Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kisah Seratus Susu ~ Tamat

Kisah

Semprot Kecil
Daftar
2 Jun 2022
Post
76
Like diterima
2.596
Bimabet
Kisah seorang laki-laki yang berasal dari keluarga sederhana. Kesibukan kedua orangtuanya semenjak dia kecil membuatnya ingin mencari kasih sayang dan perhatian dari orang lain, yaitu STW. Sifat dewasa, keibuan dan kelembutan dari para STW menggelitik rasa penasarannya. Berbeda jauh dengan ekspektasi awalnya, tidak jarang perhatian yang dia dapatkan malah menjurus ke hubungan intim. Hawa nafsu membuatnya tidak menyadari bahwa setiap bercinta akan menumbuhkan rahasia baru yang mungkin akan menjadi masalah di hidupnya.



• Sebagian besar kisah ini adalah tentang STW.
• Genre Quirky (?) (Tidak cocok untuk semua orang.)
• Semua nama adalah nama samaran.
• Tidak semua part ada fotonya, anggap saja bonus.
• Tolong jangan copy paste kisah ini ke situs lain apalagi dijual tanpa ijin.

! Saya hanya share cerita ini eksklusif di Semprot, jika ada yang post di tempat lain, itu bukan saya.

Salam kenal semuanya.

Kejadian di kisah ini terinspirasi dari pengalaman pribadi. Sayangnya sudah banyak detail yang terlupakan, jadi banyak ditambahkan fiksi untuk mengisi kekosongan dan banyak yang dipelintir untuk membuatnya lebih menarik. Dan tentu saja kejadian aslinya tidak selebay di kisah ini.

Awal saya menulis ini adalah beberapa tahun lalu, dan sempat terlupakan. Saat itu rencananya akan diunggah ke salah satu situs yang tidak sebebas disini, jadi mohon maaf karena di part awal banyak sensor, selanjutnya akan saya tulis lebih lepas. Maaf juga kalau ceritanya terasa bertele-tele, saya menulisnya mengalir tanpa kerangka yang terkadang jadi kebablasan.

Saya bukan seorang penulis, jadi akan banyak tulisan "typo" dan struktur kalimat yang membingungkan.

Terima kasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktu membaca, komen, dan like kisah ini, terutama untuk Semprot sebagai wadah saya berbagi cerita.

Selamat membaca.

PART 1 ~ ART Baru
PART 2 ~ Perangkap Tante Bunga
PART 3 ~ Tante Bunga dan Aroma Memabukan
PART 4 ~ Gelambir Tante Bunga
PART 5 ~ Tarik Ulur dengan Susi
PART 6 ~ Tragedi Berbuah Manis
PART 7 ~ Susi Bermandikan Cahaya Lilin
PART 8 ~ Si Jutek yang Menyebalkan (Not STW)
PART 9 ~ Putri dan Benalu (Not STW)
PART 10 ~ Si Manja yang Menggemaskan (Not STW)
PART 11 ~ Pedang Bermata Dua (Not STW)
PART 12 ~ Tante Diana
PART 13 ~ Hati yang Terluka
PART 14 ~ Dikalahkan oleh Nafsu
PART 15 ~ Dasar Pencuri!
PART 16 ~ Tante Sari dan Susu Jumbo
PART 17 ~ Rahasia Tante Sari
PART 18 ~ Objek Tontonan
PART 19 ~ Tertangkap Basah
PART 20 ~ Lampu Hijau Tante Dina
PART 21 ~ Truth or Dare (Not STW)
PART 22 ~ Melewati Batas (Not STW)
PART 23 ~ Warung Bu Nur
PART 24 ~ Ternyata...
PART 25 ~ Godaan
PART 26 ~ Mati Aku...
PART 27 ~ Sebuah Rencana
PART 28 ~ Sepotong Kue
PART 29 ~ Panlok Pertama
PART 30 ~ Nuansa yang Berbeda
PART 31 ~ Mbak Rani Si Terapis
PART 32 ~ Berbalas Senyuman
PART 33 ~ Adrenaline Rush!
PART 34 ~ Tegang tapi Seru
PART 35 ~ Mbak Irma
PART 36 ~ Terima Kasih
PART 37 ~ Tante Novi
PART 38 ~ Patung
PART 39 ~ 6 STW
PART 40 ~ Kejutan
PART 41 ~ Susu Besar
PART 42 ~ Aku Jadi Sadar
PART 43 ~ Tante Judes
PART 44 ~ Fantasi Tante Ailin
PART 45 ~ Tante Yola
PART 46 ~ Susu Rata
PART 47 ~ Aku Sudah Muak
PART 48 ~ Jumbo
PART 49 ~ Bra
PART 50 ~ Cokelat Bundar
PART 51 ~ Penantian Panjang
PART 52 ~ Paku
PART 53 ~ Perpisahan
PART 54 ~ Beruntung
PART 55 ~ Taman
PART 56 ~ Pantai Terpencil
PART 57 ~ Hitam Lebat
PART 58 ~ Kost Lendir
 
Terakhir diubah:
Kisah ini berawal saat aku berumur 20 tahun dan sedang libur empat bulan menunggu perkuliahan. Aku sempat dua kali tidak naik kelas, akibatnya harus telat masuk kuliah.

Namaku Budi, lahir dikeluarga sederhana yang tinggal di gang salah satu perkampungan padat penduduk di pinggiran kota. Orangtuaku sibuk bekerja sepanjang hari, sehingga dari kecil aku terbiasa untuk tinggal dirumah berdua dengan seorang ART.

ART pertamaku adalah seorang ibu berumur 48 tahun yang suatu ketika mengundurkan diri dengan alasan dia harus mengurus cucunya yang baru lahir. Tapi perasaanku mengatakan kalau bukan itu alasan sebenarnya. Selama proses mencari penggantinya, orangtuaku memberikanku kebebasan untuk membuat keputusan penentu. Sudah beberapa orang yang aku tolak, sampai akhirnya pada suatu sore ada yang mengetok pintu rumah. Aku yang sedang menonton televisi seketika beranjak dari sofa dan membuka pintu.

Dia seorang wanita berwajah ayu dengan kulit hitam manis dan mengenakan celana jeans dan kaos putih yang lumayan ketat. Walau mataku bertatapan dengan mata dia, aku bisa merasakan ukuran susu yang besar dan menonjol. Ingin rasanya mata ini melihat susu itu, tapi aku tidak ingin terlihat tidak sopan ke orang asing.

Dia menjelaskan bahwa dia adalah calon ART yang ada janji dengan ibuku jam 7 malam nanti, namun masih jam 5 sore dia sudah datang karena takut terlambat. Aku baru teringat kalau di pagi hari tadi ibu memberitahu bahwa nanti malam akan ada calon ART baru. "Oh iya, ibu sudah bilang tadi pagi. Silahkan masuk," ucapku sambil mengalihkan pandangan dari wajahnya ke bawah melewati susunya, sampai ke tas ransel yang terlihat penuh di lantai sebelah kakinya. Hanya melihatnya sekilas sepersekian detik, aku langsung mengagumi susu kembar itu dan pikiranku sudah kemana-mana.

Aku duduk di sofa yang mengarah langsung ke TV, dan dia di sofa bagian depan yang menghadap ke samping. Posisi sofa rumah kami berbentuk kotak dan ditengah ada meja kaca. Dari hasil obrolan kami, namanya adalah Susi yang merupakan kakak dari ART salah satu teman ibuku, dan dia datang langsung dari kampung naik bus.

Sebuah keputusan yang nekat, pikirku. Tapi dia bilang andaikan tidak diterima, dia sudah diijinkan untuk menumpang semalam di tempat adiknya bekerja dan besok akan pulang lagi ke kampung. Wanita berumur 30 tahun ini sudah 6 tahun bercerai dari pernikahannya dan memiliki seorang anak dikampung yang diasuh oleh ibunya.

"Kalau aku bisa bulukan kalau sendiri selama itu, nggak ada yang bisa dipeluk" candaku. Aku hanya memancing untuk mengetahui apa reaksinya. Dia hanya tersenyum dan tidak membalas pancinganku.

Setelah topik pembicaraan habis, dia menggeser posisi duduknya jadi menyamping dan menonton TV. Posisi dudukku yang berada lebih belakang jadi bisa dengan leluasa melirik susunya. Ukurannya besar tapi masih wajar dan ada lekukan bra membekas di kaosnya. Tampak keringat membasahi leher dan bagian atas kaosnya.

Aku mempersilahkan Susi jika ingin mandi atau mengganti pakaian, tapi dia menolak dengan sopan. Perlahan si joni mulai berontak, aku yang tidak pernah memakai celana dalam saat dirumah, mengambil bantal kursi dari belakang punggungku dan menutupinya.

Setelah orangtuaku pulang ke rumah dan mewawancarai Susi, ibuku berkata bahwa gaji yang dinego cocok, dan menanyakan pendapatku. Sebenarnya dari awal aku sudah setuju, tapi dengan muka jaim aku berkata: "Ya sudah lah, susah cari ART, terima saja". Dengan raut wajah gembira, Susi berterima kasih sudah diterima kerja, dan ibuku mengantarkannya ke kamar dia.

Rumah ini ada dua bagian, bagian pertama adalah bangunan lama. Dibagian depan dengan jendela nako yang mengarah ke halaman adalah sebuah kamar yang dijadikan kamar ART, bagian tengah ada ruang makan, bagian belakangnya adalah dapur dan kamar mandi, dan di lantai dua adalah lantai kosong tidak beratap tempat menjemur pakaian. Kamar mandi di bangunan lama ini memiliki tembok yang bolong pada bagian atas, kalau dari instalasinya seperti untuk menghemat listrik, jadi satu lampu bisa menerangi dapur dan kamar mandi.

Bagian rumah kedua baru dibangun saat orangtuaku membeli rumah beserta tanahnya itu. Tanah kosong di samping rumah didirikan bangunan dua lantai. Di lantai bawah ada kamar orangtua, ruang tamu, dan kamar mandi. Lantai atasnya ada dua kamar yang salah satunya adalah kamarku. Ini bukanlah rumah besar, melainkan rumah kecil yang ruangannya padat.

Pagi harinya kami sekeluarga makan bersama di meja makan termasuk Susi, dia mengenakan daster longgar dan susunya tetap menonjol walau tidak sejelas saat memakai kaos. Aku yang sedang buru-buru karena ada janji dengan pacarku hanya fokus makan sambil mendengarkan Susi menjawab pertanyaan-pertanyaan orangtuaku. Hari-hari berlalu seperti biasanya, dan dia setiap hari mengenakan daster saat di dalam rumah.

Sampai pada suatu hari sekitar jam 10 pagi, Susi nampak membawa ember dan kain pel dan meletakannya di ruang tamu tempat aku sedang tiduran menonton TV. Sebelumnya aku jarang menonton TV di jam segitu, lebih sering main kerumah pacar atau teman atau mendengarkan radio di kamar.

"Itu kan di kamar mandi belakang ada tongkat pel, nggak usah manual pakai tangan", ucapku.

Dia melihatku sekilas dan menjawab, "Nggak apa-apa, lebih enak pakai tangan, sudah terbiasa."

Dia memulai mengepel dengan bergerak sambil jongkok. Sesampainya di depanku, dengan jarak hanya setengah meter, nampak jelas susunya menyembul dari bolongan atas dasternya, terdorong-dorong oleh lututnya. Susu kembar itu sudah tidak kencang tapi besar, bergoyang-goyang dibalut bra berwarna hitam. Aku ingin menggodanya tapi mengurungkan niat karena belum tahu watak dia seperti apa. Aku tidak mau membuat dia risih atau bahkan takut.

Saat aku membuat kopi di dapur, nampak Susi sudah selesai mengepel dan membawa handuk masuk ke kamar mandi. Aku melihat ke beton tempat cuci piring yang menempel ke tembok kamar mandi itu, lalu celah dibawah pintu dan diatas tembok kamar mandi. Tiba-tiba timbul rasa penasaran ingin mengintipnya. Aku menaruh kopi yang sudah selesai kuseduh diruang tamu, melepaskan sendal, dan kembali ke dapur dengan mengendap-endap. Dari suaranya, Susi sedang menggosok gigi.

