Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kisah Seratus Susu ~ Tamat

Wah mantap banget nih hu tritnya, itu cerita sama pic real semua ya hu
 
Wah cerita bagus nih, sungguh terlambat gue

Salam kenal maha suhu, ijin ninggal patok
 
Aku dibangunkan oleh cahaya matahari pagi yang menembus jendela kamarku dan membelai wajahku. Terdengar suara burung-burung pipit liar yang bernyanyi merdu menyambut pagi yang cerah.

Hari ini adalah saatnya aku bekerja sebagai model telanjang untuk kelasnya Tante Novi. Pekerjaan ini masih terasa janggal dan aku masih ragu untuk melakukannya. Sebagian besar hatiku berkata jangan, bahkan otak lendirku tidak muncul sama sekali padahal Tante Novi memiliki tubuh chubby dengan susu yang besar.

Perasaan malu, grogi dan takut yang mondar mandir di pikiranku. Aku hanya diam bengong menatap langit-langit kamarku, sampai ibuku mengetuk pintu. Tok. Tok. Tok. "Budi, cepat bangun nanti telat kuliah." Aku sedang tidak mood untuk kuliah, lagi pula aku harus nge-pump otot dulu di gym, agar ototku terlihat sedikit lebih besar untuk sementara. "Aku libur hari ini Bu," jawabku.

Siang harinya aku latihan di gym sampai sekitar jam satu. Setelah mandi air hangat di tempat gym, kutaruh semua pakaian kotor di loker lalu langsung menuju rumah Tante Novi. Mereka ini adalah orang-orang kaya, jadi aku harus berpenampilan menarik. Aku mengenakan kaos, selvedge jeans, boots kulit, dan parfum beraroma maskulin.

Seperti kemarin, satpam di rumahnya langsung menyuhku untuk langsung menunggu di ruang tamunya. Tidak lama kemudian Tante Novi menghampiri lalu duduk di sofa di depanku.

Tante Novi: "Muka kamu kenapa kaya bingung gitu?"
Aku: "Aku grogi tante, kayaknya aku nggak jadi untuk pekerjaan ini."
Tante Novi: "Wajar kok grogi, dicoba dulu saja, nanti juga terbiasa."
"Itung-itung kamu bantu Tante, Dodi kan sudah berhenti, kalau kamu nolak, tante susah lagi cari penggantinya."
"Tante ini orang yang tahu balas budi, kalau kamu baik sama tante, nanti akan tante balas berkali lipat."

Aku hanya terdiam tidak bisa berkata apa-apa.

Tante Novi: "Cuma jadi patung dua jam doang loh Bud, sebentar doang nggak akan terasa."

Benar juga yang dia katakan, cuma dua jam mematung doang aku bisa mendapatkan 2jt, lebih besar dari gaji UMR yang kerja sebulan.

Aku: "Baiklah tante, aku coba dulu ya."
"Aku juga nggak enak sama tante, soalnya nggak ada penggantiku."

Tante Novi: "Nah gitu dong Bud, ayo kita ke ruang gambar."

Sesampai di ruang gambar, sudah ada seorang teman Tante Novi yang sedang main HP. "Ami, kenalin ini model baruku," ucap Tante Novi sambil mengajakku untuk duduk di depan Tante Ami. "Salam kenal tante, aku Budi, model pengganti Dodi," ucapku sambil tersenyum. Tante Ami tidak membalas sapaanku, melainkan memalingkan wajahnya dengan gestur yang sombong. "Memangnya yang kemarin kemana Vi?" "Resign, katanya dia sibuk nggak ada waktu lagi," jawab Tante Novi.

Tante Ami yang bertubuh langsing ini masih terlihat cantik dengan rambut bergelombang yang dicat, gestur tubuhnya berkelas dengan posisi dagu yang agak mendongak. Aku mencoba membuka pembicaraan, namun dia menjawab singkat dengan melihatku dari sudut matanya sedetik lalu memalingkan wajahnya, membuatku malas untuk mengajak ngobrol lagi.

Aku lebih banyak mengobrol dengan Tante Novi, dia juga menanyakan banyak hal terutama seputar kuliahku. Satu persatu teman Tante Novi datang dan ikut mengobrol. Topiknya berubah menjadi tidak relate denganku. Yang mereka obrolkan adalah rencana jalan-jalan ke luar negeri, merek tas dan sepatu mahal. Aku hanya terdiam tidak mengerti dan hanya sesekali menyumbang tawa saat ada yang melontarkan candaan.

Aku memperkenalkan diri. Teman-teman Tante Novi ini ada lima orang dengan personaliti yang berbeda. Mereka semua ramah dan baik, tidak seperti Tante Ami. Tante Yola memiliki tubuh yang terlangsing tapi sudah keriput dan dadanya rata. Yang kulitnya paling putih dan berwajah oriental bernama Tante Alin, tubuhnya mungil agak chubby. Yang keempat adalah Tante Lucy, kulitnya putih, wajahnya cantik, dandanannya terlihat seperti wanita karir. Yang tampak paling tua adalah Tante Sandra.

"Ayo kita mulai kelasnya, ngobrol terus nanti nggak mulai-mulai," ucap Tante Novi sambil berjalan ke depan ruangan. Aku mengikutinya. Yang lain duduk sila di belakang meja masing-masing. Di atas meja itu sudah dipersiapkan selembar kertas berukuran A2, beberapa jenis pensil dan sebuah penghapus.

"Ayo buka baju kamu," ucap Tante Novi. Aku membuka semua pakaianku sampai akhirnya telanjang bulat. Aku merasa canggung, gugup, dan malu banget rasanya telanjang di depan banyak orang seperti ini.

Dia menyuruhku untuk naik ke atas meja kayu besar lalu tiduran menyamping ke kanan dan bertopang di siku kanan. Tangannya mengarahkan kaki kiriku agar menekuk dan terbuka ke atas. "Aduh kamu ini, sudah dibilangin cukur jembut," bisiknya sambil dengan santai memposisikan biji dan kontolku ke depan. "Maaf tante, aku lupa," jawabku. Dia melotot sebentar, menghela napas lalu membalik badan.

"Ayo kita mulai kelas hari ini," ucapnya sambil bertepuk tangan.
"Seperti biasa, kita gambar kotak sederhana dulu sesuai anatominya."


Mereka semua memulai menggambar sambil mengobrol. Tidak ada yang terlihat serius menggambar, benar kata Dodi, mereka ini hanya menghabiskan waktu doang. Ini lebih terlihat seperti acara kumpul-kumpul tante-tante. Beberapa menit awal terasa berat sekali, sampai tidak terasa wajahku memerah karena malu yang teramat sangat.

Tante Sandra: "Santai aja Bud, muka kamu sampai merah gitu," sambil tertawa.
Tante Ailin: "Jangan-jangan dia masih perjaka, jadi mau bugil depan cewek."
Tante Ami dengan judes: "Perjaka apanya, muka mesum begitu."
Tante Lucy: "Ami jangan gitu dong, kamu jahat banget."
Tante Yola: "Sudah lah, itu bukan urusan kita juga mau dia perjaka atau nggak."

Tante Novi: "Hush! Jangan mainin anak baru, nanti kalau dia kapok bakal repot lagi cari model lain."
"Santai ya Bud, kamu melamun aja, ngebayangin hal lain."

Aku hanya terdiam karena mengingat apa yang dikatakan oleh Tante Novi kemarin, aku tidak boleh berkata apa pun saat kelas berlangsung. Ini pengalaman teraneh di hidupku, masih membingungkan rasanya bisa berakhir di situasi ini. Aku hanya mematung seperti sebuah benda mati sambil melihat para wanita ini menggambar sambil memperhatikan tubuhku.

Walau muridnya tidak ada yang terlihat antusias, Tante Novi tetap profesional dan mengajari mereka satu persatu dengan sabar. Kesabaran dan nada bicaranya yang lembut memperlihatkan sifat keibuan yang menarik bagiku. Susunya yang besar sesuai seleraku, tapi memikirkan bahwa dia adalah seorang konglomerat membuatku lebih merasa takut dan segan. Aku belum tahu juga latar belakangnya seperti apa.

Tante Lucy menepuk Tante Yola yang duduk di meja sebelahnya lalu bercanda, "Burungnya kecil ya mbak." "Iya, tapi kita nggak tahu kalau bangun sebesar apa," jawab Tante Yola sambil tertawa. Kontolku tipe grower yang saat tegang panjangnya 16cm, tapi saat lemas hanya 8cm. Tapi AC yang sedingin kulkas dan rasa grogi membuatnya sekarang paling hanya 6cm, belum lagi sebagian tertutup jembut. Tubuhku yang agak tinggi dan bongsor membuatnya semakin terlihat kecil.

Yang lain bersautan mencandai kontolku. Rasa malu mendengar itu membuatku berusaha membuat kontolku agak tegang. Aku berimajinasi pengalaman bercintaku selama ini, tapi rasa malu dan grogi bugil di depan orang asing terlampau kuat, kontolku tidak membesar sedikit pun. Ya sudah lah, bodo amat, yang penting uangnya. Harapanku kelas ini cepat berakhir, tapi waktu berjalan sangat.. sangat... lambat...

Obrolan mereka terus berlanjut membahas berbagai topik bahkan sampai membahas tentang ranjang. Sepertinya mereka ini sudah berteman lama, karena obrolan mereka tidak ada filternya. Yang berbeda adalah Tante Novi dan Tante Ami, mereka berdua tidak ikut saat obrolan yang menjurus.

"Baiklah, hari ini sudah cukup sampai disini,"
"Sudah Bud, pakai baju kamu."

Mendengar perkataan Tante Novi itu membuatku sangat lega. Tubuhku rasanya pegal sekali, aku meregangkan tubuhku sebentar lalu mengenakan pakaianku. Setelah mengobrol sekitar setengah jam, mereka berpamitan karena punya kesibukan masing-masing. Tante Novi menyuruhku untuk menunggu selagi dia mengantarkan teman-temannya ke luar rumah.

Beberapa menit kemudian dia datang lalu duduk di sebelahku yang sedang mengamati gambar tadi.

Tante Novi: "Gimana, cuma sebentar kan?"
Aku: "Aku malu banget Tante, rasanya waktu berjalan lambat banget."
Tante Novi: "Hahaha. itu karena kamu baru pertama kali, nantinya bakal terbiasa."
"Tadi kebanyakan ngobrol, jadi kelebihan setengah jam,"
"Karena overtime, tante akan bayar kamu 4 juta, nomor rekening kamu berapa?"

Sepertinya uang bukan masalah baginya, 4 juta seperti receh, dengan gampangnya dia mengeluarkan uang sebanyak itu. Aku cukup tergiur tapi aku tidak ingin terlihat mata duitan atau serakah, lagian 2jt sudah termasuk besar bagiku.

Aku: "Nggak usah tante, 2jt saja sudah cukup bagiku."
Tante Novi: "Kamu ini masih polos ya, belum kenal duit,"
"Ya sudah, mana nomor rekening kamu."

Selesai mentransfer pembayaran itu, dia bercerita banyak hal. Suaminya yang workaholic memiliki sebuah perusahaan besar dan pulang ke rumah biasanya antara jam 7-8 malam. Anak-anaknya sudah pada menikah dan sebagian tinggal di luar kota. Dia juga menasihatiku agar bersabar menghadapi Tante Ami. Tante Ami sudah hampir 40 tahun tapi belum menikah dan sudah lebih dari lima tahun tidak pacaran.

Walau berparas cantik, tapi dia terlalu sibuk untuk mengurus perusahaan ayahnya sampai tidak ada waktu untuk pacaran. Tanggung jawab yang besar, tidak mendapatkan kasih sayang, dan lupa cara mencintai membuat sifatnya menjadi agak menyebalkan ke orang baru. Aku tidak perduli dengan itu, yang terpenting Tante Novi adalah orang yang baik.

Aku berpamitan dan Tante Novi mengantarku ke pintu depan. "Inget ya Bud, minggu depan harus sudah dicukur jembutnya, atau mau tante cukurin?" candanya. "Iya aku janji nanti cukur, terima kasih ya tante untuk bayarannya."

Sesampai di rumah, aku masih tidak percaya dengan apa yang baru kualami. Aku tidak menyangka bisa bekerja seperti ini, tapi disisi lain merasa beruntung karena bayarannya yang besar. Untuk merayakannya, malam harinya aku mentraktir teman-temanku, termasuk Dodi yang sudah berjasa mengoperkan kerjaan ini padaku. Saat aku menelepon Dodi untuk mengajaknya, tidak lupa aku menyuruhnya untuk merahasiakan ini dari semua teman-temanku. Aku tidak ingin ada yang tahu dan suatu saat nanti menjadi bahan gosip.


Empat pertemuan sudah kulalui, sampai aku mulai terbiasa. Sekarang yang berat bukanlah rasa malu atau grogi lagi, melainkan harus mendengarkan obrolan mereka yang "mahal". Ditambah lagi mereka suka merendahkan orang yang levelnya dibawah mereka, seperti mentertawakan teman lama mereka yang bangkrut lalu jatuh miskin. Kata-kata "miskin" dan "gembel" sering terlontar dari mulut mereka, diakhiri dengan tawa nyaring. Aku yang berasal dari keluarga sederhana merasa tidak nyaman mendengarnya. Yang mulutnya paling pedas sudah bisa ditebak... Ya... Tante Ami!

Selesai kelas, Tante Novi seperti biasa mengajakku mengobrol santai.

Tante Novi: "Bud, minggu depan Tante Ami ulang tahun, teman-teman berencana membuat surprise kecil-kecilan,"
"Supaya berkesan kami mau coba sesuatu yang berbeda,"
"Kami mau kamu jadi penari striptease, kamu yang jadi penarinya,"
"Dia juga sudah lama nggak bersentuhan dengan cowok, pasti ini bakal memorable."

Aku terkejut mendengarnya: "Maaf tante, aku nggak mau, bagaimana kalau Dodi saja?"
"Aku nggak bisa joget, dan aku juga nggak akan bisa ereksi di situasi aneh seperti itu."

Tante Novi: "Tante nggak ada kenalan lain, dibandingkan Dodi, tante lebih prefer kamu,"
"Paling nggak sampai sejam Bud, kami berlima akan bayar 2jt per orang, kamu akan dapat 10jt, masih kurang?"
Aku: "Bukan masalah duitnya tante, tapi malunya itu."
Tante Novi: "Kamu sudah sering telanjang di depan kami dan masih malu?"
Aku: "Ini berbeda tante, nari striptis kan harus tegang, aku nggak akan bisa tegang,"
"Ini terlalu aneh bagiku."
Tante Novi: "Tenang, nanti minum viagra punya om saja,"
"Yang penting itu kamu mau atau nggak?"

Ada rasa penolakan di hati ini, tapi keserakahan dengan cepat mengambil alih.
Aku: "Tapi kalau nanti aku nggak bisa tegang gimana?"
"Dan Tante Ami kan sudah melihatku telanjang, apa surprisenya?"

Tante Novi: "Surprisenya kamu ereksi, lalu joget-joget menghibur Tante Ami,"
"Kamu ikuti kemauan Tante Ami, kalau dia mau sampai bercinta ya kamu turutin,"
"Jangan nolak, jangan berkata apapun, pokoknya joget saja dan ikuti alurnya,"
"Joget ngasal saja Bud, yang penting pinggul goyang,"

"Yang terpenting, jangan kurang ajar! Kalau dia terlihat nggak nyaman atau risih, kamu pindah jogetin tante atau yang lainnya,"
"Tante juga nggak tahu dia bakalan suka atau nggak,"
"Kalau potong kue atau makan di restoran doang, bosen Bud, masa tiap tahun cuma begitu terus."

Aku: "Ok tante, aku coba."
Tante Novi: "Kita harus tes dulu obatnya, nanti kamu ngga tegang malah jadi kacau acaranya, sini ikut tante."

Aku berjalan mengikuti Tante Novi yang ternyata menuju ke kamarnya. Rumahnya benar-benar besar, dibagi menjadi dua bagian, bagian belakang adalah area private khusus keluarga yang dibatasi sebuah pintu besar dengan bagian depan. Di bagian ini ada tiga buah kamar, ruang kerja, sebuah kamar mandi besar, ruang keluarga, dapur, paling ujung dibalik pintu kaca ada sebuah kolam renang indoor dan kamar mandi kecil untuk membilas tubuh. Di sebelah kamar mandi itu ada dua ruangan olahraga, yang sati berisi barbel dan sepeda statis, sedangkan sebelahnya hanya ada matras yoga. Kedua ruangan ini dulunya adalah kamar ART.

Kamar ART, satpam, dan supir berada di bangunan kecil yang terletak di sebelah kiri belakang rumah, bangunan ini tersembunyi, dari depan hanya terlihat gerbang kecil di samping rumah. Ini pertama kalinya aku melihat rumah yang begitu besar sampai ada kolam renang indoornya, membuatku takjub.

Sesampai di kamar, dia masuk ke ruangan "walk in closet" lalu keluar membawa sebuah pil viagra. "Ayo masuk, duduk dulu di sofa itu, santai saja." Aku duduk sambil memperhatikannya mengambil botol air mineral dari kulkas mini di pojok ruangan. "Ayo diminum, efeknya baru terasa setengah sampai satu jam." Aku meminum pil itu tanpa bertanya apa pun.

Dia duduk di kursi meja rias lalu sibuk berkaca sambil menambal makeupnya. "Tante, ini rumah besar banget tapi sepi, memangnya pada kemana?" "Anak-anak tante sudah menikah semua dan mampir hanya setahun sekali, om pulangnya malam jam tujuhan. Dia belum bisa ngelepasin perusahaannya, belum ada orang yang tepat untuk menggantikannya, bisa hancur semua." "Sepi banget ya Bud, makanya tante membuat banyak kegiatan dengan teman-teman yang berbeda, biar nggak bosan di rumah."

Dia lalu bercerita sedang mempersiapkan pameran lukisan yang akan di selenggarakan di kota tempat dia kuliah dulu, di salah satu negara maju. Selesai makeup, dia duduk di seblahku lalu obrolan dilanjutkan dengan dia curhat banyak hal, mulai dari proses perijinan pameran yang rumit, sampai ke cucunya yang nakal.

Tante Novi: "Sudah setengah jam Bud, kamu sudah tegang belum?"
Aku: "Belum tante, nggak ada hal yang bisa membuatku tegang."
Tante Novi: "Coba kamu telanjang sambil tiduran di ranjang biar santai."

Dia mengambil sebuah handuk baru berukuran besar lalu melapisi bed covernya agar bau parfumku tidak menempel di ranjangnya. Aku membuka semua pakaian lalu tiduran terlentang sambil mengocok penisku.


Tante Novi duduk di kursi meja rias sambil memperhatikanku. Tanpa disadari, aku memperhatikan tonjolan susunya yang sangat besar di balik bajunya. Ingin rasanya meremas susu itu lalu menggenjot vaginanya, tapi status sosial yang terlampau jauh membuatku segan. Dia menyadari arah tatapan mataku dan berkata dengan tegas, "Lihat apa kamu Budi?! Berani kurang ajar kamu ya?!"


"Maaf tante, mataku terpaku kesana, soalnya menonjol banget," jawabku. Aku menutup mata sambil membayangkan semua pengalaman bercintaku selama ini, tapi itu semua tidak membuat penisku tegang karena aku merasa tidak enak dan takut Tante tersinggung. Setelah beberapa saat, "Tanganku pegal tante, sudah ya, mungkin obatnya nggak manjur," ucapku sambil menghentikan kocokanku.

"Kamu ini gimana sih, tante harus mastiin dulu kamu bisa tegang nggak, kalau nggak bisa ya tante bakal ganti rencana surprisenya."
"Coba tante yang kocokin," lanjutnya sambil menuangkan body lotion ke atas penisku lalu duduk di sebelahku.

Tangan kanannya meratakan lotion sampai membaluri seluruh batang, perlahan dia mulai mengocoknya. Tangan kirinya menarik kulit kedua bijiku yang mengkerut kedinginan. Aku memperhatikan susunya yang bergoyang-goyang tersenggol bagian dalam lengannya. Wajahnya juga masih terlihat cantik di umurnya yang matang. Dia menyadari tatapanku, "Ya sudah boleh lihat, tapi tangan kamu jangan kurang ajar."

Beberapa saat kemudian, jantungku tiba-tiba mulai berdebar dan tubuhku terasa hangat. Efek obat itu mulai bekerja dan penisku mulai tegang sampai akhirnya keras. "Dari sekecil itu ternyata bisa jadi besar begini? Tante nggak menyangka," ucapnya dengan raut wajah heran. "Rumah tante sedingin kulkas, jadi penisku mengkerut." "Tante kok kaget, memangnya yang Dodi lebih kecil ya tante?" tanyaku. "Tante nggak tahu, belum pernah lihat yang Dodi tegang," jawabnya.

Dia terus mengocok dengan berbagai cara, mulai dari kocokan standar dari pangkal ke palkon, meremas-remas palkon, mengocok palkon saja, sampai memainkan lubang kencingku dengan jempolnya. Tapi itu semua tidak membuatku crot. "Kamu sering bercinta sama pacar kamu ya Bud? kok lama banget keluarnya?" "Aku jomblo tante, pernah coba bercinta sekali doang dulu," jawabku. Lebih baik aku berpura-pura bego agar dia kedepannya tidak risih saat berduaan denganku.

Dia lalu menggelitiki bagian bawah ketiakku, dan aku dengan spontan tertawa sambil menggeliat. "Ternyata benar kamu jarang disentuh cewek ya, masih gelian," ucapnya sambil tertawa. Dia mempercayai mitos tentang "geli" itu, yang padahal aku memang orang yang gelian, tidak ada korelasinya dengan sering ngewe atau jarang.

"Tante sudah ganti tangan beberapa kali, pegal, cepat keluarin." Kocokannya menjadi sangat cepat dan kasar, dia sepertinya sudah kesal dan bosan. Rasa geli bercampur dengan sedikit rasa sakit. Aku harus cepat crot sebelum lecet.

"Cepat keluar sayangku... ahhh... ahhh..." ucap Tante Novi dengan lembut sambil diselingi desahan. Aku tidak kuat melihat tonjolan susunya yang bergoyang-goyang. Aku memberanikan diri untuk mengelus susunya, ternyata dia diam saja. Tanganku mulai meremas lembut susu kirinya. Ukurannya tidak muat di satu genggamanku.

Dia tidak berhenti mendesah sambil mengocok penisku dengan kasar, dan kali ini aku meremas kedua susunya dengan kedua tanganku. Sampai akhirnya lendir yang sudah tertampung beberapa hari muncrat. Tante Novi tidak menghentikan kocokannya, dia hanya memperlambat gerakannya saja. Palkonku geli luar biasa dan aku tidak tahan lagi. "Sudah tante, geli banget," ucapku sambil memegang pergelangan tangannya. "SSttt... Diam kamu!" jawabnya sambil terus mengocok.

Obat itu benar manjur, kontolku tetap keras walau sudah crot, aku sendiri sampai heran melihatnya. Setelah beberapa menit setelah aku selesai crot, dia menghentikan kocokannya. "Sudah lama nggak keluar ya? banyak banget sperma kamu." "Iuuhhh... Jijik..." ucapnya sambil mengelap peju di tangannya dengan ujung handuk.

"Sudah terbukti ya Bud obatnya, nanti minggu depan berarti bisa berjalan sesuai rencana," ucapnya sambil berjalan ke kamar mandi. Dia mencuci tangannya di wastafel. Di kamar mandi itu ada bathtup, closet duduk, tapi tidak ada shower, jadinya aku mencuci penisku di wastafel. Dia berkata sambil memperhatikanku mencuci penis, "Minggu depan datangnya jangan terlambat ya Bud."

Aku berpamitan pulang...

Karena kejadian tadi, muncul rasa penasaran ingin ngewe Tante Novi. Bagaimana bentuk tubuhnya saat telanjang? Bagaimana raut wajahnya saat bercinta? Tapi... Ngeri juga kalau sampai ketahuan suaminya. Sebaiknya aku santai saja, kalau dikasih baru akan kuladeni.
 
"Iya tante, aku janji tidak akan telat,"
"Tenang tante, baru juga jam 9,"
"Ok, terima kasih tante."

Aku menutup telepon dari Tante Novi. Dari kemarin sampai barusan dia sudah meneleponku 4 kali hanya untuk memastikan aku siap untuk acara siang ini. Aku sebenarnya sudah tidak terlalu malu karena sudah beberapa kali bugil di depan mereka, tapi sekarang yang ada hanyalah rasa grogi.

Acaranya jam 2 siang, tapi karena takut terlambat, aku berangkat dari rumah saat matahari tepat di atas kepala, jam 12.30. Ternyata jalanan lebih lowong dari biasanya, dan hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di rumah besar ini. Aku menunggu di ruang tamu sampai ARTnya keluar menghampiriku, "Mas Budi, kata ibu tunggu di ruang keluarga saja, ibu sedang olah raga."

Aku duduk di sofa dan chatting dengan temanku untuk menghabiskan waktu. Aku tidak berani menyalakan TV, ART juga tidak masuk ke bagian belakang rumah ini jika tidak dipanggil.

Suasananya sunyi sekali...

Tiba-tiba terdengar suara Tante Novi tertawa kecil... Lalu sunyi...
Ada suara desahan... Lalu sunyi...

Suara itu sebenarnya kecil, tapi kesunyian membuatnya terdengar olehku. Aku berpikir kalau dia sedang bercinta dengan suaminya dan mencoba menghiraukan suara itu. Setelah beberapa menit, mendengarnya terus-menerus membuatku penasaran. Aku berjalan mengendap ke ruangan olahraga dan mengintip perlahan.

Terlihat ada seorang bapak gempal yang sedang meremas susu Tante Novi sambil mengelus vaginanya. Bapak itu mengenakan kaos dan celana pendek belel yang membuatku bingung. Masa suaminya sekaya itu mengenakan kaos yang belel? Apa itu tukang kebunnya? Tapi masa Tante Novi mau sama tukang kebun?


Rasa penasaran membuatku mengintip lagi. Bapak itu sedang membuka celana leging Tante Novi. Aku menarik kepalaku kembali dan mendengarkan suara basah dari vagina yang sedang dijilati. Sudah lah, ini bukan urusanku, kalau ketahuan ngintip bisa-bisa aku kehilangan pekerjaanku. Aku kembali duduk di sofa tanpa mengeluarkan suara.

Aku sedang asik chat, bapak itu keluar ruangan itu sambil membawa selembar kertas bergambar. Dia tersenyum melewatiku lalu menuju bagian rumah depan. Beberapa menit kemudian Tante Novi keluar menghampiriku, "Aduh kamu ini datangnya kepagian, ini baru jam berapa." "Iya tante, aku takut telat," jawabku. Aku penasaran bapak itu siapa tapi tidak berani bertanya, tapi ternyata Tante Novi sendiri lah yang bercerita.

"Untuk pameran nanti, Tante hanya membuat konsep lukisan awalnya, sedangkan yang melukis sampai selesai adalah pelukis bayangan," (*mirip seperti ghostwriter)
"Sekarang di studio lukis ada tiga orang yang sedang bekerja,"
"Itu tadi mantan tante jaman kuliah dulu, dia salah satu yang membantu tante,"
"Dia tadi datang meminta persetujuan warna,"
"Kamu jangan sampai kurang ajar sama dia ya Bud, dia itu berjiwa seniman jadi tidak memperhatikan penampilan,"
"Gayanya memang seperti gembel, tapi sebenarnya kaya."

"Aku mengerti tante, tenang saja." Aku jadi sadar kalau Tante Novi tidak "sebaik" yang kukira.

Tante Novi menyuruhku menonton TV kabel sementara dia mandi. Satu persatu teman-teman dia datang kecuali Tante Ami. Aku duduk di tengah para STW ini, terjebak di obrolan "mahal" yang tidak kumengerti.

Tante Novi keluar dari kamarnya lalu membawa sebutir viagra dan menyuruhku meminumnya.

"Kalian tahu nggak sih gimana gw ngetes obat ini kemarin," ucapnya sambil tertawa. Dia lalu menceritakan apa yang terjadi kemarin saat dia mengocok penisku. "Gede nggak vi?" ucap Tante Lucy. "Lumayan jauh dibandingkan lagi lemes," jawab Tante Novi. "Aduh jadi penasaran nih," ucap Tante Ailin sambil melihat ke arahku. Aku hanya ikut tertawa saja, bingung mau merespon apa, kalau terlalu frontal nanti mereka risih.

Setelah itu dilanjut dengan membicarakan rencana untuk surprise ini. Mereka semua akan berada di ruangan gambar seperti biasa tapi beralasan kalau aku tidak datang, jadinya kegiatan adalah membuat detail pada gambar minggu lalu. Sepuluh menit kemudian, aku akan masuk keruangan itu dengan telanjang dan ereksi sambil membawa kue ulang tahun.

ART Tante Novi datang, "Buk, Mbak Ami sudah datang."

Tante Novi berdiri, "Ayo semua kita ke ruang gambar,"
"Bud, itu kuenya yang dibawa Tante Ailin nanti bawa masuk,"
"Ingat, nanti masuknya jam 2 lewat 10"
"Jangan lupa nanti jogetin Ami."

Mereka semua menahan tawa sambil berjalan menuju ruang gambar.


Aku membuka semua pakaianku dan mulai mengocok penisku. Jantungku berdebar kencang, tidak bisa dibedakan apakah karena viagra atau karena grogi. Aku duduk di sofa agar santai sambil membayangkan semua tubuh wanita yang sudah pernah kusetubuhi. Tapi itu semua sia-sia, penisku tidak membesar sedikit pun!!!

Sedang apa aku disini?! Mengocok kontolku dan sebentar lagi harus menari telanjang! Situasi ini terasa sangat aneh! Tapi sudah terlambat untuk membatalkannya, tapi penisku tidak bisa tegang! Bagaimana ini?!!!

Aku berjuang agar ereksi sampai lupa melihat jam. Tante Novi datang ngomel-ngomel, "Ini sudah lewat 10 menit, kamu kenapa masih disini?" Dia melihat penisku yang masih lemas lalu menghembuskan napas. Dia duduk di sebelahku lalu tiba-tiba menghisap penisku. Tangannya menarik tanganku ke arah susunya. Aku kaget tidak sangka dia akan berbuat seperti ini, tapi aku yakin tujuannya adalah agar aku cepat ereksi dan tidak menggagalkan rencananya.

Aku mulai meremas-remas susunya yang besar. Selagi ada kesempatan yang dia tidak akan menolak, aku juga meraba vaginanya. Terasa chubby, bakal empuk kalau diewe, aku harus bisa mencobanya suatu saat nanti. Tidak butuh waktu lama sampai penisku tegang maksimal. Urat-urat keluar semua dan rasanya seperti akan meledak.

"Sudah tegang, nanti kamu nyusul 5 menit lagi, bawa kue jangan lupa lilinnya dinyalakan,"
Tante Novi berjalan cepat ke ruang gambar.

Aku mengeluarkan kue dari kotaknya lalu menyalakan lilinnya menggunakan korek yang kupunya. Aku berhenti di sebelah pintu ruang gambar untuk menarik napas sambil memantapkan tekad. Terdengar suara sayup-sayup mereka mengobrol seperti biasa. Aku menarik napas panjang terakhirku lalu masuk ke ruangan itu.

Tante Novi melihat kearahku lalu bertepuk tangan, yang lain spontan melihat kearahku lalu mereka semua menyanyikan lagu ulang tahun sambil tertawa terbahak. Wajah Tante Ami menjadi merah, gerak-geriknya terlihat canggung, dia menutup mata dengan tangannya, lalu menutup mulutnya. Walau begitu, dia juga tertawa lepas, raut wajah judesnya kala itu menghilang.

Aku berlutut di depannya sambil menyodorkan kue itu, seperti seorang prajurit yang membawa persembahan untuk putri raja. "Please make your wish, princess." Memang cringe, aku juga bingung bisa melakukan itu, aku hanya mengikuti instingku saja. Nyanyian dan suara tawa mengisi ruangan, "Tiup lilinnya... Tiup lilinnya... Tiup lilinnya... Sekarang juga..." Tante cantik ini menutup matanya sejenak lalu meniup semua lilin sampai padam.

Aku berdiri hendak menaruh kue itu di atas meja paling ujung agar tidak tersenggol. Saat melewati Tante Lucy, dia menghentikanku lalu menyerok krim di pinggiran kue dengan pisau plastik dan membalurkannya di penisku. Dia tertawa jahil lalu bernyanyi, "Hisap lilinnya... Hisap lilinnya... Sekarang juga... Sekarang juga..." Aku menaruh kue itu lalu joget di depan Tante Ami. Wajahnya lebih merah dari sebelumnya, tangannya melambai menandakan kalau dia tidak mau melakukannya. Tapi nyanyian tidak berhenti-henti, sampai akhirnya dia menyerah.

Dia menghisap penisku sangat dalam, terasa palkonku mengenai pangkal tenggorokannya. Rasanya geli dan sebelumnya belum pernah ada yang menghisap sampai sedalam itu. Dia menarik mulutnya dengan satu tarikan sampai hampir semua krim di penisku hilang, tanpa ragu ditelannya semua krim itu. Tangannya menggenggam pangkal penisku lalu mengoyangkan, mungkin dia kangen sudah lama tidak melihat penis. "Hisap... Hisap... Hisap..." seru teman-temannya.

Tante Ami mulai menghisap penisku. Matanya yang indah sesekali melihat ke wajahku. Aku melihat raut wajah STW lainnya di ruangan ini, mereka semua terlihat sangat bergembira. Aku melihat wajah oriental Tante Ailin dan kulitnya yang putih mulus. Tante Lucy yang paling cantik disini dengan badan yang bagus. Tante Novi dengan susunya yang berukuran monster. Semua ini membuat adrenalinku terpacu, ingin rasanya mengewe mereka semua, kecuali Tante Yola dan Sandra yang sudah terlalu tua bagiku.

Nafsu yang membara membuatku tidak kuat, hanya dalam 5 menit aku merasakan akan crot. Aku menarik tubuhku lalu mengarahkannya untuk tiduran di atas meja. Dia tidak menolak dan tiduran dengan bertopang pada kedua sikunya. Kusingkap roknya ke atas, terlihat celana dalam berwarna putih polos. Aku menjilati celana dalamnya tepat di bagian lipatan vaginanya. Baru sebentar saja, vaginanya mengeluarkan lendir yang banyak dan terasa asin di lidahku.

Semua berseru girang, tawa menghiasi wajah mereka termasuk Tante Novi. Ini adalah penanda bagiku kalau apa yang kulakukan diperbolehkan. Aku harus berhati-hati agar tidak dianggap kurang ajar. Setelah rasa ingin crot itu hilang, aku memberanikan diri untuk menggesek palkonku ke celana dalam Tante Ami. Setelah beberapa menit, wajahnya berubah dan terlihat menghela nafas. Tatapan matanya seakan berbicara... Dia menginginkanku untuk melakukan yang lebih.

Jariku menyingkap bagian samping dari celana dalamnya sampai terlihat lubang dan jembutnya yang lebat. Aku mulai memasukan penisku dan menggenjotnya. Dia menghela nafas sambil meremas-remas kedua susunya. Suara tawa tidak berhenti terdengar di ruangan itu. "Jangan keluar di dalam, jangan kena bajuku," ucap Tante Ami.

Aku terus menggenjotnya sampai akhirnya saat mau crot kucabut penisku. Dia menyadarinya lalu meraih penisku dan memasukan ke mulutnya. Sedetik sebelum crot, aku mendorong penisku ke pangkal tenggorokannya sampai spermaku langsung ditelannya. Untungnya dia tidak marah, hanya mencubit perutku. Tante Ami yang bermandikan keringat tiduran lemas. Efek viagra membuat penisku masih tegang dengan kokoh.

"Sini kamu, tante juga mau," ucap Tante Alin. Tangannya yang mungil membersihkan penisku dengan tisu. Mulutnya menghisap penisku, lalu menjilati bijiku. Setelah dia bosan, aku pindah ke Tante Lucy, dia menolak dan bercanda, "Jijik bekas mulut Ami dan Alin." Aku pindah ke depan Tante Novi, tapi ternyata dia berkata, "Sana ke Tante Sandra dan Yola."

Tante Sandra dan Yola sudah keriput, tidak menarik bagiku, tapi posisiku disini dibayar jadinya tidak bisa menolak. Aku berdiri di depan Tante Sandra sambil joget, dia mengocok penisku sebentar. Selanjutnya adalah Tante Yola yang mengocok penisku.

Acara diakhiri dengan makan kue dan masakan mewah yang sudah di sediakan di meja makan. Sesudahnya kami semua mengobrol di ruang keluarga. Tubuhku habis digerayangi, terutama Tante Ailin yang tidak berhenti memelukku.

"Vi, nanti gw boleh pinjam anakmu ini?" ucapnya sambil bersandar di dadaku. "Boleh, tapi dirawat jangan sampai rusak," jawab Tante Novi sambil tertawa. Sialan, aku diperlakukan seperti barang, tapi tidak apa-apa. Dibayar, dapat vagina kelas atas pula, aku tidak keberatan.

Mereka semua pulang dengan wajah bahagia.


Besoknya Tante Ailin meneleponku pada siang hari, menyuruhku untuk menemaninya jalan-jalan di salah satu mall. Dia bilang hari itu sedang suntuk dan semua teman-temannya sibuk. Aku meninggalkan jam kuliah dan pergi menemui Tante Ailin yang sedang menunggu di depan sebuah kedai kopi di mall tersebut.

Mall ini sepi di hari k seperti sekarang, apalagi siang hari. Sampai di sana, aku langsung duduk di depannya. Tubuh mungilnya sungguh menggoda, dibalut dengan tank dress pendek berwarna hitam.

Dia mengutarakan isi hatinya bahwa sejak pesta kemarin dia jadi penasaran ingin mencoba keperkasaanku. Dia menanyakan berapa harga yang kupasang dan kujawab, "Samakan saja seperti bayaran aku jadi model gambar, 2 juta saja tante untuk 2 jam."

Tante Ailin nego menjadi 1jt sambil menaikan kakinya lalu berpura-pura menggaruk jarinya. Roknya tersingkap dan aku bisa melihat celana dalam berwarna hitam. Dia menggodaku agar aku mau menurunkan harga, tentu saja aku mengiyakan tapi dengan berpura-pura sedikit keberatan. Sebenarnya kalau gratis pun akan aku layani dengan senang hati, tapi dia menanyakan harga jadinya aku jawab.


Ternyata dia sudah memesan sebuah kamar di hotel yang terletak di sebelah mall ini. Kami langsung menuju kesana selepas makan siang bersama.

Jegleggg...

Baru saja pintu kamar tertutup, Tante Ailin menarik tanganku lalu mendorong tubuhku ke atas ranjang. Dia melumat bibirku sambil membuka semua pakaianku dengan kasar. Setelah itu dia membuka semua pakaiannya lalu menyuruhku untuk menjilati vaginanya. Lubang kenikmatan itu terlihat tembem dan dipenuhi dengan bulu yang lebat.


Dengan lihai lidahku bergerak menjilati vaginanya. Tercium aroma khas wanita yang membuatku bernafsu. Wajah oriental dan desahan kecilnya menjadi bahan bakar untuk penisku yang dalam sekejap sudah tegang. Tante Ailin menyuruhku tiduran terlentang. Kami lalu bercinta dengan gaya cowgirl.

Dia terus memompa penisku sambil meremas dadaku dengan kasar. Remasannya semakin lama semakin keras sampai berubah menjadi cakaran. Aku sempat menolak tapi dia menutup mulutku dengan tangannya. Menyadari kalau di saat ini aku adalah seorang budak seks, membuatku pasrah saat sekarang dia sedang menggigit-gigit putingku dengan kasar.

Setelah puas, dia mengubah memutar badannya menjadi reverse cowgirl dengan posisi penisku masih berada di dalam vaginanya. Terasa sensasi gesekan memutar di penisku. Dia lalu menyuruhku untuk meremas-remas susunya selagi dia terus menggenjotku.

Sampai akhirnya tubuh mungilnya yang sudah bermandikan keringat terjatuh lemas bersandar di dadaku. Aku merasakan vaginanya berkedut mencengkram penisku. Desahan yang lumayan keras terdengar dari mulutnya. Lendir dari lubang itu membasahi sprei.

Setelah selesai orgasme, tanpa basa-basi dia langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri di bawah shower. Aku yang belum crot menyusulnya ke kamar mandi. Dia menolak untuk membantuku mengeluarkan lendir ini. "Nggak ah, tante sudah puas," ucapnya sambil menyabuni tubuhnya. Siallll... ternyata benar aku hanya dianggap seperti budak! Dia tidak perduli dengan perasaanku yang sedang nanggung.

Akhirnya aku coli sendiri sambil memperhatikan tubuh Tante Ailin. Situasi yang aneh, tapi nggak apa-apa daripada nanggung. Akhirnya aku bisa crot dan rasanya puas.

Tante Ailin bilang kalau dia belum selesai denganku tapi ingin istirahat sebentar. Akhirnya kami berdua berpelukan manja di balik selimut sambil menonton TV kabel. Dia bercerita kalau sepanjang pernikahannya, suaminya yang selalu mendominasi di ranjang dan dia sudah bosan. Sekarang dia ingin memuaskan fantasinya, yaitu... Mendominasi...

Dia mengambil sebuah botol body lotion kecil dari tasnya lalu menuangkannya ke atas penisku. Kepalanya menyender manja di dadaku sambil tangannya mengocok penisku. Ini lebih keras daripada mengocok biasa jadi lebih terasa seperti mengurut. Palkonku terasa geli sekali sampai kakiku bergerak kesana kemari.

Sampai akhirnya penisku menjadi lebih keras menandakan akan crot, tapi Tante Ailin menghentikan kocokannya. Aku kena tanggung lagi! Dia menahan tanganku, memberikan isyarat agar tidak coli. Setelah rasa ingin crot hilang dan penisku agak melemas, dia melanjutkan mengocoknya sampai tegang lagi. Lagi-lagi dia berhenti saat aku mau crot.

"Mau dikeluarin nggak?" ucapnya dengan melihat wajahku. Dia tahu kalau tidak enak nanggung begini dan dia menikmati ekspresi wajahku. "Mau, tolong keluarin tante," jawabku. Tangan mungilnya melanjutkan mengocok penisku sampai mau crot dan berhenti lagi!

"Kurang meyakinkan, kamu sebenarnya nggak mau keluar ya?" Gagal keluar beberapa kali menimbulkan rasa tidak nyaman di dalam bijiku, yang belum pernah kurasakan sebelumnya, terasa penuh sesak. Psikologisku juga mulai merasa tersiksa. "Tolong tante aku mohon, keluarkan, aku sudah nggak sanggup lagi... Tolong tante..."

"Nah gitu dong, tante jadi yakin kamu mau dikeluarin." Dia melanjutkan mengocok kontolku. Kali ini dia melanjutkannya sampai crot. Aku merasakan rasa lega yang luar biasa. Tapi siksaannya belum berakhir. Dia tidak berhenti mengocok penisku yang sedang crot.

Aku berjuang keras menahan rasa geli itu, jari kakiku sampai mengepal, dan kedua kakiku bergerak kesana kemari. Dia menikmati ekspresi wajahku sambil tidak berhenti mengocok. Sampai akhirnya aku crot lagi, baru lah dia berhenti. Akhirnya aku merasakan rasa lega yang sebenarnya, akhirnya semua permainan ini berakhir.

Tidak terasa sudah 3 jam waktu yang kami habiskan, dia membayarku 1,5 karena overtime. Tidak ada kata terima kasih yang terlontar dari mulutnya. Aku hanya lah seorang budak pemuas fantasinya. Tapi aku dibayar, dan aku bisa merasakan vagina panloknya, membuatku masih untung.

Keesokan harinya dada dan perutku banyak bekas membiru yang masih sedikit berbekas sampai hari Rabu. Aku menjadi model gambar seperti biasa lalu Tante Novi meraba tubuhku saat dia mau mengatur poseku. "Ya ampun Ailin, lu apain anak gw?! Sampai rusak begini." "Keblablasan say, gemes soalnya," jawab Tante Ailin sambil tertawa.

Kelas dilanjutkan dengan membicarakan pengalaman Tante Ailin menyiksaku. Ternyata dia mendapatkan inspirasi dari pengalaman Tante Sandra yang pernah melakukan hal yang serupa ke almarhum suaminya. Yang terlihat kurang tertarik setiap ada pembahasan menjurus adalah Tante Ami. Dia lebih sering mengecek HPnya dan baru ikut mengobrol saat pembahasan lain. Pesta saat itu tidak merubah wataknya yang dingin kepada lelaki.

Pertemuan demi pertemuan telah terlewati dan aku sudah terbiasa dengan rutinitas mingguan ini.

Sekarang aku semakin penasaran dengan Tante Lucy, wajahnya masih cantik dan yang paling menarik adalah tubuhnya yang bagus. Dia sering mengenakan baju dengan dada lebar yang memperlihatkan belahan susunya. Kedua susu itu terlihat masih kencang dan kenyal karena rajin olahraga.

Suatu hari dia menelepon memintaku menemaninya menonton film di bioskop, tanpa ragu aku langsung mengiyakannya. Kami bertemu di food court dalam mall. Dia sudah memesan tiket dan filmnya akan diputar sejam lagi, jadi dia mentraktirku makan siang dulu sambil curhat. Aku merasa gembira, jangan-jangan pulang dari sini aku bisa bercinta dengannya.

Dia bilang kalau dia adalah penggemar film, tapi merasa kurang puas kalau pergi menonton dengan keluarganya. Dia tidak mau berkata kasar di depan anak-anaknya agar tidak memberikan pengaruh yang buruk. Aku hanya menangkap sampai disana, perhatianku teralihkan ke bajunya. Dia mengenakan baju casual yang lebih seksi dari biasanya, belahan yang biasanya terlihat sedikit sekarang sampai setengah dadanya.


Aku sudah tidak fokus dan hanya sesekali membalas bertanya basa-basi agar dia mengira aku menyimak perkataannya. Sepuluh menit sebelum film dimulai, dia mengajakku menuju bioskop untuk membeli popcorn dan minuman dulu. Siang hari begini lobby kosong melompong, hanya terlihat empat orang cowok yang sedang membeli tiket. Dia membelikanku popcorn bucket dan minuman large, dia memeluk lenganku sambil menunggu. Susunya yang kenyal membuat imajinasiku berkelana dengan liar.

Film yang bergenre action ini dimulai, wajah Tante Lucy tampak antusias. Dia tidak berhenti mengutarakan ekpresinya dengan bebas sampai melontarkan bahasa kasar saat ada adegan menegangkan. Dipertengahan film sepertinya dia mulai capek dan menyenderkan kepalanya di bahuku. Bioskop ini kosong melompong, tapi aku tidak mau berlaku kurang ajar jadinya aku tidak bisa agresif duluan. Siapa aku dibandingkan dengan Tante Lucy yang kaya raya.

Sayangnya tidak ada yang terjadi sampai film berakhir. Dia memberiku uang sebesar 500rb lalu kami pulang ke rumah masing-masing. Aku ingin sekali menikmati tubuh indahnya. Kukira dia ingin mengajakku bercinta, tapi ternyata aku kegeeran, dia hanya ingin ditemani jalan-jalan dan menonton film. Sejak itu dia sering memintaku menemaninya tapi tidak pernah berakhir sampai bercinta.

Berbeda dengan Tante Yola yang pada suatu hari sekitar jam 3 siang menelepon untuk memintaku datang ke rumahnya. Aku mendatangi alamat yang dia berikan. Rumahnya di bagian sebelah kiri dari kos-kosan 2 lantai berisi 30 kamar miliknya. Kamar-kamar kos itu melingkar membentuk kotak dan di bagian tengah adalah parkiran mobil dan motor yang luas. Satpam menyuruhku untuk langsung masuk saja ke rumahnya karena sudah ditunggu.

Aku mengetuk pintu, Tante Yola menyambutku dan menyuruhku duduk menemaninya yang sedang makan. Rumahnya besar tapi tata letak perabotannya aneh. Bagian depan adalah area terbuka, ada sofa tapi ada meja makan juga yang biasanya di rumah lain berada di bagian belakang dekat dapur. Di ruang tengah ada dua ranjang, TV dan home theatre. Semua tampak berantakan.


Dia membuka pembicaraan dengan meminta maaf karena rumahnya berantakan. Setelah itu dia menceritakan kalau kamarnya berhantu, jadinya dia memindahkan ranjangnya ke ruang tamu. Kamarnya hanya dia gunakan untuk lemari baju dan saat berganti pakaian. ART saja tidak ada yang betah, sampai akhirnya dia tidak pernah pempekerjakan ART lagi. Aku orang yang berpikir logis dan tidak percaya hantu jadinya hanya manggut saja mendengarnya.

Aku: "Ngomong-Ngomong, tante menyuruhku kesini buat apa?"
Tante Yola: "Jadi gini, badan tante pegal-pegal, kamu bisa mijat nggak?"
Aku: "Aku belum pernah memijat orang tante, kalau dipijat sih pernah."
Tante Yola: "Hayo... pasti pijat plus plus ya?"

Dia benar, tapi aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya.

Aku: "Bukan tante, kebetulan waktu itu ada tukang pijat keliling di rumahku, seorang bapak-bapak."
Tante Yola: "Ya sudah, kamu tinggal praktekan itu ke badan tante,"
"Badan tante pegal sekali habis yoga,"
"Berapa yang kamu mau?"

Aku: "Pijat doang kan?"
Tante Yola: "Pijat..."
"Hhmmm... sekalian layani semua kemauan tante."

Aku tidak tertarik, dia bukan seleraku, tubuhnya kurus dan tidak ada susunya, yang terpenting adalah dia sudah terlalu tua. Aku memutuskan menolaknya tanpa terang-terangan dengan cara memberikan harga yang mahal agar dia keberatan dan membatalkan.

Aku: "Aku mau untuk 5 juta."
Tante Yola tanpa ragu: "Ok tante setuju."

Sial! Aku lupa kalau bagiku uang 5 juta sangat besar tapi level dia berbeda, baginya itu receh. Sekarang aku jadi terjebak, kalau sekarang aku naikan jadi 10 juta nanti aku terlihat seperti ingin memoroti dia. Mau nolak bingung juga karena aku sudah menyebutkan harga. Blak-blakan bilang kalau dia bukan seleraku pasti akan membuatnya tersinggung. Lagi pula ini bukan masalah hati ke hati jadi selera tidak relevan, dia hanya menginginkan pelayananku.

Aku akhirnya bersedia.
 
Selesai makan, dia mengganti pakaian menjadi sport bra dan celana dalam. Aku disuruhnya membentangkan matras dan melapisinya dengan kain yang dia bawa dari kamar. Dia lalu menarik bagian bawah bajuku, "Buka semua pakaian kamu." Aku pun membuka semuanya sampai telanjang sambil melihatnya tiduran terlentang.


Aku menyuruhnya tengkurap tapi dia tidak mau, dia ingin aku langsung memijat bagian depan tubuhnya. Setelah membalurkan baby oil ke tangan, aku mulai sesi ini dengan memijat telapak kakinya dari arah bawah ke atas selama beberapa kali. Selanjutnya aku pijat semua jari kakinya diakhiri dengan memutar dan menariknya perlahan sampai ada bunyi "pop".

Aku menuangkan dan meratakan baby oil di kakinya. Kulanjutkan dengan memijat betisnya dengan memberikan sedikit tenaga. Tiga menit kemudian aku memijat bagian luar paha kirinya menggunakan kedua tanganku, lalu dilanjut ke bagian atasnya. Paha kiri selesai, aku pindah ke paha kanannya.

Baru saja mau memulai memijat paha bagian dalamnya, dia menyuruhku berhenti. Dia membuka bra dan celana dalamnya lalu tiduran terlentang. "Kamu duduk di belakang kepala tante dan pijat susu tante." Saat aku berlutut, dia mengarahkanku untuk berlutut mengangkang di atas kepalanya. Dia mulai menghisap penisku.

Dia benar-benar tidak punya susu, apalagi saat terletang begini, yang menonjol hanya putingnya yang hitam. Aku mulai memijat dadanya dengan gerakan melingkar. Sebenarnya aku bingung juga apa yang kupijat. Lidahnya piawai menjilati palkonku, terasa geli tapi itu tidak membuat penisku bisa tegang.

Mungkin sudah bosan, dia menyuruhku untuk memijat pahanya. Aku memijat bagian dalam pahanya mengarah ke atas dengan kedua tanganku. Setelah itu aku berfokus pada selangkangannya. Kakinya bergerak sedikit ke kanan dan kiri. Aku melanjutkan pijatan di sekitar labia minora menggunakan tangan kanan dan memainkan klitorisnya dengan jempol tangan kiriku.

Akhirnya dia orgasme setelah aku mencolok vaginanya menggunakan jari tengah dan manisku lalu mengocoknya terus menerus. Setelah sesi pijat itu berakhir, dia mengenakan handuk lalu membersihkan vaginanya dengan ujung handuk itu. Kami berdua duduk di ranjang dan dia bercerita banyak hal.

Dia dulunya adalah seorang wanita karir dengan jabatan tinggi dan tanggung jawab besar. Hampir setiap hari lembur bahkan sering kali dia harus masuk kantor saat weekend. Setiap hubungan dengan pria selalu kandas karena si pria sering merasa diabaikan. Dia juga menaruh standar tinggi yaitu ingin pria ganteng yang selevel dengannya. Di sela ceritanya, dia beberapa kali membalas chat di HPnya.

Kesibukannya membuat waktu berjalan tidak terasa. Dia baru tersadar saat umurnya sudah mendekati 40, saat semua sudah terlambat, pria mapan di umur segitu lebih suka wanita muda, tidak ada yang mau menikahinya bahkan duda sekali pun. Sekarang dia bisa membeli apa pun di umurnya yang sudah kepala lima, punya tabungan pensiun yang besar, tapi hidup kesepian tanpa pasangan. Dia juga anak tunggal, jadi silsilah keluarganya akan terputus karena tidak memiliki anak.

Mendengar kisah pilu itu membuatku iba. Baiklah, aku akan melayani apapun yang dia mau. Itu yang dia inginkan saat ini, dan hanya itu yang bisa kuberikan. Aku memeluk tubuhnya lalu mengelus kepalanya selama beberapa saat.

Wajahnya tersenyum, suasana hatinya sudah kembali baik, dia mendorong tubuhku sampai terlentang lalu mulai menghisap penisku. Penisku tidak kunjung tegang. Sempat terlintas rasa nggak enak, takutnya Tante Yola merasa tersinggung. Ternyata dia diam saja lalu memasangkan karet rambut di pangkal penisku tidak sampai ketat. Batangku diurutnya sampai darah yang tertahan membuat penisku lambat laun tegang sampai keras.

Dia membalur penisku dengan pelumas dan merebahkan tubuhnya. Aku mulai menggenjot lubang itu perlahan. Ternyata pelumas terasa lebih licin dibandingkan cairan vagina, dan aku menyukai sensasinya. Bibirnya berjalan menciumi leherku sampai berakhir melumat dan menggigit-gigit bibirku. Aku mengganti posisi beberapa kali sambil mempercepat irama goyanganku sampai akhirnya aku crot di dalam vaginanya.

Setelah berpelukan sebentar, dia menyuruhku untuk memandikannya di bawah shower. Aku menyabuni semua bagian tubuhnya termasuk vaginanya. Tangannya hanya diam memeluk pinggangku, matanya tidak berhenti menatap wajahku. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi sesekali bibirnya tersenyum kecil.

Air dari shower membilas semua sabun dari tubuhnya sampai bersih. Dia mengeringkan diri dengan handuk dan mengajakku mengobrol dulu di ranjang sambil menunggu tubuhnya benar-benar kering. Tante Ami menjadi topik obrolannya kali ini. Dia bilang kalau dia melihat Tante Ami itu adalah refleksi dirinya waktu masih muda. Seorang wanita yang gila kerja sampai lupa mencari pasangan. Sudah banyak yang menasihatinya tapi dia malah marah, membuat orang jadi berhenti memberikan nasihat.


Selesai mengobrol, dia menyuruh menemaninya ke kamar. Kamar ini hanya ada lemari baju besar, rak baju, dan tumpukan baju yang terlihat berantakan. "Sudah Bud, kamu boleh pakai bajumu," ucapnya sambil memakai skincare.


Aku mengenakan pakaian lalu menunggunya di atas ranjang di ruang tamunya. Dia terdengar sedang teleponan tapi berbicara dengan suara yang kecil jadi tidak terdengar jelas. Dia keluar kamar sudah mengenakan baju tidur sederhana lalu menanyakan pembayaranku mau tunai atau transfer. "Transfer saja tante," jawabku. Dia mengucapkan terima kasih. Akhirnya semua ini selesai juga. "Sama-sama tante, terima kasih untuk bayarannya. Kalau begitu aku pamit dulu."


"Jangan pulang dulu, kamu nanti ke kamar 30, lantai dua paling ujung kanan."

"Ada apa disana tante?"

"Sudah datangi saja dulu, nanti juga kamu tahu."

Ada apa di kamar itu? Aku mencoba memikirkan segala kemungkinan tapi tidak menemukan satu pun.

Aku memakai sepatuku dan berpamitan dengan Tante Yola, dia mengantarkanku sampai ke tengah lapangan parkir lalu menunjuk ke lorong tempat kamar nomor 30 berada, "Yang itu kamarnya, kamu kesana sekarang, naik tangga di kanan itu." Dia tetap berdiri melihatku seakan memastikan kalau aku mendatangi kamar itu.

Aduh... Ada apa ini sebenarnya...


Kamar nomor 30 terletak di paling ujung, dua kamar sebrang dan sebelahnya kosong karena tidak ada sepatu dan sendal seperti kamar sebelumnya. Lorong kecil ini tidak masuk sinar matahari menjadikan kamar-kamar disini kurang laku.

Aku mengetuk pintu kamar dan seorang wanita membukanya. Dia adalah Tante Sandra yang langsung menarik tubuhku sampai duduk di ranjang. "Ada apa ini tante? Kok tante ada disini?" ucapku dengan spontan. "Sssttt... jangan terlalu berisik, nanti ada yang dengar," balasnya sambil menaruh jari telunjuk di bibirnya.

Dia mengenakan kemeja yang tidak dikancing sempurna sampai putingnya terlihat jelas, dan hanya mengenakan celana dalam berwarna pink. Di ujung ranjang ada tas, bra dan celana panjang hitamnya yang terlihat ditaruh ngasal. Melihat semua ini membuatku sadar kalau dia ingin mengajakku bercinta. Dia pasti sudah membuat janji dengan Tante Yola, tidak mungkin waktunya bisa pas begini.


Tante Sandra: "Tante nungguin kamu lama banget, si Yola juga ngasih kamar yang ACnya rusak,"
"Untung tante nggak mati kepanasan." Dia mengibas-ngibas kemejanya.
Aku tersenyum mendengarnya: "Memangnya tante mau apa di kamar ini? Kenapa nggak ke rumah Tante Yola saja?"
Tante Sandra: "Nggak enak dong, nanti ganggu kalian."
"Jadi gini Bud, tante juga mau nyobain kamu,"
"Nanti tante kasih 5 juta."

Aku sudah tidak perduli dengan uangnya, aku memang tidak mau lagi. Umurnya bahkan lebih tua dari Tante Yola, aku merasa tidak bermoral kalau bercinta dengannya. Tapi posisiku sekarang serba salah, pasti dia akan tersinggung kalau aku menolaknya sekarang. Tante Yola juga akan mentertawakannya dan membuatnya marah padaku.

Aku: "Aku capek tante, sudah nggak kuat lagi, kapan-kapan saja ya."
Tante Sandra: "Ya sudah kamu tiduran saja, biar tante yang main,"
"Sebentar doang kok, supir tante akan datang menjemput sejam lagi."


Dia naik ke atas ranjang, tangannya mengarahkanku untuk meluruskan kaki. Aku hanya pasrah saat dia melucuti celana dan kaosku. Tidak sampai disana, dia juga membuka kemeja dan celana dalamnya. Kulitnya sudah keriput, susunya sudah turun. Warna putingnya menyaru dengan warna kulitnya. Bibir vaginanya menonjol keluar dan bulunya lebat. "Tutup mata kamu, nikmatin saja," ucapnya tersenyum. Aku menutup mata.

Klik...

Terdengar suara tutup botol yang dibuka. Tante Sandra menuangkan isinya di atas penisku. Tercium body lotion beraroma lavender. Dia meratakan cairan itu ke penis dan bijiku. Tubuhku mulai santai, pikiranku mulai tenang. Tubuh Tante Lucy yang indah tiba-tiba terbayang, membuatku berimajinasi saat ini dia lah yang sedang bercinta denganku.

Tante Sandra meminjat bijiku dengan kedua tangannya sambil menarik-narik perlahan, rasanya geli dan sedikit ngilu. Setelah itu, penisku lah yang menjadi incarannya. Pengalamannya yang banyak terbukti saat ini. Dia tidak mengocok dengan standar seperti wanita lainnya, melainkan kedua telapak tangannya menjepit palkonku dengan sedikit tekanan lalu melakukan gerakan memutar perlahan. Terasa jauh lebih geli dibandingkan kocokan biasa, membuat penisku perlahan tegang sampai maksimal.

Ranjang bergoyang saat dia mengubah posisi tubuhnya. Dia memegang penisku sampai masuk di memeknya. Pinggulnya mulai bergoyang ke atas dan bawah sambil tangannya meremas-remas bijiku. Gerakan tubuhnya semakin cepat selama beberapa menit sampai akhirnya dia lelah dan menjatuhkan tubuhnya di atas selangkanganku. Fiuhhh.. Dia membuang napas.

Walau lelah, tubuhnya tidak berhenti bergerak. Sekarang dia memutar-mutar pinggulnya dengan penisku yang masih berada di dalam vaginanya. Setelah tenaganya kembali, dia mulai menggenjot ke atas dan bawah lagi. Semua ini dilakukan berulang kali sampai akhirnya aku crot di dalam vaginanya.

Dia tiduran menindih tubuhku. "Gimana, enak nggak Bud?" Aku membuka mata dan hanya bisa tersenyum saat menatap matanya. Dia mengecup bibirku dengan lembut lalu mengusap kepalaku. "Sudah sana pakai baju, tante mau mampir dulu ke rumah Tante Yola sebelum supir tante jemput."

Kami berdua mengenakan pakaian. Tante Sandra meminta nomor rekeningku lalu langsung mentransfer pembayarannya.
Jam tanganku sudah menunjukan pukul 19.48. Sesampainya kami di rumah Tante Yola, aku langsung berpamitan dengan alasan sudah ditunggu ibuku. Aku harus kabur sebelum terjebak dalam permainan mereka lagi.

Aku tersentuh dengan curhatan Tante Yola tadi. Rumahnya juga dekat kampusku, jadinya aku sering mampir untuk menemaninya mengobrol. Awalnya dia masih sering memintaku bercinta, tapi lama kelamaan hubungan kami berubah menjadi seperti keluarga dan tidak pernah bercinta lagi. Suatu saat, dia memberikan sebuah tawaran gila yaitu ingin menjadikanku ahli warisnya.

Jiwa serakahku tergiur mendengarnya, level ekonomiku akan berbalik 180° dalam sekejap. Tapi dia ingin semua terdaftar secara legal hitam di atas putih seperti merubah data akta lahirku, KK, dan lainnya. Tentu saja ini tidak bisa dilakukan, aku mau bilang apa ke orangtuaku? Meskipun kami keluarga sederhana, tapi orangtuaku tidak suka diberi atau dikasihani orang, apalagi hal sebesar ini. Tidak masuk akal juga ada orang baru kenal beberapa bulan lalu menjadi ahli waris, apalagi Tante Yola tidak menikah, pasti orangtuaku akan curiga. Semua harta itu tidak sebanding dengan hubunganku dan orangtuaku, jadi aku menolaknya.

Semua kegilaan ini memberikan tekanan ke psikologisku. Aku jadi semakin sering mabuk di club sebagai pelarian. Mendapatkan uang dengan mudah merubah pola pikir dan pandanganku ke uang. Sebesar apapun yang kudapatkan, pasti selalu habis tidak jelas. Uang menjadi tidak bernilai. "Habiskan saja, toh nanti aku bisa dapat lagi," itu yang selalu ada di pikiranku.

Aku sudah tidak pernah masuk kuliah. Hari-hari kulalui dengan main kesana kemari. Setiap minggu aku mentraktir teman-temanku di club, buka botol yang mahal-mahal. Saking royalnya aku, aku diperlakukan spesial disana. Security mengantarku ke private room dan membuka jalan, tentu saja untuk tips. Di dance floor, para LC mengerubungiku, tidak jarang sampai berakhir di hotel. Mereka hanya ingin uangku, rayuan, senyuman dan desahan palsu adalah senjata mereka. Wajah mereka cantik dan tubuhnya bagus bak model, tapi mendapatkan wanita dengan uang sangat membosankan, tidak ada kepuasan yang kudapat, tidak ada perjuangannya.

Mulai juga bermunculan orang-orang yang tiba-tiba baik saat ada butuhnya saja, saat ingin menipu, mengemis atau berhutang. Salah satu contohnya adalah mengaku membutuhkan uang mendesak karena terlilit hutang sampai menangis, padahal uang itu dipakai untuk membeli HP keluaran terbaru. Orang-orang fake ini membuatku muak.

Aku tidak bisa hidup seperti ini terus, aku ingin kembali bekerja normal. Biarpun gaji kecil, rasanya lebih puas dan bisa menjadi pembelajaran untuk mengatur pengeluaran, aku juga tidak akan dikerubungi oleh orang-orang fake yang menjijikan. Aku putuskan untuk berhenti jadi model gambar. "Dodi, kita bisa ketemuan nggak? Ada yang mau aku bahas. Ok jam 8 di kafe gunung kembar ya," ucapku di telepon.

Semua pengalaman yang kualami kuceritakan ke Dodi. Dia sampai kaget mendengarnya, selama dia menjadi model gambar, belum pernah sekalipun ada salah seorang tante yang mengajaknya bercinta. Dia meminta tips bagaimana bisa mendapatkan mereka, yang aku sendiri tidak tahu jawabannya. "Gw juga nggak tahu pasti, tapi menurut gw STW sudah banyak pengalaman, jadi nggak bisa kita ngegodain seperti ke seumuran apalagi sampai bercanda frontal. Belum lagi mereka itu orang-orang kelas atas, bisa jijik atau risih mereka dikasih candaan jalanan," jawabku.

Dia tertarik lagi untuk menjadi model gambar di kelas Tante Novi karena ingin mengeruk uang tante-tante itu. Bagus, aku bisa resign karena sudah ada model penggantiku.


Besoknya aku ke rumah Tante Novi dan mengutarakan semua isi hatiku apa alasannya aku meminta resign. Mulai dari aku merasa tidak bermoral karena bercinta dengan Tante Yola dan Sandra, kuliahku yang berantakan, sampai pola pikirku yang jadi menggampangkan uang.

Tante Novi: "Tante mengerti apa yang kamu pikirkan,"
"Jujur tante merasa cocok sama kamu, karena kamu kuliah di satu bidang dengan tante,"
"Bagaimana kalau kamu jadi asisten pribadi tante?"
"Nanti kamu bantu tante mengatur jadwal untuk meeting, bisa bantu mencari konsep juga,"
"Kamu kan masih muda, masih fresh idenya,"
"Tante jamin kamu akan dapat banyak pelajaran dari pengalaman ini,"
"Tante juga akan mengajari kamu mengatur keuangan."

"Kamu kan nggak nyaman sama teman-teman tante, kamu libur saja setiap hari Rabu,"
"Kalau mereka ngajak bercinta, menolak di telepon akan jauh lebih mudah daripada bertatap muka."

"Agar kamu masih bisa kuliah, tante nggak akan mematok jam kerja kamu,"
"Tante akan bayar kamu per jamnya 100 ribu,"
"Setelah kerjaan kamu beres misalnya dalam dua jam, kamu bisa pulang,"
"Akan lebih adil untuk kita berdua kalau bayarannya per jam,"
"Nanti tante buatkan buku absen, kamu isi sebelum pulang, tanggal sekian jumlah jam sekian."

Aku: "Ok tante aku mau coba jadi asisten tante."

Tawarannya menarik, lagian sepertinya tidak terlalu susah menjadi seorang asisten.

Tante Novi: "Ya sudah, kamu mau mulai kapan? Besok bisa?"
"Nanti tante telepon kalau butuh bantuan."
Aku: "Besok bisa tante, terima kasih."

Tekadku adalah bekerja secara profesional dan tidak mau terlibat lagi dengan urusan selangkangan tante-tante ini.

----------

Keesokan harinya, Pukul 07.15.

Aku yang baru bangun menyeduh segelas kopi lalu menyalakan rokok. Terdengar HPku berbunyi, itu telepon dari Tante Novi yang menyuruhku untuk datang ke rumahnya. Sebagian besar mata kuliahku sudah gugur karena sudah bolos dua kali, membuatku hari ini tidak ada jadwal apapun. "Baik tante, aku kesana sejam lagi, hari ini aku tidak ada kuliah," jawabku di telepon.

Sesampai di rumahnya, aku langsung diajaknya ke ruang kerja. Di ruangan ini ada sebuah meja kantor dengan dua komputer di atasnya. Di meja lain ada printer dan scanner. Menempel ke tembok samping kiri ada rak besar berisikan banyak buku dan box arsip berisikan kertas-kertas. Di depan tembok samping kanan ada sofa kecil dan meja kopi.

Dia menyuruhku ke depan komputer lalu duduk disebelahku. Dilayar komputer terlihat sebuah program pengelola email dan jadwal. Tertera ada 12 email yang belum dibaca dan Tante Novi sambil menguap menyuruhku membuka salah satunya. "Hooaammm... Coba kamu buka yang ini."

Email yang kubuka berasal dari salah satu koran lokal yang ingin mewawancarainya perihal pameran yang akan diselenggarakannya nanti. "Sekarang kamu buka tab catatan ini, disini ada jadwal tetap tante setiap minggunya. Senin Tante les piano jam 2, Selasa arisan, Rabu kelas gambar, Jumat ke salon. Kamu nanti hafalin ini lengkap sama jamnya."

Setelah itu dia menyuruhku untuk mengecek tab kalendar, "Tanggal yang berwarna ini berarti ada jadwal tertentu. Kalau membuat janji, cek hari dan jam disini dulu, jangan sampai ada yang bentrok. Tapi konfirmasi dulu ke tante, karena tante tidak menerima semua tawaran. Yang pasti harus kamu tolak adalah penawaran asuransi, investasi tidak jelas, kartu kredit, dan sejenisnya."

Selanjutnya dia menjelaskan tata cara membalas email yang profesional. Semua kata yang ditulis di email harus sopan, kalau menolak harus ada kata "maaf", permintaan seperti menjadwal ulang harus diawali kata "tolong", di akhir harus ada "terima kasih". "Di awal juga kamu harus mengenalkan diri sebagai asisten tante, agar orang itu tahu kalau yang menulis bukan tante. Jadi kalau kamu salah tulis sampai membuat orang itu tersinggung, dia nggak akan marah sama tante, dia marahnya sama kamu. Makanya hati-hati dalam menulis sesuatu."

Aku paham semua itu dan tidak fokus lagi mendengarkannya. Ada sesuatu yang mengganggu pandanganku. Melihat ke komputer ada dia, melihat ke wajah Tante Novi, ada dia lagi. Sesuatu ini adalah susunya, bahkan dari sudut mataku saja sudah terasa ukurannya yang JUMMBBBOOOO!!! Tante Novi masih mengenakan baju tidur yang minim. Bagian atas bajunya seperti bra yang hanya menutupi putingnya. Dia melihatku beberapa kali saat menjelaskan, dengan cueknya memutar badannya sampai kedua susunya mengarah padaku. Saat dia lengah, aku selalu melirik ke susunya.


Kalau disuguhi pemandangan seperti ini setiap hari, bagaimana bisa aku mempertahankan tekad awalku untuk bekerja profesional tanpa urusan selangkangan?! Aku secara tidak sadar melamun beberapa detik sambil menatap layar monitor. Tante Novi menjentikan jarinya di depan mataku, "Hey, kamu paham nggak? Malah melamun!" "Ohh... Aku paham tante," jawabku.

"Coba kamu balas semua email itu, tante akan bimbing." Dengan sigap aku mengikuti perintahnya. Setelah itu dia memberikanku HP keduanya yang dipakai khusus untuk urusan pekerjaan. Aku harus mengangkat semua telepon yang masuk, menjadi perantara antara dia dan orang yang berkepentingan dengannya. Telepon yang penting akan kusambungkan, yang tidak penting akan kutolak. Terdengar sepele, tapi menerima belasan telepon telemarketer setiap harinya terkadang cukup mengesalkan.


Hari demi hari berlalu... Tidak terasa sudah liburan semester.

Tante Novi menyuruhku untuk datang setiap harinya. Kuhabiskan siang hari di rumahnya dan malam hari nongkrong dengan teman-temanku kalau aku tidak capek. Dia semakin lama semakin manja ingin dilayani sampai hal terkecil sampai menyuruhku datang untuk hal sepele. Contohnya saat dia meneleponku jam 8 malam dan berkata ada urusan penting. Aku yang panik langsung datang secepatnya, ternyata dia hanya ingin mencetak lima lembar "sheet music."

Itulah saat aku berkenalan dengan suaminya. Namanya adalah Om Kevin, seorang pria matang yang masih terlihat gagah dengan aura yang mengintimidasi. Mengobrol sebentar saja membuatku sudah bisa merasakan kalau dia bukan orang sembarangan. Meskipun begitu, dia adalah orang ramah dan enak untuk diajak mengobrol.

Hubunganku dengan Tante Novi semakin dekat, dia mengajariku banyak hal tentang seni. Aku merasakan ilmu yang kudapat darinya berkali-kali lipat dibandingkan kuliah. Selain masalah teknis, aku juga jadi tahu bagaimana cara menghadapi klien yang rewel. Aku jadi sering curhat begitu pula sebaliknya. Sebenarnya permasalahanku sepele kalau dibandingkan dia, tapi saran darinya selalu membuatku tenang. Sedangkan dia tidak membutuhkan saran saat curhat, melainkan butuh seorang pendengar.

Dia juga mengajariku untuk mulai investasi di saham bahkan sampai meminjamkan uang dengan jumlah yang besar agar akunku disetujui. Aku langsung mengembalikan uang itu setelahnya. Dia adalah orang paling royal dan baik yang pernah kutemui. Aku sempat menceritakan ini ke Om Rony mantan bosku (Part 35), dia memintaku untuk hati-hati jangan mau jika ditawari barang.

Menurutnya uang tidak masalah karena saat habis nilainya hilang, tapi barang akan mengikat selama barang itu masih ada. Barang juga lebih mudah diingat jadinya akan diungkit-ungkit suatu saat nanti. "Saran om, jangan terlalu percaya sama tante itu, kamu jangan sampai nerima barang apapun, nanti nggak bisa lepas," ucap Om Rony saat itu.

Minggu depannya Tante Novi menawarkan menjadi model gambar lagi. Dia bercerita kalau Dodi sudah dipecat karena kurang ajar ke Tante Yola. Dodi menawarkan dirinya untuk memuaskan Tante Yola tapi terlalu frontal sampai membuat Tante Yola tersinggung. Ini membuat teman-temannya merasa tidak nyaman dan menyuruh Tante Novi untuk memecatnya.

Tante Novi: "Kamu mau apa untuk menjadi model gambar lagi?"
"HP, laptop atau motor? Kamu sebut saja."

Aku teringat saran dari Om Rony, "Maaf tante, apapun yang terjadi, aku sudah nggak mau jadi model lagi."
Akhirnya kelas gambar itu ditiadakan.

Tante Novi membebaskanku untuk meminta gaji kapan pun tapi dia menyarankan untuk menahannya menjadi seperti tabungan, daripada selalu habis untuk hal tidak berguna. Dia juga menjadi posesif yang positif, aku harus memberikan alasan kuat untuk mencairkan gaji. Dia selalu menasihatiku kalau alasanku sepele seperti ingin membeli HP versi terbaru, menanyakan beberapa kali apakah aku yakin mau membeli barang itu. Bukan hanya soal uang, dia juga jadi lebih perhatian. Saat aku sakit, dia membawaku ke RS, memasakanku sup ayam, dan memberiku obat.

Hubungan kami tak terasa semakin dekat. Dia yang sebelumnya cuek dengan kehidupan pribadiku berubah menjadi perduli. Sekarang dia bahkan selalu marah kalau aku kebanyakan merokok. Aku juga agak malas merokok di rumahnya, harus di teras atau di area kolam renang, kalau tidak dia sering ngomel karena bau.

Dia juga menjadi lebih cuek dalam artian semakin terbuka padaku. Pada suatu Sabtu, dia akan mendatangi acara reunian SMAnya yang akan diselenggarakan di salah satu restoran siang harinya. Aku sedang duduk di ruang kerja, membalas chat orang EO yang meminta konfirmasi kedatangan, tiba-tiba Tante Novi meneleponku untuk datang ke kamarnya. Aku datang ke kamarnya dan terkejut melihat dia hanya mengenakan bra.

Aku sudah terbiasa melihat susunya saat dia mengenakan baju tidur minimnya, tapi kalau bra baru kali ini. Sulit untuk dijelaskan tapi yang kurasakan adalah bra terasa lebih private. Semua orang bisa melihat tubuh wanita yang mengenakan bikini di pantai, tapi hanya orang tertentu yang bisa melihat wanita tersebut saat mengenakan pakaian dalam. Walau bentuknya sama saja, sensasinya yang berbeda.


"Bud, tolong bantu tante pakai baju ini, susah mengaitkan klipnya."

"Bantu gimana tante, aku nggak ngerti, bajunya aneh seperti selendang doang," balasku. Pandanganku berjalan dengan cepat melewati bra dan berakhir di bajunya. Melihat susu itu hanya sedetik doang sudah membuat nafsu. Persetan dengan tekadku yang ingin bekerja profesional, suatu saat aku harus bisa menikmati tubuhnya!

Dia melingkarkan bagian kiri bajunya sampai menutupi kedua susunya lalu menyuruhku untuk mengaitkan klip-klip kecil ke roknya. "Kamu kaitkan ini, ini dan itu. Tante nggak bisa jongkok roknya terlalu ketat, nanti robek," ucapnya. Setelah kukaitkan, dia melakukan hal yang sama dengan bagian kanan bajunya dan aku mengaitkan klipnya lagi.

"Cocok nggak Bud?"

"Cocok tante, tante terlihat anggun pakai baju itu," jawabku.

Muncul banyak pertanyaan di benakku. "Kenapa dia bisa dengan cueknya memakai bra di depanku? Kenapa tidak menyuruh ART untuk membantunya, kan sama-sama wanita? Apakah dia sudah menganggapku seperti anaknya sendiri? Atau jangan-jangan dia mencoba untuk menggodaku?" "Tapiii... tidak mungkin rasanya karena dia tidak pernah aneh-aneh lagi kecuali saat adegan ngocokin itu. Itu juga sepertinya terpaksa karena penisku nggak bisa tegang dan suaminya akan segera pulang." Teman-temannya yang blak-blakan lebih mudah ditebak, tapi berbeda dengan Tante Novi.
 
Dua hari kemudian, Senin, 08:30.

Rutinitasku seperti biasa, masuk ke ruang kerja, menyalakan komputer lalu langsung membalas email dengan mengubah template yang kubuat. Lalu aku mengecek HP bisnis Tante Novi, ada chat dari salah satu art shop yang menawarkan menjadi salah satu sponsor di pameran seninya nanti. Mereka memberitahu bahwa akan datang ke rumah besok jam 11. Dari riwayat chatnya, Tante Novi adalah pelanggan prioritas mereka. Dia sering membeli cat-cat mahal, kanvas, dll. Jadwal itu bentrok dengan arisannya Tante Novi tapi ini hal yang penting, jadi aku harus mengkonfirmasi dulu.

Aku berjalan ke ruang tengah dan dari tembok kaca melihat Tante Novi sedang berenang. "Nanti saja deh setelah dia selesai berenang." Takut mengganggu membuatku membatalkan niatku. Baru bau membalik badan, Tante Novi melambaikan tangannya dan menyuruhku mendekatinya.

Tante Novi: "Ada apa Bud? Kamu sampai jalan cepat begitu, ada yang penting?"
Aku melihat HP karena lupa nama art shopnya: "Maaf mengganggu tante, Lendir Art Shop chat katanya menawarkan menjadi sponsor,"
"Tapi besok jam 11, tante kan ada arisan."
Tante Novi: "Ini lebih penting daripada arisan, bilangin besok jam 11 akan tante tunggu."
Aku: "Baik tante."

Posisi tubuhnya berada di dalam air, tapi terlihat jelas kalau dia sedang bugil. Riak air yang bergoyang tidak mampu menyamarkan kedua susunya yang besar. Akhirnya setelah penantian lama, aku bisa juga melihat tubuhnya.


Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, "Tante, aku merokok dulu disini ya, sambil balas chat tadi, dari pagi belum merokok," ucapku dengan poker face agar tidak mencurigakan. Dia hanya mengangguk lalu lanjut berenang.

Aku duduk di kursi kayu, menyalakan rokok lalu berpura-pura membalas chat yang padahal pikiranku sudah tidak fokus lagi. Mataku terus melirik ke tubuhnya setiap ada kesempatan. Setiap berhenti, dia menoleh ke arahku seakan mengecek apakah aku memperhatikannya. Tapi gerakan mataku lebih cepat untuk melihat ke HP lagi.

Gerak-geriknya terasa janggal, kalau dia mengecek seperti itu karena risih, dia pasti akan menyuruhku pergi. Apa dia suka eksib dan ingin melihat reaksiku seperti Tante Sari (part 16)? Tapi rasanya tidak mungkin karena kalau di luar rumah dia selalu memakai baju sopan dan tertutup.

Tante Novi berenang ke arahku lalu berhenti dan berdiri lalu menceritakan tentang art shop itu. Dia adalah pelanggan lama di art shop itu. Dia sering nitip barang yang dia mau saat art shop itu mau impor barang. Harganya lebih mahal dibandingkan beli sendiri di 3b@y atau forwarder tapi lebih enak karena kalau barang rusak, yang mengurus return adalah si art shop.

Aku reflek melihat ke arahnya hanya saat dia membuka pembicaraan lalu mengarahkan pandanganku ke HP lagi. Susunya terlihat lebih jelas, saking besarnya, susu itu menyerah kepada gravitasi. Aku tidak berani melihatnya lagi karena takut menyinggungnya. Otak lendirku memberikan sebuah ide, aku buka aplikasi kamera lalu berpura-pura membalas chat. Dengan bebas tanpa mencurigakan bisa kunikmati pemandangan kedua susunya di layar HP. Akhirnya aku bisa melihat dua buah cokelat bundar yang selalu tersembunyi itu.


Aku sudah puas walau tidak melihatnya secara langsung, tapi ternyata keberuntunganku tidak berhenti disitu. Dengan santainya dia berjalan keluar kolam renang. Sekilas aku melihat bulu-bulu tipis yang dicukur rapih.


Dia mengambil handuk dari atas meja sebelahku lalu mengeringkan tubuhnya. Dengan cuek memalingkan tubuhnya sekitar 45 derajat dariku. Susunya masih terlihat, bergoyang-goyang saat dia mengelapnya. Aku yang sudah tidak kuat melihat ini, berjalan meninggalkan Tante Novi ke ruang kerja.

Rasanya lebih puas mendapatkan sesuatu secara perlahan seperti ini. Pertama kali aku memegang susunya saat dia membantu mengocokku, lalu melihatnya di balik baju tidur, lalu sampai akhirnya melihat putingnya. Kalau dari awal dia langsung menembak harga dan kami bercinta, aku mungkin tidak akan nafsu.

Walau sudah di ruang kerja, pikiranku tertinggal di kolam renang itu. Kedua susu itu memeluk erat ingatanku. Untuk membalas email, aku harus mengeceknya beberapa kali untuk memastikan aku tidak salah tulis. Tidak lama kemudian dia datang lalu duduk di kursing sampingku. Tante Novi mengenakan tank top dan celana pendek warna hitam.

Tante Novi: "Sedang apa kamu? ada yang penting lagi nggak?"
Aku: "Aku sudah membalas semua email, hari ini yang penting cuma art shop tadi."
Tante Novi: "Coba tante cek dulu."

Selesai mengecek, dia membuka sebuah folder, di dalam folder itu ada puluhan folder lagi yang masing-masing berisikan ratusan gambar.

"Tante baru ingat, tolong rapihkan isi folder ini,"
"Kemarin tante mau cari inspirasi sampai bingung karena lupa foldernya yang mana, berantakan banget."

Aku langsung mengerjakannya. Folder-folder itu dinamakan dengan tahun, tapi file di dalamnya random, ada foto saat dia liburan, karya dia, karya seniman terkenal, produk online shop yang saat itu mau dia beli, dll. Nama filenya juga tidak rapih dan tersebar acak.

Kubuat folder baru sesuai kategori lalu memasukan file-file yang tepat. Dia menopang dagu sambil menceritakan sejarah dari beberapa foto, seperti saat dia liburan ke luar negeri, konsep karya lamanya, foto keponakannya, dll.

Selesai satu folder, aku membuka folder lainnya dan mengecek jenis gambarnya dulu. Ada deretan foto seorang wanita cantik yang sedang telanjang. Teknik hard light photography membuat foto-foto tersebut terlihat artistik. Melihat foto dan lukisan telanjang sudah biasa bagiku, yang membuat beda kali ini adalah... itu foto Tante Novi saat masih muda. Tubuhnya masih langsing, susu dan bokongnya besar, semua onderdilnya masih kencang.

"Aduh tante malu," ucapnya sambil menutup monitor dengan tangannya sejenak sambil tertawa. Dia lalu menceritakan kalau saat kuliah diminta photography club di kampusnya untuk menjadi model. "Cantik banget tante, pasti banyak yang ngedeketin ya?" "Nggak banyak, tapi tante beberapa kali pacaran sama bule, setidaknya sudah pernah nyobain punya bule," jawabnya sambil tertawa. Ini pertama kalinya dia memulai candaan menjurus, aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.


Aku: "Gede-gede ya tante punyanya bule?"
Tante Novi: "Ada yang gede, ada yang cuma 7 cm waktu ereksi,"
"Kamu ini sering nonton video porno ya? kok bisa nanya itu."
Aku: "Nggak sering tante, tapi pernah nonton beberapa kali, namanya juga cowok,"
"Ngomong-ngomong, masa sih bule ada yang kecil?"
Tante Novi: "Namanya manusia, ada yang besar ada yang kecil,"
"Kamu jangan berpatokan sama video porno."

Aku jadi membayangkan bercinta dengan versi mudanya sampai tidak terasa penisku tegang. Sialnya memakai celana dalam adalah saat salah orbit seperti sekarang. Palkonku mentok ke bagian karet celdam dan membuat tidak nyaman, aku harus membelokan orbitnya ke samping.

Posisi duduknya di sebelah kiriku, kutarik kedua tanganku dan menyender ke kursi, lalu kutunjuk layar dengan tangan kiriku untuk mengalihkan perhatiannya, "Ini semua folder harus dirapihkan? banyak banget tante." Sambil kugunakan tangan kananku perlahan untuk menggeser posisi penis.

Dia menyadarinya, "Hayo, tangan kanan kamu ngapain?" ucapnya sambil tertawa. "Maaf tante, sakit kalau nggak dibenerin," jawabku.

Tante Novi: "Kamu nafsu sama foto tante waktu muda ya?"
"Sekarang tante sudah jelek, gendut, keriput."
Aku: "Yang aku kenal adalah tante yang sekarang, bukan waktu muda,"
"Wajah tante masih cantik, watak tante yang baik juga membuat makin cantik lagi,"
"Aku yakin tante yang sekarang jauh lebih menarik."

Dia melihatku sambil tersenyum lalu tangan kanannya memelukku. Aku sudah tidak kuat menahan nafsu lagi, bodo amat kalau nanti dia marah. Kugerakan kepalaku mendekat ke wajahnya. Ternyata bibirnya menyambut bibirku dan kami mulai berciuman. Aku membelai susunya, dia meraba penis dibalik jeansku lalu mulai meremas-remas palkonnya.

Tangannya mau membuka retsleting celanaku, tapi aku menahan tangannya. "Izinkan aku saja yang memuaskan tante," ucapku sambil tersenyum. Aku menggenggam lalu menarik kedua tangannya dengan lembut sampai dia berdiri. Perlahan kuturunkan celana pendeknya. Aku sangat menikmat setiap sentinya saat celana itu bergerak turun. Tampak vagina chubby yang bersih terawat dan bulu-bulu tipis yang tercukur rapih.


Aku menyelipkan lidahku ke lipatan vaginanya dan mulai menjilatinya. Dia menikmatinya, tubuhnya bergerak sedikit kesana kemari. Tangannya meremas-remas rambutku. Tidak lama aku merasakan lendir asin membasahi lidahku. Dia menyuruhku berhenti lalu kedua tangannya membuka vagina itu, mempersilahkan penisku untuk masuk kesana. Tampak bibir vagina berwarna hitam yang tadinya tertutup daging yang tebal.


Aku membuka semua pakaianku sambil melihatnya membuka tank topnya. Aku memasukan penisku perlahan. Vaginanya masih sempit membuatku bisa merasakan setiap gesekan di palkonku. Matanya terpejam dan dia membuang nafas saat kupercepat genjotanku sambil meremas-remas kedua susunya.

Sudah puas di pose itu, dia mengajakku ke meja kecil di pojok ruangan. Dengan sigap aku memindahkan printer dan scanner yang ada di atasnya ke lantai.


Dia menyiapkan posisi nungging dan aku langsung memasukan penisku. Kugenjot lubang itu sampai tubuh Tante Novi bergetar. Vaginanya mengeluarkan lendir yang banyak sampai membasahi selangkanganku. Dengan suara lirih dia menyuruhku untuk berhenti, "Su...daahhh... Bud... stop... ahh... stop..." Aku tetap menggenjotnya dengan sangat cepat sampai crot di dalam lubangnya.

Dia membalik tubuhnya dan tersenyum puas. Aku juga puas, tujuanku tercapai setelah penantian panjang ini. Selagi dia beristirahat, aku mengelap vaginanya dengan tissue, lalu membersihkan penisku, tidak lupa juga membersihkan lendir kami berdua yang membasahi meja.

Tante Novi berdiri lalu memelukku dengan erat sambil mengajakku ke kolam renang. Kami berenang bersama sampai akhirnya hanya berpelukan di dalam air sambil mengobrol. Dia menceritakan kalau suaminya memiliki simpanan seorang wanita muda, tapi dia berpura-pura tidak tahu karena banyak pertimbangan.

Umur pernikahannya yang sudah tua membuat tidak ada cinta lagi, yang ada hanyalah teman hidup. Perceraian akan melalui proses yang panjang apalagi masalah harta. Pria dewasa yang selevel dengannya pasti mengincar wanita muda. Dia takut kalau bercerai tidak akan mendapatkan pendamping hidup lagi. Karena suaminya selingkuh, dia selingkuh juga dengan mantannya, lalu sekarang denganku. Selesai mengobrol, kami membersihkan diri di kamar mandi kecil khusus bilas.


Sejak itu hubungan kami semakin dekat lagi, sudah tidak ada jarak sama sekali di antara kami berdua. Bukan hubungan seperti pacar, bukan pula seperti ibu dan anak, melainkan hubungan yang saling menguntungkan saja.


Tidak terasa semester baru sudah dimulai, membuatku jadi lebih sering menghabiskan waktu di kampus.

Di depan kampusku ada taman luas yang selalu ramai. Saat jam kosong, mahasiswa/wi dari berbagai jurusan sering nongkrong disni. Ini tempatku berkenalan dengan seorang cewek. Dia anak jurusan HI yang periang dan supel, bisa langsung dekat dengan orang yang baru kenal. Namanya adalah Arlene.

Setiap harinya dia diantar jemput oleh seorang supir yang memakai seragam yang selalu membukakan pintu mobil dengan sopan. Dia jarang berjalan sendirian, selalu ada minimal dua orang cowok yang mengikutinya sambil membawakan barangnya.

Setiap baru datang ke taman, banyak cowok yang menggodanya. Beberapa temanku merasa yakin kalau cewek itu suka padanya. Aku berulang kali menasihati mereka kalau cewek itu supel dan ramah ke semua orang, tidak suka dengan mereka, tapi mereka yang minim pengalaman tidak pernah mendengarkan.

Terkadang aku kasihan dengan cowok-cowok seperti ini. Arlene juga sering mencandai mereka, contohnya saat ada temanku yang bertubuh besar menembaknya, dia menyuruh untuk menurunkan berat badan dan menembaknya lagi. Dengan rasa yakin akan diterima, temanku ini hanya makan sayur dan kuah bakso setiap harinya di kampus. Dia jadi rajin ngegym, sampai berat tubuhnya turun drastis dan menembak Arlene lagi, akhirnya ditolak.

Sifat Arlene bossy, sering menyuruh orang untuk menurutinya seperti membawakan tasnya, sampai mengelap tanah di sepatunya. "Aduhh pegal tangan gw, bawain dong.." "Aduhh sepatu gw kotor, lapin dong.." ucapnya sambil bertingkah manja kalau dia sedang menyuruh. Selalu ada yang mau melayaninya dengan suka rela tanpa bayaran apapun.

Aku bingung dengan apa yang ada dipikiran cowok-cowok itu, apakah mereka mengira dengan menjadi babu bisa mendapatkan hati seorang cewek? Beda cerita kalau sudah jadian, kita bisa mendapatkan tubuhnya, tapi ini hanya teman doang, tidak dapat keuntungan apapun.

Arlene tidak termasuk cewek populer di kampus, tapi selalu ada cowok yang mengikutinya membuat dia dijauhi oleh cewek-cewek yang iri padanya. Banyak dari mereka yang membuat gosip kalau dia itu cewek murahan karena terlalu supel dan merokok. Di mataku dia tidak seperti itu, dia tidak pernah menggubris candaan menjurus, dia tidak pernah melontarkan kata-kata mesum, paling hanya berbicara kasar yang wajar.

Suatu hari...

Jam 4 sore sepulang kampus, aku mampir di sebuah minimarket yang berada sekitar 200 meter dari kampus untuk membeli rokok. Ternyata ada Arlene yang sedang duduk di bangku sambil merokok dengan wajah masam.

Aku: "Lagi ngapain lu disini? tumben sendirian."
Arlene: "Lagi nunggu dijemput. BT banget gw."

Aku membeli rokok lalu menemaninya.

Aku: "BT kenapa lu? Terus ngapain nunggu jemputan disini, kok nggak di kampus?"
Arlene: "Anj*ng tadi gw diketawain semua orang di taman, gw malu banget."
Aku: "Diketawain kenapa? coba ceritain."
Arlene: "Tadi lagi bahas jajanan lokal, terus banyak yang gw nggak tahu,"
"Gw ditanyain terus-menerus pernah makan ini itu nggak, sambil pada ketawa,"
"Mereka sudah tahu jawabannya pasti belum pernah, tapi nanya terus,"
"Gw jadi bahan lawakan."
Aku: "Memangnya jajanan apa?"
Arlene: "Kaya, hhmmm... apa itu tadi... kue cucur."
Aku: "Cucur, wajik, talam, yang sejenis itu ya?"
Arlene: "Iya bener, kok lu tahu?"
Aku: "Tahu lah, gw masih sering makan jajanan seperti itu,"
"Lu beneran nggak pernah makan itu ya?"
Arlene: "Belum pernah, jaman gw sekolah juga nggak ada yang seperti itu di kantin,"
"Kenapa? lu mau ngetawain gw juga ya?"
Aku: "Nggak ada yang bisa diketawain, itu wajar kok, dulu mantan gw juga awalnya nggak tahu jajanan seperti itu."

Wajahnya cantik dan tubuhnya menggiurkan, terlebih lagi susunya yang bulat. Dia sedang mengenakan kaos dan jeans ketat yang memamerkan lekukan tubuhnya. Kebetulan saat ini dia sedang sendirian tanpa pengikutnya. Aku tidak mau menyiakan momen langka ini dan muncul rasa ingin mendekatinya. Aku tidak berharap kepada cewek seperti ini, kalau dapat syukur, kalau ditolak ya sudah.

Aku: "Gini deh, lu ada acara nggak malam ini?"
"Jajanan kaya gitu banyak di pasar malam, kita kesana malam ini,"
"Biar lu bisa cobain jajanan itu dan nggak akan pernah diketawain lagi."
Arlene: "Nggak mau ah... Gw takut ke tempat begitu."
Aku: "Yah elah... Santai... Gw jamin aman..."

Aku tidak memaksa karena tidak mau dia tahu kalau aku mencoba mendekatinya. Tapi ternyata dia menerima ajakanku dengan syarat harus menjaganya. Sekarang masih jam 4.30 sedangkan pasar malam baru ramai jam 6-7 malam. Kami mengobrol santai untuk menghabiskan waktu.

Dia dulu bersekolah di salah satu SMA swasta yang elit. Kedua orangtuanya sibuk bekerja, ayah pemilik showroom mobil dan ibunya pemilik toko furniture. Saat siang hari, hanya ada ART dan supir saja di rumahnya. Itu sebabnya dia lebih sering nongkrong di kampus sampai sore.

Mendengar ceritanya membuatku semakin tidak berharap bisa mendapatkannya. Ada ketakutan akan diinjak-injak oleh keluarganya karena perbedaan level ekonomi kami terlalu jauh. Aku juga kurang pas dengan sifatnya, aku suka dengan cewek periang tapi tidak dengan yang terlalu supel karena akan membuat hidupku tidak tenang. Aku lebih suka memacari cewek judes yang galak sama cowok.

Tidak terasa kami mengobrol sampai jam 6.10. "Ayo kita pergi sekarang, biar nggak kemalaman. Tapi gw pakai motor nih, nggak apa-apa?" tanyaku memastikan. "Nggak apa-apa, gw juga tahu lu naik motor," jawabnya. Untung saja aku baru membeli sebuah motor sport, setidaknya membuatku lebih PD.

Jalan termudah ke pasar malam harus melewati satu jalan besar yang banyak paku. Rumornya, paku-paku itu sengaja disebar karena di jalan tersebut banyak sekali tukang tambal ban. Sering bocor membuatku biasanya menghindari jalan itu dan memilih lewat jalan tikus di tengah pemukiman padat. Tapi sekarang aku sedang bersama Arlene, akan lebih nyaman baginya kalau lewat jalan besar, kondisi aspalnya mulus walau macet.

Keputusanku salah, di tengah kemacetan aku merasakan bagian belakang motorku menjadi lebih berat dan kurang stabil. Ban motorku bocor! Aku ingat letak semua tambal ban di sepanjang jalan itu, yang terdekat berjarak sekitar 200 meter. Aku memutuskan masuk ke jalan tikus untuk menghindari kemacetan.

Panik membuatku tidak berpikir jernih, ada polisi tidur setiap satu meter di jalan tikus ini yang membuat angin di dalam ban belakangku cepat habis. Kalau tetap di jalan raya, ban tubelessku seharusnya bisa bertahan sampai tukang tambal. Karena hubungan kami belum dekat, tidak enak rasanya menyuruh Arlene untuk turun dan berjalan kaki menemaniku mendorong motor.

Akhirnya banku benar-benar kempes sampai motor oleng ke kanan kiri. "Ini kenapa motorlu?" ucap Arlene lalu tertawa terbahak-bahak. Di kaca spion terlihat tubuhnya terhentak kesana kemari, membuatku tertawa juga. Motorku tidak berhenti bergoyang walau sudah kubawa pelan. "Gw belum pernah naik motor kaya gini," ucap Arlene di sela tawanya. Kami berdua tidak berhenti tertawa terbahak-bahak dengan keras. Orang-orang sekitar sampai bengong melihatnya.

Sesampai di tukang tambal ban, kami menunggu antrian sambil duduk di sebuah kursi kayu. Dia masih belum berhenti tertawa. "Gw malu banget anj*ng, ban bisa bocor begini," candaku. Tawanya malah semakin besar. Melihatnya tertawa lepas membuat hatiku senang. Biarlah velgku hancur yang penting dia sudah tidak muram lagi.

Aku baru menyadari sebuah paku doang bisa membantuku mendekati Arlene. Momen konyol ini akan selalu diingatnya.


Di pasar malam...

Baru saja berjalan dari parkiran motor, dia sudah menjadi perhatian banyak pria. Kebanyakan pandangan mereka tertuju ke susunya Arlene. Terdengar suara cuitan dari cowok-cowok yang sedang nongkrong, mereka langsung memalingkan pandangan berpura-pura bego saat kupelototi.

Aku membawa Arlene ke lapak jajanan tradisional. "Ini apa? itu apa?" tanyanya. Penjualnya menjelaskan asal muasal dan bahan jajanan itu, selagi Arlene memilih yang mau dia beli. "Bawain dong," ucap Arlene padaku saat penjualnya menyodorkan sebuah kantong keresek. "Males, bawa sendiri lah," jawabku lalu mulai berjalan.

Dia menyusulku sambil cemberut manja, "Jahat banget ih." "Ini kan ringan, kalau karung beras gw bantuin," jawabku sambil tertawa melihat gaya manjanya. Aku mengajaknya membeli jajanan lainnya seperti putu dan banros lalu duduk di salah satu meja kosong. Dia mulai mencicipi kue-kue itu satu persatu, dan aku meninggalkannya sebentar untuk memesan dua porsi sop kaki sapi dan dua gelas jus jeruk.

Tidak lama kemudian makanan dan minuman kami datang.

Aku: "Cobain deh, ini sop kaki sapi, lu pernah makan nggak?"
Arlene: "Apaan nih?! gw belum pernah makan,"
"Nggak mau ah, gw mau burger itu saja," lanjutnya sambil menunjuk ke lapak burger.
Aku: "Cobain dulu, ngapain ke pasar malam kalau ujungnya beli burger."

Dia tidak mau makan ya sudah, aku yang kelaparan mulai makan dengan lahap. Dengan wajah terpaksa, dia mulai menyeruput kuahnya, lalu memakan potongan kaki sapi itu. Ternyata dia menyukainya dan memakannya sampai habis tidak bersisa. Selesai makan, kami berdua mulai mengobrol sambil merokok.

Aku: "Gimana, enak nggak jajanan tradisional?"
"Lu suka yang mana?"
Arlene: "Gw paling suka banros, soalnya badan gw gampang gendut, jadinya nggak mau makan yang manis."
Aku mengecek bungkusan: "Gila lu, cuma banros yang habis, sisanya digigit sekali terus lu masukin lagi?"
"Gw jadi nggak bisa makan kan."
Arlene: "Makan ya makan aja lah,"
Aku: "Dari bekas mulut lu gitu? Nggak deh."

"Lu beda ya dari cowok lain, lu jahat nggak kaya yang lain pada baik-baik ke gw," ucapnya sambil cemberut centil. Kami mengobrol lama disana. Aku merasakan ada banyak kesamaan diantara kami berdua. Dia suka makanan asin, suka olahraga, humoris, kurang kasih sayang karena dari kecil kedua orangtuanya sibuk bekerja.

Keesokan harinya, selepas ngepress velg yang agak penyok aku pergi ke rumah Tante Novi dan meminta maaf karena tidak datang kemarin dan lupa mengabarinya. Aku menceritakan sedang mendekati Arlene sekalian meminta ijinnya. "Kamu masih muda, butuh banyak pengalaman hidup. Tante nggak mau mengekang kamu, dekati saja cewek itu," jawabnya sambil tersenyum.

Aku masih bercinta dengan Tante Novi. Suatu siang kami sedang bergulat di ranjangnya. Pintu kamar tidak pernah ditutup karena ART tidak pernah ke rumah bagian belakang kalau tidak dipanggil.

"BRRAAAKKKK!!!!!"
Pintu kamar yang terbuka digebrak sampai menghantam tembok.

"Mom, what the f*ck? have you lost your mind?!!!"

Aku yang kaget mencabut penisku lalu berdiri menatap seorang wanita yang belum pernah kulihat. Dengan reflek aku menghindar dari HP yang dilempar oleh wanita itu ke kepalaku. Dia adalah anak sulung Tante Novi yang bernama Rossie.

"Rossie, kamu kok nggak bilang mau datang?" ucap Tante Novi sambil memakai baju dengan panik.

Rossie: "Mom, kenapa selingkuh? kasihan daddy,"
"And who the hell is he?" lanjutnya sambil menunjukku.
Tante Novi: "Daddy kamu yang selingkuh duluan,"
"Kamu nggak pernah ada disini jadi kamu nggak tahu apa perasaan mommy!"

Mereka berdua beradu argumen dengan keras dan aku yang terjebak di dalamnya hanya bisa diam sambil memakai pakaianku. Tante Novi menyuruhku untuk pulang dan dia yang akan menjelaskan ke Rossie.

Keesokan harinya Tante Novi bercerita kalau sudah menjelaskan semuanya dan Rossie akan merahasiakan ini dari ayahnya. Rossie sedang bertengkar dengan suaminya dan untuk sementara akan tinggal di rumah Tante Novi.

"Dia orangnya keras dan blak-blakan jadi hiraukan saja dia, kamu kan bekerja untuk tante," ucap Tante Novi menenangkanku.

Aku tetap bekerja seperti biasa dan Rossie yang membenciku sering menyindir saat kami bertemu. Tante Novi selalu melerai dengan menyuruh Rossie berhenti dan menyuruhku pergi ke ruangan lain. Sepertinya suami Tante Novi mengetahui hal ini karena sikapnya berubah dingin, tidak membalas saat aku menyapanya dan mengajaknya mengobrol. Suasana ini membuatku merasa tidak enak.

Tante Novi menahanku saat ingin resign, kebetulan juga pamerannya sebulan lagi dan dia sedang sibuk-sibuknya. Dia bahkan sampai berjanji akan membelikan sebuah mobil saat pamerannya sudah selesai, yang tentu saja akan aku tolak. Aku mencoba bertahan selama seminggu, sampai akhirnya Rossie tidak bisa memendam amarahnya lagi. Dia berdiri di sebelah komputerku. Dengan tatapan tajam dan raut wajah yang terlihat jijik dia memaki-makiku, "Eh tol*l, lu pasti merayu nyokap gw sampai mau diporotin gembel kaya lu, berani-beraninya lu merusak keluarga gw!"

Tidak berhenti disana, dia terus memaki-maki sampai hampir sejam. Telingaku panas mendengarnya, tapi aku tidak bisa marah karena memang aku yang salah. Kalau aku balas membentak, masalah ini akan semakin panjang dan semua kemungkinan yang ada hanya akan berakhir buruk bagiku. Semua sudah kacau, semakin lama bekerja disini, semakin besar resikonya. Aku memutuskan untuk meminta resign ke Tante Novi.

"Tante, jujur saja aku sudah tidak kuat lagi,"
"Aku merasa bersalah sudah merusak keluarga tante,"
"Aku memohon maaf yang sebesar-besarnya atas semua kesalahanku,"
"Aku benar-benar mau resign walau tante tidak mengijinkan,"
"Mulai besok aku tidak akan datang kesini lagi,"
"Terima kasih atas semua kebaikan tante."

Akhirnya dia merelakanku karena ingin berpamitan secara baik-baik daripada aku tiba-tiba menghilang. Bayaranku yang kutabung di Tante Novi sangat besar bagiku, tapi aku menolak mengambilnya. Tidak enak rasanya menerima uang itu setelah keluarganya hancur begini. Itu terakhir kalinya aku bertemu Tante Novi, aku tidak pernah mengangkat teleponnya lagi dan tidak pernah membalas chatnya.

Aku masih sering bertemu Tante Lucy untuk menemaninya jalan-jalan. Dia memberitahu kalau Tante Novi sering membicarakanku, katanya kangen. Alasanku masih bertemu dengan Tante Lucy adalah karena masih ada rasa penasaran ingin bercinta dengannya.
 
Terakhir diubah:
Hubunganku dan Arlene semakin dekat. Aku mendekatinya tanpa ada anak kampus yang tahu, sampai semua terkejut setelah kami pacaran. Mendekatinya terang-terangan akan membuat persaingan tidak sehat dan akan banyak yang berusaha menggagalkan. Banyak cowok yang patah hati dan menjauhiku, sebuah resiko saat memacari cewek seperti ini.

Terkadang membingungkan, saat terlalu berharap mendapatkan sesuatu, hasilnya tidak dapat, tapi saat tidak berharap malah dapat. Seperti saat ini yang awalnya aku tidak berharap akan diterima, ternyata diterima. Meskipun aku merasa beruntung bisa menjadi pacarnya, aku hanya memberikan sebagian hatiku agar tidak termakan cemburu karena dia terlalu supel.

Tepat keesokan hari setelah kami jadian, aku datang ke rumahnya untuk menjemputnya kuliah. Rumahnya besar dengan desain eksterior yang modern minimalis dengan carport yang muat 4 mobil di sampingnya. Supirnya membukakan gerbang dan menyuruhku menunggu di teras selagi dia memberitahu Arlene. Semenit kemudian dia keluar lalu duduk di kursi sampingku.

"Adek pacarnya Neng Arlene ya?" "Iya pak," jawabku sambil menyalakan rokok. "Beruntung kamu. Badannya dia... Wuihhh..." candanya sambil memperagakan bentuk gitar dengan kedua tangannya lalu mengacungkan jempolnya. Aku hanya tertawa saja mendengarnya. Cuek banget ini orang baru ketemu sudah ngatain majikannya.

Arlene datang mengenakan kimono longgar tapi bagian depannya terbuka dan terlihat baju tidur berwarna putih berenda yang seksi. Belahan susunya terlihat jelas, susunya bulat dan samar terlihat puting hitam di balik kain yang tipis itu. Bagian bawah dasternya hanya lima sentimeter di bawah vaginanya dan dia tidak terlihat memakai celana dalam. Tidak ada warna kehitaman membuatku yakin kalau bulunya dicukur bersih. "Pergi lu," ucapnya ke supirnya. Bapak supir itu mengedipkan mata ke arahku sebelum pergi untuk melap mobil.

Arlene mengambil sebatang rokok dari kotak rokokku dan menyalakannya. Kami mengobrol santai membicarakan panggilan sayang apa yang cocok, dan kami memilih "beb (baby)". Dia mengajakku ke kamarnya selepas mengobrol. Aku dan dia sama-sama ada mata kuliah jam 10 dan sekarang sudah jam 9:30, tapi aku tidak perduli dan mengikutinya ke kamar.

Baru juga pintu kamar tertutup, aku mulai mencumbunya. Bibir kami saling hisap dengan liar, lidah kami beradu. Aku meremas-remas kedua susunya sambil mendorongnya perlahan ke ranjang. Dia tiduran terlentang lalu menurunkan baju tidurnya sampai kedua susunya terlihat. Warna kulitnya agak sawo matang, tidak gelap dan tidak putih juga. Putingnya berwarna cokelat menghiasi kedua susunya yang indah, bulat dan kencang.


Dengan cepat kubuka jeans dan celana dalamku lalu naik ke atas tubuhnya. Terbawa nafsu membuatku merobek dasternya dari atas sampai bawah. Dia sempat kaget tapi tidak berkata apa-apa. Sekarang tubuhnya terlihat jelas, montok berisi. Gorden yang tebal membuat cahaya matahari tidak bisa masuk. Hanya ada cahaya lampu tidur yang remang kekuningan, warna kulitnya terlihat eksotis. Vaginanya tampak rapih dan bersih tanpa bulu.


Dia menggigit bibir bawahnya sambil melihat ke arah penisku. Sepertinya dia juga sudah nafsu sama sepertiku. Aku membuka selangkangannya dan terlihat vagina yang masih jarang terjamah. Bibir vaginanya masih rapih dan rapat. Aku mulai menjilatinya. Vagina belum mandi yang agak bau amis, tapi kali ini membuatku semakin bernafsu.

Ternyata Arlene bukan cewek yang suka mendesah. Dia terlihat keenakan, matanya terpejam dan tubuhnya bergerak sedikit kesana kemari, tapi hanya sesekali membuang nafas saja tanpa desahan. Aku mulai memasukan penisku dan menggenjotnya perlahan sambil meremas-remas kedua susunya yang bulat dan masih kencang.

Kucumbu bibirnya sambil memainkan putingnya yang sudah keras. Ciumannya yang lebih galak dariku membuatku semakin mempercepat tusukanku. Sampai akhirnya dia melepas ciumannya lalu membuang nafas sambil meremas kedua lenganku. Sudah bosan di posisi itu, aku memasukan kedua tanganku di bawah punggungnya lalu mengangkat tubuhnya. Dalam posisi squat dia mulai memompa penisku. Tangannya meremas-remas rambutku.

Kami berganti posisi beberapa kali sampai akhirnya saat doggy dia mencabut vaginanya lalu tiduran terlentang. Kedua pahanya bergetar, mulutnya tidak berhenti membuang nafas. Aku tidak berhenti mengocok penisku sampai akhirnya tubuhnya sudah kembali normal lalu Arlene menghisap penisku. Lendir vaginanya yang menempel dijilatnya sampai bersih dan spermaku habis ditelannya. "Gantian beb, bersihin memek aku," ucapnya.

Aku menjilati semua lendir asin di sekitar vaginanya sampai bersih. Nafsu yang membara membuat tidak ada perasaan jijik sedikit pun. Aku tiduran disebelahnya dan kami beristirahat sambil mengobrol dan menonton TV kabel. Baru sebentar, keringat saja belum kering, dia mengajak bercinta lagi. Tentu saja aku ladeni dengan senang hati. Setelah selesai, dia mengajak lagi.

Bertambah satu lagi kecocokan kami, Arlene adalah seorang yang gila seks, sama sepertiku. Setelah bercinta tiga kali, kami mandi bareng dilanjutkan dengan sepanjang hari mengobrol dan menonton TV series sambil tiduran telanjang, sambil diselingi bercinta lagi.

Aku lupa waktu sampai kulihat sudah jam 4 dan kami berdua bolos kuliah. Saat aku hendak pulang, pak supir menghampiriku lalu bercanda, "Gimana dek, tadi enak nggak?" "Apanya yang enak pak? aku nggak ngerti," jawabku. "Ah adek pura-pura... Ini nih..." ucapnya sambil menepuk kedua tangannya, memberikan bahasa isyarat bercinta. Aku hanya tertawa lalu berpamitan.


Untuk membuat Arlene tidak kepanasan, aku menjual motorku lalu membeli sebuah mobil bekas. Aku juga sudah menyewa satu spot di lahan parkir di dekat rumahku. Sekarang gaya berpakaiannya semakin berani lagi, sering mengenakan rok mini yang tidak bisa dipakai saat naik motor.

Walau dia sebelumnya memang sering mengenakan kaos ketat dengan kerah lebar yang memperlihatkan belahan dadanya, tapi dia selalu memakai jeans. Aku tidak pernah berkata apa-apa saat mendekatinya, tapi sesudah pacaran muncul rasa tidak rela saat tubuh pacarku dinikmati cowok-cowok. Untungnya di kampus gaya berpakaiannya masih normal saja, semua tertutup walaupun kaos dan jeansnya ketat.

Aku mengutarakan unek-unek ini dan menyuruhnya untuk mengenakan baju yang tertutup. Dia mendengarkanku tapi tidak lama memakai baju yang seksi lagi. Ini terjadi berulang kali sampai aku agak emosi saat dia mengenakan rok setengah lutut dan pria-pria mengintipnya saat naik eskalator. "Lihat, kalau lu pakai baju seksi, orang-orang ini dapat pemandangan gratis, buat apa?" ucapku sambil menunjuk pria-pria itu tepat di depan wajah mereka. Mereka langsung memalingkan muka dan berpura-pura bego.

Arlene balik ngomel, "Badan gw bagus dan gw bangga, percuma gw rajin zumba dan lari kalau nggak ada yang lihat. Gw nggak pernah ngatur lu, dan gw juga nggak suka diatur!" Wataknya lumayan keras, tapi sesudahnya dia selalu bisa meredakan amarahku dengan tingkah manja dan centilnya, membuat kami tidak pernah marahan lama.

Awalnya aku masih merasa tidak rela, namun lama kelamaan menjadi terbiasa dan anehnya muncul rasa bangga karena pacarku diinginkan banyak orang. Mereka hanya bisa melihat saja, tapi aku bisa bercinta dengannya.

Pacarku ini latihan zumba setiap hari jumat jam 3, lokasinya di salah satu rumah dalam komplek yang sudah masuk ke kabupaten. Sebagian penghuninya bekerja di pabrik-pabrik sekitar komplek tersebut. Daerah ini sepi sekali, jarang ada tukang jualan lewat, susah untuk cari makan. Mobil dan motor juga hanya lewat sesekali saja.

Sampai di tempat zumba ternyata ada berita buruk. Anak dari pelatihnya mengalami kecelakaan sehingga dia harus ke rumah sakit dan kelas hari itu dibatalkan. Perjalanan jauh membuat aku dan Arlene malas untuk langsung pulang. Aku menyetir mobil perlahan memutari komplek itu untuk mencari tempat makan, tidak ada satu pun. Akhirnya kami memutuskan pulang.

Sekitar 1 km dari komplek itu ada sebuah taman yang lumayan besar. "Kita nyantai dulu di taman itu yuk," ucap Arlene. Aku yang malas untuk pulang menyetujuinya. Kami duduk di sebuah kursi kayu dan mengobrol santai. Dia sedang mengenakan sport bra yang bagian tengahnya bolong menunjukan belahan susunya. Bawahannya adalah rok pendek sebatas vagina dan celana dalam sport hitam yang satu set dengan branya.

Setelah rokoknya habis, dia berdiri di depanku lalu berpose centil, "Aku gendut ya beb?" "Nggak gendut sih... Tapi gembrot," jawabku. "Anj*ng jahat banget," ucapnya sambil mencubit perutku sambil tertawa. Pertanyaan yang paling sering sering dia lontarkan adalah, "Cewek itu cantik nggak?" dan "Aku ngegendutin nggak?" Sudah seratus kali mendengar pertanyaan itu tidak membuatku bosan untuk mencandainya.


Melihat lekukan tubuhnya membuatku bernafsu. Aku menarik tubuhnya ke pangkuanku lalu kami mulai berciuman. "Jilatin beb," bisiknya di kupingku. "Gila lu, nanti diarak warga," jawabku. "Nggak akan beb, makanya cepetan," ucapnya sambil duduk di kursi. Dia melihat kanan kiri lalu menyingkap celana dalamnya sampai vagina mulusnya terlihat.


Aku mulai menjilati kacangnya lalu memasukan dua jariku ke dalam lubangnya. Kujilat terus... dan terus... sambil mengocok memeknya. Outdoor memberikan sensasi tersendiri yang membuatnya cepat orgasme. Dia menutup kedua pahanya lalu menggigit bibirnya. Aku ingin membersihkan vaginanya karena takut jok mobilku jadi bau, tapi tidak punya tissue. Akhirnya aku menjilati dan menelan semua lendirnya sampai bersih.

Tidak pernah terlintas di benakku kalau aku bisa berpacaran dengan seorang cewek yang satu frekuensi sampai bisa diajak berpetualang bareng. Tapi ini hanya permulaan.

Suatu hari Tante Lucy meneleponku, biasanya dia memintaku menemaninya jalan-jalan tapi kali ini dia langsung menyuruhku supaya malam harinya datang ke suatu hotel. Suaminya sedang business trip selama dua minggu, dan dia merasa kesepian. Sudah bisa ditebak apa yang dia mau dan aku juga masih penasaran ingin mencobanya.

Tapi hubunganku masih hangat dengan Arlene dan tidak ingin selingkuh. Ada rasa bersalah juga karena masih suka bertemu Tante Lucy walau tidak sampai bercinta. Aku memutuskan untuk jujur memberitahunya tentang Tante Lucy. Aku masuk ke kamar Arlene dan tiduran di sebelahnya. "Siapa yang menelepon tadi?" tanyanya sambil memelukku.

Jawabannya setelah aku menceritakan tentang Tante Lucy membuatku bengong. "Kamu mau sama Tante Lucy?" ucapnya sambil melihat kearahku. "Kalau kamu mau sok aja." "Syaratnya jangan pakai hati... dan aku harus ada disitu," lanjutnya. "Ka... kamu serius beb?" tanyaku memastikan tidak salah dengar.

"Iya beb, daripada aku larang lalu kamu selingkuh dibelakangku,"
"Lebih baik aku ijinin yang penting tahu kamu ngapain saja,"
"Aku nggak akan marah selama kamu nggak pakai hati,"
"Tapi... kamu harus memperbolehkan kalau aku melakukan hal yang sama."
Jawabnya sambil tersenyum, tidak marah sama sekali.

Sebenarnya aku mau, siapa tahu bisa main bertiga, tapi Tante Lucy tidak akan mau. Kalau aku bilang harus ada Arlene, bagiku saja terdengar aneh, apalagi bagi Tante Lucy. Akhirnya aku menelepon Tante Lucy untuk menolak tawarannya. Mungkin suatu saat dengan STW lain, tapi bukan dengan Tante Lucy.

Selesai bercinta, aku dan Arlene mengobrol lagi. Dia menanyakan cewek fantasiku dan aku menjawab dengan jujur, STW karena saat aku kecil aku kurang kasih sayang dari ibuku dan lebih dekat dengan pembantu yang sudah berumur. Tidak kusangka fantasinya suka yang lebih tua juga, dia suka sama pria matang. Alasannya mirip, dia kurang kasih sayang dari ayahnya, jadi pria matang terlihat menarik menurutnya. Dan sama pula denganku, dia tidak mau memacari yang lebih tua, hanya ingin memuaskan rasa penasaran saja.

Aku merasa bahagia menjadi pacar Arlene, seorang cewek sefrekuensi yang bisa mewujudkan semua fantasiku. Dia juga bilang hal yang sama, selama dia beberapa kali pacaran, aku lah yang paling cocok. Aku jadi ingat kejadian saat di taman dan sekarang ingin rasanya mencoba bercinta outdoor. Dia langsung menyetujuinya.

Aku: "Gimana kalau di hutan lindung? Banyak spot sepi disana."
Arlene: "Jangan ah, aku takut di hutan begitu."
Aku: "Kalau pantai gimana? di kota sebelah kan ada pantai nelayan,"
"Bukan pantai wisata, jadinya sepi."
Arlene: "Boleh, kapan kita berangkat?"
Aku: "Besok pagi, dua hari satu malam saja."
Arlene: "Yuk."


Keesokan harinya jam 10 pagi kami berangkat menggunakan mobil tanpa persiapan matang. Kami hanya membawa beberapa pasang pakaian, handuk, dan kacamata hitam. Shampoo, sabun, dan lainnya bisa dibeli di kota tujuan.

Perjalanan memakan waktu sekitar 3 jam saja karena jalan lintas kota yang sepi. Kami langsung mencari hotel terdekat di area pantai, tapi tidak menemukannya. Perut yang lapar menuntun kami ke sebuah warung nasi. Aku melihat seorang wanita yang sedang membungkuk sambil menyapu menggunakan sapu lidi. Wanita itu adalah yang punya warung nasi ini, warna kulitnya cokelat, hanya mengenakan bra dan rok. Susunya yang besar bergoyang-goyang mengikuti gerakan tubuhnya.


Arlene melihatku memperhatikan susu itu, dia menyenggolku dengan sikutnya lalu berbisik, "Mau?" "Ssttt... nanti kedengeran," jawabku. Kami memesan makan lalu duduk di tempat lesehan. Ibu pemilik warung ikut duduk dan terlihat antusias menanyakan asal kami dan alasan datang ke daerah ini.

Alasan kami adalah ingin melihat pantai dan ini adalah pantai terdekat dari kota asal kami. Dia orang yang asik untuk diajak ngobrol dan suka bercanda, namanya adalah Bu Endah. Dalam beberapa menit saja, kami seperti sudah kenal lama. Dia sudah 8 tahun menjanda dan memiliki seorang anak berumur 12 tahun.

Aku: "Bu, di dekat sini ada hotel nggak?"
Bu Endah: "Jauh dek, hotel terdekat sekitar 6 km"
Aku: "Aduh malas juga kalau jauh, bingung parkirnya saat ke pantai,"
Bu Endah: "Iya disini jarang pengunjung soalnya,"
"Tapi ada beberapa warga yang menyewakan kamar,"
"Di sini juga bisa, kamu berdua tidur di kamar ibu,"
"Ibu nanti tidur di kamar anak,"
"Tapi kotor dan berantakan, berbeda sama hotel."
Arlene: "Disini saja beb, lebih dekat ke pantai,"
"Lagian cuma semalam doang."
Aku: "Ya sudah bu, kami menginap disini saja."

Bu Endah memberikan tarif 200rb per malam plus makan gratis dari warung nasinya dan kami menyutujuinya. Kami langsung menaruh barang bawaan kami di kamar Bu Endah, Arlene berganti baju mengenakan kaos oversize untuk menutupi bikininya, sedangkan aku hanya mengenakan celana pendek. Kami langsung berjalan kaki menuju ke pantai yang berjarak 700 meter.

Pantai ini terlihat kotor dengan pasir berwarna gelap membuatnya kurang menarik untuk dijadikan tempat wisata. Banyak perahu kecil yang sedang disandarkan dan banyak nelayan yang sedang bekerja sama menarik tali jala yang sangat panjang dan berat. Arlene membuka kaosnya, aku mengalungkan kaos itu di leherku, lalu kami bermain air. Semua mata bapak-bapak yang lewat tertuju ke tubuh Arlene. Kami tidak menemukan spot yang sepi jadi kami tidak mungkin bercinta disini.

Tiba-tiba ada seorang nelayan yang menawarkanku untuk menyewa perahunya seharga 150 rb. Dia bilang kalau pantai disini jelek, tapi ada satu pantai kecil tersembunyi di bagian paling ujung kanan yang jarang dikunjungi dan indah, berpasir putih, airnya biru dan banyak terumbu karang. Lokasinya sekitar 3 km dari pantai ini dan hanya ada dua akses ke sana, yang pertama adalah berjalan kaki melewati hutan, dan yang lebih mudah adalah dengan perahu.

Tentu saja aku tidak langsung percaya mendengarnya, apalagi ini orang asing yang sepanjang mengobrol tidak berhenti melihat tubuh Arlene. Aku menyuruh pacarku untuk kembali ke rumah Bu Endah dan menunggu selagi aku mengecek pantai itu. Bu Endah bilang kalau pantai itu benar adanya, tapi aku mau memastikannya.

Aku berjalan masuk ke hutan itu tanpa tahu akan berakhir dimana. Di dalamnya sangat teduh dan sejuk karena pepohonan yang besar menghalangi sinar matahari. Aku mengikuti jalur tanah selebar 30 cm yang tidak ditumbuhi rerumputan. Banyak jejak kaki menandakan kalau jalur itu sering dilalui orang dan aku tidak akan tersesat. Sampai akhirnya aku keluar di pantai kecil berpasir putih yang indah. Lebar pantai ini paling hanya 1 km, daratannya berbentuk setengah lingkaran yang dikelilingi hutan.

Arlene tidak akan mau jalan kaki di hutan seperti ini, jadinya aku menjemputnya dan kami menemui bapak itu untuk mengantarkan kami menggunakan perahu mancing bermotornya. Sama sepertiku, bapak itu juga sepertinya tidak percaya dengan orang asing dan menyuruh seorang temannya menemaninya. Kami berempat naik perahu dan menuju pantai kecil itu.

Setelah sampai, dia meminta bayaran dan bertanya apakah mau ditinggal atau ditunggu? Aku menyuruhnya menunggu saja, daripada ditinggal lau dia tidak menjemput lagi. Aku juga bilang akan membayarnya nanti setelah kembali ke pantai nelayan. Dia menyetujuinya lalu menyandarkan perahunya.

Aku dan Arlene pergi sejauh mungkin dari mereka. Aku menyuruhnya membuka kaos dan bikininya lalu kami berdua berenang telanjang. Langit sangat cerah, air pantai berwarna biru dan jernih, di bawahnya banyak terumbu karang yang indah. Sesekali kami bercanda saling menggelitik satu sama lain di dalam air.

Setelah puas berenang, kami duduk di pinggir pantai sambil mengobrol. Dia tahu apa yang aku inginkan dan mengijinkanku kalau aku mau bercinta dengan Bu Endah. "Kamu serius beb? Nggak ah, nanti marah," ucapku tidak percaya. Arlene duduk di pahaku sambil memelukku, "Serius beb, aku nggak akan marah. Tapi seks doang jangan pakai hati." "Nggak mungkin pakai hati beb, masa aku pacaran sama yang tua," jawabku.

Kulit Arlene yang sawo matang menjadi terlihat putih di bawah teriknya sinar matahari. Rambutnya diikat ke belakang, terlihat keringat di leher dan tubuhnya. Aku mulai meremas susunya yang bulat lalu mencumbunya. Dia naik ke atas selangkanganku lalu mulai memompa penisku yang sudah tegang. Kami berganti posisi beberapa kali sampai akhirnya orgasme.

Kami tiduran terlentang di atas pasir. Bercinta di pantai seperti ini terasa bebas menyatu dengan alam. Aku sampai lupa kalau kita tidak hanya berdua dan meloleh ke kedua orang nelayan itu. Dari kejauhan mereka terlihat duduk menghadap ke arah kami dan sepertinya dari tadi memperhatikan. "Bapak-bapak itu gagah ya beb, kekar berotot dan kulitnya gelap," ucap Arlene. "Cobain saja beb kalau kamu penasaran. Aku panggil mereka kalau kamu mau." "Boleh beb? Panggil beb," jawabnya.

Aku melambaikan tangan memanggil kedua orang itu. Mereka datang dan tidak berhenti melihat tubuh Arlene yang sedang berbaring terlentang. Aku menjelaskan apa yang pacarku inginkan, dan mereka terkejut mendengarnya. "Serius ini dek? Bapak belum pernah dapat cewek secantik ini." "Badannya montok masih kencang, saya mau," sahut temannya.

Mereka menurunkan celana dan celana dalam lalu memastikan lagi beberapa kali, "Benar boleh dek?" "Serius kan?" "Benar pak, tapi jangan keluar di dalam, dan saya nggak bisa tinggalin, nanti takut pacar saya kenapa-napa," jawabku. Mereka terdiam kebingungan sambil melihat tubuh Arlene. "Saya akan diam saja pak, nggak akan ganggu," lanjutku. "Nggak apa-apa pak, aku yang mau," ucap Arlene. Mereka hanya diam. "Beb, mendingan kamu yang mulai deh, mereka grogi kayaknya," ucapku sambil bergeser sekitar satu meter.

Arlene mulai berlutut di depan salah satu bapak. Dia mulai mengecek penis itu apakah ada penyakit atau tidak, lalu mulai menghisapnya. Setelah beberapa saat, dia berganti menghisap penis teman bapak itu. Umur mereka 40an tapi tubuh mereka masih kekar berotot, hasil dari sering menarik jala dan mendorong perahu. Aku yakin ini pertama kalinya mereka mendapatkan cewek seperti Arlene, aku tahu benar apa yang mereka rasakan, grogi, antusias, dan nafsu. Baru dihisap sebentar, bapak itu menyuruh pacarku berhenti, "Tahan dulu neng, sudah mau keluar." Dia berganti tempat dengan temannya.

Penis temannya yang berwarna lebih gelap dihisap Arlene. Aku sudah terbiasa dengan tatapan pria-pria yang melihat ke baju seksi pacarku. Tapi kali ini berbeda, pacarku sedang telanjang sambil menghisap penis orang lain dan sebentar lagi dia akan bercinta dengan mereka. Ada perasaan tidak rela dan ingin rasanya menyudahi semua ini. Tapi aku juga ingin kebebasan untuk bercinta dengan STW dan aku tidak bisa egois.

Arlene menghentikan hisapannya lalu meludah beberapa kali. Ternyata bapak itu sudah keluar di mulutnya. Bapak itu mengurut penisnya mengeluarkan sisa-sisa sperma sambil tangan kirinya meremas-remas susu pacarku lalu bergeser digantikan temannya.

Arlene membalikan tubuhnya lalu merenggangkan kedua kakinya. Bapak itu langsung memasukan penisnya ke vagina pacarku. Dia langsung menggenjotnya dengan sangat cepat dan kasar. Kulitnya yang sangat gelap terlihat kontras dengan Arlene. Tubuh pacarku tersentak-sentak ke depan, kedua susunya yang menggantung bergoyang-goyang.


"Jangan keluar di dalam pak," ucapku mengingatkan. Dia hanya mengangguk sambil tidak berhenti menghajar pacarku.
Tidak lama kemudian dia mencabut penisnya lalu crot dengan kencang di punggung pacarku sampai muncratan pertamanya mengenai bagian rambut pacarku yang diikat. Arlene mau membalik tubuhnya tapi bapak yang sudah crot saat dihisap tadi menahan lalu mulai memasukan penisnya. Sama seperti temannya, dia menggenjot Arlene dengan kasar.

Rasa tidak rela di hatiku sudah hilang, ternyata melihat Arlene diewe orang lain membuatku bernafsu. Aku mendekat lalu memasukan penisku ke mulut Arlene. Dia menghisap penisku dengan susah payah karena kepalanya bergerak maju mundur mengikuti gerakan tubuhnya yang sedang disodok.

Akhirnya bapak itu crot juga di punggung Arlene. Arlene membalikan tubuhnya dan tidur terlentang kelelahan sambil beberapa kali menarik napas panjang. Kedua bapak itu duduk dengan raut wajah masih kebingungan, tidak percaya dengan apa yang terjadi, penis mereka sudah lemas. Aku belum crot saat dihisap tadi dan masih terbakar nafsu tapi kasihan melihat Arlene yang kelelahan.

Arlene melihat ke arah penisku dan dia mengerti apa yang kurasakan, "Ayo beb, aku bantu keluarin." "Nggak usah beb, kasihan kamu capek," jawabku. Dia tidak membalasnya dan langsung menarik lenganku, menyuruhku menggagahinya. Aku mulai memasukan penisku dan menggenjotnya perlahan sambil terus menaikan ritme menjadi semakin cepat. Kedua tanganku meremas-remas susunya, memilin-milin putingnya.

Bapak yang satu mencoba mencium bibir Arlene tapi Arlene tidak mau dan menghindar. Ada perasaan lega melihatnya, berarti pacarku hanya ingin memuaskan fantasi saja, dia punya batasan dan tidak pakai hati. Aku menghentikan remasanku untuk memberikan kedua bapak itu kesempatan. Mereka meremas-remas kedua susu Arlene dan tidak berhenti menggerayangi tubuhnya.

Aku terus menggenjotnya sampai crot di perutnya. Kami semua berpakaian setelah membersihkan diri menggunakan air laut. Kedua bapak itu berterima kasih beberapa kali, mereka merasa beruntung bisa bercinta dengan cewek secantik Arlene. Mereka pergi meninggalkan kami berdua untuk menyiapkan perahunya.

"Mau lagi sama mereka nggak?" tanyaku. Arlene memelukku dengan erat, "Nggak ah, sudah nggak penasaran, lagi pula lebih enak sama kamu, mereka mainnya ngasal." Kami berempat kembali ke pantai nelayan.

Mereka sempat menanyakan dimana kami menginap dan aku bilang di hotel yang jauh. Arlene sudah tidak mau dan ini demi keselamatan dia juga, takutnya bapak itu datang bersama 10 orang temannya yang aku tidak tahu mereka orang baik atau jahat. Bapak itu sempat menolak uangku, tapi aku memaksanya.

Sesampai di warung nasi, Bu Endah menanyakan kabar kami dan kami bilang hanya berenang melihat terumbu karang. Aku dan Arlene memutuskan untuk jalan-jalan keliling kota, ke taman, mencoba berbagai jajanan daerah, sampai tidak terasa sudah jam 8 malam saat kembali ke rumah Bu Endah. Warung nasinya sudah tutup.

Anaknya sudah tidur, dan dia membuka pintu, "Aduh ibu lupa ada yang akan menginap." Dia mematikan TV di tempat lesehan lalu mengantar kami ke kamarnya. Kali ini dia hanya mengenakan bra dan celana dalam. "Maaf ya ibu telanjang begini, ibu biasa kalau malam begini doang," ucapnya sambil merapihkan bantal. Celana dalamnya berloreng hitam seperti macan yang membuatku penasaran dengan isinya.

Tadi Arlene sudah mendapatkan apa yang dia mau, sekarang giliranku...


Arlene menyenggolku saat Bu Endah tidak melihatnya, lalu memberikan isyarat agar aku mengutarakan keinginanku. "Maaf bu, saya mau ngomong sesuatu," ucapku sambil berbisik. "Ada apa dek? Kok berbisik gitu," dia membalik tubuhnya lalu duduk di ranjang. Aku duduk di pinggiran ranjang tepat di depannya dan Arlene duduk di sebelahku. Aku membuka obrolan basa-basi.


Aku: "Saya takut ganggu kalau berisik,"
"Saya kira anak ibu lagi belajar atau buat PR."
Bu Endah: "Biasanya dia jam segini nonton TV, tapi tadi habis makan malam kekenyangan jadi ngantuk."
Aku: ""Pantas sepi ya, di depan juga jarang kendaraan yang lewat."
Bu Endah tertawa: "Iya dek, memang seperti ini kehidupan di sini, berbeda sama di kota."

Aku tertawa.

Aku: "Ngomong-ngomong, ibu sudah lama hidup tanpa suami, kesepian nggak bu?"
"Kalau dia nggak akan bisa hidup sehari tanpa saya," candaku sambil menunjuk Arlene.

Arlene sewot centil: "Ihhh kepedean kamu beb,"
"Bohong dia bu," lanjutnya sambil mencubit perutku.

Bu Endah tertawa: "Namanya manusia dek, kadang ibu ada rasa kesepian juga,"
Aku: "Kangen ada yang nemenin tidur ya bu?"
Bu Endah tertawa: "Itu salah satunya."
Aku: "Kalau sekarang susah dong kalau ibu lagi pingin."
Bu Endah tertawa: "Pingin apa dek?"
Aku tertawa: "Pingin yang enak-enak bu."
Bu Endah: "Kalau itu, ibu bisa sendiri,"
"Neng ini pasti ngerti kan maksud ibu." dia menyentuh lengan Arlene.

Arlene: "Tau bu, tapi jauh lebih enak sama cowok."
Bu Endah: "Iya dong neng, itu sudah jelas."
"Ini kok jadi bahas hal begini," dia tertawa.

Aku: "Jadi begini bu,"
"Ibu masih terlihat terlihat cantik dan menarik bagi saya,"
"Dan maaf bu, saya ingin bercinta dengan ibu."

Bu Endah tertawa: "Adek bercanda ya, nggak mungkin adek mau sama ibu,"
"Pacar adek cantik begini,"
Aku: "Saya nggak bercanda bu,"
"Menginap kan 200 ribu, nanti saya tambah jadi totalnya 500 ribu.

Bu Endah: "Aduh, kalau ditawari begitu ya ibu mau,"
"Dapat enak sama dapat duit,"
"Tapi nengnya gimana? marah nggak?"

Arlene: "Nggak bu, aku nggak akan marah."

Aku: "Benar bu, ibu mau?"
Bu Endah mengelus vaginanya: "Iya dek, tapi jangan berisik ya."

Aku mengunci pintu lalu membuka pakaianku sampai telanjang bulat. Tatapan Bu Endah tidak lepas sedetik pun dari penisku yang sudah tegang. Aku duduk di atas ranjang, tangan kiriku meremas susunya, tangan kananku mengelus lipatan vagina di celana dalamnya. Wajahnya yang dari tadi tertawa berubah terlihat canggung seperti sungkan karena Arlene memperhatikan.

Aku menarik tangan Bu Endah untuk mengocok penisku. Dia mulai mengocok lalu melihat ke Arlene. Arlene tidak marah membuatnya lebih nyaman dan kocokannya semakin luwes. Putingnya menonjol di bra, aku memasukan tanganku dan merabanya, terasa pentol puting yang besar. Aku membuka branya dan memainkan kedua putingnya yang hitam, lalu meremas kedua susunya.

Dia merebahkan dirinya ke belakang dan bertopang pada kedua sikunya, matanya terpejam. Aku mengarahkan kedua kakinya agar menekuk ke depan lalu menarik celana dalamnya perlahan. Bu Endah yang sudah telanjang bulat membuka kedua pahanya, memperlihatkan harta karunnya. Vaginanya terlihat empuk, berwarna hitam pekat dan gelambirnya menonjol ke luar. Bulunya lebat sekali memenuhi sekitar vaginanya.


Aku mulai menjilati vaginanya, tercium bau amis tapi tidak terlalu menyengat. Aku menghisap gelambirnya dengan lembut. Terdengar suara retsleting, Arlene yang ikutan nafsu membuka hotpants dan semua pakaiannya lalu mengocok penisku. Aku mejilati klitoris Bu Endah sambil meremas-remas kedua susunya. Dia mendesah perlahan sambil berbisik, "Ayo dek, masukan burung kamu."

Dia berbaring di ranjang dan aku mulai menggesekan palkonku ke gelambir vaginanya. Dia memegang batang penisku dan menariknya agar masuk. Aku memasukan palkon penisku lalu mencabutnya lagi dan menggesekan ke gelambirnya untuk membuatnya penasaran. Setelah beberapa kali, aku memasukan penisku sampai mentok dan dia terdengar melenguh lalu menggigit kedua bibirnya.

Aku mulai menggenjot vagina hitam itu dengan perlahan, biarkan dia menikmati setiap gesekan di dinding vaginanya. Arlene menyandar ke tembok, mengocok klitorisnya sambil meremas susunya. Aku mulai mempercepat tusukanku sambil meremas-remas kedua susu Bu Endah. Dia menggenggam pergelangan tanganku dengan erat.

Setelah puas, aku mengubah posisi tubuh Bu Endah menjadi menyamping ke kiri dan meluruskan kaki kirinya ke depan menjadi seperti gunting. Vaginanya terjepit oleh lemak yang tebal membuatnya sangat sempit dan aku harus bersusah payah memasukan penisku perlahan. Palkonku rasanya nikmat sekali dan Bu Endah merasakan kenikmatan yang sama, tangan kirinya meremas-remas sprei.

Aku mulai menggenjotnya dan perlahan meningkatkan ritmenya. "Aduuhh... ah... aduduuhh," dia mendesah kecil sambil tubuhnya tidak bisa diam bergoyang ke sana ke mari. Akhirnya dia mendorong perutku dan tubuhnya bergetar. Dia terlentang mengangkang lalu menutup vaginanya dengan tangannya. Setelah tubuhnya tenang, dia membuka tangannya dan lendir masih meluber turun dari vaginanya. Lendirnya banyak sekali sampai membuat bercak basah sebesar piring di sprei.

Kutarik tangan Arlene supaya dia ke tengah ranjang. Bu Endah menggeser posisi tubuhnya ke samping. Dia terlihat kelelahan, tubuhnya mengkilap karena keringat dan hanya memperhatikan kami dengan lemas. Aku dan Arlene berlutut di atas ranjang berhadap-hadapan lalu kami berciuman dengan liar. Kedua susunya terasa empuk menekan tubuhku. Aku meraba vaginanya dan sudah bajir lendir. Dia mengocok penisku sebentar lalu menungging.

Aku memasukan penisku ke vagina botaknya sambil meremas-remas susunya dari belakang. Kugenjot dari perlahan sampai akhirnya cepat. Kami berganti posisi kesukaannya yaitu cowgirl. Pinggulnya bergerak dengan lihai memompa penisku yang masuk mentok sampai ke pangkalnya. Tidak berapa lama dia merubah gerakan menjadi memutar-mutar pinggulnya, lalu memompa lagi. Dia merasakan penisku mengencang lalu mencabut vaginanya dan menciumi bibirku. Penisku crot dengan bebas.

Kami bertiga tiduran berdesakan di ranjang itu mengobrol sambil beristirahat sejekak. "Pacarku enak nggak bu?" tanya Arlene. "Enak banget neng, sampai sekarang burungnya masih terasa di vagina ibu," jawabnya sambil tersenyum. Dia bilang kalau ini pertama kalinya seks bertiga dan nggak akan bisa melupakannya.

Kami membersihkan diri di kamar mandi lalu Bu Endah mengganti sprei dan pergi ke kamar anaknya. Belum juga pakai baju, Arlene langsung berbaring dan mengorok. Aku memakaikan selimut lalu tidur di sebelahnya.

Pagi harinya aku membuka mata, pacarku sudah bangun dan baru selesai merokok. Dia menaiki tubuhku lalu mencumbuku. "Ibu itu kemarin kayak puas banget. Dia janda nggak tahu kapan lagi dapat kont*l. Kasih lagi beb untuk perpisahan sebelum kita pulang." Aku yang baru bangun menyuruhnya untuk bilang sekali lagi takutnya salah dengar. Dan dia benar memperbolehkanku.

Aku melihat jam dinding dan sudah jam 9:30, anak Bu Endah pasti sedang sekolah. Aku dan Arlene mengenakan pakaian lalu ke luar kamar. Bu Endah dengan wajah berseri menyambut kami lalu menyiapkan dua piring nasi beserta lauknya. Terlihat ada seorang bapak yang sedang makan di kursi kayu.

Aku dan Arlene duduk di tempat lesehan sambil makan dengan lahap. "Anak ibu sedang sekolah ya?" tanyaku. "Iya dek, dia sekolah sampai jam 12," jawabnya sambil mengelap piring. Tidak lama kemudian bapak itu membayar dan pergi. Bu Endah duduk di sebelahku. "Bu, mau lagi nggak?" tanyaku. "Nggak usah ditanya dek, jawabannya ya pasti mau," jawabnya sambil tertawa lalu memeluk tubuhku.

Dia memastikan ke Arlene, "Boleh neng pacarnya dipinjem lagi?" "Boleh bu, yang penting aku dapat jatah juga," canda Arlene sambil tertawa. Setelah kami selesai makan, Bu Endah menutup jendela dan pintu warung nasinya lalu kami bertiga bercinta lagi seperti kemarin sebelum akhirnya pulang.


Aku merasa sangat beruntung memiliki Arlene. Kami sangat cocok dalam banyak hal sampai terasa tidak masuk akal. Aku tidak percaya dengan istilah-istilah dunia percintaan, tapi kali ini aku merasa kalau dia adalah belahan jiwaku. Bagaimana tidak, dia cantik dan tubuhnya seksi, mau diajak susah sampai tidur di kamar yang kotor, tahu apa yang aku mau, dan memperbolehkanku mewujudkan fantasiku. Aku yakin tidak ada cewek diluar sana yang seperti Arlene.

Kami sudah tidak pernah masuk kuliah lagi, setiap hari hanya bercinta dan memuaskan fantasi kami yang belum terwujud. Tapi kami kurang puas dan memutuskan untuk ngekos bareng agar kami bisa bersenang-senang kapan pun tidak perduli waktu.

Setelah berkeliling ke puluhan kost yang nyaman, tidak ada satu pun yang bebas. Kos nyaman kebanyakan hanya memperbolehkan bawa pacar sampai di ruang tamu untuk alasan keamanan. Temanku memberitahu daerah kosan yang bebas, tempat dia ngekos bareng mantannya dulu. Aku mencari kos di daerah itu, kosan di dalam gang-gang kecil dekat lokasi prostitusi. Sebagian besar penghuni disini adalah PSK, selain itu adalah mereka yang satu frekuensi denganku dan ingin tempat tinggal yang bebas.

Aku menemukan satu kosan yang cocok, pemilik kosnya seorang janda STW bersusu besar. Dia menjamin kosannya bebas lalu mengantarkanku untuk berkeliling untuk membuktikannya. Banyak kamar terkunci karena penghuninya sedang bekerja atau tidur. Sambil berjalan, aku menoleh ke pintu kamar yang terbuka, terlihat ada seorang wanita muda bertato yang sedang mengelap dildo, dia hanya mengenakan bra dan celana dalam. Lalu beberapa kamar di depannya ada sebuah kamar dengan banyak sendal dan sepatu di kesetnya, pintu kamar itu terbuka seperempat dan aku melihat seorang wanita yang sedang digangbang!!!

Ibu pemilik kos itu membawaku ke satu-satunya kamar yang masih kosong sambil memberitahu harganya 500 ribu, kamar mandi dalam, sudah termasuk listrik dan air. Aku melihat ke pintu kamar sebelah yang setengah terbuka dan ada seorang wanita yang sedang berciuman liar dengan wanita lain. "Bagaimana, kamu berminat nggak sama kamar ini? Kalau masih ragu bebas atau nggak, di lantai dua jauh lebih parah dari yang kamu lihat disini. Ibu tunjukin kalau mau."

Wow! lantai satu saja sudah seperti ini, aku tidak bisa membayangkan ada apa di lantai dua. Tanpa berpikir dua kali, aku langsung membayar untuk bulan pertama lalu mendapatkan kunci kamarnya. Sepulang dari sana, aku langsung ke rumah Arlene dan menceritakannya. Dia langsung menyetujuinya.

Arlene bilang ke orangtuanya kalau dia ingin ngekos agar lebih dekat dengan kampus dan tidak kesepian karena ada teman-temannya yang cewek. Orangtua Arlene setuju lalu menyewa satu kos-kosan nyaman di dekat kampus. Arlene hanya tidur di kosan itu sesekali agar orangtuanya tidak curiga saat mengecek ke pemilik kos.

Seminggu kemudian aku dan Arlene tinggal bareng di kosan lendir itu...

Dan...

Disini lah petualangan yang sebenarnya dimulai...


~ Tamat ~
 
Saya bukan seorang penulis dan ini adalah cerita panjang pertama saya dan mungkin yang terakhir. Jadi saya ingin membagikan sedikit apa yang saya rasakan di balik Kisah 100 Susu ini. Nggak penting sebenarnya. wkwkwk

Setelah menulis sampai part tengah, saya baru menyadari kalau menulis dengan sudut pandang orang pertama itu tidak nyaman. Lama-kelamaan saya merasa kok tulisannya jadi terkesan narsis, padahal nggak ada maksud kesana, mungkin ini karena saya tidak tahu cara merangkai katanya. Pokoknya karakter Budi ini jadi berbeda dengan yang seharusnya. Tapi akan ribet untuk mengganti cerita yang sudah selesai menjadi orang ketiga, jadinya saya lanjutkan.

Kendala lainnya adalah kalau tulisannya tidak detail, mungkin akan membingungkan pembaca karena lompat-lompat, tapi saat terlalu detail saya takutnya malah menginspirasi dan saya tidak mau itu terjadi. Sulit untuk menemukan titik tengah yang pas. Tolong jangan jadikan cerita ini sebagai inspirasi, karena semua yang dilakukan si Budi itu tidak baik dan akan berakhir tidak baik juga.

Untuk yang penasaran apakah cerita ini nyata atau tidak.
Bisa dibilang hanya terinspirasi, orang dan hubungannya nyata, tapi alur waktunya diubah dan banyak adegan yang pas digabung seperti puzzle. Misalnya Mbak Irma, aslinya kami pacaran setahun dan putus baik-baik, sedangkan dijegal oleh yang cemburu sama saya adalah pengalaman saat bekerja di tempat lain.

Setelah putus saya masih bekerja di garmen itu selama 2 tahun, dan bosnya beneran selow dan baik. Tapi di cerita, saya harus mengakhiri pekerjaan saya di garmen itu biar nggak bosan, jadinya saya gabungkan sekalian putus dan resign biar bisa maju ke waktu saat bekerja di tempat lain.

Ini supaya alur waktu lebih cepat dan setiap karakter ada hal menarik padahal kejadian aslinya tidak seseru itu. Contoh Tante Lia yang di aslinya saya nggak mau ngedeketin, tapi setelah membantu kateringnya selama beberapa tahun, dia nanya pertanyaan aneh itu dan kami kebawa suasana. Kalau ditulis apa adanya akan boring dan terlalu lama, diselingi karakter lain juga akan terlalu banyak jeda partnya.

Lalu banyak ditambahkan adegan yang tidak dialami penulis melainkan dari pengalaman teman. Contoh membantu finalsial Tante Lia, itu pengalaman teman saya ke pegawainya, aslinya Tante Lia nggak butuh duit. wkwkwk

Yang terakhir saya tulis adalah Arlene. Rencana saya dari awal tadinya ingin lebih banyak menceritakan Arlene dan semua karakter sebelumnya cuma selingan untuk menjelaskan kalau si Budi dan Arlene itu cocok banget. Tapi menulis tanpa kerangka membuat cerita jadi panjang banget. wkwkwk

Aslinya Arlene memang seperti itu, kami jadian 4 tahun dan dia benar-benar seliar itu dan cocok dalam banyak hal. Banyak fantasi sudah terwujud waktu ngekos bareng. Tapi aslinya kami jadian di semester akhir dan ngekos saat kerja, saya juga mendekatinya secara normal, pasar malam dan ban bocor itu pengalaman dengan mantan lain.

Kalau ada yang berminat dengan cerita di kos itu, mungkin saya akan membuatnya tapi cerita lepas bukan cerbung dan tidak dalam waktu dekat. Itu kos beneran gokil sih.

Pesan

Yang saya rasakan saat dulu berpetualang adalah banyak waktu terbuang sia-sia, kuliah nggak lulus-lulus, uang habis terus untuk hal nggak penting. Pada akhirnya kita bisa mengejar uang tapi tidak akan pernah bisa mendapatkan kembali waktu yang terbuang sia-sia.

Yang kedua adalah saya memiliki banyak rahasia. Ternyata setelah merit, rahasia-rahasia yang dulunya adem ayem itu satu persatu mulai menyerang. Rahasia-rahasia itu membuat saya menjadi parno, sisi positifnya saya menjadi orang yang jauh lebih hati-hati dan rapih dalam bertindak. Dampak negatifnya adalah hidup dalam ketakutan, takut si A,B,C membongkar rahasia saya.

Pesan saya adalah hargailah waktu, jangan membuang waktu kalian untuk hal-hal tidak penting. Hati-hati dalam bertindak, perbuatan buruk akan berakhir buruk juga, mungkin dampaknya tidak terasa dalam waktu dekat, tapi nanti beberapa tahun kemudian. Dan untuk yang sudah punya anak, sesibuk dan secapek apa pun, luangkan waktu untuk anak kalian agar mereka tidak mencari pelampiasan di tempat lain.


Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk jajaran management Semprot yang sudah menyediakan wadah.
Tidak lupa juga saya berterima kasih untuk suhu-suhu yang sudah mampir dan meluangkan waktunya untuk like dan komen.

Saya doakan kalian semua sehat selalu dan dilancarkan rejekinya!

Mohon maaf yang sebesar-besarnya kalau ada tulisan saya ada salah kata.
Saya tidak ada maksud sedikit pun untuk menyinggung atau mendiskreditkan siapa pun.

Sampai jumpa lagi...
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd