Part 1
Mia Amelia
Sejenak saja aku ingin mengalihkan perhatianku dari lelaki yang duduk dihadapanku ini. Namun hasilnya nihil.
Wajahnya yang tampan, harum tubuhnya yang maskulin, senyumnya yang manis dan matanya yang menyejukkan
jiwa mampu menembus daya khayalku. Pikiranku tidak sejernih dulu, tidak sebelum aku menjadi kekasihnya. Enam
bulan terakhir ini dia sudah membuat duniaku kacau dengan pesona dan kehadiran dia di setiap keseharianku.
Wildan, lelaki yang sudah menjadi kekasihku selama enam bulan ini mampu membuatku gila. Gila akan
sentuhannya yang mampu membuatku berpikiran liar. Ciumannya yang lembut berhasil menambah keinginanku
untuk memiliki tubuhnya. Setiap dia menarikku kedalam pelukannya dan bibirnya berhasil mengunci bibirku, secara
otomatis khayalku langsung membumbung tinggi akan kenikmatan yang diberikan olehnya melalui sentuhan jarijemarinya.
Kata siapa hanya lelaki saja yang memiliki khayalan liar, wanita juga memilikinya. Termasuk aku yang
setiap kali harus bergulat dengan hawa nafsu kala Wildan melumat bibirku disertai dengan gerakan lidah yang
sensual.
"Mi, kamu melamun ya?" tanyanya memecah khayalan liarku.
Aku menggeleng cepat lalu memalingkan wajah untuk menutupi pipiku yang sudah merona. Ini bukan kali
pertamanya aku kepergok melamun ketika Wildan sedang berbicara. Bahkan aku tidak ingat apa yang sedang dia
bicarakan. Aku melamun bukan memikirkan hal lain maupun pekerjaan dikantor yang kadang membuat mumet
kepalaku. Melainkan melamun kalau sekali saja Wildan berterus terang menginginkan tubuhku, dengan suka rela aku
akan menyerahkannya. Toh aku percaya bahwa Wildan tidak akan meninggalkanku setelah dia merenggut
kesucianku. Aku percaya bahwa dia bukanlah lelaki brengsek yang hanya memberi kenikmatan sesaat dengan
menyumbangkan sperma untuk bersemayam di rahimku lalu menghilang begitu saja tanpa ada rasa tanggung jawab.
Selama ini kehadiran Wildan sudah memberiku rasa aman dan terlindungi. Namun hingga kini, dia tidak pernah
memintaku untuk bercinta dengannya meskipun aku tahu jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam dia
menginginkanku. Sesekali ketika dia memelukku disertai dengan ciuman yang kita bagi bersama, bisa aku rasakan
kejantanannya mengeras yang kapan saja siap menembus selaput dara yang menjadi dinding tipis di inti
kewanitaanku. Aku hanya bisa menghela nafas dan kecewa karena Wildan tidak pernah melanjutkan kenikmatan itu
dan memilih untuk cepat-cepat menghindar. Dan hal itu berulang berkali-kali.
"Enggak kok," elakku kemudian beranjak dari tempat duduk. Segera aku harus mengendalikan khayalan liarku
sebelum Wildan menyadari kalau aku benar-benar meminta lebih dari sekedar ciuman semata.
Baru saja aku melangkah hendak kedapur, Wildan langsung meraih tanganku dan menariknya hingga dia
memelukku dengan erat. "Aku mencintaimu, Mia." katanya yang mampu membuatku tersenyum lebar. Tanpa ragu
akupun membalas pelukannya.
"Aku lebih mencintai kamu, Wil." jawabku dengan rasa bangga.
Wildan melepaskan pelukannya lalu menatapku dengan lekat. Semburat senyum dia berikan sebelum dia
mengecup keningku dengan mesra. Hal yang sama seperti yang pernah aku lihat ketika Edward Cullen mencium
mesra kening Bella di film Twilight.
"Akhir-akhir ini aku selalu melihatmu melamun, apa semua itu karena aku?" tanyanya dengan nada khawatir dan
seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.
Aku tidak berani menjawab, hanya bisa diam dan tertunduk. Sedetik kemudian Wildan meraih daguku sehingga
wajahku terangkat. Dengan jarak wajah kita yang hanya sejengkal, aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang
lembut selain itu aku juga bisa melihat ketampanannya secara jelas. Butuh beberapa detik untuk kita hanya saling
diam dan saling memandang sebelum akhirnya sebuah cium hangat mendarat dibibirku. Sejenak aku memejamkan
mata dan menikmatinya ketika kami saling memainkan lidah`
Khayalan liar yang sudah memenuhi otakku membuatku semakin agresif. Dalam adegan ciuman yang semakin
dalam ini membuatku banyak menuntut. Kulingkarkan kedua tanganku dilehernya agar kami semakin intens dalam
memainkan bibir dan lidah kami. Seperti diburu oleh keinginan akan pemenuhan hawa nafsu, kini bisa kurasakan
kedua tangannya mulai meremas bokongku. Kontan aku mendesah panjang atas permainan kedua tangannya dan
nafas Wildan semakin berat.
Sesekali aku menjauhkan bibirku dari bibirnya dan bergumam menyebut namanya tepat ditelinganya dengan
desahan yang menggoda. "Wildan...," ucapku`
Dia membalasnya dengan ciuman yang dua kali lebih memabukkan dari sebelumnya. Aku meraba tekuk lehernya
kemudian jari jemariku menelusuri helai demi helai rambut hitamnya. Sentuhan ajaib itu mampu membuat kekasihku
ini hilang kendali, dia mengangkat tubuhku sehingga aku bisa mengaitkan kedua kakiku dipinggangnya. Sembari
tetap menciumku, aku pikir dia akan membawaku kekamarnya untuk menyelesaikan hubungan intim yang sudah
lama aku damba-dambakan. Sayang, tebakanku salah. Dia malah membawaku ke sudut ruangan tepat ada tembok
dibelakangku sebagai penopang sehingga ciuman tanpa jeda ini bisa bisa kembali dilanjutkan. Ada tanya dalam benakku,
mungkinkah hari ini dia akan menerobos masuk kedalam mahkotaku yang masih terjaga hingga kini?
Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Kurasakan kini nafas kita sama-sama berat dan kami mendesah
penuh kenikmatan secara bersamaan. "Aku menginginkamu, Mia." bisiknya dengan suara lembut. Dugaanku benar,
dia tidak mungkin tidak menginginkanku. Ciuman ini pasti sudah merangsangnya. Rasa bahagia membuncah dalam
hati. Akhirnya dia mau memenuhi hasratku yang paling dalam yaitu bercinta dengannya.
"Seutuhnya aku milikmu, sayang." balasku sambil berbisik ditelinganya.
Bibir Wildan mulai menelusuri leherku, mengecupnya berulang-ulang membuatku tak bisa menahan suara desahan
sensual yang mampu membuat kekasihku ini semakin menjadi. Dengan ragu aku bisa merasakan jemari Wildan mulai
membelai payudaraku. Sejenak dia menghentikan aksinya dan menarik nafas panjang. Tampak dia ragu-ragu namun
pada akhirnya dia berhasil membuka T-Shirt putih yang aku kenakan beserta bra hitam yang melindungi payudaraku.
Kulihat dia hanya memandang kedua bukit kembarku dengan tatapan penuh nafsu.
"Apa lagi yang kamu tunggu, sayang." tantangku sembari meraih tangan kanannya untuk memainkan payudaraku.
Aku terus mengintimidasinya dengan kata-kata yang mampu membangkitkan nafsunya. "Kamu bisa merasakannya,
kan? Begitu lembut, berisi dan... Ahhh..." teriakku kemudian ketika Wildan akhirnya terhipnotis oleh perkataanku. Kini
bibirnya sudah berhasil melumat payudara kananku dan memainkan putingku dengan lidahnya. Gerakannya persis
seperti ketika lidah kami saling bermain kala berciuman.
Ketika bibirnya sibuk mencium payudara kananku, payudara kiriku asyik dimainkan oleh tangannya. Begitu
seterusnya saling bergantian. Aku hanya bisa mendesah dan terus memanggil namanya sambil melepaskan beberapa
kancing kemejanya. Tidak bisa aku pungkiri kalau aku begitu menikmati keintiman ini. Dinding yang ada
dibelakangku dan tubuh Wildan dihadapanku telah memenjarakanku pada kenikmatan. Aku sudah tidak sabar untuk
menikmati ketika tubuh kami saling menyatu. Terlebih aku sudah merasakan cairan itu keluar dari lubang yang
menjadi sumber kenikmatan duniawi dan kejantanan Wildan semakin mengeras. Aku menggigit bibir bawahku ketika
melihat aksi Wildan memainkan kedua payudaraku. Dia tampak kehabisan nafas namun tidak ada tanda-tanda kalau
dia hendak menyudahinya. Kubelai lembut tengkuk lehernya dan kugoda dia dengan desahan penuh sensual. Hingga
akhirnya aku tidak bisa menahan diri lagi. Demi apapun juga aku ingin Wildan segera menuju keinti kenikmatan.
"Sayang aku sudah tidak tahan lagi. Bawa aku kepuncak kenikmatan agar kita bisa orgasme bersama-sama." ujarku
yang malah membuat dia menghentikan aksinya dan menurunkanku. Kaki terasa lemas. Dengan bersandar pada
tembok aku aku berusaha berdiri tegak.
"Belum saatnya Miaku sayang," jawabnya lalu beranjak menuju dapur.
Seperti petir yang menyambar di siang hari, aku tidak percaya dengan kata-katanya barusan. Ada rasa marah yang
menyeruak dalam hati. Entah menguap kemana kenikmatan yang tadi kami bagi bersama. Lagi-lagi dia tidak
menyelesaikan keintiman ini. Aku kecewa. Apa yang salah denganku sehingga dia tidak ingin bercinta denganku.
"Kamu jahat, Wil!" teriakku penuh amarah. Tanpa sadar mataku sudah berkaca-kaca.
Wildan menoleh padaku setelah dia menegak segelas air putih. Dia berjalan kearahku dengan cepat. Kedua alisnya
saling bertaut. "Apa maksud kamu, Mia?
"Kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Kenapa kamu tidak pernah mengakhirinya dengan bercinta. Padahal
aku yakin kamu juga menginginkannya, kan? Apa kamu takut aku tidak mampu memuaskan kamu!" bentakku diiringi
dengan tangis yang tadi aku bendung. Wildan berusaha memelukku tapi aku langsung menolak pelukannya.
"Maafkan aku, Mia." Sesalnya namun itu tidak cukup untuk mengobati rasa sakit dihati karena Wildan tak pernah
memuaskan nafsuku.
"Asal kamu tahu Wil, apa yang sudah kamu lakukan padaku ini sudah membuatku menderita. Menderita karena
kamu tidak memenuhi hasratku untuk bercinta denganmu. Kamu hanya memberikanku kenikmatan sesaat dengan
hanya menciumku. Sementara aku juga bisa merasakan kejantananmu mengeras. Apa sekali saja kamu tidak pernah
berpikir untuk menyetubuhiku!" Nada bicaraku mulai meninggi.
Aku sudah tidak tahan dengan kondisi ini. Wildan mencintaiku dan menginginkaku tapi kenapa dia tidak pernah
menyelesaikan adegan mesra yang selalu kita bagi ini. "Apa kamu ragu kalau aku sudah tidak perawan lagi!" lanjutku
yang mampu membuat Wildan menggeleng tiga kali.
"Aku tidak pernah punya pikiran seperti itu, Mi. Aku percaya sama kamu seperti kamu percaya sama aku. Bohong
jika aku tidak ingin bercinta denganmu," Kedua tangan Wildan berada dipipiku. "Setiap kita bercumbu, aku selalu
berpikiran untuk menikmati tubuh kamu yang lain seperti halnya tadi. Aku begitu menginginkan hal lebih dari sekedar
menikmati payudara kamu yang lembut dan hangat itu. Kamu juga bisa merasakan kejantananku mengeras dan aku
ingin segera melepaskannya dan bermain liar diinti kewanitaanmu. Aku juga dibuat menderita dengan keadaan ini,
Mi. Namun ada hal lain yang menahanku untuk tidak melakukannya dan itu sudah menjadi prinsipku." Jelasnya
panjang lebar.
"Apa?!" tuntutku ingin tahu.
"Untuk satu hal yang itu aku ingin kita melakukannya ketika kita menikah. Aku ingin menciptakan malam pertama
terindah yang tidak akan pernah kamu lupakan." ujarnya yang mampu membuat tangisku kembali pecah.
Aku tidak percaya kalau Wildan sampai memikirkan hal itu. Sementara aku hanya mementingkan akan pemuasan
nafsu belaka. "Aku, hiks..." tangisku semakin kencang. Wildan tampak berjongkok untuk mengambil bra dan T-Shirt
putihku sebelum kini dia memakaikannya padaku.
Dengan tangannya yang kekar dia memelukku untuk memberiku ketenangan. Dadanya yang bidang memberiku
kehangatan dan aku merasa terlindungi. "Aku mencintaimu Mia dan aku berjanji aku akan segera menikahi kamu. Aku
akan melepaskan kamu dari derita puncak kenikmatan yang belum kita bagi bersama. Bersabarlah, sayang..." janjinya
sambil mengelus kepalaku dengan lembut kemudian dia kembali mencium mesra keningku. Aku mengangguk dalam
pelukannya penuh bahagia.
BERSABUNG