Di bagian bawah pintu kamar mandi ini ada tonjolan semen setinggi lima senti untuk mencegah air meluber keluar, dan ada celah sekitar satu setengah senti. Aku lalu menempelkan kepala ke lantai untuk mengintip celah antara pintu dan semen itu. Setelah gosok gigi, Susi ternyata jongkok dan buang air kecil di lantai kamar mandi, bukan di kloset.


Walau ruangan agak gelap, terlihat jelas bulu lebat di sekitar lubang kenikmatannya. Bagian tengah lubang itu berwarna agak kemerahan, membuatku semakin penasaran.

Setelah itu dia berdiri sambil mengambil gayung dari bak yang berada di bagian kanan dan mulai membasahi kepalanya, dilanjutkan dengan keramas. Posisi bak ini membuat siapapun yang mandi akan menghadap ke pintu. Posisi ini beresiko bagiku, karena jika Susi sedang melihat keatas, kami bisa berhadap-hadapan. Perlahan aku naik keatas tempat cuci piring dan menunggu momen saat Susi mengguyur air lagi, karena biasanya orang akan menutup mata saat mengguyur kepala.

Aku melongok dari atas tembok kamar mandi saat Susi terdengar mengguyur. Mataku terbelalak melihat keindahan yang kulihat. Sepasang susu besar yang sudah kendor terlihat sedikit bergoyang-goyang karena gerakan tangannya yang mengambil air dengan gayung. Bentuk susu ini seperti pepaya yang memanjang kebawah, bukan berbentuk bulat seperti umumnya.

Ini pertama kalinya aku melihat bentuk susu seperti ini. Putingnya besar menonjol dan berwarna cokelat yang tidak terlalu gelap, terlihat menantang untuk dihisap. Setelah tiga kali guyuran, aku menarik kepala dan menunggu saat dia menyabuni tubuhnya.

Jantung aku berdegup kencang, si joni sudah tegang maksimal. Ada perasaan takut ketahuan, tapi aku belum puas untuk melihatnya. Saat dia terdengar mengambil sabun batang dari tempat sabun plastik, aku melongok lagi. Dia sedang menyabuni susunya yang mengkilap karena sabun. Susunya bergoyang-goyang dan tampak kenyal.

Aku menarik kepalaku dan terdengar dia membilas tubuhnya dan memakai handuk. Aku turun perlahan dan kembali ke ruang tamu melanjutkan merokok dan minum kopi, berlagak seakan tidak ada apa-apa.

Sejujurnya aku menyesal sudah mengintip Susi. Seandainya saja aku bisa menahan diri dan menyimpan rasa penasaran lebih lama, akan terasa jauh lebih memuaskan saat suatu saat nanti aku bisa mendapatkan tubuhnya.


Aku tinggal dilingkungan yang suka bercanda jorok. Contohnya adalah saat menonton TV yang saat itu banyak film luar tanpa sensor seketat sekarang. Jika ada pakaian wanita yang minim dan susunya menyembul, ibu dan ayahku suka bercanda tentang itu. Tetangga di sekitar rumahku juga ada beberapa ibu-ibu yang hanya memakai bra kalau di dalam rumah bahkan saat nongkrong di teras ngegosip sambil menyirih. Tapi kebanyakan dari mereka lebih lebih sering pakai daster.

Apakah ini yang membuatku menjadi suka STW? Atau secara tidak sadar disebabkan karena aku mencari sosok ibu karena ibuku yang sibuk bekerja? Entahlah... Yang pasti saat itu aku seperti memiliki magnet bagi para STW. Beberapa tetangga, saudara, bahkan orangtua teman kerap kali menggodaku dengan candaan menjurus.

Suatu saat saudara-saudara ibuku datang berkunjung. Ibuku adalah anak kedua dari lima bersaudara, empat wanita dan seorang pria. Yang datang kerumahku adalah mereka ketiga wanita itu. Saat itu aku sedang menonton TV di ruang tamu, terdengar pembicaraan mereka dari kamar ibuku yang berada tepat di ruangan sebelah. Rumah yang sempit membuat suara mereka masih terdengar, walau ada suara TV.

Tanteku yang paling kecil dan paling terakhir menikah berkata bahwa pentol putingnya membesar sejak melahirkan dan tidak balik ke ukuran semula. Yang lain menanggapi dengan tertawa dan berkata bahwa itu hal yang wajar. Mereka mulai saling beradu ukuran susu. Ada seorang tante aku yang susunya paling besar yang bernama Bunga, terdengar bangga sambil bercanda mengejek ukuran yang lainnya. Lalu ibuku berkata "Jangan sombong dulu, ayo adu dengan susu ART aku!"

Dia lalu berteriak memanggil Susi untuk datang ke kamarnya. Dari pembicaraan yang kudengar, Susi disuruh ibuku untuk membuka bra-nya dan berdiri bersebelahan dengan tante Bunga. Pada awalnya Susi menolak karena malu, dan memang aku akui kelakuan mereka ini random dan aneh. Tapi ibuku meyakinkan untuk cuek saja, karena mereka semua juga cuek. Pintu bergerak menutup sepertinya ada yang mendorong pintu itu, tapi tidak sampai terkait. Lalu pintu itu sedikit terbuka lagi sedikit dengan sendirinya. Akhirnya Susi menurut dan disambut dengan sorakan bahwa Susi pemenangnya dan tante Bunga ngomel tidak terima.

Aku yang tidak tahan dengan keanehan ini berjalan hendak ke kamarku. Setelah beberapa langkah, kepala ini seakan-akan bergerak sendiri menengok ke arah celah pintu. Ada tante bungsu yang berdiri paling belakang sedang menghadap kearah pintu dan menoleh kearah aku sambil berkata:

"Sudah-sudah daripada ribut, kita panggil juri yang netral,"
"Sini Budi."

Aku hanya berdiri diam melihat pintu dengan cepat terbuka lebar, ternyata pintu itu dibuka oleh tante Bunga yang berdiri agak di belakang pintu. Dengan cepat pandanganku mengincar susu tante Bunga dan Susi. Susi yang berdiri di sebelah tante Bunga berteriak kecil karena kaget pintu yang tiba-tiba terbuka lebar dan berusaha menutupi susunya dengan tangan kiri dan tangan kanannya menggapai dasternya di atas tempat tidur.

"Budi, gedean punya tante atau Susi?!" tanya tante Bunga dengan nada agak ketus, sambil tangannya menopang bagian bawah susunya agar terlihat lebih bulat dan besar. Nampak Susi sudah menutupi susunya menggunakan daster yang ditahan oleh tangannya. Aku dengan wajah poker-face berkata, "Mana aku tau, kan aku belum lihat yang Susi sebesar apa."

Tante Bunga menyuruh Susi memperlihatkan lagi, namun kali ini dengan nada bercanda dilanjutkan dengan tawa kecil. Sepertinya tante Bunga menertawakan raut wajah Susi dan posenya yang sudah tidak karuan. Tentu saja Susi menolak untuk memperlihatkan susunya. "Kalau gitu lebih gede punya tante Bunga deh," ujarku sambil berjalan pergi. Agak kecewa rasanya, walau aku sudah pernah mengintip dan tahu bentuk susunya Susi, tapi akan ada sensasi berbeda jika aku berhasil melihatnya dengan cara yang baru.

Tante Bunga ini sebenarnya menarik, wajahnya lumayan cantik dengan kulit berwarna kuning langsat yang cenderung putih. Tubuhnya termasuk ideal, kurang cocok untuk aku yang suka chubby dan BBW. Walau begitu, susunya yang besar sangat menggiurkan bagiku yang seorang pecinta susu gantung. Dia juga sudah lama menjanda, pasti rindu dengan belaian. Aku dengan senang hati ingin menikmati tubuhnya. Tapi tingkah anehnya lebih sering membuat ku bingung dan malah bikin malas daripada nafsu.

Aku tidak jadi pergi ke kamar, dan malah ke lantai atas tempat menjemur pakaian untuk menemui ayahku. Dia biasa nongkrong disana sambil merokok dan mengurus burung kenari peliharaannya. Setelah aku ceritakan, ayah hanya berkata sambil tertawa, "Memang tante-tantemu itu "miring" semua... Eh tapi susu tante Bunga memang besar ya?" Aku tidak menjawabnya, hanya menggelengkan kepala sedikit dan berjalan pergi ke kamar. Sambil berbaring, aku masih mencerna apa yang terjadi barusan sampai ketiduran.

Aku terbangun karena mendengar ibu mengetuk kamarku, kulihat jam yang ternyata sudah pukul 19.35. Setelah aku membuka pintu, ibu meminta tolong untuk mengantarkan tante Bunga. Anak semata wayangnya yang bernama Andre tidak membalas SMS maupun mengangkat teleponnya, jadi dia tidak bisa meminta untuk dijemput. Sepupuku ini seumuran denganku, jadi aku kurang lebih tahu pemikirannya. Saat aku sedang main diluar juga sering lupa waktu dan jarang lihat HP.

Sebenarnya malas, tapi ayahku ternyata sudah menolak untuk mengantarkan tante Bunga. Entah mengapa hubungan ayahku dan tante Bunga agak berjarak. Mereka tidak musuhan, tapi yang aku rasakan, ayahku seperti agak menghindari tante Bunga.

Mau tidak mau aku antarkan tante Bunga mengunakan sepeda motorku. Sepanjang perjalanan, dia bertanya banyak hal.

Tante: "Sudah punya pacar belum?"
Aku: "Sudah dong"
Tante: "Sudah ngapain aja?"

Aku: terdiam sebentar dan bertanya, "Maksudnya gimana tan?"
"Ya pacaran biasanya makan atau nonton bioskop," lanjutku.

Tante: "Sudah tau yang enak-enak belum?"
Aku: "Nggak ngerti aku tan, maksudnya apaan."
Tante: "Maksud tante, ngewe," sambil berbisik.

Pertanyaan itu membuatku bertanya-tanya segala kemungkinan yang ada.

"Apakah dia sedang mengetes lalu akan melaporkannya ke ibuku?"
"Apakah maksud dari pertanyaan ini?"
"Permainan apa yang sedang dia lakukan?"

Itu semua yang terlintas dipikiranku. Untuk meminimalisir resiko, tentunya aku tidak akan mengaku.

Aku: "Ah tante pasti disuruh ibu untuk mancing-mancing begini kan?"
Tante: "Nggak, ibu kamu nggak ngomong apa-apa, tante hanya penasaran sama gaya pacaran kamu."
Aku: "Kalau aku cerita, tante janji ngga akan lapor ibu?"
Tante: "Tante janji, kalau tante lapor ibu kamu, kamu boleh musuhin tante selamanya!" dengan yakinnya dia menjawab.

Aku: "Ya udah aku percaya sama tante." (walau sebenarnya tidak)
"Aku belum pernah ngapa-ngapain tan, takut," lanjutku.

Tante: "Bohong ah, tante nggak percaya."
Aku: "Ya sudah kalau tante nggak percaya."

Tante: "Hhmm... Kalau kamu belum pernah ngapa-ngapain, berarti nggak seperti si Andre, anak tante."
Aku: "Kenapa Andre memangnya?"
Tante: "Tante pernah mergokin dia sedang gituan dirumah dengan pacarnya."

Aku dengan berpura-pura kaget menimpalinya,"HAH? seriusan tan?"
Tante: "IYA! gila nggak tuh?"

Dalam hatiku, "Ini yang aku takutkan dari kamu tan, mulutmu tidak ada filternya... Bongkar aib sana sini..."

Sesampainya di depan rumahnya, dia membuka pintu gerbang dan aku memutarbalikan motor hendak langsung pulang. Namun dia memegang tanganku dan berkata, "Tante hari ini masak rendang, kamu makan dulu aja disini sambil temani tante sampai Andre pulang."

Tidak enak rasanya untuk menolak, belum lagi rendang adalah masakan kesukaanku, aku juga tidak sempat makan malam tadi. Akhirnya aku memasukan motor dan menunggu di diruang tamunya. Dia membawa dua gelas air putih dan bilang akan memanaskan masakannya dulu lalu pergi lagi ke belakang. Tidak lama kemudian, tante Bunga membawa dua piring berisi nasi, rendang, dan telur dadar lengkap dengan sambalnya. Setelah menaruh piringnya diatas meja, dia menutup gorden dan mengunci pintu ruang tamu.

"Pintu nggak usah dikunci tan, aku cuma sebentar doang, habis makan mau pulang."
"Banyak nyamuk," balasnya singkat.

"Aneh... Perasaan tidak ada nyamuk daritadi..." pikirku. Ah ya sudah lah, aku yang lapar mulai memakan dengan lahap masakan tante Bunga yang lezat sampai habis.

"Enak banget tan, terima kasih masakannya," Kataku sambil mengeluarkan rokok. "Sama-sama," jawabnya tersenyum, lalu berjalan ke belakang sambil membawa piring bekas makan kami berdua. Dia datang membawa secangkir kopi dan berkata, "Santai dulu saja disini sambil ngopi." Aku mengucapkan terima kasih dan menyeruput kopi itu. Dia lalu duduk di sebelahku dan berkata sambil menepuk bagian dalam pahaku dengan tangan kirinya.

"Kamu tahukan rumah ini hanya ramai saat tante ada pesanan catering?"
"Kalau tidak ada pesanan catering, pegawai tante tidak datang, si Andre juga jarang dirumah, jadi rumah ini sepi sekali."

Aku yang sedang kekenyangan hanya mengangguk.

"Waktu tidak terasa ya? dulu waktu kamu kecil, tante sering membantu merawat kamu."
"Menyuapi kamu... memandikan kamu."
"Tante kangen masa itu, tapi..."
"Sekarang kamu sudah besar, sebentar lagi kuliah, lulus dan menikah," ucapnya sambil tangannya kali ini bukan hanya menepuk, namun meremas pahaku.

Aku hanya terdiam mendengarnya, iba rasanya membayangkan kesepian yang tante Bunga rasakan. Lalu mulailah percakapan aneh terjadi lagi.

Tante: "Ngomong-ngomong kamu sudah mandi belum hari ini?"
Aku: "Sudah tadi pagi"
Tante: "Sore belum kan? tante mandikan ya?"
Aku: "hahaha... tante ada-ada saja bercandanya."
Tante: "Nggak kok, tante serius."

Aku terdiam sejenak dan mencerna situasi aneh ini.
Aku: "Nggak ah tan, aku udah besar, masa dimandiin."
Tante: "Ngapain malu sama tante sendiri, kamu dulu nggak malu."
Aku: "Ya beda lah tan, aku sekarang sudah besar."

Dia terus merayu dan aku terus menolak. Sampai akhirnya dia memeluk tangan kananku. Terasa tekstur kaku bra dan susu didalamnya yang menekan lenganku. Dalam sekejap imajinasi liar muncul dan membuatku tidak berpikir panjang. Langsung terbayang bentuk susunya yang besar dan putingnya yang hitam.

"Ya sudah deh, terserah tante saja, aku ngikut," ucapku berpura-pura tidak mau.
Dengan wajah senang tante berkata, "Nah gitu dong Budi."

Masih memeluk tanganku dengan erat, dia lalu beranjak berdiri dan menuntunku ke ruang tengah. "Tunggu ya, tante siapkan handuknya dulu," ucapnya sambil berjalan ke kamarnya. Bagian belakang setelah ruang tengah ini adalah dapur "outdoor" yang bagian atasnya adalah asbes bening yang sudah kekuningan. Dapur ini dikelilingi tembok tinggi untuk membatasi dengan rumah tetangga.

Antara asbes dan tembok ini ada celah sekitar 30-40 centimeter untuk ventilasi, dan asbes ini ditopang oleh kayu-kayu penyangga. Kamar mandinya berada di bagian kiri dapur. Nampak pintu ruang tengah terbuka lebar, yang artinya alasan tante saat mengunci pintu depan karena banyak nyamuk itu bohong. Nyamuk masih bisa masuk dari celah besar asbes dan tembok, seharusnya tadi dia menutup pintu belakang juga.

Ternyata dari awal aku sudah masuk ke perangkapnya. Tapi aku senang dengan situasi ini, aku akan mengikuti permainannya, dan berpura-pura belum menyadarinya.

Aku jadi penasaran... Apa yang tante Bunga akan lakukan padaku?
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd