Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

Kok baru tau ada cerita manteb gini... Ijin buka patok hu...
 
Hallo semuanya, selamat siang, semoga selalu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Saya di sini hendak menghaturkan maaf, karena mungkin update Minggu ini agak tertunda, dikarenakan polemik yg tengah terjadi memaksa saya untuk menambah kesibukan. Saya minta doa agar seluruh elemen yang turun ke jalan hari ini dan esok agar selalu diberi keselamatan. Terimakasih, dan salam damai.
 
Hallo semuanya, selamat siang, semoga selalu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Saya di sini hendak menghaturkan maaf, karena mungkin update Minggu ini agak tertunda, dikarenakan polemik yg tengah terjadi memaksa saya untuk menambah kesibukan. Saya minta doa agar seluruh elemen yang turun ke jalan hari ini dan esok agar selalu diberi keselamatan. Terimakasih, dan salam damai.
Iya gpp tetap semangat,, selamat berjuang...
 
BAGIAN 15 : DIRUNDUNG MENDUNG


435a3e348eaa6fe0751e6462ab0a00b9.jpg

ANGGANA RARAS RENGGANIS

POV 3D

Mentari sudah undur diri sepenuhnya, jauh tertinggal di belakang malam, alam raya sudah menggelap seutuhnya, lampu-lampu jalan dinyalakan, kumandang kelima dari laungan surau-surau sudah pamit entah kemana. Angin bertiup sebegitu lirih dan pelan, seolah tak berani untuk sekedar berlari lebih kencang, mengerti akan awan mendung yang menaungi wilayah yang tengah dilewatinya. Meski sejatinya, tiadalah awan berarak di sana, tak ada mendung di atas sana, karena awan hitam dan mendung pengundang hujan itu berada di balik tanah beton yang menyimpan bangunan megah di bawahnya, sebuah bangunan luas yang terpendam jauh di bawah tanah.

Dan di salah satu lantai paling bawah bangunan megah di bawah tanah itu, di salah satu ruangan dengan penerangan remang, Rengganis terduduk di lantai samping ranjang besarnya, melipat lutut, menenggelamkan wajahnya dalam-dalam, meredam tangis sekuat tenaga dan hatinya. Kesedihan membuncah, kesakitan merajam seluruh ruang-ruang perasaannya. Ia merasakan kembali betapa kosong dan hampanya ketika orang terkasihnya terenggut secara paksa dari sisinya.

Selama berjam-jam Rengganis mengurung diri, menangis sendiri. Ruang-ruang kepala perempuan itu terasa begitu penuh dengan pemikiran-pemikiran. Tentang bagaimana ia harus melanjutkan hari-harinya ke depan, tentang bagaimana ia akan menghadapi semuanya tanpa kehadiran Saka Agra Aliendra yang selama ini tak pernah alfa mendampingi dirinya. Belum lagi tentang Purnama Darah yang kian dekat, betapa nantinya kemungkinan Aruhara yang sudah diramalkan para leluhurnya akan bermula dari Purnama Darah tersebut.

Dan yang paling mengoyak-oyak inti terdalam pemikiran dan perasaannya adalah, bagaimana cara ia menyampaikan pada anaknya, Regan, tentang apa yang menimpa Saka sore tadi. Sungguh.. seperti dunia kembali runtuh menimpanya, kembali membuatnya sesak bukan main menahan beban tanggung jawan dan rasa sakit di saat yang bersamaan.

Kenapa Mas? Kenapa Mas harus bertindak sejauh itu? Kenapa Mas enggak membiarkan kami membantu? Kenapa Mas? Hikss..

Rengganis membatin, bahunya berguncang pelan menahan isak tangisnya.

Rengganis paham betul, amat sangat paham atas pilihan yang sudah diambil oleh suaminya. Ia sadar, bahwasanya Saka melakukan itu sebab tak ingin ada darah tertumpah seperti kejadian beberapa tahun lalu. Karena jikalau pun Saka mengizinkan mereka untuk menghadapi penghadangan itu bersama-sama, jikalau pun mereka bisa mengatasinya, tentu saja tetap akan ada nyawa yang melayang dari pihaknya, seperti di penyergapan beberapa tahun sebelumnya, dimana banyak punggawa Purantara yang harus dimakamkan sebab gugur ketika mencoba melindungi bagian inti dari keluarga utama.

Tapi tetap saja, Rengganis sulit untuk menerima ini semua, sulit untuk tidak mempertanyakan berulang-ulang atas pilihan yang sudah dipilih oleh sang suami. Rengganis amat tak bisa menerima itu, sangat tidak bisa.

Tok.. tok.. tok..

“Bu..”

Di tengah kesedihannya, terdengar suara ketukan dan panggilan dari arah pintu ruangan tersebut. Membuat Rengganis segera menyeka air matanya, mengusap-usap wajah sembabnya.

“Iya..” Sahut Rengganis sambil bangkit dari duduknya, berjalan ke arah pintu. Membukakan pintu untuk seseorang yang berada di luar pintu. Dan begitu pintu terbuka, sesosok perempuan terlihat berdiri dengan mata sembab di hadapan Rengganis, dan tanpa berkata-kata apa lagi, langsung memeluk Rengganis erat-erat, menangis di pelukan Rengganis yang berusaha bertegar hati.

“Ibu yang sabar ya.. hiks..” Lirih perempuan muda yang tengah memeluk Rengganis.

“Iya Rum.. udah ya.. aku enggak apa-apa kok.. udah..” Ujar Rengganis sembari mengelusi punggung perempuan di hadapannya, yang tak lain adalah Arum.

Kedua perempuan itu saling berpelukan lama, Arum menangis sesenggukan, sedang Rengganis berusaha menampilkan seribu ketegaran, meski sesungguhnya.. hati perempuan itu pedih perih dirajam kehilangan.

“Nggan enggak kemana-mana kan, Rum?” Tanya Rengganis ketika pelukan mereka sudah terlepas.

“Iya Bu, tadi pas Arum ke sini Nggan lagi nonton film beranteman Bu..” Jawab Arum sambil berusaha meredam kesedihannya. Mengusapi kedua pipinya.

“Yaudah.. buat sementara aku minta tolong sama kamu buat nahan Nggan di rumah ya, jangan sampe dia pergi kemana-mana. Karena situasi di luar masih belum kondusif..” Ucap Rengganis sembari melempar senyum pada Arum, dielusnya bahu perempuan muda yang sudah bertahun-tahun menjadi bagian keluarganya itu.

“Iya Bu.. Arum bakal ngelakuin apapun supaya Nggan enggak keluyuruan dulu..”

“Makasih banyak ya Rum..”

Mereka berdua saling melempar senyum, saling mengusapi bahu, saling memberi kekuatan menghadapi situasi yang sedang melanda keseluruhan keluarga Purantara saat ini.

Karena bukan hanya Rengganis yang merasakan kesedihan atas gugurnya Saka, melainkan seluruh keluarga Purantara, mereka semua sedang kehilangan, mereka semua sedang berusaha menguatkan hati agar tidak larut dalam air mata yang terkumpul di kelopak mata mereka.

“Oh iya Bu.. tadi Pak Wangsa minta tolong Arum nyampein ke Ibu, katanya seluruh keluarga sudah datang..”

“Iya.. nanti abis mandi aku langsung ke sana ya..”

“Iya Bu.. nanti Arum sampein ke Pak Wangsa..”

“Makasih ya Rum..” Ujar Rengganis sembari terus mengembangkan senyum. Arum balas tersenyum, namun di balik senyumnya ada setitik kecemasan yang jelas terlihat, dan itu amat mudah untuk dibaca oleh Rengganis.

“Kenapa Rum? Apa kamu khawatir sama Mang Diman?” Ucap Rengganis lembut pada Arum, membuat anak perempuan dari Mang Diman itu segera menggelengkan kepalanya pelan.

“Enggak Bu.. kondisi Abah udah mulai stabil kok, tinggal nunggu penanganan lanjutan saja.”

“Lalu?” Tanya Rengganis bingung.

“Hhhmm.. Arum khawatir sama Nggan Bu..” Ujar Arum lirih penuh kecemasan. Dan Rengganis langsung mengerti akan hal tersebut, ia pun sama, amat mengkhawatirkan kondisi anaknya tersebut nantinya. Membuat Rengganis langsung diliputi awan mendung kembali.

“Aku juga Rum..” Ujar Rengganis lirih.

“Kalau nanti Nggan tahu.. apa itu bakal merusak segelnya Bu?” Tanya Arum lagi.

“Entahlah Rum.. aku juga belum tahu pasti. Nanti akan aku bicarakan dulu dengan Damar bagaimana baiknya ya..” Sahut Rengganis dengan pikiran mengawang. Arum terdiam sejenak. Kepalanya seolah dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan buruk jikalau nanti Regan sudah mengetahui tentang kabar duka ini.

“Tapi aku minta tolong agar Nggan jangan dikasih tahu dulu ya Rum, nanti biar aku atau Damar yang memberitahunya langsung.”

“Iya Bu.. kalau gitu Arum permisi ya..” Ucap Arum pada Rengganis seraya undur diri. Setelah itu Rengganis pun kembali masuk ke ruangan, mengunci pintu dan bersiap untuk menghadiri pertemuan.

Dengan langkah lunglai ia pun berjalan ke kamar mandi yang tersedia di ruangan itu, menyalakan shower dan membiarkan tubuhnya yang masih berbalut pakaian dihujami rintik air. Tangisnya pecah lagi, dan ia terduduk di lantai dengan memeluk kaki. Meresapi kembali kehampaan dan nyeri di inti perasaannya kini.

Tergambar jelas setiap lekuk wajah Saka di kepalanya. Senyum kecil nan teduh yang selalu menjadi penguatnya. Tatap tajam namun lembut yang selalu menenteramkan sanubarinya. Hangat peluk yang selalu menjadi penenang dan tempat pulang paling nyaman. Dan semua itu hari ini sudah dibawa pergi entah kemana, menyisakan sebuah lubang menganga di inti perasaannya. Meninggalkan luka baru di relung perasaannya.

Bermenit lamanya Rengganis menangis dibawah guyuran air. Sebelum akhirnya teringat, bahwa ada pertemuan penting yang tengah menunggu kehadirannya. Ia segera menyelesaikan mandinya, keluar dari kamar mandi tanpa terlilit sehelai benang di badannya. Berjalan ke lemari besar di mana tersimpan seluruh pakaiannya, juga pakaian suaminya.

Ia ambil sepotong kaos polos berwarna hitam, ia ciumi dalam-dalam aroma kaos tersebut, lalu ia peluk dalam-dalam, meresapi sisa-sisa aroma yang sudah menghilang di sana.

“Bagaimana dengan mimpi-mimpi kita Mas? Hiks.. bagaimana tentang mimpi yang kamu janjiin ke aku? Hikss..” Rengganis menangis kecil sembari memeluk potongan kaos tersebut, teringat kembali wajah Saka di kepalanya.

Teringat kembali kata-kata Saka yang berjanji bahwa jika semua permasalahan sudah selesai, akan mengajak dirinya untuk tinggal di sebuah perbukitan. Membangun rumah kecil untuk dijadikan tempat melewati masa tua mereka. Namun kini, mimpi yang dijanjikan Sang Suami hanya bersisa angan semu, takkan pernah mendekati kata terwujud.

Rengganis menghela napasnya sesak, meletakkan kembali kaos tersebut di dalam lemari, segera mengeringkan tubuhnya dan berpakaian rapi. Kebaya hitam pekat, dengan kain jarik sewarna ia pilih. Sapuan make-up tipis ia basuh ke wajah. Rambutnya yang basah segera dikeringkan, kemudian digerai begitu saja sembari disisir rapi.

Setelah itu Rengganis memandang cermin sejenak, memandangi tubuhnya yang indah dalam balutan kebaya dan kain jarik, salah satu hal yang paling disukai sang suami adalah ketika ia berdandan seperti ini. Rengganis menguatkan hatinya, kemudian ia memeluk tubuhnya sendiri. Membayangkan bahwa Saka lah yang memeluknya dari belakang, mencium lembut tengkuk dan pipinya, kemudian melayangkan untaian demi untaian pujian.

Hal yang benar-benar membuat lubang di hatinya kian menganga lebar..

Namun Rengganis sadar, sebagai pemuncak takhta Purantara, ia tak boleh terlihat lemah dan terseok-seok seperti ini. Sudah cukup ia mempertontonkan kelemahannya ketika menangis di depan para punggawa, bukan sebab ia malu, tapi ia tak ingin semakin membuat mental seluruh keluarga besar Purantara jatuh bersamanya.

Rengganis menegakkan tubuhnya, kemudian berjalan keluar dari dalam ruangan tersebut, berjalan dengan senyum mengembang dan dagu terangkat. Beberapa punggawa yang berjaga memberikan anggukkan kepala, yang oleh Rengganis dibalas dengan senyuman dan anggukkan pula.

Kemudian satu punggawa yang berdiri di dekat lift segera menekan tombol, membuat pintu lift yang sudah menunggu Rengganis segera terbuka. Punggawa tersebut memandang hormat namun lirih ke arah Rengganis.

“Terimakasih ya Agung..” Ujar Rengganis seraya masuk ke dalam lift, sang punggawa segera mengangguk, dan tak lama pintu lift tertutup, membawa tubuh Rengganis ke atas. Menuju lantai 3 bangunan bawah tanah tersebut.

Setelah sampai dan pintu lift terbuka, jajaran punggawa yang lebih banyak langsung menyambutnya, memberikan salam penghormatan dan membuka jalan untuk Rengganis.

Perempuan itu tersenyum, berjalan anggun sembari memamerkan ketabahan palsunya. Dua Punggawa lain segera membuka sebuah pintu ruangan yang dituju Rengganis. Sebuah ruangan besar dengan sepasang pintu kayu nan tinggi. Rengganis tersenyum, menyampaikan terimakasihnya, masuk ke dalam ruangan tersebut yang sudah diisi beberapa orang penting dan ajudan-ajudan terpercaya Purantara.

Sebuah meja bundar besar tersaji di ruangan tersebut, lingkaran kursi sudah terisi, hanya bersisa tiga kursi kosong saja. Beberapa orang lain berdiri di sisi ruangan, dan semuanya serempak memberi penghormatan pada Rengganis. Yang duduk segera berdiri, yang berdiri segera menegakkan tubuh, semua memandang ke arah yang sama, ke arah seorang Anggana Raras Rengganis yang maha indah dipandang mata.

Rengganis terus berjalan, terus memberikan senyuman, lalu mengambil posisi di kursi paling kiri di antara tiga kursi yang masih kosong tadi, berdiri dengan wajah terangkat, memandang satu persatu mereka yang hadir memenuhi undangannya.

“Terimakasih semuanya, silahkan..” Ujar Rengganis jelas dan tanpa kesedihan, mempersilahkan tamu-tamunya duduk, seraya ia juga duduk di kursinya.

Sejenak ia lirik dua kursi kosong di kanannya, kursi yang tepat berada di sampingnya adalah kursi Saka, sedang di sebelah kursi yang kosong tersebut adalah kursi milik Damar. Yang berarti adik dari suaminya tersebut memutuskan untuk tidak hadir dalam pertemuan ini.

“Sebelumnya saya sangat berterimakasih atas kesediaan kalian semua untuk menghadiri pertemuan mendadak ini, maaf sekali jikalau saya mengganggu waktu kalian..” Ucap Rengganis dengan tubuh tegap dan senyum yang tegas terlihat. Membuka pertemuan mendadak yang ia canangkan.

Di meja tersebut duduk beberapa orang dengan wajah mendung. Dan mereka pun langsung menjawab ucapan Rengganis dengan untaian-untaian kalimat bela sungkawa. Satu persatu berurutan. Rengganis menerima semua ucapan tersebut dengan senyum dan ketegaran.

Orang-orang yang berada di meja tersebut antara lain adalah Anung Benawi, seorang lelaki paruh baya yang duduk di sebelah kiri Rengganis, mengenakan pakaian serba putih dengan sorban melilit kepalanya. Ia tak lain adalah jajaran murid tertua dari Nyai Putri, Ibu Rengganis. Sekarang beliau menjadi penasihat, dan bersama divisinya, beliau juga bertanggung jawab atas penjagaan perbatasan Purantara bagian timur laut, tepatnya di satu kabupaten yang letaknya tak seberapa jauh dari pusat kota kembang.

Namun kepada sang anak, Regan, Rengganis dan Saka memperkenalkan beliau sebagai Kakak dari Rengganis, yang tak lain beliau diperkenalkan sebagai Paman kepada Regan, atau biasa dipanggil oleh Sang Anak sebagai Uwak Anung. Beliau juga lah yang berjasa menjaga Regan selama pengasingan beberapa tahun lalu.

Setelah Anung Benawi, ada perempuan dengan usia berkisar di angka 50 tahun, wajahnya begitu muram, tak ada senyum di sana, beberapa helai rambutnya sudah memutih, namun kerut di wajahnya belum terlalu kentara, ia mengenakan kebaya berwarna ungu gelap, dengan rambut disanggul.

Beliau adalah Danti Malini, sama seperti Anung Benawi, perempuan tersebut juga adalah penasihat ulung Purantara sekaligus penjaga wilayah perbatasan barat laut bersama orang-orangnya, tepatnya di satu kota tetangga Purantara, yakni Tenggarang. Berbatasan dengan wilayah Lemah Kidul bagian Timur.

Baik Malini maupun Anung Benawi, tentu memiliki kekuatan yang sangat besar, karena jika ada serangan terbuka yang datang, maka merekalah yang akan menjadi penghalau pertama. Dari itu, selama bertahun-tahun lamanya, tidak pernah ada serangan terbuka yang dilancarkan ke Purantara. Kecuali serangan-serangan kecil terselubung yang kadang masih bisa lolos dari pantauan mereka.

Berlanjut ke orang berikutnya, ada Janur Gunung, lelaki berusia 45 tahun yang menjadi salah satu dari peserta utama pertemuan ini. Beliau tak lain adalah pengawas wilayah Purantara. Bertanggung jawab akan segala keamanan “bawah tanah” wilayah ini. Wajahnya santai namun tegas, mengenakan setelan kemeja lengan panjang rapih berwarna hitam.

Dan yang terakhir ada Gofhur Abisatya, lelaki paruh baya yang bertugas sebagai penjaga wilayah sekitaran 'istana utama' Purantara. Beliau juga memiliki tugas lain yang cukup penting, yakni mengawasi putra mahkota Purantara, mengamati setiap orang yang dekat dengan Regan, menggali informasi tentang orang-orang yang berhubungan dengan Regan, dan memastikan tidak ada ancaman-ancaman yang potensial di sekeliling sang Putra Mahkota. Hal tersebut juga membuatnya memilih untuk menjadi guru di sekolah Regan, tentu dengan pengaruh dari Rengganis, hal tersebut mudah saja dilakukannya.

Ghofur mulai menyiapkan sekolah yang kini ditempati Regan bahkan dua tahun sebelum Regan masuk ke sana, memetakan keseluruhan siswa-siswi serta guru-guru, penjual dan orang-orang yang berada di sekitar sekolah tersebut, semuanya berada dalam pengamatan lelaki tersebut.

“Bagaimana pun, kehilangan Saka akan sangat mempengaruhi peta kekuatan kita. Dan dari pengamatanku beberapa jam belakangan, berita ini sudah meluas di sekitaran perbatasan. Benar kan, Mas Anung?” Janur Gunung berbicara seraya mengedarkan pandangnya, kemudian berhenti kepada Anung Benawi yang terlihat duduk tenang di sebelah Rengganis. Dan lelaki tersebut hanya mengangguk pelan, tanpa kata-kata.

“Pertanyaannya adalah, apa kita masih akan berdiam diri seperti sebelum-sebelumnya?” Tanya Janur Gunung menatap keseluruhan peserta pertemuan malam ini.

“Aku setuju dengan Janur, kita sudah terlalu lama berdiam diri, kita sudah terlalu lama membiarkan Hematala bergerak bebas mengacau di sana-sini. Dan puncaknya adalah ini, penyergapan yang berujung pada tewasnya salah satu panglima utama kita.” Danti Malini menimpali, wajahnya terlihat geram karena amarah di kepalanya.

“Ehemm..” Rengganis berdehem pelan, menegakkan tubuhnya, mengumbar senyum kepada empat orang yang berada bersamanya. Dan mendengar deheman Rengganis, lebih dari sekedar cukup untuk membuat suasana menghening seketika.

“Aku tahu dalam hal apa pun, aku masih terlalu muda.. masih terlalu bau kencur untuk menghadapi situasi seperti ini. Tapi aku yakin, bahwa penyerangan terbuka bukanlah jalan terbaik saat ini..” Ujar Rengganis dengan aura wibawanya yang begitu pekat. Membuat Janur Gunung, Ghofur Abisatya, maupun Danti Malini langsung bergidik ngeri, sebab mereka seperti melihat bayangan Nyai Putri digurat wajah Rengganis saat ini. Hanya Anung Benawi saja yang terlihat tenang dan tenteram.

“Ka.. kalau begitu, kita bisa melancarkan serangan gerilya, setidaknya sekedar untuk membalas kematian Den Saka..” Ghofur pun memberanikan diri buka suara. Namun ketika Rengganis mengalihkan pandang ke arahnya, seketika itu juga Ghofur langsung terdiam.

“Ide yang cukup bagus Mas.. tapi berapa banyak yang perlu kita kirim? Ki Saptadi bukan orang sembarangan, bahkan suamiku saja takluk olehnya sebanyak dua kali.” Ujar Rengganis tenang seolah tanpa beban. Padahal di dalam hatinya kecamuk itu begitu dahsyat ketika ia menyebut kembali nama lelaki yang telah membuatnya harus kehilangan seorang Saka Agra Aliendra.

“Itu karena Den Saka tidak berada dalam kekuatan penuhnya, ia membagi kekuatannya untuk melindungi sekaligus mengisi tenaga orang lain. Lagi pula, lawan yang dihadapinya pun sangat banyak, jelas saja jika beliau takluk pada akhirnya.” Janur Gunung menyambar pembicaraan, tatapannya terlihat tidak bersahabat, ia seolah menyayangkan mengapa orang-orang yang berada bersama Saka tidak membantu lelaki tersebut ketika penyergapan terjadi.

“Mas Janur benar, Mas Saka memang sedang tidak berada di kondisi terbaiknya, tapi perlu aku akui tanpa kemunafikan, bahwa Ki Saptadi yang dilawannya memang sudah berada di tingkat tertinggi among geni. Dan jika memang kita tetap memaksakan diri untuk mengirim orang-orang guna menghabisi lelaki tua itu, maka kita perlu banyak orang dengan kekuatan yang mumpuni.” Ujar Rengganis tenang.

(Among : memelihara. Geni : api. Namun Among Geni sendiri diperluas maknanya sebagai satu kemampuan seseorang bisa mengendalikan api dan memanipulasinya sesuka hati, sesuai tingkat kemampuan orang tersebut. Ini adalah kemampuan utama orang-orang Hematala)

“Maka Den Ayu bisa mengirimku! Aku berjanji, dengan orang-orang yang tepat, akan ku babat habis Ki Saptadi itu. Bahkan akan kubawakan kepalanya untuk Den Ayu..” Seloroh Janur Gunung dengan membaranya. Namun oleh Rengganis hanya disambut dengan senyuman kecil.

“Berapa orang yang akan kau bawa Janur? Apalagi kalau targetmu itu sudah kembali ke wilayahnya?” Anung Benawi yang sedari tadi hanya diam akhirnya buka suara, tone suaranya yang berat dan rendah membuat siapapun yang mendengar akan langsung menunjukkan rasa segannya.

“Sepuluh ksatria terbaik saja sudah cukup bagiku..” Sahut Janur sebal karena Anung Benawi seperti meremehkan sarannya.

“Kau butuh lebih dari 20 orang jika ingin menghadapi Ki Saptadi yang sudah kembali ke wilayahnya, percayalah..” Sahut Anung Benawi lagi dengan datarnya. Wajahnya tenang sekali, bahkan alisnya datar-datar saja tanpa pergerakan apapun.

“Maka aku akan bawa 20 orang ksatria terbaik bersamaku. Akan kutumpas Ki Saptadi bersama orang-orangnya langsung. Kalau perlu sekalian saja ku obrak-abrik markas cabang mereka.” Timpal Janur Gunung geram, sedang Anung Benawi hanya tersenyum kecil.

“Apa kau berani menggaransi itu, Janur? Apa kau yakin amuk topan-mu bisa meredam aji geni orang-orang Hematala? Kau tahu betul bahwa segala rupa ajian angin hanya akan membuat api berkobar lebih besar kan? Jangan sampai kekuatan yang kau keluarkan untuk melawan mereka malah dimanfaatkan untuk membakarmu dan orang-orang yang kau bawa..” Tiba-tiba Danti Malini angkat suara, seolah mempertanyakan setiap perkataan yang keluar dari bibir Janur Gunung. Menyudutkan.

Membuat lelaki itu seketika terdiam keluh, tak yakin sendiri dengan kata-katanya. Tak yakin sendiri dengan kekuatannya. Sebab benar yang dikatakan oleh Danti Malini, amuk topannya bukanlah peredam bagi segala aji among geni milik orang-orang Hematala, salah-salah.. Amuk topannya justru berpotensi menjadi penguat among geni.

“Jika kau sendiri tidak yakin, jangan pernah membual di meja ini. Satu dari tujuh pilar utama rumah kita sudah roboh, apa kau mau membuat rumah ini hanya bersisa enam tiang dengan ketidakyakinanmu itu?” Tanya Danti Malini dengan dinginnya, seolah berbalik tak mendukung penyerangan diam-diam yang disarankan. Karena baginya, penyerangan terbaik adalah penyerangan secara serentak dan terbuka.

Janur Gunung hanya terdiam, jengkel di hatinya menyeruak. Ia sadar akan kemampuan dan kekuatannya. Meski tidak setara dengan Saka maupun Rengganis, namun sebagai satu dari tujuh pilar utama Purantara, harusnya tidak ada keraguan atas dirinya. Namun nyatanya, ia sendiri meragu atas kemampuannya itu.

“Mas Janur..” Rengganis berucap lembut, memanggil Janur Gunung yang menundukkan wajah. Membuat lelaki itu mengangkat wajahnya perlahan, karena lelaki mana yang takkan mengangkat wajah ketika perempuan berkharisma kuat tersebut memanggil lembut namanya?

“Aku tahu betul Mas Janur marah sekali dengan gugurnya Mas Saka, aku juga sama, semua orang di sini juga. Tapi kita tetap tidak boleh gegabah, mengirim pasukan ke sana tentunya hanya akan membuat pertahanan kita melemah. Bukankah di ramalan tertulis jelas, bahwa Aruhara akan tiba seiring purnama darah yang datang lebih lama dari biasanya? Jika berkaca pada hitung-hitungan, purnama darah yang dimaksud dalam ramalan sudah cukup dekat Mas..” Ujar Rengganis dengan seluruh kelembutan yang ia miliki. Membuat Janur Gunung seperti tersirap dan langsung redam emosinya.

“Aku setuju dengan Den Ayu.. bagaimana pun, tujuan utama kita saat ini tidak boleh melenceng. Seperti yang Nyai Putri bilang, jika waktunya sudah tiba, kita akan dihadapkan perang yang amat besar. Dan untuk menghadapi itu, kita perlu terus memperkuat seluruh lini yang kita punya..” Anung Benawi kembali membuka suaranya, dengan tenang dan penuh ketenteraman.

“Kalau begitu, ini sudah saatnya kita melepas Sasah Sukma dan segel penahan dari Den Regan, bukan? Kita juga harus mempersiapkannya? Karena akan sangat disayangkan jika Jabang Kutukan yang kita punya hanya menjadi sesuatu yang tidak berguna!” Janur Gunung berorasi dengan membara, entah mengapa.. memikirkan ramalan Aruhara yang kemungkinan kian dekat membuatnya kembali diliputi api kemarahan, semangat membara yang berkobar-kobar di dalam hatinya.

Dan mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Janur Agung, langsung membuat Rengganis tercekat hebat. Seluruh tubuhnya menegang. Setitik emosi mencuat dari inti perasaannya. Tangannya terkepal erat-erat, mencoba menahan diri ketika sang putra dibawa dalam pembicaraan ini.

“Heiikkhhh..” Tiba-tiba saja Janur Gunung tercekat, tubuhnya terangkat dari kursi dan mengambang tak menyentuh tanah. Telapak tangan kanan Danti Malini melingkar di lehernya, sudah bangkit dari duduknya dan mencekik Janur Gunung tinggi-tinggi.

Mata perempuan tua itu nyalak menatap Janur Gunung, giginya bergemeratak kuat, sedang telapak tangan kirinya melayangkan empat totokan cepat di kedua bahu, perut bagian tengah, serta di titik pusat bagian depan dada Janur Gunung.

Menutup seluruh simpul tenaga dalam milik Janur Gunung. Membuat lelaki yang berada dalam cekikan itu tak mampu untuk sekedar mengeluarkan secuil kemampuannya. Tertutup dan tak bisa mengalir kemana-mana.

Melihat itu Rengganis, Anung Benawi, dan Ghofur Abisatya pun segera bangkit dari duduk mereka hendak menolong Janur Gunung. Namun belum sempat mereka bergerak, mereka menyadari sesuatu.

“BERHENTI MENYEBUT KEPONAKANKU DENGAN SEBUTAN ITU!!” Suara Danti Malini terdengar nyalak sekaligus menyeramkan. Tone suaranya tebal dan berat, khas suara seorang laki-laki yang tengah dibakar amarah.

Janur Gunung mendelik lebar, mata Danti Malini yang tajam menatapnya terlihat berbeda, bagian putih mata Danti Malini berubah menjadi abu-abu gelap, sedang bagian tengahnya tak lagi berwarna hitam, melainkan berwarna hijau terang yang begitu menderang. Cengkeraman di lehernya terasa kian kuat. Dan ia pun langsung menyadari sesuatu.

“HENTIKAN DAMAR!! CUKUP!!” Rengganis berteriak lantang dengan kedua tangan menggebrak meja, wajahnya terangkat ke atas, seolah tengah berbicara dengan langit-langit ruangan ini.

“AKU SUDAH MUAK DENGAN ORANG-ORANG YANG SELALU MENYEBUT KEPONAKANKU DENGAN SEBUTAN ITU, AKU SUDAH MUAK!!”

“HEEIKKHH..” Janur Gunung kian tercekat, seluruh tubuhnya terasa kaku sebab tertutup simpul totokan yang dilancarkan Damar lewat perantara Danti Malini. Ditambah asupan oksigen ke otaknya yang tersendat, membuat wajah lelaki paruh baya itu memerah bukan main.

Ghofur yang berada paling dekat langsung berusaha melepaskan cekikan tangan Danti Malini di leher Janur, namun baru saja ia memegang pergelangan tangan perempuan tua itu, tiba-tiba sebuah lempengan besi yang berbentuk pipih memanjang langsung melilit tubuhnya, mengangkat tubuh Ghofur tinggi-tinggi lalu dilemparkan ke dinding.

BUUGGHHH..

Tubuh Ghofur menghantam dinding dengan keras, para punggawa yang berada di dalam ruangan itu segera berusaha membantu Ghofur yang terlihat sesak napas, dadanya lebih dulu menghantam dinding. Beberapa punggawa lain berusaha mendekat ke arah Danti Malini dan Janur Gunung, namun oleh Anung Benawi mereka di tahan, meminta agar tidak ada pergerakan lebih jauh.

“CUKUP DAMAR!! AKU BILANG CUKUP!!” Rengganis kembali berteriak, matanya terus beredar tanpa arah. Mencoba berbicara pada Damar yang tidak nampak batang hidungnya.

“ENDAK MBA.. AKU NDAK BISA MEMBIARKAN ORANG INI TERUS MENERUS MENYEBUT KEPONAKANKU DENGAN SEBUTAN ITU!!” Damar mengeram melalui perantaranya. Cekikannya semakin kuat, membuat Janur Gunung kian megap-megap.

Melihat itu Rengganis terdiam keluh, ia tahu betul apa yang dirasakan Damar, ia tahu betul apa yang membuat adik iparnya itu marah besar. Dan tanpa sadar, hal itu membuat Rengganis terdiam keluh. Sebab ia pun merasakan hal yang sama seperti yang Damar rasakan.

Melihat itu, Anung Benawi pun menghela napasnya berat. Merasa sudah waktunya ia angkat bicara untuk meredam situasi ini.

“Cukup Damar.. cukup. Bukankah kamu selalu menuntut putra mahkota kita agar bisa mengendalikan emosinya? Lalu kenapa kamu sekarang justru seperti ini?” Anung Benawi berkata dengan datar dan beratnya. Mata lelaki paruh baya itu sudah memutih sepenuhnya. Menatap lamat-lamat ke arah Danti Malini.

Dan seketika itu juga, wajah Danti Malini menunduk dalam-dalam, mewakili Damar yang tertunduk entah dari mana. Perasaan Damar langsung berkecamuk hebat, amarahnya perlahan terasa menguap seiring tatapan putih milik Anung Benawi yang sampai kepadanya melalui mata Danti Malini.

“Sekali lagi kudengar ada yang menyebut keponakanku seperti itu, jangan harap aku akan memberikan ampunan lagi..” Ujar Danti Malini mewakili Damar dengan suara mengeram tertahan, setelah itu dengan sangat ringannya, Danti Malini yang sedang dalam kendali Damar melemparkan tubuh Janur Gunung ke arah dinding, ringan saja, seperti melempar gumpalan kertas.

Melihat itu Ghofur Abisatya pun segera mengarahkan tangannya ke arah tubuh Janur Gunung yang melayang menuju dinding. Dan seketika itu juga pusaran angin langsung hadir dan menyangga tubuh Janur Gunung yang hampir menghantam keras. Tertahan di udara.

Lalu oleh Ghofur diturunkan perlahan, dibaringkan di atas lantai, beberapa punggawa pun segera bahu membahu mengerubungi tubuh Janur Gunung yang terbaring kaku di atas lantai.

“Tak usah repot-repot melepaskan totokanku, karena kalian tahu itu akan sia-sia. Biarkan dia merenungi kesalahannya itu. Setelah dua jam efek totokanku akan berhenti dengan sendirinya.” Ujar Danti Malini dengan kengerian yang menguar. Dan tepat setelah kata-kata itu selesai, perlahan Damar melepaskan kendalinya pada tubuh Danti Malini, membuat mata perempuan itu berangsur-angsur kembali normal.

Begitu kesadarannya kembali, Danti Malini langsung terduduk lemas di kursinya. Tubuhnya gemetar hebat.

“Anak muda tak tahu sopan santun! Berani-beraninya dia melakukan ini padaku..” Geram Danti Malini dengan wajah gemas. Sedang melihat situasi yang sudah terlepas dari ketegangan, Anung Benawi dan Rengganis pun kembali terduduk di kursinya. Membuang napas lega.

“Bawa Mas Janur ke ruang perawatan, biarkan dia beristirahat di sana.” Ghofur Abisatya segera memberikan perintah terkait kondisi salah satu dari 7 pilar utama Purantara tersebut. Setelah itu beliau pun kembali duduk di kursinya. Aura ketegangan pun berangsur mereda.

“Mas Ghofur baik-baik saja?” Tanya Rengganis kepada Ghofur Abisatya yang terlihat masih meringis mengusapi dadanya.

“Baik Den Ayu.. hanya kaget saja tadi..” Jawab Ghofur sebisa mungkin berusaha menyudahi rasa sakitnya.

“Damar itu memang kurang ajar, dia selalu berbuat seenaknya.” Maki Danti Malini geram, masih tak terima tubuhnya bisa dengan mudah diambil alih oleh Damar yang entah berada di mana saat ini.

“Atas nama Adikku, aku meminta maaf sebesar-besarnya kepada Mba Malini.. mohon dimaafkan perbuatan Damar barusan..” Rengganis menghaturkan maaf dengan menundukkan wajahnya.

“Eh eh eh.. tidak Den Ayu.. tidak apa-apa.. jangan seperti itu.. saya hanya kaget saja tadi.. tidak apa-apa Den Ayu.. sungguh..” Danti Malini segera kelabakan karena Rengganis selaku pimpinannya justru menurunkan kepala sebab gerutuannya akan Damar.

“Sudah.. masalah Damar kita anggap selesai saja ya. Kita harus maklum akan perasaannya saat ini. Karena bagaimanapun, ia baru kehilangan Mas-nya. Nanti aku yang akan bicara padanya..” Anung Benawi buka suara, mencoba membungkus situasi.

“Terimakasih Mas Anung, terimakasih sekali.” Hatur Rengganis dengan wajah bersungguh-sungguh.

“Tidak perlu berterimakasih Den Ayu.. sudah jadi tanggung jawab kita bersama untuk saling menguatkan. Baiknya kita lanjutkan pembicaraan kita, sebelum malam semakin larut.” Ujar Anung Benawi kepada 4 dari 7 pilar utama yang ada di meja bundar ini. Langsung disambut dengan anggukkan kepala.

Dan dipimpin oleh Rengganis, obrolan mereka pun berlanjut. Mereka berdiskusi ikhwal apa yang akan mereka lakukan setelah ketiadaan Saka hari ini. Membicarakan perihal pengetatan penjagaan di sekitar rumah utama, serta mengambil langkah-langkah guna melindungi apa-apa yang perlu mereka lindungi.

Perdebatan-perdebatan kecil selalu hadir mewarnai, namun selalu pula menemukan kata sepakat sebab ketenangan dari seluruh peserta rapat.

“Lalu bagaimana dengan rencana keikutsertaan Den Regan di acara sekolah, Den Ayu? Jikalau memang dirasa perlu, saya bisa membatalkan acara tersebut supaya Den Regan tidak perlu pergi.” Ujar Ghofur dengan wajah sedikit bingung.

“Bagaimana menurut Mas Anung?” Tanya Rengganis menahan jawabannya atas pertanyaan Ghofur Abisatya, mencoba meminta pendapat dari salah satu orang yang paling ia tuakan di sini.

“Menurutku tidak masalah, selama 'sasah sukma' Den Regan tidak melemah, serta pendampingan dari orang-orang yang tepat, itu bukanlah sesuatu yang buruk menurutku. Toh lokasinya ada di dalam jangkauan penjagaanku, aku akan kirimkan orang-orang terbaik untuk memastikan keamanan Den Regan..” Ujar Anung Benawi dengan yakin, membuat Rengganis tersenyum.

“Selain Mas Ghofur, apa ada orang kita di sekolah yang ikut serta?” Tanya Rengganis masih menahan jawabannya.

“Ada Den Ayu.. Mira.. dia akan ikut sebagai pendamping.” Jawab Ghofur dengan raut sungguh-sungguh.

“Apa kamu tidak keberatan, Mira?” Rengganis bertanya dengan lembut, tatapannya terarah ke seorang perempuan muda yang sedari tadi berdiri merapat ke dinding. Perempuan itu pun maju selangkah, membungkukkan tubuhnya memberi hormat, merasa tersanjung sebab diajak bicara secara langsung oleh pimpinannya.

“Suatu kehormatan bagi saya bisa mengawal putra mahkota, Den Ayu, saya akan melakukan yang terbaik.” Seru Mira penuh semangat, yang oleh Rengganis disambut dengan senyum dan anggukkan.

“Aku mengandalkanmu, Mira..” Ucap Rengganis dengan senyuman tenangnya. Yang tentu saja langsung dibalas dengan untaian demi untaian kata terimakasih dari perempuan yang baru satu minggu ini ditugaskan untuk mengawasi sang putra mahkota kerajaan.

“Baiklah Mas Ghofur.. aku mengizinkan Regan ikut acara ini. Dengan catatan, aku mau keamanan Regan terjamin. Karena meski 'Sasah Sukma' yang ditanamkan Damar sudah diperkuat berkali-kali, bukan berarti Regan bisa lepas dari pelacakan orang-orang yang mengincarnya. Jadi aku mohon dengan sangat, tolong jaga anakku Mas..” Rengganis berkata dengan tatapan dalam ke arah Ghofur Abisatya, yang oleh lelaki paruh baya itu langsung disambut dengan anggukkan kepala penuh kehormatan.

Dan setelah membahas beberapa point lainnya, pertemuan itu pun diakhiri dengan untaian terimakasih dari Rengganis. Mereka saling berjabat tangan dan saling berpelukan, memberikan Rengganis penguatan akan apa yang terjadi pada sang suami.

“Kapan pun Den Ayu butuh teman bercerita, hubungi aku ya..” Ucap Danti Malini ketika selesai memeluk Rengganis.

“Terimakasih ya Mba.. kapan-kapan aku akan mampir ke tempat Mba ya..” Balas Rengganis dengan senyuman mengembang. Setelah itu, bersama-sama mereka pun keluar dari ruangan tersebut, disusul dengan punggawa-punggawa lain yang berjaga di sana.

Terlihat sekali bahwa Rengganis dan Danti Malini sangat akrab, layaknya kakak beradik yang lama tak bertemu. Sedang Ghofur Abisatya sudah menyibukkan diri memberikan pengarahan kepada Mira tentang kelanjutan rencana sekolah mereka Minggu depan. Dan di baris paling belakang, ada Anung Benawi yang berjalan penuh wibawa, pelan namun terlihat tegap dan tegas.

“Temui aku di belakang ruang informasi, ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan Mas Anung..”

Di tengah langkahnya yang santai, Anung benawi mendengar sekelebat suara terngiang di kepalanya. Dan itu membuat bibirnya sedikit menyunggingkan senyum.

“Bersabarlah, orang tua ini tidak bisa berjalan cepat, Damar..” Sahut Anung Benawi tanpa membuka bibirnya, berbicara dengan Damar hanya melalui ruang-ruang pikirannya. Segera melangkahkan kaki menuju lift utama, berpamitan kepada Rengganis bahwa ia hendak mengobrol dengan Pak Wangsa sebelum pulang. Sedikit berbohong, sebab ia tahu, kemungkinan ada hal yang sangat penting yang hendak disampaikan Damar padanya.

Sedang Rengganis hanya memberi anggukan pelan, setelah itu ia mengantar Danti Malini dan Ghofur Abisatya ke lift yang akan langsung membawa mereka ke permukaan. Setelah melepas mereka, Rengganis pun mengarahkan langkahnya menuju ruang perawatan, hendak melihat kondisi Mang Diman yang terluka sebab melalukan lipat jagat terlalu keras.

Dengan anggun dan penuh kewibawaan, dengan beberapa pengawal yang mengekor di belakangnya, Rengganis pun tiba di ruang perawatan. Melempar senyum dan ucapan terimakasih kepada setiap punggawa yang ia temui.

Sebelum melihat Mang Diman, Rengganis sempat mengunjungi Janur Gunung yang terbaring kaku di bangsal lain, menyampaikan permintaan maaf atas apa yang dilakukan Damar kepadanya, yang oleh Janur Gunung hanya direspons dengan lirikan mata, sebab memang ia masih belum bisa berkata-kata.

“Den Ayu.. kebetulan sekali Den Ayu ke sini.. ada yang mau saya laporkan mengenai kondisi Mang Diman..” Seorang punggawa perempuan tua yang hendak keluar dari ruangan tersebut menghadap ke Rengganis, hendak menyampaikan sesuatu.

“Iya Mbo Sirah.. saya memang mau mengecek kondisi Mang Diman..” Ujar Rengganis dengan penuh kelembutan.

“Kalau begitu mari Den Ayu.. ada sesuatu yang hendak saya tunjukkan juga kepada Den Ayu..” Ujar Mbo Sirah sembari membimbing Rengganis menuju bangsal di mana Mang Diman tengah dirawat.

Dan di bangsal tersebut, ada dua orang lain yang tengah bertugas menstabilkan kondisi tubuh sang pemilik lipat jagat tersebut, serentak mereka pun memberikan bungkukkan tubuh ketika melihat Rengganis datang. Segera mengambil jarak dengan ranjang di mana tubuh Mang Diman terbaring.

Rengganis menatap lirih salah satu punggawa terbaiknya tersebut, orang yang olehnya sudah dianggap sebagai saudara sendiri. Lelaki yang biasanya selalu ceria dan penuh canda, kini terbaring lemah tak berdaya, dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuh.

“Bagaimana perkembangannya Mbo?” Tanya Rengganis setelah berhasil menguasai diri.

“Luka dan pendarahan dalam Mang Diman cukup parah, setelah kondisi beliau stabil, kami akan langsung naik ke meja operasi Den Ayu..” Jawab Mbo Sirah dengan raut cemas. Sedang Rengganis hanya menganggukkan kepala pelan.

“Apa itu saja yang hendak Mbo Sirah tunjukkan?” Tanya sang pemuncak kuasa tersebut. Mbo Sirah menggeleng pelan, kemudian ia segera mendekat ke arah tubuh Mang Diman yang kini adalah pasien khususnya.

Oleh Mbo Sirah dipegangnya pelan pergelangan tangan Mang Diman, kemudian diangkat sedikit ke atas, seraya membuka telapak tangan lelaki yang sedang tak berdaya tersebut.

Dan kontan saja, Rengganis bisa melihat apa yang hendak ditunjukkan oleh Mbo Sirah kepadanya. Tak lain adalah bagian dalam telapak tangan Mang Diman, terdapat sebuah pola lingkaran berwarna hitam pekat, dengan kelir putih di bagian tengahnya menyayat ke tiga sisi. Seperti tiga mata pisau yang dijadikan satu.


776px-Hidari_mitsudomoe.svg.png




Rengganis mengerutkan dahi, segera saja ia mendekat pada Mbo Sirah, dan langsung memegang telapak tangan Mang Diman sembari memperhatikan lingkaran hitam berpola tersebut.

Asing.. itu saja yang ada di kepalanya saat ini.

“Aku tidak pernah melihat pola seperti ini sebelumnya Mbo..” Gumam Rengganis bingung sendiri.

“Saya juga Den Ayu.. maka dari itu saya memberitahu Den Ayu..” Ujar Mbo Sirah menimpali.

“Tapi yang jelas ini bukan pola alami Den Ayu..” Sambung Mbo Sirah lagi, membuat Rengganis mengangkat wajahnya dengan cepat.

“Pola ini baru muncul ketika Saya dan yang lain mulai memasangkan alat-alat medis ke tubuh Mang Diman, lalu coba Den Ayu lihat di sini, bagian luar lingkarannya berbekas kasar..” Ucap Mbo Sirah dengan telunjuk mengitari sisi luar pola lingkaran ditangan pasiennya.

Rengganis mengkerutkan dahi, setuju dengan perkataan Mbo Sirah barusan.

“Berarti ini pola luar Mbo.. ini pola yang dibuat dari luar, bukan alami muncul dari dalam.” Gumam Rengganis memperhatikan lamat-lamat.

“Benar Den Ayu.. dan pola ini juga masih terasa pekat sekali, menandakan ini belum lama dibuat, mungkin baru beberapa jam diukir di sana.” Jawab Mbo Sirah.

Rengganis mengangguk, segera ia singsingkan lengan bagian bawah kebayanya, membuka lebar telapak tangannya. Berkonsentrasi sejenak. Perlahan telapak tangan Rengganis pun diselimuti pancaran energi halus berbentuk kabut putih pucat, menyelimuti bak sarung tangan samar-samar.

Lalu oleh Rengganis, ditempelkannya telapak tangan Mang Diman yang berpola tersebut ke telapak tangannya, menggenggam, posisinya bukan seperti orang yang tengah berjabat tangan, melainkan seperti seorang yang tengah menguatkan.

Rengganis memejamkan mata, digerak-gerakkannya lembut bagian bawah telapak tangannya, menggesek ke kanan dan ke kiri dengan pelan, merasakan pancaran energi yang mulai keluar dari pola hitam tersebut. Sepuluh detik lebih ia meresapi pancaran energi yang kelauar itu, mencoba menelaah, mencoba membaca, mencoba mengartikan, mencoba mencari jawaban.

“Ini sebuah segel pelindung Mbo..” Ujar Rengganis sembari membuka matanya, menarik tangannya dari telapak tangan Mang Diman yang sedikit mengeluarkan asap samar.

“Segel pelindung?” Tanya Mbo Sirah kebingungan.

“Ya.. ada seseorang yang menanamkan sesuatu ke dalam tubuh Mang Diman, dan kemungkinan segel ini hadir untuk melindungi sesuatu itu.” Ucap Rengganis sembari menegakkan tubuh, meletakkan kembali tangan Mang Diman. Mengernyitkan dahi kuat.

“Lalu apa yang harus saya lakukan Den Ayu?” Tanya Mbo Sirah.

“Segel ini tidak bersifat destruktif Mbo. Jadi untuk saat ini tetap fokuskan pada penyembuhan Mang Diman. Dan tolong beritahu divisi informasi tentang hal ini..” Rengganis berkata sembari membenarkan lengan bagian bawah kebayanya. Mbo Sirah menganggukkan kepala dan segera meminta salah satu dari kedua rekannya untuk bergegas melaksanakan perintah sang junjungan.

“Hhmm.. maaf Den Ayu.. bukannya saya lancang, atau berniat menguak duka. Kalau boleh saya bertanya, apa pola ini ada kaitannya dengan Mang Diman yang sempat menerima tambahan tenaga dari Den Saka?” Mbo Sirah dengan wajah hati-hati bertanya kepada Rengganis, membuat sedikit nyeri di hati Rengganis datang.

“Tidak apa-apa Mbo, aku.. dan kita semua merasakan hal yang sama kok. Dan mengenai pertanyaan Mbo Sirah, aku juga belum tahu apakah ini ada hubungannya dengan Mas Saka atau tidak. Tapi yang jelas, ketika aku menelaah pola itu, aku sama sekali tidak merasakan pancaran energi yang selaras dan identik dengan energi Mas Saka di sana, pola itu bersih dari darah Gana Taraksa sepertinya Mbo..” Jawab Rengganis terlihat tenang, seolah tak ada beban berarti di hatinya, mencoba bersikap seprofesional mungkin.

“Baik Den Ayu, terimakasih jawabannya. Dan sekali lagi, saya ikut berduka atas apa yang menimpa Den Saka hari ini. Den Saka orang baik, pasti juga akan mendapatkan tempat terbaik.” Ucap Mbo Sirah kepada Rengganis dengan begitu tulus, yang oleh Rengganis dibalas pelukan, serta untaian senyum berbalut kata-kata terimakasih.

“Aku juga berterimakasih, atas semua yang sudah Mbo Sirah berikan pada keluarga ini.” Tutur Rengganis setelah pelukan mereka terlepas.

“Itu semua sudah menjadi tugas dan tanggung jawab saya Den Ayu, dan hanya ini saja yang bisa saya lakukan untuk keluarga besar ini.” Jawab Mbo Sirah merasa begitu dihargai tiap kali berbicara dengan Rengganis, maupun dengan pimpinan Purantara lainnya.

“Kalau begitu saya kembali ke ruangan saya dulu ya, Mbo Sirah jangan lupa istirahat..” Tukas Rengganis seraya menggenggam telapak tangan sang abdi yang telah lama mengabdi pada Purantara tersebut, posisi Mbo Sirah sebenarnya cukup krusial, beliau adalah kepala divisi medis dari bangunan besar nan megah bernama Purantara tersebut. Sudah mengabdi sedari Rengganis belum didapuk sebagai pimpinan utama. Dan bersumpah, untuk selalu memberikan seluruh kemampuan terbaiknya untuk keluarga besar daerah penopang Barat pulau utama tersebut.
.
.
.
Sementara itu di lantai lain..

rio-dewanto_20181005_110644.jpg

Saka Raksa Aliendra

“Kamu yakin dengan kata-katamu?” Tanya Anung Benawi kepada sesosok lelaki beraura kuat yang berdiri dengan punggung bersandar dinding. Lelaki tersebut adalah Damar, dan dua dari tujuh pilar utama Purantara itu tengah terlibat obrolan serius di sudut belakang ruang informasi.

Damar mengangkat wajahnya yang muram dan suram dipenuhi mendung itu, mengangguk pelan sembari mengeluarkan asap rokok bentoel birunya dari hidung. Menatap kosong ke arah depan.

“Aku dan Masku itu sudah saling baku hantam dari kecil Mas.. dan aku sangat yakin dengan perkiraanku ini.” Jawab Damar dengan nada datar.

“Baiklah kalau memang begitu, aku akan coba bantu..” Ucap Anung Benawi tenang, setelah itu langsung menghisap rokok gudang garam merah kecintaanya. Damar hanya mengangguk pelan, kembali menghisap bentoel birunya dalam-dalam.

“Kalau begitu jangan sampai Den Ayu tahu mengenai hal ini, setidaknya sampai kita menemui titik terang. Karena kalau perkiraanmu meleset, itu akan..”

“Aku tahu..” Damar memotong ucapan Anung Benawi yang bahkan belum sampai di akhir kalimat. Membuat lelaki tua itu tersenyum kecil, tak berniat mempermasalahkan.

“Kamu harus tetap terlihat tenang Damar, bagaimana pun kamu itu juru tunduk utama Putra Mahkota. Jangan perlihatkan ketidakstabilan emosimu itu di depan orang-orang.” Ujar Anung Benawi sembari memperhatikan sekitar.

“Ya.. aku hanya emosi saja tadi.” Sahut Damar.

“Ya aku mengerti, tapi tetap saja.. aku tidak suka melihatmu berbuat serampangan seperti tadi.” Tukas Anung Benawi dengan tenang.

“Ya.. aku minta maaf atas perbuatanku tadi..” Tutur Damar tanpa menatap mata lawan bicaranya.

“Jangan meminta maaf kepadaku, tapi minta maaflah pada..” Sahut Anung Benawi tersenyum.

“Jangan harap.” Potong Damar lagi, tahu kemana kiranya akhiran kalimat sang lawan bicara akan berlabuh. Anung Benawi semakin tersenyum lebar, ia dengan tenang membuang asap tembakau rokoknya.

“Yasudah.. sekarang lebih baik kau temui Den Ayu, karena bagaimanapun, bukan hanya kamu yang terpukul.” Ujar Anung Benawi dengan tenang, seraya berbalik badan, meninggalkan Damar di sudut belakang ruangan tersebut.

“Oh iya..” Ucap Anung Benawi sambil menghentikan langkahnya, terlupa akan sesuatu. Membuat Damar bsrpaling wajah menghadapnya.

“Untuk berjaga-jaga, sebaiknya kau perkuat segel penahanmu pada Regan, sekaligus perkuat juga Sasah Sukmamu. Jangan ambil risiko dengan menunggu kedua penahan penting itu melemah..” Ujar Anung Benawi sembari melanjutkan langkah kakinya. Menjauh dari Damar yang masih berdiri di sana, menikmati sisa-sisa puntungan rokoknya.

Kepala lelaki matang itu benar-benar penuh, berkelumit pemikiran mengacau di perpustakaan otaknya malam ini. Membuatnya resah dan dirundung kekalutan bukan main.

Kesedihan yang menguar dari dalam hati, pemikiran yang penuh, dan kegeraman yang membuncah, benar-benar membuat Damar merasa berada di ambang ketahanan jiwanya saat ini.

Ia hembuskan asap terakhir bentoel birunya tinggi-tinggi, kemudian meremas puntungan rokok yang masih menyala di telapak tangannya, sampai padam. Kemudian memasukan kedua telapak tangannya ke dalam saku jaket yang ia kenakan, mulai berjalan meninggalkan lokasi perbincangan.

Ketika ia melewati bagian luar ruang informasi, ia berpapasan dengan seorang punggawa perempuan yang bertugas di bagian medis, saling melemparkan salam hormat lewat anggukkan, dan terus berjalan menuju lift utama, masuk ke sana, dan turun ke lantai terbawah, lantai dimana ruangan Rengganis berada. Ada beberapa hal penting yang hendak ia bicarakan dengan kakak iparnya tersebut, utamanya mengenai sang putra mahkota, yang memang belum diberitahu tentang berira duka yang menimpa Ayahnya.

Setibanya di lantai paling bawah bangunan besar tersebut, Damar pun langsung mengarahkan langkahnya menuju ke salah satu ruangan termegah bangunan tersebut, ruangan yang menjadi tempat tinggal kedua bagi sang penguasa tertinggi Purantara.

Ia pun berdiri sejenak di depan ruangan yang pintunya berkelir kayu jati mengkilap itu, tertegun sejenak, mencoba menguatkan hatinya sendiri. Dan setelah menghela napasnya dalam-dalam, Damar pun mengetuk pelan pintu ruangan tersebut.

“Ini aku Mba, Damar..” Seru Damar dengan nada dibuat selembut mungkin kepada sang pemilik ruangan.

Sahutan pun langsung terdengar dari dalam sana, yang meminta Damar untuk menunggu sejenak. Dan setelah beberapa saat, terdengar bunyi kuncian pintu yang terbuka.

Clekk..

Dan dengan pelan, daun pintu pun tertarik, lalu sesosok perempuan dengan wajah pucat muncul dari balik daun pintu jati tersebut, perempuan itu tak lain adalah Rengganis, sang pemuncak kuasa di tanah Purantara yang maha mendung malam ini.

Perempuan itu berdiri dengan tubuh lemah, wajah pucatnya dihiasi kelopak mata yang memerah basah, tatapannya kosong, napasnya sesekali terlihat tersengal meredam tangisan. Rengganis muncul masih dengan kebaya hitam yang menemaninya di pertemuan tadi.

Mereka saling berpandangan sejenak, dan untuk Damar, selain ia terpesona dengan keanggunan dan kecantikan yang dimiliki Kakak iparnya tersebut, ia juga tergugu sebab mendapati keadaan istri dari Mas-nya itu terlihat muram dan dipenuhi aura kesedihan.

Damar mengutuk sendiri dirinya di dalam hati, menyesali perbuatannya yang sempat membiarkan sang kakak ipar menangis dalam kesedihan seorang diri. Ia merasa terlalu egois karena berpikir hanya ia lah yang pantas menampilkan raut pedih kehilangan. Tanpa peduli, bahwa ternyata bukan hanya dia yang merasakan ngilu di lubuk hati.

BUGGHHH..

Rengganis langsung menunbruk tubuh Damar dan memeluk sang adik ipar seerat-eratnya, mulai menangis di dada Damar dengan penuh pedih kehilangan. Damar pun perlahan membalas pelukan Rengganis, dielusnya rambut di bagian punggung perempuan tersebut, direngkuhnya dalam-dalam penuh simpati dan rasa seduka sepenanggungan.

“Hiks..” Tangis Rengganis pun tumpah ruah di dada dingin milik Damar.

“Maaf Mba..” Ujar Damar semakin mempererat pelukannya.

“Kenapa Damar.. kenapa Mas Saka tega sama aku? Hikks..” Tangis Rengganis begitu sesak terdengar.

“Sudah Mba.. sudah.. maafin aku.. aku harusnya ndak ninggalin Mba bersedih sendiri kaya gini.. maafin aku Mba..” Tukas Damar penuh ketulusan, seraya terus merengkuh erat-erat Rengganis dalam pelukannya, mencoba berbagi sebanyak mungkin duka.

“Mas Saka, Damar.. Mas Saka.. hiks..” Di dada Damar, wajah Rengganis semakin tenggelam dalam, semakin tersesak tangisnya, semakin dipererat peluknya.
.
.
.
POV REGAN

“Hooooaammsss..” Aku menguap lebar dengan tubuh berbaring di atas sofa, dan leher yang sedikit pegal. Gila kali, dari sebelum gelap sampe gelapnya bener-bener gelap ini aku udah nyelesain dua film, dan sekarang lagi menikmati film ketiga! Mantep banget.. marathon cooyyy..

Wajar aja mataku sampe beler dan punggungku rentek semua. Tapi ya mendingan gini lah, dari pada aku stress sendiri di kamar. Mau main, enggak dibolehin sama Teh Arum soalnya, katanya dia takut kalau ditinggal sendiri. Mau main ke kamar Teh Arum juga enggak berani, takut khilaf.. hehehe..

Tapi emang aku juga lagi enggak niat kemana-mana sih sebenernya, karena enggak tahu kenapa, dari sore perasaanku kaya enggak enak gitu, kaya ada yang ngeganjel aja pokoknya. Aku juga bingung sih apa tepatnya. Pokoknya kalut aja. Nyebelin enggak? Kalut tapi kita sendiri enggak tahu kita kalut karena apa. Huhh.. pokoknya enggak enak hati aja gitu rasanya.

Apalagi, aku sedang menelan sedikit pil kekecewaan, seyan tadinya sempat mengira Ayah sama Ibu bakal pulang hari ini, tapi ternyata enggak. Kata Teh Arum sih masih ada beberapa urusan yang harus diurus Ayah di sana.

Ya.. jujur aku sih sedikit kecewa, mungkin itu juga yang bikin aku uring-uringan kali ya? Hhmm mungkin kali, enggak tahu juga sih. Uring-uringan aja pokoknya.

Tapi mengenai Ayah sama Ibu yang enggak jadi balik, ya aku coba nerima aja dengan lapang dada. Karena mungkin sehabis nganter Mang Diman nengok keluarganya, Ayah dapet panggilan tugas di daerah bencana. Karena memang Ayahku kan pegawai kementerian pertahanan, jadi mungkin dia dibutuhin di sana. Ya tapikan harusnya ngajak aku gitu, biar aku bisa bantu-bantu, atau enggak Ayah kerja, aku yang ajak Ibu jalan-jalan di sana hehehe.

Oh iya, untuk mengusir rasa enggak enak hatiku, aku mutusin buat maraton The Dark Knight Trilogi. Ituloh trilogi film Batman yang disutradarai sama salah satu sutradara favoritku, Christoper Nolan. Dibuka sama Batman Begins selaku film pertama, terus aku lanjut ke The Dark Knight setelahnya, dan sekarang aku lagi nonton penutup Triloginya, The Dark Knight Rises.

Aku sebenarnya udah pernah nonton ketiga-tiganya, Cuma ya lagi pengen nonton lagi aja. Tadinya sih Cuma mau nonton yang film keduanya, pengen ngeliat lagi akting brilian mendiang Heath Ledger sebagai Joker, Cuma karena aku pikir nanggung dan biar dapet feelnya, jadi aku putusin nonton ketiganya aja, biar afdol hehehe.

“Belum abis-abis juga, Nggan?” Di tengah keasikanku menyaksikan bagian akhir film ini, dimana adegan baku hantam antar kubu Batman dengan kubu-nya Si Bane, Teh Arum datang dan langsung duduk di pegangan sofa yang tengah jadi sandaran kakiku.

“Dikit lagi nih Teh..” Jawabku kembali memperhatikan layar televisi. Uuhhh.. mantap coy, Bane yang diperanin Tom Hardi keren banget. Batman aja kewalahan loh. Bajingan..

“Yaudah.. abis nontonnya kelar, makan ya, aku udah panasin lauk-nya..” Ujar Teh Arum seraya memberikan usapan lembut di betisku, membuatku bergidik sendiri ketika lembut telapak tangannya membelai bulu-bulu kakiku yang agak ikal itu.

Teh Arum pun langsung bangkit seraya berjalan ke arah kamarnya. Sempat kutersirap ketika melihat lenggokkannya yang.. beuuhh.. mahaindah Teh Arum dengan segala keseksiannya awokawok.

“Matamu itu makin kurang ajar ya lana-lama-lama, Nggan..” Sebuah suara dengan tone berat lantang memecah ruang tengah rumahku. Membuat tubuhku langsung menegang dan pori-pori di kulit selangkanganku langsung berkeringet dingin.

Astaga anjim.. Ini kan suara demit menyeramkan yang paling aku takutin? Sialan.. sialan.. masa iya sih ada demit di rumahku ini?

Glekk..

kutelan ludahku dengan berat dan begitu terpaksa penuh rasa tercekat. Lada dengan hati-hati, kutengadahkan kepalaku ke arah datangnya suara, yang tak lain berasal dari arah pintu. Dari belakang posisi berbaringku.q

TUKK..

“AWW!! Sakit Om..” Protesku ketika baru saja kepalaku tertengadah, sebuah jitakan menggunakan ujung jari telunjuk langsung bersarang di keningku. Sedang orang yang kuprotes hanya tersenyum kecil sembari berjalan mengitari Sofa tempatku merebahkan diri santai ini.

Coy coy coy coy.. ini ngapain Om Damar ada di sini Coy? Ngapain?? Mau apa dan ada perlu apa demit ini ke sini?!!

“Ini kaki masih dipake ndak? Apa mau aku patahin sekalian?” Tanyanya santai ketika sudah berada di depan sofaku. Dan hal tersebut langsung membuatku reflek menurunkan kaki ke lantai, bangkit dari rebahku dan langsung duduk.

“Ahhh..” Ujar Om Damar seraya duduk dan menyandarkan tubuhnya di sofa yang sama denganku, tangannya ia rentangkan dan merangkul bagian atas sofa, kedua kakinya dinaikkan ke atas meja.

Lelah banget kayanya malaikat pencabut nyawa ini? Habis kuli dimana coba?

Aku mengatur napasku baik-baik, masih belum berkata-kata, bingung dengan kehadiran sang malaikat pencabut nyawa yang tiba-tiba dateng gitu aja tanpa permisi-permisi lagi.

Saking ngerinya aku sama Om Damar, membuat posisi dudukku semakin ke bagian kiri sofa (sofa yang aku duduki sama Om Damar ini sofa panjang gitu, dia di ujung kanan, aku di ujung kiri). Kupandangi Om Damar lamat-lamat, wajahnya sih terlihat lelah tapi agak santai. cuman hawanya itu tetep sama, gelap dan suram kaya jalan percintaannya.

“Opo? Ndak seneng aku mampir malem-malem?” Tanya Om Damar yang tiba-tiba sudah memutar wajahnya ke arahku. Membuat aku langsung terkesiap.

“Eh enggak Om.. enggak.. Nggan Cuma kaget doang.. iya.. Cuma kaget doang.. suerr..” Jawabku gelagapan.

“Oh.. kirain kamu ndak seneng aku mampir, kalo emang gitu ya ndak apa-apa, kamu pergi aja sana, main kemana juga terserah.” Ujar Om Damar datar dan santai.

Si barakokok balakucang.. itu kata-katanya enggak salah apa? Enggak kebalik gitu? kok malah aku yang disuruh pergi? Lah ini kan rumahku, dia yang jadi tamu, kenapa malah aku yang disuruh pergi.

“I.. iya Om.. Nggan ke.. ka.. kamar dulu kalo gitu..” Ucapku terbata-bata dan hendak bangkit dari dudukku, serem sendiri kalau ngadepin Om Damar sendirian soalnya.

“Ealah Cuk.. jadi keponakan kok ndak ada sopan santunnya loh kamu itu. Aku ini tamu loh, masa tamu mau ditinggal sendirian. Ndak ada akhlak banget kamu itu Nggan.. Nggan..”

Duhhh.. salah lagi.. duduk lagi deh kalo gitu. Anyeb.. anyeb.. tau Om Damar mao mampir gini, harusnya tadi aku enggak usah lanjut nonton The Dark Knight Rises, langsung ngamar aja abis film kedua. Kalo udah gini kan runyam ini, runyam banget pasti.

“Kenapa? Ndak seneng?” Tanya Om Damar lagi ketika melihat aku kikuk sendiri.

“Eh enggak Om.. seneng kok, seneng banget malahan..” Jawabku sedikit jujur, banyak bohongnya.

“Nah gitu dong.. wes.. ganti filmnya, aku mau main PES..” Perintah Om Damar tanpa peduli ini film masih aku tonton apa enggak, dia dengan santainya melampirkan jaket di sandaran sofa, dan menyulut rokok bentoel birunya.

Sedang aku tergopoh bangkit dari dudukku, mematikan film ketiga batman yang belum selesai aku tonton dan menggantinya dengan PlayStation yang dipesankan Om Damar, agar dia bisa main game bola PES (Pro Evolution Soccer) kegemarannya, (dan kegemaranku juga sih). Kucabut beberapa kabel dari DVD, lalu kucolokkan ke PS3-ku dengan sedikit teburu, lalu kunyalakan gadget keluaran Sony yang diperuntukkan untuk bermain game tersebut.

Kupasang satu kabel stick, kemudian kupanjangkan hingga sampai ke Om Damar, kuserahkan stick tersebut kepadanya.

“kamu nyuruh aku main lawan komputer? Hah?” Tanya Om Damar dingin sembari menerima stick yang kuberikan, tatapannya tajam dan sorotnya menyeramkan, tak ada senyum sedikit pun diujung bibirnya, membuatku langsung tergopoh memasang satu stick lagi di PlayStation tersebut.

Sialan.. kalo gini berarti aku harus nemenin Om Damar ini.. bajingan.. gimana ini cooyyy..

Setelah selesai memasang stick kedua, aku pun menarik stick tersebut dan duduk agak berjarak dengan Om Damar, ia melirikku dengan tajam, kemudian menyodorkan sticknya kepadaku.

“Aku stick dua!” Ujarnya dengan tatapan menyudutkan. Aku pun segera mengangguk, dan menyerahkan stick dua yang kupegang kepadanya. Sedang stick satu miliknya segera aku terima.

Setelah itu aku segera masuk ke game PES, otak-atik sebentar, kemudian dengan sedikit hati-hati kulirik Om Damar.

“Maen biasa apa Cup Om?” Tanyaku kubuat sehalus mungkin.

“Biasa aja..” Jawab Om Damar sembari menikmati rokoknya. Maksudku bertanya seperti tadi tak lain ingin memastikan saja, kira-kira mao maen single match apa versi Cup gitu. Dan untungnya Om Damar milih single match, yang berarti Cuma sekali maen. Huhh.. semoga beneran sekali maen deh..

Aku dan Om Damar pun memilih team masing-masing, dan bocoran aja nih, baik aku dan Om Damar, kami sama-sama pecinta liga Inggris. Bedanya, aku dukung Chelsea, kalo Om Damar pencinta Liverpool harga mati.

Kebayang enggak Chelsea ketemu Liverpool kaya gimana? Aseeemm banget.. karena Om Damar ini barisan patah hati gitu, dia benci banget sama Chelsea, karena katanya Chelsea itu pencuri pemain-pemain Liverpool. Patah hati terbesar Om-ku ya.. tahulah kalian pasti.. Si El-Nino yang nyebrang ke Chelsea beberapa tahun lalu, itu pemain favoritnya Om Damar, tadinya hehehe.

Ditambah Si Preman mohak, Raul Meireles, yang ikut nyusul ke Stamford-Bridge, makin membara dendam Om-ku itu ke tim favoritku. Meski Meireles sendiri udah enggak di Chelsea sekarang. Tapi ya gimana, Omku itu kayanya dendam bener sama Chelsea wkwkwk

Padahal kan, tim dia juga beliin alumni-alumni Chelsea ya? Lah itu Glen Johnson, terus Sturridge juga, belom lagi rumor peminjaman Moses yang lagi anget-angetnya. Tapi aku enggak pernah ungkit-ungkit. Karena yaudah gitu, namanya mantan kan ya? Atau mah aku rasa Om Damar sirik aja sama Chelsea gara-gara masih sering angkat piala, dari Premier league, FA Cup, sama Liga Champions waktu itu. Sedang kan Liverpool? Muehehehe piiisssss..

“Nih.. anggep aja sebagai upah nemenin aku main PES..” Om Damar menyodorkan dua bungkus filter kepadaku dengan mata yang tetap diarahkan ke layar tv, dan tentu saja hal tersebut langsung membuatku tersenyum lebar. Tahu aja kalau rokokku udah abis, dan dari tadi belum bisa beli ckckck.

Oke Om kalau gitu, let's the party begin hahaha

Kuatur sebaik mungkin formasiku, karena performa pemainku ini banyak yang turun ini, kampret emang. Membuatku harus cerdik-cerdik atur formasi. kupilah dan kupilih sebaik mungkin, kuturunkan pemain-pemain yang performanya lagi naik. Dan kusimpan yang performanya lagi turun.

Aku menggunakan formasi 4-2-3-1, dengan Petr Cech di bawah mistar gawang, disusul duet bek tengah yang kupercayakan pada Sang Captain, John Terry dan Cahill. Untuk bek kanan tentu saja harga mati di tangan Ivanovic, sedang di kiri kupercayakan pada si anak muda potensial, Azpilicueta (Ashley Cole turun coy staminanya, kampret, berasa Mourinho beneran aku nyadangin Babang Cole).

Untuk gelandang bertahan kupercayakan pada David Luiz, si garong yang aslinya bek. Soalnya Mikel lagi down peformanya. Mendampingi Luiz aku tempatkan another living legend club, my super Lamps, Frank Lampard, yang kubuat agak bermain ke dalam (memang sekarang juga selalu dibikin maen ke dalam sama Mou). Opsional Ramires, namun kusimpan dulu buat nanti.

Lalu tiga gelandang serang masing-masing diisi oleh Hazard di sayap kiri. Kevin De Bruyne Si anak muda yang sering dipinjemin dan akhirnya balik lagi di sayap kanan. Lalu Juan Mata di belakang striker, Mata ini pemain favoritku, tapi sayang sejak Opah Mou balik doi jarang banget dimainin. Semoga aja enggak terjadi hal yang menyeramkan kedepannya, apalagi kalau sampai Mata hengkang, terus pindah ke MU atau Man City, hhhiihh.. amit-amit..

Oh iya, di bench aku nyimpen nama Oscar, Schurrle (Si anak baru) dan Willian, yang kuproyeksiin buat back-up kalau ada yang cidera nanti. Hehehe.. aku benar-benar penasaran sama De Bruyne soalnya, gacor banget pas maren dipinjemin, semoga aja oppa mou mau manfaatin pemain ini biar bisa jadi masa depan Chelsea nanti. Biar bisa kaya Jo Cole dulu, atau enggak biar nerusin legacy-nya Anelka awokawok


Dan untuk posisi striker utama, tidak lain tidak bukan, sang raja yang sempat kehilangan taringnya, Fernando Torres!!! Woooooohhhooooo...

Biar.. biar panas Om Damar wkwkwk.

Padahal ada Demba Ba loh di bench, lagi on-fire juga, tapi biarin. Aku mau manas-manasin Om Damar soalnya. Uhhh.. sayang sekali di game-ku ini Eto'o belum masuk ke Chelsea, coba aja udah, pasti lengkap banget ini, asli deh hahaha.

“Formasi kacangan aja lama banget.. hah..” Ketus Om Damar seraya bangkit dari duduknya, berjalan meninggalkanku ke arah belakang, kayanya mau ngambil minum mungkin. Biarinlah, aku emang bukan tuan rumah yang baik, sampe tamuku sendiri harus ngambil minum mandiri hehehe.

Setelah mengatur berbagai aspek tambahan, macem marking, set-pierce, algojo pinalty, kecenderungan serangan, dll. Aku pun menyudahi atur-atur formasiku. Puas sendiri. Lalu kulirik formasi Om Damar, yang.. sialan.. kok nyeremin ya?

Formasinya identik loh ini, 4-2-3-1, dengan Kiper Mignolet. Lalu Sakho, Skrtel, Glen Johnson, dan Flanagan ngegalang pertahanan (on fire semua). Gelandangnya ada Lucas Leiva, Gerard, Henderson, Allen, sama Si bocah ajaib Sterling. Dan tentu saja, yang paling serem bin menakutkan, si raja gigit yang kaya guguk, Luiz Suarez sebagai ujung tombak utama.

Sialan.. kok berdebar-debar ya hatiku ngeliat formasi Om Damar?

Bakal tajeman mana ya kira-kira di game ini, Torresku, atau Si Vampir Suarez ya? Huhh.. tenang.. tenang.. tenang..

Untuk menunggu tenangku hadir, kubuka satu dari dua bungkus hadiah filter yang dibelikan Om Damar, menyulutnya sebatang untuk menghilangkan gelisahku. Mencoba menenangkan diriku sendiri.

Dan pikiranku tiba-tiba mengawang-awang lagi, entah kenapa aku ngerasa kangen banget sama Ayah, sama Ibu juga, sama Mang Diman juga, kayanya udah lama banget mereka pergi. Ninggalin aku sendirian nemenin Teh Arum di sini. Huufftt.. apalagi Ayah, padahal sebelum pergi ke Lemah Kidul, Ayah kan abis nugas, ketemu juga Cuma pas jemput di bandara, sampe rumah ayah langsung istirahat.

Eh udah langsung pergi dan belom balik-balik ampe sekarang. Bener-bener bentaran banget kemaren Ayah di rumah itu. Padahal.. ya.. hhmm.. walaupun aku enggak pernah bilang langsung, aku sebenarnya tuh ngarep Ayah supaya sering-sering di rumah. Jangan sering-sering pergi nugas gitu.

Apasih.. kok aku melow gini ya? Padahal kalo Ayah di rumah juga aku jarang ngobrol. Cuma diem-dieman aja. Ngobrol juga seperlunya. Ya.. kaya kebanyakan anak lelaki sama Ayahnya lah, canggung. Mungkin karena ego laki-laki kali ya. Walaupun gitu, aku tahu kalau Ayah sayang banget sama aku, Cuma enggak pernah disampein aja, gengsi kali. Hahaha..

Dan aku juga sama, walaupun enggak pernah bilang secara lisan, aku juga sebenarnya sayang banget sama Ayah, bangga banget punya Ayah keren kaya Ayah. Dan nanti, setelah aku dewasa nanti, aku janji, aku bakal jadi lelaki yang kaya Ayah, lelaki yang nyeremin dan disegani orang-orang, tapi dicintai keluarganya. Apalagi Ayah selalu lembut sama Ibu, bikin aku makin segan deh sama Ayah pokoknya hehehe.

“Kenapa senyam-senyum? Abis ngotak-ngatik formasiku ya?” Tiba-tiba Om Damar sudah datang lagi, masing-masing tangannya menggenggam botol. Tangan kanan botol topi miring, sedang tangan kirinya botol mansion gepeng, Dengan jemari mengapit gelas kecil. Dan seketika saja mataku mendelik, itu dapet dari mana coba? Masa iya itu stock minumanku yang dikolong ranjang? Kalo iya.. enak banget main ambil-ambil aja..

“Awas aja kalau formasiku acak-acakan, aku hantem kepalamu pake topi miring..” Tukas Om Damar seraya meletakkan dua botol di meja, menjepit rokok dengan bibirnya, dan segera mengecek formasi yang sudah ia buat.

“Om beli ini dimana?” Tanyaku basa-basi, mencoba memancing Om Damar, dan mengkonfirmasi, apa benar ini minumanku atau bukan.

“Ndak beli.. aku ambil dari kamar kamu. Ndak apa-apa to?” Jawab Om Damar sembari menoleh kepadaku disela-sela kesibukannya mengecek ulang formasi.

“Oh.. ya enggak apa-apa lah pastinya om.. hehehehe..” Ujarku penuh keterpaksaan, karena gila aja kalau aku bilang selain yang aku bilang barusan, mau dipatahin lagi idungku sama Om Damar? Hihhh..

Masalah minuman mah gampang lah, nanti bisa aku beli lagi, atau enggak pas Ayah pulang aku bisa minta lagi hehehe.

“Wes.. mulai yo..” Ujar Om Damar memberi komando, sudah selesai dengan kecurigaannya dia. Oke kalau gitu. Kita mulai pertarungan ini.

Sembari menunggu loading, Om Damar kulihat membuka kedua tutup botol dari masing-masing minuman yang ia bajak dari kamarku, kemudian menuang topi miring terlebih dahulu ke dalam gelas, diteguknya langsung, dan diisi lagi, lalu disodorkan kepadaku.

“Kalau kamu berhasil ngalahin aku, ini minuman aku gantiin 3 kali lipat..” Ujar Om Damar sambil memegang sticknya. Aku tersenyum, kuteguk sodoran gelas dari Om nyereminku itu, kubasahi lagi tenggorokanku yang siang tadi sudah dibasahi anggur merah.

Dan enggak kaya anggur merah, topi miring ini emang rasanya lebih strong gitu, lebih ngebakar dan enggak ada manis-manisnya pisan. Kuteguk habis, kemudian ku isi kembali gelas tersebut, lalu kubiarkan saja di sana, mulai memegang stick ps-ku. Udah siap kick-off ini.

“Tapi kalau aku yang menang, kamu harus beliin aku bentoel biru lima bungkus. Titik.”

Cuukkkk.. buset dah.. berat amat hukumannya? Dikira nyari bentoel biru gampang banget kali ya? Langka woyy!!!

Prrriiiiiitttt..

Bunyi Pluit pertandingan ditiup, aku enggak punya waktu buat menggerutu perihal taruhan yang ditetapkan Om Damar, soalnya dia langsung bagi bola dan mulai menyerang tanpa aba-aba.

Sialan, khas banget gaya main Om-ku, main lewat sayap dan ngandelin crossing dia ini. Bajilak..

Sterling langsung nyosor tepi kanan pertahananku, membuat Ivanovic rada kewalahan ngejarnya. Untung Luiz segera bantu, dan ngintersep passing datar yang hendak diarahin ke Henderson. Aku pun langsung membuat Luiz melakukan umpan lambung ke depan, di sana berdiri Juan Mata yang siap menerima bola, sayangnya dia dimarking sama Skrtel, yang bikin bola balik ke kubu Om Damar.

Jual beli serangan terus berlangsung sengit, dan entah kenapa aku merasa sedikit tertekan oleh gaya bermain Om Damar yang selalu memanfaatkan kelincahan sayap-sayapnya. Kiperku aja sampe jumpalitan ini, belom lagi Terry sama Cahill yang benar-benar harus kerja keras. Dan seiring waktu, aku merasakan positioning ball lebih banyak dikuasai Om Damar, Gerard sama Leiva kompak banget anjir di tengah, bikin tiki-taka yang selalu jadi andalanku sering mentok di sana.

Sampe di tekanan ke sekian, Joe Allen berhasil lolos dari marking Luiz, dan meluncurkan umpan terobosan ke Suarez. Terry yang memang secara sprint pasti kalah, membuatku mau enggak mau harus melakukan tackling dari belakang.

Peluit pun berbunyi, tanda pelanggaran, wasit nunjuk titik putih, Terry-ku kena kartu kuning (untungnya kuning doang cooyyy..)

Gerard maju jadi algojo, hadep-hadepan sama Cech. Aku? Deg-degan banget lah. Malah Om Damar pake segala ngumpetin sticknya, biar aku enggak ngeliat. Dan begitu pluit dibunyikan..

Desssss...

Masuk mulus coyy.. Petr Cech aku gerakin ke kiri, eh Gerard malah nendang ke tengah pake gaya panenka, kan kampret. Padahal dia bukan Pirlo, jenggotan juga enggak, tapi segala pake gaya Panenka, kan bapet..

Om Damar senyum-senyum sombong, lah aku mangut-mangut sebel.

“Baru pembukaan..” Ujarku ketika Om Damar berkali-kali mereplay panenka Gerard yang nauzubillah ngeselin.

Setelah meminum jatah masing-masing, kami pun lanjut main. Kali ini aku coba tiki-taka di daerah pinggiran, mencoba nyari celah dengan memanfaatkan kecepatan De Bruyne dan Azpi yang tek-tokan kompak. Lalu setelah berhasil narik pemain-pemain Om Damar buat ke pinggir, langsung ku oper bola ke tengah, di sana ada Juan mata yang langsung nyontek bola ke kotak penalty. Torres pun berlari, dapet bola, langsung..

DESSS..

Tunggg..

“Hahahaha..” Om Damar tertawa keras ketika tembakan Torres hanya mengenai mistar atas. Bola mental ke luar, goal kick, bajingan.

Perasaanku langsung enggak enak nih kalo udah mentok tiang gawang, sumpah.. kaya aroma-aroma sial ini rasanya.

Dan benar saja, ketika permainan di lanjut, Om Damar benar-benar menggedor pertahanku secara bar-bar. Crossing demi crossing dilayangkan, sepak pojok demi sepak pojok dijabanin, aku Cuma sesekali aja ngelakuin serangan balik. Sampai di penghujung babak pertama..

DESSSSS...

“Yessss!!” Om Damar berdiri seraya mengangkat sticknya tinggi-tinggi ketika tendangan Gerard dari luar kotak penalti masuk secara mulus tanpa berhasil kuantisipasi.

2-0.. bajingan ini..

“Siap-siap muter nyari bentoel biru sana hahaha..” Ejek Om Damar padaku ketika pluit babak pertama berbunyi. Dan replay demi replay peluang serta goal pun sama dia enggak diskip, bikin aku cemberut aja.

Hingga akhirnya kuputuskan merombak formasi. Kusudahi skema 4-2-3-1, kuaganti jadi 4-4-2 lawas. Kutarik De Bruyne, dan kumasukkan Oscar. Juan Mata kudorong buat dampingin Torres. Lampard kumajuin agak ke depan, Luiz kuplot pure jadi DMF sempurna, agak kedalam. Dengan Oscar dan Hazard di kedua sayap. Oke.. kita mulai lagi.

Aku langsung mengontrol jalan pertandingan di babak kedua. Kunciku ada di bagian tengah memang, Lampard kujadiin jenderal lapangan tengah dan penyuplai bola, meski jujur.. larinya udah lumayan kedodoran, tapi nanti aja aku gantinya, seenggaknya harus dapet satu gol buat mempertipis ketertinggalan.

Hingga di menit ke 62, bola operan melebar Lampard berhasil disambar Hazard dengan baik, langsung dibawa gocek sana sini sampe nusuk ke bagian samping kotak penalti, beberapa pemainku sudah siap di sana. Kemudian kuberikan tembakan tipuan, membuat Skrtel jatuh karena hendak menyapu bola, lalu..

Deesssss..

Tembakan dari Hazard yang ngacak-ngacak pertahanan Om Damar berhasil bersarang di gawang Mignolet. Membuatku mengepalkan tangan keras-keras, mengejar ketertinggalan.

“Alon-alon asal klakon..” Ujarku cengengesan pada Om Damar, yang olehnya hanya direspon dengan senyuman. Setelah gol tersebut Om Damar menekan pause, mengganti pemain, Allen out, Sturridge In. Sialan ini, malah nambah striker dong Om Damar.

Pertandingan pun terus berjalan sengit, jual beli serangan terus terjadi, pergantian demi pergantian terlewati. Teriakan demi teriakan, kepalan tangan demi kepalan tangan ketika berhasil melesakkan bola, tegukan demi tegukan, batang demi batang rokok filter maupun Bentoel biru. Sampai akhirnya aku harus mengakui kedigdayaan Om Damar dengan Liverpool-nya yang berhasil menaklukkan Chelsea-ku dengan skor 4-3 lewat perpanjangan waktu 2x15 menit. Nyeseg banget asli.

Penalti Gerard, Brace Suarez dan satu gol Sturridge di extra-time hanya bisa kubalas dengan sebiji gol dari Hazard, satu gol dari Torres, dan satu gol sundulan Ivanovic.

Hufffttt.. kalah aku coy.. kalah memalukan di Wembley stadium yang kujadikan venue tanding ini. Sialan lah.. alamat nyari Bentoel Biru ini malem-malem arrrggghhh..

“Payah, kirain skillmu sudah meningkat..” Cibir Om Damar sembari membakar rokoknya lagi.

“Tipis aja juga, hoki aja itu..” Kilahku sembari meneguk gelas bagianku. Om Damar tersenyum kecil, sedang aku berdiri dari dudukku. Bersiap keliling kota guna berburu Bentoel biru untuk Om Damar.

“Ndak usah malem ini juga asu.. besok atau lusa aja, stock rokokku masih banyak banget soalnya.” Om Damar menahanku, memintaku duduk kembali.

Huffttt.. aman...

“Tapi sebagai biaya penundaannya, kamu abisin ini dalam sekali teguk, ndak pake protes, ndak pake entar-entaran. Titik.” Titah Om Damar sambil menyodorkan kedua botok tersebut padaku. Botol yang topi miring sih tinggal setengah, tapi botol mansion gepengnya belum berkurang setetes pun.

Aku sempat ingin protes, apaan pake biaya penundaan-penundaan gitu, kan dia yang nunda ya? Bukan aku. Tapi tentu aku enggak jadi protes, karena tatapan Om Damar tiba-tiba diruncingin, bikin aku nelen ludah sendiri. Dan mau enggak mau ya ngelakuin apa yang diperintahin Om Damar.

“Punya Om kok kejemnya menjadi-jadi..” Gerutuku pelan pada diriku sendiri.

“Terus.. yok terusin.. mau aku tambah sebotol lagi, hah?” Ancam Om Damar mendengar gerutuanku. Siake ini.. padahal aku ngomong pelan loh, kok dia bisa denger sih?

“Iya iya.. maaf..” Ujarku cepat, dan segera menggenggam botol-botol laknat tersebut dengan kedua tangan. Kuhela napasku dalam-dalam, kemudian mulai meneguk sisa cairan yang ada di botol topi miring terlebih dahulu.

Glek.. glek.. glek.. glek.. glek.. glek..

Teguk demi teguk tanpa jeda napas kulakukan untuk menandaskan minuman pahit tersebut. Rasa panas jelas langsung terasa membakar tenggorokanku. Tapi mau gimana lagi? Aku harus cepat menuntaskan “biaya penundaan” ini sebelum semaput duluan. Karena efek anggur tadi siang aja enek-nya masih bersisa, eh pake ditambah-tambah ini segala. Aseemm..

DUBB..

“Hufftthhh.. huh...” Aku meletakkan botol topi miring itu di meja, tandas sudah botol tersebut. Kuhela napasku sejenak, kugelengkan pelan kepalaku, kubakar rokokku di jeda tersebut.

“Alah lama ini..” Cibir Om Damar ketika aku tengah menikmati rokokku. Siake.. kampreett.. enggak sabaran banget astaga..

“Hufftt...”

Glek.. glek.. gleek.. gleek.. gleek.. gleekk.. gleek..

Aku kembali mengangkat minuman di tanganku, kali ini botol gepeng yang masih penuh terisi. Dan ini lumayan menyentak kepalaku, sumpah. Panasnya astaga.. arrrgghhh.. kalau bukan karena Om Damar, sumpah.. aku minta extra-time dulu ini..

“HAH!!”
BAGGH..

Teriakan legaku berbarengan dengan peletakan botol gepeng kosong tersebut, kupandang Om Damar sejenak, ia mengangguk-angguk pelan dengan senyuman, melanjutkan menghisap rokoknya. Sedang aku terengah-engah.

Sialan.. kepalaku rasanya kok spaneng gini ya? Shit.. mdfk.. jancuk.. asu.. kehed.. anying..

Perutku panas coy.. sialan ini.. rasanya.. anjim banget..

Dan ketika aku tengah tertunduk menikmati sensasi panas ditubuhku, tiba-tiba kurasakan kedua tepian keningku (kanan dan kiri) seperti disentuh oleh jemari lembut yang amat dingin, kemudian agak ditarik kebelakang agar kepalaku terangkat.

Dan entah kepana, sentuhan tersebut seolah langsung menurunkan suhu panas yang ada di dalam tubuhku, aku hendak menoleh, namun baru saja kulihat wajah Om Damar yang tengah bersendakap dada menatapku, pandanganku perlahan-lahan berbayang, membias, dan seiring dingin yang mengalir di pelipisku, mataku pun terasa berat sekali.

Sialan.. apa ini efek minum oplosan ya? Nyampurin topi miring sama mansion di satu waktu? Aarrgghh shit.. gelap coy.. ge.. lap banget.. i.. nihh..
.
.
POV 3D

“Sssssttttt...” Seorang perempuan yang tengah menyentuh kening Regan dari belakang dengan kedua jemarinya mendesis lembut, mencoba menenangkan dan membawa lebih dalam pemuda tanggung itu ke alam bawah sadar yang maha tenteram.

Sedang Regan sudah benar-benar menutup matanya saat ini, napasnya mulai tenang seiring aliran dingin yang menjalari syaraf-syaraf tubuhnya. Damar yang duduk di samping Regan pun beringsut mendekat, memegang kedua bahu Regan supaya tetap berada di posisinya.

Dan setelah beberapa waktu, setelah Regan benar-benar lelap dan tenggelam. Perempuan di belakang Regan pun menarik jemarinya dari kedua kening Regan, kedua telapak tangannya yang diselimuti kabut energi berwarna biru muda nan cerah pun ditangkupkan jadi satu. Mencoba menutup aliran energinya yang dirasa sudah cukup digunakan.

“Terimakasih, Rum..” Ujar Damar sembari membenarkan posisi duduk dari Regan yang kepalanya tertengadah ke belakang.

“Sama-sama Mas..” Sahut Arum pendek dengan senyum kecil ke arah Damar. Dan tanpa berniat membalas senyum lawan bicaranya, Damar segera membawa tubuhnya turun ke bawah sofa, berjongkok di depan Regan dan menarik tubuh sang keponakan ke punggungnya, memosisikan sedemikian rupa untuk kemudian diangkat dalam gendongannya.

“Hup... Ayo Rum..” Ajak Damar yang sudah tegap membopong Regan di punggungnya, mulai melangkah ke arah pintu depan rumah ini. Arum pun bergegas membukakan pintu rumah tersebut untuk dilewati Damar dan Regan. Bibir Arum sedikit tertarik lebih lebar, tawa kecil keluar dari sana.

“Kenapa? Ada yang lucu?” Tanya Damar datar dengan tatapan bingung, kakinya melambat ketika berjalan di teras rumah.

“Ya aneh aja ngeliat seorang Murba Wesi nyusahin dirinya sendiri..” Jawab Arum jujur sembari mensejajari langkah Damar. Kedua tangan perempuan muda itu sudah tersimpan, bersatu padu di belakang pinggang.

Murba Wesi sendiri adalah salah satu dari beberapa kemampuan utama yang dimiliki Damar. Karena tak seperti Kakaknya yang mewarisi Trah serigala dari garis Ayah mereka secara utuh dan penuh, Damar justru hanya mewarisi secuil kemampuan dari trah serigala termasyhur tersebut. Sebab ia lebih dominan mewarisi kemampuan dari garis darah sang Ibu, yang merupakan seorang Murba Wesi dan Nuraga Sukma.

Jika diartikan kata perkata, Murba dalam bahasa mereka berarti mengendalikan atau memerintahkan, sedang Wesi sendiri adalah kata lain dari besi. Dan tentu jika digabungkan, Murba Wesi bisa diartikan sebagai kemampuan dalam mengendalikan segala benda yang memiliki unsur logam di dalamnya. Seperti yang tadi ia lakukan ketika mengacau di pertemuan, ia memanfaatkan besi dari kaki meja untuk dilemaskan dan dijadikan senjata untuk menghempas Ghofur Abisatya ke dinding.

Selain itu, Damar maupun Saka sama-sama mewarisi Nuraga Sukma milik sang Ibu, hanya saja, sekali lagi dalam hal pewaris kemampuan dari darah Ibunya, Damar lebih unggul dan piawai dibandingkan Saka. Nuraga Sukma sendiri kemampuan yang sangat langka, bahkan lebih langka dari Umbar Wesi. Untuk Nuraga Sukma sendiri, nanti Damar akan menunjukkan kemahirannya tersebut.

“Aku udah lama banget ndak nge-gendong keponakanku ini, dan.. hup..” Damar menjeda kalimatnya sejenak, membenarkan posisi Regan yang sedikit miring ke kanan, Arum segera membantunya.

“Dan ternyata.. cah iki makin bongsor aja.. berat banget..” Tukas Damar seraya melanjutkan langkah, bibirnya pun menyunggingkan senyum kecil dan matanya menatap wajah Arum yang bersinar diterpa lampu halaman.

“Emangnya terakhir gendong Nggan kapan?” Tanya Arum dengan jemari menyelipkan anak-anak rambutnya ke belakang telinga.

“Lima atau enam tahun yang lalu, dan waktu Regan..” Jawab Damar dengan ingatan mengawang, ke beberapa tahun silam ketika ia menggendong Regan kecil yang sudah tak lagi bernapas dengan kedua lengannya yang basah air mata.

“Maaf..” Ujar Arum lirih seraya menatap Damar yang langkahnya melambat, tertinggal di belakang.

“Ndak apa-apa, Arum. Aku Cuma keinget aja.. yuk..” Lanjut Damar dengan senyum kecil sembari terus mengarahkan kakinya ke garasi mobil yang memang letaknya terpisah dari rumah utama.

Mereka pun masuk ke bagian dalam garasi tersebut, Arum bergegas ke sudut garasi tersebut, berjongkok dan menempelkan tangannya pada keramik putih yang jadi alas garasi itu. Dan tiba-tiba saja, di sekitar telapak tangannya muncul semburat garis berwarna hijau, Arum tersenyum, lekas berdiri.

Kemudian bagian ujung lantai garasi tersebut terbuka, menampilkan sepetak ruang menganga ke dalam, dihiasi deretan anak tangga yang mengarah ke bawah. Damar segera berjalan, masuk dan menuruni anak tangga tersebut, Arum mengekor di belakangnya, dan seiring langkah mereka yang turun ke bawah, lantai yang terbuka itu pun menutup perlahan, seolah menelan mereka.

*

Di sebuah ruangan yang remang cahaya, dengan dinding besi yang tebal mengelilingi, Damar menatap tubuh keponakannya yang terbaring di atas sebuah altar batu berwarna hitam pekat. Kedua tangannya bersendakap dada, menatap tubuh Regan yang bagian atasnya tak lagi dibalut apa-apa, bertelanjang dada.

Besi-besi berwarna abu-abu kehitaman mencengkeram tubuh sang keponakan, dari mulai pergelangan kaki sampai ke paha, pergelangan tangan sampai lengan, serta lempengan besi yang mengikat pinggang hingga perut Regan, menahan tubuh pemuda itu agar tertahan di atas altar batu.

Damar melirik Arum yang sedari tadi tengah berkeliling ruangan, menyalakan satu persatu lilin yang menyebar sebagai satu-satunya sumber penerangan. Dan ketika Arum sudah sampai di lilin terakhir, Damar pun menghela napasnya dalam-dalam, ia julurkan tangan kanannya ke depan, lalu dua lempengan besi pun keluar dari altar batu di sekitar kepala Regan.

Satu lempengan berada di sekitar leher, sedang satunya lagi muncul di samping dahi Regan. Kemudian kedua lempengan tersebut segera melingkari leher dan kening Regan, mengunci bagian kepala pemuda tersebut ke altar batu.

Damar meremas jemarinya, memastikan keseluruhan penahan yang ia buat tidak kendur barang sedikit pun.

“Aku menunggu di luar ya Mas..” Ujar Arum ketika sudah selesai dengan kegiatannya, berjalan ke arah pintu yang terbuka lebar dengan wajah tertunduk, sedang Damar hanya mengangguk pelan, tatap matanya tetap terfokus pada tubuh Sang keponakan.

Dan tepat ketika Arum keluar dari ruangan tersebut, Damar langsung menggerakkan jemarinya pelan, dan sebuah tembok besi pun muncul dari lantai, naik dan menutup pintu ruangan tersebut.

Setelah itu Damar pun berjalan ke samping kanan dari tubuh Regan, berdiri dengan tatapan tajam ke arah dada bidang sang keponakan.

“Kuatkan dirimu, Cah Badung..” Ujar Damar berat seraya mengambil sesuatu dari saku jaketnya, yang ternyata adalah sebuah kain kecil berbentuk memanjang berwarna hitam legam.

Kemudian kain hitam tersebut ia lilitkan untuk menutup matanya, panjang kain tersebut cukup untuk membalut mata Damar sebanyak tiga lapisan, setelah itu ia ikat ke bagian belakang kepalanya, ia kencangkan dengan seksama. Lalu menghela napasnya.

Setelah memastikan matanya tertutup rapat, Damar pun menempelkan telapak tangan kanannya pada dada Regan yang dihiasi bulu-bulu halus. Dan dalam kegelapan pandangnya, Damar mulai mempercepat aliran tenaga dalam di seluruh pembuluh darahnya, membuat sekujur tubuhnya menegang sebab sebaran energi ke sepenjuru tubuh, mengalir lebih deras dari keadaan normalnya.

Lalu secara serentak, dalam satu detik yang sama, dari sekujur tubuh Damar keluar pancaran energi yang membentuk asap pekat berwarna abu-abu gelap dan hijau terang, tindih menindih, silang menyilang dan menyebar kencang menyelimuti tubuh lelaki tersebut. Membuat rambut Damar mulai terangkat, seperti ada angin kencang dari bawah kakinya yang berkecamuk ke atas tubuhnya.

Bersamaan itu sentakkan kecil terjadi di tubuh Regan, seperti ada sesuatu yang mencoba keluar dari tubuh pemuda tanggung tersebut. Damar pun segera menekan lebih kencang telapak tangan kanannya, menekan lebih kuat dada dari sang keponakan.

Cahaya lilin yang menjadi penerangan ruangan itu pun mulai bergoyang-goyang tak tentu arah, seperti resah akan apa yang terjadi di dalam ruangan ini. Damar menahan napasnya kencang-kencang, ia rasakan hentakan-hentakan keras menerpa telapak tangan kanannya, membuat kakinya sedikit bergeser dari posisi awal.

“AAAARRRGGGHHHH..” Tiba-tiba mulut Regan terbuka lebar, berteriak keras dengan mata membelalak lebar, memerah seutuhnya kelopak mata Pemuda tanggung tersebut.

“Sialan..” Geram Damar sembari memperkuat akurasi tenaga dalamnya, mengalirkan banyak sekali energi di tangan kanannya. Berusaha mengendalikan keponakannya sekuat mungkin

“AAAAAAAA..”

Dan perlahan-lahan, dari dada Regan, memancar semburat sinar berwarna merah pekat, memancar silau ke segala penjuru arah, dibarengi dengan hentakan-hentakan yang membuat tubuh pemuda tersebut tersentak-sentak ke atas, sentakan keras yang bahkan membuat posisi kaki Damar semakin termundur. Teriakan parau terus melaung, membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa iba bukan main.

Ruangan itu pun seketika riuh, peraduan energi yang keluar dari tubuh Damar berbenturan dengan pancaran energi marah dan teriak kesakitan yang memberontak keluar dari dalam diri Regan. Membuat satu persatu lilin di ruangan itu padam, bahkan terangkat dari dudukannya. Riuh dan amat kacau. itu saja kata yang pas untuk menggambarkan suasana ruangan tersebut.

Tubuh Regan yang terus tersentak-sentak ke atas membuat lempengan besi pengekang sedikit merenggang, sadar akan itu Damar pun segera menekan kuat telapak tangan kanannya, membuat tubuh sang keponakan terbanting kembali ke altar batu, lalu Damar memutar perlahan telapak tangan kanannya berlawanan dengan jarum jam, seraya tangan kirinya terangkat sebatas dada ke depan, dengan telapak tangan terbuka. Lalu..

CRAK.. CRAK.. CRAK.. CRAK.. CRAK..

Damar mengepalkan jemari tangan kirinya, membuat seluruh lempengan besi yang menahan tubuh Regan kembali mengencang, bahkan ada beberapa tambahan lain yang Damar keluarkan, mencoba meredam pergerakan tubuh keponakannya yang kian tak terkendali.

“Hhrrrgghhh..” Eram Damar sembari berusaha memutar lebih jauh telapak tangannya. Tekanan keras jelas menerpa Damar saat ini, bagaimana dalam gelap pandangannya saja, ia bisa membayangkan betapa tersiksanya tubuh Regan di hadapannya ini. Maka dari itu, Damar berusaha memangkas waktu yang ia butuhkan, berusaha mengeluarkan seluruh kemampuan segel Sukma yang ia punya saat ini.

Bukanlah perkara mudah baginya melakukan hal ini, sebab ia diharuskan mengeluarkan Umbar Wesi dan Nuraga Sukma-nya di satu waktu, itu sama saja seperti berusaha melihat ke dua arah berlawanan dalam satu waktu, membutuhkan konsentrasi dan kemahiran tingkat tinggi.

“ARRRGGGHHH...” Regan kembali meneriakkan kidung kesakitannya. Dari hidungnya darah segar mulai keluar.

“Tetap denganku Le.. jangan kemana-mana..” Gumam Damar seraya terus menekan telapak tangannya di dada sang keponakan, bersamaan itu ia terus memutar telapak tangannya berlawanan arah dengan jarum jam.

Tekanan dan putaran telapak tangan Damar tersebut sedikit demi sedikit membuat pancaran cahaya merah gelap yang keluar dari tubuh Regan berangsur meredup, namun tidak dengan teriakannya, sebab semakin detik tiap teriakan yang keluar dari mulut Regan justru semakin lantang, merah di matanya pun kian berwarna pekat, dan dari sudut kelopak mata pemuda tersebut, meluncur darah merah nan segar.

Damar mengeratkan giginya rapat-rapat, ia tekan lebih kuat dan lebih kuat lagi dada Regan, seolah berniat meremukkan seluruh tulang rusuk sang keponakan. Tangan kirinya kian mengepal keras, mencoba menahan tiap-tiap lempengan besi yang menahan tubuh Regan.

Hingga akhirnya, setelah berjuang dengan keras, setelah mengerahkan sebagian besar kekuatannya, Damar berhasil menuntaskan perlawanan 'sesuatu' yang coba keluar dari tubuh Regan. Telapak tangannya sudah terputar sempurna melawan arah jam, pendaran cahaya merah sudah semakin meredup dari tubuh Regan.

Seiring hal tersebut, sentakan-sentakan di tubuh sang keponakan mulai berangsur mereda, mata dan mulut Regan pun mulai kembali menutup. Pemuda itu kembali tenang dalam tidurnya.

Hingga ketika pendaran cahaya merah dari tubuh Regan benar-benar hilang, Damar pun menyudahi usaha-usahanya. Balutan energi berwarna abu-abu gelap dan hijau yang mengelilingi tubuhnya pun susut dan masuk kembali. Tangan kirinya terjatuh diatas lempengan besi yang menahan pinggul Regan, napas Damar terengah hebat.

Dan perlahan-lahan, Damar mengangkat telapak tangan kanannya dari dada sang keponakan yang kulitnya sedikit memerah. Mengatur napasnya sebisa mungkin untuk menghalau lelah.

Lalu dengan cepat, Damar membuka penutup matanya, wajahnya yang berpeluh keringat pun terpampang jelas, matanya terarah ke dada Regan. Menatap sebuah pola berbentuk lingkaran besar yang memenuhi dada sang keponakan, dengan bintang terbalik di bagian dalamnya, dan pola-pola abstrak memenuhi bagian dalam lingkaran tersebut. Pa tersebut terukir seperti bekas jahitan luka yang amat rapih, berkedut-kedut di kulit Regan. Dan memerah padam seperti habis terbakar.

4437660_20130317011142.jpg



Lalu Damar pun membuka kepalan tangannya, membuat seluruh lempengan yang menahan tiap-tiap ruas tubuh Regan terlepas. Damar tersenyum, segera dibersihkannya darah yang keluar dari hidung dan tepian kelopak mata Regan dengan kain penutup matanya. Dibersihkan dengan seksama sampai benar-benar tiada lagi darah yang tersisa, setelah itu Damar pun menjatuhkan tubuhnya di lantai, terengah-engah.

Namun di tengah lelahnya itu, ia masih sempat menggerakkan jemari telunjuknya, lalu pintu besi yang menutup ruangan itu pun turun ke bawah, terbuka dan mengalirkan pendar putih cahaya. Barulah setelah itu Damar langsung merebahkan dirinya di lantai, mencoba berdamai dengan lelahnya.

Dan dari arah pintu, muncul Arum dan Rengganis yang sedari tadi sudah menunggu resah. Rengganis segera memeluk dan menciumi anaknya, sedang Arum segera mendekati Damar, duduk bersimpuh dan mengangkat kepala Damar untuk diletakkan di pahanya. Diberikannya Damar minuman berwarna hitam pekat yang sudah dipersiapkan, dan dielusi rambut lelaki itu dengan penuh kelembutan.

“Terimakasih Damar, terimakasih..” Ucap Rengganis yang tengah memeluk erat-erat tubuh anaknya. Damar yang kelelahan hanya bisa mengangkat sedikit kepalanya, melempar senyum kecil lalu rebah kembali di atas paha Arum yang menopangnya.

“Istirahtlah Mas..” Ujar Arum dengan tatapan lembut ke arah mata Damar yang sudah sayu. Damar tersenyum, kemudian mulai menutup matanya. Hendak beristirahat sejenak sebab lelahnya benar-benar tak lagi bisa diajak berdamai.



Bersambung..
 
Terakhir diubah:
SPOILER BAGIAN 16

*****

Kinaya mulai mengumpulkan tetes demi tetes embun yang berada di dedaunan, mengajak Aswatama untuk ikut membantunya, dan mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh Kinaya, Aswatama pun dengan ringan tangan dan senyuman turut membantu perempuan muda itu, mengumpulkan embun.

Kinaya bertugas menempatkan daun pisang yang sudah dibentuk seperti bungkus 'Pincuk' (pembungkus pecel pincuk), sedang Aswatama bertugas menjatuhkan embun-embun agar tergelincir dari singgasananya. Mereka melakukan hal tersebut dengan penuh perasaan riang, sedikit bicara banyak senyumnya.


“Ini A, diminum dulu..” Tukas Kinaya seraya menyodorkan embun-embun yang sudah mengisi setengah pincuk daun pisang itu kepada Aswatama.

“Kinaya saja dulu..” Sahut Aswatama dengan teduh, membuat Kinaya tertegun dalam-dalam, bersemu merah pipinya saat ini. Sungguh ada yang mekar di dalam hatinya pagi ini
.

*****
Hallo suhu-suhu semuanya, selamat sore dan selamat menikmati berita-berita yang berseliweran di social media. Berikut saya lampirkan update bagian 15 beserta spoiler untuk bagian 16. Semoga suhu-suhu sekalian berkenan dan menyukai update ini.

dan saya mohon maaf sekiranya saya ada kekurangan, sebab ini saya kerjakan di sela-sela kesibukan yang bertambah padat semenjak riuh yang terjadi di Ibukota. Saran dan masukannya sangat dinanti, diskusi dan segala pertanyaannya pun akan sangat saya terima dengan lapang hati.

Terimakasih, selamat membaca, dan semoga semuanya dalam keadaan baik-baik saja dan selalu bahagia 🙏



 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd