Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT L O C K E D

Ekstra part ngga? Kalo ngga yaudah, bisa santui-santui manja saya.

Apa udah di tinggalin ini kapal karamnya?
Ekstra part boleh, season 2 juga boleh hu, angkat lagi kapal karamnya.

Btw, menurut ane Keyra dan Virgo pisah itu sudah ending yg paling naiiss
 

Extra Part​

Akhir yang Sebenarnya​








Denting sendok dan piring beradu meramaikan meja makan, dari dua sosok pria berwajah tenang yang duduk saling berhadapan. Tidak seperti sesi sarapan di kediaman lain yang di penuhi canda dan guraun, suasana sarapan di rumah ini justru pekat sekali dengan aura kesedihan.

Bukan dari dua sosok dua pria tersebut aura itu muncul, melainkan dari seorang wanita yang berada di dapur sedang menyiapkan sarapan. Virgo, Reno, dan Nessa adalah tiga orang penghuni rumah besar yang minim keramain tersebut.

Sarapan pagi lengkap bertiga sebenarnya adalah hal yg langka di kediaman ini. Tapi sekalinya ada, itu malah di sebabkan oleh adanya perpisahan yang sudah membayangi.

Aura kesedihan sangat jelas tergambar dan terasa pada sosok Nessa yang menamengi diri dengan wajah datarnya. Semuanya dapat terlihat dari gerakannya yang sangat lambat. Dari saat menuangkan makanan ke wadah, hingga saat berjalan menuju meja makan dan bergabung dengan yang lainya.

Kemarin malam ribut besar terjadi lagi antara Nessa dan Virgo setelah pria itu bilang akan pulang. Nessa yang tidak mau ditinggal jelas menjadi marah dan menolaknya. Berbagai cara dilakukannya sebagai pencegahan, namun hasil yang di dapat masih tak berjalan sesuai harapan.

Rentetan pertanyaan Nessa ajukan, termasuk konsistensi atas ucapan yang pernah pria itu berikan. Sebuah ikrar untuk membahagiakan yang sangat ia harap-harapkan, tapi pada akhirnya lagi-lagi ia di kecewakan.

Sampai pada akhirnya, sebuah kisah pun ia dapat dari Virgo, tentang alasan kenapa pria itu memutuskan pergi dari sini dan memilih pulang.

Intinya, pria itu sedang tidak baik-baik saja. Dan setelah mendengar cerita dari Virgo, ada sebuah hal yang ia sadari kemudian. Untuk bisa membahagiakan orang lain di sekitar, pastikan dirimu sudah bahagia lebih dulu.

Kesadaran itulah yang akhirnya membuat Nessa mau tak mau harus melunak dan terpaksa membiarkan Virgo pulang. Walau sebenarnya ia ingin berlaku egois dan mempertahankan Virgo agar tetap disini, ia sadar itu tak bisa terjadi. Karena jika ia tetap menahan, yang ada Virgo akan semakin merasa tertekan. Dan ujung-ujungnya, mereka akan sama-sama tenggelam dalam kesedihan.

Di sisi lain, Reno yang sejak tadi tak mendapat sapaan atau sentuhan hangat apapun dari sang istri tentu kebingungan dan bertanya-tanya apa yang terjadi. Apalagi Nessa bahkan belum menyuap sesendok pun makanan yang hanya ia aduk-aduk sekarang.

"Kenapa ngga di makan?" tanya Reno lembut sembari mengusap bahu sang istri dengan sayang. "Kamu ngga selera?"

Perhatian yang Reno berikan sudah pasti langsung menyandarkan Nessa dari lamunan. Ia menoleh cepat pada sang suami, begitu juga senyum simpul yang kemudian mengikuti. "Engga kok. Ini baru mau di makan." dengan sangat terpaksa, Nessa mulai menyuap makanan kedalam mulutnya.


Reno cuma bisa ikut tersenyum menanggapi hal itu dan kembali melanjutkan makan walaupun sadar jika sang istri sedang tak berselera. Tapi biarlah, ia takkan menghentikan ataupun memaksa Nessa untuk makan. Biar istrinya melakukan sesuai kehendaknya.

Tepat di depan mereka, tampak Virgo memerhatikan semua itu dalam diam. Ia bahkan sudah menghentikan kegiatan makannya sesaat setelah kakaknya Nessa bergabung di meja makan. Fokusnya hanya tertuju pada sosok wanita di depannya yang tampak lesu.

Beragam dugaan terbentuk dikepalanya atas tingkah sang kakak Nessa. Namun kemudian ia mendapat sebuah kesimpulan yang paling masuk akal, dan itu pasti terkait kepergiannya yang tinggal beberapa saat lagi.

Helaan napas panjang Virgo lakukan. Jujur Ia merasa tak enak hati jika keputusannya untuk pergi malah membuat sang kakak sampai seperti ini.

Tapi mau bagaimana lagi, sungguh ia sangat butuh menyehatkan dan menguatkan mentalnya setelah semua yg terjadi. Dan pulang adalah satu-satunya solusi terbaik sejauh yang ia ketahui.

"Kamu beneran ngga mau pake mobil aja Vir?" tanya Reno tiba-tiba setelah sempat menatap adik sepupu istrinya itu untuk sesaat. "Mobil kakakmu ngga pernah di pake itu loh. Atau pake mobil abang juga ngga papa dari pada naik motor. Agak bahaya pake motor buat perjalan jauh."

Sebenarnya pembahasan ini sudah terjadi saat Nessa membawa berada di dapur tadi. Hanya satu alasan kenapa Reno membahas hal ini lagi, yaitu meminta dukungan sang istri untuk merubah keputusan Virgo menggunakan motor.

Masih dengan jawaban yang sama, Virgo menggelengkan pelan kepalanya. "Engga, Virgo bawa motor aja. Lebih nyaman dan lebih cepet nyampe."

Reno mengangguk paham dengan mata melirik ke arah sang istri, menunggu sang jenderal angkat bicara.

"Jangan bawa motor, terlalu gede resikonya. Apalagi kamu bawa barang." datar Nessa bersuara layaknya biasa, tapi tatapannya sangat mengintimidasi sang lawan. Senyum senang berkembang di bibir Reno atas keberhasilan rencananya. "Bawa mobil yang biru, kakak ngga mau tahu."

Virgo menanggapi santai intimidasi dan titah yang Nessa berikan. Butuh lebih dari itu untuk bisa membuatnya berubah pikiran. "Bukan sekali dua kali Virgo pergi jauh bawa motor Kak, jadi ngga udah khawatir." jawabnya tenang dan santai. "Lagian ada hal yang lebih penting buat di bahas ketimbang masalah Virgo pergi naik apa."

Kerutan seketika terbentuk di dahi Reno dan Nessa yang bingung dan penasaran apa maksud dari Virgo. Untungnya Reno lebih dulu menyuarakan rasa penasaran. "Emang apa?"

"Kalau Virgo pulang dan Bang Reno keluar kota, siapa yang temenin Kak Nessa?" santai Virgo bertanya, tapi efeknya sangat luar biasa. "Jadi Virgo minta sama Abang, tolong kurangin keluar kotanya. Atau kalau bisa ngga usah pergi-pergi lagi." perlahan raut Virgo mulai berubah. Ada kesinisan yang tampak di matanya. "Kasian Kak Nessa dirumah sendirian. Ngga ada Virgo lagi yang nemenin atau jagain, termasuk antar jemput waktu kerja atau yang lain. Tugas Abang sebagai suami Virgo kembaliin, jadi tolong dilakuin."

Seketika sunyi hadir diantara mereka bertiga. Reno yang terdiam dan melamun, Nessa yang sibuk memelototi Virgo tanpa ampun, dan Virgo sendiri asik meminum air putihnya tanpa peduli apa yang telah di katakan sedikitpun.

Untungnya ada bunyi gelas yang beradu dengan meja marmer kemudian, dan dilanjutkan dengan suara dari gesekan lantai dan kursi saat Virgo berdiri.

Tapi rupanya Virgo belum selesai. Masih ada lagi yang ingin ia katakan. "Atau kalau mau, Abang bisa tetap keluar kota kayak biasanya kok." sontak Reno mendongakkan kepala menatap Virgo. "Tapi biarin Virgo ajak Kak Nessa pulang sekalian. Dari pada disini sendirian kayak orang ngga punya suami."

"Virgo!" seketika Nessa berdiri duduknya. Wajahnya memerah, amarahnya naik drastis.

Seringai tipis Virgo beri dengan cuma-cuma untuk Reno yang tak bisa berkata. Lalu setelahnya ia mulai melangkah meninggalkan ruangan berisi orang-orang munafik dan sok kuat yang merasa semuanya baik-baik saja.

"Virgo!" kembali Nessa berteriak dan siap mengejar Virgo, namun tangan Reno lebih cekatan menahan sang istri.

"Udah Ness," Reno berusaha menarik Nessa agar kembali duduk disebelahnya. "Apa yang Virgo omongin emang bener, kok."

"Tapi ngga dengan tingkah kurang ajar gitu Mas!" walaupun bisa dikatakan suaminya memang salah, tapi bukan begitu cara penyampaian yang seharusnya Virgo lakukan. Ada banyak cara yang lebih baik dan sopan, dari pada menggunakan kalimat sindiran ataupun langsung menusuk dan menyakitkan.

"Duduk dulu, jangan emosi." sedikit tarikan Reno lakukan, karena yang pertama tak berhasil dituruti oleh Nessa.

Setelah Nessa mau menurut untuk duduk, usaha menenangkan coba Reno lakukan dengan mengusap-usap kedua bahu sang istri. Sekalian juga ia menyiapkan kalimat-kalimat untuk ia ucapkan pada Nessa nanti.

Jika di pikirkan, sepertinya ada keadaan yang terbalik disini. Bukan Nessa yang seharusnya marah dan emosi atas kalimat-kalimat pedas yang Virgo lontarkan disini. Agak aneh apabila Nessa malah marah disaat Virgo justru mewakilkan dan menyuarakan perasaannya.

Lalu kenapa istrinya selama ini diam saja? Bersikap seolah semuanya baik.

Bukan ia tak merasa telah mengabaikan Nessa. Ia sadar akan hal itu. Tapi sejauh ini Nessa sama sekali tak bersuara, Jadi ia pun menyimpulkan semuanya baik-baik saja.

Tapi berkat Virgo, akhirnya gerbang pun terbuka sekarang. Tinggal apa tindakkan yang akan ia lakukan, mau atau tidak mengambil kesempatan, dan berbicara secara mendalam dengan sang istri yang tepat ada di depan.

Deretan kata sudah terangkai sedemikian rupa di kepala, dan terlihat Nessa sendiri pun sudah lebih tenang dari sebelumnya, jadi ini saatnya Reno untuk berbicara.

Merasa sudah siap, pergerakan pun mulai Reno lakukan. Mengganti elusan menjadi genggaman pada tangan, dan mulai menatap sang istri yang tampak kebingungan.

"Maafin Mas ya Ness, karena selama ini ngga punya waktu buat kamu." raut kesungguhan terlihat di wajah Reno. Karena ia memang sangat bersungguh-sungguh di setiap katanya. "Banyak yg mau Mas bilang, tapi Mas bingung gimana ngomongnya."

Saling tatap terjadi pada keduanya, mencoba menyelami netra masing-masing lawan. Nessa memilih setia diam, meski sejatinya sudah sangat gatal ingin bersuara dan bertanya apa maksudnya.

"Udah dua tahun lebih kita nikah, tapi pernikahan kita masih gini-gini aja. Ngga ada perkembangan di rumah tangga kita." perasaan bersalah berhasil menundukkan wajah Reno. Matanya tak kuat beradu pandang dengan pemilik netra polos di depannya. Ia mengaku kalah, dan bersalah.

Dalam hati, Nessa terus sibuk menerka-nerka apa inti dari semua yang coba suaminya utarakan.

"Sebagai pria yang mimpin rumah tangga, Mas sadar udah gagal total dalam semua hal. Seharusnya Mas bisa ngerti keadaan walaupun kamu ngga pernah ngomong. Seharusnya Mas sadar, kalau diamnya kamu itu adalah bentuk dari bakti seorang istri. Bentuk penerimaan walau ngga pernah di beri. Dan bentuk kesetiaan padahal selalu tersakiti."

Semakin Reno memikirkan, ternyata selama ini cuma kesakitan yang selalu ia berikan. Sekarang ia tahu telah sangat beruntung mempunyai seorang istri bernama Nessa, tapi tidak sebaliknya.

Sebuah kesimpulan Nessa temukan. Inti dari semua yang Reno bicarakan.

"M-mas mau minta..." Nessa tak sanggup melanjutkan kata terakhirnya.

"Engga!" buru-buru Reno menegakkan kepala dan menggeleng cepat. "Bukan itu yg mau Mas bilang." ia sadar dan sangat paham apa yang coba istrinya utarakan. Dan sungguh, bukan itulah hal yang ia inginkan.

Nessa tak kuasa menahan napas kelegaan. Hampir saja hatinya mencelos atas apa yg otaknya pikirkan. "Terus apa, Mas? Apa yang mau Mas bilang?"

Reno bangkit dari duduknya dan maju selangkah kearah Nessa. Kedua tanganya bergerak menuju belakang kepala dan punggung Nessa. Setelahnya, hal yang sama sekali tak pernah Nessa duga akan dilakukan oleh Reno pun terjadi juga, sebuah pelukan hangat yang mententramkan jiwa.

Tubuh Nessa menegang seketika, berikut genangan air yang entah kenapa tiba-tiba hadir di kelopak mata. Dadanya bergemuruh tak menentu, tapi bukan karena rasa haru, tapi lebih kepada rasa sakit yang amat mengganggu.

"Mas mohon, tolong kasih Mas sedikit lagi waktu. Ada hal yg belum bisa Mas selesaiin sampai sekarang, hal yg terpaksa ngebuat Mas bikin jarak sama kamu."

Terasa semakin erat pelukan yang Nessa rasakan. Agak aneh rasanya. Selama dua tahun lebih mereka menikah, tak lebih dari jumlah jari satu tangan mereka pernah berpelukan.

"Kamu udah relain hidup kamu buat bareng sama Mas, dan itu sangat berarti banget buat Mas. Karena itu, Mas juga pengen ngasih segalanya yg terbaik buat kamu, dan itu butuh waktu."

Dan yang belum bisa kamu selesaiin itu hubungan kamu sama cewek itu kan, Mas? Sayangnya Nessa tak memiliki cukup keberanian untuk mengutarakan hal itu langsung secara verbal.

"Mas tahu sebenarnya ngga punya hak buat minta sesuatu ke kamu. Soalnya Mas bahkan belum bisa ngasih apa-apa. Tapi kalau kamu bersedia, tolong tunggu Mas sebentar lagi." satu tarikan napas panjang Reno lakukan, guna mengisi paru-parunya yang terasa sesak tak mengenakkan. "Sampai waktu yang kita nanti akhirnya tiba, Mas bisa pastiin kita bakal jadi suami istri yang sebenarnya. Kita bakal jadi sebuah keluarga yang bahagia." lirih Reno penuh pengharapan, juga sebuah iming-iming masa depan indah yang sangat menggiurkan. "Kamu mau Ness?"

Tak ada balasan apapun yang Nessa utarakan setelah Reno selesai berbicara. Bahkan setelah beberapa menit lamanya. Otak Reno langsung berpikir dan menyimpulkan, bahwa keheningan itulah jawaban yang istrinya berikan.

Hingga, tiba-tiba Reno merasakan sesuatu melingkar erat mengelilingi perutnya. Lalu di ikuti sebuah gerakan mengangguk yang walaupun tak terlihat masih bisa ia rasa.

Sumringah seketika merajai perasaan Reno atas kesanggupan Nessa. Sampai ia tak kuasa menahan haru yang tervisual lewat memerahnya kedua mata.

"Makasih, Dek. Makasih." lirih Reno sangat-sangat bersyukur.

Mirisnya, jawaban yang Nessa beri sangatlah berbeda dengan perasaan di dalam hati. Pelukan yang ia lakukan tak ubahnya sebuah pelampiasan atas sakit yang tengah di alami. Termasuk pula alasan kenapa ia hanya mengangguk dan tak bersura, itu dikarenakan ia khawatir yang keluar dari bibirnya hanyalah isak tangis semata.

"Mas sayang sama kamu." kata Reno bersungguh-sungguh, lalu mendaratkan bibirnya cukup lama di puncak kepala istrinya.

Sesak kian terasa di hati Nessa, mempertanyakan apakah yang diucapkan Reno itu ungkapan yang dirasa sebenarnya. Atau, hanya sebuah kalimat formalitas dari kesanggupan yang ia beri baru saja.

Cukup lama Reno mempertahankan posisi, hingga akhirnya mulai mengurai perlahan tautan yang terjadi. Nessa yang sudah lama berakting dalam dunianya sendiri tentu langsung sigap merubah ekspresi.

Seketika Reno terkejut saat menunduk dan melihat mata Nessa yang memerah. "Kamu nangis?"

Mustahil Nessa menghilangkan sembab dan merah dimata dalam satu kedipan mata, jadi yang bisa ia lakukan hanyalah berkelit dengan kata-kata.

"Adek terharu tahu." kilahnya dengan nada merajuk, yang ternyata benar-benar berhasil mengelabui Reno. "Ngga peka banget." tambahnya lagi, sembari memuji sendiri aktingnya yang luar biasa dalam hati.

Senyum Reno berkembang cerah tak menduga. "Maaf, Mas ngga tahu."

Tak urung Nessa ikut menarik bibirnya keatas senatural mungkin. "Adek ke kamar Virgo ya, Mas? Bantu beresin barang yang mau dia bawa."

"Yaudah kamu keatas aja, biar makanannya Mas yang beresin." usul Reno yang tanpa sungkan langsung Nessa angguki seketika.

"Makasih," Segera Nessa berdiri duduknya. "Yaudah adek keatas," pamitnya yang kemudian mulai melangkahkan kaki. Namun baru beberapa langkah, tangan Nessa tiba-tiba ditarik hingga membuatnya berbalik. "Kena-"

Sebuah ciuman kembali Reno daratkan tepat di kening Nessa untuk kedua kalinya, setelah yg pertama adalah saat mereka menikah. Mata Nessa perlahan terpejam. Ia mencoba menelisik kedalam diri, mencari tahu adakah sesuatu yang terjadi. Namun sampai Reno selesai menciumnya, sama sekali hatinya tak merasakan apa-apa. Hampa.

Lagi-lagi, terpaksa Nessa harus berakting dan menampilkan senyumnya, agar Reno yang memandangnya dengan senyum lebar tak menaruh curiga.

"Udah sana." Reno menuntun Nessa membalikkan badan. Tanpa buang waktu Nessa langsung berjalan, bersama air mata yang tak lagi bisa ia tahan.

Saat berbelok dan mulai menaiki tangga, isakkan yang coba Nessa tahan akhirnya pecah juga. Padahal ia sudah sekuat tenaga menahan dan membekap sendiri mulutnya, tapi rupanya tak ada lagi tempat menampung kesedihan di dalam dirinya.

Sampai di tangga terakhir bagian atas, semua kesedihan Nessa keluarkan lewat tangisan. Mengosongkan semua tempat yang penuh, agar siap lagi menampung kesedihan disaat butuh.

Jujur, sebenarnya Nessa tak mengerti apa yang tengah ia tangisi. Kesedihan apa yang membuatnya sampai begini? Atau kenapa bisa hatinya menjerit sakit tak mau berhenti?

Apa yang ia harap atau inginkan? Bukankah ini semua ia sendiri yang memilihnya? Lalu kenapa ia mengeluarkan air mata? Padahal semua tak mungkin terjadi tanpa kehendaknya.

Bukakankah sejak awal perjodohan ia memang tak mengharapkan apa-apa? Lalu pengharapan apa yang sekarang ia ingin untuk terkabulkan?

Biarpun perjodohan yang terjadi dulu adalah kehendak orang tuanya, tapi sejatinya ia memiliki hak untuk menolaknya. Ia sendiri yang memutuskan menerima dan mau di nikahi oleh Reno. Juga, ia sendiri pula yang memutuskan bertahan meski tahu Reno bermain dibelakang. Lalu kenapa ia bersikap seolah-olah tersakiti? Padahal ia bisa dan mampu menghentikan semua ini.

What's wrong with you Nessa? This is your own choice. Stop acting like a victim.

Ya, ini pilihannya. Jadi segala hal yg terjadi sudah sepatutnya ia terima dengan lapang dada. Berhenti bertingkah seperti seorang korban, disaat ia sendiri yang memutuskan.

Sekiranya butuh seperempat jam untuk Nessa menghentikan kecengengannya. Tak perlu lebih lama, toh semuanya mustahil berubah juga.

Lalu bersama kedua tangan yang terkepal kuat di atas paha, bangkit adalah satu-satunya pilihan yang ia punya.

Pasokan udara Nessa pasok sebanyak mungkin kedalam paru-paru, berharap supaya kesakitan hati yang dirasa dapat sesegera mungkin berlalu. Baru setelahnya kembali Nessa menapaki satu-persatu keramik ke tempat yang di tuju.

Tanpa mengetuk pintu ataupun mengucap permisi terlebih dulu, Nessa langsung memutar gagang dan mendorong penghalang di depannya yang menghubungkan ke sebuah ruang.

Sosok pria bertelanjang dada dengan handuk di kepala menjadi pemandangan pertama yang tertangkap matanya. Habis mandi rupanya.

"Udah beresin barang-barangnya?" Nessa berjalan masuk sambil menginspeksi keadaan ruangan. Sudah tak ada lagi barang-barang Virgo yang ia lihat di tempat biasanya. "Kamu bawa semuanya?"

Virgo mengernyit memfokuskan mata melihat keanehan dari wajah Nessa. "Kakak habis nangis?" hanya dalam tiga kali langkah, dan Virgo sudah berada tepat di depan Nessa.

"Iya," percuma mengelak jika semuanya terlalu kentara. "Kamu mau berangkat sekarang?" handuk yang ada di tangan Virgo diambil alih Nessa, melanjutkan kegiatan mengeringkan rambut yang Virgo hentikan.

Baru menjulurkan tanganya keatas, pergerakan Nessa terpaksa harus terhenti akibat cekalan yang Virgo berikan.

"Dia ngapain kakak?" mata Virgo menghunus tegas tepat di mata Nessa, begitu juga nada suaranya yang terlihat menahan emosi. "Jawab Kak!"

Nessa menggeleng pelan. "Ngga ada." tangan coba ia gerakkan, namun ternyata Virgo lebih kuat menahan. Pertanda jika pria di depannya ingin penjelasan lebih. "Serius. Mas Reno ngga ngapa-ngapain Kakak. Dia cuma minta waktu buat dia nyelesain semuanya. Tapi ngga tau apa yg mau diselesaikan." jelas Nessa sesingkat mungkin yang diakhiri dengan mengendikan bahu sok polos.

Benar saja, Virgo melepas cekalannya dan mendegus kesal. "Semut di halaman depan juga tahu apa yang dia maksud dia." sinis Virgo berkomentar yang justru malah membuat Nessa terkekeh geli. "Terus kakak jawab apa?"

"Ya kakak jawab iya lah! Masa suami minta sesuatu ngga di iyain." santai Nessa menjawab tanpa ada beban.

Sebenarnya Virgo sudah menebak apa kemungkinan jawaban yang akan di suarakan Kakaknya Nessa. Alasan kenapa ia masih tetap bertanya ialah karena berharap kali ini sang kakak akan menjawab sesuai yang ia harapkan. Tapi lagi-lagi harapannya tak terkabulkan, dan kembali ia dibuat kecewa oleh kenyataan.

"Kenapa Kakak ngga nolak aja? Seberat itu keluar dari zona yang udah lama di tinggalin meskipun sama sekali ngga nyaman?" kekecewaan tergambar jelas di mata Virgo. "Kakak ngga pengen bahagia? Ngga pengen lepas dari semua sedih yang Kakak rasa?"

Terpaksa Nessa menghentikan kegiatannya agar bisa fokus pada mata Virgo yang memandangnya sangat intens. "Emang kakak keliatan ngga bahagia?" senyum lebar Nessa pasang, berikut matanya yang sedikit menyipit tampak berbinar. "Kalau ngga bahagia, kakak ngga bakal bisa senyum kayak sekarang, Vir."

Kedua tangan Virgo bergerak menangkup pipi Nessa, kemudian masing-masing jemarinya menyapu sudut netra yang beberapa saat lalu basah oleh air mata. "Tapi orang yg bahagia ngga mungkin punya gurat kecewa gini diwajahnya, Kak."

Perlahan namun pasti, senyum di wajah Nessa mulai berangsur luntur. Memang mustahil mengakali Virgo yang pintar dalam mengamati. Bahkan mungkin hanya Virgo satu-satunya orang yg bisa mengerti dirinya tanpa ia perlu bercerita.

"Terus Kakak harus gimana, Vir?" kembali netra sendu Nessa tergenang oleh air mata. Handuk yang berada ditangan terlepas dan luruh kelantai begitu saja. Genggaman tangannya berubah tempat, kini tepat di dada Virgo. "Kakak harus gimana?" lirih Nessa yang benar-benar tersesat oleh labirin yang ia buat sendiri.

Segera Virgo menarik tubuh Nessa dan memeluknya, menyandarkan kepala wanita yang mulai terisak itu di dada dan membelainya.

"Kakak udah bilang semuanya sama kamu." terus Nessa berkata di sela sesenggukan yang mulai menampakkan kehadirannya. "Kakak sendiri yang milih begini, kakak yang mau jadi kayak gini. Ini resiko dari pilihan Kakak, yang mau ngga mau, suka ngga suka harus Kakak terima."

Untuk kedua kalinya dalam waktu yg tak berselang lama, kembali Nessa menumpahkan segala kesedihan yang ternyata masih ada. Bedanya, kali ini ada seseorang yang menyangga dan menenangkannya.

Setiap sesenggukan yang Nessa keluarkan, sayatan kepedihan ikut pula Virgo dapatkan. Tangis adalah salah satu hal yang ia sangat benci selamanya, namun ia sadar tak bisa menyuruh Nessa berhenti menangis begitu saja.

"Sekarang belum terlambat buat berubah haluan, Kak." belaian menenangkan terus-menerus Virgo beri tanpa jeda. "Kakak masih bisa berhenti dan keluar dari zona ini."

Masih dalam tangisnya, Nessa sedikit menarik mundur kepala agar bisa memandang Virgo yang ternyata sudah lebih dulu menundukkan kepala melakukan hal yang sama.

Virgo tersenyum kecil. "Ayo keluar dari jurang ini bareng-bareng, Kak. Ayo kita lari, pergi dari sedih yang kita rasain. Beresin barang Kakak dan ikut Virgo pulang. Semuanya biar Virgo yang urus, Kakak tinggal ikut aja." ajak Virgo penuh keseriusan dan sedikit kenekatan.

Sekali lagi dan untuk yang terakhir kali ia akan mengulurkan tangannya guna membantu sang Kakak keluar dari jurang kesedihan. Tinggal apakah wanita di depannya ini mau menyambut bantuannya atau tidak.

Janji yang dulu terikrar pada Kakaknya masih ia pegang erat dan ingin menepatinya sampai sekarang. Tapi untuk dapat merealisasikan janjinya, tentu ia butuh kerja sama dari orang yang ingin dibahagiakan.

Sekarang, semua keputusan tergantung pada Nessa sendiri.

Keseriusan yang Virgo tunjukkan tersebut berhasil menghentikan isak tangis Nessa yang kini menatap Virgo sangat dalam tanpa kata. Dan entah siapa yg memulai, atau bagaimana semua dimulai, kini bibir mereka sudah saling bertaut satu sama lain.

Nessa memejamkan mata, otomatis Virgo juga melakukan hal yang sama. Seperti anak SMA yang baru pertama kali berciuman, keduanya sangat amat perlahan dalam balas membalas kecapan. Menjajaki satu sama lain, tanpa ada ketergesaan yang tidak penting.

Kedua tangan Nessa bergerak melingkar di leher Virgo seiring semakin tenggelamnya ia dalam kegiatan yang terjadi. Lalu bak keselarasan dalam harmoni, Virgo pun menggerakan tangan dan mengangkat tubuh Nessa untuk berpindah keatas ranjang.

Tanpa melepas pagutan, secara perlahan tubuh Nessa mulai menapak keatas ranjang. Mendapat posisi yang lebih leluasa, kini Virgo bisa lebih mudah mengeksplorasi dan mendominasi keadaan dan suasana.

Lenguhan tertahan mulai keluar terdengar, saat Nessa merasakan sentuhan di kaki dan terus bergerak keatas secara menggoda. Sekuat tenaga ia berusaha mengimbangi pergerakan bibir dan lidah Virgo yang kian aktif, tapi memang itu masihlah terlalu sulit.

Entah karena faktor apa, Nessa merasa sentuhan pelan dan ringan dari Virgo sangatlah terasa. Hanya bibir dan jemari, tapi itu sudah membuatnya lupa diri.

Pergerakan tangan Virgo yang sejak tadi merayap akhirnya sampai titik yang di damba oleh semua pria, sepasang bukit kembar nan kenyal bernama payudara yang masih tertutup kain Bra.

Nessa tak kuasa lagi menahan diri lebih lama, sehingga memilih melepas tautan bibir dengan cara menolehkan kepala.

Deru napas yang Nessa keluarkan terdengar menggoda di telinga Virgo, membuatnya ingin melakukan hal lain yang bisa memancing suara desah favoritnya agar keluar.

Sedetikpun Virgo tak membiarkan anggota tubuhnya menganggur begitu saja. Leher jenjang yang terekspos di depan mata menjadi pilihan berikutnya. Lidah dan bibirnya langsung bermain disana, mengejutkan yang masih belum pulih secara sempurna.

Tak ada hal lain yang bisa Nessa lakukan selain melenguh dan meremas rambut belakang Virgo. Nikmat yang ia rasakan sekarang sungguh sudah sangat berlebihan, tapi entah kenapa ia ingin lagi dan lagi seperti orang yang sedang kehausan.

"Kakak mau lebih, Vir." terang Nessa dengan suara yang tertahan. Namun kalimat yang di katakan selanjutnya justru mengakibatkan Virgo mematung diam. "Dan Kakak mohon kamu jangan pulang."

Ternyata jawaban dari ajakan Virgo tadi adalah ini. Uluran tangan yang coba ia beri justru Kakaknya manfaatkan untuk menariknya ikut terjun kedalam jurang, dan bukan di pergunakan sebagai sebuah bantuan.

Nessa justru mengajaknya berkubang lumpur bersama, disaat ia menawarkan kolam renang indah sebagai tempat bermain mereka.

Virgo menarik kepalanya hingga tepat di depan wajah Nessa. Kilat gairah bisa ia lihat dari netra Kakaknya, dan ia percaya hal yang sama juga Nessa lihat di matanya.

Senyum tipis Virgo tunjukkan, berikut elusan di pipi Nessa pun ia lakukan. Kemudian sekali lagi ia mengecup bibir wanita dibawahnya meski hanya sekilas saja.

"Maaf, tapi Virgo ngga bisa Kak." Selain sebagai penegasan, Kalimat itu juga ungkapan kekecewaan terdalam dari Virgo yang langsung menarik diri dan melenggang pergi menuju kamar mandi, meninggalkan Nessa yang hanya bisa mengikuti lewat tatapan mata.

Sekarang Virgo paham. Meski ribuan kali ia mengulurkan bantuan, Tak sekalipun tanganya akan mendapat sambutan.

Beralih ke area yang berbeda namun masih di kediaman yang sama, tampak raut putus asa hadir di wajah Reno akibat seseorang yang kini melakukan panggilan denganya.

"Please ngertiin aku Shella. Aku juga perlu perhatiin istriku." Reno kehabisan kata untuk memohon pada sosok diseberang bernama Shella. "Demi tuhan kita cuma kurangin waktu doang! Bukan berhenti ketemu."

"Itu urusan kamu, masalah kamu sendiri. Aku ngga mau tahu." terdengar datar wanita di seberang menjawab, tak mau mengerti ataupun peduli sama sekali.

"Shella-"

"Kamu sendiri yang janji Reno! Kenapa jadi aku yang keliatan salah disini?" potong suara diseberang tak memberikan Reno kesempatan untuk berbicara. "Aku ngga mau tahu. Istri kamu itu urusan kamu sendiri."

Sambungan telepon pun langsung terputus begitu saja setelahnya. Menyisakan kekesalan dan rasa bersalah yang teramat besar di diri Reno pada sang istri, dan juga wanita yang baru saja ia telepon bernama Shella.





*******





Biarpun waktu sudah menunjukkan sore hari, kesibukan yang terjadi di sebuah apartemen belum juga usai sedari pagi. Semuanya sibuk dengan tugas masing-masing, menyiapkan apa-apa yang di perlukan untuk kejutan yang akan terjadi sebentar lagi.

"Yang! Coba telepon Vio atau Alam sih, tanya udah sampai mana." perintah Alea yang tampak sangat kerepotan di dapur. "Bentar lagi jam lima ini." bahkan mulutnya saja di paksa untuk banyak bekerja mengatur segalanya.


Tak jauh dari Alea, ada Audrey yang juga sibuk menata apapun yang telah di rencanakan. Sedangkan untuk Danang sendiri, saat ini ia tengah memasang hiasan di dinding bagian atas menggunakan tangga.

"Telepon kamu kenapa?! Ngga liat aku lagi ngapain sekarang?" sudah sejak pagi Danang terlihat kesal, dan itu dikarenakan ide konyol kekasihnya yang ingin ada pernak-pernik di sekitar ruangan. "Lagian kenapa pake hias-hias segala sih. Kalo ada fungsinya ngga apa-apa, ini apa coba? Udah ngga ada fungsi, nambah-nambahin kerjaan lagi." lanjutnya mengomel yang entah sudah berapa puluh kali.

Bukan Danang tak suka ide kejutan yang Alea cetuskan. Cuma, kalau bisa sesuai tema dan umur orang yang di beri kejutan. Mana ada pernak-pernik yang identik dengan ulang tahun anak kecil berada di kejutan ulang tahun orang dewasa? Lihat saja sekarang, ruang tengah apartemennya sudah persis seperti taman kanak-kanak.

Mendapat balasan tak mengenakkan dari sang kekasih, emosi Alea langsung melejit drastis sampai ke kepala. Tubuhnya berbalik seketika, lengkap dengan mata melotot dan tangan betolak pinggang. Lalu saat Alea sudah siap mengeluarkan rentetan kata, interupsi dari bell pintu lebih dulu datang menyela.

Hoki satu tahunan Danang sudah terpakai sepertinya.

"Biar gue yang buka." seru Audrey langsung bergegas menuju pintu, mencari keselamatan diri atas kondisi ruang tengah yang menjadi medan perang.

Pucuk di cinta, Mas Raden Alam Susena pun tiba. Cengiran lebar seorang Alam menjadi hal pertama yang Audrey saksikan setelah membuka pintu. Baru setelahnya berganti pada Violin yang ada disebelah Alam. Tapi dari gelagatnya, Violin terdeteksi sedang dalam kemarahan.

Audrey menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala. "Lama banget sih kalian," tubuhnya sedikit bergeser memberi jalan, lalu membuntuti dua orang itu dari belakang guna mencari keamanan. "Gue berasa lagi di zona perang tau ngga."

"Tanya sama si curut satu ini." judes Violin sedikit kesal. Kemudian melirik sinis Alam sekilas sebelum menghadiahinya dengan sikutan kuat tepat di pinggang.


Kontan saja Alam memekik kaget dan kesakitan. "Sakit bego!"

Buru-buru Alam berlari menuju meja dan meletakkan kotak berisi kue yang ia pegang. Kemudian Tangannya yang sudah kosong pun ia gunakan untuk mengelus-elus pinggangnya yang benar-benar sakit.

"Ngga pake KDRT kenapa sih!" Protes Alam memberengut kesal. "Dikit-dikit main tangan. Sekali-kali main bibir atau lidah kek, biar gue jadi enak." lanjutnya mengomel yang malah di tanggapi gelak tawa dari tiga orang disekitarnya kecuali Violin.

Hanya tatapan tajam dan bibir merapat tipis yang Violin lakukan, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Alam segera sadar. Alarm bawah sadar Alam berbunyi nyaring memberi peringatan adanya bahaya besar yang akan datang.

Dengan panik Alam langsung mendekat dan menggenggam kedua tangan Violin. "Becanda Lin, sumpah!" rengek Alam dengan wajah melas meminta ampunan. "Maaf ya? Janji Abang ngga ngulangin lagi." bujuknya lagi terlihat sangat bersungguh-sungguh.

Tak pelak Violin pun menganggukan kepala, dan seketika Alam langsung senang luar biasa. Tapi sedetik setelahnya, pekikkan nyaring keluar juga dari mulut Alam untuk kedua kalinya akibat kekerasan yang Violin lakukan lagi.

Kepala Violin sudah berada di ceruk leher dengan gigi yang sudah menancap kuat disana. Kedua tanganya juga erat melingkar dan mengunci di leher Alam agar tak bisa lepas. Sama sekali Violin tak sedang bercanda atau apa. Ia benar-benar melepaskan semua emosi yang mengendap dalam dirinya.

"Mamaaahhh!!" jerit Alam tak tertahan. Cujup kuat tanganya coba mendorong kepala Violin agar menjauh, namun perempuan itu sungguh sangat bersikukuh. "Maaahh!! Anak mamah di isep darahnya!!"

Gelak tawa seketika nyaring terdengar kembali dari tiga orang yang sama. Mereka bingung sekaligus takjub dengan mulut ajaib Alam yang selalu mengeluarkan kata-kata di luar penalaran manusia. Sampai-sampai Danang yang masih berada di atas tangga hampir saja jatuh akibat hilang keseimbangan.

Puas meluapkan emosi yang sudah menumpuk sejak tadi, akhirnya Violin menyudahi gigitan dan melepaskan Alam yang sigap bergerak mundur menjauhi vampire hidup di depannya.

"Lo kok gigit beneran sih!!" kesal Alam namun sedikit lega karena bisa lepas dari predator di depannya. Tanganya terulur mengecek lehernya yang terasa perih. Ternyata ada jejak darah di tangannya. "Ck. Mana sampai berdarah gini." Alam menggeleng tak percaya, terlihat benar-benar kesal sekarang. "Kamar mandi lo dimana, Nang?"

Danang yang sempat terbengong seketika sadar." Di kamar gue aja, tuh pintu belakang lo." sebenernya di samping dapur ada kamar mandi juga. Tapi karena kotak obat berada di kamarnya, lebih baik sekalian memakai kamar mandi di dalam kamar. "Itu kotak obatnya-" Alam sudah lebih dulu berjalan dan menghilang di balik pintu kamar yang tertutup cukup keras. "Dasar biawak." gerutu Danang cukup kesal akibat di abaikan.

"Dimana kotak obatnya Nang?" akhirnya Violin mengeluarkan suara juga. Wajahnya terlihat santai seperti tak punya dosa. Bahkan senyum tipis tersemat di bibirnya.

"Di atas meja yang di sebelah lemari, kotaknya warna biru."

Violin mengangguk paham, lalu segera berjalan mengikuti jejak Alam yang sudah lebih dulu masuk kedalam kamar Danang.

"Ganas banget si Violin." komentar Audrey geleng-geleng kepala. Ia sempat melihat luka di leher Alam tadi, dan itu lumayan juga.

"Ngga usah heran, Drey." sahut Danang kembali pada kegiatan semula, menempel hiasan pada dinding. "Mereka emang Tom and Jerry. Kapan pun dan dimana pun pasti berantem. Udah tabiatnya Alam jadi kucing, terus si Olin jadi tikusnya." terang Danang sedikit bercanda, yang tentu membuat Audrey terkekeh geli mendengarnya.

Kembali mereka bertiga melanjutkan kegiatan mereka yang sempat tertunda sesaat. Sedangkan di dalam kamar Violin hanya berdiri menyender ke tembok, menunggu Alam yang sedang berada di dalam kamar mandi.

Beberapa menit setelahnya, akhirnya pintu kamar mandi terbuka juga. Wajah Alam seketika berubah saat mendapati sosok Violin ada di depannya. Mendengus kesal, dengan cuek Alam berjalan melewati Violin ingin langsung keluar saja.

Seringai geli berkembang di wajah Violin. "Ngga mau di obatin dulu?" ucapnya sambil membalikkan badan. Lalu mengulurkan kotak obat yang ia pegang kedepan. "Nih kotak obatnya."

Menghembuskan napas secara kasar, tak urung Alam pun berbalik dan merampas kotak di tangan Violin secara kasar. Lalu ia berjalan kembali yang kali ini menuju depan kaca.

Memang tak ada hal lain yang lebih menyenangkan selain menggoda Alam. "Mau gue bantuin ngga?" goda Violin sambil menahan tawa yang ingin keluar.

Tak ada tanggapan yang Alam berikan, menganggap seolah-olah tak ada orang lain di sekitarnya dan fokus menuangkan alkohol ke atas kapas.

"Diem berarti iya." putus Violin sepihak dan langsung beranjak mendekati Alam yang kontan melirik ganas tanda tak ingin di usik. Kekehen geli akhirnya keluar juga dari bibir Violin yang tak kuat lagi menahan.

Sesampainya tepat di samping Alam, tangannya pun terulur meminta kapas ingin membantu, tapi lagi-lagi ia tak dihiraukan.

Satu alis Violin terangkat, "Serius ngga mau gue bantu ini?" masih tak ada tanggapan yang ia dapatkan. Gemas sendiri dengan tingkah Alam, penyaluran rasa pun ia lakukan dengan menggigit bibir bawahnya sendiri. "Lam?"

Alam berbalik menghadap kaca. Walaupun memang agak susah, tapi ia tak akan meminta bantuan Violin untuk mengobati luka di lehernya.

Karena rasa gemas yang kian tak tertahan, juga tak ingin terus di abaikan, Violin memilih menubruk tubuh Alam dan memeluknya dari samping.

Helaan napas panjang Alam keluarkan atas tingkah Violin yang tiba-tiba memeluknya. Tanganya berhenti bergerak, pandangannya beralih turun ke arah wanita yang memeluknya. "Gue lagi ngga minat bercanda Lin."

Sekarang gantian Violin yang pura-pura tuli. Mulutnya ia kunci rapat, namun tubuhnya bergerak kedepan Danang lengkap dengan pelukan yang semakin di eratkan. Seakan belum cukup, ia juga menyandarkan kepalanya di dada Alam bersama mata yang perlahan terpejam.

Alam menghela napas sekali lagi, yang entah sudah keberapa kali hanya dalam waktu dekat.

"Jangan diemin gue." pelan Violin berkata dan semakin memperkuat pelukannya. "Maaf. Tapi gue kesel sama lo tadi."

"Hhmmm." gumam Alam menanggapi seadanya, dan kembali lagi mengobati luka di leher dengan tingkat kesusahan yang semakin meningkat.

"Lam!" rengek Violin mendongakkan kepala dengan bibir yang mengerucut lucu. "Jangan gitu kek."

"Gue lagi fokus ngobatin ini." jawab Alam sama sekali tak bergeming.

Ekspresi Violin berubah. Tanganya lincah bermanuver mencekal lengan Alam. "Fokus ke gue aja, dan biarin gue obatin luka yang gue bikin." ucapnya serius dan penuh makna.

Alam menunduk menatap wajah di bawahnya. Ada makna ganda yang ia tangkap dari kalimat Violin barusan. "Luka yang mana?"

"Luka yang disini," sedikit kesusahan, Violin menjinjitkan kakinya hingga akhirnya bisa mendaratkan kecupan lembut tepat di leher Alam yang terluka. Kemudian setelahnya ia bergerak kembali turun dan mendaratkan bibirnya tepat di dada Alam. "Sama yang disini."

Senyum Alam berkembang tipis, paham maksud dari Violin. "Lo ngga perlu ngelakuin apa-apa." kapas yang berada di tangan Alam jatuhkan begitu saja, lalu beralih membelai rambut panjang wanita yang masih setia memeluknya. "Gue masih bisa dan mampu obatin luka gue sendiri. Jadi gue ngga perlu bantuan dari orang lain."

Violin bungkam dan hanya mampu memandang mata Alam. Semua usaha yang telah ia lakukan berakhir penolakan. Ketika ia mencoba berjalan mendekat, selalu dorongan dari Alam lah yang ia dapat.

"Sampai kapan?" lirih Violin menahan perih. "Sampai kapan lo mau menghindar? Sampai kapan lo terus-terusan nolak gue, Lam?" meskipun sudah menahannya sekuat mungkin, nyatanya genangan air di pelupuk mata masih juga hadir. "Bilang gue harus ngapain? Biar lo bisa maafin gue."

Dengan lembut Alam menyeka air mata Violin yang nyaris jatuh membasahi pipi. "Keluar yok." secuil senyum Alam pertahankan sembari melepaskan kaitan tangan Violin di perutnya. "Kasihan yang lain lagi repot."

Dan seperti yang sudah-sudah, Alam memilih menghindar pergi dari pertanyaan-pertanyaan yang sudah berulang kali Violin tanya.

Tarikan napas kuat Alam lakukan sesampainya di depan pintu. Setelah merasa siap barulah ia membuka pintu lebar-lebar dengan wajah yang sudah berubah drastis. "Danang! Gue berubah jadi zombie!"

Perih terasa di hati Violin kala menyaksikan semua itu. Lagi-lagi Alam melakukan akting luar biasa. Akting yang di pasang agar terlihat baik-baik saja. Sebuah bakat alami yang ditemukan dan di asah saat pria itu masih menjadi kekasihnya.

"Mana Violin?" tanya Audrey saat mendapati Alam di sisinya.

"Masih di kamar. Dia ngambek gegara gue jutekin." kilah Alam sambil berusaha menampilkan wajah kesal. "Udah biarin aja, entar juga keluar sendiri." Begitu saja, dan Audrey pun langsung mengangguk percaya.

Tapi tak berselang lama Violin pun akhirnya keluar dari kamar dengan wajah yang tertekuk. Ia menerapkan perkataan Alam yang bilang jika ia sedang marah, juga memilih menjauh dari Alam dengan membantu Alea agar terlihat lebih meyakinkan.

Selain pandai dalam saling menyakiti, rupanya mereka sama-sama pandai dalam berperan. Memang terlihat Ironis, tapi cara mereka menutupi satu sama lain dan saling mengerti sangatlah manis.

Hingga beberapa menit sebelum pukul lima, akhirnya mereka selesai dan siap membuat kejutan untuk Keyra yang hari ini berulang tahun. Langkah terakhir pun Alea lakukan, yaitu menelepon Keyra agara segera datang.

Setelah Keyra menyanggupi, segera mereka membentuk barisan tepat di depan pintu dengan posisi teratur. Alea di garda depan sebagai pembuka jalan. Violin dan Audrey tepat di belakangnya dengan kue yang berada di tangan. Sedang Alam dan Danang yang berada di barisan paling belakang pun sudah siap dengan senjata Party Pooper di tangan mereka.

Semuanya kompak terdiam menanti kedatangan Keyra, sampai akhirnya bell pintu yang di tunggu-tunggu pun terdengar juga.

Alea menoleh kebelakang, "Siap-siap ya, gue hitung sampai tiga." bisik Alea mengkomandoi, yang diangguki siap oleh para prajurit pemberani.

"Satu..." Alea memegang kuncian pintu dan menggesernya. "Dua..." semuanya mulai bersiaga. "Tiga!!!" pintu Alea buka secepat yang di bisa.

"SURPRISE!!!!" teriak mereka bersama diiringi ledakan Party Pooper yang langsung mengeluarkan hujan kertas warna warni.

Keyra yang berada di depan pintu hanya bisa terdiam kaku akibat kaget. Otaknya lambat mencerna apa yang sedang terjadi di depannya.


"Happy birthday dear!" Alea menghambur memeluk Keyra yang masih terdiam mematung sangat erat.

Lagu Happy Birthday mulai berkumandang sumbang disana, sebab di dominasi suara Danang dan Alam yang sangat niat dalam menyanyikan-nya.

Alea menggiring Keyra yang masih betah tak berkata masuk kedalam apartemen dengan wajah ceria.

Setelah lagu pertama selesai, mereka melanjutkan lagu yang kedua, apalagi kalau bukan lagu 'Tiup lilinnya'.

Keyra memandang satu-persatu sahabatnya termasuk dua pria asing yang tidak ia ketahui siapa. Karena masih syok, ia bahkan tak menyadari jika harus meniup lilin yang ada di depannya. Untung Alea yang paham situasi pun segera menepuk punggung Keyra supaya sadar.

"Tiup lilinnya Key! Jangan lupa make a wish."

Dalam diam Keyra menuruti perkataan Alea. Matanya terpejam bersama lantunan doa yang ia panjatkan dalam hati. Baru setelah itu ia membuka matanya yang sudah berkaca-kaca dan meniup lilin di depannya.

Sorak sorai gembira langsung bergema disana. Kue Violin serahkan pada Alam yang berada di belakang, dan setelahnya keempat wanita tersebut pun berpelukan dengan kebahagiaan yang terpancar nyata.

Berbagai doa terbaik di berikan oleh Violin, Alea dan Audrey untuk sang sahabat Keyra. Bercengkrama mesra dengan lemparan canda dan tawa, seolah-seolah hanya ada mereka berempat disana.

"Dahlah, Nang. Mending kita ke ruang tengah aja ayok. Gue udah laper kerja Romusha dari pagi." usul Alam berwajah datar, menatap jengkel keasikan empat wanita di depannya yang sudah memiliki dunia sendiri. "Percuma disini. Kita tuh invisible sekarang."

Bermuka sama seperti Alam, anggukan setuju pun Danang berikan. Jadilah keduanya langsung berbalik dan berlajan menuju ruang tengah dengan lunglai tanpa tenaga.

Yah, setidaknya perbudakan mereka sudah selesai setengah jalan, dan baru benar-benar selesai setelah apartemen ini bersih seperti awal mula.

Danang duduk berdampingan bersama Alam, keduanya langsung kompak membalik piring yang ada tepat di depan mereka. Tangan Alam terulur lebih dulu ingin mengambil apapun itu yang terdekat, tapi sebuah cekalan sudah saja ia dapati dari orang dibelakangnya.

"Jari lo gue potong kalau berani nyentuh itu sendok." peringat sosok dibelakangnya yang sudah ia hapal mati suaranya.

Alam menghela napas pasrah melirik kearah Danang yang ternyata sudah lebih dulu menoleh padanya. "Sebat?"

"Gas!" Danang bangkit dari duduknya.

Mirip seperti yang terjadi pada Alam, sebuah cekalan pun juga Danang dapat dari Alea yang sudah berada disampingnya. "Key, kenalin, ini cowok gue."

Terpaksa Danang menarik senyum lebar dan megulurkan tangan pada sosok cantik di depannya yang cepat menyambut. "Gue Danang, pacar Alea. Tapi gue juga rangkap jabatan jadi budak dia."

Sebuah cubitan di pinggangnya yang sudah kebal Danang dapat dari Alea yang tak terima. Sudah tak terasa lagi saking seringnya.

Tawa renyah keluar di bibir Keyra. "Harus sabar. Gue juga kadang ngga tahan kok punya temen model dia." balas Keyra meladeni candaan Danang, membuat Alea yang menjadi bahan gunjingan cemberut kesal.

Sekarang giliran Alam yang berkenalan. Tanganya terulur kelewat semangat tepat di depan Keyra, lengkap dengan cengiran lebar yang ia kira sangat mempesona, padahal aslinya mah sangat menggelikan. Keyra saja sampai tak bisa menahan kekehan geli saat menjabat tangan Alam.

Violin yang berada di sebelah Alam hanya bisa mendengus malas. Tabiat Alam memang selalu seperti itu jika sudah menyangkut lawan jenis berwajah bening.

"Lo ngga usah perkenalan, biar gue aja." sergah Alam cepat saat Keyra baru membuka mulut ingin mengeluarkan kata. "Gue Alam, pria tampan nan baik hati yang sedang mencari pasangan." ucapnya jumawa dengan tingkat kepedean yang tak terkira.

Sontak semua yang ada disana terkecuali Violin dan Danang langsung tertawa kencang mendengarnya. Luar biasa memang mahluk satu yang masih tak kunjung mengurai jabatan itu.

"Apabila lo berkenan, bisa kali bagi kontaknya." lanjutnya lagi sembari mengedipkan mata genit. Violin yang tak tahan lagi pun langsung menghantam bahu Alam sekuatnya.

"Kayaknya kita emang jodoh deh. Soalnya kebetulan gue juga jomblo sekarang." balas Violin meladeni candaan Alam masih dengan kekehan yang tak mau berhenti.

Mata Alam berbinar sangat bahagia. "Ya ampun! Tuhan emang baik, mau ngirim gue jodoh yang selama ini udah gue nanti-nanti." seru Alam kelewat lebay. Kemudian membentangkan kedua tangannya dan menatap keatas. "Terimakasih tuhan. Abis ini gue bakal rajin ibadah."

Tawa pun terus berlanjut, dan sudah pasti Alam lah yang menjadi badut. Kebahagiaan terpancar indah disana, padahal beberapa saat yang lalu ada dari mereka yang merana.

Kekuatan semesta memang tiada duanya. Mampu membalikan apapun dalam waktu yang tak terduga. Kesedihan yang semula menaungi disana, kini hilang di sapu ombak bahagia.

Memang seperti itulah cara kerja kehidupan. Tak ada yang stagnant, semuanya terus berputar dan berjalan.

Tapi jika di perhatikan secara seksama, sebetulnya ada yang cukup aneh disana. Tepatnya pada meja di sudut ruangan yang terdapat enam kotak kado di atasnya.

Memang ada enam orang di ruangan, tapi itu juga termasuk sang ratu yang hari ini bertambah satu tahun umurnya. Jika satu orang memberikan sebuah kado untuk Keyra, seharusanya cuma ada lima kado disana.

Lalu apakah ada satu orang yang memberikan dua kado? Atau justru seharusnya ada satu orang lagi disana? Satu orang yang akan menambah kemeriahan suasana, orang yang setiap saat selalu menjadikan Keyra sebagai ratunya.

Hadiah yang tersisa adalah dari Virgo, orang yang tak bisa dan tak mungkin menampakkan diri di depan Keyra. Hanya hadiahnya saja yang bisa disana, hadiah yang bahkan tak bisa langsung di berikan.

Tidak seperti lima orang lainya yang bisa mengucap selamat dan memberi doa secara langsung tepat di depan Keyra, cara yang berbeda mau tak mau harus Virgo alami sendiri.

Lewat angin laut yang berhembus kencang di sore hari, di ikuti suara kendaraan yang berlalu lalang tak jauh dari tempatnya berdiri, lantunan doa terbaik Virgo panjatkan untuk Keyra yang mustahil bisa mendengar suaranya.

Di kota Rembang tempat pemberhentiannya sekarang, bertemankan batuan karang berbagai macam ukuran, ucapan selamat Virgo beri dengan senyum mengembang.

Meski tak ada satupun ucapan selamat ulang tahun yang ia dapati hari ini, sungguh perasaan bahagia ikut pula Virgo alami. Baginya tak ada yang lebih membahagiakan, selain mendapati Keyra di kelilingi orang-orang yang sayang dan perhatian padanya.

Meski sendirian, sama sekali ia tak merasa kesepian. Biarpun tak ada selamat yang ia dapatkan, itu sama sekali tidak menyakitkan.

Selama Keyra masih ada di hati, itu lebih dari cukup untuk menemai. Meskipun ucapan selamat tak ia dapati, kenangannya bersama Keyra sudah sangat-sangat cukup untuk mengobati. Itu lebih berarti, dan ia tak perlu apa-apa lagi.



Ketika cinta datang menunjukkan kehadiran, hanya ada dua akhir yang menjadi pilihan.
Pembelajaran, atau kebahagiaan.

J_bOxxx
 

Extra Part​

Akhir yang Sebenarnya​








Denting sendok dan piring beradu meramaikan meja makan, dari dua sosok pria berwajah tenang yang duduk saling berhadapan. Tidak seperti sesi sarapan di kediaman lain yang di penuhi canda dan guraun, suasana sarapan di rumah ini justru pekat sekali dengan aura kesedihan.

Bukan dari dua sosok dua pria tersebut aura itu muncul, melainkan dari seorang wanita yang berada di dapur sedang menyiapkan sarapan. Virgo, Reno, dan Nessa adalah tiga orang penghuni rumah besar yang minim keramain tersebut.

Sarapan pagi lengkap bertiga sebenarnya adalah hal yg langka di kediaman ini. Tapi sekalinya ada, itu malah di sebabkan oleh adanya perpisahan yang sudah membayangi.

Aura kesedihan sangat jelas tergambar dan terasa pada sosok Nessa yang menamengi diri dengan wajah datarnya. Semuanya dapat terlihat dari gerakannya yang sangat lambat. Dari saat menuangkan makanan ke wadah, hingga saat berjalan menuju meja makan dan bergabung dengan yang lainya.

Kemarin malam ribut besar terjadi lagi antara Nessa dan Virgo setelah pria itu bilang akan pulang. Nessa yang tidak mau ditinggal jelas menjadi marah dan menolaknya. Berbagai cara dilakukannya sebagai pencegahan, namun hasil yang di dapat masih tak berjalan sesuai harapan.

Rentetan pertanyaan Nessa ajukan, termasuk konsistensi atas ucapan yang pernah pria itu berikan. Sebuah ikrar untuk membahagiakan yang sangat ia harap-harapkan, tapi pada akhirnya lagi-lagi ia di kecewakan.

Sampai pada akhirnya, sebuah kisah pun ia dapat dari Virgo, tentang alasan kenapa pria itu memutuskan pergi dari sini dan memilih pulang.

Intinya, pria itu sedang tidak baik-baik saja. Dan setelah mendengar cerita dari Virgo, ada sebuah hal yang ia sadari kemudian. Untuk bisa membahagiakan orang lain di sekitar, pastikan dirimu sudah bahagia lebih dulu.

Kesadaran itulah yang akhirnya membuat Nessa mau tak mau harus melunak dan terpaksa membiarkan Virgo pulang. Walau sebenarnya ia ingin berlaku egois dan mempertahankan Virgo agar tetap disini, ia sadar itu tak bisa terjadi. Karena jika ia tetap menahan, yang ada Virgo akan semakin merasa tertekan. Dan ujung-ujungnya, mereka akan sama-sama tenggelam dalam kesedihan.

Di sisi lain, Reno yang sejak tadi tak mendapat sapaan atau sentuhan hangat apapun dari sang istri tentu kebingungan dan bertanya-tanya apa yang terjadi. Apalagi Nessa bahkan belum menyuap sesendok pun makanan yang hanya ia aduk-aduk sekarang.

"Kenapa ngga di makan?" tanya Reno lembut sembari mengusap bahu sang istri dengan sayang. "Kamu ngga selera?"

Perhatian yang Reno berikan sudah pasti langsung menyandarkan Nessa dari lamunan. Ia menoleh cepat pada sang suami, begitu juga senyum simpul yang kemudian mengikuti. "Engga kok. Ini baru mau di makan." dengan sangat terpaksa, Nessa mulai menyuap makanan kedalam mulutnya.


Reno cuma bisa ikut tersenyum menanggapi hal itu dan kembali melanjutkan makan walaupun sadar jika sang istri sedang tak berselera. Tapi biarlah, ia takkan menghentikan ataupun memaksa Nessa untuk makan. Biar istrinya melakukan sesuai kehendaknya.

Tepat di depan mereka, tampak Virgo memerhatikan semua itu dalam diam. Ia bahkan sudah menghentikan kegiatan makannya sesaat setelah kakaknya Nessa bergabung di meja makan. Fokusnya hanya tertuju pada sosok wanita di depannya yang tampak lesu.

Beragam dugaan terbentuk dikepalanya atas tingkah sang kakak Nessa. Namun kemudian ia mendapat sebuah kesimpulan yang paling masuk akal, dan itu pasti terkait kepergiannya yang tinggal beberapa saat lagi.

Helaan napas panjang Virgo lakukan. Jujur Ia merasa tak enak hati jika keputusannya untuk pergi malah membuat sang kakak sampai seperti ini.

Tapi mau bagaimana lagi, sungguh ia sangat butuh menyehatkan dan menguatkan mentalnya setelah semua yg terjadi. Dan pulang adalah satu-satunya solusi terbaik sejauh yang ia ketahui.

"Kamu beneran ngga mau pake mobil aja Vir?" tanya Reno tiba-tiba setelah sempat menatap adik sepupu istrinya itu untuk sesaat. "Mobil kakakmu ngga pernah di pake itu loh. Atau pake mobil abang juga ngga papa dari pada naik motor. Agak bahaya pake motor buat perjalan jauh."

Sebenarnya pembahasan ini sudah terjadi saat Nessa membawa berada di dapur tadi. Hanya satu alasan kenapa Reno membahas hal ini lagi, yaitu meminta dukungan sang istri untuk merubah keputusan Virgo menggunakan motor.

Masih dengan jawaban yang sama, Virgo menggelengkan pelan kepalanya. "Engga, Virgo bawa motor aja. Lebih nyaman dan lebih cepet nyampe."

Reno mengangguk paham dengan mata melirik ke arah sang istri, menunggu sang jenderal angkat bicara.

"Jangan bawa motor, terlalu gede resikonya. Apalagi kamu bawa barang." datar Nessa bersuara layaknya biasa, tapi tatapannya sangat mengintimidasi sang lawan. Senyum senang berkembang di bibir Reno atas keberhasilan rencananya. "Bawa mobil yang biru, kakak ngga mau tahu."

Virgo menanggapi santai intimidasi dan titah yang Nessa berikan. Butuh lebih dari itu untuk bisa membuatnya berubah pikiran. "Bukan sekali dua kali Virgo pergi jauh bawa motor Kak, jadi ngga udah khawatir." jawabnya tenang dan santai. "Lagian ada hal yang lebih penting buat di bahas ketimbang masalah Virgo pergi naik apa."

Kerutan seketika terbentuk di dahi Reno dan Nessa yang bingung dan penasaran apa maksud dari Virgo. Untungnya Reno lebih dulu menyuarakan rasa penasaran. "Emang apa?"

"Kalau Virgo pulang dan Bang Reno keluar kota, siapa yang temenin Kak Nessa?" santai Virgo bertanya, tapi efeknya sangat luar biasa. "Jadi Virgo minta sama Abang, tolong kurangin keluar kotanya. Atau kalau bisa ngga usah pergi-pergi lagi." perlahan raut Virgo mulai berubah. Ada kesinisan yang tampak di matanya. "Kasian Kak Nessa dirumah sendirian. Ngga ada Virgo lagi yang nemenin atau jagain, termasuk antar jemput waktu kerja atau yang lain. Tugas Abang sebagai suami Virgo kembaliin, jadi tolong dilakuin."

Seketika sunyi hadir diantara mereka bertiga. Reno yang terdiam dan melamun, Nessa yang sibuk memelototi Virgo tanpa ampun, dan Virgo sendiri asik meminum air putihnya tanpa peduli apa yang telah di katakan sedikitpun.

Untungnya ada bunyi gelas yang beradu dengan meja marmer kemudian, dan dilanjutkan dengan suara dari gesekan lantai dan kursi saat Virgo berdiri.

Tapi rupanya Virgo belum selesai. Masih ada lagi yang ingin ia katakan. "Atau kalau mau, Abang bisa tetap keluar kota kayak biasanya kok." sontak Reno mendongakkan kepala menatap Virgo. "Tapi biarin Virgo ajak Kak Nessa pulang sekalian. Dari pada disini sendirian kayak orang ngga punya suami."

"Virgo!" seketika Nessa berdiri duduknya. Wajahnya memerah, amarahnya naik drastis.

Seringai tipis Virgo beri dengan cuma-cuma untuk Reno yang tak bisa berkata. Lalu setelahnya ia mulai melangkah meninggalkan ruangan berisi orang-orang munafik dan sok kuat yang merasa semuanya baik-baik saja.

"Virgo!" kembali Nessa berteriak dan siap mengejar Virgo, namun tangan Reno lebih cekatan menahan sang istri.

"Udah Ness," Reno berusaha menarik Nessa agar kembali duduk disebelahnya. "Apa yang Virgo omongin emang bener, kok."

"Tapi ngga dengan tingkah kurang ajar gitu Mas!" walaupun bisa dikatakan suaminya memang salah, tapi bukan begitu cara penyampaian yang seharusnya Virgo lakukan. Ada banyak cara yang lebih baik dan sopan, dari pada menggunakan kalimat sindiran ataupun langsung menusuk dan menyakitkan.

"Duduk dulu, jangan emosi." sedikit tarikan Reno lakukan, karena yang pertama tak berhasil dituruti oleh Nessa.

Setelah Nessa mau menurut untuk duduk, usaha menenangkan coba Reno lakukan dengan mengusap-usap kedua bahu sang istri. Sekalian juga ia menyiapkan kalimat-kalimat untuk ia ucapkan pada Nessa nanti.

Jika di pikirkan, sepertinya ada keadaan yang terbalik disini. Bukan Nessa yang seharusnya marah dan emosi atas kalimat-kalimat pedas yang Virgo lontarkan disini. Agak aneh apabila Nessa malah marah disaat Virgo justru mewakilkan dan menyuarakan perasaannya.

Lalu kenapa istrinya selama ini diam saja? Bersikap seolah semuanya baik.

Bukan ia tak merasa telah mengabaikan Nessa. Ia sadar akan hal itu. Tapi sejauh ini Nessa sama sekali tak bersuara, Jadi ia pun menyimpulkan semuanya baik-baik saja.

Tapi berkat Virgo, akhirnya gerbang pun terbuka sekarang. Tinggal apa tindakkan yang akan ia lakukan, mau atau tidak mengambil kesempatan, dan berbicara secara mendalam dengan sang istri yang tepat ada di depan.

Deretan kata sudah terangkai sedemikian rupa di kepala, dan terlihat Nessa sendiri pun sudah lebih tenang dari sebelumnya, jadi ini saatnya Reno untuk berbicara.

Merasa sudah siap, pergerakan pun mulai Reno lakukan. Mengganti elusan menjadi genggaman pada tangan, dan mulai menatap sang istri yang tampak kebingungan.

"Maafin Mas ya Ness, karena selama ini ngga punya waktu buat kamu." raut kesungguhan terlihat di wajah Reno. Karena ia memang sangat bersungguh-sungguh di setiap katanya. "Banyak yg mau Mas bilang, tapi Mas bingung gimana ngomongnya."

Saling tatap terjadi pada keduanya, mencoba menyelami netra masing-masing lawan. Nessa memilih setia diam, meski sejatinya sudah sangat gatal ingin bersuara dan bertanya apa maksudnya.

"Udah dua tahun lebih kita nikah, tapi pernikahan kita masih gini-gini aja. Ngga ada perkembangan di rumah tangga kita." perasaan bersalah berhasil menundukkan wajah Reno. Matanya tak kuat beradu pandang dengan pemilik netra polos di depannya. Ia mengaku kalah, dan bersalah.

Dalam hati, Nessa terus sibuk menerka-nerka apa inti dari semua yang coba suaminya utarakan.

"Sebagai pria yang mimpin rumah tangga, Mas sadar udah gagal total dalam semua hal. Seharusnya Mas bisa ngerti keadaan walaupun kamu ngga pernah ngomong. Seharusnya Mas sadar, kalau diamnya kamu itu adalah bentuk dari bakti seorang istri. Bentuk penerimaan walau ngga pernah di beri. Dan bentuk kesetiaan padahal selalu tersakiti."

Semakin Reno memikirkan, ternyata selama ini cuma kesakitan yang selalu ia berikan. Sekarang ia tahu telah sangat beruntung mempunyai seorang istri bernama Nessa, tapi tidak sebaliknya.

Sebuah kesimpulan Nessa temukan. Inti dari semua yang Reno bicarakan.

"M-mas mau minta..." Nessa tak sanggup melanjutkan kata terakhirnya.

"Engga!" buru-buru Reno menegakkan kepala dan menggeleng cepat. "Bukan itu yg mau Mas bilang." ia sadar dan sangat paham apa yang coba istrinya utarakan. Dan sungguh, bukan itulah hal yang ia inginkan.

Nessa tak kuasa menahan napas kelegaan. Hampir saja hatinya mencelos atas apa yg otaknya pikirkan. "Terus apa, Mas? Apa yang mau Mas bilang?"

Reno bangkit dari duduknya dan maju selangkah kearah Nessa. Kedua tanganya bergerak menuju belakang kepala dan punggung Nessa. Setelahnya, hal yang sama sekali tak pernah Nessa duga akan dilakukan oleh Reno pun terjadi juga, sebuah pelukan hangat yang mententramkan jiwa.

Tubuh Nessa menegang seketika, berikut genangan air yang entah kenapa tiba-tiba hadir di kelopak mata. Dadanya bergemuruh tak menentu, tapi bukan karena rasa haru, tapi lebih kepada rasa sakit yang amat mengganggu.

"Mas mohon, tolong kasih Mas sedikit lagi waktu. Ada hal yg belum bisa Mas selesaiin sampai sekarang, hal yg terpaksa ngebuat Mas bikin jarak sama kamu."

Terasa semakin erat pelukan yang Nessa rasakan. Agak aneh rasanya. Selama dua tahun lebih mereka menikah, tak lebih dari jumlah jari satu tangan mereka pernah berpelukan.

"Kamu udah relain hidup kamu buat bareng sama Mas, dan itu sangat berarti banget buat Mas. Karena itu, Mas juga pengen ngasih segalanya yg terbaik buat kamu, dan itu butuh waktu."

Dan yang belum bisa kamu selesaiin itu hubungan kamu sama cewek itu kan, Mas? Sayangnya Nessa tak memiliki cukup keberanian untuk mengutarakan hal itu langsung secara verbal.

"Mas tahu sebenarnya ngga punya hak buat minta sesuatu ke kamu. Soalnya Mas bahkan belum bisa ngasih apa-apa. Tapi kalau kamu bersedia, tolong tunggu Mas sebentar lagi." satu tarikan napas panjang Reno lakukan, guna mengisi paru-parunya yang terasa sesak tak mengenakkan. "Sampai waktu yang kita nanti akhirnya tiba, Mas bisa pastiin kita bakal jadi suami istri yang sebenarnya. Kita bakal jadi sebuah keluarga yang bahagia." lirih Reno penuh pengharapan, juga sebuah iming-iming masa depan indah yang sangat menggiurkan. "Kamu mau Ness?"

Tak ada balasan apapun yang Nessa utarakan setelah Reno selesai berbicara. Bahkan setelah beberapa menit lamanya. Otak Reno langsung berpikir dan menyimpulkan, bahwa keheningan itulah jawaban yang istrinya berikan.

Hingga, tiba-tiba Reno merasakan sesuatu melingkar erat mengelilingi perutnya. Lalu di ikuti sebuah gerakan mengangguk yang walaupun tak terlihat masih bisa ia rasa.

Sumringah seketika merajai perasaan Reno atas kesanggupan Nessa. Sampai ia tak kuasa menahan haru yang tervisual lewat memerahnya kedua mata.

"Makasih, Dek. Makasih." lirih Reno sangat-sangat bersyukur.

Mirisnya, jawaban yang Nessa beri sangatlah berbeda dengan perasaan di dalam hati. Pelukan yang ia lakukan tak ubahnya sebuah pelampiasan atas sakit yang tengah di alami. Termasuk pula alasan kenapa ia hanya mengangguk dan tak bersura, itu dikarenakan ia khawatir yang keluar dari bibirnya hanyalah isak tangis semata.

"Mas sayang sama kamu." kata Reno bersungguh-sungguh, lalu mendaratkan bibirnya cukup lama di puncak kepala istrinya.

Sesak kian terasa di hati Nessa, mempertanyakan apakah yang diucapkan Reno itu ungkapan yang dirasa sebenarnya. Atau, hanya sebuah kalimat formalitas dari kesanggupan yang ia beri baru saja.

Cukup lama Reno mempertahankan posisi, hingga akhirnya mulai mengurai perlahan tautan yang terjadi. Nessa yang sudah lama berakting dalam dunianya sendiri tentu langsung sigap merubah ekspresi.

Seketika Reno terkejut saat menunduk dan melihat mata Nessa yang memerah. "Kamu nangis?"

Mustahil Nessa menghilangkan sembab dan merah dimata dalam satu kedipan mata, jadi yang bisa ia lakukan hanyalah berkelit dengan kata-kata.

"Adek terharu tahu." kilahnya dengan nada merajuk, yang ternyata benar-benar berhasil mengelabui Reno. "Ngga peka banget." tambahnya lagi, sembari memuji sendiri aktingnya yang luar biasa dalam hati.

Senyum Reno berkembang cerah tak menduga. "Maaf, Mas ngga tahu."

Tak urung Nessa ikut menarik bibirnya keatas senatural mungkin. "Adek ke kamar Virgo ya, Mas? Bantu beresin barang yang mau dia bawa."

"Yaudah kamu keatas aja, biar makanannya Mas yang beresin." usul Reno yang tanpa sungkan langsung Nessa angguki seketika.

"Makasih," Segera Nessa berdiri duduknya. "Yaudah adek keatas," pamitnya yang kemudian mulai melangkahkan kaki. Namun baru beberapa langkah, tangan Nessa tiba-tiba ditarik hingga membuatnya berbalik. "Kena-"

Sebuah ciuman kembali Reno daratkan tepat di kening Nessa untuk kedua kalinya, setelah yg pertama adalah saat mereka menikah. Mata Nessa perlahan terpejam. Ia mencoba menelisik kedalam diri, mencari tahu adakah sesuatu yang terjadi. Namun sampai Reno selesai menciumnya, sama sekali hatinya tak merasakan apa-apa. Hampa.

Lagi-lagi, terpaksa Nessa harus berakting dan menampilkan senyumnya, agar Reno yang memandangnya dengan senyum lebar tak menaruh curiga.

"Udah sana." Reno menuntun Nessa membalikkan badan. Tanpa buang waktu Nessa langsung berjalan, bersama air mata yang tak lagi bisa ia tahan.

Saat berbelok dan mulai menaiki tangga, isakkan yang coba Nessa tahan akhirnya pecah juga. Padahal ia sudah sekuat tenaga menahan dan membekap sendiri mulutnya, tapi rupanya tak ada lagi tempat menampung kesedihan di dalam dirinya.

Sampai di tangga terakhir bagian atas, semua kesedihan Nessa keluarkan lewat tangisan. Mengosongkan semua tempat yang penuh, agar siap lagi menampung kesedihan disaat butuh.

Jujur, sebenarnya Nessa tak mengerti apa yang tengah ia tangisi. Kesedihan apa yang membuatnya sampai begini? Atau kenapa bisa hatinya menjerit sakit tak mau berhenti?

Apa yang ia harap atau inginkan? Bukankah ini semua ia sendiri yang memilihnya? Lalu kenapa ia mengeluarkan air mata? Padahal semua tak mungkin terjadi tanpa kehendaknya.

Bukakankah sejak awal perjodohan ia memang tak mengharapkan apa-apa? Lalu pengharapan apa yang sekarang ia ingin untuk terkabulkan?

Biarpun perjodohan yang terjadi dulu adalah kehendak orang tuanya, tapi sejatinya ia memiliki hak untuk menolaknya. Ia sendiri yang memutuskan menerima dan mau di nikahi oleh Reno. Juga, ia sendiri pula yang memutuskan bertahan meski tahu Reno bermain dibelakang. Lalu kenapa ia bersikap seolah-olah tersakiti? Padahal ia bisa dan mampu menghentikan semua ini.

What's wrong with you Nessa? This is your own choice. Stop acting like a victim.

Ya, ini pilihannya. Jadi segala hal yg terjadi sudah sepatutnya ia terima dengan lapang dada. Berhenti bertingkah seperti seorang korban, disaat ia sendiri yang memutuskan.

Sekiranya butuh seperempat jam untuk Nessa menghentikan kecengengannya. Tak perlu lebih lama, toh semuanya mustahil berubah juga.

Lalu bersama kedua tangan yang terkepal kuat di atas paha, bangkit adalah satu-satunya pilihan yang ia punya.

Pasokan udara Nessa pasok sebanyak mungkin kedalam paru-paru, berharap supaya kesakitan hati yang dirasa dapat sesegera mungkin berlalu. Baru setelahnya kembali Nessa menapaki satu-persatu keramik ke tempat yang di tuju.

Tanpa mengetuk pintu ataupun mengucap permisi terlebih dulu, Nessa langsung memutar gagang dan mendorong penghalang di depannya yang menghubungkan ke sebuah ruang.

Sosok pria bertelanjang dada dengan handuk di kepala menjadi pemandangan pertama yang tertangkap matanya. Habis mandi rupanya.

"Udah beresin barang-barangnya?" Nessa berjalan masuk sambil menginspeksi keadaan ruangan. Sudah tak ada lagi barang-barang Virgo yang ia lihat di tempat biasanya. "Kamu bawa semuanya?"

Virgo mengernyit memfokuskan mata melihat keanehan dari wajah Nessa. "Kakak habis nangis?" hanya dalam tiga kali langkah, dan Virgo sudah berada tepat di depan Nessa.

"Iya," percuma mengelak jika semuanya terlalu kentara. "Kamu mau berangkat sekarang?" handuk yang ada di tangan Virgo diambil alih Nessa, melanjutkan kegiatan mengeringkan rambut yang Virgo hentikan.

Baru menjulurkan tanganya keatas, pergerakan Nessa terpaksa harus terhenti akibat cekalan yang Virgo berikan.

"Dia ngapain kakak?" mata Virgo menghunus tegas tepat di mata Nessa, begitu juga nada suaranya yang terlihat menahan emosi. "Jawab Kak!"

Nessa menggeleng pelan. "Ngga ada." tangan coba ia gerakkan, namun ternyata Virgo lebih kuat menahan. Pertanda jika pria di depannya ingin penjelasan lebih. "Serius. Mas Reno ngga ngapa-ngapain Kakak. Dia cuma minta waktu buat dia nyelesain semuanya. Tapi ngga tau apa yg mau diselesaikan." jelas Nessa sesingkat mungkin yang diakhiri dengan mengendikan bahu sok polos.

Benar saja, Virgo melepas cekalannya dan mendegus kesal. "Semut di halaman depan juga tahu apa yang dia maksud dia." sinis Virgo berkomentar yang justru malah membuat Nessa terkekeh geli. "Terus kakak jawab apa?"

"Ya kakak jawab iya lah! Masa suami minta sesuatu ngga di iyain." santai Nessa menjawab tanpa ada beban.

Sebenarnya Virgo sudah menebak apa kemungkinan jawaban yang akan di suarakan Kakaknya Nessa. Alasan kenapa ia masih tetap bertanya ialah karena berharap kali ini sang kakak akan menjawab sesuai yang ia harapkan. Tapi lagi-lagi harapannya tak terkabulkan, dan kembali ia dibuat kecewa oleh kenyataan.

"Kenapa Kakak ngga nolak aja? Seberat itu keluar dari zona yang udah lama di tinggalin meskipun sama sekali ngga nyaman?" kekecewaan tergambar jelas di mata Virgo. "Kakak ngga pengen bahagia? Ngga pengen lepas dari semua sedih yang Kakak rasa?"

Terpaksa Nessa menghentikan kegiatannya agar bisa fokus pada mata Virgo yang memandangnya sangat intens. "Emang kakak keliatan ngga bahagia?" senyum lebar Nessa pasang, berikut matanya yang sedikit menyipit tampak berbinar. "Kalau ngga bahagia, kakak ngga bakal bisa senyum kayak sekarang, Vir."

Kedua tangan Virgo bergerak menangkup pipi Nessa, kemudian masing-masing jemarinya menyapu sudut netra yang beberapa saat lalu basah oleh air mata. "Tapi orang yg bahagia ngga mungkin punya gurat kecewa gini diwajahnya, Kak."

Perlahan namun pasti, senyum di wajah Nessa mulai berangsur luntur. Memang mustahil mengakali Virgo yang pintar dalam mengamati. Bahkan mungkin hanya Virgo satu-satunya orang yg bisa mengerti dirinya tanpa ia perlu bercerita.

"Terus Kakak harus gimana, Vir?" kembali netra sendu Nessa tergenang oleh air mata. Handuk yang berada ditangan terlepas dan luruh kelantai begitu saja. Genggaman tangannya berubah tempat, kini tepat di dada Virgo. "Kakak harus gimana?" lirih Nessa yang benar-benar tersesat oleh labirin yang ia buat sendiri.

Segera Virgo menarik tubuh Nessa dan memeluknya, menyandarkan kepala wanita yang mulai terisak itu di dada dan membelainya.

"Kakak udah bilang semuanya sama kamu." terus Nessa berkata di sela sesenggukan yang mulai menampakkan kehadirannya. "Kakak sendiri yang milih begini, kakak yang mau jadi kayak gini. Ini resiko dari pilihan Kakak, yang mau ngga mau, suka ngga suka harus Kakak terima."

Untuk kedua kalinya dalam waktu yg tak berselang lama, kembali Nessa menumpahkan segala kesedihan yang ternyata masih ada. Bedanya, kali ini ada seseorang yang menyangga dan menenangkannya.

Setiap sesenggukan yang Nessa keluarkan, sayatan kepedihan ikut pula Virgo dapatkan. Tangis adalah salah satu hal yang ia sangat benci selamanya, namun ia sadar tak bisa menyuruh Nessa berhenti menangis begitu saja.

"Sekarang belum terlambat buat berubah haluan, Kak." belaian menenangkan terus-menerus Virgo beri tanpa jeda. "Kakak masih bisa berhenti dan keluar dari zona ini."

Masih dalam tangisnya, Nessa sedikit menarik mundur kepala agar bisa memandang Virgo yang ternyata sudah lebih dulu menundukkan kepala melakukan hal yang sama.

Virgo tersenyum kecil. "Ayo keluar dari jurang ini bareng-bareng, Kak. Ayo kita lari, pergi dari sedih yang kita rasain. Beresin barang Kakak dan ikut Virgo pulang. Semuanya biar Virgo yang urus, Kakak tinggal ikut aja." ajak Virgo penuh keseriusan dan sedikit kenekatan.

Sekali lagi dan untuk yang terakhir kali ia akan mengulurkan tangannya guna membantu sang Kakak keluar dari jurang kesedihan. Tinggal apakah wanita di depannya ini mau menyambut bantuannya atau tidak.

Janji yang dulu terikrar pada Kakaknya masih ia pegang erat dan ingin menepatinya sampai sekarang. Tapi untuk dapat merealisasikan janjinya, tentu ia butuh kerja sama dari orang yang ingin dibahagiakan.

Sekarang, semua keputusan tergantung pada Nessa sendiri.

Keseriusan yang Virgo tunjukkan tersebut berhasil menghentikan isak tangis Nessa yang kini menatap Virgo sangat dalam tanpa kata. Dan entah siapa yg memulai, atau bagaimana semua dimulai, kini bibir mereka sudah saling bertaut satu sama lain.

Nessa memejamkan mata, otomatis Virgo juga melakukan hal yang sama. Seperti anak SMA yang baru pertama kali berciuman, keduanya sangat amat perlahan dalam balas membalas kecapan. Menjajaki satu sama lain, tanpa ada ketergesaan yang tidak penting.

Kedua tangan Nessa bergerak melingkar di leher Virgo seiring semakin tenggelamnya ia dalam kegiatan yang terjadi. Lalu bak keselarasan dalam harmoni, Virgo pun menggerakan tangan dan mengangkat tubuh Nessa untuk berpindah keatas ranjang.

Tanpa melepas pagutan, secara perlahan tubuh Nessa mulai menapak keatas ranjang. Mendapat posisi yang lebih leluasa, kini Virgo bisa lebih mudah mengeksplorasi dan mendominasi keadaan dan suasana.

Lenguhan tertahan mulai keluar terdengar, saat Nessa merasakan sentuhan di kaki dan terus bergerak keatas secara menggoda. Sekuat tenaga ia berusaha mengimbangi pergerakan bibir dan lidah Virgo yang kian aktif, tapi memang itu masihlah terlalu sulit.

Entah karena faktor apa, Nessa merasa sentuhan pelan dan ringan dari Virgo sangatlah terasa. Hanya bibir dan jemari, tapi itu sudah membuatnya lupa diri.

Pergerakan tangan Virgo yang sejak tadi merayap akhirnya sampai titik yang di damba oleh semua pria, sepasang bukit kembar nan kenyal bernama payudara yang masih tertutup kain Bra.

Nessa tak kuasa lagi menahan diri lebih lama, sehingga memilih melepas tautan bibir dengan cara menolehkan kepala.

Deru napas yang Nessa keluarkan terdengar menggoda di telinga Virgo, membuatnya ingin melakukan hal lain yang bisa memancing suara desah favoritnya agar keluar.

Sedetikpun Virgo tak membiarkan anggota tubuhnya menganggur begitu saja. Leher jenjang yang terekspos di depan mata menjadi pilihan berikutnya. Lidah dan bibirnya langsung bermain disana, mengejutkan yang masih belum pulih secara sempurna.

Tak ada hal lain yang bisa Nessa lakukan selain melenguh dan meremas rambut belakang Virgo. Nikmat yang ia rasakan sekarang sungguh sudah sangat berlebihan, tapi entah kenapa ia ingin lagi dan lagi seperti orang yang sedang kehausan.

"Kakak mau lebih, Vir." terang Nessa dengan suara yang tertahan. Namun kalimat yang di katakan selanjutnya justru mengakibatkan Virgo mematung diam. "Dan Kakak mohon kamu jangan pulang."

Ternyata jawaban dari ajakan Virgo tadi adalah ini. Uluran tangan yang coba ia beri justru Kakaknya manfaatkan untuk menariknya ikut terjun kedalam jurang, dan bukan di pergunakan sebagai sebuah bantuan.

Nessa justru mengajaknya berkubang lumpur bersama, disaat ia menawarkan kolam renang indah sebagai tempat bermain mereka.

Virgo menarik kepalanya hingga tepat di depan wajah Nessa. Kilat gairah bisa ia lihat dari netra Kakaknya, dan ia percaya hal yang sama juga Nessa lihat di matanya.

Senyum tipis Virgo tunjukkan, berikut elusan di pipi Nessa pun ia lakukan. Kemudian sekali lagi ia mengecup bibir wanita dibawahnya meski hanya sekilas saja.

"Maaf, tapi Virgo ngga bisa Kak." Selain sebagai penegasan, Kalimat itu juga ungkapan kekecewaan terdalam dari Virgo yang langsung menarik diri dan melenggang pergi menuju kamar mandi, meninggalkan Nessa yang hanya bisa mengikuti lewat tatapan mata.

Sekarang Virgo paham. Meski ribuan kali ia mengulurkan bantuan, Tak sekalipun tanganya akan mendapat sambutan.

Beralih ke area yang berbeda namun masih di kediaman yang sama, tampak raut putus asa hadir di wajah Reno akibat seseorang yang kini melakukan panggilan denganya.

"Please ngertiin aku Shella. Aku juga perlu perhatiin istriku." Reno kehabisan kata untuk memohon pada sosok diseberang bernama Shella. "Demi tuhan kita cuma kurangin waktu doang! Bukan berhenti ketemu."

"Itu urusan kamu, masalah kamu sendiri. Aku ngga mau tahu." terdengar datar wanita di seberang menjawab, tak mau mengerti ataupun peduli sama sekali.

"Shella-"

"Kamu sendiri yang janji Reno! Kenapa jadi aku yang keliatan salah disini?" potong suara diseberang tak memberikan Reno kesempatan untuk berbicara. "Aku ngga mau tahu. Istri kamu itu urusan kamu sendiri."

Sambungan telepon pun langsung terputus begitu saja setelahnya. Menyisakan kekesalan dan rasa bersalah yang teramat besar di diri Reno pada sang istri, dan juga wanita yang baru saja ia telepon bernama Shella.





*******





Biarpun waktu sudah menunjukkan sore hari, kesibukan yang terjadi di sebuah apartemen belum juga usai sedari pagi. Semuanya sibuk dengan tugas masing-masing, menyiapkan apa-apa yang di perlukan untuk kejutan yang akan terjadi sebentar lagi.

"Yang! Coba telepon Vio atau Alam sih, tanya udah sampai mana." perintah Alea yang tampak sangat kerepotan di dapur. "Bentar lagi jam lima ini." bahkan mulutnya saja di paksa untuk banyak bekerja mengatur segalanya.


Tak jauh dari Alea, ada Audrey yang juga sibuk menata apapun yang telah di rencanakan. Sedangkan untuk Danang sendiri, saat ini ia tengah memasang hiasan di dinding bagian atas menggunakan tangga.

"Telepon kamu kenapa?! Ngga liat aku lagi ngapain sekarang?" sudah sejak pagi Danang terlihat kesal, dan itu dikarenakan ide konyol kekasihnya yang ingin ada pernak-pernik di sekitar ruangan. "Lagian kenapa pake hias-hias segala sih. Kalo ada fungsinya ngga apa-apa, ini apa coba? Udah ngga ada fungsi, nambah-nambahin kerjaan lagi." lanjutnya mengomel yang entah sudah berapa puluh kali.

Bukan Danang tak suka ide kejutan yang Alea cetuskan. Cuma, kalau bisa sesuai tema dan umur orang yang di beri kejutan. Mana ada pernak-pernik yang identik dengan ulang tahun anak kecil berada di kejutan ulang tahun orang dewasa? Lihat saja sekarang, ruang tengah apartemennya sudah persis seperti taman kanak-kanak.

Mendapat balasan tak mengenakkan dari sang kekasih, emosi Alea langsung melejit drastis sampai ke kepala. Tubuhnya berbalik seketika, lengkap dengan mata melotot dan tangan betolak pinggang. Lalu saat Alea sudah siap mengeluarkan rentetan kata, interupsi dari bell pintu lebih dulu datang menyela.

Hoki satu tahunan Danang sudah terpakai sepertinya.

"Biar gue yang buka." seru Audrey langsung bergegas menuju pintu, mencari keselamatan diri atas kondisi ruang tengah yang menjadi medan perang.

Pucuk di cinta, Mas Raden Alam Susena pun tiba. Cengiran lebar seorang Alam menjadi hal pertama yang Audrey saksikan setelah membuka pintu. Baru setelahnya berganti pada Violin yang ada disebelah Alam. Tapi dari gelagatnya, Violin terdeteksi sedang dalam kemarahan.

Audrey menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala. "Lama banget sih kalian," tubuhnya sedikit bergeser memberi jalan, lalu membuntuti dua orang itu dari belakang guna mencari keamanan. "Gue berasa lagi di zona perang tau ngga."

"Tanya sama si curut satu ini." judes Violin sedikit kesal. Kemudian melirik sinis Alam sekilas sebelum menghadiahinya dengan sikutan kuat tepat di pinggang.


Kontan saja Alam memekik kaget dan kesakitan. "Sakit bego!"

Buru-buru Alam berlari menuju meja dan meletakkan kotak berisi kue yang ia pegang. Kemudian Tangannya yang sudah kosong pun ia gunakan untuk mengelus-elus pinggangnya yang benar-benar sakit.

"Ngga pake KDRT kenapa sih!" Protes Alam memberengut kesal. "Dikit-dikit main tangan. Sekali-kali main bibir atau lidah kek, biar gue jadi enak." lanjutnya mengomel yang malah di tanggapi gelak tawa dari tiga orang disekitarnya kecuali Violin.

Hanya tatapan tajam dan bibir merapat tipis yang Violin lakukan, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Alam segera sadar. Alarm bawah sadar Alam berbunyi nyaring memberi peringatan adanya bahaya besar yang akan datang.

Dengan panik Alam langsung mendekat dan menggenggam kedua tangan Violin. "Becanda Lin, sumpah!" rengek Alam dengan wajah melas meminta ampunan. "Maaf ya? Janji Abang ngga ngulangin lagi." bujuknya lagi terlihat sangat bersungguh-sungguh.

Tak pelak Violin pun menganggukan kepala, dan seketika Alam langsung senang luar biasa. Tapi sedetik setelahnya, pekikkan nyaring keluar juga dari mulut Alam untuk kedua kalinya akibat kekerasan yang Violin lakukan lagi.

Kepala Violin sudah berada di ceruk leher dengan gigi yang sudah menancap kuat disana. Kedua tanganya juga erat melingkar dan mengunci di leher Alam agar tak bisa lepas. Sama sekali Violin tak sedang bercanda atau apa. Ia benar-benar melepaskan semua emosi yang mengendap dalam dirinya.

"Mamaaahhh!!" jerit Alam tak tertahan. Cujup kuat tanganya coba mendorong kepala Violin agar menjauh, namun perempuan itu sungguh sangat bersikukuh. "Maaahh!! Anak mamah di isep darahnya!!"

Gelak tawa seketika nyaring terdengar kembali dari tiga orang yang sama. Mereka bingung sekaligus takjub dengan mulut ajaib Alam yang selalu mengeluarkan kata-kata di luar penalaran manusia. Sampai-sampai Danang yang masih berada di atas tangga hampir saja jatuh akibat hilang keseimbangan.

Puas meluapkan emosi yang sudah menumpuk sejak tadi, akhirnya Violin menyudahi gigitan dan melepaskan Alam yang sigap bergerak mundur menjauhi vampire hidup di depannya.

"Lo kok gigit beneran sih!!" kesal Alam namun sedikit lega karena bisa lepas dari predator di depannya. Tanganya terulur mengecek lehernya yang terasa perih. Ternyata ada jejak darah di tangannya. "Ck. Mana sampai berdarah gini." Alam menggeleng tak percaya, terlihat benar-benar kesal sekarang. "Kamar mandi lo dimana, Nang?"

Danang yang sempat terbengong seketika sadar." Di kamar gue aja, tuh pintu belakang lo." sebenernya di samping dapur ada kamar mandi juga. Tapi karena kotak obat berada di kamarnya, lebih baik sekalian memakai kamar mandi di dalam kamar. "Itu kotak obatnya-" Alam sudah lebih dulu berjalan dan menghilang di balik pintu kamar yang tertutup cukup keras. "Dasar biawak." gerutu Danang cukup kesal akibat di abaikan.

"Dimana kotak obatnya Nang?" akhirnya Violin mengeluarkan suara juga. Wajahnya terlihat santai seperti tak punya dosa. Bahkan senyum tipis tersemat di bibirnya.

"Di atas meja yang di sebelah lemari, kotaknya warna biru."

Violin mengangguk paham, lalu segera berjalan mengikuti jejak Alam yang sudah lebih dulu masuk kedalam kamar Danang.

"Ganas banget si Violin." komentar Audrey geleng-geleng kepala. Ia sempat melihat luka di leher Alam tadi, dan itu lumayan juga.

"Ngga usah heran, Drey." sahut Danang kembali pada kegiatan semula, menempel hiasan pada dinding. "Mereka emang Tom and Jerry. Kapan pun dan dimana pun pasti berantem. Udah tabiatnya Alam jadi kucing, terus si Olin jadi tikusnya." terang Danang sedikit bercanda, yang tentu membuat Audrey terkekeh geli mendengarnya.

Kembali mereka bertiga melanjutkan kegiatan mereka yang sempat tertunda sesaat. Sedangkan di dalam kamar Violin hanya berdiri menyender ke tembok, menunggu Alam yang sedang berada di dalam kamar mandi.

Beberapa menit setelahnya, akhirnya pintu kamar mandi terbuka juga. Wajah Alam seketika berubah saat mendapati sosok Violin ada di depannya. Mendengus kesal, dengan cuek Alam berjalan melewati Violin ingin langsung keluar saja.

Seringai geli berkembang di wajah Violin. "Ngga mau di obatin dulu?" ucapnya sambil membalikkan badan. Lalu mengulurkan kotak obat yang ia pegang kedepan. "Nih kotak obatnya."

Menghembuskan napas secara kasar, tak urung Alam pun berbalik dan merampas kotak di tangan Violin secara kasar. Lalu ia berjalan kembali yang kali ini menuju depan kaca.

Memang tak ada hal lain yang lebih menyenangkan selain menggoda Alam. "Mau gue bantuin ngga?" goda Violin sambil menahan tawa yang ingin keluar.

Tak ada tanggapan yang Alam berikan, menganggap seolah-olah tak ada orang lain di sekitarnya dan fokus menuangkan alkohol ke atas kapas.

"Diem berarti iya." putus Violin sepihak dan langsung beranjak mendekati Alam yang kontan melirik ganas tanda tak ingin di usik. Kekehen geli akhirnya keluar juga dari bibir Violin yang tak kuat lagi menahan.

Sesampainya tepat di samping Alam, tangannya pun terulur meminta kapas ingin membantu, tapi lagi-lagi ia tak dihiraukan.

Satu alis Violin terangkat, "Serius ngga mau gue bantu ini?" masih tak ada tanggapan yang ia dapatkan. Gemas sendiri dengan tingkah Alam, penyaluran rasa pun ia lakukan dengan menggigit bibir bawahnya sendiri. "Lam?"

Alam berbalik menghadap kaca. Walaupun memang agak susah, tapi ia tak akan meminta bantuan Violin untuk mengobati luka di lehernya.

Karena rasa gemas yang kian tak tertahan, juga tak ingin terus di abaikan, Violin memilih menubruk tubuh Alam dan memeluknya dari samping.

Helaan napas panjang Alam keluarkan atas tingkah Violin yang tiba-tiba memeluknya. Tanganya berhenti bergerak, pandangannya beralih turun ke arah wanita yang memeluknya. "Gue lagi ngga minat bercanda Lin."

Sekarang gantian Violin yang pura-pura tuli. Mulutnya ia kunci rapat, namun tubuhnya bergerak kedepan Danang lengkap dengan pelukan yang semakin di eratkan. Seakan belum cukup, ia juga menyandarkan kepalanya di dada Alam bersama mata yang perlahan terpejam.

Alam menghela napas sekali lagi, yang entah sudah keberapa kali hanya dalam waktu dekat.

"Jangan diemin gue." pelan Violin berkata dan semakin memperkuat pelukannya. "Maaf. Tapi gue kesel sama lo tadi."

"Hhmmm." gumam Alam menanggapi seadanya, dan kembali lagi mengobati luka di leher dengan tingkat kesusahan yang semakin meningkat.

"Lam!" rengek Violin mendongakkan kepala dengan bibir yang mengerucut lucu. "Jangan gitu kek."

"Gue lagi fokus ngobatin ini." jawab Alam sama sekali tak bergeming.

Ekspresi Violin berubah. Tanganya lincah bermanuver mencekal lengan Alam. "Fokus ke gue aja, dan biarin gue obatin luka yang gue bikin." ucapnya serius dan penuh makna.

Alam menunduk menatap wajah di bawahnya. Ada makna ganda yang ia tangkap dari kalimat Violin barusan. "Luka yang mana?"

"Luka yang disini," sedikit kesusahan, Violin menjinjitkan kakinya hingga akhirnya bisa mendaratkan kecupan lembut tepat di leher Alam yang terluka. Kemudian setelahnya ia bergerak kembali turun dan mendaratkan bibirnya tepat di dada Alam. "Sama yang disini."

Senyum Alam berkembang tipis, paham maksud dari Violin. "Lo ngga perlu ngelakuin apa-apa." kapas yang berada di tangan Alam jatuhkan begitu saja, lalu beralih membelai rambut panjang wanita yang masih setia memeluknya. "Gue masih bisa dan mampu obatin luka gue sendiri. Jadi gue ngga perlu bantuan dari orang lain."

Violin bungkam dan hanya mampu memandang mata Alam. Semua usaha yang telah ia lakukan berakhir penolakan. Ketika ia mencoba berjalan mendekat, selalu dorongan dari Alam lah yang ia dapat.

"Sampai kapan?" lirih Violin menahan perih. "Sampai kapan lo mau menghindar? Sampai kapan lo terus-terusan nolak gue, Lam?" meskipun sudah menahannya sekuat mungkin, nyatanya genangan air di pelupuk mata masih juga hadir. "Bilang gue harus ngapain? Biar lo bisa maafin gue."

Dengan lembut Alam menyeka air mata Violin yang nyaris jatuh membasahi pipi. "Keluar yok." secuil senyum Alam pertahankan sembari melepaskan kaitan tangan Violin di perutnya. "Kasihan yang lain lagi repot."

Dan seperti yang sudah-sudah, Alam memilih menghindar pergi dari pertanyaan-pertanyaan yang sudah berulang kali Violin tanya.

Tarikan napas kuat Alam lakukan sesampainya di depan pintu. Setelah merasa siap barulah ia membuka pintu lebar-lebar dengan wajah yang sudah berubah drastis. "Danang! Gue berubah jadi zombie!"

Perih terasa di hati Violin kala menyaksikan semua itu. Lagi-lagi Alam melakukan akting luar biasa. Akting yang di pasang agar terlihat baik-baik saja. Sebuah bakat alami yang ditemukan dan di asah saat pria itu masih menjadi kekasihnya.

"Mana Violin?" tanya Audrey saat mendapati Alam di sisinya.

"Masih di kamar. Dia ngambek gegara gue jutekin." kilah Alam sambil berusaha menampilkan wajah kesal. "Udah biarin aja, entar juga keluar sendiri." Begitu saja, dan Audrey pun langsung mengangguk percaya.

Tapi tak berselang lama Violin pun akhirnya keluar dari kamar dengan wajah yang tertekuk. Ia menerapkan perkataan Alam yang bilang jika ia sedang marah, juga memilih menjauh dari Alam dengan membantu Alea agar terlihat lebih meyakinkan.

Selain pandai dalam saling menyakiti, rupanya mereka sama-sama pandai dalam berperan. Memang terlihat Ironis, tapi cara mereka menutupi satu sama lain dan saling mengerti sangatlah manis.

Hingga beberapa menit sebelum pukul lima, akhirnya mereka selesai dan siap membuat kejutan untuk Keyra yang hari ini berulang tahun. Langkah terakhir pun Alea lakukan, yaitu menelepon Keyra agara segera datang.

Setelah Keyra menyanggupi, segera mereka membentuk barisan tepat di depan pintu dengan posisi teratur. Alea di garda depan sebagai pembuka jalan. Violin dan Audrey tepat di belakangnya dengan kue yang berada di tangan. Sedang Alam dan Danang yang berada di barisan paling belakang pun sudah siap dengan senjata Party Pooper di tangan mereka.

Semuanya kompak terdiam menanti kedatangan Keyra, sampai akhirnya bell pintu yang di tunggu-tunggu pun terdengar juga.

Alea menoleh kebelakang, "Siap-siap ya, gue hitung sampai tiga." bisik Alea mengkomandoi, yang diangguki siap oleh para prajurit pemberani.

"Satu..." Alea memegang kuncian pintu dan menggesernya. "Dua..." semuanya mulai bersiaga. "Tiga!!!" pintu Alea buka secepat yang di bisa.

"SURPRISE!!!!" teriak mereka bersama diiringi ledakan Party Pooper yang langsung mengeluarkan hujan kertas warna warni.

Keyra yang berada di depan pintu hanya bisa terdiam kaku akibat kaget. Otaknya lambat mencerna apa yang sedang terjadi di depannya.


"Happy birthday dear!" Alea menghambur memeluk Keyra yang masih terdiam mematung sangat erat.

Lagu Happy Birthday mulai berkumandang sumbang disana, sebab di dominasi suara Danang dan Alam yang sangat niat dalam menyanyikan-nya.

Alea menggiring Keyra yang masih betah tak berkata masuk kedalam apartemen dengan wajah ceria.

Setelah lagu pertama selesai, mereka melanjutkan lagu yang kedua, apalagi kalau bukan lagu 'Tiup lilinnya'.

Keyra memandang satu-persatu sahabatnya termasuk dua pria asing yang tidak ia ketahui siapa. Karena masih syok, ia bahkan tak menyadari jika harus meniup lilin yang ada di depannya. Untung Alea yang paham situasi pun segera menepuk punggung Keyra supaya sadar.

"Tiup lilinnya Key! Jangan lupa make a wish."

Dalam diam Keyra menuruti perkataan Alea. Matanya terpejam bersama lantunan doa yang ia panjatkan dalam hati. Baru setelah itu ia membuka matanya yang sudah berkaca-kaca dan meniup lilin di depannya.

Sorak sorai gembira langsung bergema disana. Kue Violin serahkan pada Alam yang berada di belakang, dan setelahnya keempat wanita tersebut pun berpelukan dengan kebahagiaan yang terpancar nyata.

Berbagai doa terbaik di berikan oleh Violin, Alea dan Audrey untuk sang sahabat Keyra. Bercengkrama mesra dengan lemparan canda dan tawa, seolah-seolah hanya ada mereka berempat disana.

"Dahlah, Nang. Mending kita ke ruang tengah aja ayok. Gue udah laper kerja Romusha dari pagi." usul Alam berwajah datar, menatap jengkel keasikan empat wanita di depannya yang sudah memiliki dunia sendiri. "Percuma disini. Kita tuh invisible sekarang."

Bermuka sama seperti Alam, anggukan setuju pun Danang berikan. Jadilah keduanya langsung berbalik dan berlajan menuju ruang tengah dengan lunglai tanpa tenaga.

Yah, setidaknya perbudakan mereka sudah selesai setengah jalan, dan baru benar-benar selesai setelah apartemen ini bersih seperti awal mula.

Danang duduk berdampingan bersama Alam, keduanya langsung kompak membalik piring yang ada tepat di depan mereka. Tangan Alam terulur lebih dulu ingin mengambil apapun itu yang terdekat, tapi sebuah cekalan sudah saja ia dapati dari orang dibelakangnya.

"Jari lo gue potong kalau berani nyentuh itu sendok." peringat sosok dibelakangnya yang sudah ia hapal mati suaranya.

Alam menghela napas pasrah melirik kearah Danang yang ternyata sudah lebih dulu menoleh padanya. "Sebat?"

"Gas!" Danang bangkit dari duduknya.

Mirip seperti yang terjadi pada Alam, sebuah cekalan pun juga Danang dapat dari Alea yang sudah berada disampingnya. "Key, kenalin, ini cowok gue."

Terpaksa Danang menarik senyum lebar dan megulurkan tangan pada sosok cantik di depannya yang cepat menyambut. "Gue Danang, pacar Alea. Tapi gue juga rangkap jabatan jadi budak dia."

Sebuah cubitan di pinggangnya yang sudah kebal Danang dapat dari Alea yang tak terima. Sudah tak terasa lagi saking seringnya.

Tawa renyah keluar di bibir Keyra. "Harus sabar. Gue juga kadang ngga tahan kok punya temen model dia." balas Keyra meladeni candaan Danang, membuat Alea yang menjadi bahan gunjingan cemberut kesal.

Sekarang giliran Alam yang berkenalan. Tanganya terulur kelewat semangat tepat di depan Keyra, lengkap dengan cengiran lebar yang ia kira sangat mempesona, padahal aslinya mah sangat menggelikan. Keyra saja sampai tak bisa menahan kekehan geli saat menjabat tangan Alam.

Violin yang berada di sebelah Alam hanya bisa mendengus malas. Tabiat Alam memang selalu seperti itu jika sudah menyangkut lawan jenis berwajah bening.

"Lo ngga usah perkenalan, biar gue aja." sergah Alam cepat saat Keyra baru membuka mulut ingin mengeluarkan kata. "Gue Alam, pria tampan nan baik hati yang sedang mencari pasangan." ucapnya jumawa dengan tingkat kepedean yang tak terkira.

Sontak semua yang ada disana terkecuali Violin dan Danang langsung tertawa kencang mendengarnya. Luar biasa memang mahluk satu yang masih tak kunjung mengurai jabatan itu.

"Apabila lo berkenan, bisa kali bagi kontaknya." lanjutnya lagi sembari mengedipkan mata genit. Violin yang tak tahan lagi pun langsung menghantam bahu Alam sekuatnya.

"Kayaknya kita emang jodoh deh. Soalnya kebetulan gue juga jomblo sekarang." balas Violin meladeni candaan Alam masih dengan kekehan yang tak mau berhenti.

Mata Alam berbinar sangat bahagia. "Ya ampun! Tuhan emang baik, mau ngirim gue jodoh yang selama ini udah gue nanti-nanti." seru Alam kelewat lebay. Kemudian membentangkan kedua tangannya dan menatap keatas. "Terimakasih tuhan. Abis ini gue bakal rajin ibadah."

Tawa pun terus berlanjut, dan sudah pasti Alam lah yang menjadi badut. Kebahagiaan terpancar indah disana, padahal beberapa saat yang lalu ada dari mereka yang merana.

Kekuatan semesta memang tiada duanya. Mampu membalikan apapun dalam waktu yang tak terduga. Kesedihan yang semula menaungi disana, kini hilang di sapu ombak bahagia.

Memang seperti itulah cara kerja kehidupan. Tak ada yang stagnant, semuanya terus berputar dan berjalan.

Tapi jika di perhatikan secara seksama, sebetulnya ada yang cukup aneh disana. Tepatnya pada meja di sudut ruangan yang terdapat enam kotak kado di atasnya.

Memang ada enam orang di ruangan, tapi itu juga termasuk sang ratu yang hari ini bertambah satu tahun umurnya. Jika satu orang memberikan sebuah kado untuk Keyra, seharusanya cuma ada lima kado disana.

Lalu apakah ada satu orang yang memberikan dua kado? Atau justru seharusnya ada satu orang lagi disana? Satu orang yang akan menambah kemeriahan suasana, orang yang setiap saat selalu menjadikan Keyra sebagai ratunya.

Hadiah yang tersisa adalah dari Virgo, orang yang tak bisa dan tak mungkin menampakkan diri di depan Keyra. Hanya hadiahnya saja yang bisa disana, hadiah yang bahkan tak bisa langsung di berikan.

Tidak seperti lima orang lainya yang bisa mengucap selamat dan memberi doa secara langsung tepat di depan Keyra, cara yang berbeda mau tak mau harus Virgo alami sendiri.

Lewat angin laut yang berhembus kencang di sore hari, di ikuti suara kendaraan yang berlalu lalang tak jauh dari tempatnya berdiri, lantunan doa terbaik Virgo panjatkan untuk Keyra yang mustahil bisa mendengar suaranya.

Di kota Rembang tempat pemberhentiannya sekarang, bertemankan batuan karang berbagai macam ukuran, ucapan selamat Virgo beri dengan senyum mengembang.

Meski tak ada satupun ucapan selamat ulang tahun yang ia dapati hari ini, sungguh perasaan bahagia ikut pula Virgo alami. Baginya tak ada yang lebih membahagiakan, selain mendapati Keyra di kelilingi orang-orang yang sayang dan perhatian padanya.

Meski sendirian, sama sekali ia tak merasa kesepian. Biarpun tak ada selamat yang ia dapatkan, itu sama sekali tidak menyakitkan.

Selama Keyra masih ada di hati, itu lebih dari cukup untuk menemai. Meskipun ucapan selamat tak ia dapati, kenangannya bersama Keyra sudah sangat-sangat cukup untuk mengobati. Itu lebih berarti, dan ia tak perlu apa-apa lagi.



Ketika cinta datang menunjukkan kehadiran, hanya ada dua akhir yang menjadi pilihan.
Pembelajaran, atau kebahagiaan.

J_bOxxx

makasih updet ekstra-nya @Pamungkas999
 
Saya kembali, artinya info datang lagi.

Ada informasi dan pertanyaan buat kalian my viewers yang budiman.

Informasinya. Buat kalian yang mau cerita ini lagi, kalian bisa datang ke platform oren saya. Nama akun @J_bOxxx. Disitu LOCKED mau saya revisi habis-habisan biar lebih enak dan mantap di bacanya. Juga bakal saya buat lebih detail, beda banget sama yang disini. Tenang aja, 21+ ngga saya ilangin.

Dan karena saya mau revisi cerita ini dulu buat di platform yang sana, maka bisa di pastikan LOCKED II bakal molor sampai batas waktu yang ngga di tentuin (Tadinya bulan ini mau launch).

Tapi tenang, saya kasih kalian pilihan, kok. Sambil nunggu LOCKED II launching, kalian mau saya kasih cerita lain apa engga? Dah Jawab tuh. Saya tunggu jawabannya.


Happy Reading!!!

Salam semprot!!

 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd