Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

Patroli, kali aja dah senggang waktu RLnya TS, hingga berkenan update
 
SHORT TEASER
**

“Sebagai betina.. kau benar-benar keras kepala ternyata.. hhrrrmmhh..” Ujar Si harimau gigi pedang seraya merendahkan tubuhnya, keempat kakinya mulai melebarkan tapak, hal yang sama dilakukan anjing berkepala dua di sampingnya, yang semakin kuperhatikan bentukannya, semakin membuatku teringat pada si manja Bogi yang ada di rumah.

“Bukankah aku sudah bilang bahwa aku punya kesepakatan? Biar kusampaikan tawaranku dulu. Jika kamu menyerahkan anak itu padaku, maka aku akan menurunkan Cemani Geni milikku, dan kalian semua bisa bebas tanpa terluka sedikit pun, termasuk empat abdi rendahan di belakangmu itu. Bagaimana Sembawa Anggar? Bukankah itu win-win solution yang menguntungkan?”

Eh tapi bentar, apa yang dimaksud “anak itu” adalah aku? What? Loh loh loh.. apa hubungannya ini semua sama aku coba?

Terus kenapa dia jadiin aku objek tawar? Apa sebenarnya yang dia mau dariku? Kenapa kayanya dia mau nyulik aku gini? Mau ngejual organ-organku juga kah? Ahhh.. bangsatlah.. kenapa jadi ruwet gini sih?

Padahal sebenarnya sih, kalo dia enggak bersikap nyeremin dan ngajak aku baik-baik, aku pasti mau mau aja diculik sama dia, dijadiin peliharaan juga aku mau, asal dapet ehem ehem tentunya.

Heh!! Kenapa aku ngawur di waktu yang enggak tepat kaya gini sih? Bajinganlah..

“Sekarang siapa yang terlalu jumawa di antara kita? Hrrrmmhh..” Ujar harimau itu seraya semakin merendahkan tubuhnya, semakin bersiaga sebab perempuan itu semakin dekat dengan kami jaraknya.

“Apa ini berarti kamu menolak tawaranku, Sembawa Anggar? Sayang sekali.. padahal aku ini bukan tipe orang yang senang ditolak.” Ujar perempuan itu seraya mempercepat langkahnya, setengah berlari, kemudian melompat dengan ringan ke udara seraya melebarkan kedua tangannya.

Napasku pun langsung tertahan, melihat betapa tingginya lompatan perempuan itu di udara.

Baku hantam ini! Udah enggak bisa dielak lagi!

“RROOOAAARGGGGHHH!!!”
“OOUUGGGHH!!”

Harimau gigi pedang dan Anjing berkepala dua di depan kami pun segera berlari kencang, menyongsong arah datangnya perempuan bermata aneh itu. Terlihat jelas langkah kedua hewan jadi-jadian itu amat tegas dan tegap, lalu dengan kompak ikut melompat ke udara, melonjakkan tubuh menyambut datangnya perempuan bernama Jenar itu.


Aku terus menahan napasku kuat-kuat, melihat semua adegan itu dengan gerakan lambat, seperti ada mode slow-motion di mataku saat ini.

Semakin dekat, tubuh kedua hewan itu semakin dekat dengan tubuh si perempuan aneh dan gila yang hendak menculikku itu. Kaki depan kedua hewan itu terlihat menyongsong udara, dengan cakar-cakar panjang yang mengkilap diterpa cahaya temaram.

Hatiku benar-benar diterpa dilema, di satu sisi aku menghawatirkan kedua hewan jadi-jadian itu. Namun di sisi lain, entah kenapa aku juga mengkhawatirkan perempuan bernama Jenar tersebut, kalau-kalau ia terterkam oleh salah satu dari kedua hewan menyeramkan itu. Pasti dia bakal terluka parah.

Apalagi setiap aku menatap kedua bola matanya yang berbeda warna itu, aku benar-benar merasa ada banyak kesedihan nan sayu di dalam tatapannya. Seperti banyak sekali beban dan kesakitan di sana.

Arrrgghh!! Sialan.. bangsat! Bangsat! Bangsat!

***


*Selamat sore Suhu-suhu dan seluruh pembaca, maaf ya baru bisa ngasih teaser, doakan bisa lekas update dalam beberapa hari ke depan. Salam rindu, salam maaf, dan terimakasih atas segala support dan masukannya. Selamat natal juga untuk saudara-saudara nasrani, semoga damai natal selalu menyertai. Salam.*​
 
SHORT TEASER
**

“Sebagai betina.. kau benar-benar keras kepala ternyata.. hhrrrmmhh..” Ujar Si harimau gigi pedang seraya merendahkan tubuhnya, keempat kakinya mulai melebarkan tapak, hal yang sama dilakukan anjing berkepala dua di sampingnya, yang semakin kuperhatikan bentukannya, semakin membuatku teringat pada si manja Bogi yang ada di rumah.

“Bukankah aku sudah bilang bahwa aku punya kesepakatan? Biar kusampaikan tawaranku dulu. Jika kamu menyerahkan anak itu padaku, maka aku akan menurunkan Cemani Geni milikku, dan kalian semua bisa bebas tanpa terluka sedikit pun, termasuk empat abdi rendahan di belakangmu itu. Bagaimana Sembawa Anggar? Bukankah itu win-win solution yang menguntungkan?”

Eh tapi bentar, apa yang dimaksud “anak itu” adalah aku? What? Loh loh loh.. apa hubungannya ini semua sama aku coba?

Terus kenapa dia jadiin aku objek tawar? Apa sebenarnya yang dia mau dariku? Kenapa kayanya dia mau nyulik aku gini? Mau ngejual organ-organku juga kah? Ahhh.. bangsatlah.. kenapa jadi ruwet gini sih?

Padahal sebenarnya sih, kalo dia enggak bersikap nyeremin dan ngajak aku baik-baik, aku pasti mau mau aja diculik sama dia, dijadiin peliharaan juga aku mau, asal dapet ehem ehem tentunya.

Heh!! Kenapa aku ngawur di waktu yang enggak tepat kaya gini sih? Bajinganlah..

“Sekarang siapa yang terlalu jumawa di antara kita? Hrrrmmhh..” Ujar harimau itu seraya semakin merendahkan tubuhnya, semakin bersiaga sebab perempuan itu semakin dekat dengan kami jaraknya.

“Apa ini berarti kamu menolak tawaranku, Sembawa Anggar? Sayang sekali.. padahal aku ini bukan tipe orang yang senang ditolak.” Ujar perempuan itu seraya mempercepat langkahnya, setengah berlari, kemudian melompat dengan ringan ke udara seraya melebarkan kedua tangannya.

Napasku pun langsung tertahan, melihat betapa tingginya lompatan perempuan itu di udara.

Baku hantam ini! Udah enggak bisa dielak lagi!

“RROOOAAARGGGGHHH!!!”
“OOUUGGGHH!!”

Harimau gigi pedang dan Anjing berkepala dua di depan kami pun segera berlari kencang, menyongsong arah datangnya perempuan bermata aneh itu. Terlihat jelas langkah kedua hewan jadi-jadian itu amat tegas dan tegap, lalu dengan kompak ikut melompat ke udara, melonjakkan tubuh menyambut datangnya perempuan bernama Jenar itu.


Aku terus menahan napasku kuat-kuat, melihat semua adegan itu dengan gerakan lambat, seperti ada mode slow-motion di mataku saat ini.

Semakin dekat, tubuh kedua hewan itu semakin dekat dengan tubuh si perempuan aneh dan gila yang hendak menculikku itu. Kaki depan kedua hewan itu terlihat menyongsong udara, dengan cakar-cakar panjang yang mengkilap diterpa cahaya temaram.

Hatiku benar-benar diterpa dilema, di satu sisi aku menghawatirkan kedua hewan jadi-jadian itu. Namun di sisi lain, entah kenapa aku juga mengkhawatirkan perempuan bernama Jenar tersebut, kalau-kalau ia terterkam oleh salah satu dari kedua hewan menyeramkan itu. Pasti dia bakal terluka parah.

Apalagi setiap aku menatap kedua bola matanya yang berbeda warna itu, aku benar-benar merasa ada banyak kesedihan nan sayu di dalam tatapannya. Seperti banyak sekali beban dan kesakitan di sana.

Arrrgghh!! Sialan.. bangsat! Bangsat! Bangsat!

***


*Selamat sore Suhu-suhu dan seluruh pembaca, maaf ya baru bisa ngasih teaser, doakan bisa lekas update dalam beberapa hari ke depan. Salam rindu, salam maaf, dan terimakasih atas segala support dan masukannya. Selamat natal juga untuk saudara-saudara nasrani, semoga damai natal selalu menyertai. Salam.*​
Ditunggu hu updatenya
 
SHORT TEASER
**

“Sebagai betina.. kau benar-benar keras kepala ternyata.. hhrrrmmhh..” Ujar Si harimau gigi pedang seraya merendahkan tubuhnya, keempat kakinya mulai melebarkan tapak, hal yang sama dilakukan anjing berkepala dua di sampingnya, yang semakin kuperhatikan bentukannya, semakin membuatku teringat pada si manja Bogi yang ada di rumah.

“Bukankah aku sudah bilang bahwa aku punya kesepakatan? Biar kusampaikan tawaranku dulu. Jika kamu menyerahkan anak itu padaku, maka aku akan menurunkan Cemani Geni milikku, dan kalian semua bisa bebas tanpa terluka sedikit pun, termasuk empat abdi rendahan di belakangmu itu. Bagaimana Sembawa Anggar? Bukankah itu win-win solution yang menguntungkan?”

Eh tapi bentar, apa yang dimaksud “anak itu” adalah aku? What? Loh loh loh.. apa hubungannya ini semua sama aku coba?

Terus kenapa dia jadiin aku objek tawar? Apa sebenarnya yang dia mau dariku? Kenapa kayanya dia mau nyulik aku gini? Mau ngejual organ-organku juga kah? Ahhh.. bangsatlah.. kenapa jadi ruwet gini sih?

Padahal sebenarnya sih, kalo dia enggak bersikap nyeremin dan ngajak aku baik-baik, aku pasti mau mau aja diculik sama dia, dijadiin peliharaan juga aku mau, asal dapet ehem ehem tentunya.

Heh!! Kenapa aku ngawur di waktu yang enggak tepat kaya gini sih? Bajinganlah..

“Sekarang siapa yang terlalu jumawa di antara kita? Hrrrmmhh..” Ujar harimau itu seraya semakin merendahkan tubuhnya, semakin bersiaga sebab perempuan itu semakin dekat dengan kami jaraknya.

“Apa ini berarti kamu menolak tawaranku, Sembawa Anggar? Sayang sekali.. padahal aku ini bukan tipe orang yang senang ditolak.” Ujar perempuan itu seraya mempercepat langkahnya, setengah berlari, kemudian melompat dengan ringan ke udara seraya melebarkan kedua tangannya.

Napasku pun langsung tertahan, melihat betapa tingginya lompatan perempuan itu di udara.

Baku hantam ini! Udah enggak bisa dielak lagi!

“RROOOAAARGGGGHHH!!!”
“OOUUGGGHH!!”

Harimau gigi pedang dan Anjing berkepala dua di depan kami pun segera berlari kencang, menyongsong arah datangnya perempuan bermata aneh itu. Terlihat jelas langkah kedua hewan jadi-jadian itu amat tegas dan tegap, lalu dengan kompak ikut melompat ke udara, melonjakkan tubuh menyambut datangnya perempuan bernama Jenar itu.


Aku terus menahan napasku kuat-kuat, melihat semua adegan itu dengan gerakan lambat, seperti ada mode slow-motion di mataku saat ini.

Semakin dekat, tubuh kedua hewan itu semakin dekat dengan tubuh si perempuan aneh dan gila yang hendak menculikku itu. Kaki depan kedua hewan itu terlihat menyongsong udara, dengan cakar-cakar panjang yang mengkilap diterpa cahaya temaram.

Hatiku benar-benar diterpa dilema, di satu sisi aku menghawatirkan kedua hewan jadi-jadian itu. Namun di sisi lain, entah kenapa aku juga mengkhawatirkan perempuan bernama Jenar tersebut, kalau-kalau ia terterkam oleh salah satu dari kedua hewan menyeramkan itu. Pasti dia bakal terluka parah.

Apalagi setiap aku menatap kedua bola matanya yang berbeda warna itu, aku benar-benar merasa ada banyak kesedihan nan sayu di dalam tatapannya. Seperti banyak sekali beban dan kesakitan di sana.

Arrrgghh!! Sialan.. bangsat! Bangsat! Bangsat!

***


*Selamat sore Suhu-suhu dan seluruh pembaca, maaf ya baru bisa ngasih teaser, doakan bisa lekas update dalam beberapa hari ke depan. Salam rindu, salam maaf, dan terimakasih atas segala support dan masukannya. Selamat natal juga untuk saudara-saudara nasrani, semoga damai natal selalu menyertai. Salam.*​
Asyiikk nih bntar lg update.....jangan lewat tahun depan suhu...
 
Sebelumnya Ingatkan ane bila salah
Itu Regan ga salah bisa baca ekspresi jenar?
Kok pas baca ekspresi wanita di dekatnya susah sekali ya :lol:

Ditunggu versi lengkapnya
 
Ga sia2 ane marathon dari pejwan, sungguh ceritanya keren banget...
 
BAGIAN 19 : TITIK BALIK

435a3e348eaa6fe0751e6462ab0a00b9.jpg

ANGGANA RARAS RENGGANIS



rio-dewanto_20181005_110644.jpg

DAMAR RAKSA ALIENDRA


manuel-peter-sabertooth-final.jpg

KEPIN a.k.a SEMBAWA ANGGAR



2517475-bigthumbnail.jpg

BOGI a.k.a JEMBAKA SIAM


*.*.*

POV3D

Harjuna Pura, komplek istana pemerintahan.

Sebuah bangunan berwarna putih berdiri megah di komplek istana pemerintahan, bangunan itu terlihat mencolok dibanding bangunan-bangunan lain yang berada di kanan dan kirinya. Bangunan yang diberi nama Harjuna Pura. Bangunan itu adalah kantor pusat pemerintahan negeri ini, tempat di mana perdana menteri dan beberapa jajaran petinggi pemerintah lainnya berkantor.

Dan di pelataran bangunan tersebut, terlihat seorang perempuan dengan dua orang pria baru saja turun dari mobil, persis di depan undakan anak tangga bangunan itu.

Perempuan itu tak lain adalah Rengganis, ia datang bersama dua punggawa utama Purantara yakni Pak Wangsa sang pembangkit kacapura, dan Mira, si perempuan manis yang juga bertindak sebagai pengawas utama Putra Mahkota ketika berada di sekolah.

Namun Mira tidak tinggal di rumah utama, sebab ia berada di divisi pengawasan yang membuatnya berada di bawah kepemimpinan Gofur Abisatya.

Kembali pada Rengganis, hari ini ia terlihat anggun namun kasual dengan kebaya formalnya, lengkap dengan sebuah selendang yang terlampir menutupi bahunya. Sedang Pak Wangsa terlihat gagah dengan jas hitamnya, serta Mira yang terlihat tegas dan formal dengan blazer dan rok hitamnya. Satu tangan perempuan muda itu terlihat menenteng tablet berwarna silver.

Dan kedatangan tiga orang perwakilan Purantara itu pun langsung disambut dengan bungkukkan badan dari para petugas keamanan, serta beberapa orang staf utama Harjuna Pura.

Rengganis memberi senyum balasan, lalu ikut membungkukkan tubuhnya, setelah itu ia pun mulai menaiki undakan anak tangga, dengan Pak Wangsa dan Mira yang berjalan selangkah di belakangnya.

“Selamat datang Raden Ayu..” Seorang staf yang tadi ikut membungkukkan tubuh segera menyapa Rengganis. Rengganis membalas sapaan itu dengan senyuman dan anggukan kepala pelan.

“Mari saya antar, Bapak sudah menunggu di dalam” Ucap staf itu seraya mempersilahkan Rengganis untuk masuk ke bangunan tersebut, dengan ia sendiri yang memimpin jalan, namun posisinya lebih ke samping, tidak persis di depan Rengganis. Beberapa petugas keamanan pun ikut mendampingi di belakang maupun di samping.

Dan ketika baru memasuki ruangan tersebut, Mira yang sedari tadi sibuk mengutak-atik tablet di tangannya segera mengedarkan pandang. Kemudian ia lekas memasukkan tabletnya ke saku blazer bagian dalam, lalu tangan kirinya yang tergantung bebas ke arah bawah bergerak-gerak pelan, mengeluarkan sesuatu dari jam tangannya yang tersamar oleh bagian ujung lengan jas.

Dan sesuatu tersebut adalah lima buah benda berbahan dasar besi berbentuk pipih seperti butiran beras, dengan ukuran yang sedikit lebih kecil. Kemudian dengan santainya ia menjatuhkan satu persatu benda tersebut, tidak berbarengan.

Ukurannya yang kecil tentu saja membuat staf-staf Harjuna Pura yang mengawal mereka tak menyadari, bahwa di setiap beberapa langkah tegas Mira, satu persatu benda tersebut berjatuhan ke atas lantai berkeramik pualam tersebut.

Dan tepat ketika biji besi kelima sudah dijatuhkan, Mira segera menyimpan kedua tangannya ke belakang, ditautkan jadi satu di belakang pinggang, dan terus berjalan dengan tenang. Dan di langkah yang ke sekian, jemari di tangan kanan perempuan muda itu bergerak menyentuh jam tangan yang ada di pergelangan tangan kirinya. Lalu hanya dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, Mira memutar lingkar luar jam tangannya, memutar berlawanan dengan arah jarum jam.

Seketika itu juga, biji-biji besi yang ia sebar sebelumnya langsung bergerak cepat, menyebar ke lima arah berbeda, menyusup di antara perabotan-perabotan, di bawah-bawah kursi, dan di bawah benda-benda lainnya, bersembunyi nyaman dalam diam.

Lalu bagian tengah biji-biji besi itu pun menampilkan setitik nyala cahaya redup berwarna hijau, tanda alat-alat tersebut sudah aktif.

Mira menoleh ke arah Pak Wangsa yang berada di sebelahnya, kemudian tersenyum kecil, yang oleh Pak Wangsa segera disambut dengan anggukan kepala pelan.

Dan setelah ayunan langkah yang tak seberapa banyak, rombongan itu pun berhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu besar berwarna merah tua. Di depan pintu tersebut berdiri dua orang petugas kemanan yang dengan sigap langsung membukakan pintu.

“Aku tidak tahu akan memakan waktu berapa lama, jadi maafkan aku jika sekiranya harus membuat kalian menunggu.” Ujar Rengganis dengan kepala sedikit tertoleh ke belakang, mendengar itu Pak Wangsa dan Mira pun segera menganggukkan kepala dengan tubuh sedikit dibungkukkan.

Rengganis pun kembali menatap ke arah depan, dan dengan tubuh tegapnya, ia pun memasuki ruang kerja utama perdana menteri yang terlihat megah dan lengang itu, meninggalkan dua pengawalnya dan para staf Harjuna Pura yang memang hanya diizinkan mengantar sampai depan pintu saja.

Dan seiring langkah kaki Rengganis terayun memasuki ruangan tersebut, pintu berwarna merah tua di belakangnya pun tertutup perlahan, membuat seketika pendengarannya menyepi dari hiruk pikuk kegiatan di dalam bangunan tersebut.

Rengganis mengedarkan pandang ke sepenjuru ruangan, menatap lamat-lamat tiap sudut ruangan yang terlihat sepi itu. Sebuah meja kerja besar ada di ujung ruangan, dekat dengan jendela. Kemudian sofa-sofa besar berada di sisi lainnya, dan aneka lemari penyimpan berkas serta lukisan-lukisan memukau tergantung di dinding.

Kosong.. salah satu ruangan orang terpenting di pemerintahan itu benar-benar terasa kosong.

Namun Rengganis tampak terlihat tenang, dengan anggunnya ia berjalan ke balik meja kerja sang perdana menteri, kemudian berhenti di belakang kursi berbahan kulit dengan sandaran tinggi, merapat ke jendela ruangan tersebut yang menampilkan halaman luas nan hijau dengan danau kecil yang terlihat sejuk, lengkap dengan beberapa hewan yang tidak lazim untuk ditemui di tengah perkotaan terlihat berlalu lalang dengan acuhnya.

Ada menjangan, burung merak, beberapa tupai, serta angsa-angsa putih yang berenang di tengah danau.

Melihat kesejukan itu, perlahan membuat sudut bibir Rengganis tertarik, ia tersenyum kecil seraya binar matanya terlihat antusias dengan apa yang tengah ia pandangi.

Hingga di menit ke sekian, setelah merasa cukup menikmati pemandangan dari halaman belakang Harjuna Pura, Rengganis pun memejamkan matanya pelan, kemudian menghela napasnya dalam-dalam.

“Sampai kapan kiranya anda akan membuat saya menunggu?” Ujar Rengganis tanpa membuka mata ataupun menolehkan kepala, seolah ia tengah berbicara pada ruang hampa yang tengah ia tenangkan di dalam hatinya.

Ruang hampa yang semenjak kemarin terasa begitu hampa, namun selalu coba ia lawan dengan sekuat perasaannya.

“Harus banget formal kaya gitu?”

Dari belakang Rengganis, terdengar suara seorang pria melaung di sepenjuru ruangan, menyahuti perkataan perempuan yang wajahnya memang masih menampakkan kemuraman tersebut.

Mendengar suara tersebut, Rengganis pun segera membuka matanya. Lalu dengan tenangnya ia memutar tubuh secara penuh, memalingkan pandangannya dari pemandangan sejuk nan tenang dari halaman belakang Harjuna Pura.

Tepat saat itu juga, mata Rengganis langsung beradu pandang dengan mata seorang lelaki yang tengah duduk santai di salah satu sofa ruangan tersebut, dengan kaki disilangkan dan punggung bersandar penuh.

Lelaki tersebut terlihat rapih dan sangat formal, setelan jas berwarna abu-abu gelap, dengan dasi polos menggantung di bawah lehernya terlihat serasi dengan pembawaan wajahnya yang bersih terawat.

Usia lelaki itu tak terpaut terlalu jauh dengan Rengganis, dengan wajah yang tenang mengumbar senyum. Di jemari tangan lelaki itu terselip sebatang rokok berwarna putih bersih yang sudah bersisa setengah, menandakan bahwa rokok tersebut sudah cukup lama dihisap olehnya.

“Silahkan ditandaskan dulu rokok anda Pak, saya akan menunggu di sini.” Ujar Rengganis datar seraya hendak membalikkan kembali tubuhnya ke arah jendela. Namun lelaki di sofa tersebut pun segera menahan Rengganis.

“Oke oke oke..” Ucap lelaki itu sembari mematikan puntung rokoknya ke asbak yang berada di atas meja, tepat di depannya.

Rengganis pun tersenyum kecil, kemudian mulai melangkahkan kakinya ke arah Sofa di mana lelaki itu duduk. Lalu berhenti dan duduk di sofa yang posisinya tepat di seberang sofa yang diduduki lelaki tersebut. Bersilang kaki dengan tubuh ditegapkan.

“Saya tidak akan basa..” Rengganis membuka bibirnya, hendak menyampaikan kalimat, namun lelaki di hadapannya segera mengangkat sebelah tangan, membuat Rengganis menahan kata-katanya.

“Kenapa harus formal banget sih? Aneh tau enggak?” Protes lelaki itu sembari menyandarkan punggungnya lebih dalam, sedalam tatapan matanya ke bola mata Rengganis.

“Maaf.. saya tidak bermaksud lancang, tapi saat ini saya sedang berbicara seorang perdana menteri. Jadi saya rasa, bukan sesuatu yang aneh jika saya berbicara sesopan mungkin kan, Bapak Perdana Menteri yang terhormat?” Ucap Rengganis lagi dengan bahasa formalnya yang terdengar penuh penegasan. Setegas balasan tatapnya yang tak mengendur sedetik pun.

“Oh come on..” Protes lelaki di hadapan Rengganis yang tak lain adalah perdana menteri negeri ini. Ia terlihat amat terganggu dengan cara bicara Rengganis, ia bahkan sampai mengendurkan cengkeraman dasi di lehernya. Memasang raut wajah sebal sendiri.

“Maaf sekali lagi, dibanding mempermasalahkan penggunaan bahasa, bukankah lebih baik kita masuk ke pokok pembicaraan ini?” Ujar Rengganis tanpa berusaha mengubah gaya bicaranya, dan hal tersebut jelas sekali membuat sang perdana menteri semakin jengah.

“Ayolah Nis.. gue lagi males debat kaya gini ah..” Ujar perdana menteri sembari membenarkan posisi duduknya, sudah tidak lagi bersandar, condong ke depan dengan silangan kaki yang sudah ia buka.

“Bapak Satrio Joyo Widono, tidak kah anda lihat di mana kita berada saat ini?” Ujar Rengganis dengan nada yang bagi seorang Satrio Joyo Widono terasa memanaskan gendang telinganya.

Sang perdana menteri pun menghela napas dalam-dalam, kemudian berdiri dari duduknya, lalu berjalan menuju ruangan lain yang berada di sudut lain ruangan utama, sebuah ruangan kecil yang dipergunakan untuk pantry.

Sedang Rengganis tersenyum kecil sendiri, kemudian matanya memandangi seisi ruangan, dan entah kenapa, ada setitik kerinduan yang menjalar di hatinya.

“Silahkan diminum, Raden Ayu Anggana Raras Rengganis.” Satrio Joyo Widono yang sudah kembali dari pantry meletakan sebuah minuman kaleng berwarna hijau tepat di depan Rengganis, posisi tubuhnya diturunkan, dengan kedua lutut sebagai penopang badan, seperti seorang abdi dalam istana yang tengah menyuguhkan minuman kepada rajanya.

Sangat kontras dengan statusnya yang seorang perdana menteri.

“Joyo! Bangun enggak? Kalau kamu enggak bangun aku pergi nih!” Seru Rengganis seraya memegang lengan Satrio, meminta Sang Perdana Menteri untuk bangkit

Satrio pun tersenyum, bahkan sedikit terkekeh sembari mengangkat tubuhnya.

“Nantangin sih.. dikira gue enggak bisa ngomong formal kali? Hahaha..” Tawa Satrio sembari berjalan kembali ke sofanya yang berada di seberang sofa Rengganis, sedang Rengganis hanya bersungut-sungut sembari menyambar minuman kaleng warna hijau dengan tulisan ‘POKKA’ besar di bagian tubuh kaleng tersebut.

Sedang Satrio yang masih terkekeh kecil duduk dengan sebelah tangan menggenggam botol kaca yang bagian penutupnya sudah terbuka, cairan berwarna kuning terang terlihat di dalamnya, dan di tubuh botol tersebut tertera tulisan ‘Corona Extra’.

Dan baik Rengganis maupun Satrio kini sama-sama menikmati minumannya. Satrio menjadi orang pertama yang menaruh minumannya di atas meja, baru beberapa detik kemudian Rengganis menyusul, menyudahi tegukannya pada tabung kaleng dengan isi cairan adalah minuman dengan rasa teh hijau.

Mereka pun kini saling diam sejenak, Rengganis terlihat berusaha menyamankan posisi duduknya dengan tetap menegakkan punggung, sedang Satrio menyilangkan kaki seraya bersandar pada sandaran kursi, wajahnya menatap Rengganis dalam-dalam tanpa ekspresi.

“Lo tau kan Nis, gue ngundang lo ke sini bukan buat ngejelasin tentang penyergaan rombongan lo kemaren. Karena gue yakin, lo dan orang-orang rumah lo enggak bakal ngasih jawaban yang memuaskan..” Satrio membuka pembicaraan dengan nada dingin dan resah, mata lelaki yang menjabat sebagai Perdana Menteri termuda sepanjang sejarah negeri itu pun sayu menatap lawan bicaranya.

Dan Rengganis, ia hanya tersenyum kecil menanggapi perkataan Satrio, membuat lelaki itu kembali harus menghela napasnya dalam-dalam.

“Gue enggak tau apa yang bener-bener terjadi di rumah lo, dan seperti janji gue, gue enggak bakalan ikut campur sedikitpun. Ya walaupun kenyataannya, gue tetep harus ngurusin bekas kekacauan di TKP penyergapan rombongan lo kemaren.” Ucap Satrio dengan nada sedikit mencibir.

Rengganis merespons itu kembali dengan senyum kebisuannya, tetap diam seribu bahasa sampai ia rasa sang perdana menteri sudah selesai dengan keluh kesahnya nanti.

“Jujur nih Nis, sebenernya sekarang tuh pala gua bener-bener penuh, hati gue juga ngerasain sedih dan bingung di waktu yang sama terkait kedatangan lo saat ini Nis.” Satrio melanjutkan kata-katanya lagi, kali ini ia menolehkan kepalanya ke arah jendela, mencoba mengentaskan gelisah di dalam dirinya.

Rengganis yang mendengar perkataan Satrio hanya diam, ia hanya mengembangkan senyumnya yang kali ini sedikit diperlebar.

“Jujur gue seneng lo ke sini enggak ditemenin Saka atau pun si gila Damar. Tapi entah kenapa, justru itu yang bikin gue bingung. Lo enggak biasanya ke sini sendirian.” Sambung Satrio lagi dengan wajah tetap menghadap ke jendela.

Dan di saat bersamaan, tepat ketika Satrio melafalkan nama Saka, ada sekelibat kesedihan yang terasa menghantam dada sang pemuncak kuasa Purantara. Namun bukan Rengganis namanya jika tidak bisa mengendalikan dirinya. Dari itu ia pun segera mengentaskan segala perasaan pribadinya, tetap mengumbar senyum di bibir merah mudanya.

“Tapi percuma juga kan? Mau gue tanya mereka kemana juga.. lo paling jawabnya mereka lagi ada urusan, kan?” Ujar Satrio seraya mengalihkan pandangnya kembali ke wajah Rengganis.

Dan lagi-lagi, hanya senyum kecil yang ia dapat sebagai respons ucapan-ucapannya.

“Haahhhhhh.. terserah lo dah Nis..” Gerutu Satrio seraya kembali menyambar botol minumannya, meneguk isi botol tersebut hingga bersisa seperempat saja. Lalu diletakkannya kembali botol tersebut di atas meja, kemudian ia mencondongkan posisi duduknya ke depan.

“Jadi mending kita bahas masalah utamanya aja, Dewan tertinggi udah makin neken gue Nis, dan buat ngadepin mereka, gue butuh penjelasan paling jujur terkait badai yang melanda hampir sepenjuru pulau utama pagi ini. Gue butuh penjelasan sejelas-jelasnya, dan sejujur-jujurnya. Apa dalang dibalik badai pagi ini sama dengan dalang di balik tsunami Lemah Kidul?” Ujar Satrio dengan tatapan sedikit dipertajam dan nada bicaranya yang diberi penegasan.

Namun Rengganis tetaplah Rengganis, sedikit pun ia tak merasa terdistrak akan sikap sang perdana menteri negeri yang tengah menatap tajam di hadapannya. Berubah sikap menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Dengan pelan ia menghela napas dengan lembut.

Lalu dengan tenang, Rengganis pun menggelengkan kepala, seraya membuang napasnya pelan.

“Bukan, bukan Nyimas Ajeng atau pun orang-orang Hematala lainnya yang membuat badai ini.” Jawab Rengganis dengan nada tenangnya.

“Terus? Lo mau bilang kalo badai pagi ini Cuma anomali alam biasa? Lucu kalo lo nyuruh gue mikir kaya gitu.. Hhhh.. bisa dibabat abis gue ama para tua bangka di atas sana.” Sahut Satrio menyangsikan ucapan Rengganis.

Kembali, Rengganis pun menghela napasnya dalam-dalam, ia hapus senyum dari bibir merah mudanya, seraya menatap Satrio dengan tatapan yang sedikit ditajamkan.

“Ini bukan perbuatan Nyimas Ajeng dan orang-orangnya, kamu hanya perlu mengetahui itu saja.” Timpal Rengganis dengan dingin, aura nya jelas berubah ketika ia melafalkan kalimat tersebut, dan itu lebih dari sekedar mampu untuk membuat seorang Satrio Joyo Widono menelan ludahnya dengan berat.


**

Rumah utama Purantara, di waktu yang sama.

Di salah satu ruangan yang berada di lantai paling pertama dari bangunan bawah tanah, seorang lelaki paruh baya dengan seragam militer duduk tegap di sebuah kursi kayu, di bagian dada seragamnya lencana-lencana terpasang dengan angkuh, di bahunya pun berjejer bintang-bintang yang menandakan bahwa lelaki itu memiliki kedudukan tinggi di kemiliteran. Dan wajah lelaki paruh baya itu terlihat masam.

Sedang di kanan dan kirinya berdiri dua orang pemuda berseragam militer pula, namun dengan jumlah lencana dan bintang yang tak sebanyak si lelaki paruh baya berwajah masam tadi. Dan tepat di hadapan lelaki itu, tepat di atas kursi yang berada di ujung meja di hadapannya, duduk seorang Damar Raksa Aliendra yang terlihat tengah santai menikmati puntung rokok bentoel birunya yang hanya tersisa seperempat.

Menghisap dan menghembuskan asap rokok tersebut dengan santai, seolah tak peduli pada ketiga orang di hadapannya. Wajah Damar pun tak kalah masam, malah terlihat jauh lebih tak bersahabat dari biasanya.

“Ini sudah batang ketigamu, aku harap setelah batang ini habis kau tidak membakar batang selanjutny.” Ucap lelaki paruh baya yang duduk bersila tangan di hadapan Damar. Oleh Damar, ucapan lelaki itu hanya ditanggapi dengan anggukkan pelan, yang menandakan bahwa ia setuju akan perkataan orang di hadapannya.

Dan suasana pun Kembali hening, Damar yang berfkus pada hisapan-hisapan terakhir tembakaunya terlihat santai tanpa beban, hingga dihisapan terakhir, ia pun mematikan puntung rokok kesayangannya ke asbak kaca di meja, menghembuskan napasnya yang berisi asap tembakau tinggi-tinggi ke udara.

“Fyuuhhh.. here we go..” Ujar Damar seraya mencondongkan posisi duduknya ke depan, kedua telapak tangannya ia letakkan di atas meja, dengan bahu yang sedikit ia gerakkan untuk mengentas kaku di sana.

Dan lelaki paruh baya di hadapan Damar pun menurunkan silangan tangannya, kemudian mengangkat tangan kanannya ke udara, memberi perintah agar kedua pemuda yang tak lain adalah bawahannya untuk meninggalkan ruangan. Dan tanpa perlu menunggu instruksi lanjutan, kedua pemuda itu pun segera undur diri dan keluar dari ruangan, meninggalkan sang atasan berdua dengan Damar.

Kini, kedua lelaki yang terpaut rentang usia itu pun saling tatap dengan dalam, Damar dengan tatapan tajam mengintimidasinya, sedang sang lelaki paruh baya dengan tatapan datar tanpa ekspresi.

“Kau tahu betul jika aku tidak suka menunggu kan, Damar?” Lelaki paruh baya di hadapan Damar membuka obrolan, yang oleh Damar langsung direspons dengan seringaian kecil.

“Apa aku memintamu menunggu? Tidak.. tidak.. lebih tepatnya, apa aku memintamu datang ke sini?” Sahut Damar dengan santainya. Sangat jelas ketidaksukaan Damar karena harus berhadapan dan berbicar dengan orang di depanna.

“Apa kau pikir aku mengharapkan ini? Sedari awal sedikit pun aku tidak berharap bahwa kau lah yang menyambutku. Cihhh..” Timpal lelaki paruh baya di hadapan Damar, dan seperti Damar, ia pun terlihat tidak senang dengan pertemuan ini.

“Kalau begitu silahkan pergi.. apa aku menahanmu untuk berlama-lama di sini?” Ujar Damar sedikit sengit, jelas sekali terlihat perubahan di dalam gaya bahasanya kali ini, di mana ia sedikit menanggalkan aksen dan dialeg lokal daerahnya, untuk menyesuaikan gaya bicara dengan lelaki di hadapannya itu

Bukan tanpa alasan, karena bagaimana pun, Damar saat ini harus memposisikan dirinya dengan baik di hadapan sang jenderall utama militer negeri ini.

Ya.. lelaki di hadapan Damar yang sedari tadi menunggu itu adalah Panglima besar sekaligus jenderal utama yang berada di pucuk kepemimpinan militer negeri ini.

“Andai aku punya pilihan, aku lebih memilih berhadapan dengan Saka dibanding berhadapan dengan adiknya yang tak tahu sopan santun ini.” Cibir sang jenderal utama dengan santainya. Dan kembali, Damar hanya merespons hal tersebut dengan seringaian kecil.

“Ini perinngatan terakhir untukmu, sekali lagi kau sebut nama saudaraku di pembicaraan ini, maka lencana-lencana di dadamu itu akan kutenggelamkan ke dalam paru-parumu.” Damar berkata dengan datar namun penuh kesungguhan.

“Apa kau sadar atas ucapanmu barusan? Apa kau benar-benar tengah mengancam pucuk tertinggi militer negeri ini?” Ucap sang jenderal dengan dinginnya.

“Itu bukan sebuah ancaman, itu peringatan. Dan kau tahu betul, aku ini anjing gila.. aku bisa bertindak lebih dulu baru berpikir setelahnya.” Sahut Damar dengan tatapan dalam.

Keheningan pun langsung merebak ke sepenjuru ruangan, tatapan dalam antara dua lelaki itu seolah magnet pengikat yang tak bisa dilepas. Seolah lewat tatapan itu, mereka berusaha memberikan tekanan-tekanan tak kasat mata. Dan suasana lengang itu pun berlangsung beberapa menit lamanya, sampai akhirnya sang jenderal menyerah, ia mengalihkan pandang ke arah lain, membuang wajah seraya kembali menyilangkan tangan di depan dadanya.

“Aku muak berurusan dengan kalian semua..” Cibir sang jenderal besar dengan raut yang terlihat lelah.

“Maka jangan ikut campur, biarkan konflik empat pancang utama pulau menjadi urusan kami. Dan biarkan kami menyelesaikannya sendiri.” Ujar Damar angkuh.

“Cihh.. jangan ikut campur kau bilang? Bagaimana aku bisa diam saja, melihat kekacauan-kekacauan yang timbul akibat konflik kalian? Tsunami yang menyapu Lemah Kidul kemarin juga menewaskan penduduk yang tak tahu menahu tentang dunia kalian! Lalu kekacauan di Cikiridang, aku bahkan harus turun langsung untuk memastikan gesekan di sana tidak tercium oleh masyarakat dan media. Lalu pagi ini, badai besar melanda sepenjuru pulau, dan aku yakin.. ini bukan sekedar badai biasa,.” Sang jenderal berujar dengan tatapan dingin ke arah tembok ruangan, ia masih memalingkan wajahnya dari Damar, dan Damar.. ia terihat diam dengan gigi mengerat, mencoba menahan dirinya.

“Dan setelah segala kekecauan ini, kau masih berani memintaku untuk diam? Sejak para pembangkang itu memicu tsunami yang merenggut nyawa para penduduk, sejak saat itu juga konflik ini sudah menjadi konflikku. Mengerti?” Sang jenderal menutup kalimatnya dengan wajah yang sudah menatap Damar lagi, dan tepat saat itu juga, kedua telapak tangan Damar mengepal keras.

Melihat itu wajah sang jenderal besar tiba-tiba berubah, keringat dingin pun tiba-tiba mengucur dari keningnya seiring lencana-lencana di dadanya yang ia rasakan mulai menekan kulit dadanya. Dan sang jenderal amat tahu, bahwasanya ia tengah menghadapi seorang Damar Raksa Aliendra yang terlihat sudah mulai menggila.

Kedua tangan sang jenderal pun sigap meraba-raba dadanya sendiri, berusaha menahan lencana-lencana yang ia rasakan semakin menekan bagian dadanya. Sedang Damar sendiri memejamkan matanya erat-erat, berusaha mengendalikan dirinya sendiri.

KRRRIIIIIINNGGG.. KKRRIIIIIINGGG..

Di tengah situasi yang membuat sang jenderal berdebar hebat bukan main itu, tiba-tiba telepon seluler milik petinggi kemiliteran itu berdering. Dan bunyi telepon seluler itu laksana denting lonceng di puncak menara bagi Damar, sebab seketika itu juga ia langsung melepaskan kepalan tangannya, membuat lencana-lencana yang tadinya seolah hendak merangsek masuk ke rongga dada sang jenderal langsung terhenti, mati seperti benda mati seharusnya. Dan sang jenderal pun langsung membuang napasnya lepas-lepas, lalu menghela dalam-dalam.

KRRIIIIINGGG.. KRIIIIIINGGG..

Telepon seluler di saku sang jenderal masih berbunyi, sebab sang pemilik masih berusaha mengendalikan diri setelah lepas dari mara bahaya yang sempat menghampirinya. Namun tidak bagi Damar, ia merasa terganggu dengan dering berulang itu. Lalu hanya dengan menggunakan rangkaiann jemari di telapak tangan kanannya, ia dengan mudah mengeluarkan telepon seluler dari saku sang jenderal utama, mengeluarkan tanpa menyentuh sedikit pun, dan setelah itu.. telepon seluler model lawas dengan antena di bagian atasnya itu segera di arahkan Damar ke depan wajah sang jenderal, melayang-layang di udara dengan bunyi pengang yang mengganggu pendengaran.

“Kupingku sakit, mau diangkat atau harus aku hancurkan?” Tanya Damar dengan dingin, dan tanpa menunggu detik berlalu, sang jenderal pun segera manyambar telepon tersebut, ia tadinya hendak menolak panggilan masuk itu, namun ketika melihat nama yang tertera di layar, tanpa pikir panjang ia pun segera menjawab panggilan itu.

“Kabar darurat apa yang kau bawa? Sebaiknya sampaikan dengan cepat, sebab saya sedang ada pertemuan penting.” Ujar sang jenderal seraya melirik Damar yang kini sudah menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Dan meski wajah Damar terihat acuh tak acuh, namun tentu saja tidak dengan isi pikirannya. Sebab dalam diamnya, Damar langsung menyiagakan telinganya baik-baik.

“Lapor jenderal, pasukan yang ditugaskan untuk memblokade Cikiridang di serang. Sepertinya serangan dadakan dan terorganisir, sebab mereka tidak sempa melapor atau pun mengirimkan sinyal SOS pada kami.”

Terdengar suara seorang lelaki dengan napas terengah keluar dari speaker telepon seluler tersebut, dan seketika itu juga Damar langsung mengerutkan keningnya dalam-dalam. Terus menguping pembicaraan, yang seharusnya takkan bisa didengar sebab telepon tersebut tidak dalam mode load-speaker, namun bagi Damar itu bukanlah masalah. Sebab pendengarannya sangat tajam, jauh lebih tajam dari siapapun yang ada di rumah utama Purantara.

“Lanjutkan..” Ujar sang jenderal dengan dingin sembari melirik Damar di hadapannya.

“Kami baru mengetahui serangan ini setelah ada seorang anak laki-laki yang melapor, anak itu membawa salah satu mobil operasional yang digunakan pasukan tersebut, dan dari keterangan anak itu, ia baru saja mengevakuasi 8 prajurit ke rumah sakit, masih menurut penuturannya juga, hanya 8 praajurit itu yang masih selamat, sedang sisa pasukan sudah gugur di lokasi.”

Degg.. baik Damar maupun sang jenderal tiba-tiba merasakan debar jantungnya seperti tertahan beberapa detik. Sang jenderal tentu saja kaget sebab penyerangan terbuka yang menimpa pasukan yang ditugaskan untuk memblokade lokasi penyerangan iring-iringan Purantara. Sedang Damar tercekat sebab mendengar kata-kata “anak lelaki”.

Dan tentu saja, yang muncul pertama kali di kepala Damar adalah wajah sang keponakan, Regan Denta Purnama.

“Tanyakan pada orangmu, apakah anak lelaki itu berusia sekitar 16 sampai 18 tahun, dengan salah satu dari kedu anak itu berperawakan jangkung.” Damar pun buka suara, entah ia meminta tolong atau memberi perintah kepada sang jenderal, susah untuk dibedakan.

Namun seolah enggan berselisih lebih jauh dengan Damar, sang jenderal pun lekas melakukan apa yang diminta oleh Damar, ia pun menanyakan persis seperti apa yang Damar bilang tadi.

“Tidak jenderal, dari laporan yang saya dapat, hanya ada satu anak lelaki dengan usia seperti yang jenderal katakan. Dan benar, perawakan anak tersebut tinggi jangkung.”

Mendengar jawaban dari sang penelepon, Damar seketika langsung tahu dan mengerti dengan situasi yang terjadi. Ia amat yakin, anak lelaki yang melakukan evakuasi adalah kawan dari keponakannya, dan entah kenapa itu langsung membuat Damar merasa bahwa ia harus melakukan lebih dari sekedar mondar-mandir di bangunan bawah tanah ini. Hatinya yang sudah kalut pun semakin kalut saja, aklut sejadi-jadinya.

“Tahan anak itu apapun yang terjadi, jangan biarkan dia kemana-mana. Bahkan jika dia bilang harus bertemu dengan temannya, tetap tahan dia. Lakukan apapun untuk menahan anak itu. Dan ini permintaan pribadiku, jika kau tak mau kehilangan prajurit lagi. Maka jauhkan orang-orangmu, jangan kirim satu pun prajuritmu ke sana..” Damar berucap panjang lebar seraya berdiri dari duduknya, menatap lamat-lamat wajah sang jenderal utama yang masih menempelkan telepon di pipi. Belum bereaksi sama sekali.

“Aku mohon..” Sambung Damar seraya membungkukkan tubuhnya, ia sudah tidak peduli pada ego dan harga dirinya saat ini. Melihat itu sang jenderal pun langsung terhenyak, ia tak menyangka bahwa si anjing gila bisa membungkukkan tubuhnya dan memohon seperti itu.

“Perintah pertama, amankan dan tahan anak itu, tempatkan dia di tempat yang paling aman dan nyaman. Perintah kedua, tahan semua pasukan, jangan ada pergerakan sampai ada perintah selanjutnya. Jika ada yang melanggar, dan sampai berani bergerak ke lokasi, maka akan mendapatkan sanksi tingkat 1.” Ucap sang jenderal seraya memutuskan sambungan telepon tersebut.

TI DI DING DING.. TI DI DING DING.. TI DI DING DING DING..

Tepat Ketika sang jenderal hendak berbicara kepada Damar, sebuah dering nada panggilan milik pabrikan telepon seluler asal Finlandia berdering di saku jaket Damar, membuat sang ujung tombak sementara Purantara itu segera mengeluarkan telepon seluler lawasnya. Di layer ponsel tersebut tertera nama seseorang yang sedari tadi memang sudah ia tunggu-tunggu untuk menghubunginya.

Tanpa merasa perlu duduk Kembali ke kursinya, Damar pun segera mengangkat panggilan tersebut, ia tempelkan dengan cepat ponselnya ke telinga.

“Ya’ah Sang Hyuk-ah.. kenapa sulit seka..”

“A’ah.. simpan omelanmu di lain waktu Sunbae.. aku hanya ingin bilang, bahwa aku tidak mungkin bisa membawa target dengan mudah. Situasinya sangat sangat tidak memungkinkan di sini.”

(Sunbae : panggilan untuk senior)

Dari seberang sambungan telepon itu, terdengar suara seorang lelaki, yang meski terdengar jelas setiap lafalan katanya, namun aksennya terdengar sedikit aneh, semacam.. aksen-aksen orang dari negeri jauh yang mencoba membiasakan diri dengan Bahasa negeri ini.

“Apa maksudmu?” Damar lekas bertanya tanpa memprotes pemotongan kalimat yang dilakukan oleh orang di seberang sambungan teleponnya itu.

“Sunbae.. tidak tahu apakah kamu akan terkejut atau tidak dengan apa yang kulihat sekarang, tapi aku benar-benar melihat ini. Aku melihat perempuan itu! Dan sialan tau.. dia bikin penghalang, jadi aku tidak bisa mendekat..”

Orang yang berbicara dengan Damar itu terdengar gemas sekali, seperti menggerutu dan resah di saat bersamaan. Dan itu senada dengan Damar, begitu mendengar kata “Perempuan itu” dan “Penghalang” yang disebutkan oleh lawan bicaranya, kaki Damar langsung gemetar hebat, bola matanya yang tak terlalu lebar itu seperti dipaksa terbuka jauh lebih lebar.

Ini adalah apa yang Damar takutkan dan sempat ia sampaikan kepada Kakak Iparnya beberapa waktu sebelumnya, ketika ia tengah kalut-kalutnya sebab kepergian sang putra mahkota dari rumah utama.

Yakni bahwa Hematala akan mengirim salah satu dari lima Pancabaranya untuk menyergap Regan, tapi ia benar-benar tak menyangka, bahwa anggota Pancabara yang dikirim ke lokasi tersebut adalah satu-satunya perempuan yang menjadi anggota Pancabara, seperti yang baru saja disebut oleh seseorang bernama Sang Hyuk di seberang sambungan telepon itu.

“YA’H SANG HYUK-AH!! JANGAN MAIN-MAIN DENGAN UCAPANMU!!” Hardik Damar mencoba untuk tidak percaya. Mencoba menepis apa yang dia dengar, berharap bahwa lawan bicaranya hanya sedang mengajaknya bercanda.

“Ya’h Sunbae! Jangan meneriakiku, sialan. Sudahlah, aku hanya ingin menyampaikan itu. Sekarang aku akan coba mendekat, dan menghancurkan penghalang ini. Miane Sunbae.. tapi aku tidak bisa diam saja.”

(Miane : Maaf)


“HAJIMA!! NEO MINCHYEOSSEO??!!!

(Jangan! Kamu sudah gila, ya?!)


Damar menghardik dengan bahasa asal sang lawan bicara, mencoba menahan agar Sang Hyuk-ah tidak bertindak di luar batas. Khawatir, dari lubuk terdalam hatinya ada setitik kekhawatiran meraga untuk sang kawan.

“A’ah.. Keokjeong hajimaseyo, Sunbae..”

(Jangan khawatir, Sunbe..)


Sahut Sang-Hyuk dengan santainya, namun sedikit pun itu tak membuat Damar menanggalkan kekhwatirannya.

“SANG HYUK-AH.. Jangan coba-coba..”

Tut.. Tut.. Tut.. Tut..

Baru saja Damar hendak memperingatkan Sang Hyuk, sambungan telepon tersebut diputus secara sepihak, membuat Damar menggerutu hebat dan segera mengantongi ponselnya. Ia sudah hafal peringai kawannya itu, kalau pun Damar berusaha untuk menelpon balik, pasti hanya akan dijawab oleh operator bersuara wanita yang memberitahu bahwa nomor yang ia tuju sedang tidak diaktifkan.

“Asuuu.. si ceroboh itu benar-benar bodoh.” Maki Damar pelan seolah berbicara pada dirinya sendiri.

“Ada apa Damar? Siapa yang menelepon barusan?” Tanya Jenderal utama militer yang sedari tadi hanya diam memperhatikan Damar menerima telepon, tak mengerti sama sekali dengan pembicaraan Damar dengan kawannya barusan.

“Bukan siapa-siapa, mari kita lanjutkan obrolan ki..”

BRAAAKKKK!!!!

Belum sempat Damar menyelesaikan ucapannya, pintu ruangan tersebut terbuka lebar dengan daunnya terbanting keras. Hal itu terang saja membuat Damar dan sang jenderal langsung mengarahkan pandang ke arah sumber keributan.

Dan seketika itu pula, sesosok lelaki tua dengan pakian pasien rumah sakit berdiri menantang. Di tangan kiri lelaki itu masih terpasang selang infus yang terhubung dengan tiangnya. Beberapa orang terlihat berupaya menahan lelaki tersebut, namun kebulatan tekad membuat lelaki tua berwajah pucat itu bagai ombak pantai selatan, tak bisa ditahan.

“Maaf Mas Damar, maaf sekali kalau Mamang mengganggu. Tapi Mamang mohon, izinin Mamang membantu dalam masalah ini.”

Ya, lelaki yang menerabas masuk ke ruang pertemuan itu adalah Mang DIman. Ia terlihat terengah dan amat lelah, namun sorot matanya tak bisa dibendung. Ada keinginan kuat yang berkobar di sana. Membuat Damar seketika melangkahkan kaki mendekat. Pun sang jenderal utama yang langsung berdiri dari duduknya.

“Maaf Mang, sebaiknya Mamang kembali.. kondisi Mamang belum pulih penuh sepenuhnya.” Ucap Damar seraya memegang kedua bahu Mang Diman dengan erat. Ditatapnya dalam-dalam sorot mata penuh semangat milik lelaki renta itu.

“Enggak Mas, Mamang mohon, gimana pun Mamang pernah janji sama Nyai kalau Mamang bakal jagain Nggan dengan segenap jiwa dan raga Mamang. Dan sebagai lelaki, Mamang harus megang janji Mamang.” Ujar Mang Diman dengan sorot mata memohon, melihat itu Damar hanya bisa menghela napas panjang, kemudian diusapnya bahu Mang Diman dengan penuh pengertian.

“Kembalilah Mang, pulihkan diri dulu, kita percayakan saja pada Sembawa dan Jembaka. Aku juga wes ngirim kancaku buat bantu di sana. Dan aku yakin.. mereka pasti..”

“Pasti apa Om?” Kata-kata Damar tak selesai, sebab seseorang menyela kalimatnya. Dia seorang gadis muda, muncul dari balik kerumunan punggawa yang berdiri di belakang Mang Diman. Gadis muda itu berjalan bersama Arum yang terlihat sedikit tergesa mengejar di belakangnya.

Melihat itu, Mata Damar pun langsung terbuka lebih lebar, seraya kerutan di dahinya yang menguat. Sedang gadis itu terus berjalan mendekat, melewati ruang yang diberikan oleh para punggawa, menatap satu persatu mata oranag-orang yang ada di sana, seperti tengah memetakan wajah. Dan hanya beberapa mata yang luput dari tatapannya.

Dan setelah di rasa cukup, gadis yang masih berjalan pelan itu menempatkan telapak tangannya yang terbuka di depan dada, jari tengah dan jari telunjuknya tegak berdiri, sedang sisanya tertekuk ke arah bagian dalam telapak tangan. Melihat itu, wajah para punggawa pun langsung memucat, dan sebelum mereka sempat memikirkan kemungkinan yang lebih jauh, gadis itu membuka bibirnya pelan.



“iru!” Ujarnya pelan namun dengan penuh penagasan. Dan seketika itu juga, satu persatu orang yang berada di ruangan luruh lantai dengan mata tertutup, langsung kehilangan kesadarannya.

Hanya gadis itu, Arum, Mang Diman dan Damar saja yang masih berdiri, sisanya benar-benar nyaman dalam tidur dadakan yang dihadirkan gadis remaja itu lewat bibir merah mudanya. Termasuk sang jenderal utama, dan dua pengawalnya.

Melihat itu Damar pun langsung menyongsong kedatangan gadis tersebut, wajahnya merah padam menahan sesuatu di dalam dirinya yang hendak meledak sebab akumulasi kemelut dan masalah-masalah yang menumpuk.

“Apa yang kamu lakukan? Hah?” Tanya Damar dengan tubuh merapat ke tubuh gadis tersebut. Dan saat itu juga, dari kelopak mata gadis itu turun sebulir bening air mata, terlihat jelas bahwa gadis itu tengah menahan kesedihannya dengan sekuat tenaga.

Melihat itu Arum segera mengambil posisi di antara Damar dan sang gadis pemberi tidur tersebut, mendorong pelan dada Damar untuk meminta lelaki itu mengambil jarak, setelah itu langsung merangkul gadis remaja yang masih berusaha mengendalikan tangisnya itu.

“Maafin kelancangan aku Om, tapi aku bener-bener khawatir sama Nggan. Dan aku enggak bisa diam aja. Aku mau..” Ujar gadis muda itu dengan suara tersendat, namun kata-katanya tak selesai, sebab Damar segera memotong ucapannya.

“Dermadaya-mu bahkan belum seperempatnya mampu kamu kuasai, apa yang membuatmu berpikir bahwa kamu bisa membantu dalam masalah ini? Bahkan sedikit pun ndak terlintas di benakku maupun Mba-ku untuk menggunakan kekuatanmu yang jauh dari kata sempurna itu!” UJar Damar tegas dengan tangan terkepal.

Tunggu.. tunggu.. jangan salah paham dulu dengan kerasnya Damar saat ini, sedikit pun ia sebenarnya tak meremehkan kemampuan gadis muda itu, hanya saja.. dengan kemampuannya saat ini, akan sangat berbahaya jika gadis itu memaksakan diri. Kemampuannya benar-benar jauh dari kata “layak pakai” saat ini. Dan risiko yang dihadapi tentunya terlalu besar, itu yang membuat baik Damar maupun Rengganis dan yang lainnya, tidak terbersit sedikit pun untuk meggunakan kemampuan Dermadaya milik gadis tersebut.

Dermadaya sendiri adalah kemampuan yang bisa membuat penggunanya mengcover Ki’ untuk orang lain, atau tepatnya bisa memberikan Ki’ miliknya untuk keperluan orang lain. Sedikit mirip dengan apa yang dilakukan tempo hari ketika memberikan Ki’nya untuk Mang Diman dan punggawa lain ketika penghadangan terjadi.

Namun Dermadaya sedikit berbeda, jika kemampuan ini sampai pada tahap sempurna, maka kemampuan transfer Ki’ yang dilakukan Saka tempo hari tidaklah ada seujung kukunya, tidak sama sekali. Tetapi masalahnya adalah, kemampuan Dermadaya gadis muda ini sangat jauh dari kata sempurna, bahkan seperempatnya saja tidak sampai.

“Aku tahu Om, tapi aku enggak mau Nggan kenapa-kenapa, aku mau Nggan pulang Om. Aku juga tahu risikonya, tapi aku enggak peduli, aku mau Nggan pulang Om! Hiks..” Pekik gadis muda itu mulai kehilangan kendali atas tangisannya.

Dan melihat itu Damar segera mengusap wajahnya dengan kebas, Arum segera memeluk gadis muda itu erat-erat, sedang Mang Diman berdiri mematung seraya memandangi telapak tangannya sendiri.

**



POV REGAN


Belasan menit sebelum Damar menerima telepon dari koleganya.

“Hey bocah tengik..”

Degg..

Aku tercekat tatkala suara hewan itu terdengar berat terarah kepadaku, dengan kepalanya yang sedikit menoleh ke belakang, memamerkan sepasang taring panjang yang menjuntai keluar dari rahang atasnya, melewati dagunya. Mata hewan itu terlihat tenang namun tajam di saat bersamaan.

Tapi entah kenapa, ketika mataku beradu dengan mata hewan tersebut, aku seperti merasa enggak asing dengan tatapannya. Kaua sudah sering ngeliat tatapan ini sebelum-sebelumnya.

“Senang masih bisa melihatmu memasang wajah bodoh seperti itu hhrrrmm..”

Glek..

bangsat bangsat bangsat!! Ini aku udah gila pasti.. sumpah.. udah gila beneran pasti aku ini, bangsat!!!!!

Ini pasti siluman.. pasti siluman ini!!

Tapi di jaman secanggih ini, yakali masih ada begini-beginian? Lagian mao jaman dulu atau jaman sekarang pun, aku enggak pernah ngebayangin kalo siluman- siluman beginian beneran ada di dunia nyata.. anjing banget sumpah.. ini ngawur pasti.. ngawur pastinya ini!! Aarrgghh..

“OUGHH.. OUGGGHHH..”

Di tengah ketercekatanku, tiba-tiba anjing berkepala dua yang berada di samping si harimau gigi pedang menolehkan satu kepalanya ke arahku, menggonggong nyalak dengan gigi tajam dan liur yang menetes sembarang.

Dan anehnya, entah kenapa aku sama sekali enggak takut sama gonggongan anjing siluman itu. Karena.. karena tatapan matanya kaya enggak asing, sumpah.. tatapannya itu kaya.. kaya udah sering ngeliat gitu.

“Den.. aden tidak apa-apa? Apa ada yang luka Den?” Tanya sang pembicara seraya membantuku untuk berdiri, beberapa rekan si pembicara juga terlihat mulai bangkit.

Satu.. dua.. tiga.. syukurlah.. tiga orang rekan dari si pembicara juga selamat, mereka sekarang sedang berusaha bangkit, walau terbatuk-batuk darah dan luka di mana-mana. Termasuk orang yang tadi terlempar ketika menghalau lemparan besi yang dilumuri api.

“Den Regan... den.. aden baik-baik saja kan?” Aku terkesiap tatkala si pembicara tadi kembali menanyaiku, kali ini ia bahkan sedikit mengguncang bahuku. Membuatku refleks langsung menganggukkan kepala.

“Uhuk.. kalau begitu kita harus segera menyingkir dari sini, kita harus bawa Den Regan ke tempat yang aman. Maaf Den..” Seorang rekan dari si pembicara yang sudah bergabung berbicara dengan terbatuk-batuk, bibir dan hidungnya berlumuran darah, sedang tangannya terlihat sibuk mengusapi dada.

Kemudian dengan tangan satunya lagi, orang yang bicara tadi menempatkan telapak tangannya di depan wajahku, membuatku seketika mematung keluh sebab kurasakan ada sesuatu yang berhembus dari telapak tangan orang itu, berhembus dengan lembut dan menerpa tepat di kedua mataku. Membuatku reflek memejamkan mata untuk beberapa detik.

Baru setelah terpaan energi lembut di mataku terhenti, aku pun membuka mata, dan kontan saja.. pandanganku yang tadinya hanya hitam putih kembali normal seperti semual, berwarna warni lagi. Pohon-pohon menghijau, asap-asap membumbung, darah merah di wajah orang-orang di dekatku, dan semuanya. Semuanya benar-benar berwarna lagi, dan aku enggak bisa boong, aku seneng karena penglihatanku bisa kembali seperti semula.

“Baiklah.. ayo kita menyingkir dari sini.” Ujar orang yang tadi menempatkan telapak tangannya di depan mataku, dan itu langsung disambut dengan anggukan kepala dari rekan-rekannya.

“Hrrrrmm.. benar.. kalian makhluk-makhluk hina segeralah menyingkir.. biar aku dan anjing manja ini yang menghadapi betina laknat itu hhhrrrmmhh..”

“OUUGHHH!! GGGRRHHH..”

Dan kembali, Harimau Gigi Pedang yang seremnya bukan main itu membuka rahangnya. Suaranya yang serak-serak berat itu benar-benar menyeramkan. Terlebih, anjing berkepala dua di sampingnya langsung menggonggong, seolah menyahuti ucapan sang Hariau pedang tadi.

Sumpah.. ini Bener-bener bikin aku bergidik sendiri sebab dipaksa menerima kenyataan bahwa di depan mataku kini, ada makhluk-makhluk aneh bin ajaib, yang bahkan salah satunya bisa bicara coy!

“Ba.. ba.. baik.. ayo Den..” Sahut sang pembicara seraya memegang kedua bahuku, memintaku untuk membalikkan badan untuk pergi bersamanya dan ketiga rekannya yang sudah lengkap bergabung.

“A’ah.. kalian seharusnya tidak menghilangkan keindahan di mata anak itu, sayang sekali.. maka jangan salahkan aku jika harus melakukan ini.”

Ketika aku baru saja membalikkan tubuh dan hendak berjalan mengikuti sang pembicara dan rekan-rekannya, tiba-tiba suara perempuan tadi terdengar lengang mengalun, melaung begitu jauh dan jelas.

Berbarengan dengan itu pula, ada hawa aneh yang menerpa areal perbukitan ini, seperti ada hening yang tiba-tiba menjalar, bahkan kurasakan.. tiba-tiba saja angin berhenti bertiup, daun-daun pepohonan langsung berdiam keluh. Serupa langkahku dan langkah empat orang yang sedari awal ternyata mencoba mengevakuasiku dari tempat ini.

Apa lagi ini? Hal absurd apalagi yang akan terjadi kali ini?

Dan belum sempat otakku memproses apapun, tiba-tiba ada getaran lembut yang kurasakan menjalar dari bawah pijakan, seperti ada sesuatu yang melesat di bawah sana. Dan sepertinya bukan hanya aku yang merasakan itu, tapi keempat orang yang bersamaku, kami pun saling berpandangan, seraya mengedarkan pandang menatap tanah sekeliling kami. Lalu tiba-tiba..



WWUUUURRRHHHHH.. WWWWUUUURRRRHHHH...

WWWWUUURRRRRHHHHH... WWWUUUURRRHHHH...



Sebuah energi hitam dengan bentuk menyerupai kobaran api keluar secara perlahan dari dalam tanah, menyebar dengan cepat membentuk dinding yang semakin lama semakin meluas, kaya ngelingkerin daerah sekitar sini.

Bangsat.. bangsat.. anjinglah.. lama-lama bisa mati berdiri nih aku ngeliat hal-hal aneh kaya gini.

Kemunculan api-api hitam itu pun otomatis membuat aku dan keempat orang di sampingku kebigungan. Langkah kami terhenti, mata kami kompak menjelajah ke sekitar, dan bangsatnya.. api hitam yang keluar dari dalam tanah itu benar-benar enggak ngasih celah buat kami pergi. Di depan sana api hitam itu membumbung tinggi, menyebar hingga ke kanan dan kiri kami, di punggung bukit, juga keluar dari bawah jurang.

Jagat Dewa Batara.. mimpi buruk apa lagi sih ini?

“Ini..” Ucap salah satu rekan si pembicara dengan mata membelalak, bibirnya bergetar seirama dengan tangannya. Alisku langsung tertaut, selain karena bingung dengan situasi dan nyala api yang tak pernah kulihat sebelumnya, tapi juga dikarenakan keempat orang berjas hitam yang mengerubungiku seketika memasang wajah pucat pasi.

“Cemani Geni.. berarti perempuan itu..” Sang pembicara pun buka suara dengan enggak kalah gemetarannya, membuatku seketika langsung memutar Kembali tubuhku, menghadap ke perempuan yang berada di depan sana. Karena jujur, aku penasaran, siapa dia sebenarnya sampai berhasil membuat keempat orang di sampingku ini gemetaran hebat.

Dan perempuan itu masih ada di sana, ia belum bergerak sama sekali dari terakhir aku melihatnya, hanya saja.. saat ini kedua tangannya terentang lebar, dengan wajah yang setelah kuperhatikan mengalami perubahan drastis. Sangat drastis malahan.

Bulu kudukku bahkan sampai berdiri seketika itu juga, bukan karena kobaran api hitam yang menyebar dan mengurung kami, bukan karena itu.. tapi karena wajah perempuan itu. Wajah perempuan yang tadinya cantik dan sedikit membuatku terkesan, kini berubah menyeramkan.

Bukan.. bukan menyeramkan, tapi nyeremin banget banget banget!

Wajah perempuan itu yang tadinya mulus lus lus, sekarang berubah nyeremein banget. Bagian kiri wajahnya tetap mulus dan cantik kaya tadi. Tapi bagian kanan wajahnya.. bagian kanan wajahnya itu loh, eeerrrgghhh.. berubah coy!

Bagian kanan wajahnya sedikit menghitam dengan gurat-gurat retakan kecil, kaya vas bunga yang udah pecah, terus disatuin lagi pake lem. Retak-retak item gitu pokoknya. Dan yang paling nyeremin bin nakutin adalah.. bola mata sebelah kanan tuh perempuan warnanya beda sama bola mata kirinya.

Di mana bola mata kirinya tetap normal berwarna hitam kaya orang kebanyakan, tapi mah yang bola mata kanannya berubah warna jadi merah tua sedikit nyala gitu. Sumpah dah aku enggak bohong, itu bola matanya bisa sebelah merah sebelah hitam gitu coy! Bajingan.. kaya setan aja nih perempuan.

eyes-1221663_960_720.jpg

JENAR MAHESWARI

“Tidak salah lagi.. dia.. dia Jenar Maheswari, salah satu Pancabara dari Hematala.” Ujar sang pembicara yang kini berjalan pelan dan kembali berdiri memunggungiku. Sedang tiga rekannya yang lain juga melakukan hal yang sama, semua berdiri membentuk lingkaran membelakangiku.

Jelas sekali terlihat gemetar di tangan masing-masing dari mereka, seperti mereka tengah melihat hantu yang paling menyeramkan di muka bumi.

“Hoooaaammsss.. jadi dari tadi kalian tidak tahu siapa betina di depan sana? Hhhrrrhhh.. benar-benar sekumpulan makhluk bodoh.” Si Harimau gigi pedang kembali mengeluarkan suara beratnya, terdengar mengejek dan jelas-jelas sangat memandang remeh aku dan empat orang yang berada di sekelilingku sekarang.

Dan entah kenapa, enggak tau ini perasaanku aja apa gimana, aku kaya familiar gitu sama gaya bicara, ekspresi wajah, dan tatapan malas dari Harimau jadi-jadian itu. Beneran deh, kaya udah sering ketemu wajah nyebelinnya itu. Aneh sumpaah..

Dan Harimau pedang itu melangkahkan kaki dengan santainya, memosisikan dirinya di depan sang pembicara.

“HHHHRRGGGHH..”
“HHHRRRGGGGHH..”

Suara eraman si anjing jadi-jadian berkepala dua juga enggak kalah bikin merinding, dia juga berjalan pelan mendekatkan tubuh pada si harimau gigi pedang, ikut berdiri di depan sang pembicara.



“Semabawa Anggar dan Jembaka Siam.. dua pengawal setia sang putra mahkota.. suatu hal yang amat luar biasa bisa melihat wujud asli kalian setelah selama ini hanya menjadi hewan rumahan penurut. Ah.. aku baru ingat, bagaimana jika kita membuat kesepakatan?” Perempuan dengan wajah nyeremin di depan sana kini sudah menurunkan kedua tangannya, rambutnya yang hitam sedikit terayun-ayun ke belakang, seperti tertiup angin sepoi-sepoi, padahal sekarang ini beneran enggak ada angin sama sekali.

“Hhhhrrmmhh.. persetan dengan kesepakatan-kesepakatan, enyahlah segera dari sini, sebelum..”

“Sebelum apa? Sebelum kalian mencabik-cabikku? Hahahaha.. jumawa sekali kamu ya. Percayalah.. sebelum kalian melakukan itu kepadaku, aku akan lebih dulu mengirim kalian ke alam baka.” Perempuan itu bener-bener enggak ada obat coy, berani-beraninya dia motong omongan si harimau jadi-jadian yang eramannya aja udah bikin jantungku gedebak-gedebuk.

“Ha ha ha.. dengarkan dulu perkataanku sampai selesai betina laknat, aku menyarankan kau untuk pergi karena aku mungkin tidak akan bisa melindungimu jika kau terus-terusan ada di sini.”

Ucap Si Harimau gigi pedang seraya melirikkan sedikit matanya ke arahku, hal yang sama di lakukan oleh anjing berkepala dua di sampingnya, juga si pembicara yang berdiri di depanku. Dan ternyata setelah kumelihat kanan kiri, tiga rekan pembicara juga melirikku dengan tatapan khawatir yang dibarengi dengan menelan ludah berat.

Apa-apaan ini? Kenapa mereka ngelirik aku seolah-olah aku ini hantu? Padahal kan aku Cuma berada di waktu dan tempat yang salah.

“Regan Denta Purnama.. apa kamu jengah dengan tatapan ketakutan yang terarah kepadamu saat ini?” Di tengah kebingunganku, perempuan bernama Jenang Kasuari (atau apalah itu aku lupa) kembali berbicara dengan nada santai namun terdengar berat di saat bersamaan.

Hal itu kontan saja membuatku langsung mengarahkan kembali pandanganku ke depan, dan saat itu juga, aku bersitatap dengan mata miliknya yang awalnya sangat menyeramkan jika dilihat sekilas, tapi entah kenapa, aku merasa mata itu memancarkan aura yang sangat berbeda dibanding kesan pertamaku ketika melihatnya, seperti ada kesenduan yang mengundang simpatik di dalam mata itu.

“Tidak apa-apa, bagi iblis seperti kita, tatapan ketakutan seperti itu amatlah wajar. Bahkan sepanjang hidupku, aku selalu ditatap seperti itu. Ditatap seperti aku ini adalah iblis laknat dan hina yang sepatutnya tak lahir ke dunia.” Ujarnya lirih dan sendu lagi sembari mulai melangkahkan kaki ke depan, dan entah kenapa, kata-katanya barusan seperti menguak sesuatu dari dalam hatiku, seolah aku juga pernah merasakan perasaan yang sama, tapi.. arrrghhh.. aku ennggak inget dan enggak tahu kenapa aku bisa sesentimentil ini hanya karena mendengar perkataan lirihnya itu.

Dan perempuan itu pun terus melangkah, bahkan kini kedua tangannya terbuka seraya memamerkan sebilah kayu panjang dan pipih dari balik punggungnya. Langsung di tempatkan melintang (horizontal) di depan wajahnya.

Lalu..

SRRAAAKKKHHH..

Babi alang-alang.. aku kira itu Cuma kayu biasa, atau tongkat dan semacamnya. Ternyata itu pedang coy! Pedang pipih yang disimpan di dalam sarung kayu! Bentukannya mirip katana-katana yang dipakai para samurai di film-film Jepun.

Bapet!! Mau apa dia ngeluarin pedang kinclong mengkilap itu? Bujug buneng..

“Sebagai betina.. kau benar-benar keras kepala ternyata.. hhrrrmmhh..” Ujar Si harimau gigi pedang seraya merendahkan tubuhnya, keempat kakinya mulai melebarkan tapak, dan hal yang sama dilakukan si anjing berkepala dua, yang semakin kuperhatikan bentukannya, semakin membuatku teringat pada si manja Bogi yang ada di rumah.

“Bukankah aku sudah bilang bahwa aku punya kesepakatan? Biar kusampaikan tawaranku dulu, jika kamu menyerahkan anak itu padaku, maka aku akan menurunkan Cemani Geni milikku, dan kalian semua bisa bebas tanpa terluka sedikit pun, termasuk empat abdi rendahan di belakangmu itu. Bagaimana Sembawa Anggar? Bukankah itu win-win solution yang menguntungkan?” Ujarnya terus melangkahkan kaki seraya tangan kanannya memutar-mutar katana, memutar-mutar kaya kalo aku lagi muterin stik drum.

Coy.. itukan tajem coy..


*​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd