BAB 11
"Bagaimana keadaan Mak Ijah, Ummi?"
Bambang bertanya pada Laras yang baru pulang dari rumah Mak Ijah. Laras langsung memanggil seorang bidan di kampungnya untuk memeriksa keadaan wanita itu.
"Mak Ijah kena stroke, setengah badannya lumpuh."
"Innalilahi ...."
"Apa kalian bertengkar?" tanya Bambang hati-hati, tidak ingin membuat istrinya tersinggung,.
"Ya biasa, trio kwak-kwak itu menghina Fania dan Ibu nggak terima," jawab Laras terus terang.
"Sekarang yang jagain Mak Ijah, siapa? Mak ijah 'kan sendirian." Bambang ikut cemas memikirkan keadaan Mak Ijah.
"Ditemani Bidan Yasmin. Nanti setelah dhuhur, gantian Ummi ke sana." Bambang tersenyum dan mengusap lembut kepala Laras yang tertutup khimar warna hitam.
"Tante Rani dan Tante Sari nggak nemenin Mak Ijah? Mereka 'kan bersahabat, Ummi." Fania penasaran, umminya sama sekali tidak menyebut nama Rani dan Sari.
"Bersahabat itu kalau lagi sehat. Kalau Mak ijah sudah seperti ini, mana mau mereka berdua bersahabat lagi? Setelah Mak Ijah jatuh terus dibawa ke rumahnya, mereka berdua malah pulang," ucap Laras kesal.
"Apa nggak sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja, Ummi?"
"Mak ijah nggak mau. Tapi Bidan Yasmin tadi sudah konsultasi sama dokter kenalannya. Jadi Mak Ijah dikasih obat sesuai resep dari dokter itu. Maaf, Pak, tadi Ummi kasih uang ke Bidan Yasmin buat bantu bayar obatnya Mak Ijah."
Bambang tersenyum bangga pada istrinya. Meskipun terkadang bersikap bar-bar, Laras adalah seorang wanita yang baik dan perasaannya juga lembut, selalu tidak tega melihat orang lain menderita.
"Masyaa Allah, kenapa Ummi harus minta maaf? Abi sangat bersyukur sekali Ummi mau menolong Mak Jjah."
"Kasihan, abi. Meskipun Mak ijah sering gosipin keluarga kita, tapi kalau melihat keadaannya sekarang, Ummi nggak tega." Bambang tersenyum dan kembali mengusap kepala istrinya dengan lembut.
"Fania, kamu tahu kos-kosan tempat tinggal Dinda?" tanya Bambang pada putrinya.
"Insyaa Allah tahu, Abi."
"Ayo kita ke sana, bagaimanapun juga Dinda cucunya. Dia harus tahu keadaan Mak Jjah." Fania mengangguk setuju.
"Baik, Abi."
"Ummi, Abi pergi dulu sama Fania jemput Dinda. Kita naik taksi online saja biar sekalian nanti Dinda bareng kita."
"Baik, Abi. Fania ganti baju dulu."
"Abi juga."
Fania keluar dari kamar dan duduk menunggu Bambang. Sebelum membuka aplikasi taksi online yang ada di ponselnya, terdengar suara seseorang memberi salam. Fania langsung berdiri dan berjalan mendekat.
"Assalamu'alaikum ...."
"Wa'alaikumussalaam ... Safira?"
"Kamu mau pergi?" Safira melihat Fania yang sudah rapi dengan gamis lengkap dengan cadarnya.
"Mau menjemput Dinda, cucunya Mak Ijah," jawab Fania.
"Kalau begitu biar aku antar."
"Tapi aku pergi sama abi."
Bambang keluar dari kamar bersama Laras. Safira mencium punggung tangan Laras dengan takzim.
"Nggak apa-apa aku antar, sekalian saja Om ikut. Atau Tante juga ikut?" ajak Safira.
"Nggak usah, Tante di rumah saja. Takut kalau Ummi Bidan nanti membutuhkan bantuan." Laras menolak ajakan Safira karena masih memikirkan Mak Ijah.
"Ya sudah, biar Om yang nyetir, kalian berdua duduk saja di kursi belakang."
"Waahh ... terima kasih, Om."
Mereka bertiga masuk ke dalam mobil Safira. Bambang melajukan kendaraan itu menuju rumah kos tempat Dinda tinggal. Sesampainya di depan pintu kamar Dinda, Fania pun mengetuk pintu. Dinda terkejut melihat kedatangan Fania dan Safira.
"Mbak Fania?"
"Dinda, kamu libur?"
"Iya, Mbak. Ada apa ya, Mbak?" tanya Dinda penasaran. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang, perasaannya gelisah.
"Fania ingin menjemput kamu pulang. Mak Jjah tadi pagi tiba-tiba pingsan dan sekarang kena stroke. Jadi badannya setengah lumpuh, nggak bisa jalan dan bicaranya pun agak susah."
"Innalilahi ...."
"Makanya itu, Dinda, Fania mau menjemputmu. Kamu pulang, ya, tolong temani Mak Ijah. Kasihan kalau sendirian." Fania berusaha membujuk Dinda.
"Tapi, Mbak...."
"Dinda, bagaimanapun Mak [jah itu nenekmu. Beliau yang selama ini sudah merawat dan membesarkanmu. Meskipun sifat dan ucapannya sering kasar, kamu sebagai cucunya nggak boleh menyimpan dendam." Dinda pun mengangguk pasrah.
"Baik, Mbak. Aku akan pulang."
"Yuk, abi sudah menunggu di depan."
"Aku ambil baju-baju dulu, Mbak."
Fania dan Safira menunggu sampai Dinda selesai berkemas. Setelah berpamitan pada ibu kosnya, mereka bertiga masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu di depan pagar. Sampai di rumah Mak Ijah, Dinda masuk dan mendekati neneknya yang berbaring tak berdaya. Mak jah terkejut sekaligus senang, melihat kedatangan cucunya. Fania mengikuti Dinda dan hanya memperhatikan di depan pintu kamar.
"Din... da ...." Mak Ijah berusaha menyebut nama Dinda meskipun bibirnya kaku.
"Iya, Nek. Ini Dinda. Mulai sekarang aku akan pulang ke sini. Aku akan merawat Nenek," janji Dinda, air matanya mulai berjatuhan melihat keadaan Mak jah.
"Dinda, tempat kerjamu 'kan dekat dengan Fania. Mulai besok, berangkatnya bareng Fania saja. Kamu nggak usah kos lagi."
"Tapi, Mbak, siapa nanti yang menemani nenek?" Dinda bimbang,
"Kamu minta tolong ibu Bidan mencari orang yang mau merawat Mak Ijah. Bilang sama ibumu juga kalau Mak jah sakit." Fania memberi saran dan Dinda pun setuju.
"Baiklah, Mbak. Aku nanti akan ke rumah Ummi Bidan dan menelepon ibu. Sayang kalua aku harus keluar kerja."
"Iya, Fania paham. Kalau begitu Fania pulang dulu, ya. Safira sudah menunggu."
"Iya, Mbak. Terima kasih."
Fania menganggukkan kepala pada Mak ijah yang memandangnya. Setelah mengucap salam, Fania berjalan pulang. Dari kejauhan, tampak Alif berlari sambil memanggil namanya.
"Fania ... Fania ...."
"Alif. Ada apa?" tanya Fania pada pemuda itu.
"Ada teman yang mau pesan gamis sama baju Koko, bisa nggak?"
"Oh bisa. Ayo kita ke rumah, biar enak ngobrolnya. Soalnya temanku sedang menunggu."
"Oke..."
Mereka berdua berjalan berdampingan menuju rumah Fania. Terlihat Safira duduk di teras sendiri, memandang layar ponselnya.
"Oh ya, lif, ini sahabatku yang waktu itu, Safira. Masih ingat, kan?"
"Apa kabar, Mbak Safira?" sapa Alif dengan sopan.
"Ish, kok aku dipanggil Mbak, sih! Aku sama Fania itu seumuran, Mas!" protes Safira, membuat Fania terkekeh. Alif hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal mendengar ucapan Safira.
"Aku hanya niat menghormati kamu. Kalau begitu aku panggil Safira saja."
"Ya begitu, dong. Kamu aku panggil Mas Alif. Nggak apa-apa, kan?"
"Silakan, mau panggil Alif atau Mas Alif, Kang Alif, Bang Alif, bebas kok!"
"Duduk, lif! Gimana tadi soal temanmu, mau pesan apa?"
"Temenku ada yang mau nikah, terus dia mau buat seragam buat keluarganya. Tapi acaranya kurang seminggu lagi jadi waktunya sudah mepet, mau pesan ke tukang jahit juga nggak sempet. Mau beli online juga takut nggak sesuai katanya. Kira-kira kamu bisa bantu, nggak? Gamis sama baju koko, masing-masing sekitar sepuluh saja."
"Insyaa Allah, alhamdulillah ada produk baru yang ready stock. Aku kirim gambarnya ke nomermu saja bagaimana?"
"Oke, nanti aku kasih nomernya temanku juga, biar kalian lebih mudah komunikasinya. Nomermu berapa, Fania? Kita tetanggaan sudah lama tapi aku nggak pernah tahu nomermu."”
Fania tertawa mendengar ucapan Alif. Dia memang tidak pernah memberikan nomer ponselnya pada laki-laki.
"Fania memang nggak ada nomer kontak cowok."
"Ya sudah, sebutkan biar aku save."
"Nomerku nggak disave juga, Mas?" sahut Safira sambil tersenyum menggoda.
"Boleh, sini aku save sekalian," balas Alif, tak ingin membuat Safira kecewa. Safira adalah sahabat Fania dan Alif pun ingin berteman dengan gadis itu.
"Kamu kerja di mana, Mas?"
"Di PT. Mencari Cinta Sejati."
"Lho kita 'kan satu gedung. Kok kita nggak pernah ketemu?" Kantor ayah Safira ada di gedung yang sama tempat Alif bekerja.
"Aku bawa bekal dari rumah jadi nggak pernah keluar kantor kalau istirahat."
"Sudah aku kirim gambarnya ya, lif. Kamu kasih tahu temenmu dulu saja, semoga cocok," ucap Fania.
"Terima kasih, ya. Kalau begitu aku pulang dulu. Besok aku kabari lagi."
"Oke, Fania juga terima kasih."
"Ayo, Safira, aku pulang dulu."
"Oke. Kalau ketemu jangan sombong, ya?" Alif tertawa mendengar gurauan Safira.
"Hahaha ... oke!"
Alif pun berjalan meninggalkan rumah Fania. Gadis bercadar itu memperhatikan sahabatnya yang tersenyum sendiri sambil memandang Alif, sampai hilang dari pandangan mereka.
"Safira, kamu kenapa senyum-senyum begitu?"
"Cakep!" jawab Safira terus terang,
"Astaghfirullah ... jaga pandangan, Safira," protes Fania.
"Iya... iya, Ustadzah."
"Abimu juga cakep." Safira terkekeh.
"Ya pastilah, makanya anaknya juga cakep. Fania, kira-kira mamanya Alif type mertua yang baik atau julid, ya?"
"Duubh ... yang lagi jatuh cinta, sampai kepo sama calon mertua," sahut Fania, menggoda sahabatnya.
"Ya harus, dong! Kan kamu sendiri yang bilang kalau kita menikah itu bukan hanya menyatukan dua orang saja tapi juga dua keluarga. Mumpung cintaku belum berat, aku harus tahu dulu bagaimana calon mertuaku. Kalau mereka model julid bin medit, aku nggak maulah!"
Fania tersenyum mendengar alasan Safira. Selama ini dia selalu menasihati Safira tentang masalah pernikahan meskipun dia sendiri juga belum menikah. Safira pun selalu menuruti nasihat yang dia berikan.
"Tante Humaira insyaa Allah baik. Kalau seorang ibu terkadang cerewet, wajar saja. Apalagi Alif adalah putra satu-satunya."
Bagi Fania, Humaira memang orang tua yang baik. Meskipun Humaira sering ikut bergerombol dengan para tetangga mereka yang julid tapi Humaira tak pernah ikut-ikutan menghina, bahkan Humaira seringkali membelanya.
"Iya juga, sih. Aku kayaknya kalau jadi ibu juga cerewet. Hahaha ...."
"Sepertinya begitu." Kedua gadis itu pun tertawa.
"Eh, Fahri dan Fauzan juga putra satu-satunya. Jadi kamu juga harus bersiap-siap ucap Safira.
"Siap-siap ngapain? Aku juga putri Pak Bambang satu-satunya."
"Oh iya, ya... Hahaha ...."
"Entahlah Safira ... rasanya Fania belum ingin menikah. Tapi...."
"Fahri sudah melamarmu, kan? Tante Laras tadi sudah cerita. Bingkisan dari Fahri benar-benar bikin aku iri. Tasnya saja harganya berapa juta itu. Belum lagi set gamisnya dari merk terkenal. Kamu harus bersyukur punya calon suami yang royal. Mau cari yang bagaimana lagi?" Safira berusaha meyakinkan Fania agar mau menerima Fahri.
"Fania mau sholat istikharah dulu untuk lebih memantapkan hati. Pernikahan itu ibadah terlama. Fania nggak mau main-main," balas Fania.
"Dan sebentar lagi Fauzan akan datang marah-marah karena frustasi dan patah hati," sahut Safira.
"Tidak akan! Kata abi, keluarga Fauzan pasti sudah menyiapkan jodoh untuknya. Jadi, meskipun Fauzan nekat pun, kita nggak akan mungkin menikah dan abi juga pasti tidak setuju,” jelas Fania. Safira mengangguk mengerti.
"Aku lihat Fahri juga nggak kalah tampan dengan Fauzan. Apalagi dia low profil. Tapi semua keputusan ada di tanganmu. Insyaa Allah jawaban sholatmu nanti adalah iya. Kamu baik, Fahri baik, kalian berdua insyaa Allah cocok. Pasangan yang serasi. Kalau aku sama Alif, serasi nggak?"
"Serasi, kamu cantik, Alif tampan. Kalian berdua juga sama-sama baik dan konyol!"
"Alhamdulillah kalau begitu. Jadi aku nggak konyol sendirian.” Fania dan Safira pun kembali tertawa.
"Kalau begitu, aku pulang dulu. Sudah siang. Aku ada janji sama ummi habis ashar." Safira pun berpamitan pada Fania tapi Laras berjalan mendekat dan menahannya.
"Nak Safira, jangan pulang dulu. Ayo kita makan siang sama-sama. Sudah lama kamu nggak mencicipi masakan Tante."
"Ya ... gagal diet dong kalau begini." Fania menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
"Nggak apa-apa, dietnya ditunda besok," sahut Laras.
"Yuk, abi sudah menunggu." Safira dan Fania mengikuti langkah Laras ke ruang makan. Mereka pun berempat makan siang bersama. Safira sudah seperti saudara bagi Fania, begitu juga dengan Safira.
*********
Sementara itu di rumah Fauzan, Laila panik. Sabtu malam, bersamaan dengan Fahri melamar Fania, kedua orang tua Ghaffar membawa seorang gadis pilihan mereka. Gadis cantik blasteran Arab- Indonesia yang bernama Amira. Selama proses perkenalan, Fauzan hanya bicara seperlunya. Ingin marah dan menolak perjodohan tapi dia masih punya aturan. Fauzan tak ingin mempermalukan kedua orang tuanya di hadapan keluarga besarnya dan keluarga besar Amira. Namun, setelah semuanya pulang, Fauzan mengurung diri di kamar sampai Minggu malam.
"Fauzan ... Tolong buka pintunya ...." Laila dan Ghaffar berdiri di depan pintu kamar Fauzan.
"Bagaimana ini, Bi? Dari tadi malam anak kita nggak mau keluar kamar. Dia belum makan, Bi." Ghaffar berdecak kesal. Dia sudah menggedor pintu kamar tapi Fauzan tak kunjung keluar.
"Biarkan saja, kalau lapar pasti dia keluar kamar!" sahut Ghaffar.
"Bi, nggak bisa begitu. Kalau Fauzan sakit bagaimana?" Laila tak terima dengan ucapan Ghaffar.
"Dia tidak akan sakit. Dia laki-laki yang kuat. Sudahlah, mau bagaimana lagi. Kita juga nggak bisa melawan orang tua kita. Aku rasa Amira gadis yang baik. Fauzannya saja yang sudah terobsesi gadis bercadar itu."
"Bi, kalau Ummi minta tolong Fania untuk membujuk Fauzan gimana? Abi setuju nggak?" Pertanyaan Laila membuat Ghaffar semakin geram.
"Ummi jangan aneh-aneh! Bisa-bisa yang namanya Fania itu nanti malah menghasut Fauzan," jawab Ghaffar tak setuju.
"Tidak, Bi. Fania bukan gadis seperti itu. Ummi yakin kalau Fania yang bicara, Fauzan pasti nurut," bujuk Laila.
"Terserah Ummi. Abi nggak mau pusing ngurusin anak itu. Sudah dewasa kelakuannya masih saja seperti balita. Ini semua gara-gara Ummi terlalu memanjakannya. Kalau sampai gadis yang bernama Fania itu bikin ulah, Ummi yang tanggung jawab!" Ghaffar meninggalkan Laila sendiri yang masih berdiri di depan pintu kamar Fauzan. Laila menghela napas panjang, merasa kasihan dengan putranya tapi dirinya tak berdaya.
Fania berangkat bekerja bersama Bambang. Rencana berangkat bersama Dinda terpaksa dia urungkan. Dinda ijin libur karena keadaan Mak Ijah yang semakin parah. Toko Fania hari ini sangat ramai. Fania membantu Mawar dan Citra melayani para pembeli. Tepat pukul empat sore, Bambang menelepon putrinya. Bambang sudah dalam perjalanan menjemput Fania. Gadis bercadar itu segara merapikan berkas-berkas yang ada di meja kerjanya.
"Mbak, ada yang mau bicara sama Mbak, katanya mamanya Mas Fauzan." Fania mendesah perlahan mendengar ucapan Mawar. Tubuhnya ingin segera diistirahatkan tapi terpaksa harus ditunda karena kedatangan wanita cantik itu.
"Suruh masuk saja," balas Fania terpaksa.
"Baik, Mbak." Mawar segera berjalan menemui Laila yang masih berdiri di dekat pintu. Laila pun mengikuti langkah Mawar menuju ruang kerja Fania.
"Assalamu'alaikum, Fania."
"Wa'alaikumussalaam, Ummi. Silakan duduk," jawab Fania dengan sopan.
"Fania, maaf kalau Ummi mengganggu. Ummi mau minta tolong sama kamu."
"Minta tolong apa ya, Ummi?" tanya Fania penasaran.
"Kakek neneknya Fauzan menjodohkan Fauzan dengan gadis pilihan mereka di hari Sabtu malam kemarin. Setelah semuanya sepakat, Fauzan masuk kamar. Sudah dua hari ini Fauzan nggak mau makan dan minum." Perasaan Fania tiba-tiba gelisah mendengar cerita Laila.
"Apa yang bisa Fania lakukan, Ummi? Fauzan sudah dewasa, bukan ABG lagi," ucap Fania.
"Ummi tahu, Fauzan sangat mengagumi kamu. Barangkali kamu bisa menasihatinya karena setahu Ummi, hanya kamu yang bisa meluluhkan hati Fauzan. Ummi mohon ...."
"Fania nggak janji. Fania ijin abi dulu," sahut Fania.
"Kalau perlu Ummi akan datang ke rumahmu. Ummi akan menjemputmu dan minta ijin pada abi dan ibumu. Tolong Ummi, Fania. Kalau menunggu lama, Fauzan bisa sakit." Laila berusaha membujuk Fania agar mau menasehati Fauzan.
Tanpa sepengetahuan Fania dan Laila, Bambang yang berniat menjemput putrinya, sudah mendengarkan percakapan mereka di balik dinding ruangan Fania.
"Ada apa Mbak Laila?" Laila dan Fania terkejut dengan kedatangan Bambang.
"Ini... Aku mau minta tolong Fania untuk membujuk Fauzan. Dia marah karena dijodohkan oleh kakek neneknya. Sudah dua hari ini dia nggak mau makan dan nggak mau bicara," jawab Laila terus terang.
"Kenapa harus Fania yang membujuk Fauzan?" Bambang berusaha menolak.
"Aku rasa Fauzan pasti mau mendengarkan nasihat Fania," balas Laila yakin.
"Mbak Laila ... Fania dan Fauzan bukan mahram. Tidak sepantasnya Mbak Laila menyuruh putri saya untuk membujuk Fauzan!" tegas Fauzan.
"Tolonglah, Bambang. Aku mohon, kali ini saja. Kasihan Fauzan. Aku yang berjanji membantunya mendapatkan Fania ternyata aku sendiri tidak berdaya. Fauzan adalah putraku satu-satunya. Bahkan abinya sendiri sudah tidak peduli. Harapanku hanya pada Fania saja, aku yakin Fania pasti bisa membujuk Fauzan." Laila terus saja merengek. Bambang pun menghela napas panjang kemudian mengembuskannya dengan kasar. Sementara Fania hanya diam memperhatikan. Fania percaya dan patuh pada keputusan Bambang.
"Baiklah, Fania akan saya ijinkan menemui Fauzan tapi dengan satu syarat," tegas Bambang. Laila mengangguk setuju.
"Katakan saja, aku akan mengusahakan apa pun itu,"
"Fania akan menemui Fauzan bersama gadis pilihan kakek neneknya ...."
"Kenalkan, ini Amira--calon istri Fauzan."
Laila akhirnya menyetujui syarat yang diajukan Bambang. Dia tak ingin putranya terus-menerus mengurung diri di kamar. Fania dan Amira berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing,
"Fania."
"Amira."
"Baiklah, Ummi sudah memenuhi permintaan abi kamu. Tolong bujuk Fauzan agar mau menerima perjodohannya dengan Amira. Ummi hanya tidak mau ada keributan di rumah ini. Abinya Fauzan sepertinya sudah tak sabar dan Ummi takut mereka bertengkar," pinta Laila dengan pandangan mata memohon. Fania mengangguk mengerti.
"Insyaa Allah, Fania akan mencoba."
"Maaf, Amira, Ummi terpaksa memanggil Fania untuk bisa menasihati Fauzan," ucap Laila pada Amira. Laila meminta tolong pada Amira untuk datang ke rumahnya.
"Tidak apa-apa, Ummi. Saya mengerti," balas Amira sambil tersenyum. Fania dan Amira berdiri di depan pintu kamar Fauzan. Laila hanya memperhatikan dari kejauhan.
"Fauzan ... buka pintunya. Ini aku ... Fania..."
Fauzan sedang merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar. Mendengar suara Fania, dia meloncat dari ranjangnya dan langsung membuka pintu. Fauzan tersenyum senang melihat gadis pujaannya berdiri di hadapannya. Namun senyum itu langsung menghilang, saat melihat Amira yang berdiri di samping Fania.
"Hemm ... kenapa sama dia?" Fauzan berdecak kesal.
"Boleh kita bicara?" Fania bertanya dengan sabar.
"Mau bicara apa? Apakah Ummi yang memintamu datang ke sini? Apakah kamu datang untuk memberikan ceramah padaku?" cerca Fauzan.
"Kalau kamu tidak mau, Fania pulang!" tegas Fania.
"Jangan!" sahut Fauzan.
"Baiklah, ayo kita bicara di taman belakang." Fauzan pun terpaksa mengiakan. Dia tak ingin membuat Fania membenci dirinya. Dari dulu Fauzan benar-benar tak bisa berkutik jika berhadapan dengan gadis bercadar itu. Setelah mereka bertiga duduk berhadapan, Fania pun mulai percakapan.
"Fauzan ... lihatlah calon istrimu. Dia cantik dan shalihah. Dan Fania yakin kalau Amira juga pasti mau dijodohkan denganmu karena terpaksa. Betul 'kan, Amira?" Amira terkejut mendengar pertanyaan Fania.
"Dari mana kamu tahu?"
"Tentu saja Fania tahu. Ekspresi wajahmu terlihat sedih, tidak ceria seperti kebanyakan gadis yang bertemu dengan pujaan hatinya. Kalau kamu suka dengan Fauzan, pasti wajahmu akan ceria saat datang ke rumah ini. Kamu juga tidak cemburu ketika melihat Fania," jawab Fania dengan suaranya yang merdu dan lembut.
"Ya, aku memang menyukai pemuda lain tapi orang tuaku tidak setuju," balas Amira terus terang.
"Kamu dengar sendiri 'kan, Fauzan? Bukan hanya kamu yang menderita tapi Amira juga. Kenapa kamu harus mengurung diri di kamar dan tidak mau makan? Kamu mendzalimi dirimu sendiri!" Fauzan tersenyum masam mendengar tuduhan Fania, meskipun yang dikatakan Fania benar.
"Aku hanya ingin sendiri, tidak ada niat mendzalimi diri sendiri." Fauzan mencoba mencari alasan, membela diri.
"Kalau ingin sendiri, bisa 'kan bicara terus terang sama ummi dan abimu. Kasihan orang tuamu. Mereka pasti sedih, terutama Ummi Laila. Apa kamu nggak malu sama Amira?
Dia seorang gadis tapi masih terlihat tegar meskipun hatinya tak terima."
Ucapan Fania kembali membuat Fauzan tak berdaya. Dia pun menyadari, dirinya masih belum dewasa dalam menghadapi masalah. Melihat Fauzan dan Amira yang hanya diam, Fania pun melanjutkan ucapannya.
"Orang tua pasti memilihkan yang terbaik buat putri dan putra mereka. Setidaknya, cobalah untuk menerima dan mencari tahu bagaimana sifat dan karakter calon pasangan kalian. Bisa dari teman atau saudara. Atau kalau ingin yang pasti, kalian bisa sholat istikharah terlebih dahulu untuk memantapkan hati kalian berdua. Maaf, bukannya Fania lancang menasehati karena kalian pasti lebih berilmu. Tapi Fania sendiri ingin yang terbaik buat kalian berdua. Terutama kamu, Fauzan!"
"Fania, apakah kamu suka dengan Fauzan?" tanya Amira penasaran.
"Kenapa, Amira? Suka atau tidak, apakah ada pengaruhnya buat kalian?" Amira menggelengkan kepala.
"Paling tidak, aku bisa berusaha membuat kamu dan Fauzan bersatu." Fauzan terlihat sangat mencintai Fania dan Amira ingin mengalah.
"Agar kamu bisa bersatu dengan pujaan hatimu?" Pertanyaan Fania membuat Amira bingung mencari jawaban.
"Bukan ... bukan seperti itu, aku hanya ingin membantu," bantah Amira, Fania tersenyum di balik cadarnya. Fauzan hanya memandang gadis pujaannya itu dengan kagum.
"Maaf, Fania ucapkan terima kasih. Tapi perlu kalian berdua ketahui, saat ini Fania sudah dikhitbah oleh seseorang. Jadi, maaf kalau Fania menolak tawaranmu, Amira. Lagi pula, kita tidak mungkin menikah kalau salah satu dari keluarga kita tidak setuju. Dan Fauzan tahu itu!" Fania memberi ketegasan pada Fauzan dan Amira.
Fauzan menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Dia menyerah mendengar penjelasan Fania. Fauzan memperhatikan wajah Amira. Cantik, kulit putih mulus tanpa jerawat, hidung mancung, alis tebal, bola mata bulat dengan bulu mata yang lentik, dengan senyum yang menawan. Amira pun terlihat baik dan sopan.
"Baiklah, aku akan mencoba menerima Amira," ucap Fauzan.
"Aku juga akan mencoba menerima Fauzan," sahut Amira. Fania pun tersenyum bahagia.
"Baiklah, Fania pamit kalau begitu. Kalian pasangan yang cocok. Pacaran setelah menikah, pasti akan membuat rumah tangga kalian lebih bahagia dan berkah." Fania beranjak dari duduknya dan berpamitan.
"Aku akan mengantar kalian pulang,” ujar Fauzan pada Fania dan Amira.
"Tidak perlu ...."
"Tolong, ini untuk yang terakhir kali," pinta Fauzan.
"Bukan itu masalahnya. Kalian berdua bukan mahram dan tidak pantas kalian pergi berduaan setelah mengantar Fania pulang.” Fania menjelaskan agar Fauzan tidak salah paham. Laila yang mendengarkan percakapan mereka, langsung mendekat.
"Kalau begitu, Ummi akan ikut."
"Baiklah, kalau begitu Fania setuju.”
Akhirnya Fauzan dan Laila mengantar Fania dan Amira pulang. Laila tersenyum, melihat Fauzan yang sudah terlihat ikhlas menerima perjodohannya dengan Amira. Begitu juga dengan Fauzan dan Amira yang membenarkan semua ucapan Fania, memberontak pun percuma karena hanya mempermalukan keluarga dan semakin menambah masalah. Laila meminta Amira duduk di samping Fauzan yang mengemudi, sementara dirinya duduk di samping Fania. Selama dalam perjalanan, Laila berulang kali membisikkan ucapan terima kasih pada gadis bercadar itu. Sesampainya di rumah, Fania langsung membersihkan diri kemudian makan malam bersama. Setelah selesai membersihkan meja makan dan mencuci piring, Fania duduk di ruang keluarga bersama Bambang.
"Bagaimana, sudah beres?" tanya Bambang pada putrinya. Bambang terpaksa pulang sendiri, sementara Fania pergi ke rumah Fauzan bersama Laila.
"Insyaa Allah, Fania hanya berusaha. Selanjutnya terserah mereka," jawab Fania.
"Kamu tidak sakit hati 'kan, Nduk?" tanya Bambang dengan hati-hati.
"Kenapa harus sakit hati, abi?"
"Jangan membohongi dirimu sendiri. Abi tahu kamu punya perasaan sama Fauzan." Fania tersipu, tak mampu bicara. Dalam hati, Fania membenarkan ucapan abinya.
Bambang tersenyum, melihat kedua pipi putrinya yang merona. Bambang menarik napas dalam sebelum melanjutkan ucapannya.
"Tapi Abi bangga sama kamu. Kamu tidak seperti gadis-gadis zaman sekarang yang menentang kedua orang tuanya demi pria pujaannya.” Fania tersenyum menanggapi ucapan Bambang.
"Insyaa Allah Fania tidak akan seperti itu, abi. Allah Maha Tahu mana yang terbaik buat Fania. Fauzan memang sangat tampan tapi sifatnya sering kekanak-kanakan. Fania mencari imam yang bisa membimbing istri, bukan Fania yang membimbing suami. Dan Fania tidak ingin memilih suami hanya karena fisiknya saja." Penjelasan Fania membuat Bambang tersenyum bangga.
"Masyaa Allah, Abi sangat bersyukur memiliki putri sepertimu."
"Ini semua juga ajaran dari Abi. Fania bangga menjadi putri Abi," sahut Fania tak mau kalah. Bambang pun terkekeh.
"Lalu, bagaimana dengan lamaran Fahri? Apa kamu sudah mendapatkan jawaban?"
Fania menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Tak mudah baginya memberikan jawaban meskipun Allah sudah memberikan petunjuk yang baik untuknya. Perasaannya masih belum tenang.
"Fania masih ada sedikit ganjalan dan waktu itu Fania lupa bertanya pada Ummi Aini dan Fahri," jawab Fania terus terang,
"Kalau Abi boleh tahu, apa itu?" tanya Bambang penasaran.
"Soal pamannya Fahri. Dia pernah datang ke toko Fania dan mengancam agar Fania nggak dekat-dekat dengan Fahri karena Fahri sudah dijodohkan."
"Kalau benar Fahri sudah dijodohkan, kenapa Ummi Aini melamarmu? Bahkan dia juga memberikan banyak bingkisan," ujar Bambang tak percaya.
"Memang sih, Fania dengar sendiri Fahri menolak keras perjodohan itu. Fahri bicara dengan gadis itu di depan Fania. Itulah kenapa Fania masih ragu menerima Fahri. Fania takut, keluarga Fahri sama seperti keluarga Fauzan." Fania menceritakan semuanya pada Bambang.
"Kalau melihat Ummi Aini, Abi yakin mereka berbeda. Mungkin itu hanya keinginan pamannya saja. Coba nanti kalau bertemu mereka, kamu tanyakan langsung pada Fahri atau Ummi Aini," ujar Bambang meyakinkan putrinya.
"Iya, abi. Insyaa Allah pasti Fania tanyakan. Fania tidak mau ada masalah di belakangnya nanti apalagi kata pamannya, gadis itu sudah dilamarnya. Makanya Fahri sempat marah karena merasa pamannya berbuat seenaknya." Bambang mengangguk mengerti.
"Sudahlah, sekarang lebih baik kita istirahat. Satu Minggu ini Abi tidak ada lembur, jadi berangkat bareng Abi saja."
"Baik, abi. Ummi sudah tidur, ya?"
"Sudah. Katanya kurang enak badan tapi kamu nggak usah khawatir. Sebelum tidur, ummi sudah minum obat."
"Kalau besok ummi masih sakit, lebih baik Fania di rumah saja, abi. Kasihan kalau ummi sendirian."
"Kita lihat saja besok. Ya sudah, Abi tidur dulu. Kamu jangan tidur malam-malam."
"Iya, abi."
Bambang masuk ke dalam kamar, sementara Fania masih duduk sendiri sambil memandang layar ponselnya, mengecek orderan yang masuk dan laporan dari Mawar. Suasana rumah yang sepi, membuat nada dering ponsel Fania terdengar kencang. Fania pun terkejut dan langsung menjawab panggilan telepon yang masuk.
"Assalamu'alaikum, Fania, maaf kalau telepon malam-malam," sapa Alif melalui ponselnya.
"Wa'alaikumussalaam ... ada apa, lif?"
"Mau menyampaikan kalau temanku suka dengan baju yang kamu tawarkan kemarin. Insyaa Allah besok dia akan ke tokomu. Apa barangnya ready? Sepertinya langsung diambil sekalian," jelas Alif.
"Alhamdulillah, barangnya ready di toko. Besok insyaa Allah Fania siapkan. Terima kasih ya, lif," balas Fania senang.
"Sama-sama. Aku juga terima kasih. Kalau begitu aku tutup teleponnya. Besok insyaa Allah aku ikut ke tokomu."
"Baiklah, Fania tunggu."
Setelah mengucap salam, Alif mengakhiri percakapan mereka. Bibir Fania tersenyum dan tak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur.
"Alhamdulillah, Ya Allah. Alhamdulillah ... Semoga berkah ... Aamiin." Fania beranjak menuju kamar mandi. Seperti biasa, Fania berwudhu terlebih dahulu sebelum mengistirahatkan badan.
*******
Setelah menutup telpon, tiba-tiba Humaira masuk ke kamar alif.
" Ada apa ummi? " Alif bertanya pada umminya yang tiba-tiba masuk ke kamarnya
" ummi lagi pingin lif...mau kan?" Ucap humaira sambil membuka gamisnya, Alif lihat umminya tak memakai celana dalam.
Melihat pemandangan seperti itu seketika nafsu alif langsung bangkit, humaira lalu tiduran dengan posisi mengangkang.
" Ayo lif … jangan lama lama sudah basah ini dari tadi" ucap Humaira sambil menggosok kemaluanya dengan tangan.
Alif merangkak di atas tubuh Humaira bermaksud untuk mencium bibirnya namun tangan Humaira menjambak rambutnya dan mengarahkan kepala Alif ke selangkanganya. Meski sedikit terpaksa Alif ikuti saja kemauan umminya, Alif jilati bibir kemalun umminya dan Alif sedot sedot lubang nya.
" Ohhhh hhmmmmmm" desah Humaira tertahan, dia menggigit bibir bawahnya sendiri. Tanganya semakin menekan kepala Alif dan desahannya semakin kuat ketika Alif memainkan daging kecil diatas lubang kemaluanya.
" Ahhhmmm ahhmmmm hmm teerusshhh lif ,, iya itu pas disitu terus lif ohhhhh" Humaira mulai meracau tidak karuan.
Alif membuka celana tanpa sepengetahuan Humaira, setelah itu satu jari Alif dia masukan ke kemaluan umminya membuat Humaira semakin kelojotan.
" Hoohhoohoo terus lif..enaakkk ahhhh ohhh" Humaira semakin liar bergerak tanganya kini meremasi payudaranya sendiri.
" Alif..ummi… keluar lif… ah ah ah…. Lif… keluuarrr ahhh" pinggul Humaira terhentak hentak sesaat sebelum mengejang kaku.
Mata Humaira terpejam dan tanganya masih meremasi payudaranya sendiri menikmati sisa sisa orgasme yang barusan dia capai. Alif lebarkan kaki Humaira lalu Alif tarik tangan umminya ke atas kepalanya dan menahannya dengan satu tangan sementara tangan yang satunya mengarahkan kemaluannya yang sudah tegang dari tadi ke lubang kemaluan Humaira.
"Hmmm ternyata klinik itu tidak bohong ,,, benar benar tambah besar kontolku" batin alif saat memegang kemaluannya.
Seminggu yang lalu alif pergi ke klinik tradisional untuk memeperbesar penisnya dan ternyata berhasil. Humaira masih ngos ngosan dengan mata terpejam, dia hanya tersenyum sedikit saat merasakan ujung kemaluan anaknya menempel di bibir kemaluannya.
" Ahhh" Humaira mendesah pelan saat alif menggesekan kemaluannya di bibir kemaluanya yang sudah sangat becek itu.
" Ahhhmmmmm … hmmmppffff' teriak humaira cukup keras namun Alif membekap mulutnya agar tak terdengar sampai luar.
Matanya yang tadi terpejam seketika langsung terbelalak molotot ke arah alif, kakinya meronta Ronta sementara tanganya berusaha lepas dari kuncian alif saat Alif dengan sekuat tenaga mendorong kemaluannya kedalam lubang kemaluan Humaira.
"Uhhh" sempit sekali alif rasakan tak seperti biasanya.
Alif mendorongnya sampai mentok sementara Humaira masih kelojotan tidak karuan dan berteriak histeris, untung Alif sudah bekap mulutnya kalau tidak pasti akan terdengar sampai luar. Kakinya meronta Ronta mencoba melepaskan diri dari dekapan alif namun hal itu justru membuatnya semakin merasakan kenikmatan karena rasanya seperti di plintir-plintir kemaluan alif di dalam kemaluanya. Mata Humaira semakin melotot dan wajahnya terlihat memerah saat Alif mulai menggerakkan pinggulnya.
" Plok plok plok" Alif menggenjot umminya dengan tempo pelan namun kuat sampai mentok dia rasakan.
"Hmmpff hmppff' Humaira seperti mendesah namun tertahan oleh tangan alif tiap kali kemaluan alif keluar masuk, sempit sekali alif rasakan.
" Ahhh nikmat banget ummi .. seret ahhh ahh" Alif juga mendesah kerena nikmatnya lubang Humaira.
terlihat wajah Humaira kini sudah berubah dan kakinya pun sudah tidak tegang lagi, Alif lalu melepaskan dekapan di mulut umminya dan melepaskan tangannya. Tangan Humaira langsung memukul mukul dada Alif.
" sakit alif,,,penuh banget kemaluan ummi, perih lif" ucap Humaira begitu tangan alif lepas dari bibirnya. Alif hanya tersenyum saja tak menjawabnya, Alif menggerakkan kembali pinggulnya namun Humaira menahannya.
" Sebentar lif ... masih ngilu biar adaptasi dulu ..." Ucap Humaira lalu menggigit bibir bawahnya, seksi sekali Humaira dengan ekspresi seperti itu. Kemaluan Humaira seperti berkedut kedut, nikmat sekali rasanya.
" Kok jadi besar banget sayang ,, seperti mau robek rasanya ahhmmm" Humaira meracau tak jelas.
“Goyang pelan pelan lif" ucap Humaira.
Alif ikuti kemauan umminya, Alif goyangkan pinggulnya pelan maju mundur namun dengan sodokan yang kuat.
"Ohhhhh mantap lif... mentokhh" Humaira kembali meracau.
"Ahh ahh terus lif ohhhh" Humaira mendesah keenakan.
Seret sekali rasanya, tanpa memberi aba aba dulu Alif langsung mempercepat tempo kocokannya hingga membuat Humaira kembali mendesah tidak karuan.
“Hmmmpp hmpff hmmpff" hanya itu suara yang terdengar ketika kemaluannya keluar masuk dengan cepat menyodok kemaluan umminya.
Tangan Humaira meremas sprei sementara kakinya Kini membelit pinggang alif dan menekannya ke bawah.
“Plok plok plok” Alif semakin kuat menekan kemaluannya ke lubang kemaluan Humaira, semakin lama Alif percepat ritme genjotannya, enak sekali dia rasakan ada yang mendesak hendak keluar dari ujung kemaluannya dan ahhhhhhhh "crot crot crot " Alif masukan sampai mentok di lubang kemaluan Humaira.
"Ahhhhhh" Humaira juga mengejang diwaktu hampir bersamaan sepertinya dia juga keluar.
Alif mencabut kemaluannya dan membersihkannya sementara Humaira masih tiduran telentang dengan nafas yang masih belum stabil.
"Gila kamu lif...kok bisa jadi gede begitu" ucap Humaira sesaat kemudian.
“Mantap kan ummi...seret banget rasanya" Alif juga tak menyangka sebelumnya kalau ternyata benar-benar jadi besar.
"Enak lif tapi ngilu banget rasanya, sakit untung tidak robek tadi" ucap Humaira sambil membersihkan kemaluannya.
“Bisa bisa semakin ketagihan ummi sama kontolmu lif" ucap Humaira lalu memakai kembali bajunya dan Kembali ke kamarnya, Alif lihat cara berjalan umminya agak lain dari biasanya mungkin efek sodokannya tadi yang terlalu kuat.
Setelah itu Alif melanjutkan tidur karena capek juga rasanya habis olahraga malam-malam begini.
********