya sudah, Abi tidur dulu. Kamu jangan tidur malam-malam."

"Iya, abi."

Bambang masuk ke dalam kamar, sementara Fania masih duduk sendiri sambil memandang layar ponselnya, mengecek orderan yang masuk dan laporan dari Mawar. Suasana rumah yang sepi, membuat nada dering ponsel Fania terdengar kencang. Fania pun terkejut dan langsung menjawab panggilan telepon yang masuk.

"Assalamu'alaikum, Fania, maaf kalau telepon malam-malam," sapa Alif melalui ponselnya.

"Wa'alaikumussalaam ... ada apa, lif?"

"Mau menyampaikan kalau temanku suka dengan baju yang kamu tawarkan kemarin. Insyaa Allah besok dia akan ke tokomu. Apa barangnya ready? Sepertinya langsung diambil sekalian," jelas Alif.

"Alhamdulillah, barangnya ready di toko. Besok insyaa Allah Fania siapkan. Terima kasih ya, lif," balas Fania senang.

"Sama-sama. Aku juga terima kasih. Kalau begitu aku tutup teleponnya. Besok insyaa Allah aku ikut ke tokomu."

"Baiklah, Fania tunggu."

Setelah mengucap salam, Alif mengakhiri percakapan mereka. Bibir Fania tersenyum dan tak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur.

"Alhamdulillah, Ya Allah. Alhamdulillah ... Semoga berkah ... Aamiin." Fania beranjak menuju kamar mandi. Seperti biasa, Fania berwudhu terlebih dahulu sebelum mengistirahatkan badan.

*******


Setelah menutup telpon, tiba-tiba Humaira masuk ke kamar alif.

" Ada apa ummi? " Alif bertanya pada umminya yang tiba-tiba masuk ke kamarnya

" ummi lagi pingin lif...mau kan?" Ucap humaira sambil membuka gamisnya, Alif lihat umminya tak memakai celana dalam.

Melihat pemandangan seperti itu seketika nafsu alif langsung bangkit, humaira lalu tiduran dengan posisi mengangkang.

" Ayo lif … jangan lama lama sudah basah ini dari tadi" ucap Humaira sambil menggosok kemaluanya dengan tangan.

Alif merangkak di atas tubuh Humaira bermaksud untuk mencium bibirnya namun tangan Humaira menjambak rambutnya dan mengarahkan kepala Alif ke selangkanganya. Meski sedikit terpaksa Alif ikuti saja kemauan umminya, Alif jilati bibir kemalun umminya dan Alif sedot sedot lubang nya.

" Ohhhh hhmmmmmm" desah Humaira tertahan, dia menggigit bibir bawahnya sendiri. Tanganya semakin menekan kepala Alif dan desahannya semakin kuat ketika Alif memainkan daging kecil diatas lubang kemaluanya.

" Ahhhmmm ahhmmmm hmm teerusshhh lif ,, iya itu pas disitu terus lif ohhhhh" Humaira mulai meracau tidak karuan.

Alif membuka celana tanpa sepengetahuan Humaira, setelah itu satu jari Alif dia masukan ke kemaluan umminya membuat Humaira semakin kelojotan.

" Hoohhoohoo terus lif..enaakkk ahhhh ohhh" Humaira semakin liar bergerak tanganya kini meremasi payudaranya sendiri.

" Alif..ummi… keluar lif… ah ah ah…. Lif… keluuarrr ahhh" pinggul Humaira terhentak hentak sesaat sebelum mengejang kaku.

Mata Humaira terpejam dan tanganya masih meremasi payudaranya sendiri menikmati sisa sisa orgasme yang barusan dia capai. Alif lebarkan kaki Humaira lalu Alif tarik tangan umminya ke atas kepalanya dan menahannya dengan satu tangan sementara tangan yang satunya mengarahkan kemaluannya yang sudah tegang dari tadi ke lubang kemaluan Humaira.

"Hmmm ternyata klinik itu tidak bohong ,,, benar benar tambah besar kontolku" batin alif saat memegang kemaluannya.

Seminggu yang lalu alif pergi ke klinik tradisional untuk memeperbesar penisnya dan ternyata berhasil. Humaira masih ngos ngosan dengan mata terpejam, dia hanya tersenyum sedikit saat merasakan ujung kemaluan anaknya menempel di bibir kemaluannya.

" Ahhh" Humaira mendesah pelan saat alif menggesekan kemaluannya di bibir kemaluanya yang sudah sangat becek itu.

" Ahhhmmmmm … hmmmppffff' teriak humaira cukup keras namun Alif membekap mulutnya agar tak terdengar sampai luar.

Matanya yang tadi terpejam seketika langsung terbelalak molotot ke arah alif, kakinya meronta Ronta sementara tanganya berusaha lepas dari kuncian alif saat Alif dengan sekuat tenaga mendorong kemaluannya kedalam lubang kemaluan Humaira.

"Uhhh" sempit sekali alif rasakan tak seperti biasanya.

Alif mendorongnya sampai mentok sementara Humaira masih kelojotan tidak karuan dan berteriak histeris, untung Alif sudah bekap mulutnya kalau tidak pasti akan terdengar sampai luar. Kakinya meronta Ronta mencoba melepaskan diri dari dekapan alif namun hal itu justru membuatnya semakin merasakan kenikmatan karena rasanya seperti di plintir-plintir kemaluan alif di dalam kemaluanya. Mata Humaira semakin melotot dan wajahnya terlihat memerah saat Alif mulai menggerakkan pinggulnya.

" Plok plok plok" Alif menggenjot umminya dengan tempo pelan namun kuat sampai mentok dia rasakan.

"Hmmpff hmppff' Humaira seperti mendesah namun tertahan oleh tangan alif tiap kali kemaluan alif keluar masuk, sempit sekali alif rasakan.

" Ahhh nikmat banget ummi .. seret ahhh ahh" Alif juga mendesah kerena nikmatnya lubang Humaira.

terlihat wajah Humaira kini sudah berubah dan kakinya pun sudah tidak tegang lagi, Alif lalu melepaskan dekapan di mulut umminya dan melepaskan tangannya. Tangan Humaira langsung memukul mukul dada Alif.

" sakit alif,,,penuh banget kemaluan ummi, perih lif" ucap Humaira begitu tangan alif lepas dari bibirnya. Alif hanya tersenyum saja tak menjawabnya, Alif menggerakkan kembali pinggulnya namun Humaira menahannya.

" Sebentar lif ... masih ngilu biar adaptasi dulu ..." Ucap Humaira lalu menggigit bibir bawahnya, seksi sekali Humaira dengan ekspresi seperti itu. Kemaluan Humaira seperti berkedut kedut, nikmat sekali rasanya.

" Kok jadi besar banget sayang ,, seperti mau robek rasanya ahhmmm" Humaira meracau tak jelas.

“Goyang pelan pelan lif" ucap Humaira.

Alif ikuti kemauan umminya, Alif goyangkan pinggulnya pelan maju mundur namun dengan sodokan yang kuat.

"Ohhhhh mantap lif... mentokhh" Humaira kembali meracau.

"Ahh ahh terus lif ohhhh" Humaira mendesah keenakan.

Seret sekali rasanya, tanpa memberi aba aba dulu Alif langsung mempercepat tempo kocokannya hingga membuat Humaira kembali mendesah tidak karuan.

“Hmmmpp hmpff hmmpff" hanya itu suara yang terdengar ketika kemaluannya keluar masuk dengan cepat menyodok kemaluan umminya.

Tangan Humaira meremas sprei sementara kakinya Kini membelit pinggang alif dan menekannya ke bawah.

“Plok plok plok” Alif semakin kuat menekan kemaluannya ke lubang kemaluan Humaira, semakin lama Alif percepat ritme genjotannya, enak sekali dia rasakan ada yang mendesak hendak keluar dari ujung kemaluannya dan ahhhhhhhh "crot crot crot " Alif masukan sampai mentok di lubang kemaluan Humaira.

"Ahhhhhh" Humaira juga mengejang diwaktu hampir bersamaan sepertinya dia juga keluar.

Alif mencabut kemaluannya dan membersihkannya sementara Humaira masih tiduran telentang dengan nafas yang masih belum stabil.

"Gila kamu lif...kok bisa jadi gede begitu" ucap Humaira sesaat kemudian.

“Mantap kan ummi...seret banget rasanya" Alif juga tak menyangka sebelumnya kalau ternyata benar-benar jadi besar.

"Enak lif tapi ngilu banget rasanya, sakit untung tidak robek tadi" ucap Humaira sambil membersihkan kemaluannya.

“Bisa bisa semakin ketagihan ummi sama kontolmu lif" ucap Humaira lalu memakai kembali bajunya dan Kembali ke kamarnya, Alif lihat cara berjalan umminya agak lain dari biasanya mungkin efek sodokannya tadi yang terlalu kuat.

Setelah itu Alif melanjutkan tidur karena capek juga rasanya habis olahraga malam-malam begini.

********
 
udah triple double update nya, De BEST siihh suhu @Marmut1991 buat threadnyaa,
makasihh suhuuu, sehat selalu panjang umur, di mudahkan RL nyaa,
Humaira udah klepek klepek sama Alif, P nya Alif udah nambah gede, berarti bakal nambah mangsa baru untuk Aliffd hehe
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd