Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

terimakasih Gan,
sehat, sukses, dan lancar selalu
 
BAGIAN 20 : MENARIK RUANG & MASA

Episode Sebelumnya..

DEBBBBHHH..

Peluru itu langsung mengoyak abu yang menyelimuti tubuh targetnya, menembus kulit dan jalinan otot sang target, membuat lubang menganga yang cukup besar, peluru itu pun seketika langsung menghentak tubuh sasaran, membuat tubuh target tersebut terpental dan tersungkur ke depan dengan posisi menyamping akibat kuatnya hentakan peluru berkaliber 12mm tersebut.

Dan seperti yang direncanakan, peluru emas yang dilepaskan oleh Sang-Hyuk itu benar-benar menerobos menuju jantung sang target, bukan hanya bersarang, tetapi peluru itu langsung menghancurkan jantung targetnya. Terus melesak hingga menembus dada bagian depan sasarannya, menyisakan lubang menganga yang amat mengerikan jika dinalar mata manusia.

Peluru itu baru berhenti setelah menembus aspal, bersarang nyaman di atas tanah.

Namun seperti tak ingin kehilangan buruan, abu-abu hitam jelmaan dari tubuh Jenar Maheswari yang sempat terkoyak peluru emas sigap menyelimuti kembali tubuh target dari Sang-Hyuk tersebut, meyelimuti sampai ke bagian dalam rongga dada yang tertembus peluru, seolah masih berusaha keras untuk dapat membawa hasil buruannya.

Melihat itu Sang-Hyuk berusaha memantapkan pijakannya kembali, ia kokang kembali senapan di tangannya, namun baru saja ia hendak membidikkan senjata, lingkaran api yang berputar kencang itu langsung melahap keseluruhan tubuh dari sang target, menutup keseluruhan tubuh tersebut, berputar kencang di atas aspal tempat di mana targetnya tergelatak.

Kemudian dengan cepat, lingkaran itu mengecilkan diameternya, terus mengecil, terus mengecil, sampai benar-benar hanya bersisa bola api yang besarnya tak lebih dari kepalan tangan. Lalu..

WUSSSSHHHHH..

Bola api itu melesat ke udara, laju lesatannya bahkan hampir menyamai laju peluru emas yang baru saja mengoyak jantung seorang anak muda tersebut.


***

POV3D

Lengang.. dalam sekejap mata daerah perbukitan yang sudah porak-poranda itu kembali melengang. Lengang yang menjalar begitu dalam, sampai ke relung-relung perasaan seluruh orang yang ada di sana.

Angin berembus lembut kembali bertiup, asap-asap hitam dan debu terbawa perlahan, dan dedaunan pun kembali bergemirisik pelan.

Laung dari lolongan anjing kembar terdengar riuh di kejauhan, melolong pedih tak ada putusnya, terus melolong sampai tersisa sayup-sayup saja. Semakin jauh terdengar.

Dan di atas aspal hitam yang sudah tercerai berai tak beraturan, seekor harimau gigi pedang menatap langit dengan mata penuh kehampaan, air mata hewan itu menetes dari masing-masing sudut matanya, relung hatinya seperti diterpa sembilu yang amat pilu.

Di samping hewan tersebut, empat lelaki mengenakan jas hitam yang sudah compang-camping mulai menangis lirih, wajah masing-masing dari mereka tertunduk dalam, kehampaan dan rasa gagal menyelimuti hati mereka.

Tak jauh dari harimau gigi pedang dan empat lelaki yang tengah bersedih itu, ada satu orang lainnya yang juga diterpa kegamangan hebat. Tangannya yang memegang laras senapan besi bergemetaran, matanya berkaca-kaca, ia menangis tanpa suara di dalam hatinya.

Dan lelaki pemegang senapan besi yang pelurunya telah mengoyak jantung seorang remaja lelaki yang sudah raib itu adalah Kim Sang-Hyuk, sahabat karib dari salah satu petinggi Purantara, Damar Raksa Aliendra.

Sang-Hyuk, begitu biasanya ia dipanggil, terlihat begitu terpukul atas keputusan besar yang sudah ia ambil, setitik penyesalan menguar di hatinya, namun ia tak memiliki pilihan lain, benar-benar tak memiliki pilihan lain selain melepaskan peluru emas pemberian Damar guna mengoyak jantung seorang remaja lelaki yang menjadi target misinya.

Dan kini, lelaki yang berasal dari negeri ginseng bagian selatan itu tengah menghela napasnya dalam-dalam, misinya sudah selesai, dan ia merasa perlu meninggalkan tempat ini sebelum konsekuensi atas pelepasan pelurunya menerpa.

Dengan buangan napas yang amat pelan, Sang-Hyuk pun bangkit perlahan dari posisi bersimpuhnya, namun belum sepenuhnya ia berdiri, harimau gigi pedang yang sedari tadi keluh tak bergerak tiba-tiba menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam. Jelas terdengar deru napas memburu dari harimau tersebut.

Kemudian tepat ketika Sang-Hyuk benar-benar sudah berdiri tegak, harimau gigi pedang yang bernama Sembawa Anggar itu pun berlari nyalak ke arahnya, dengan taring dan cakar yang seolah siap mengoyak tubuh lelaki tersebut. Auman mengerikan seketika membumbung, derap pijakan dari harimau itu jelas terarah pada lelaki berperawakan tinggi dengan wajah khas orang-orang Asia Timur tersebut.

Dan seolah tersirap akan kemarahan yang terpancar dari wajah Sembawa Anggar, tubuh lelaki itu pun terpaku tak bergerak, seolah seluruh persendiannya membatu di tiap derapan langkah dari sang harimau purba tersebut.

Inilah konsekuensi yang hendak dihindari oleh Sang-Hyuk, namun sepertinya, kali ini ia tak bisa menghindari konsekuensi tersebut.

Sang-Hyuk pun hanya bisa terdiam dengan kedua tangan terjatuh, ujung senapannya mengarah ke bawah, ia seperti tengah menyerahkan dirinya untuk dicabik-cabik oleh amarah dari Sembawa Anggar.

Padahal jika saja ia berniat melawan, tentu masih ada harapan. Sebab di dalam senapannya, masih tersimpan dua amunisi peluru emas yang belum terpakai, yang meski belum tentu mampu menghalau amarah yang tengah berlari menyongsongnya, tapi setidaknya dua amunisi itu cukup untuk memperpanjang detik kehidupannya.

Namun ia seolah memilih pasrah, ia pejamkan perlahan matanya, ia hela napasnya dalam-dalam. Bersiap menyambut akhir dari kehidupan singkatnya.

“HEERRGGH.. HERRGHHH..”

Dreb.. dreb.. dreb.. dreb..

Suara eraman dan derap kaki Sembawa Anggar pun semakin terdengar lantang di telinga Sang-Hyuk, dan tentu hanya tinggal menunggu detik sampai harimau purba tersebut benar-benar menerjang dan mengoyak-oyak tubuh letihnya.

“RRAAAAARRGGGHH!!!!!!”

Sembawa Anggar mengaum nyalak, tubuhnya melompat kedepan dengan kencang, cakar-cakar dan taringnya sudah mengkilat di antara kepulan debu dan asap, berada tepat di depan tubuh Sang-Hyuk yang berpasrah pada konsekuensinya.

Dan...

WUSSSHHH
BUGGGHHH

Tubuh hewan purba itu tiba-tiba terpelanting keras ke belakang, berbalik arah dan terlempar di udara dengan kencangnya. Terdorong keras ke arah di mana ia tadi datang.

Seketika itu pula, Sang-Hyuk menyadari bahwa ada sekelibatan angin yang melewati tubuhnya. Ia pun menyadari betul bahwa dirinya kini urung tercabik, dari itu ia segera membuka mata. Lali pemandangan yang ia lihat pertama kali adalah sesosok lelaki dengan posisi tubuh merendah ke tanah. Kaki kiri lelaki itu tertekuk penuh, dengan posisi kaki kanan yang lurus terangkat ke depan.

BRABAGH.. BAGH.. BAGH.. BUM.. SSRRRAAARRRRKKKKHHHH...

Tubuh Sembawa Anggar yang sempat melayang-layang di udara pun berdebum keras dan berguling-guling di atas aspal hitam yang bercampur tanah dan bebatuan, jatuh dengan telak.

Tadi, tepat ketika harimau purba itu mengangkat tubuh bagian depannya untuk menerkam Sang-Hyuk, tiba-tiba seseorang muncul dan langsung menyarangkan tendangan keras di tubuh bagian bawahnya yang terangkat. Membuat niatannya untuk mencabik ‘sang mangsa’ urung terjadi.

Dan Sang-Hyuk, sang mangsa harimau purba itu sedikit pun tak memedulikan Sembawa Anggar yang terlempar jauh ke belakang, sebab mata lelaki dari negeri ginseng itu tetap tertuju pada sosok yang baru saja menyelamatkannya dari terkaman sang penguasa benua kering di depan sana.

“Hoi Kim Sang-Hyuk.. harus berapa kali aku menyelamatkanmu dari malaikat maut, hah? Sudah aku bilang aku ini bukan malaikat pelindungmu!” Seru sosok di depan Sang Hyuk yang saat ini sudah menurunkan kaki dan mulai berdiri.

“Su.. sunbae-nim..” Timpal Sang Hyuk dengan terbata-bata, terkesiap sendiri sebab tak menyangka bahwa orang yang muncul di hadapannya adalah seorang yang selalu ia hormati.

(Sunbae-nim : Panggilan formal/hormat kepada seorang yang dianggap lebih senior)

“DAMAAAARR!!! HERRRGGGHH!!”

Jauh di depan sana Sembawa Anggar berseru dengan nyalak, napasnya memburu, seraya mengeram keras, tak terima dengan tendangan yang baru saja mendarat di tubuhnya.

Dan ya.. sosok yang baru saja menyarangkan tendangan pada sang harimau purba dan menyelamatkan Kim Sang Hyuk adalah Damar Raksa Aliendra, sang juru komando sementara Purantara.

“Tetaplah di belakangku jika kau masih ingin hidup!” Ujar Damar dingin dan datar seraya melebarkan sedikit pijakannya.

Dan seperti Sang Hyuk yang paham akan konsekuensi dari setiap tindakan, Damar pun paham dan mengerti betul apa konsekuensi yang akan ia terima setelah menyarangkan tendangan kepada seekor harimau gigi pedang yang tengah dibakar amarah.

“HERRGGHH AKAN KU SINGKIRKAN KAU TERLEBIH DAHULU, SETELAH ITU AKAN KU KOYAK TUBUH ORANG ASING YANG SUDAH BERANI MEMBUNUH..”

“Cukup!”

Kalimat Sembawa Anggar tak menemui kata selesai sebab tiba-tiba sebuah suara lembut nan sejuk memotong kalimatnya, bersamaan dengan itu, dari balik debu dan asap yang tersapu angin, seorang gadis muda dengan rambut terkuncir muncul, langkahnya tegas, dagunya terangkat menunjukkan ketegaran yang amat pekat.

“Aku bilang cukup, berarti cukup.” Ujar gadis muda itu seraya terus melangkahkan kakinya, anggun di tengah kekacauan daerah tersebut. Tak jauh di belakangnya, mengekor Mang Diman yang terlihat menahan mual. Seperti biasa, ketika lelaki tua itu melakukan Lipat Jagat, maka ia akan merasakan efek mual yang cukup hebat.

Namun kali ini efek mual yang dirasakan Mang Diman tidak begitu parah, sebabnya tak lain karena Lipat Jagat yang ia lakukan kali ini sepenuhnya menggunakan energi Ki’ dari orang lain. Dan orang yang telah mengcover Ki’ yang digunakan Mang Diman untuk melakukan Lipat Jagat yang luar biasa jauh itu adalah gadis muda yang berada beberapa langkah di depannya.

Dan gadis muda itu adalah Maharani Sukma, sang pemilik Dermadaya, salah satu kemampuan istimewa yang sudah amat langka keberadaannya. Sebuah kemampuan yang memungkinkan penggunanya untuk mengcover Ki’ dalam jumlah yang luar biasa melimpah untuk orang lain.

Dan meski sejatinya sang gadis muda belum sepenuhnya menguasai betul Dermadaya yang diwariskan padanya, namun entah mengapa, ia benar-benar berhasil mengeluarkan kemampuannya dengan mulus, membuat Mang Diman berhasil melakukan lipat jagat untuk membawa gadis itu beserta Damar sekaligus dari rumah utama Purantara menuju lokasi kekacauan saat ini.

Namun sepertinya ketiga orang tersebut sedikit terlambat.

Dan Maharani Sukma sangat mengetahui ikhwal keterlambatan mereka ini, tanpa menunggu penjelasan pun ia sudah amat faham bahwa harusnya ia, Mang Diman dan Damar harusnya datang lebih cepat dari ini.

Segala keluluhlantakan yang ada di depan matanya, lalu kemarahan Sembawa Anggar yang tertuju pada seorang lelaki bertubuh tinggi yang tengah menggenggam senapan berlaras panjang dengan kepulan asap yang masih keluar di ujung senapan, wajah empat punggawa berjas hitam yang tertunduk letih penuh kesedihan, serta gonggongan anjing dari kejauhan yang sayup-sayup semakin menjauh. Itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan situasi yang terjadi di sini.

Mereka gagal mengamankan Regan, itu intinya.

Hani, begitu biasanya gadis muda itu dipanggil kini sudah bergabung ke arena kemarahan yang amat pengap antara Sembawa Anggar si Harimau Gigi pedang dengan Damar Raksa Aliendra yang berusaha melindungi lelaki pemegang senapan.

Hani menghentikan langkah kakinya beberapa meter di depan Damar, Ia mengangkat wajahnya menatap langit di kejauhan seraya meresapi betul auman anjing yang amat ia kenal dari kejauhan hutan, sahut menyahut mengabarkan kesedihan mendalam dari kejauhan.

“Menyingkir dari sana, Maharani Sukma! Aku harus mencabik-cabik manusia yang sudah berani-beraninya melepaskan peluru emas ke jantung bocah yang sudah kujaga bertahun-tahun! Karena jika kau tidak menyingkir, maka aku juga akan mencabik-cabik tubuhmu! Herggghh..” Sembawa berseru geram dengan kaki-kaki yang dilebarkan, siap menerkam dua target amukannya yang terlindung di balik tubuh Hani.

Mendengar ucapan geram Sembawa Anggar, Hani pun menurunkan pandanganya, memandang ke arah Damar yang tengah melindungi lelaki berwajah oriental di balik punggung kekar pemegang tongkat komando sementara purantara itu. Hani memandang dengan tatapan kosong penuh kesedihannya, lalu ia arahkan pandangannya ke bawah, ke senapan besi berlaras panjang di tangan lelaki yang tengah dilindungi Damar itu.

Hati Hani pun seketika teriris dengan begitu perihnya.

“Peluru emas? Jadi orang ini menembak Regan di bagian jantung dengan peluru emas? Berarti.. orang ini suruhan Om Damar? Dan jika benar peluru emas itu berhasil mengoyak jantung Regan, berarti Om Damar sudah menyerahkan keselematan Regan pada ‘mereka’? Huhh.. syukurlah..”

Hani membatin sendiri di dalam benaknya. Ruang-ruang pemikirannya secara cepat menyusun probabilitas-probabilitas yang ada. Dan meski perih hati melanda akibat kenyataan bahwa Regan berhasil diringkus Hematala. Namun di saat bersamaan, harapan seketika bertumbuh di dalam hatinya. Dan harapan itu bersumber dari fakta yang terpapar di depannya, fakta bahwa Damar sudah menyalakan ‘saklar’ darurat yang tertanam di dalam tubuh Regan.

“Sudah berapa lama Lawang Geni mengudara?” Tanya Hani dengan tatapan yang bergerak ke arah langit. Ya, meski usia masih seumur jagung, namun Hani sudah cukup faham dengan “dunia” di mana ia dan orang-orangnya berada. Ia dengan cekatan menyusun rencana-rencana di dalam kepalanya.

Tadi, sebelum “lepas landas” dari rumah utama, Hani sudah mendapatkan sedikit gambaran tentang situasi di tempat ini dari Damar, di mana.. Pancabara yang menyergap Regan adalah Jenar Maheswari. Dan baik Hani dan orang-orang Purantara, Lemah Kidul maupun Parung Wetan sudah mengetahui betul siapa itu Jenar Maheswari, si anggota keempat Pancabara milik Hematala.

Namun sayangnya, dari kelima anggota Pancabara yang dimiliki Hematala, hanya empat anggotanya saja yang masih teridentifikasi dan memiliki nama ‘termahsyur’, empat anggota Pancabara yang sudah termahsyur tersebut adalah Saptadi Purwaka, Hasto Balakosa, Suryo Raharjo dan Jenar Maheswari.

Sedang satu anggotanya, atau tepatnya anggota kelimanya sampai saat ini belum berhasil diidentifikasi. Sebab anggota kelima tersebut adalah anggota paling baru dari Pancabara.

Sebelumnya anggota kelima Pancabara milik Hematala yang diketahui adalah Rodha Gandarwara, seorang pengendali Sengkalang Geni, sebuah kemampuan yang membuat penggunanya mampu mengendalikan senjata berupa sepasang cakram besi berselimut api. Namun anggota kelima Pancabara tersebut tewas dalam sebuah insiden penyergapan keluarga utama Purantara beberapa tahun lalu.

Dan sejak saat itu, anggota kelima Pancabara belum mampu terdeteksi. Namun seluruh orang yang mengetahui ‘sisi lain’ dan ikhwal konflik yang terjadi antara empat pancang pulau utama (Purantara-Hematala-Lemah Kidul-Parung Wetan) amat yakin, bahwa Hematala takkan membiarkan posisi ke lima dari Pancabara kosong dalam waktu yang lama, pastinya ada seseorang dengan kekuatan dan kemampuan mumpuni sudah mengisi posisi tersebut.

Hanya saja, senyapnya pergerakan Hematala, serta ‘masa tenang’ sejak tragedi penyergapan keluarga utama oleh Pimpinan Hematala beberapa tahun lalu membuat arus informasi terkait anggota kelima tersebut benar-benar sulit untuk diidentifikasi. Jadi bisa dibilang, anggota kelima Pancabara masih sangat buram.

“Kepin.. sudah berapa lama?” Ujar Hani lagi mengulangi pertanyaannya, kali ini ia sudah memusatkan pandangannya pada Harimau Gigi Pedang yang masih mengeram menahan amarah. Alih-alih memanggil Harimau itu dengan nama aslinya yakni Sembawa Anggar. Dengan tenangnya Hani justru memilih menggunakan nama ‘Kepin’ untuk berbicara dengan Harimau purba tersebut.

“Rrrgggrrrhhh.. belum lama, sekitar 2-3 menit yang lalu.” Jawab Sembawa Anggar dengan eraman tertahan.

“Kita enggak punya waktu banyak, jadi berhenti berdebat. Kita akan coba mengganggu jalur lintasan Lawang Geni..” Ujar Hani sembari melepas ikatan rambutnya, membuat rambut hitamnya tergerai dengan anggun.

Di saat bersamaan, Damar dan Mang Diman yang mendengar kata-kata Hani pun segera maju untuk mendebat.

“Kamu sudah gila? Kamu pikir kamu masih punya Ki’ untuk mengcover Lipat Jagat Mang Diman? Lagi pula kondisi Mang Diman saat ini benar-benar ndak mungkin ngelakuin Lipat Jagat lagi!” Tukas Damar seraya mencengkeram bahu Hani dan memaksa gadis muda itu untuk berbalik.

Melihat itu Mang Diman segera mencengkeram lengan Damar, berusaha melepaskan cengkeraman sang juru tunduk Putra Mahkota dari bahu ringkih Maharani Sukma.

“Tenang Mas Damar.. kita bicarakan baik-baik..” Ujar Mang Diman sedikit resah. Selain ia bingung untuk menengahi kalau-kalau Damar tak mampu menahan emosinya terhadap setiap keputusan nekat yang Hani buat, karena sebelumnya ada Arum yang menenangkan Damar, namun tentnunya kepergian sang pemegang komando sementara Purantara membuat Arum harus tinggal untuk memastikan segala urusan di sana tidak kacau.

Selain hal tersebut, Mang Diman juga bingung dengan niatan Hani yang berujar akan mengganggu lintasan Lawang Geni tadi. Sebab benar seperti yang dikatakan Damar, meski Ajian Lipat Jagatnya mendapatkan back-up Ki’ menyeluruh dari Dermadaya milik Hani, namun bukan berarti Ki’ di jalur utama tubuh lelaki Paruh baya itu tidak terkuras.

Dari itulah ia amat sangsi bisa melakukan lipat jagat kedua dalam waktu berdekatan seperti ini, dengan kondisinya yang bisa dikatakan semakin melemah. Terlebih, lipat jagat yang dimaksudkan Hani mengharuskan ia melakukan perhitungan cermat agar titik loncatnya tepat berada di jalur lintasan Lawang Geni yang membawa tubuh Regan.

Bukan itu saja, Mang Diman juga meragu terkait benturan energi yang akan terjadi jikalau Lipat Jagatnya benar-benar mampu menghantam Lawang Geni. Besarnya tumbukan energi Ki’ dari kedua ajian tersebut dikhawatirkan akan membuat ledakan besar, yang jika salah-salah penanganan, maka bukan hanya akan melenyapkan seluruh orang yang terlibat di dalam tabrakan tersebut, namun juga bisa membuat daerah sekitar tumbukan energi itu porak poranda.

“Apa aku ada bilang bakal mengganggu lintasan Lawang Geni pake Lipat Jagat milik Mang Diman?” Tanya Hani tenang seraya mendongakkan sedikit wajahnya, membalas tatapan nyalak milik Damar. Dan mendengar itu, baik Damar maupun Mang Diman seketika mengernyitkan dahi, bingung sendiri.

Dan khusus Damar, dengan ketajaman berpikir yang ia miliki, dengan cepat otaknya pun menjahit segala kemungkinan-kemungkinan yang bersumber dari ucapan gadis muda di hadapannya. Dan itu membuat fokusnya sedikit teralih dari gadis muda di hadapannya, matanya kosong menghujam bola mata Hani.

Hal tersebut pun dengan cepat dimanfaatkan Hani, tanpa disadari oleh Damar, Hani sudah menempatkan pergelangan tangan kanannya di depan dada, dengan jari telunjuk dan jari tengahnya tertegak ke atas, sedang sisa jemarinya melipat ke dalam.

Ya.. Hani memanfaatkan kelengahan Damar untuk membuat segel tangan.

Luruh Nendra..” Ujar Hani pelan sekali seraya menatap dalam-dalam bola mata Damar, dan pikiran Damar yang tengah terbagi kemana-mana membuatnya sedikit lambat menyadari gerak-gerik gadis muda di hadapannya. Damar hanya sempat melihat gerakan bibir Hani, tanpa sempat memberikan respon, sebab satu detik setelahnya..

“iru!” Ujar Hani dengan suara lebih kencang, yang membuat Mang Diman terperanjat langsung memandangnya, sementara Damar.. lelaki itu perlahan menutup kelompak matanya seraya tubuhnya limbung kebelakang, seketika kehilangan kesadarannya.

“Mas Damar!”
“Sunbae!”

(Sunbae : panggilan untuk Senior dalam bahasa negeri ginseng)

Seru Mang Diman dan Kim Sang-Hyuk bersamaan. Beruntungnya, cengkeraman Mang Diman di tangan Damar membuat tubuh sang juru tunduk Putra Mahkota tak langsung luruh ke tanah, ditambah Sang-Hyuk yang berada di belakang Damar reflek bergerak untuk menahan punggung sang Anjing Gila Purantara tersebut.

Ya.. seperti orang-orang yang berada di pertemuan antara Damar dan Jenderal utama negeri ini di rumah utama yang dibuat tertidur oleh Hani, kini gadis muda itu pun melakukan hal yang sama pada Damar, tentunya dengan tingkatan yang lebih tinggi, mengingat Damar bukanlah orang yang bisa ditidurkan dengan mudah menggunakan Aji Luruh Nendra kepunyaan Hani.

Luruh Nendra adalah kemampuan Hani yang lain selain Dermadaya. Ajian ini bukan ajian warisan, melainkan ajian yang ia pelajari sedari kecil, dibawah pengawasan langsung dari Nyai Putri, Pimpinan Purantara sebelumnya, yang tak lain adalah Ibu dari Raden Ayu Rengganis.

“Maafin aku karena lancang, tapi aku bener-bener enggak punya waktu buat berdebat sama Om Damar, Mang. Karena semakin lama.. maka Lawang Geni itu akan semakin jauh.” Ujar Hani pada Mang Diman yang masih kebingungan dengan apa yang telah gadis muda itu lakukan. Selain itu Hani kembali membahas tentang rencananya mencegat Lawang Geni. Itu benar-benar membuat Mang Diman kebingungan bukan main.

Sementara itu, Kim Sang-Hyuk berusaha membaringkan Damar, dibantu oleh Mang Diman.

“Tapi Mas Damar benar, Mamang benar-benar enggak sanggup buat ngelakuin Lipat Jagat lagi Nak..” Sahut Mang Diman setelah berhasil membaringkan Damar.

“Aku enggak minta Mang Diman buat ngelakuin Lipat Jagat lagi kok, aku Cuma minta Mamang jagain Om Damar di sini selagi nunggu bantuan datang.” Ucap Hani dengan senyum lirih mengembang. Dan seketika itu juga Mang Diman langsung tersadar, sebuah pemikiran gila langsung terlintas di kepalanya.

“Jangan bilang..” Ujar Mang Diman meragu, namun ucapannya tertahan ketika Hani lekas memberikan anggukan kepala.

“Iya Mang.. aku akan coba membalik Dermadaya, jadi Mamang enggak perlu khawatir.”

“Enggak Nak, Jangan.. itu terlalu berbahaya.. tumbukkan antara Lipat Jagat dan Lawang Geni sangat berbahaya. Dan lagi pula, kamu enggak punya Ki’ yang cukup buat membalik dermadaya Nak.” Seru Mang Diman dengan wajah panik seraya memegang bahu Hani. Namun Hani lagi-lagi hanya melempar senyum kecilnya.

“Mamang percaya aja sama aku, aku ngelakuin ini bukan Cuma demi Nggan.. tapi juga demi Purantara Mang.” Ucap Hani seraya menarik halus bahunya dari cengkeraman lembut Mang Diman. Ia beringsut mundur dan membalik badannya, lalu memandang ke arah Sembawa Anggar yang terlihat kembali mengeratkan kaki-kakinya, seolah hendak mengambil kesempatan dari ketidaksadaran Damar untuk menerkam kembali Kim Sang-Hyuk.

“No! Enggak Kepin.. jangan lakuin itu.” Seru Hani seolah tahu apa yang tengah dipikirkan Harimau Gigi Pedang itu saat ini.

“Gggrrrgghhh.. Jangan halangi aku!” Sahut Sembawa Anggar nyalak.

“Aku bilang jangan ya jangan!” Bentak Hani tanpa rasa takut sama sekali, hal itu membuat Sembawa Anggar sedikit melemaskan otot-otot kakinya yang siap melonjak. Bukan karena ia takut pada gadis muda di hadapannya, tapi lebih kepada.. karena ia tahu bahwa Regan, Tuannya sangat menyayangi gadis muda tersebut.

Lagi pula, Hani termasuk dari sedikitnya manusia yang mendapatkan rasa respect dari seorang Sembawa Anggar. Itu dikarenakan perlakuan Hani selama ini kepadanya. Baik ketika ia dalam wujud aslinya, maupun ketika Sembawa Anggar tengah berada dalam wujud kucing mungilnya.

“Aku butuh bantuanmu Kepin.. segera susul Bogi, kamu masih bisa kan?” Ujar Hani seraya berjalan pelan menuju tubuh sisa-sisa punggawa Hematala yang tergeletak pasca pertarungan tadi. Bersamaan dengan itu, Hani juga merentangkan satu tangannya ke arah di mana ia, Mang Diman, dan Damar mendarat setelah melakukan lipat jagat. Di sana, di balik debu-debu yang ditiup angin, masih tersisa semburat energi hitam sisa Lipat Jagat Mang Diman.

Dan dengan telapak tangannya yang terbuka, Hani pun menarik sisa-sisa kepulan hitam tersebut, untuk kemudian diserap ke telapak tangannya.

“Apa kau hendak memintaku menyeret pulang Jembaka Siam? Kalau iya kau benar-benar kejam Maharani, anjing-anjing bodoh itu tidak akan mendengarkanku.” Tanya Sembawa Anggar yang kini mulai melangkahkan kaki ke arah Hani.

“Enggak kok tenang.. aku malah minta kamu buat nyusul Bogi. Karena nanti kalau aku berhasil mencegat Lawang Geni, dan Regan bebas dari cengkeraman Jenar Maheswari. Penciuman super Bogi akan nuntun kamu ke Regan.” Ujar Hani santai seraya menyudahi kegiatannya menyerap sisa-sisa kepulan hitam Lipat Jagat milik Mang Diman. Mendengar ucapan Hani, Sembawa Anggar langsung tersenyum. Kehampaan hatinya beberapa saat lalu seolah mulai terisi dengan harapan-harapan.

Dan meski dia tidak mengerti cara apa yang akan ditempuh seorang Maharani Sukma untuk mengganggu jalur lintasan Lawang Geni yang saat ini tengah membawa Regan, namun ia cukup mengerti dengan tugas yang diberikan oleh gadis muda itu untuknya, ia amat mengerti maksud dari ucapan Hani agar ia segera menyusul Si Anjing berkepala dua, Jembaka Siam.

Sebab, meski penciumannya tidak setajam Jembaka Siam, namun Sembawa Anggar masih bisa untuk sekedar mengejar Anjing itu, penciumannya masih berguna meski radiusnya tak seluas penciuman Anjing kembar itu.

Jadi, jika Hani berhasil mengacau dan membuat tubuh Regan terlepas dari Lawang Geni, maka Jembaka Siam akan bisa mengidentifikasi bau tubuh Regan dan pasti akan berlari untuk menuju bau tersebut. Lalu, ia hanya tinggal mengikuti serta berusaha berada sedekat mungkin dengan anjing berkepala dua itu, maka nantinya ia pun akan sampai pada tubuh Regan, bocah yang sudah menjadi tanggung jawabnya untuk dijaga baik-baik.

“Kamu cukup pintar rupanya, sekarang cepet susul Bogi. Mumpung masih bisa kamu identifikasi.” Seru Hani tersenyum seraya terus berjalan, Sembawa Anggar pun saat ini sudah berada di samping Hani, berjalan mengiringi gadis muda itu.

Dan berkat rencana Hani, kehampaan di hati harimau gigi pedang itu mulai terisi akan harapan-harapan, secara alamiah Sembawa Anggar pun mendusel-duselkan kepalanya ke pinggang Hani, mengabarkan rasa senangnya. Mendapati itu Hani pun segera memberikan elusan di bagian puncak kepala sang harimau purba tersebut, setelah itu Hani mulai mengelus punggung Sembawa Anggar dari atas ke bawah.

“Oh iya, aku mau tanya sedikit boleh enggak?” Tanya Hani dengan alis tertaut, seolah teringat akan sesuatu. Sembawa Anggar mengangguk pelan dengan kepala digerakkan ke kanan dan ke kiri, berusaha membuat rileks otot-otot lehernya.

“Tadi pas kamu sampe, apa Wawi juga ada di sini? Melihat semua kejadian ini?” Tanya Hani dengan wajah serius. Sembawa Anggar pun lekas menggeleng.

“Aku dan Anjing Kembar itu tiba sedikit terlambat, dan ketika aku sampai semuanya sudah kacau. Tapi hanya Regan dan empat punggawa itu yang ada di sini, sedang bocah jangkung yang kau maksud aku tidak melihat sama sekali.” Jawab Sembawa Anggar, Hani pun mengangguk-angguk pelan, berpikir dalam.

“Kalau kau mengkhawatirkan perihal apakah bocah jangkung itu menyaksikan semua ini, ada baiknya kau tanyakan empat punggawa itu. Mereka pasti memiliki jawaban yang kau butuhkan.” Tukas Sembawa Anggar seolah mengetahui apa yang tengah dipikirkan oleh Hani.

Hani pun tersenyum, dan memberikan anggukkan kepala pelan.

“Oke, kalau gitu kamu bisa pergi sekarang, kalau kelamaan takutnya Bogi makin jauh dari radar kamu nanti.” Ucap Hani dengan senyuman mengembang, seolah berusaha terlihat baik-baik saja di depan semua orang yang ada di sana.

“Baik.. kalau begitu aku mengandalkanmu gadis manis hhrrmmmm..” Ujar Sembawa Anggar dengan manjanya.

“Aku juga mengandalkanmu Kepin, bawa Nggan pulang ya, semangat!” Sahut Hani sembari mengubah elusannya menjadi tepukan lembut.

Sembawa Anggar pun mengangguk seraya mengaum keras lalu meloncatkan tubuhnya ke depan, berlari dengan kencang dan beringas, sudah ia lupakan hasratnya untuk mencabik tubuh Kim Sang-Hyuk, yang ada di kepalanya saat ini adalah: ia harus berlari secepat mungkin agar bisa mengejar Bogi, alias Jembaka Siam, Si Anjing berkepala dua di depan sana.

Selepas kepergian Sembawa Anggar, Hani pun mulai menatapi tubuh-tubuh bergelimpangan sisa-sisa pertarungan tadi, ada tubuh-tubuh para Punggawa Hematala, ada juga beberapa tubuh punggawa Purantara yang gugur.

“Tunggu Nak, jangan lakuin ini.. jangan.. Mamang Mohon. Melakukan pembalikan Dermadaya saja sudah sangat berbahaya buat kamu Nak. Apalagi kalau kamu sampai mengadu lipat jagat dengan lawang geni. Mamang enggak akan biarinin kamu ngelakuin itu!” Seru Mang Diman yang mulai melangkahkan kaki menuju Hani, namun langkahnya terhenti sebab Hani memberikan aba-aba dengan mengangkat satu tangannya.

“Percaya sama aku Mang.. Please..” Ujar Hani seraya membalikkan badannya.

“Bukannya Mamang enggak percaya sama kemampuan kamu, tapi..”

“Maaf Mang.. Tapi sebaiknya Mang Diman tetap di sana, tolong bantu Orang itu mengurus Om Damar. Dan kalau Mang Diman tetep maksa kesini buat ngalangin aku, maka aku juga akan bikin Mamang enggak berkutik.” Ujar Hani dengan dinginnya. Mendengar itu Mang Diman pun menelan ludahnya dengan berat.

Setelah memastikan Mang Diman tak mengganggu niatannya, Hani pun memutar tubuhnya ke arah empat punggawa yang terlihat keletihan di sudut lain.

“Hhhmm.. Punten.. Kakak-kakak bisa bantuin aku enggak? Tolong pisahin tubuh-tubuh punggawa kita ya, aku mau ngelakuin sesuatu soalnya dengan tubuh orang-orang Hematala ini.” Ujar Hani seraya menoleh ke arah empat pria berjas hitam yang sedari tadi terduduk lemas, dan seolah tak mau dibuat tertidur oleh Hani, empat orang tersebut segera bangkit dan berlari untuk mengevakuasi tubuh-tubuh rekan mereka yang gugur di pertarungan tadi, memisahkan tubuh rekan-rekan mereka dan membiarkan tubuh-tubuh punggawa Hematala saja.

“Aku ikut sedih karena punggawa-punggawa kita harus gugur seperti ini, aku ikut berduka cita ya. Dan juga.. Terimakasih ya semuanya, terimakasih karena udah bersusah payah nyelametin Den Regan, terimakasih sekali.” Ujar Hani sembari memberikan bungkukkan badan ke arah empat pria berjas hitam di dekatnya, yang oleh empat orang itu segera dibalas dengan bungkukkan badan juga.

“Hhhhmm.. kalian udah enggak ada yang punya Ki’ sama sekali ya kayanya?” Tanya Hani menatap satu persatu pria di dekatnya, yang oleh keempatnya segera dibalas dengan anggukkan kepala.

“Hhhhmmm.. tadinya aku mau minta sedikit aja sisa Ki’ kalian, tapi enggak apa-apa deh. Tapi sebagai gantinya, aku minta tolong boleh?” Tukas Hani sembari melebarkan kakinya sedikit, menatapi satu persatu dari empat tubuh tak bernyawa Punggawa Hematala. Dengan melihat itu Hani langsung tahu, keempat jasad di hadapannya tewas karena diamuk oleh Sembawa Anggar, luka robeknya dimana-mana soalnya.

Mendapati permintaan Hani, keempat orang tersebut langsung menganggukkan kepala, seolah rela melakukan apa saja untuk menebus kegagalan mereka menyelamatkan Putra Mahkota. Kegagalan itu juga sepertinya membuat mereka tak berani untuk sekedar bersuara, karena sedari tadi mereka hanya mengangguk-angguk saja.

“Oh iya.. terakhir deh.. aku mau nanya dikit aja. Kalian ada yang liat temennya Den Regan enggak? Hhhhmm.. bukan.. bukan.. aku ganti pertanyaannya. Maksud aku.. apa temannya Den Regan yang jangkung itu menyaksikan pertarungan kalian?” Tanya Hani dengan mata memandangi satu persatu orang yang sedang ia ajak bicara.

“Kalau di sini sih Enggak Non.. tapi memang tadinya Den Regan berangkat berdua, kami sempat mencegatnya di perbatasan Kabupaten Alasbumi, tapi hanya di sana saja, dan itu clear.. bersih sebagaimana seharusnya.” Ujar salah satu dari empat punggawa tersebut, dan seperti Sembawa Anggar, punggawa itu juga pasti mengerti maksud dari pertanyaan yang diajukan Hani.

“Tapi Kakak yakin beneran clear? Dia enggak nyaksiiin kekacauan di sini emangnya?” Tanya Hani memastikan kembali.

“Iya Non.. seingat saya ketika kami tengah menghalau serangan dari orang-orang Hematala, Den Regan datang sendiri. Beliau datang belakangan, setelah kami semua hampir dipukul mundur orang-orang ini.” Sahut punggawa yang sama, meyakinkan Hani akan pendapatnya.

Mendengar itu Hani pun tersenyum, seraya kembali menoleh ke Mang Diman yang berdiri keluh.

“Mamang denger sendiri kan? Wawi kemungkinan besar masih dalam status clear.” Ucap Hani pada Mang Diman sembari kedua telapak tangannya membuka lebar, di arahkan ke depan, ke arah jasad-jasad punggawa Hematala yang tergeletak di dekatnya.



“Iya Mamang ngerti, tapi tetap saja Nak.. melihat atau tidak melihat, baik Mas Damar maupun Raden Ayu tidak akan mengambil risiko. Jadi Wawi tetap harus menjalani pembersihan.” Ucap Mang Diman yang juga mengerti maksud Hani.

Dan Hani, ia seolah sudah tahu bahwa Mang Diman akan mengatakan hal itu. Dengan tenangnya gadis itu menyunggingkan senyum seraya titik fokusnya ia bagi menjadi dua, satu untuk berbicara dengan Mang Diman, sedang satu lagi untuk mengalirkan Ki’ miliknya ke sepenjuru telapak tangan, memosisikan telapak tangannya sedikit naik, mirip seseorang yang tengah menghangatkan telapak tangan pada nyala api unggun.

“Aku akan meminta ini secara pribadi pada Mamang..” Ujar Hani dengan nada berubah datar dan jauh lebih serius. Dan itu langsung Mang Diman pun terhenyak, ia menunggu lanjutan kalimat Hani yang menggantung itu.

“Bukankah Mamang selalu ingin membayar hutang budi Mamang ke Papah?”

DEEEGGGGHHHHH

Jantung Mang Diman seketika mengalami lonjakan ketika mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Hani. Wajah lelaki tua itu pun perlahan memucat, tenggorokannya mulai tercekat.

Keluh.. Bibir Mang Diman seketika keluh seribu bahasa.

“Setelah semua kesulitan yang dilalui Regan, Sasah Sukma demi Sasah Sukma yang ditanam untuk merenggut ingatannya, sekarang temen Regan Cuma sedikit Mang. Dan kalau sampai Wawi harus menjalani pembersihan, itu berarti temen Regan yang lain juga akan mengalami pembersihan. Lalu Sasah Sukma tambahan akan kembali ditanam pada Regan..” Ujar Hani dengan napas tersendat, ia hela napasnya lagi untuk meringankan kalimat demi kalimat yang hendak ia utarakan.

“Regan udah kehilangan banyak hal Mang, dia bahkan harus kehilangan ingatan akan hidupnya sendiri. Jadi tolong, jangan tambah daftar kehilangan Regan lagi Mang.”

Bergetar.. suara yang keluar dari bibir gadis muda itu terdengar parau dan bergetar sendu.

Dan sendu itu menjalar sampai ke relung terdalam hati milik lelaki tua yang menjadi lawan bicaranya. Membuat lelaki tua itu semakin keluh terdiam.

“Jadi aku mohon.. aku memohon secara pribadi ke Mang Diman. Kalau Mang Diman benar-benar mau membalas hutang budi Mang Diman ke Papah. Tolong banget amanin Wawi bagaimana pun caranya. Setidaknya sampai kita benar-benar bisa memastikan kondsi Regan.” Lirih Hani menutup kalimat sengaunya seraya memalingkan wajah dari Mang Diman, gadis muda itu pun menghela napasnya dalam-dalam. Bersamaan itu, sebulir air mata pun meluncur di pipi kanannya.

Hani menegarkan kuat-kuat hatinya yang berkecamuk hebat, mulai memfokuskan seluruh ruang kepalanya untuk menyalurkan Ki’ ke sepenjuru telapak tangannya. Dipandangnya baik-baik jasad-jasad punggawa Hematala di hadapannya, kemudian ia pun mulai memejamkan matanya dalam-dalam, sangat dalam, berusaha memasuki bagian terdalam relung sukmanya.

Bersamaan dengan itu, semburat energi berwarna merah muda keunguan pun menyelimuti keluruhan lengannya hingga ke telapak tangan. Kepulan energi itu mirip dengan api tenang yang menjilat-jilat ke arah depan. Dan tiba-tiba, dari masing-masing dada jasad-jasad punggawa Hematala yang ada di hadapannya, keluar gumpalan energi berwarna merah.

Kepulan energi itu pun kemudian memanjang bak asap pembakaran yang terhisap bagian belakang kipas angin. Terhisap ke bagian tengah kedua telapak tangan Hani yang terbuka lebar. Dan tepat ketika kepulan-kepulan energi itu menyentuh kedua telapak tangan Hani, tepat ketika sulur-sulur energi berwarna merah padam itu menembus dan meresap ke dalam kulit telapak tangan sang gadis muda, saat itu juga tubuh Hani mendapatkan sentakan kecil yang membuat kepalanya reflek tertengadah ke atas, dengan bibir setengah terbuka.

Meresap.. Hani terus meresapi tiap-tiap aliran energi yang masuk ke dalam dirinya. Energi Ki’ dari orang-orang Hematala ini akan ia manfaatkan untuk kesuksesan rencana pencegatan Lawang Geninya. Perlahan angin pun berderu lebih kencang, abu-abu dan debu berterbangan ke sembarang arah.

Mang Diman dan empat punggawa di sekitar Hani pun memundurkan langkah mereka, menjauhi Hani yang terlihat tengah khidmat menghisap untaian-untaian Ki’ dari jasad punggawa-punggawa Hematala.

Bersamaan dengan itu, jasad-jasad punggawa Hematala yang sedari tadi terbujur kaku terlihat mulai bergerak-gerak kecil, mirip seperti gemetar. Darah-darah dari tubuh mereka mulai mengering, keringat-keringat mereka pun mulai tersamar. Sedang Hani, ia terlihat meresapi betul apa yang saat ini tengah ia lakukan : Menguras sisa-sisa Ki dari tubuh para punggawa Hematala tersebut.

“Huphhhhh..” Hani manahan napasnya, merasakan betul bahwa ia sudah berhasil menghisap keseluruhan Ki’ dari jasad-jasad di depannya.

Jasad-jasad di hadapan Hani pun terlihat semakin menunjukkan getaran-getaran, seiring dengan itu.. kulit-kulit dari jasad para punggawa Hematala pun terlihat mulai mengkerut, menunjukkan keriput yang memucatkan warna keulit mereka.

“CUKUP NAK!! BAGAIMANA PUN KITA HARUS MENGUBURKAN MEREKA DENGAN LAYAK!!” Mang DIman berseru ketika ia menyadari bahwa Hani bukan hanya sekedar menghisap Ki’ dari jasad para punggawa Hematala. Lelaki tua itu berlari hendak menghentikan apa yang saat ini tengah Hani lakukan.

Dan ketika Mang Diman menjulurkan tangannya, hendak memegang bahu gadis muda tersebut. Tiba-tiba.

DEEPPPPHHHHH..

Sebuah ledakan energi kecil keluar dari tubuh Hani, membuat Mang Diman terlempar kembali ke belakang beberapa meter jauhnya. Letupan energi itu pun membuat keempat punggawa Purantara yang masih tersisa reflek menurunkan tubuh, bertiarap di atas tanah. Hal yang sama dilakukan Kim Sang-Hyuk, ia secara naluri langsung memeluk tubuh Damar yang berada di pangkuannya, berusaha melindungi tubuh sang senior dengan punggungnya.

“Uhuk.. uhuk.. Uweekkk... Hahhh.. Hahh..” Mang Diman terbatuk sembari memuntahkan darah dari mulutnya, terasa hantaman dari energi yang keluar dari tubuh Hani benar-benar lebih dari cukup untuk meniarapkan tubuhnya.

Mang Diman terengah hebat, dalam keadaan pusing yang menerpa kepalanya, ia mencoba mengerjapkan pandang ke arah dimana Hani berada. Dan betapa tercekatnya lelaki tua itu ketika mendapati saat ini tubuh Hani sudah melayang beberapa meter di atas tanah, bukan hanya itu, dari punggung gadis muda itu keluar kepulan energi berwarna hitam pekat menyerupai asap pembakaran serta sedikit kepulan energi berwarna merah menyala di sela-selanya.

Kepulan energi hitam pekat berbalut merah gelap itu tindih menindih dengan derasnya, membentuk sebuah visual yang amat mengerikan namun indah di saat bersamaan. Dan kengerian yang indah itu tak lain dikarenakan kedua kepulan energi tersebut samar-samar membentuk siluet sepasang sayang yang tengah mengembang lebar di punggung Hani. Lengkap dengan juntaian bak bulu di bagian bawahnya.

Pembalikan Dermadaya.. Gadis muda itu sudah mulai membalik Dermadayanya. Memanfaatkan Ki’ alami miliknya yang masih tersisa, ditambah sisa-sisa Ki’ dari Lipat Jagat milik Mang Diman yang ia serap, plus tambahan Ki’ dari jasad-jasad punggawa Hematala. Pembalikan Dermadaya gadis muda itu terlihat sudah membuahkan hasil.

Deras.. kolaborasi berbagai energi Ki’ dengan jenis yang bertemu membuat siapapun akan berhitung dua kali untuk sekedar mendekati gadis muda yang tengah dibalut letupan Ki’ tersebut.
Indah, namun mengerikan di saat yang sama.

Ujung-ujung rambut panjang Hani pun terangkat bak diterpa angin tepi pantai, membuat semua orang yang ada di sana pun terpengarah.
Namun lebih daripada itu, hal yang membuat mereka terperangah adalah karena mereka mengetahui bahwa Hani masih terus berusaha menguras ‘sesuatu’ dari dalam jasad para punggawa Hematala yang saat ini terlihat sudah amat kering kerontang. Kulit-kulit jasad tersebut seolah tak memiliki daging, langsung menyatu dengan tulang. Memucat hebat dengan lunglai gemetar.

“MAHARANI SUKMA.. CUKUP NAK.. CUKUP.. MESKI MEREKA ADALAH MUSUH KITA, TAPI MEREKA TETAP PANTAS MENDAPATKAN PEMAKAMAN YANG LAYAK!” Seru Mang Diman sambil berusaha bangkit dari posisi telungkupnya.

“MENGUBUR MEREKA HANYA AKAN MEMBUANG TENAGA DAN WAKTU. DAN AKU.. AKU AKAN MENYEDERHANAKANNYA SAJA.” Sahut Hani dengan lantang tanpa menolehkan wajah, suara gadis itu terdengar sudah cukup berat. Dan tanpa ada seorang pun yang menyadari, dari kedua lubang hidung Hani mulai mengalir darah segar yang langsung membasahi bibir dan dagu gadis muda itu.

“MEREKA HANYA ABDI YANG MENJALANKAN TUGAS NAK!!” Seru Mang Diman lagi berusaha memperkuat kedua kakinya, memantapkan posisi berdirinya, sebelah lengannya terangkat sebatas wajah, sebuah naluri alamiah untuk melindungi diri dari kencangnya angin yang mulai bergejolak.

“AKU JUGA.. AKU JUGA HANYA MENJALANKAN TUGAS MANG..” Timpal Hani lagi masih terus berfokus menguras apa yang bisa ia kuras dari jasad-jasad di depannya yang semakin detik semakin kering kerontang. Kedua telapak tangan Hani terus membuka lebar, getaran mulai terasa di sepenjuru telapak tangan gadis tersebut.

Dan untuk Mang Diman, merasa bahwa kata-katanya tak akan mempan, ia berusaha melangkahkan kakinya setapak demi setapak. Mencoba menghentikan Hani yang semakin detik semakin kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.

Namun baru di langkah ketiga usahanya, apa yang ditakutkan Mang Diman pun terjadi. Karena tiba-tiba saja, jasad-jasad para punggawa Hematala yang sudah kering kerontang di hadapan Hani tersebut mulai menunjukkan akhir dari eksistensinya.

Jasad-jasad itu tiba-tiba terkelupas dan berubah menjadi abu yang kemudian langsung terhisap ke dalam telapak tangan Hani. Sangat amat cepat, seperti abu sisa pembakaran api unggun yang tertiup angin pegunungan.

Mang Diman menelan ludah dengan sulitnya, begitu pun Kim Sang-Hyuk dan empat punggawa Purantara yang tersisa. Mereka seperti terkesiap tatkala mendapati bahwa gadis cantik berparas manis yang selama ini mereka kenal benar-benar mampu bertranformasi menjadi gadis mengerikan yang tak kenal belas kasih.

Dan selama abu-abu jasad punggawa Hematala itu terhisap ke dalam telapak tangannya, ada sunggingan senyum yang meraga di bibir Hani yang merah di balut darah. Balutan energi Ki’ di sekitar tubuh Hani pun berubah. Yang tadinya dominan Hitam berbalut merah, kini justru berbalik.. Merah yang mendominasi, dengan siluet-siluet hitam di antara nyala merah dari Ki’ yang saat ini membalut bentangan sayap di punggung Hani.

Dan sedetik kemudian ia menurunkan kedua tangannya, Ki’ alaminya yang berwarna merah muda keunguan pun lenyap perlahan seiring kedua tangannya yang diposisikan kembali di samping tubuhnya, selesai sudah pengumpulan energi yang ia perlukan.

“Huuhhhh... segar sekali..” Gumam Hani sendiri seraya menengadahkan kepalanya ke langit, memusatkan pandangan ke cakrawal, berusaha memetakan garis luncur yang akan ia gunakan untuk mencegat Lawang Geni.

“Ha.. Hani..” Gumam Mang Diman dalam ketercekatannya, masih terkseiap memandangi bentangan sepasang sayang yang terus menguar dari punggung seorang Maharani Sukma. Terlihat semakin menyala merah dan semakin membesar ukurannya.

“Setelah menunggu sekian lama, aku akhirnya bisa melakukan sesuatu yang penting untuk Purantara. Ini pertamakalinya Mang.. ini pertama kalinya aku merasa benar-benar berguna.” Ujar Hani lirih namun bisa didengar jelas oleh semua orang yang ada di sana.

“Hani.. masih bisa diurungkan Nak.. jangan lakukan.. Kita harusnya meminta pendapat ke Raden Ayu dulu Nak.” Bujuk Mang Diman semakin putus asa.

“Maaf Mang.. ini pilihanku. Aku titip permintaan maaf ke Raden Ayu Rengganis. Maaf karena mungkin aku enggak akan bisa nepatin janji aku buat nemenin dan ngawasin Regan.” Sahut Hani lirih sekali seraya sepasang sayap di punggungnya yang mulai mengepak pelan, membawa tubuh Hani untuk melayang lebih tinggi dari sebelumnya.

“Hani tolong dengerin Mamang.. Masih ada cara lain buat ngebawa pulang Regan Nak. Jangan seperti ini.” Bujuk Mang Diman lagi dan lagi sembari melangkahkan kakinya, berusaha melawan terjangan angin yang menghantam tubuhnya.

Sedang Hani, tubuhnya semakin meninggi, bentangan sayap di punggungnya terus mengepak pelan.

Hani menelan ludahnya dengan begitu sulit, kedua tangannya kini ia posisikan bersilang di depan dada, dengan masing-masing telapak tangannya ditempatkan di ujung bahu. Seolah ia tengah berusaha memeluk tubuhnya sendiri.

Dan kini.. Tubuh Hani yang tengah melayang itu pun perlahan mulai condong ke depan, seiring kedua sayap energinya yang terlihat mengepak lebih kuat dari sebelumnya. Menghadirkan angin yang lebih kencang dari sebelumnya.

Mata gadis itu menatap tajam ke batas-batas langit, kemudian dengan anggun.. tubuh Hani mulai memutar pelan. Yang tadinya bagian depan tubuh gadis itu menghadap ke tanah, kini mulai berbalik ke arah atas. menghadap langit perbaukitan.

Perlahan dengingan bercampur deruh yang begitu ramai mulai mengisi telinganya, seiring matanya yang mulai terpejam. Ia atur napasnya sebaik mungkin, ia persiapkan dirinya sesiap yang ia mampu.

Sedang di bawah sana, Mang Diman dan seluruh orang yang menyaksikan apa yang tengah Hani lakukan hanya bisa terdiam keluh. Mata mereka membelalak tatkala kedua sayap di punggung Hani mulai melipat ke dalam, memeluk tubuh Hani yang saat ini sudah terbaring di udara menghadap langit perbukitan.

Dan perlahan, kepulan energi berbentuk sayap itu mulai menyelimuti keseluruhan tubuh Hani. Menyelimuti dari ujung rambut di kepalanya, sampai ke ujung kaki gadis muda yang tengah berserah diri pada apa yang sudah menjadi pilihannya itu.

“Ha.. Hani..” Gumam Mang Diman lirih menyaksikan keseluruhan tubuh Hani yang sudah tak terlihat, tertutup bak ulat yang tengah di balut kepompong.

Angin pun bertiup semakin kencang, menggoyangkan pohon-pohon di areal perbukitan tersebut. Debu-debu berterbangan, deruh yang amat bising mulai menutup telinga.

Lalu sedetik kemudian..

DEEEMMMHHHH..
WWWUUUUSSSSHHHHHH...

Dentuman Ki’ kembali meletup dari tubuh Hani, keras menerpa areal perbukitan tersebut.

Hal itu membuat Mang Diman dan yang lain kembali harus melindungi diri mereka dari letupan Ki’ kedua itu. Selagi mereka berlindung dan memalingkan wajah, tanpa mereka sadari, kedua sayap energi yang membalut tubuh Hani sudah kembali terbuka lebar. Dan kali ini bukan hanya sepasang sayap saja yang terbentuk dari pergumulan energi tersebut, melainkan bentuk utuh dari sebuah visual burung yang tengah melebarkan sayap. Lengkap dengan bagian ekor yang menjuntai.

“Daebak..” Kim Sang-Hyuk yang sedari tadi terdiam tak ikut campur pembicaraan antara Hani dan Mang Diman pun bergumam takjub.

(Daebak : ungkapan terkesima dalam bahasa negeri ginseng)

Bagaimana tidak, pemandangan yang tengah terhampar di hadapan lelaki berwajah oriental itu benar-benar indah tak terperih. Di mana tubuh gadis muda yang tengah keluh dengan kedua tangan memeluk bahu, terbalut paparan energi Ki’ berwarna merah terang yang membentuk kepakan burung raksasa. Dan bagi Kim Sang-Hyuk, tidak ada definisi lain selain gambaran sebauah burung Phoenik (Vinix) di mitologi-mitologi kuno yang selama ini ia ketahui.

Phoenix yang tengah melebarkan sayap, lengkap dengan bagian kepala yang samar-samar terbentuk bersama juntaian ekor di bawahnya. Takjub.. itu saja yang ada di benak Kim Sang-Hyuk saat ini. Dan bukan hanya Kim Sang-Hyuk saja yang terpana, Mang Diman dan empat punggawa lain yang menyaksikan hal tersebut pun terhenyak dalam ketakjuban berbalut kengerian di dalam hati mereka.

david-masson-dark-phoenix-full-body-v31.jpg


Hani berhasil membalik Dermadaya


“Jagat Dewa Batara..” Gumam Mang Diman dengan terbata menyaksikan apa yang ada di hamparan pandangnya saat ini.

Mengepak.. sepasang sayap burung raksasa itu mulai mengepak, terus membawa tubuh Hani semakin menjauh dan semakin meninggi, mengepak dan terus mengepak.

Hingga kepakan yang ke sekian, sepasang sayap itu membentang dengan bentangan yang jauh lebih lebar, menenguk ke arah luar, seolah siap melakukan kepakan pamungkasnya.

Dan benar saja, dengan satu kepakan terakhirnya yang amat kuat, sepasang sayap itu membawa tubuh Hani meluncur kencang ke udara, berputar sejenak kemudian melesat kencang menuju cakrawala.

Cepatnya laju kepakan sayap yang membawa tubuh Hani itu tak bisa dinalar, alih-alih meluncur selayaknya kecepatan burung, tubuh Hani yang sudah tersamar balutan Ki’ merah yang menyala itu justru meluncur bak jet tempur yang tengah memasuki kecepatan penuh.

Melesat dalam sekedipan mata, dan hanya menyisakan kepulan-kepulan energi hitam tipis di laju kepergiannya.

Hening.. daerah perbukitan itu kembali menghening. Deru angin yang sebelumnya kencang menerpa areal perbukitan itu berangsur-angsur mereda. Pohon-pohon kembali melambai dengan tenang, debu-debu mulai berjatuhan pelan ke atas tanah.

Hampa.. semua tiba-tiba hampa. Dan di tengah kehampaan itu, tubuh lelaki tua yang sedari tadi berusaha melakukan segala macam bujuk rayu pun luruh ke tanah. Jatuh berlutut dengan pandangan terangkat ke udara.

“Mas Banda.. Maafkan aku Mas.. Hikss..” Mang Diman membatin dengan lirih di dalam hatinya, menyebut nama seseorang dengan penuh kesedihan. Dan bersamaan dengan itu, sebulir air mata pun meluncur dari kedua pipinya.

****​
 
***

POV REGAN

“Heikkhh..”

Aku terkesiap ketika kudapati sesak di dadaku, sesaknya yang sesak banget gitu. Dan sesak itu membawa rasa sakit yang begitu ngilu, dan rasa sakit ngilu itu seolah berkumpul, dan terus menjalar ke seluruh bagian dadaku.

Sakit banget.. sumpah dah.. aku lagi enggak drama-drama’an ini.

Rasanya tuh kaya ada bola yang menyumbat saluran napasku. Jadi rasanya nano-nano, udahan mah sesek, plus sakit juga. Kaya pas narik napas.. sakit yang ngilunya warbiasah, tapi pas buang napas juga rasanya sama aja, sakit bener-bener yang enggak ketulungan gitu.

Sialanlah bangsattt..

Wait.. wait wait wait!

Kenapa gelap gini? Ini kenapa gelap woy?!!!

Bentar.. bentar bentar bentar!

Aku yang dari tadi ngerasa tengah rebahan pun segera terduduk, tapi betapa jengkelnya aku ketika sudah terduduk dan merasa sepenuhnya udah ngumpul kesadaran, malah makin bingung.

Ini dimana coy? Kok gelap semua? Gelap yang bener-bener gelap, enggak setitik pun cahaya yang mampu aku tangkap.

Bentar.. Ini kok kaya ada yang aneh ya? Wait.. wait.. wait.. tadikan aku lagi di.. eh.. bentar..

Kalo sekarang aku di sini? Berarti yang tadi itu beneran mimpi? Beneran mimpi buruk? Iya enggak sih?

Ituloh yang tadi aku mimpi ada siluman harimau gigi pedang yang bisa ngomong, sama anjing kepala dua yang nyereminnya minta ampun. Plus bagh bagh bugh bugh riweuh sama perempuan yang tadinya cantik mulus terus mukanya berubah jadi ngeletek-ngeletek sebelah kaya bekas kebakar itu.

Berarti itu beneran mimpi? Sama yang aku ketusuk pedang si perempuan dedemit itu juga beneran mimpi? Dan sekarang ini ceritanya aku udah bangun gitu dari mimpi tindihan yang nyeremin tadi?

Kaya yang dibilang si siluman harimau? kan semuanya tadi itu cumanan mimpi, dan aku bakal bisa bangun kalo aku bisa ngalahin si dedemit perempuan cantik tapi nyeremin itu.

Tapikan harimau tadi bilangnya aku bakal bisa bangun kalo aku bisa ngalahin itu dedemit, dan kalo aku kalah, aku bakal kejebak di alam mimpi selamanya.

Woah woah woah!! Wait!!

Kan tadi aku enggak berhasil ngalahin tuh dedemit, yang ada aku yang dikalahin sama dia pake katananya. Berarti kalo aku kalah, ini sekarang aku beneran kejebak di alam mimpi yang buruk buruk buruk banget dong? Enggak bisa bangun lagi gitu? Iya enggak sih?

Kayanya.. kayanya.. kayanya bener deh, ini aku beneran kejebak di alam mimpi ini. Asli! Buktinya ini gelap total kaya gini, berartikan ini aku kejebak kan? Iya kan?

Atau yang lebih buruk lagi.. apa jangan-jangan.. ini aku udah di alam baka? Aku udah mati? Iya enggak sih? Soalnya.. ini bener-bener kaya kosong dam hampa gitu, plus gelap pula. Angin se-emprit aja enggak ada sama sekali.

Njir… di alam baka nih coy? Mampus aku.. malah dosaku banyak.. sialan..

“Heikkkhh..” Asuuu.. sakit banget coy, dari tadi aku ngelantur sambil nahanin napas supaya enggak kebuang, tapi ini stok oksigen di paru-paruku udah nipis ini coy, anjinglah sakit banget coyy!!!

Dibawa napas sakit ngilu enggak ketulungan, tapi kalo enggak napas ya.. apa enggak meninggoy aku? Aseeeemm.. bangcatlah!

Anjing.. anjing.. anjing..

persetanlah! Aku harus napas gimana pun caranya, persetanlah sebegimana sakitnya juga, daripada mati kecekek kaya gini..

Oke.. aku Cuma tinggal ngelepas sisa napasku sekaligus, abis itu langsung ambil napas sebanyak-banyaknya.. iya.. aku harus nyoba..

Oke.. satu.. dua.. ti..

“HOAAAHHHH.. HEEESSSHHHHPPHHH.. HUPP.. HEEIIKKKHH!!”

ANJINGGGGGGGGGGG!!!!

Bajingan.. Sakit banget sumpah pas aku lepas napasku dan langsung kutarik sebanyak-banyaknya.

Sialan.. sebegininya amat sih Cuma mau napas aja? Kampretlah..

“Hoi.."

DEGGHH..

Njirrrr.. anjir anjir anjir..

kok tiba-tiba aku kaya denger suara orang negor ya? Dan suaranya itu berat banget, berat dan rendah tepatnya. Kaya suara.. kakek-kakek? Eh bukan deh, tepatnya kaya suara Bebi Romeo. Iya bener, kaya suara Bebi Romeo pencipta lagu dan penyanyi itu.

Tapi mana mungkin, secara di sini Cuma ada aku. Dan dari tadi juga enggak ada apa-apa di sini. Kaya ruang hampa gitu, aku aja ampe enggak ngerasain angin sama sekali sumpah.

“Hoi..”

Woah woah woah apa tuh Man?

Kok suaranya makin jelas? Kaya makin deket gitu? Assuuu.. itu beneran suara apa halusinasiku aja? Kalo beneran suara, itu suara apaan coy? Suara jin apa suara malaikat? Kalo pun suara malaikat, pastinya itu suara malaikat maut ya? Bajingan ini.. kok tiba-tiba aku merinding begini ya?

“Hoi bocah!”

“ANJRIT!!!”

Aku memaki sekencang-kencangnya seraya terperanjat dan langsung memundurkan tubuhku ketika tiba-tiba suara itu terdengar dekat sekali, kaya tuh orang ngomongnya tepat di depan mukaku sumpah. Bukan Cuma suara itu aja yang ngangetin aku sebenarnya, karena barengan ama suara itu, aku kaya ngerasain ada sesuatu yang nyentuh dahiku, tapi bukan tangan ya, kaya lidi atau kayu kecil gitu. Itu yang bikin aku kaget banget sebenarnya.

Njirrrr.. please lah please.. ini kok suasananya jadi berubah enggak enak gini ya? Kaya engap-engap gimana gitu.

Huh.. huh.. huh..

Napasku pun tiba-tiba memburu, dan keringat pun terasa mengucur deras dari dahiku, meluncur cepat dan cukup banyak sampe netes ke sela-sela bijiku ini.

Coy, sumpah coy.. sebegini horornya ya alam baka?

But wait..

Wait a minute..

Nafasku memburu.. dan sekarang aku ngos-ngosan banget.. berarti..??

Coy coy coy! Napasku udah enggak sakit dan nyelekit lagi coy! Sumpah.. ini napasku enggak ngilu dan nyelekit kaya beberapa waktu tadi! Dadaku juga udah enggak terlalu sakit kaya tadi, masih ada sih sakitnya dikit-dikit, cuman enggak sesakit yang ngebet banget gitu.

Dan perlahan-lahan aku pun meraba-raba dadaku, woah woah woah.. kok aman dan mulus-mulus aja? Padahal kan tadi aku ketancep katana?

Tapi kok.. Hhmm.. oh iya, kan kata si harimau gigi pedang itu cuman mimpi, berarti ketusuknya juga mimpi, wajar enggak ada bekasnya.

Tapi.. tapi kok kaya nyata banget ya?

“HA HA HA.. DASAR BODOH!”

“Wooooaaaahhh!!!” Seketika aku reflek berteriak.

Suara apa tuh man? Suaranya menggema dari sepenjuru arah gitu, kaya dari depan belakang, kanan dan kiri sekaligus gitu. Dan aku yakin banget, ini pemilik suaranya sama kaya yang tadi, Cuma ini kedengerannya lebih jelas dan kenceng aja.

Shit.. gemeteran asli ini, sampe rasanya buat nelen ludah aja berat banget sumpah.

Suaranya serem banget asli, kaya suara genderuwo dah sumpah, ya walaupun aku enggak tau suara genderuwo itu kaya gimana.. tapi pokoknya hal pertama yang terlintas di benakku sekarang ya.. genderuwo aja.

Setan item gede berbulu dengan mata merah. Hiiiii..

WUSSSSHHHHH

Tiba-tiba aja ada angin yang kenceng banget menerpa tubuhku, sampe aku kelempar ke belakang.

BUGGGHHHHHHH..

“Arrgghhh!”

Anjing ini.. bangsat.. punggungku membentur sesuatu seperti bilah-bilah pembatas. Sakit banget coy, asli dah. Kaya ngebentur tiang-tiang besi gitu. Anjinglah ini.

“Berani-beraninya kau menyamakanku dengan makhluk rendahan seperti itu!”

“Wanjir.. uhuk..” Aku memaki kembali, ketika suara yang tadinya Cuma hai hoi hai hoi.. sekarang malah ganti jadi bicara sepatah dua patah kalimat. Kan ngeri jadinya..

Dan suara nyeremin itu menggema dari sepenjuru arah. dari nada suaranya aku bisa tau, dia kedengerannya kaya kesel gitu. Tapi walaupun gitu, suaranya tetap rendah dan berat.

Bajingan.. apa angin kenceng barusan itu dia yang bikin? Tapi kok bisa-bisanya dia bikin angin kenceng yang mampu membuat aku kelempar beberapa meter? Asuu.. makhluk apa sih dia? Dan kenapa dia kok kayanya bisa ngebaca pikiranku?

“Si.. siapa kamu?” Seruku lantang dengan segenap keberanian yang kukumpulkan sekuat tenaga, bersamaan itu aku pun mencoba membenarkan posisi dudukku, seraya mengerjap-ngerjapkan mataku, mencoba mendapatkan setitik cahaya dari pekat dan hitamnya kegelapan ini.

WUSSSHHHHH..

Dan kembali, sebuah angin berhembus kencang menerpa tubuhku. Tapi kali ini dari arah belakang, membuatku terdorong dan terlempar ke depan.

BUGGGHHHH

Dan lagi-lagi, tubuhku seperti menghantam pembatas berupa bilah-bilah besi. Tepatnya bagian depan tubuhku.

“Anjing!” Makiku kesal karena rasa sakit akibat menghantam pembatas tempat ini. Perlahan aku mencoba bangkit, namun baru saja aku mencoba mengangkat tubuh, tiba-tiba..

WUSSSHHH

Angin lagi? Arrrgghhh sakit banget pasti ini!

BUGHHHHH

Shit! Lagi-lagi aku terlempar dan menghantam pembatas, kali ini angin itu datang dari sisi kananku. Melemparkanku ke arah kiri dengan telaknya, membuat tubuh bagian kiriku menghantam pelat-pelat pembatas tempat ini.

Nyeri coy.. sakit banget asli..

“Bocah sialan! Berani-beraninya kau memakiku!” Hardik makhluk itu dengan suara yang semakin mengeram seram.

“Bangsat!” Makiku geram sembari mengepalkan kedua telapak tanganku, mencoba segera bangkit dan mencari makhluk biadab yang seenak hati melemparku ke sana kemari itu.

“Berhenti memakiku!”

WUSSSHHHHHH
BUGGGGHHHH

“Arrggghhh!!” Aku kembali terhantam hembusan angin, kembali terpelanting dan terlempar menghantam pembatas tempat ini. Tapi kali ini, angin itu datang dari sisi kiriku, dan melemparkanku ke sisi kanan.

Bajingan, setelah kelempar ke belakang dan ke depan, juga ke kanan dan ke kiri. Aku kaya ngerasa kalo aku sekarang ini ada di dalem kerangkeng gitu. Bajingan.. apa begini yang namanya alam baka? Dan apa makhluk yang sedari tadi mempermainkan itu adalah malaikat maut? Anjinglah..

Huh.. huh.. huh..

Hening.. suasana di sini kembali menghening, enggak ada lagi hembusan angin biadab tadi, dan enggak ada juga suara makhluk nyeremin tadi terdengar.

Huh.. huh.. apa dia sudah pergi?

Anjinglah bangsat.. gelap banget sih di sini! Kamprett..

Betapapun aku mencoba membuka lebar-lebar kelokpak mataku, tetap saja hanya kegelapan yang mengungkung pandanganku. Sialanlah ini.. aku benar-benar butuh cahaya ini. Biar pun Cuma cahaya sebatas nyala obat nyamuk juga enggak apa-apa deh, yang penting jangan gelap total kaya gini.

Huh.. huh.. huh..

Tring.. tring.. tring.. tring.. tring.. tring..

Shit! Apa lagi ini?

Tiba-tiba terdengar suara peraduan besi di sekelilingku, seperti seseorang tengah menyeret bilah pedang di jeruji besi yang mengelilingiku ini. Dan suara itu memutar, berawal dari arah kiriku, berlanjut ke arah belakang, lalu ke arah kanan.

Tring..

Suara itu baru berhenti ketika sampai di jeruji-jeruji penghalang yang berada di depanku. Dan entah mengapa, aku merasakan hawa yang sangat aneh. Seperti sesuatu yang pekat dan menyesakkan dadaku, menyeruakkan perasaan ngeri hingga ke ubun-ubun kepalaku.

“Hhmmmm..”

Shit! Aku mendengar suara seseorang ber-hhhmm di depanku, dan suara itu terdengar berat serta terasa mengintimidasi sekali.

Bajingan.. ternyata dia belum pergi coy.. sialan.. sebenarnya siapa dia? Siapa orang yang tengah mengerjaiku sedari tadi ini?

“Kau tau bocah.. aku selalu menantikan saat-saat seperti ini. Saat di mana akhirnya aku bisa berbicara denganmu.. lagi”

Glekk..

Aku menelan ludahku dengan berat, keringat seketika meluncur dari dahiku. Dan getaran tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhku.

Suaranya.. suara orang itu kini berasal dari arah depanku, dengan tone suara yang benar-benar berat dan rendah. Terdengar tenang namun di saat bersamaan seperti menyimpan kengerian tersendiri.

“Si.. siapa kamu?” Tanyaku terbata seraya beringust memundurkan tubuhku, sampai akhirnya terhenti di pembatas yang berada di belakangku.

“Mengapa kau bertanya sesuatu yang sangat menyebalkan, bocah? Seolah aku ini adalah seseorang yang asing bagimu.” Jawab seseorang itu dengan helaan napas berat di akhirnya, dan suaranya pun terdengar sedikit menjauh, seperti ia tengah berjalan menjauhiku.

Tapi apa maksud perkataannya?

Seolah aku ini adalah seseorang yang asing bagimu?

Apa sih? Kok kaya dia ngerasa kalo aku dan dia udah saling kenal? Padahal kan aku pertama kali denger suara seberat dan semenyeramkan itu, ini juga pertamakalinya aku jalan-jalan ke alam baka. Tapi kok dari kata-katanya, kaya aku ama dia tuh udah saling kenal?

“Aku bisa mendengarmu bocah.. dan rasa-rasanya aku sangat ingin mencabik-cabikmu saat ini juga.”

Bajingan.. apa maksud perkataannya? Apa maksudnya dengan dia bisa mendengarku? Padahal aku tidak mengatakan apa-apa. Apa mungkin..

“Ya.. katakanlah seperti itu. Jadi berhenti mengumpatku, karena aku bisa mendengar semua yang ada di dalam kepalamu.”

Glek..

Bajingan.. ini beneran? Dia beneran bisa baca pikiranku? Woah woah woah.. enggak bener ini, enggak sopan ini. Dan gimana bisa dia melakukan itu?

“Siapa yang tidak sopan? Kau atau aku? Karena sedari tadi kau yang terus-menerus mengumpatku. Dan aku benci itu, aku benci ketika seseorang mengumpatku. Tapi karena mengumpat sudah menjadi bagian mutlak dari lidah pendekmu itu, aku akan mencoba untuk memakluminya.”

Wah beneran ini.. nih orang beneran bisa baca pikiran aku kayanya. Sialan..

“Maaf.. kamu sebenarnya siapa? Kenapa kamu bersikap seolah kamu mengenal saya?” Tanyaku dengan nada setenang mungkin, meski sejujurnya susah banget buat mengondisikan ketenangan di dalam diriku. Karena ya itu, hawa di sini engap dan pekat banget sumpah.

“Aku? Kau bertanya siapa aku? Baiklah.. akan kujawab..” Sahut seseorang itu santai, bersamaan itu terdengar suara gemerasak, seperti ada pergerakan atau semacamnya.

Dan aku.. entah kenapa jantungku berdegup lebih cepat, ini karena orang itu menggantung kalimatnya. Membuatku penasaran minta ampun dengan kalimat berikutnya yang akan ia lontarkan.

“Katakanlah.. aku adalah sumber kehidupanmu. Semacam nyawa kedua yang kau miliki.”

Heh? Apa apa apa? Gimana? Nyawa kedua? Sumber kehidupan? Apasih?!

Mbok ya yang bener gitu jawabnya, kok malah ngawur gini? Bisa-bisanya dia becandain aku kaya gini?

“Sangat menyebalkan ketika seseorang bertanya padaku, dan saat aku menjawabnya, ia malah menyangsikan jawabanku. Huhh.. rasanya aku ingin mencabikmu saat ini juga.” Seru orang itu dari tempatnya, dan fix.. dia beneran bisa baca pikiranku.

“Siapa kamu sebenarnya? Tolong jawab dengan serius, saya lagi enggak bercanda soal.. ups..”

Shit.. shit.. shit.. mulut kampret! bibir bangsat! Berani-beraninya aku ngomong kaya begitu. Arrrgghhh.. dapet keberanian dari mana coba? Iniloh situasinya lagi enggak mendukung, kenapa bisa-bisanya aku keceplosan santai kaya barusan?

“Ha ha ha.. menyenangkan sekali mendengarmu memaki dirimu sendiri.” Seruan kembali terdengar, seolah ia bahagia sekali ketika aku mengakui kebodohan yang nyeplos dari bibirku barusan.

“Ah aku lupa.. aku belum menyingkirkan parasit yang menutupi tubuhmu itu ya? Pantas sedari tadi kau seperti orang buta.”

Parasit yang menutupi tubuhku? Apa maksudnya?

Aku pun reflek langsung meraba-raba wajah dan tubuhku, mencoba mengonfirmasi perkatannya. Tapi nyatanya tidak ada sesuatu seperti yang dikatakan orang itu. Tidak ada apa-apa di tubuhku.

“Hahhhh.. majulah bodoh, mendekatlah. Bukan seperti itu yang aku maksud.” Seru orang itu lagi dengan nada mencemooh.

Aku pun segera menghentikan rabaan pada wajah dan tubuhku, kemudian aku terdiam sejenak. Dia minta aku ngapain tadi? Minta aku maju? Minta aku mendekat? Hihhhhh.. gila kali ya? Emohlah aku.

Apa enggak ngeri? Gimana kalau aku ke depan ternyata dia malah nyabik-nyabik aku kaya yang dari tadi dia bilang? Gimana kalau dia beneran ngelakuin itu? Apa enggak auto mati aku dibuatnya? Eh tapi kan aku emang udah mati ya? Iya enggak sih?

“Ssshhh.. bocah bodoh ini!”

Shit! Kenapa tiba-tiba suara orang itu sekarang ada di belakangku?! Gimana bisa dia berpindah tempat secepat it..

DUGGHHHH

“AARRGGHHH!!”

Aku berteriak sekuat tenaga ketika kurasakan sesuatu yang amat keras menghantam ubun-ubunku dengan telaknya, rasanya seperti sebuah tongkat bisbol di ayunkan dengan keras untuk memaku tubuhku. Membuatku seketika jatuh berguling-guling sembari memegangi kepalaku yang rasanya kaya mau pecah, sakitnya bener-bener sakit woy! sampe rasanya nyesek di dadaku saking sakitnya.

Arrrggghhhh…

Aku memejamkan mataku kuat-kuat, pun mencengkeram rambutku dengan tak kalah kuatnya, aku tersungkur ke depan dengan posisi bersujud. Sialan..

Sakit ini.. sakit ini rasanya bener-bener enggak ketulungan.

“AARRRGGHHH!!!” Aku berteriak lebih kencang, sebab sakit yang merajam kepalaku kurasakan justru semakin mencengkram. Rasanya seperti kepalaku benar-benar mau pecah saking enggak Ketulungan rasa sakitnya.

Anjing!! Arrrgghhh.. bajingan!!! Sakit banget bangsat!!!!

Panas.. kepalaku tiba-tiba terasa panas sekali. Terbakar.. kepalaku rasanya seperti di bakar!!

“AARRRGGHHH!!!”

Aku terus berteriak seiring rasa sakit dan hawa panas yang terus menjalari kepalaku, bahkan sekarang kurasakan semua rasa menyiksa ini mulai menjalar ke bagian-bagian tubuhku yang lain.

Aku berusaha menghilangkan seluruh rasa sakit ini dengan berguling kesana kemari, merangkak dengan ringkih dan panik, dan gerakanku yang tak beraturan tersebut membuatku berkali-kali menabrak teralis besi yang mengungkungku, entah itu yang berada di depan, belakang, maupun teralis yang berada di sampingku.

Aku mencoba menggapai apa saja, mencoba melakukan apapun guma memperingan rasa sakit yang kurasakan saat ini. Namun sia-sia, semua rasa sakit ini bukannya menemui kata reda, namun justru semakin menjadi-jadi saja rasanya.

“BANGSAATTT!! AAARRRGGHH!!” Aku memaki entah kepada siapa, kucengkeram rambutku sekuat tenaga, seolah aku mencoba untuk mengoyak kulit kepalaku sendiri, agar bisa kukeluarkan apapun itu yang berada di dalam kepalaku kini, aku enggak sanggup.. aku enggak sanggup menahan rasa sakit seperti ini! Arrrgghh

Sakit! Sakit! Aarrrgghhh.. rasa-rasanya aku belum pernah merasakan sakit membara seperti ini seumir hidupku, belum pernah sama sekali. Aku.. aku enggak sanggup.. aku enggak sanggup.. Lebih baik aku mati sekali lagi, lebih baik aku mati lagi dibandingin harus menahan rasa sakit seperti ini lebih lama lagi.

Aku menyerah.. aku menyerah..

Jagat dewa batara.. aku menyerah! Aku menyerah pada rasa sakit ini! Jika ini memang bentuk dari siksaanmu, aku mohon hentikan! Aku enggak sanggup lagi! Ini sakit banget aarrrrggghhh..

Tapi tiba-tiba..

TTSSSSIIIIINNNNGGGGG...

Suatu energi aneh seperti melesat melalui kedua daun telingaku.

“Haaaahhhhh.. Hahhhhh...” Apa ini? Kenapa tiba-tiba rasa sakit yang menderaku bisa hilang seketika seperti ini? Aneh.

Apa ini karena kilatan energi yang melesat tepat dikedua telingaku tadi? Kurang lebih rasanya Seperti ada peluru yang melesat dengan desingannya melewati kanan dan kiri tubuhku.

Dan tepat ketika lesatan benda itu melewatiku, seketika itu juga rasa sakit yang mendera kepalaku mereda begitu saja, seperti terbawa pergi bersama desingan tersebut. Dan kini yang tersisa padaku hanyala sebuah kehampaan, ya.. kehampaan yang begitu hening.

Dengan gelap yang masih mengungkung, aku merasakan kehampaan ini begitu kosong, seolah aku tengah berada jauh sekali dari segala sesutu. Semuanya.. semuanya terasa begitu kosong, begitu hening, dan begitu terasing.

Lalu dalam kegelapan ini, aku mencoba bangkit berdiri, kulangkahkan kakiku dengan sembarang, dan anehnya.. aku merasa sudah melangkah cukup jauh dalam ketertatihanku, namun tak mendapati jeruji yang tadi kurasakan mengurungku dengan telak. Tidak juga kurasakan adanya kehadiran makhluk pemilik suara yang sedari tadi menggangguku, tidak ada lagi hawa pengap menyeramkan tadi.

Kemana.. kemana hal-hal aneh itu pergi? Apa semua ini masih bagian dari halusinasiku saja? Namun mengapa semuanya terasa begitu nyata? Termasuk rasa sakit tadi?

Arrrggghhhh!! Bisa gila lama-lama aku!

“Ampun.. uhuk.. howek.. hah.. gua minta maaf.. gua minta maaf.. uhuk..”

What? Suara siapa lagi itu? Sayup-sayup ada suara orang coy. Suaranya kaya enggak jauh-jauh amat, tapi anehnya suaranya itu kaya suara memohon gitu, ditambah suaranya kaya diselingin sama batuk dan muntahan gitu, plus kedengeran engap-engapan banget.

Dan mendapati suara tersebut, aku pun segera mengedarkan pandangku memutar, mencoba mencari setitik jawaban di tengah kegelapan yang terus menerus melingkupiku ini. Sampai di detik kesekian pengedaran pandangku, aku mendapati setitik cahaya muncul, dan semakin kuamati, cahaya itu ternyata berasal dari sebuah pintu yang terbuka lebar.

Dan bak penyamun yang tersesat di gurun pasir, dilanda kehausan dan kehampaan, lalu menemukan sedanau oasis, aku pun dengan terburu melangkahkan kaki. Selangkah demi selangkah, dan seiring langkah itu pula, suara orang yang saat ini kudengar pun mulai terasa semakin jelas. Dan aku yakin nih, itu suaranya ada di balik cahaya dari pintu di depan sana itu.

Hatiku merasakan kelegaan yang amat sangat ketika mendapati setitik cahaya di ambang penglihatanku ini. Bahagia? Oh jelas dong.

Ya walau pun rada merinding juga sih, karena ya itu.. suaranya itu kaya orang abis dipukulin dan mohon-mohon ampun. Cuman kan ya gimana ya, namanya kita di tempat beginian ya, gelap total, terus tiba-tiba ada suara orang.. ya apa enggak seneng muehehe

Dan cahaya dari pintu itu kini benar-benar sudah berada tepat di depanku, begitu pun dengan suara orang memohon yang enggak berhenti-hentinya kedengeran, dan dengan mantap aku pun melangkahkan kaki melewati ambang pintu yang cahayanya silau bukan maen ini.

Iya.. melangkah dengan mantap! Karena aku mikirnya, ya siapa tau aku bisa nolong itu orang yang suaranya melas banget itu, mana tau dia lagi dipukulin yekan?

Dengan satu tangan terangkat untuk menutupi silau yang menerpa wajah, aku pun melewati ambang pintu tersebut dengan mata setengah terpejam. Butuh beberapa detik untukku menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke bola mataku, sebelum akhirnya secara perlahan mataku pun mulai beradaptasi.

Namun betapa terkejutnya diriku, ketika penglihatanku sudah kembali normal dan terbiasa, cahaya menyilaukan yang menerpa sudah tak ada, dan kini berganti menjadi sebuah pemandangan berengsek yang begitu berhasil bikin mulutku ternganga dengan lebarnya.

Bagaimana tidak nganga mulutku, iniloh masa aku tiba-tiba ada di suatu tempat yang rasa-rasanya kok kaya enggak asing gitu. Dan setelah aku ingat-ingat lagi, aku amat yakin seribu yakin ini adalah tempat di mana dulu waktu SMP aku sering cabut alias membolos!

Iya coy enggak salah lagi, ini di belakang warnet tempat dulu aku sering cabut sama temen-temen SMP Purantaraku. Ituloh, SMP pertamaku sebelum kemudian dipindah ke SMP di kampung Uwakku.

Tapi.. sumpah.. bukan itu doang yang bikin aku kaget.. bukan.. sama sekali bukan!

Yang bikin aku kaget justru apa yang ada di belakang warnet tempatku cabut ini. Kursi-kursi kayu patah berserakkan, tubuh-tubuh murid laki-laki berseragam putih biru dan sersagam STM tergeletak sembarang. Ada yang tertelungkup tak bergerak, ada yang berbaring sembari memegangi wajah dan merintih, ada yang terduduk di tembok dengan kepala tertunduk juga.

Dan di antara tubuh-tubuh itu, ada tiga orang yang masih berada dalam kesadaran. Satu seorang gadis muda berseragam putih-biru lengkap dengan rok rampelnya, satu lagi seorang bocah laki-laki yang yang juga berseragam putih-biru berdiri memunggungiku, lalu satunya adalah murid berseragam STM gitu, dan orang ketiga yang aku sebutkan itu posisinya lagi bersimpuh dengan wajah babak belur berlumuran darah.

Pemandangan macam apa ini? Kok bisa-bisanya ada anak STM bersimpuh di depan bocah SMP, ini enggak kebalik apa?

Aku bisa melihat jelas wajah babak belur murid STM itu, sebab tempatku posisi berdiriku agak menyamping di belakang tuh bocah SMP. Jadi aku bisa melihat dengan jelas, tuh anak STM yang lagi bersimpuh dengan darah berlumuran di wajahnya. Dan sepertinya, suara merintih dan memohon yang tadi aku dengar adalah milik anak STM itu.

Dengan situasi serba tak terduga ini, wajar rasanya jika aku dibekap keterkejutan. Terlebih.. mendapati fakta bahwa saat ini aku berada di tempat yang sudah lama sekali tidak pernah aku kunjungi. Aku pun hanya bisa memandang bisu. Seolah menunggu kelanjutan dari apa yang kini tengah aku saksikan.

Dan di tengah keterpanaanku itu, kulihat anak STM yang bersimpuh babak belur itu merangkak maju dan memeluk kaki Bocah SMP di hadapannya, dengan erangan pedih dan ringkik kesakitan, anak STM itu terdengar memohon ampun dengan ketakutan dan kepasrahannya.

Aku mengernyitkan dahi, ketika semakin aku perhatikan, aku seperti mengenali wajah anak lelaki berseragam STM itu. Tapi entah kenapa aku enggak bisa inget siapa tepatnya. Tapi melihat ketakutan di wajah anak STM itu, dan entah kenapa aku jadi iba sendiri ngeliatnya, dan berharap Bocah SMP yang berdiri angkuh di hadapannya segera memberi pengampunan.

Namun apa yang terjadi selanjutnya justru jauh panggang daripada api, Bocah SMP yang entah kenapa terlihat angkuh tersebut tiba-tiba menjambak rambut bagian belakang kepala anak STM di depannya dengan cengkeraman yang aku yakin.. kuat banget itu cengkeramannya.

Anehnya juga, kok bisa-bisanya tuh anak STM rambutnya enggak cepak, malah cuman ditipisin samping-sampingnya aja, dengan rambut depannya yang cukup panjang buat dijadiin poni lempar kalo dikasih urang aring.

Alah.. kenapa jadi mikirin masalah rambut, bukan waktunya coy! Ituloh.. bocah SMPnya makin ngencengin jambakan.

Tuh bocah ngejambak pake tangan kirinya, dan tangan kanannya yang sedari tadi terlurus di samping pinggul terangkat dengan cepat, yang saking cepatnya aku sendiri enggak terlalu engeh kapan tuh bocah ngangkat tangan kanannya dan narik tangannya itu ke belakang sembari kepalan tangan yang kulihat begitu kuat mengepal, dan saking kuatnya kepalan tangannya itu sampai memperlihatkan getaran sendiri.

Kaya orang yang geregetan banget gitu, asli!

Waduh, kayak-kayaknya nih bocah putih biru siap-siap buat ngelakuin fatality ini. Waduh waduh waduh, bisa the end tuh anak STM kalo keadan mukanya yang udah acak adut harus nerima bogeman segeregetan itu dari tuh bocah. Enggak bener ini.. asli enggak bener.

Jadi, dengan segala ketidaktahuan diriku ini, aku akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah, berusaha untuk setidaknya melerai sekaligus mencegah serangan penutup dari tuh bocah SMP. Tapi ketika kakiku baru melangkah satu-dua, kulihat murid perempuan yang sedari tadi berdiri sembari menangis menutupi bibirnya berjalan cepat dan langsung mencengkeram lengak kanan tuh bocah SMP yang kayaknya sih temennya.

Tapi yang terjadi berikutnya sungguh langsung membuat mataku terbelalak, langkahku pun terhenti seketika, bahkan tanpa sadar aku menahan napasku sesaat ketika tiba-tiba bocah lelaki berseragam putih biru itu dengan entengnya menepis cengkeraman dari murid perempuan yang coba menahan serangan penutupnya.

Tidak berhenti di situ, dengan begitu cepatnya bocah lelaki itu langsung mencekik sang siswi yang coba menahannya, kemudian mengangkat tinggi-tinggi bocah perempuan itu dengan ringan, sampai kaki siswi perempuan itu tak lagi menjejak tanah. Kaki murid perempuan itu pun berkejat-kejat, dan dengan telapak tangan kirinya ia berusaha menahan cekikan bocah laki-laki gila itu, sedang telapak tangan kanannya ia angkat perlahan, lalu di tempatkan di antara wajahnya dan wajah bocah laki-laki di hadapannya.

Lalu murid perempuan itu menegakkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, membentuk semacam pose jari tangan yang tengah bertapa gitu. Dan itu benar-benar bikin aku bingung plus penasaran di saat yang bersamaan.

“Luruh.. Heikkhh..” Seru siswi itu di tengah ketercekikannya. Iru? Apa itu nama bocah yang lagi nyekek dia?

“Luruh.. Nendra.. heikhhh..” Murid perempuan itu mencoba kembali melafalkan sesuatu, namun sepertinya terputus sebab cekikan di lehernya semakin terasa mencekik.

Tunggu.. Luruh? Nendra? Luruh Nendra? Kok aku kaya enggak asing ya dengan tiga kata itu? Apa itu nama bocah laki-laki yang lagi mencekiknya? Tapi kok namanya aneh? Dan kayanya malah bukan nama itu mah, soalnya siswi itu ngomongnya kaya lagi baca mantra gitu. Arrgghh persetanlah! Aku enggak bisa diem aja.. aku harus..

WUUUSSHHHH...

What thefffffffuucckk??!!

BUUGGGHHH..

Baru aja aku hendak berlari guna menolong murid perempuan yang tercekik itu, tapi tiba-tiba tubuh gadis muda itu sudah terlempar ke samping, melayang di udara lalu terpelanting ke atas aspal dengan keras.

Bangsat.. bisa-bisanya tuh bocah laki-laki ngelempar tubuh kawannya sejauh itu?

Biadab.. tuh bocah lagi kesurupan apa gimana? Tenaganya bener-bener enggak masuk di akal, bagaimana bisa dia mencekik tinggi-tinggi gadis muda itu hingga terangkat dari tanah hanya dengan satu tangannya, padahal ukuran tubuh kedua remaja pengguna seragam putih-biru itu hampir sama tingginya. Ditambah lagi, dengan satu tangan itu ia mampu melempar tubuh gadis muda tersebut hingga bermeter-meter jauhnya, seolah yang ia lempar hanya bantal guling yang beratnya tidak seberapa.

Biadab! Persetanlah.. mau dia kesurupan kek, mau dia apa kek, yang jelas dia udah dengan kejinya ngasarin perempuan! Mau dia bocah atau pun orang dewasa, kalau dia udah kasar sama perempuan aku enggak akan tinggal diam kaya gini!

“Woy bocah bangsat!” Aku berteriak kencang seraya menghentakkan kaki dan berlari kencang menuju bocah itu, biar kuhantam kepalanya agar dia tau gimana cara memperlakukan perempuan!

Dan teriakanku sepertinya cukup berhasil mencuri perhatian bocah sialan itu, sebab ia kulihat mulai melepas jambakannya pada anak STM tak berdaya di depannya, kemudian menolehkan wajahnya ke samping, mencoba melihat ke arahku sepertinya.

Dan itu justru semakin membuat derap lariku semakin kencang, kukepalkan kedua telapak tanganku keras-keras, akan kubuat rahang bocah itu membayar apa yang sudah ia pertontonkan padaku, kekejian terhadap perempuan yang paling membuatku emosi tingkat jiwa. Dan aku amat yakin, kepalan tangan kananku akan mencium kulit pipi yang membalut rahang tengilnya itu dengan telak!

Ya! Biar kuberi satu atau dua pukulan sebagai pelajaran untuk bocah enggak tahu diri itu!

“Ba.. ji.. ng...”

“Halo.. Regan!”

DEGGGGHHH...

Tepat ketika kepala bocah itu sudah tertoleh penuh, aku justru langsung tergugu ketika mendengar sapaan bernada santainya.

Kakiku yang hendak kujadikan tumpuan untuk menambah daya dorong pun seketika melemah, dan kepalan tangan kananku yang sudah tertarik ke belakang pun tiba-tiba melemah ketika sapaan itu terarah kepadaku.

Dan di tengah linglung kekagetanku itu, bocah itu dengan santainya memutar tubuhnya ke arahku seraya menendang ke arah belakang, tepatnya ke arah dada anak STM yang sedari tadi bersimpuh ampun. Tendangannya kulihat ringan saja menjejak ke belakang, tapi anehnya tubuh anak STM itu langsung terdorong keras dan terpelanting berguling beberapa kali ke belakang sebelum akhirnya berhenti tak bergerak, tertelungkup keluh di atas aspal kasar.

Derap jantungku tertahan seketika, bukan sebab lagi sebab sapaan bocah itu kepadaku, atau pun karena kuatnya tendakan dari bocah itu ke anak STM tadi, bukan.. bukan sama sekali!

Yang membuatku seketika tergugu kemudian melemas perlahan adalah karena.. shit.. fuck fuck fuck! Bocah ini.. kenapa wajah bocah ini mirip banget dengan wajahku? Asli, mukanya mirip banget sama mukaku tapi dalam versi yang sedikit lebih muda beberapa tahun ke belakang?!

Apa ini? Si.. siapa dia? Kenapa wajahnya bisa mirip denganku? Ah shittttt... apa lagi ini? Kegilaan macam apa lagi ini?

Tangan kananku yang sejatinya sudah tertekuk ke belakang dan siap melayangkan pukulan pun tanpa kusadari mulai lemas dan terturun lurus kembali ke posisi semula. Kakiku juga perlahan mensejajarkan posisi kembali, seraya tubuhku yang perlahan namun pasti mulai termundur ketika bocah itu mulai mengangkat pandangannya secara penuh ke wajahku.

Bajingan.. ini bener-bener gila, wajah bocah ini benar-benar mirip dan identik paten sama wajahku cok! Brengsek brengsek brengsek! Bukan Cuma wajah aja, tapi gaya rambutnya juga bener-bener mirip sama gaya rambutku jaman SMP dulu! Gila ini.. ini gila.. asli!

Aku menelan ludahku sekuat tenaga, mencoba mencari jawaban di dalam kepalaku sendiri, namun di tengah kebingunganku tersebut, bocah itu menyeringai dengan dinginnya seraya menggerakkan kepalanya pelan ke samping, seolah memintaku untuk melihat ke arah gerakan kepalanya. Dan bodohnya lagi, mataku justru mengikuti arahan kepala bocah aneh di hadapanku ini.

Dan ternyata, bocah ini mengarahkanku untuk memandang ke arah terlemparnya gadis muda yang tadi ia cekik. Dan di sana, di atas aspal kasar itu, gadis muda yang tubuhnya tadi terhempas dengan keras berusaha bangkit sekuat tenaga.

Rambut hitam panjangnya sedikit menutupi wajah yang berpeluh keringat, dan entah kenapa, semakin aku pandang, semakin aku merasa familiar dengan wajah gadis muda itu.

Aku pun otomatis memusatkan pandang dengan sungguh-sungguh, menunggu gadis muda itu benar-benar mengangkat wajahnya yang masih setengah tertunduk dan tertutup helaian rambut itu. Dan kembali, lagi dan lagi, aku mendapati kemustahilan ketika pada akhirnya gadis muda berseragam SMP itu benar-benar sudah mengangkat wajah seraya menyeka helaian rambut yang menutupi wajahnya.

“Ha.. Hani?” Gumamku dengan rasa tidak percaya bercampur keterkejutan.

Gadis muda itu.. di.. dia punya wajah yang persis dan identik dengan wajah Hani, tapi bagaimana bisa? Apa ini maksud semua ini sebenarnya?

Pertama bocah lelaki di hadapanku ini, yang ternyata punya wajah mirip denganku. Lalu sekarang, gadis muda di sana yang juga ternyata punya wajah yang persis mirip dengan Maharani Sukma alias Hani.

Bagaimana ini bisa terjadi? Apa sekarang aku masih dipermainkan oleh projeksi mimpiku? Apa aku masih berada di dalam halusinasi gilaku sendiri?

Setelah mimpi gila tentang pertarungan dengan siluman cantik berpedang katana yang kulawan bersama harimau gigi pedang dan anjing siluman berkepala dua, lalu halusinasi aneh tentang jeruji besi dan makhluk menyeramkan yang mengungkungku di kegelapan tadi, kemudian sekarang aku harus dihadapkan pada halusinasi gila lainnya?

“Halusinasi? Kau bilang halusinasi? Hahahaha..” Bocah di hadapanku berujar dengan nada datar, suaranya terdengar sangat berat untuk ukuran anak seumurannya.

Aku pun reflek menoleh ke arahnya lagi, dan betapa terkejutnya aku ketika bocah itu kini sudah benar-benar berdiri rapat di depanku, entahlah sejak kapan ia memajukan tubuhnya, tapi yang jelas, wajahku dan wajahnya kini benar-benar sudah berhadap-hadapan dengan jarak tak lebih dari satu jengkalan telapak tangan.

Tingginya yang sedikit lebih rendah tentu membuatku sedikit harus menundukan pandang, namun entah kenapa, meskipun aku lebih tinggi dari bocah di hadapanku ini, tapi aku sama sekali tak mendapati kegentaran di wajahnya.

Siapa bocah ini sebenarnya? Kenapa aku merasakan kengerian tersendiri ketika aku menatap mata putihnya itu?

“CUKUP REGAN!” Seruan kembali terdengar, dan itu jelas dari murid perempuan yang wajahnya mirip Hani tadi (tapi dalam versi yang lebih imut tentunya).

Aku pun dengan reflek kembali memandang ke arah datangnya suara itu, karena heran sendiri ternyata murid perempuan itu juga mengenalku.

Dan kini, murid perempuan itu sudah tengah berjalan tertatih ke arahku, tangan kirinya terjuntai lemah di samping pinggang. Sedang tangan kanannya lagi-lagi membentuk gesture yang sama seperti ketika tadi ia tengah dicekik.

Telapak tangan di depan wajah, dengan jari telunjuk dan jari tengahnya tegak ke atas. Tatapannya tajam, tapi bukan menatapku, tapi sepertinya menatap ke arah bocah yang berada di depanku.

“LURUH NENDRA..” Seru murid perempuan itu dengan langkah yang terasa lebih tegas. Dan tepat setelah seruannya itu, pemilik wajah yang menyerupai Hani itu pun mengernyitkan dahi, seperti ada hal yang menurutnya salah.

“Ssshh.. gadis bodoh..” Desis bocah di hadapanku dengan nada yang terdengar amat meremehkan.

“IRU!” Seru gadis itu lagi seraya menggerakkan tangan kirinya yang sedari tadi terjuntai, tangan kirinya itu ia posisikan lurus ke depan dengan telapak tangan terbuka, mengarah ke bocah yang berada di depanku.

“KAU BUKAN TANDINGANKU!” Teriak bocah berwajah mirip denganku itu dengan lantang seraya mengarahkan telapak tangan kirinya yang terbuka ke arah gadis muda itu.

Dan dengan tidak masuk akalnya, tubuh gadis muda itu tiba-tiba seperti tersentak dengan amat kencang. Terangkat dari tanah dengan punggung sedikit melenting ke belekang, kedua tangannya pun sudah terentang ke samping, kepalanya terdangak ke langit. Lalu detik berikutnya, tubuh gadis yang sudah terangkat dari tanah itu tertarik dengan cepat ke arah depan, seperti besi yang tertarik magnet.

Meluncur menuju ke arah telapak tangan kiri bocah di hadapanku, dan aku amat yakin, jika tidak segera aku hentikan, batang leher gadis muda itu akan kembali berada dalam cengkeraman bocah tengik ini. Jadi, sebelum tubuh gadis muda itu tertarik semakin dekat, aku segera mencengkeram lengan kiri bocah di hadapanku, mendorong sekuat tenaga sampai lengan bocah itu terdorong ke belakang.

Aku melakukan itu dengan mata yang tetap terfokus pada tubuh Hani KW yang melayang di udara, dan sesuai harapanku, tepat ketika tangan bocah tengik di hadapanku ini kusentak, detik itu juga tubuh Hani KW super langsung berhenti meluncur, terturun seketika untuk kembali menjejak aspal, dan langsung terduduk jatuh dengan bahu naik turun, terengah hebat.

“Sorry gua ikut campur, tapi lu udah bener-bener kelewatan..” Ujarku geregetan seraya terus menguatkan cengkeraman, namun bangsatnya tuh bocah sedikit pun enggak ngelakuin perubahan raut wajah. Boro-boro takut, keintimidasi secuil pun enggak kayanya.

Dia malah dengan tengilnya menghujamkan tatap ke bola mataku, seraya memajukan wajahnya.

“Bukan aku.. bukan aku.. tapi kita..” Ujar bocah penjiplak wajahku itu dengan suara beratnya, dan berengseknya, malah aku yang rada terindimidasi dengan ucapannya.

“Apa kau tidak ingat kejadian ini? Kau benar-benar tidak ingat?” Ujarnya lagi dengan raut wajah yang beranjak berubah, seperti menampilkan kemarahan dan kegeraman yang terpendam kuat-kuat di balik seringaian senyumnya.

Aku mengeratkan gigiku, menelan ludahku dengan berat, seraya mengernyitkan dahi. Lalu kuedarkan bola mataku menyapu sejenak areal ini. Belakang warnet tempatku sering membolos dulu, murid-murid lelaki berseragam putih biru, dan anak-anak STM yang tepar sembarang. Ingatanku pun melayang, dan entah kenapa.. ruang-ruang kepalaku justru memutar kembali memori yang enggak enak buat diinget.

Dan tepat ketika tatapanku terhenti di tubuh anak STM terakhir yang dibuat terkapar oleh bocah ini, saat itu juga sebuah nama langsung terlintas di kepalaku.

Bang Joni?

Iya, aku mengenali wajah anak STM itu, dia adalah Bang Joni, alumni SMPku yang masuk ke STM Perwira. Aku ingat betul wajahnya setelah kucoba menepiskan segala bengkak lebam biru dan noda darah di wajahnya. Benar, aku yakin itu adalah Bang Joni, alumni yang pernah bermasalah denganku karena mengusik Hani.

Iya bener deh, aku inget.. itu salah satu ingatan kelam yang selalu membebaniku. Ingatan di mana aku dulu pernah menempatkan Hani dalam zona bahaya. Saat itu aku tengah membolos bersama kawan sekelasku dan beberapa anak kelas tiga, kami membolos di sini untuk menyambut alumni kami yang meneruskan pendidika di STM perwira.

Aku ingat saat itu kami tengah minum-minum sembari mendengarkan ‘dongeng’ dari alumni, lalu Hani datang untuk membujukku kembali ke sekolah, yang meski sudah kutolak halus Hani terus membujukku, sampai akhirnya ada kata-kata yang enggak enak keluar dari mulut Bang Joni, dan membuat aku kehilangan kesabaran. Aku ingat betul ketika aku menghajarnya dan beberapa temannya, sampai kemudian si Joni-Joni ini ngeluarin ‘wapak kijang’ dan menyandera Hani. Tapi setelah itu aku enggak inget apa-apa, selain rasa sakit dan terbakar yang amat sangat, lalu setelah rasa sakit terbakar itu hilang, semua sudah terkapar, dan Ibu serta Mang Diman ada di sana, plus Hani yang berdiri dengan tangisannya.

Apa ini? Apa sebenarnya maksud ini semua? Apakah ini potongan kejadian yang tidak pernah aku ingat sebab aku keburu kesakitan dan kebakar? Jadi.. jadi.. yang membuat mereka terkapar seperti ini, termasuk teman-temanku, adalah aku? Apakah ini ingatan masa laluku? Kalau iya, apakah aku juga menyakiti Hani seperti yang tadi aku lihat ketika bocah ini melakukan hal berengsek kepada Hani? Apakah aku benar-benar melakukan kekejian seperti ini?

“Bukan.. bukan kau.. tapi kita..” Bocah tengik di hadapanku ini kembali bersuara, dan entah kenapa dia seperti bisa membaca segala apa yang tengah aku pikirkan.

Apa dia benar-benar adalah aku di waktu itu? Apa dia benar-benar aku? Apakah aku sekejam dan semengerikan ini waktu itu?

“Kau masih saja dungu, dan aku benci itu!” Ujar bocah di hadapanku seraya menarik kepalanya mundur, lalu..

DUGGGHHHHH

“AAARRRRGGGHH!!”

Bocah itu tiba-tiba menghantamkan keningnya ke wajahku, kencangnya bukan main, sakitnya enggak bisa ditaker lagi. Aku pun termundur beberapa langkah sembari reflek memegangi wajahku. Ku tundukkan wajahku sambil terus mengerang.

Bajingan.. patah lagi kah hidungku ini? Buset dah.. baru juga mendingan setelah dihajar Om Damar tempo hari pas di tempat Budeh Sekar, yakali sekarang patah lagi, berengsek!

Anjing.. anjing.. anjing.. sakit banget cok! Hanteman kening tuh bocah sampe-sampe bikin keseluruhan isi kepalaku kek terkoyak. Bangsat!

Tak ada yang bisa kulakukan untuk meredakan rasa sakit ini, selain hanya mengatur napasku sebaik mungkin dan berharap seiring detik berlalu sakit ini bisa lebih mendingan. Berengsek!

Dan setelah beberapa saat, setelah rasa sakit yang mendera wajahku sedikit mereda, aku pun mulai membuka mataku perlahan. Kujauhkan sedikit kedua telapak tanganku yang sedari tadi menutupi areal hidung, kutatap pelan-pelan, mencoba melihat apakah darah yang keluar dari hidungku banyak atau tidak.

Tapi anehnya, aku sama sekali tidak mendapati darah di telapak tanganku. Dan kontan saja itu membuatku reflek mengepalkan tangan. Bajingan, untung enggak berdarah.

Grrrhhhh.. biar kuajarkan bocah tengik itu sopan santun, berani-beraninya dia menghantam wajahku hanya karena aku menahannya melakukan kekerasan.

‘WOY BRENG...” Aku berteriak seraya mengangkat pandanganku, namun belum sampai makianku ke akhir kalimat, aku seketika terdiam keluh, tak mampu menyelesaikan umpatanku.

What thefffffff...

Di mana ini? Dan kemana bocah tengik itu? Aku tercekat, kutelan ludahku dengan sangat berat. Bagaimana bisa? Ba.. bagaimana bisa?

Ah shit.. apa lagi sih ini? Di mana lagi ini? Kok bisa-bisanya aku yang tadi berada di areal warnet sekarang justru ada di sini? Bajingan.

Iya bajingan.. bajingan banget malahan.. karena kok bisa-bisanya sekarang aku ada di tengah-tengah kebun teh dengan landskap perbukitan seperti ini? Bangsatlah bangsat! Kalo emang ini masih ketindihan, aku bener-bener mau bangun ya tuhan!

Bayangin aja, aku yang tadi lagi di areal belakang warnet, sekarang tiba-tiba udah berdiri di tengah perkebunan teh yang hijau sejauh pandang cok! Gimana bisa? Gimana bisa anjiiiiirrrrrrr

Aku mengedarkan pandanganku, seraya mengerjap-ngerjapkan mataku, berusaha memastikan apakah ini beneran di kebun teh, atau Cuma halusinasiku aja. Karena kan bisa aja aku jadi halu gara-gara bagian dalam otakku kegeser setelah menerima hantaman kening dari bocah tengik tadi.

Tapi sialnya, berapa kali pun aku mengerjap dan mengucek mataku, pemandangan di depanku ya tetep aja hijau-hijau berpadu dengan biru langit yang sedikit tersamar oleh iring-iringan awan kelabu. Dan entah mengapa, melihat pemandangan ini lama-lama justru memberikan suasana tenang tersendiri buatku.

Woah woah woah.. berarti ini bukan halusinasi coy..

“DEDE.. JANGAN LARI-LARI GITU.. KASIAN MAMANG-MAMANGNYA KECAPEAN..”

Deggghhhh... jantungku berdegum keras tatkala aku mendengar seseorang berseru dari arah belakangku, suaranya agak jauh-jauh dekat gitu. Dan suara orang itu.. suara orang itu sangat mirip dengan suara Ibu. Aku yakin banget, dan aku enggak mungkin salah mengenali suara Ibuku sendiri.

Ibu.. itu suara Ibu!

Aku pun secepat kilat langsung memutar tubuhku, dan betapa bahagianya aku, ketika di kejauhan sana, di antara rerimbunan pohon teh yang berdiri tegak sebatas pinggul, aku melihat sesosok wanita yang hitam rambutnya terkepang satu tengah berdiri dengan seorang pria di sampingnya yang tengah merangkul bahu wanita tersebut. Posisi mereka berdiri menyampingiku, dan aku amat yakin meski hanya melihat dari kejauhan.

Itu Ibu.. itu beneran Ibu! Itu Ibu dan Ayah!

Jagat dewa batara.. itu beneran Ibu dan Ayah!

Bahagia! Aku sangat bahagia bisa melihat mereka di sini. Dan mereka baik-baik saja, mereka baik-baik saja!

Tidak seperti yang kubayangkan bahwa Ibu dan Ayah menjadi korban longsor di jalan perbukitan Lemah Kidul, ternyata mereka baik-baik saja, mereka baik-baik saja!

Saking bahagianya, aku bahkan meneteskan air mata, aku rindu mereka.. aku rindu mereka!

Dan rasa rindu bercampur haru bahagia yang saat ini aku rasakan kontan saja membuat kedua kakiku mulai terayun, awalnya pelan, namun lama-lama aku semakin mengencangkan langkahku. Setengah berlari aku pun menyusuri jalan setepak di perkebunan teh ini, berlari menuruni tapak demi tapak.

“IBU! AYAH!” Seruku bahagia di tengah langkah cepatku, namun mungkin posisiku yang masih agak jauh, dan semilir angin membuat suaraku tak bisa didengar oleh mereka.

Sebab mereka tetap memandang ke arah lain, belum menoleh kepadaku sama sekali.

Sambil berlari, aku terus memandang ke arah mereka, dan mendapati mereka yang terus memandang ke arah depan sana, sembari melambai-lambaikan tangan, membuatku ikut mencuri pandang ke arah yang sama. Dan ternyata, Ibu dan Ayah tengah memandangi segerombolan orang berpakaian rapih kemeja hitam yang tengah berlarian mengejar seorang anak kecil. Enggak kecil-kecil banget sih, mungkin umuran SD mau lulus lah.

Tapi persetanlah.. aku enggak peduli dengan apa yang sedang dilihat oleh Ibu dan Ayahku, aku Cuma pingin cepet sampe ke bawah dan memeluk mereka erat-erat. Aku ingin mengabarkan kelegaanku karena ternyata mereka baik-baik saja, tak seperti yang aku khawatirkan sebelumnya jika mereka menjadi salah satu korban dari tragedi longsor di daerah Lemah Kidul itu.

Aku berlari, terus berlari menuruni bukit, sampai di langkahku yang ke sekian, ketika jarakku sudah tidak terlalu jauh, ketika aku hanya tinggal berbelok di jalan setapak landai terakhir di mana Ayah dan Ibuku berdiri, aku mendapati sebuah pemandangan yang membuat langkahku seketika meragu dan terseok, melambat seketika.

Karena di posisiku sekarang ini, aku bisa melihat keseluruhan tubuh Ibu dan Ayah, di mana sebelumnya aku hanya bisa melihat bagian atas tubuh mereka sebab terhalang deret pepohonan teh yang menjulang. Dan yang membuat langkahku terseok lalu melambat adalah, ketika aku mendapati bahwa perut Ibuku membuncit selayaknya orang yang tengah hamil.

Apa ini? A.. apa maksudnya ini?

“DEDE.. UDAHAN IH.. KASIAN TUH MAMANG-MAMANGNYA PADA KECAPEAN..” Seru Ibuku lagi seraya melambaikan tangannya ke arah depan sana. Melihat itu aku pun berhenti total dari langkahan kakiku, menatap kembali ke arah gerombolan orang-orang berkemeja hitam yang tengah berlarian mengejar anak kecil tadi.

Dan ketika kuperhatikan baik-baik wajah anak kecil yang dikerubungi orang-orang berkemeja hitam itu, aku justru semakin tercekat bukan main. Sebab wajah anak kecil itu.. wajahnya mirip sekali dengan wajah bocah tengik yang tadi kutemui di areal warnet sebelum aku terlempar ke sini, hanya wajah anak kecil yang ini lebih muda beberapa tahun. Alias bin alias.. wajah anak kecil itu juga mirip ama wajahku cok!

Apa ini? Apa lagi ini?

“Udahan dulu ya latihannya, aku mau ke Ayah sama Ibu dulu..” Seru anak kecil berwajah mirip denganku itu sembari berlari menuju ke arah Ibu dan Ayah.

“Dari tadi kita kan minta udahan Den.. hah!” Sahut salah satu pria berkemeja hitam yang berada paling dekat dengan anak kecil itu, pria itu (dan pria-pria berkemeja hitam lainnya) terlihat sedikit terengah, mungkin kelelahan akibat berlarian sebelumnya.

Dan pria yang barusan berbicara setengah protes itu langsung terduduk seraya meluruskan kaki, mengurut-ngurut lututnya sendiri, sedang pria-pria berkemeja hitam yang lain, yang menyebar di sekitar anak kecil tadi hanya tertawa kecil sembari menggeleng-gelengkan kepala. Kompak berjalan searah dengan langkah kaki anak kecil yang kini tengah berjalan riang setengah berlari menuju Ayah dan Ibuku.

Aku terpegun, apa ini halusinasi lagi? Karena yang jelas.. tidak seperti sebelumnya ketika berhadapan dengan bocah tengik yang menghantam wajahku tadi, kali ini aku merasa benar-benar asing dengan tempat ini.

Sebelumnya sih, walau pun aku enggak tahu siapa bocah tadi dan kenapa banyak orang tergeletak, tapi aku langsung mengenali background tempat kejadiannya, yaitu di belakang warnet tempat biasa aku membolos. Tapi kali ini beda, aku bener-bener enggak tahu ini di mana, dan aku bener-bener asing dengan tempat ini.

Apa mungkin dulu aku memang pernah ke sini? Karena dilihat dari umur anak kecil itu, dan setelah aku tarik benang merah antara umurnya dengan lokasi ini. Aku jadi teringat bahwa mendiang Nenekku kan bilang kalau aku kehilangan ingatan ketika tengah berlibur untuk merayakan kelulusan SD, dan lokasi kecelakaan yang membuat ingatanku lenyap itu ada di perkebunan teh.

Apa mungkin ini lokasi aku kecelekaan itu? Lokasi aku jatuh terguling-guling hingga harus mendapatkan operasi di kepala yang berefek pada lenyapnya semua kenangan masa kecilku?

Tapi, kalau pun ini memang tempat yang dimaksud Nenek, dan jika memang ini adalah bagian dari halusinasiku yang menampilkan ingatan masa lalu, tetap saja aku tidak bisa menerima mentah-mentah semua yang aku dapati saat ini.

Kalau pun ini kenangan di kepalaku, dan anak kecil itu adalah aku di masa itu, lalu bagaimana cara menjelaskan bahwa.. ternyata saat itu Ibuku tengah mengandung? Yang otomatis itu adalah adikku. Tetapi kalau benar ini adalah ingatanku yang hilang, lalu tertampil sebab gelombang halusinasi aneh alam mimpi panjangku ini, mengapa tidak pernah ada yang memberitahuku bahwa aku mempunyai adik? Dan aku emang enggak punya adik! Aku anak tunggal!

Jadi bagaimana menjelaskan ini? Atau memang ini pure hanya halusinasi saja? Projeksi alam bawah sadar liar yang tak ada kaitannya dengan ingatanku sama sekali?

Dan di tengah kemelut isi kepalaku saat ini, di tengah keterpakuanku yang tengah terpegun menatap anak laki-laki yang saat ini tengah berlari menuju Ayah dan Ibuku itu. Aku merasakan sesuatu yang aneh dan tidak beres lagi, maksudku.. aku merasa.. aku merasa tiba-tiba hawa tempat ini sedikit pengap dan gerah. Seperti tiba-tiba angin meniada hilang.

Sampai di detik berikutnya, bola mataku tiba-tiba bergerak dengan sendirinya menatap areal yang berada di belakang Ayah dan Ibuku. Dan memusat pandanganku di sana, aku juga enggak tau kenapa, tapi yang jelas mataku kaya ketarik buat natap ke arah itu aja.

Hingga tiba-tiba, di areal yang tengah aku pandangi saat ini, tepat beberapa belas meter di belakang Ayah dan Ibuku. Ada sebuah lesatan aneh yang kurasakan hadir, dan bersamaan dengan itu, tepat beberapa meter di atas pucuk tanaman teh, muncul sebuah percikan-percikan yang mirip kaya percikan kembang api.

Aku seketika mengernyitkan dahi, mencoba menafsirkan apa yang tengah aku lihat saat ini. Namun tidak sampai dua detik otakku berfikir, percikan api itu dengan cepat berangsur membesar dan membentuk lingkaran api yang berputar bak cincin di langit. Tadinya hanya sebesar bola sepak, namun dengan cepatnya cincin api itu membesar hingga dua sampai tiga meter besarnya.

Detik itu juga aku langsung mengenali lingkaran berbentuk cincin api berputar dengan bagian tengah yang menghintam itu, itu cincin api yang sama yang aku lihat ketika aku terduduk dengan bilah katana milik si perempuan siluman mimpi bernama Jenar-Jenar itu menembus dadaku. Iya, enggak salah lagi, itu cincin api yang sama persis dengan cincin api yang muncul di akhir kesadaranku ketika selesai bertarung (dan ya.. aku kalah) dengan Si Jenar-jenar tadi.

Tapi kenapa cincin itu juga bisa muncul di sini? Apa jangan-jangan..

“SEMUANYA BERLINDUNG!!!!!!”

Di tengah keterpekuranku tiba-tiba Ayah berteriak dengan lantangnya seraya memutar badan dan berdiri di depan membelakangi Ibuku, tepatnya menempelkan punggungnya di punggung Ibu. Seruan itu langsung disambut dengan gerakan cepat dan gesit dari seluruh pria berkemeja hitam, pria-pria itu segera melompat (atau tepatnya melayang cepat dalam satu sentakan kaki) ke arah yang sama, ke arah anak kecil yang berwajah mirip denganku.

Bahkan satu di antara mereka yang tadi menggerutu dengan duduk berselonjor kaki sudah tiba lebih dulu, dan langsung menubruk anak kecil itu seraya membawa anak kecil itu untuk tertelungkup selagi pria-pria berkemeja hitam yang lain mulai tiba dan langsung berjongkok membuat lingkaran yang mengerubungi anak laki-laki itu.

Seketika suasana seperti berubah haluan, hawa tenang tenteram nan sejuk langsung berubah menjadi ladang kepanikan yang maha pengap. Aku pun segera menyentak kakiku berusaha berlari mendekat pada Ayah dan Ibu, namun yang terjadi berikutnya sungguh membuatku kehilangan pandangan. Karena ketika baru dua langkah aku berlari, pandanganku langsung mengabur sebab tiba-tiba kabut tebal muncul begitu saja, tebal sekali sampai benar-benar menutup pandanganku. Namun aku terus berlari, tak peduli kabut tebal ini membuatku kehilangan arah pandangan pasti.

Dan di tengah langkah berlariku yang begitu buta arah itu, aku mendengar suara gemerasakan hebat yang begitu keras, yang saking kerasnya sampai menimbulkan getaran tersendiri di pijakan kakiku. Seperti ada sesuatu yang muncul dari tanah. Tapi aku tidak perduli lagi dengan segala keanehan ini, aku terus berlari, karena entah kenapa, aku merasa sangat amat khawatir dengan Ibu dan Ayah yang tersamar di balik kabut tebal ini.

Terlepas dari kemungkinan bahwa mereka hanyalah projeksi dari halusinasi alam mimpiku, aku sama sekali tidak perduli, aku tidak bisa menepikan kekhawatiranku. Hingga di tengah derap langkah resahku yang kian menjadi, tiba-tiba...

DDDUUUAAAARRRRRRR

Pijakan kakiku seketika terangkat dari tanah ketika sebuah ledakan yang amat keras menerpa tubuhku, daya ledaknya amat kuat terhempas beberapa meter jauhnya dan jatuh berguling-guling di atas rapatnya pohon teh perkebunan ini. Pandanganku yang tadinya memutih seketika menggelap sebab rasa sakit di sekujur tubuhku membawa kelopak mataku untuk reflek terkatup. Dan selain daya ledaknya yang kuat, bunyi ledakan itu pun amat keras sampai rasanya gendang telingaku sakit bukan main, tidak ada yang bisa kudengar selain dengingan kencang yang seakan memekakkan keseluruhan isi kepalaku saat ini.

Rasanya cukup lama aku tersiksa rasa sakit yang begitu sangat, baik rasa sakit akibat terhempas dan tergores batang-batang pohon teh, maupun rasa sakit akibat denging di telingaku yang begitu panjang tak berkesudahan. Arrggghhh.. bangsat..

Lalu, jika aku sampai merasakan kesakitan yang begitu amat dari ledakan tadi, ba.. bagaimana dengan Ibu dan Ayah? Serta anak kecil berwajah mirip denganku? Juga orang-orang berkemeja hitam yang tadi melindunginya? Apakah mereka baik-baik saja sekarang?

“Ibu.. Ayah.. Uhuk..” Aku bergumam sembari berusaha berdiri, kutekan-tekan kepalaku untuk mengurangi rasa sakit, kueratkan gigiku.

Dengan limbungnya aku pun berusaha menguatkan pijakan, kubuka mataku perlahan, dan langsung mendapati ruang penghirupanku seperti begitu sesak, seperti aku tengah menghirup asap yang amat tebal.

Kabut.. kabut yang tadi begitu pekat sampai membutakan pandanganku saat ini sudah mulai menipis, membuatku kembali bisa mendapatkan setitik dua titik pandangan. Kugelengkan kepalaku beberapa kali, dan kurasakan denging di telingaku mulai berangsur memudar.

Kemudian kunaikkan bagian leher kaosku untuk menutupi hidungku, karena entah mengapa, rasanya aku benar-benar tengah menghirup asap pekat. Dan meski semuanya masih amat samar, aku berusaha mengayunkan langkahku sekuat tenaga, kuangkat tinggi-tinggi kedua kakiku bergantian guna melangkahi pepohonan teh, berusaha mencari jalan setapak untuk bisa menuju kedua orang tuaku.

Selangkah demi selangkah, sehela demi sehala napas, pendengaranku kini mulai berangsur pulih, denging di kepalaku mulai mereda, dan kini berganti dengan suara-suara yang justru membuatku semakin bingung dengan keadaan saat ini.

Sebab, sayup-sayup aku seperti mendengar bebunyian yang amat riuh, seperti bunyi-bunyi ramai yang heboh dengan selingan teriakan-teriakan mengudara.

SSRRRAAAKKKK..
WWUUURRRHH..

CTTARRRRRR..
TRANGG.. TRANGGG..

WUURHRHHHH..
SRRRAAAAKKKK..
CESSSSSTTTTTTT..

BAGH.. BUGHH.. BAGH.. BUGGHH..

Sial.. bunyi-bunyi apa ini? Mengapa terdengar riuh sekali tindih menindih? Seperti.. seperti ada yang lagi tawuran asli.

Ayah.. Ibu... bagaimana keadaan mereka?

Assshhiiittt.. entahlah apa yang saat ini terjadi, entah tawuran antar genk mana yang saat ini kudapati, namun yang jelas aku sangat mengkhawatirkan kondisi Ayah dan Ibuku saat ini. Hal itu pun membuatku bergegas menapaki langkahku, kutegaskan tiap helaan napasku, kuturuni tanah-tanah yang kupijak sebagai navigasi di tengah kesamaran pandangku.

Hingga beberapa saat setelahnya, ketika langkahku sudah mulai berirama konstan menuju ke tujuan, tiba-tiba..

SSRRUUURRRRRKKK... DEBUUGGHHH..

Aku merasakan ada sesuatu yang terjatuh dengan keras beberapa meter di depanku, membuatku menelan ludah dan dikuasai kekhawatiran yang kian meninggi. Aku pun melangkah mendekati sumber suara gedebuk tadi, dan setelah kususuri dengan baik, aku mendapati seorang pria berkemeja hitam tertelungkup tak bergerak tepat di hadapanku.

Napasku tercekat, kuturunkan tubuhku untuk memastikan keadaannya. Dengan hati-hati kubalikkan tubuh pria itu, dan begitu kutelentangkan.. aku seketika termundur dan jatuh terjengkang ke belakang. Derup jantungku seketika terpompa dengan amat cepat, ketika mendapati di bagian dada orang itu terdapat luka menganga yang amat lebar, membentang miring dari dada sebelah kiri bagian bawah (dekat perut), sampai ke dada bagian kanan atas dekat bahunya,

Darah.. tubuh orang itu sudah bermandikan darah segar!

Tulang-tulang dan organ tubuhnya bahkan terlihat jalas hendak tercerai berai!

Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Ibu.. Ayah..

Aku tergagap dan langsung bangkit seraya berlari kencang ke depan melompati tubuh orang tersebut, sebab bagaimanapun caranya, aku butuh untuk memastikan keadaan Ibu dan Ayah saat ini. Aku pun terus berlari.. terus berlari dengan kekhawatiran yang membumbung hingga ke ulu hati. Sesekali aku harus terjatuh, tersungkur dan terguling, namun aku lekas bangkit dan terus berlari bermodalkan suara-suara gaduh pertarungan yang semakin jelas kudengar.

Hingga tiba-tiba, kabut yang menyelimuti tempat ini berangsur-angsur menipis, sudah tidak terdengar lagi suara-suara riuh tadi. Semua tiba-tiba menghening, hanya derap langkahku sendiri yang kini mengisi ruang-ruang kepalaku.

“TIDAK KUDUGA.. TERNYATA MUDAH SEKALI MEMBUMIHANGUSKAN KALIAN HA HA HA..”

Bergema.. ada suara yang menggema dari arah yang sama di mana Ayah dan Ibu berada. Dan aku jelas mengenali, bahwa itu bukanlah suara Ayahku. Lalu, entah kenapa hatiku menggusar, resah seketika menjerat urat-urat pernapasanku.

Hingga samar-samar, di antara kabut yang semakin detik semakin menipis, aku mendapati sebuah pemandangan carut marut yang amat berantakan. Tidak ada lagi deretan pohon teh yang nan hijau dan rapih, berganti dengan nyala-nyala api kecil yang membakar beberapa titik perkebunan ini, asap-asap pekat mengepul.

Tanpa terasa, situasi ini membuat langkahku melambat tak karuan, terlebih ketika pandangan mataku semakin jelas, aku justru mendapati sebuah pemandangan yang tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya.

Ayahku.. Ayahku tengah berdiri dengan limbungnya, pakaiannya sudah berantakan, bahkan bisa dibilang sudah compang-camping. Wajahnya dipenuhi peluh keringat bercampur cairan kental berwarna merah ke hitaman. Sedang di belakang Ayahku, aku mendepati Ibuku sudah terbaring lemah dengan tangan memegangi perut, dan kondisinya tak jauh berbeda dengan Ayahku, berpeluh dengan darah melengkapi.

Aku seperti kehilangan separuh napasku saat itu juga, dan segera berlari dengan cepatnya menghampiri Ayah dan Ibuku. Dan ketika sudah berada tepat di samping tubuh Ibu yang tergolek lemah, aku pun segera jatuh tersimpuh. Kupandang sejenak tubuh Ibuku, satu tangannya memegangi perutnya sendiri, seperti menahan rasa sakit yang amat sangat di sana, sedang satu tangannya yang lain terlurus dengan posisi telapak tangan yang terbuka lebar. Dan anehnya, dari telapak tangan Ibu yang terbuka itu, tepatnya dari jemarinya, ada sesuatu yang keluar terus menerus.

Seperti asap, namun berwarna putih, benar-benar mengalir lemah dari ujung jemari Ibuku. Tapi aku tak punya waktu untuk mencari jawabannya, yang terpenting saat ini adalah Ibuku.

“Bu.. Ibu..” Ujarku lirih bergetar, dengan kedua tangan hendak meraih kepala Ibuku, agar bisa kutempatkan di atas pangkuanku.

Namun yang terjadi berikutnya sungguh membuatku bergetar dengan hebat. Tanganku.. kedua tanganku tidak bisa melakukan itu. Bukan karena aku urung melakukannya, tetapi karena.. karena.. karena entah kenapa tanganku yang tadinya hendak meraih kepala Ibuku, justru menembus begitu saja, seperti.. seperti tanganku ini bukanlah benda padat.

Apa ini? Kenapa bisa begini? Kenapa tanganku seperti adegan di film-film azab saat seorang arwah mencoba memegang tubuhnya sendiri, ngelos gitu aja..

Aku berusaha lagi, mencoba lagi untuk meraih kepala Ibuku, namun berapa kali pun aku mencoba, tanganku tetap tidak mampu meraih Ibuku. Menembus begitu saja, dan itu amat membuatku frustasi bukan main. Terlebih, aku melihat ada darah yang keluar dari mulut dan hidung Ibuku, serta ada darah yang merembes di betis Ibuku. Aku ingin menolong Ibuku, aku ingin menolong Ibuku!

“BANGSAT! BANGSAT! BANGSAT!” Aku memaki dengan amarah memuncak, melampiaskan segala rasa akan ketidakberdayaanku saat ini. Kupukul-pukul tanah di bawahku, yang anehnya justru bisa menerima pukulanku, tidak tertembus. Dari itu aku pun mencoba lagi untuk menggapai tubuh Ibu, tapi tetap saja, tanganku kembali menyerupai kehampaan, menembus begitu saja.

“AAARRRGGGHHHHHH!!!!!!” Aku berteriak sejadi-jadinya sembari menatap langit yang mendung di atas sana, aku benci seperti ini, aku benci melihat Ibuku terbaring lemah seperti ini namun aku tidak bisa melakukan apa-apa untuknya.

“SAKA RAKSA ALIENDRA.. MENYERAHLAH.. MAKA AKAN KUBUAT KALIAN MELALUI KEMATIAN DENGAN CEPAT.. TIDAK AKAN SEMENYAKITKAN ABDI-ABDI RENDAHAN KALIAN INI..” Sebuah suara menggema di sepenjuru pendengaranku. Dan itu membuatku lekas menoleh ke arah Ayah, dari arah belakang, aku bisa melihat punggung Ayah yang naik turun dengan cepat, terengah hebat.

Alisku tertaut setelah mendengar suara itu, dan langsung ku arahkan pandanganku ke arah di mana Ayah tengah memandang. Dan di sana, beberapa meter jauhnya di depan sana, ada tiga orang yang tengah berdiri dengan senyum dengki di wajah.

Satu orang yang berada di paling kanan adalah seorang lelaki tua yang menatap bengis, dengan jenggot dan kumis yang cukup panjang. Ia memegang sebuah cambuk yang bangsatnya dilumuri api menyala, membuatku langsung teringat akan pertarunganku saat menghadapi Jenar-jenar tadi.

Lalu satu lagi yang berdiri di paling kiri usianya sedikit lebih muda, tatapannya juga tak kalah bengis dengan senyum menyeringai. Di kedua tangannya ada benda bulat pipih seperti cakram yang juga dilumuri lidah api-api.

Sedang satu orang yang berdiri tengah adalah seorang lelaki yang usianya sepertinya lebih tua dari lelaki berjenggot di sampingnya. Orang yang di tengah itu bertumbuh gempal, dan dari gelagatnya, aku bisa menarik kesimpulan bahwa lelaki tua bertubuh gempal itu adalah pimpinan dari dua orang yang berada di kanan dan kirinya.

Namun ada satu lagi hal yang membuatku langsung menautkan alis plus menahan napasku, lelaki gempal yang berdiri di tengah itu mengangkat satu tangannya, dan di tangannya yang terangkat itu. Aku mendapati tubuh anak kecil yang kakinya terangkat tinggi dari tanah, berkejat-kejat dengan kedua tangan mungil dari anak itu berusaha melepaskan diri.

Awalnya aku kira anak itu dicekik, tapi setelah kuperhatikan baik-baik, lelaki bertubuh gempal itu bukan mencekik anak kecil di telapak tangannya itu. Melainkan mencengkeram wajah anak kecil itu, kaya merauk muka gitu.

Bangsat.. apa mungkin anak yang wajahnya tengah dicengkeram itu adalah anak kecil yang wajahnya mirip denganku tadi?

“Lepaskan anakku jancuk!!” Ayah berseru sembari dengan geram, aku terhenyak dan kaget bukan main, seumur-umur rasanya aku enggak pernah ngeliat Ayah seemosi dan seseram ini, bahkan sampai mengumpat menggunakan bahasa daerah asalnya.

Dan umpatan yang keluar dari mulut Ayah benar-benar membuatku menelan ludah, ada perasaan ngeri tersendiri ketika kulihat pelan-pelan berusaha sekuat tenaga untuk menarik kaki kirinya ke belakang, berusaha merendahkan sedikit tubuhnya. Dan mulai mengangkat kedua tangannya ke depan.

Kuda-kuda.. Ayah memasang kuda-kuda! Namun terlihat jelas, kuda-kuda yang Ayah pasang sangatlah rapuh, getar di kedua kakinya tak bisa ia sembunyikan.

“Selesaikan mereka berdua dengan cepat, sebelum bala bantuan Purantara tiba. Aku akan coba menjinakkan bocah terkutuk ini dulu.” Ujar sang pimpinan kepada dua anak buahnya, dan meski kalimat-kalimat dari orang tersebut sungguh tak bisa aku cerna (menjinakkan bocah terkutuk? Apa coba maksudnya?), namun aku lebih memilih berdiri dari duduk bersimpuhku.

Jikalau memang aku tidak bisa merengkuh tubuh Ibu, barangkali aku bisa membantu Ayah melindungi Ibu. Karena dari kalimat dan gelagat ketiga orang di depan sana, aku amat yakin mereka sungguh-sungguh hendak menghabisi Ayah dan Ibu. Aku pun berdiri tepat di samping Ayah, kukepalkan tanganku keras-keras, ketika kulihat dua orang di depan sudah mulai melangkahkan kaki.

Satu pria tua kurus berjenggot dengan cambuk api yang dikibas-kibaskan sembarang, satu lagi pria paruh baya dengan cakram menyala yang seolah-olah siap ia lemparkan kapan saja. Aku menoleh sejenak memandang wajah Ayah, terlihat betul kemarahan menguar di wajah Ayahku saat ini. Tatapan mata Ayah begitu tajam, rahangnya terlihat menegang, kepalan tangannya berkali-kali dibuka tutup.

Aku sejenak meragu, apakah aku bisa membantu Ayah mengingat aku sendiri saja tidak bisa merengkuh tubuh Ibuku. Dan yang paling membuatku gusar adalah.. dengan apa Ayah akan mengatasi dua orang gila dengan senjata api menyala di depan sana.

CTAAARRRRRRRRR

“MATI KOWE CUK!”

Sebuah teriakan yang diiringi dengan bunyi pecutan menggema sampai membuatku terkaget, dan ketika kupandang ke depan, dua orang tadi sudah berlari sembari mengacungkan senjatanya masing-masing. Yang memegang pecut kulihat merentangkan pecutnya ke samping, menyala-nyala dan siap dikibaskan ke arah kami berada. Sedang yang satunya melompat tinggi sekali sambil seolah siap melemparkan cakram apinya.

Aku menahan napas, kukeraskan pijakanku, berusaha berpikir tentang apa yang akan aku lakukan setelah ini.

Dan benar saja, orang yang memegang cakram api itu melemparkan satu cakramnya ke arah kami, membuat cakram itu melesat dengan cepatnya, menyala-nyala. Aku menahan napasku, bersiap menghalau dengan... hhhmmm.. mungkin tenadangan? Entahlah..

Namun tiba-tiba..

SRRAAARRRKKKK... SSRRAAAAKKKK... SSRRRAAAAKKKK...

Aku terperanjat ketika tiba-tiba dari dalam tanah bermunculan sulur akar-akar pohon dengan diameter yang cukup besar, mungkin sebesar paha orang dewasa. Dan akar-akar itu jumlahnya banyak sekali, muncul menembus tanah dan langsung bergerak-gerak liar, menampar-nampar dengan keras. Seolah berusaha menghalau luncuran cakram api yang melesat ke arah kami.

Dan apa yang ada di hadapanku ini tentunya merupakan sebuah pemandangan yang aneh bin ajaib, meski aku sudah mengalami banyak keanehan sebelum-sebelumnya, tetap saja.. itu tidak mampu membuat jantungku untuk terbiasa.

Lebih-lebih lagi, ketika aku melihat kembali ke Ayahku, kulihat Ayah tengah menurunkan tubuhnya, menempatkan kedua telapak tangannya di atas tanah, berpose layaknya orang yang siap mengikuti lomba lari.

A.. Apa yang sedang Ayah lakukan?

***​
 
Terakhir diubah:
***
A.. Apa yang sedang Ayah lakukan?

“KAU PIKIR RUMPUT-RUMPUT LEMAH INI CUKUP UNTUK MELINDUNGIMU? HYAAAA!!” Terdengar seruan dari balik sulur-sulur akar yang ada di hadapanku, dan tak lama setelah itu, ketika aku sedikit mengangkat pandanganku, aku melihat si lelaki tua pembawa pecut sudah melayang di udara.

Kemudian ia pun mengangkat pecut berapinya itu tinggi-tinggi, bersiap untuk mengayunkan senjatanya itu ke arah kami. Namun dengan cepat juga, kulihat beberapa sulur akar di hadapanku mengejar orang itu, seolah bersiap melilit sang pemilik pecut tersebut.

“MAMPUS KOWE CUK!!” Sebuah teriakan lain kini justru terdengar dari arah depan kami, dari balik amukan sulur-sulur akar di hadapanku, sepertinya itu suara orang yang satu lagi.

Dan tepat setelah orang tersebut berteriak ‘Mampus kowe cuk”, saat itu juga dari arah depan terdengar bunyi luncuran benda yang menerobos. Lalu, sedetik berikutnya.. dua cakram api muncul dan melesat dengan cepatnya, lolos dari hadangan akar-akar di hadapan kami.

Cepatnya laju dua cakram itu tentu mengagetkanku, Ayah juga pastinya kaget, dan seolah terdistrak akan dua serangan yang mengarah padanya. Ayah pun melompat mundur lalu menyilangkan kedua lengannya di depan dada, membentuk huruf X.

Bersamaan dengan itu sulur-sulur akar yang diameternya jauh lebih kecil pun muncul dari dalam tanah, langsung melilit betis Ayah, sedang sebagian lainnya langsung melilit lengan Ayah. Dan dengan cepatnya, Ayah pun melompat ke arah datangnya cakram yang sudah di depan mata. Dengan kedua tangan yang sudah direntangkan, tubuh Ayah berputar di atas tanah sembari melayangkan tendangan ke arah salah satu cakram yang datang.

Kerasnya tendangan Ayah langsung membuat cakram api tersebut terpental ke samping, bukan itu saja, sulur yang melilit kaki kanan Ayah pun hancur dan luruh karena diadu dengan cakram tadi. Kemudian dengan posisi yang masih belum menjejak tanah. Meninju satu cakram lainnya dengan keras, membuat cakram yang tersisa itu terpental tinggi ke udara. Setelah melakukan tinjuan itu, aku bisa melihat dengan jelas bahwa sulur akar yang melilit di tangan yang barusan Ayah gunakan meninju pun ikut terkoyak.

Ayah pun termundur sejenak, kedua kakinya baru saja menjejak tanah ketiba tiba-tiba..

CTAAARRRRR!!!

Ujung cambuk yang berlumuran api menghantam tubuh Ayah, Ayah sempat membuat block silang dengan kedua tangannya (dengan satu tangannya yang sudah tidak terlilit sulur akar), namun itu tidak cukup. Tubuh Ayah terpental ke belakang, meluncur melewati tubuh Ibu dan baru berhenti setelah menghantam sebuah pohon.

Bersamaan dengan itu, secara serempak.. sulur-sulur akar yang sedari tadi mengamuk secara liar pun tiba-tiba berhenti bergerak dan berjatuhan ke tanah, satu persatu, seolah kehilangan tenaga, layu begitu saja.

Aku pun berlari menuju tubuh Ayah yang tersungkur di atas tanah, reflek langsung mencoba membantunya bangkit, namun benar-benar berengsek.. ketika hal yang sama dengan hal yang tadi ketika aku mencoba membantu Ibu pun terjadi ketika aku berusaha membantu Ayah bangkit.

Tanganku menembus bahu Ayah begitu saja, brengsek!

“Sudah aku boleh kowe nyerah aja asu.. buang-buang tenaga aja tau ndak ngeluarin rumput-rumput kaya gitu..” Seloroh orang yang memegang cambuk seraya turun dari udara, dan mendarat tepat di samping tubuh Ibu.

Berengsek.. Ibu!

Aku yang merasa putus asa dalam membantu Ayah, segera berlari kembali menuju tubuh Ibuku, dan tanpa pikir panjang.. aku langsung melonjakan tubuhku, ku angkat sebelah kakiku, berniat menyasar dada lelaki tua pemegang cambuk itu. Namun bangsatnya, tubuhku justru melewati tubuh lelaki itu begitu saja, tak bisa juga menyentuhnya.

Namun aku tak henti mencoba, aku langsung berbalik dan menyarangkan pukulan demi pukulan ke punggung orang tersebut, namun semuanya menembus begitu saja. Tak ada yang berefek sama sekali.

“BANGSAAAATTT!!!!” Aku berteriak dengan emosi dan keputusasaan. Aku benar-benar tidak bisa membantu Ibu dan Ayah.

Bajingan..

Aku pun jatuh terseok, lalu merangkak menuju tubuh Ibuku.

Sedang dari ekor mataku, aku melihat Si pemegang cakram tengah berjalan menuju ke sini juga, ia tersenyum dengan sinis sembari merentangkan kedua tangannya, dan saat itu juga, dua cakram yang tadi di halau Ayah terbang ke arahnya. Seolah kembali kepada sang pemilik, ketika cakram itu meluncur ke pemiliknya.. kedua cakram itu dalam keadaan padam tak berapi, namun sedetik setelah kedua cakram itu berada dalam genggaman orang tersebut, api kembali menyala menyelimuti.

Berengsek.. siapa dan apa sebenarnya mereka itu? Manusia apa bukan sih? Bangsat..

“Bu.. Bangun Bu.. Ibu..” Aku mencoba memanggil Ibuku berulang kali, namun benar-benar nihil, aku benar-benar merasa bahwa aku di sini namun tidak ada yang tahu akan keberadaanku ini! Berengsek!

“Dek.. uhuk.. Dek..” Lamat-lamat aku mendengar suara Ayah yang lemah, dan kulihat Ayah sedang berusaha bangkit, namun hanya mampu sebatas rangkakkan saja. Kemudian dengan tak kenal menyerah, Ayah merangkak perlahan menuju tubuh Ibu yang saat ini tengah berada di dekatku.

“Ayah..” Aku menggumam dengan lirih bersamaan air mataku yang mulai berjatuhan di pipi, melihat kondisi Ayah dan Ibu yang saat ini tengah kesusahan, benar-benar membuat hatiku teriris-iris bukan main.

“Hahaha.. Seekor anjing itu memang seharusnya kaya gitu, sini.. guk guk guk..” Ujar si pemegang cakram yang saat ini sudah berdiri di dekatku, ia mengejek Ayahku dengan tatapan amat merendahkan.

“Dek.. uhuk..” Ayah seolah tak menggubris segala ucapan kedua orang bangsat ini, ia terus merangkak, yang bahkan kadang-kadang ia harus menyeret tubuhnya sendiri.

“Aku akan nyelesain bojomu dulu, baru nanti nyelesain kamu.” Ujar si pemegang cambuk dengan tatapan bengis ke Ayahku, lalu ia berjalan menuju kepala Ibuku sembari tersenyum-tersenyum sendiri. Aku berusaha menahan kaki orang itu, namun benar-benar tak berguna, aku bahkan tak bisa menyentuh tubuhnya sama sekali.

“Tenang.. aku akan nyelesain ini secepat mungkin..” Ujar orang yang memegang cambuk itu seraya mengangkat satu kakinya tinggi-tinggi, membuat telapak kakinya kini berada di atas kepala Ibuku yang berbaring lirih.

“Jangan..”
“Jangan..”

Seruku dan Ayah bersamaan, aku langsung berusaha mendorong-dorong kaki orang tersebut, namun benar-benar tak berguna, aku tidak bisa menyentuhnya. Sedang kulihat Ayah juga berada dalam kepanikan, ia terlihat mempercepat rangkakkannya, menyeret tubuhnya lebih keras.

Namun seperti tak menganggap keberadaan Ayah, orang itu justru terus menatap wajah Ibuku dalam-dalam, seraya detik berikutnya kaki orang itu yang sudah siap menginjak kepala Ibu tiba-tiba mengeluarkan lidah-lidah api di sekitar telapak kakinya. Dan melihat ekspresinya, jelas sekali api itu tidaklah berbahaya baginya, sebab ia justru tersenyum, seolah ia lah yang memang menghendaki kehadiran api yang menyelimuti telapak kakinya saat ini.

“Den Ayu Rengganis.. akan kukirim kamu ke tempat di mana Ayahmu berada!” Seru orang itu dengan mata mendelik penuh amarah, ia pun segera menjejakkan kakinya ke bawah, menuju kepala Ibuku yang sudah pasarah tak beradaya.

Tanpa pikir panjang lagi, aku pun segera menjatuhkan tubuhku, berusaha memeluk dan merengkuh kepala Ibuku, berusaha menjadikan diriku sendiri tameng untuk Ibu. Meski aku sendiri tak tahu betul, akankah aku bisa menjadi tameng bagi Ibuku di tengah segala ketidak berdayaanku saat ini.

Dalam tangisan, aku hanya bisa berusaha dan berusaha untuk melindungi Ibu, dalam pejam mataku yang erat, aku berdoa pada Jagat Dewa Batara, agar bisa melindungi Ibu.

Hingga tiba-tiba, aku merasakan hembusan angin dingin menerpa tengkuk leherku, membawa kesejukan yang bukan main menenangkan sekali. Aku buka mataku perlahan-lahan, dan aku dapati wajah Ibuku yang masih dalam posisi berbaringnya. Aku pun mengangkat pandanganku perlahan, dan kudapati Ayahku sudah berada di hadapanku, sudah merangkak semampunya, dan langsung memeluk kepala Ibuku yang setengah sadar itu, diciumi oleh Ayah wajah Ibu. Dengan tangis di wajah Ayah yang sudah bercampur peluh keringat serta darah.

Tapi tunggu, harusnya kan..

Aku pun segera menoleh ke belakang, mencoba mencari jawaban mengapa injakan berapi yang tadi sudah siap menerjang kepala Ibuku diurungkan.

Dan betapa terperangahnya aku, ketika mendapati ternyata kedua orang biadab yang tadi hendak menghabisi Ayah dan Ibuku sudah berada jauh dari sekitarku. Satu orang yang memagang cakram api terduduk dengan terbatuk-batuk darah di sebelah kanan posisiku, jaraknya agak jauh, sekitar 20 meter lebih mungkin dari posisiku saat ini. Sedang satu orang lagi yang memegang cambuk berada di sebalah kiri posisiku saat ini, jaraknya mungkin lebih dari 40 meter, keadaan orang itu tengah berusaha berdiri sembari meludahkan darah dari bibirnya.

Apa yang terjadi? Siapa yang menyelamatkan kami? Apa mungkin Ayah? Tapi rasanya tidak mungkin, karena kondisi Ayah juga sudah lemah dan terluka. Lalu siapa?

“Bocah laknat! Jangan ikut campur!” Sebuah makian keluar dengan geramnya, bukan dari si pemegang cambuk, atau pun dari si pengendali cakram, melainkan dari lelaki gempal yang saat ini tengah mencengkeram wajah anak kecil yang wajahnya mirip dengan wajahku itu.

Aku pun memandang lamat-lamat ke arah anak itu, dan setelah kuperhatikan baik-baik.. anak laki-laki itu kini sudah tidak berusaha melepaskan wajahnya yang terus mengeluarkan asap berwarna biru dari cengkeraman tangan berselimut asap merah si lelaki gempal, padahal sebelumnya kedua tangan anak itu berusaha keras untuk menyerang tangan si lelaki gempal yang tengah meraup wajahnya.

Saat ini, aku justru mendapati anak lelaki itu tengah merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, dengan jemari yang bergerak-gerak, mirip jemari orang yang tengah memainkan pertunjukan boneka benang. Leher anak itu kulihat menegang bukan main, bahkan aku sampai bisa melihat urat-urat lehernya yang kebiru-biruan mencuat di sana-sini, seolah ia tengah melakukan sesuatu yang keras bukan main.

Dan hal itu sepertinya membuat kegeraman lelaki gempal di hadapannya semakin membuncah, dengan satu tangannya yang memang sedari tadi bebas tak melakukan apa-apa, lelaki gempal itu menghujami pukulan bertubi-tubi ke perut maupun ke dada anak kecil yang wajahnya tengah ia cengkeram itu.

BUGGHHH.. BUGHHH.. BUGHHH.. BUGHHH..

“SEGERA HABISI DUA SAMPAH ITU SEBELUM ANAK INI SEMAKIN MENGGILLLL...”

FFFFFFUUUNNNNGGGGGG

Hening.. tiba-tiba pendengaranku diselimuti keheningan tingkat dewa. Keheningan ini sungguh datang secara mendadak, membuatku bahkan tak bisa mendengar hingga akhir kalimat dari laki-laki bertubuh gempal yang tadi tengah dibekap amarah.

Kecuali suara napasku sendiri dan terengah berbaur isak sedih Ayah yang tengah memeluk kepala Ibu, aku sungguh tidak bisa mendengar apa-apa. Seolah aku tengah berada di ruangan kaca kedap suara, di mana hanya ada aku, Ayah dan Ibuku saja di dalamnya.

Namun aku tetap bisa melihat dengan jelas betapa lelaki bertubuh gempal di depan sana terus menerus menghadiahi pukulan ke tubuh anak kecil di cengkeramannya. Pun aku juga bisa melihat kedua orang biadab lainnya yang berada di kanan dan kiriku tengah berlari dengan kencang ke arah kami, si pemegang cambuk terlihat melompat tinggi seraya mengangkat pegangan cambuknya yang berapi itu dengan kedua tangannya, bersiap menghujamkan cambuk berapinya itu ke arah kami.

Sedang si pemegang cakram kulihat melompat tinggi seraya memutar tubuhnya dan langsung melempar kedua cakram apinya dengan kencang, membuat sepasang cakram itu melesat dengan api yang membara ke arah kami. Aku bisa menyaksikan itu semua dengan jelas, namun anehnya.. tidak ada suara sama sekali. Seolah aku tengah menyaksikan adegan film bisu di televisi.

Aku memundurkan langkahku, merapat pada Ayah dan Ibu di belakangku, berdiri tepat di lajur cakram berapi dan cambuk membara yang tengah meluncur ke arah kami itu datang. Aku putus asa, entah bisa atau tidaknya, aku berusaha menjadikan diriku tameng hidup untuk kedua orangtuaku.

Dan semakin dekat kedua senjata panas itu datang, semakin berdegup juga jantungku terpompa. Hingga saat benar-benar sudah dekat kedua senjata api itu datang, aku dengan reflek membuat blok silang di depan wajahku, ku kuatkan pijakan telapak kakiku, kudorong satu kakiku ke belakang, memasang kuda-kuda terbaik yang kumiliki, untuk setidaknya menahan tubuhku agar tidak jauh terlempar ketika kedua benda itu benar-benar menghantam tubuhku.

Namun tiba-tiba..

DEEENNNNGGGHHH.. DEEENNNNGGGHHH..

Mataku membelalak lebar tatkala kedua cakram yang meluncur dan siap menghantam tubuhku itu terpental dengan tepat satu meter di depan wajahku, seperti menghantam sesuatu. Dan belum lepasnya aku dari keterkejutan, cambuk api yang menyala hebat sudah berada di atas kepalaku, membuatku reflek meninggikan blok silangku. Namun..

DEEENNNNGGGHHH..

Lagi-lagi.. serangan itu tertolak, seperti menghantam sesuatu yang tak kasat mata. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, lalu menoleh ke arah Ayah dan Ibu, dan kubuang napasku lega, sebab kedua orangtuaku dalam keadaan baik-baik saja.

Namun terlihat raut kesedihan yang jauh lebih dalam di wajah Ayah, matanya menatap ke arah depan. Begitu juga Ibu, meski kepalanya terbaring lemah, matanya pun sudah setengah tertutup, tetapi aku bisa melihat raut kehancuran batin di wajah Ibu. Air mata perempuan yang paling kusayangi itu pun meleleh melalui sudut kelopak mata.

“Regan Mas.. Regaann..” Lirih Ibuku lemah dengan lelehan air mata yang terus keluar, sudut matanya terarah ke depan, berusaha menatap arah yang sama dengan arah tatapan Ayah.

“Harusnya aku yang melindungi Regan dek, bukan sebaliknya.” Sahut Ayahku tak kalah lirih. Dan mendengar perkataan Ayah dan Ibu, entah mengapa aku merasakan kehampaan tersendiri. Hampa yang begitu hampa.

Yang pada akhrinya membawaku untuk ikut memandang ke depan, dengan fokus mataku yang langsung tertuju ke arah yang sama dengan arah tatapan Ayah dan Ibu, dan yang ada di sudut pandanganku tentu saja adalah anak laki-laki yang tengah dihujami pukulan demi pukulan oleh lelaki bertubuh gempal di sana.

Regan.. Ibu dan Ayah sungguh-sungguh mengatakan bahwa anak itu dengan namaku.

Kutatap dalam-dalam tubuh lemah anak lelaki itu, yang terangkat tinggi di atas tanah, seolah tengah menahan beribu kesakitan yang amat sangat.

Tak kuhiraukan serangan demi serangan yang datang kembali dari cambuk berapi maupun cakram membara di depanku, pandanganku hanya tertuju pada tubuh anak itu. Bagaimana bisa anak itu menahan pukulan demi pukulan dari kepalan tangan besar yang menerpa tubuh bagian depannya?

Apakah anak itu benar-benar aku? Apa dia adalah aku di masa lalu? Tapi.. tapi bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin aku sama sekali tidak mengingat ini?

Dan meski semua hal yang terjadi di sini adalah kemustahilan untuk diterima nalar, namun entah kenapa.. aku sedikit pun tidak bisa mengklasifikasikan apa yang kulihat di sini adalah projeksi alam mimpi. Tidak.. tidak sama sekali. Karena ini terasa begitu nyata, dan entah kenapa juga.. hati kecilku pun seolah menolak untuk mendeskripsikan ini semua sebagai bunga tidur.

Dan dengan segala kedangkalan logika yang kumiliki, otakku benar-benar memintaku untuk percaya.. bahwa ini semua mungkin adalah ingatan masa laluku yang terhapus.

Bulir air mata pun kembali menetes membasahi pipiku, seiring dengan tubuh anak lelaki di depan sana yang kian terlihat lemah.

Saat ini, lelaki tua bertubuh gempal itu sudah tidak lagi menghujami pukulannya, kembali hanya mencengkeram wajah anak lelaki itu. Namun bukannya lega melihat itu, aku justru merasakan ketakutan yang amat sangat menyelimuti seisi ruang perasaanku. Hingga tiba-tiba, asap tebal nan lembut berwarna biru yang keluar dari wajah anak itu keluar jauh lebih banyak dari sebelumnya, bahkan kali ini dengan warna yang jauh lebih pekat, cenderung gelap.

Bersamaan itu juga, kedua telapak tangan anak itu yang sedari tadi terbuka dalam rentangan tangannya mengepal dengan keras, masih dalam posisi merentangkan tangan.

“AAARRRGGGHHHH!!!!!” Aku berteriak kencang dengan kedua telapak tangan mencengkeram wajahku sendiri keras-keras.

Sakit sekali.. panas sekali.. Arrggghhhh!!

Aku tiba-tiba merasakan rasa sakit yang begitu menyakitkan di wajahku, disertai rasa panas membara yang benar-benar panas bukan main. Seperti wajahku ditindih seterika arang besar yang alasnya tengah membara.

Aku tersungkur ke depan dengan posisi bersujud, sakit! Arrrgrggggggghhh

Rasa sakit dan panas ini.. dibanding ketika di dalam kerangkeng besi tadi, ini jauh lebih menyakitkan. Sesak.. napasku sesak.. aarrggghhh..

Kenapa.. kenapa bisa sesakit ini? Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Udara.. aku butuh udara untuk bernapas, aku juga butuh air untuk merendam wajahku! Aaaaaarrggghhh..

Sakit.. ini sakit sekali.. aku.. aku.. aku me.. nye.. huhhhh...



***



“Hoi..”

Dalam kegelapan pandang.. Aku menggeliatkan tubuhku beberapa detik lamanya, hanya beberapa detik.. sebelum akhirnya aku teringat akan suatu hal yang mengerikan.. dan itu membuatku reflek membuka kedua mataku seraya bangun dari posisi rebahku saat ini.

“IBU! AYAH!” Teriakku gelagapan seraya memandang ke kanan dan ke kiri, namun apa yang didapati mataku saat ini justru membuatku dibekap kebingungan yang amat hebat.

Sebab saat ini, aku justru sudah tidak lagi berada di tengah-tengah kebun teh!

Ya.. aku kembali berpindah tempat seperti kejadian peralihan dari warnet ke Kebun Teh tadi.

“Hoi..”

Suara ini.. ini suara si orang yang tadi mengerjaiku di tempat gelap itu.. kenapa aku mendengarnya lagi di sini..

Aneh..

Tapi tunggu, ini di mana nih? Tempat apa ini?

Kok aku tiba-tiba ada di sini? Di tempat yang dari modelannya nih.. buset dah.. luas banget cuyyy.. ini istana kah?

Asli suwer.. demi apapun.. biar kata aku belum pernah masuk ke istana, tapi melihat tempat ini, ini bener-bener kaya istana yang ada di film-film barat cuy.

Ruangan besar dengan langit-langit tinggi, sepasang daun pintu megah, dinding-dinding putih dengan kelir emas berkilauan, lampu-lampu kristal putih besar yang tergantung di langit-langit, ditambah patung-patung emas berbentuk hewan tertata rapih.

Dari mulai patung harimau, rusa, gajah mini, aneka burung dan banyak lagi patung hewan lainnya. Dan di tempatku berdiri aja nih sekarang, ada hamparan permadani berwarna merah tua dengan bagian tepinya berwarna emas. Bujug dah, dimana sih ini sebenarnya?

Iyadah asli, ini bener-bener istana kaya di film-film cuy.. megah banget.

Tapi bentar deh.. kek ada yang aneh.. wait wait wait..

Setelah aku pikir-pikir dan kutimang lagi, aku kok mulai merajut pemikiran-pemikiran yang ada di dalam kepalaku. Ingatan demi ingatan.. gambaran demi gambaran akan banyaknya hal ganjil yang aku lalui beberpa waktu belakangan ini.

Dimulai dari pertarungan dengan perempuan seram berwajah retak sebelah, harimau gigi pedang dan anjing siluman berkepala dua. Lalu disambung tempat gelap dengan kerangkeng besi yang mengurungku, plus orang bersuara seram yang kaya bisa baca pikiranku.

Terus dilanjut pertemuanku dengan seorang bocah tanggung yang mukanya mirip banget sama aku, latar tempatnya di belakang warnet tempat aku dulu sering bolos waktu SMP di Purantara (sebelum kemudian di DO ke kampung Uwak). Ada Hani juga di tempat itu. Dan beberapa tubuh bocah lain yang tergeletak.

Abis itu.. aku pindah ke bukit kebun teh, lalu.. hhhmmm.. ketemu Ayah sama Ibu plus bocah kecil yang lagi-lagi mukanya mirip sama aku. Abis itu.. kami diserang tiga orang.

Wait.. bentar.. Apakah jangan-jangan hal-hal itu memang hanya sebatas mimpi?

Tapi kalo mimpi kenapa berasa nyata banget? Tapi kalau bukan mimpi.. rasa-rasanya kok enggak masuk di akal ya?

Harimau gigi pedang, anjing siluman dengan dua kepala, perempuan siluman yang wajahnya retak sebelah plus mahir berantem pake katana. Terus bocah mirip aku tapi kaya bukan aku (karena itu bocah sakti coy). Terus serangan terhadap Ayah dan Ibu, yang anehnya dilakukan oleh orang-orang berkekuatan super kek difilm-film. Ditambah.. masa Ayah bisa ngeluarin akar-akar tanaman gitu dari dalem tanah.

Kan enggak make sense ya? Apa bener kata harimau gigi pedang itu? Kalau itu semua tuh Cuma mimpi? iyakan harusnya? Cuma mimpi kan? Tapi kalau beneran semua itu Cuma mimpi, pertanyaannya ini aku masih di dalem mimpi apa udah kebangung?

Rasa-rasanya kok kaya masih di dalem mimpi? Masih ketindihan kah aku?

“Hoi bocah.. sampai kapan kau mau berdebat tentang mimpi dan bukan mimpi itu? Hah?”

Di tengah kebimbanganku itu, tiba-tiba ada suara yang menggema ke sepenjuru ruangan ini. Dan aku amat yakin jika Suara itu benar-benar identik dengan suara orang yang tadi mengerjaiku di dalam kerangkeng besi.

Dan suara itu berasal dari arah belakang. Hal itu membuatku reflek memutar tubuhku ke arah datangnya suara tersebut, dan betapa tergugunya aku, ketika aku mendapati sudah ada pria yang tengah terduduk di atas sebuah singgasana megah. Di kanan kiri singgasana itu ada dua patung besar berbentuk naga yang kaya di kartun dragonball.

Jarak antara aku dan pria yang tengah duduk di singgasana itu sendiri mungkin enggak sampe sepuluh langkahan kaki. Jadi aku bisa melihat dengan jelas rupa orang yang tengah duduk di singgasana itu.



ryomen_sukuna_by_rdxscythe_deh7sk4-pre.jpg



Perawakannya sih sepantaranlah sama Teh Arum, ya.. usianya mungkin di akhir 20-an.

Tapi look pria ini lumayan kontras sama background tempat ini yang serba mewah, itu karena pria yang duduk di singgasana yang kaya buat raja-raja itu enggak berpenampilan kaya raja sama sekali.

Ya gimana ya.. abisnya tuh orang Cuma pake jubah putih polos yang modelan kaya kimono gitu, dengan sedikit ornamen hitam di bagian tengah jubah kimono putihnya, plus tali berwarna hitam terikat buat ngencengin bagian pinggang kimono nya.

Dia juga duduk dengan gaya santai, kedua kaki diluruskan ke depan plus sedikit dinaikkan ke atas ganjelan kaki gitu di depannya. Duduknya juga nyender agak miring, karena hanya tangan kirinya saja yang bertopang di pegangan kursi singgasana, sedang tangan kanannya menopang dagu dengan santai.

Wajahnya sih lumayan good looking ya, aku ngakuin itu bukan karena aku homo ya, no way.. tapi emang dia lumayan good looking.

Kulit putih bersih, wajah berseri, dengan rambut yang tersisir rapih ke belakang. Dan hal yang membuatku sedikit kagum adalah.. dia memiliki tato di wajahnya. Tato itu hanya bermotif garis-garis, di masing-masing tepi rahangnya, lalu di masing-masing sudut bawah kelopak matanya (pipi bagian atas dengan sudut kelopak mata), serta di dahinya pun juga ada. ada juga yang membentang di bagian tengah hidungnya.

So far.. menurutku keren aja..

Dan entah kenapa, aku kaya ngerasa nih orang rada friendly, dan entah kenapa lagi, itu bikin aku lumayan enggak terlalu terintimidasi dengan tatapannya atau pun kenyataan ganjil kalau aku sekarang lagi ada di dalam sebuah istana yang aku sendiri enggak tahu ini beneran atau Cuma bagian dari mimpiku lagi.

Tampilannya sih jauh dari bayanganku tentang seorang bangsawan. Malah kaya orang biasa aja gitu, Tapi orang biasa yang dalam konteks kasual kali ya? Karena harus aku akui dia lumayan keren dalam perihal penampilan.

“Ahhh.. Terimakasih banyak atas pujianmu, aku jarang mendengar orang lain memujiku ketika pertama kali bertemu. Jadi, aku akan berusaha menyambutmu dengan baik di istana megahku ini.” Ujarnya santai sembari membalikkan telapak tangan kirinya yang tadi mencengkeram pegangan kursi, ia mainkan jari-jari di telapak tangan kirinya itu seperti orang yang sedang membersihkan kotoran-kotoran yang ada di kukunya. Pandangannya pun kini sudah berpaling dariku, memandang ke arah jemarinya sendiri.

Eh tapi bentar, kok dia bisa tahu kalau aku sedikit muji tampilannya ya?

“Fyuhhhh.. kapan sebenarnya otak kecilmu itu bisa berkembang lebih besar, hah? Bukankah tadi sebelum kau melakukan perjalanan ingatan, aku sudah bilang kalau aku ini bisa mendengar semua yang ada di pikiranmu?” Ucapnya lagi masih dengan santainya, dan masih dengan arah pandangan ke ujung-ujung jemarinya.

Tunggu, apa yang dia maksud dengan “Perjalanan ingatan”? Apa maksudnya adalah waktu aku tadi kebingungan di tempat gelap dengan kerangkeng besi mengelilingi? Ituloh waktu yang sebelum aku kelempar ke areal belakang warnet tempatku membolos. Saat aku rasanya abis bertarung bareng harimau gigi pedang dan anjing siluman yang terusnya aku kalah karena ketusuk, dan abis itu aku kebangun di tempat gelap.

Berarti benar.. dia orang yang sama dengan orang yang di tempat gelap itu? Tapi kok enggak seserem yang ada di benakku tadi ya? Karena pas aku di tempat gelap itu, aku mikirnya yang punya suara serem bin berat itu pasti kaya semacam genderuwo gitu.

“Sejujurnya, aku sedikit tersinggung karena kau selalu menyamakanku dengan makhluk rendahan, jelek dan hina dengan bulu hitam itu. Tapi karena kau sudah memuji ketampananku, maka aku tidak akan mempermasalahkan itu.” Tukasnya lagi masih dengan pandangan yang fokus ke kuku-kukunya, yang setelah aku perhatikan, kuku-kukunya itu termasuk panjang untuk ukuran lelaki, udahan panjang diwarnain hitam pula, kaya pake kutek gitu.

Jadi kek banci-banci taman lawang sih kalau diliat dari kukunya.

“Aihhh.. suara-suara di kepalamu itu benar-benar membuat tanganku gatal. Ingin rasanya kucabik perutmu, lalu kutarik keluar semua organ dalammu.” Serunya terdengar sedikit tidak senang, bersamaan itu ia arahkan pandangan matanya tepat ke bola mataku. Membuatku merasakan suatu perasaan aneh seketika itu juga, suatu perasaan yang seolah membuatku seperti sudah mengenal pria di singgasana itu sejak lama.

"Huhh.. aku tidak suka seperti ini. Hhhhmm.. berhenti bergumam di dalam hati, dan bicaralah menggunakan bibirmu? Sebenarnya tidak ada masalah dengan itu, tapi aku lebih suka jika kita berbicara seperti orang kebanyakan. Karena aku sudah cukup lama tidak berbicara dengan..”

“Siapa Anda sebenarnya?” Aku dengan segala ketenangan diri yang mulai menguasai diriku memotong kalimatnya, dan saat itu juga, sebuah senyum kecil mengembang dari bibirnya.

“Anda? Anda? Yang benar saja, usahakan lebih santai, jangan terlalu kaku. Aku tidak suka jika kau berbicara seformal itu kepadaku. Secara, kita sudah..”

“Kamu.. siapa kamu sebenarnya? Tempat apa ini? Dan yang terpenting, bagaimana caraku bisa keluar dari alam mimpi yang berulang-ulang ini?” Aku kembali memotong kalimatnya tanpa sedikit pun perasaan enggak enak hati.

Dan ya.. aku enggak mau berbasa-basi, karena aku masih berusaha mengintrepetasika semua ini sebagai lanjutan dari mimpi tindihanku yang enggak kelar-kelar ini.

“HA HA HA... Kau benar-benar percaya mentah-mentah pada Si Harimau tua itu? Kau benar-benar berpikir bahwa semua yang telah kau lalui ini adalah mimpi?” Seloroh Pria itu sambil tertawa dengan begitu lepasnya. Bersamaan itu ia menegakkan tubuhnya sembari menautkan kedua telapak tangannya di depan tubuh, memandangku dengan senyuman kecut yang cukup membuatku bingung.

Si harimau tua? Apa maksudnya Si Harimau gigi pedang? Dan kalau iya.. memang menurutku, perkataan harimau gigi pedang itu adalah sesuatu yang paling masuk akal saat ini. Yang ia katakan bahwa semua kejadian pertarungan di bukit tadi adalah sebuah mimpi merupak hal yang paling logis untuk kupercayai bukan?

“Hahhhh.. kau benar-benar bodoh. Bagaimana jika aku bilang bahwa semua kejadian yang kau anggap mimpi itu adalah realita yang sebenar-benarnya? Bukan sebuah mimpi, melainkan sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi?” Tukas pria itu dengan raut wajah yang berubah serius, senyum di bibirnya menghilang, tatapannya menajam, tubuhnya pun dibuat condong ke depan. Membuat kedua telapak tangannya yang bertaut itu sedikit menutupi bagian bibirnya.

Aku mengernyit kecil, sejenak kutimang lagi apa yang baru saja pria itu katakan.

Realita? Kenyataan? Apa mungkin?

“Bukan mungkin lagi bodoh.. tapi memang itulah kenyataannya. Pertarunganmu di lereng perbukitan tadi, harimau tua bangka, anjing bodoh dengan dua kepala, perempuan pemegang katana berwajah seram, sampai perjalanan ingatan tentang dirimu di masa silam yang baru saja kau lalui. Itu semua adalah realita yang benar-benar kau lalui. Termasuk sekarang ini, kau tidak sedang berada di alam mimpi. Kau benar-benar berada di sini.” Terang pria itu masih dengan wajah seriusnya.

Otakku pun seperti terjeda memikirkan hal ini, di dalam kepalaku ada logika yang tengah menyangkal dengan hebat, mencoba menyanggah semua kata-kata pria di depanku ini. Tetapi di saat bersamaan, entah kenapa hatiku justru mengatakan yang sebaliknya.

“Kau bisa terus berperang dengan logika dan perasaanmu mengenai kata-kataku tadi, tapi yang perlu kau tahu, semua yang keluar dari kata-kataku tadi adalah sebuah kejujuran. Semua yang kau alami ini bukan sebuah mimpi.” Ujarnya dengan dingin dan kembali menyandarkan posisi duduknya, kedua tangannya kini mencengkeram pegangan kursi.

Aku mencoba memikirkan semua yang ia katakan, untuk kemudian kusatukan dengan semua kemungkinan yang ada di kepalaku.

Tetapi, apa mungkin jika semua ini bukan sebuah mimpi? Maksudku, aku enggak terlalu mikirin dengan fakta eksistensi aneka macam kekuatan aneh ketika pertarungan di lereng perbukitan tadi, enggak terlalu mikirin ikhwal eksistensi harimau gigi pedang, anjing berkepala dua, dan dedemit perempuan tadi. Seenggaknya menurutku itu enggak terlalu mengganggu pikiran.

Yang paling ganggu pikiranku justru apa yang terjadi setelahnya, mungkin terjerambap di tempat gelap dengan kerangkeng yang mengungkung masih bisa aku abaikan. Tapi bagaimana aku bisa mengabaikan sebuah perjalanan yang menurut pria di hadapanku ini adalah sebuah perjalanan ingatan?

Ya.. semua yang aku lihat di areal warnet, remaja berseragam putih biru yang mirip denganku plus kekuatan dan kekejiannya enggak bisa aku abaikan. Juga ikhwal apa yang terjadi setelahnya, di mana aku tertarik ke sebuah areal kebun teh? Ayah, Ibu, anak kecil yang juga mirip denganku. Apa yang terjadi di sana juga begitu mengganggu pikiranku jikalau memang ini semua adalah ingatan masa laluku.

Bagaimana mereka diserang secara sporadis, beberapa orang yang gugur dengan kengerian, Ibu yang terkapar memegangi perut membuncitnya, Ayah yang susah payah bertarung menggunakan akar-akar yang bisa ia kendalikan, serta anak kecil berwajah mirip denganku yang seolah menjadi target utama, yang kemudian pada akhirnya meski anak itu berada dalam cengkeraman orang-orang yang menyerang keluargaku, tetapi anak itu masih berusaha untuk melindungi Ayah dan Ibu.

Kalau emang semua itu adalah sebuah realita, bagaimana caranya agar aku bisa menerima dan memahami realita tersebut? Karena itu semua benar-benar di luar nalarku, lebih dari sekedar aneh, itu semua terasa mustahil terjadi bagiku. Jadi bagaimana aku bisa menerima itu semua sebagai sebuah realita?

“Salah satu cara agar kau bisa menerima semua kenyataan ini adalah dengan menyingkirkan logika tumpulmu itu. Lalu cara lainnya yang paling penting adalah dengan melepas Sasah Sukma yang tertanam di jiwamu, dua cara itu adalah yang paling efektif untuk membuatmu mengerti tentang apa yang saat ini terjadi.” Pria itu berseloroh dengan nada yang lebih santai, kedua kakinya yang sedari tadi berselonjor lurus di atas penyangga ia turunkan, kemudian ia melipat kaki, memandangku kembali dengan senyum kecil yang meraga di bibirnya.

“Sasah sukma?” Aku bergumam sendiri seraya mengernyitkan dahi. Karena entah kenapa, meski aku baru pertama kali mendengar dua kata itu, tapi aku merasa enggak asing sama sekali.

“Ya.. Sasah Sukma.. itu adalah jalan paling cepat agar kau bisa memahami apa yang sejatinya sudah kau pahami, mengerti apa yang sejatinya sudah kau mengerti. Kita hanya perlu melepas itu dari tubuhmu, maka aku jamin, kau akan mengerti semuanya.” Tukas pria itu dengan tatapan berbinar.

Memahami apa yang sejatinya sudah aku pahami, mengerti apa yang sejatinya sudah aku mengerti?

Apa maksud perkataannya?

“Biar kuberi sedikit bocoran tentang Sasah Sukma yang tertanam di jiwamu. Hhhhmm.. bagaimana menjelaskannya.. Ah.. apa kau tidak penasaran tentang masa kecilmu? Apa kau tidak merasa aneh karena kau tidak memiliki secuil pun ingatan tentang masa kecilmu selain apa yang orang-orang ceritakan kepadamu? Dan yang paling krusial, mengapa bisa seseorang yang katanya kecelakaan dan mengalami operasi yang kemudian membuatnya kehilangan ingatan, tetapi ketika pertamakali terbangun ia langsung mampu mengenali orang-orang terdekatnya?”

DEGGGHHHH..

Ba.. bagaimana ia tahu tentang hal-hal pribadiku? Bagaimana ia bisa tahu bahwa aku pernah mengalami kecelakaan yang mengharuskan aku dioperasi di bagian kepala yang akhirnya membuatku kehilangan semua ingatanku? Bagaimana juga ia bisa tahu bahwa begitu aku terbangun pasca operasi aku langsung mampu mengenali keluargaku? Mengenali Ayah, Ibu, Nenek, Mang Diman, dan yang lainnya? Dari mana ia mengetahui hal itu?

“Untuk sekarang tidak penting menjelaskan bagaimana aku bisa mengetahui itu semua, tapi yang terpenting adalah, apa benar kau mengalami kecelakaan itu? Apa benar hilangnya ingatanmu diakibatkan operasi yang kau jalani? Dan yang paling mendasar adalah.. apa kau benar-benar pernah dioperasi? Kalau iya, harusnya kau memiliki satu dua jahitan di kulit kepalamu, bukan?”

DEGGGHHHH..

Aku terhenyak, benar-benar terhenyak mendengar setiap kata-kata yang keluar dari bibir pria itu. Pikiranku seketika meracau bukan main, tumbuk menumbuk, tindih menindih, sangkal menyangkal. Batinku berkecamuk hebat, logika dan perasaanku tercampur aduk.

“Bagaimana jika aku bilang bahwa sejatinya kau tidak pernah menjalani operasi apapun di kepalamu? Bagaimana jika aku bilang bukan sebuah operasi medis yang sudah merenggut ingatanmu? Bagaimana jika aku bilang bahwa.. alasan kau kehilangan ingatan adalah karena Sasah Sukma yang ditanamkan di jiwamu?”

DEGGGHHH..

Kelopak mataku membuka lebih lebar, tenggorokanku tercekat, rasanya aku sulit sekali untuk sekedar menelan ludahku sendiri saat ini.

“A.. apa sebenarnya Sasah Sukma yang sedari tadi kamu bicarakan itu? Anggap saja aku mencoba mempercayai semua kata-katamu, tapi seenggak-enggaknya, jelaskan mengenai Sasah Sukma yang kau maksud itu.” Ujarku mencoba menguatkan diriku sendiri, persetan dengan segala logika yang saat ini sanggah menyanggah di kepalaku.

Mendengar ucapanku, pria di atas singgasana itu tersenyum lebih lebar dari sebelumnya, dan senyumnya kali ini bahkan menunjukkan putih giginya yang berderet rapih dengan dua gingsul besar di kanan dan kiri bagian atas mulutnya.

“Hhhmm.. aku akan menjelaskannya sesederhana mungkin agar kau dan otakmu yang tertutup itu mudah memahaminya.” Ujarnya dengan santai. Aku menarik napasku dalam-dalam, mencoba untuk menerima sebaik mungkin penjelasan mengenai Sasah Sukma yang menurut pria di hadapanku ini adalah alasan hilangnya ingatan masalaluku.

“Jadi begini.. mari kita ambil sederhananya saja, Sasah Sukma ini bukan suatu hal yang bisa dijelaskan secara sains, jadi aku harap kau bisa menyelaraskan pikiranmu. Jangan mengikutsertakan segala pemikiran yang berbau sains di sini, karena jika tidak, hanya akan ada penyanggahan-penyanggahan atas penjelasan yang akan aku paparkan.” Tukasnya lagi mewanti-wanti.

“Jangan muter-muter, jelasin aja cepet.” Ucapku sedikit sebal karena ‘pembukaan pidato’ nih orang bertele-tele banget.

“Ya ya ya.. baiklah aku tidak akan bertele-tele. Tapi biarkan aku bertanya satu hal, apa kau percaya pada hal-hal gaib?” Pria itu bertanya dengan kedua alis yang mulai ditautkan. Membuatku menghela napas sebal karena pertanyaan tersebut.

Tentu saja aku sedikit bingung menjawabnya, ya gimana ya.. abisnya tuh ya dibilang percaya ya percaya, dibilang enggak percaya ya enggak terlalu percaya juga sih. Ya 50:50 lah intinya. Percaya enggak percaya. Namanya hal-hal gaib yekan. Munafiklah kalau aku bilang sepenuhnya aku enggak mempercayai hal-hal gaib, tapi ya aku juga enggak yang percaya banget gitu. Karena aku kan bukan anak indihome yang bisa ngeliat penampakan-penampakan aneh, boro-boro penampakan, denger suara-suara mba kunti ketawa aja aku enggak pernah.

Jadi intinya ya percaya enggak percaya deh pokoknya.

“Yakin kau tidak pernah melihat hal-hal gaib? Bukankah pertarungan di lereng perbukitan tadi termasuk hal gaib?”

Aku mengernyit lagi, memikirkan ucapan demi ucapan ngejlimet pria di hadapanku ini.

“Udah deh langsung aja, enggak usah ngejlimet begini. Jelasin tinggal jelasin juga..” Gerutuku sebal sendiri, karena selain nih orang muter-muter banget ngomongnya, juga karena aku jengkel sendiri karena entah kenapa hatiku malah ngiyain ikhwal pertempuran di lereng perbukitan tadi sebagai sesuatu hal gaib yang aku sudah saksikan.

“Ha ha ha.. kau benar-benar tidak pernah berubah ya bocah.. selalu tidak sabaran..” Pria itu tertawa dengan sinisnya. Sedang aku hanya bisa menghela napas ketidaksukaanku.

“Jadi katakanlah Sasah Sukma itu semacam ajian sakti mandraguna yang mampu membuat pengguananya bisa mengatur seenak hati alam bawah sadar orang lain.”

What? Apa-apaan sih segala dinamain Sasah Sukma, segala ajian-ajian apa itu, padahal tinggal bilang hipnotis aja anjiirrrr.

“Ahhh.. benar.. semacam hipnotis, namun dengan tingkatan yang jauh lebih tinggi.” Ujar Pria itu menimpali cibiran di dalam hatiku.

“Tapi perlu kau ingat, Sasah Sukma ini bukanlah kemampuan yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Seperti yang aku bilang, ini adalah sebuah ajian sakti mandraguna. Jika kau masih belum bisa percaya sepenuhnya ya tidak apa-apa, tapi perlu aku ingatkan, di dalam jiwamu itu sudah tertanam beberapa Sasah Sukma sekaligus. Itulah yang membuatmu kehilangan ingatan akan masa kecilmu, masa lalumu. Dan percayalah, selain merenggut ingatan akan masa lalumu, Sasah Sukma yang ditanamkan oleh Damar Raksa Aliendra itu sejatinya diperuntukan agar kau tidak bisa mengetahui siapa dirimu sebenarnya.”

DEEGGHH

Om Damar? Kenapa pria ini membawa-bawa Om Damar ke percakapan kami? Apa maksud dari perkataannya yang mengatakan bahwa Om Damar lah yang menanamkan Sasah Sukma-Sasah Sukma itu padaku?

“Ya.. Pamanmu sendirilah yang menanamkan ajian itu padamu. Pamanmu sendirilah yang sudah merenggut semua ingatan masa lalumu. Dan tentu saja itu dilakukan dengan seizin Si Gila Saka dan Rengganis. Dan kau tahu siapa yang memerintahkan Damar untuk menyegel ingatanmu itu?” Pria itu berkata dengan tatapan yang.. arrgghh entah kenapa begitu mengintimidasiku.

Aku terdiam, aku terdiam mendengarkan penjelasan demi penjelasan darinya yang sungguh.. andai saja aku sedang tidak berada di situasi membingungkan ini, maka akan aku tolak mentah-mentah segala pemaparan ngawurnya itu. Ya.. pemaparan ngawur tapi begitu mengena tepat di ruang pemikiranku.

Dan bangsatnya lagi.. kenapa aku justru menunggu lanjutan kalimat pria aneh di depanku ini?

“Cempaka.. orang yang memerintahkan Damar untuk menyegel ingatanmu adalah Cempaka.. Nenekmu sendiri!”

DEPPHHH

What? Hah? Ngawur orang ini benar-benar ngawur.. orang ini benar-benar ngawur!

“Hahaha,, terus saja sangkal semua fakta yang aku paparkan ini, tapi seberapa kuat pun kau menyanggahnya, kenyataannya memang seperti itu. Keluargamu sendirilah yang sudah merenggut ingatan masa lalumu. Dan mereka melakukan itu agar kau.. Regan Denta Purnama sang putra mahkota Purantara tidak mengetahui jati dirinya sendiri. Dan agar kau tidak perlu mengetahui.. bahwa sejatinya kau adalah Jabang Kutukan.”

NNNGGGIIIIIINNNGGGG

Arrggghhhh.. Shit.. Ssshhh.. kenapa tiba-tiba ada denging yang begitu pengang menerpa kepalaku? Sialan.. bapet.. bajingan..

NNGIIIIINNGGGGGG Sialan.. dengingnya makin kencang bangsat!!!!!

Tapi sebentar.. dia bilang apa tadi? Jabang Kutukan? Arrggghh itu apaan lagi cuk?! Arrrrgghhhh

“Ahhhh.. Aku seharusnya tidak mengucapkan kata terlarang itu, karena sepertinya Sasah Sukma yang ditanamkan Damar padamu itu bereaksi pada kata-kata terlarang itu.”

NNGGGIIIIINNNNNGGGG

Arrrrggghhh sialan.. denging di telingaku enggak reda-reda, bangsat..

“Tapi bagaiamana kalau kita coba lagi, apa benar Sasah Sukma ditubuhmu bereaksi tiap aku mengucapkan itu.. Ja.. bang.. Ku.. tu.. kan”

NNNNNNNGGGGGGIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINNNNNNNNNNGGGGGGGGG

“AARRRGGGHHHH...” Aku berteriak sekencang-kencangnya, karena tepat ketika pria itu selesai dengan kalimatnya, denging di telingaku tiba-tiba berdenging jauh lebih kencang dari sebelumnya.

Yang saking kencangnya sampai membuat aku terduduk jatuh ke depan dengan kedua telapak tangan menutupi telinga. Sialan.. apa yang orang ini lakukan padaku? Aaarrggghhh sakit.. denging yang begitu nyaring di telingaku saat ini membuat kepalaku rasanya mau pecah! Bangsat bangsat bangsat!

“Aiihhh.. ternyata benar.. aku seharusnya tidak mengucapkan kata terlarang itu, ternyata Sasah Sukma itu benar-benar menolak kata terlarang itu.”

NNNNNNNGGGGGGIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINNNNNNNNNNGGGGGGGGG

Sialan... ada apa dengan kepalaku ini? Apa yang ada di dalam kepalaku saat ini? Kenapa denging ini semakin kencang saja? Berengsek..

“Tapi masa sih Cuma kata itu aja yang terlarang, harusnya kalau memang mau bereaksi, kenapa tidak dari tadi saja ketika aku mulai menyinggung mengenai Sasah Sukma yang tertanam di tubuhmu itu? Kenapa baru bereaksi ketika aku menyinggung tentang Jabang Kutukan?”

NNNNNNNGGGGGGIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINNNNNNNNNNGGGGGGGGG

“AAARRGGGGGGGHHHHH BANGSAAAAAAATTTTTT!” Bajingan.. ini bajingan.. Denging ini sekarang semakin dan semakin kencang saja rasanya, ini jauh lebih kencang lagi dari denging sebelumnya yang membuatku jatuh terduduk. Bangsat.. aaargggghhh..

Aku tersungkur ke depan, bersujud dengan wajah menghantam lantai tempat ini dengan keras. Kutampar-tampar kedua telingaku dengan keras, berusaha meringankan denging yang saat ini rasanya bukan lagi mampu memecahkan kepalaku, lebih dari itu, denging ini rasanya benar-benar menyalurkan rasa sakit ke sepenjuru aliran darah di tubuhku! Berengsek!!

“Aiihhh.. Sepertinya benar dugaanku. Ssshhhh.. pasti sakit sekali ya? Hhhhhmm harusnya dari awal aku tidak mengucapkan kata terlarang itu.”

Berengsek... kenapa di tengah denging yang menusuk-nusuk sepenjuru isi kepalaku ini aku masih saja mendengar celotehan pria itu? Anjiinggg.. sakit cukkk..

“Aaarrrgghh.. sakit.. SSAAAKKIIIITTTT!!!!” Aku terus berteriak meresapi sakit berdenging yang menghujam isi kepalaku saat ini. Aku terus menampar-nampar kedua telingaku dengan keras, dan membentur-benturkan kepalaku ke lantai, berusaha agar sakit dari denging ini segera mereda. Tapi bangsatnya, boro-boro mereda, denging ini rasanya justru semakin menyiksa saja.

Apakah benar denging yang menyakitkan ini diakibatkan oleh kata-kata terlarang yang diucapkan pria itu? Apa benar karena kata terlarang itu diucapkan makanya aku harus merasakan sakit bukan main ini? Apa benar sakit ini berasal dari Sasah Sukma yang bereaksi terhadap kata terlarang yang keluar dari bibir pria itu?

Aaaarrggghhh.. kalau benar, kenapa Om Damar harus menanamkan ajian bangsat seperti ini ke dalam tubuhku? Kenapa Ayah dan Ibu mengizinkan Om Damar menanamkan ajian ini padaku? Dan kenapa Nenek memerintahkan Om Damar untuk melakukan itu? Kenapa? Kenapa mereka melakukan ini padaku! Arrrrggghhhhh

“Hmm benar sekali.. kenapa ya mereka tega menanamkan sesuatu yang mengerikan seperti ini padamu? Kenapa ya mereka kejam sekali padamu, Regan? Aku saja tidak tega melihatnya hihh..”

Arrrgghhh.. pria itu berisik banget bangsat.. Aaarrrrggghhh..

Sakit.. ini sakit banget sumpah.. Jagat Dewa Batara.. ini sakit banget enggak boong, tolonglah.. Please.. bikin aku pingsan aja deh asli, aku enggak kuat rasanya! Aaarrggghh

“Sa.. sakit... eergggghh...” Mengerang, aku terus mengerang sembari membentur-benturkan kepalaku ke lantai, telingaku terus kutepuk-tepuk, napasku terengah hebat enggak ketulungan lagi.

PROK.. PROK.. PROK..

“Hey bocah.. bertahanlah sedikit dan cobalah fokus pada suaraku..”

Arrgghh berengsek banget sih pria itu! Berisik banget asli..

“Hey hey hey.. angkat kepalamu itu, dan cobalah fokus kepadaku. Aku sepertinya tahu cara menghilangkan siksaan yang saat ini tengah menderamu..”

Sialan.. kenapa di tengah denging yang kencang menyiksaku ini, aku masih saja mendengar jelas tiap celotehan berisik pria itu. Arrrgghhh..

Tapi bentar, dia bilang apa tadi? Dia bilang dia tahu cara menghilangkan siksaan yang sekarang lagi mendera seisi kepalaku ini?

“Sungguh.. aku sepertinya tahu cara untuk menghilangkan siksaanmu itu, jadi cepat angkat kepalamu kalau kau tidak mau tersiksa seperti ini terus menerus..”

“A.. apa.. cepat katakan! Aarrrggghh...” Aku sekuat tenaga berusaha mendudukan tubuhku, berusaha melawan rasa sakit dari denging ini dengan sekuat tenagaku. Kupandang pria itu yang masih terduduk nyaman di singgahsananya, posisi dia sekarang duduk bercondong ke depan dengan kedua kaki terbuka dan kedua sikunya bertopang di lutut, dagunya ia letakan di atas kedua telapak tangannya yang saling tertaut.

“Arahkan telapak tangan kananmu kepadaku..” Ucapnya dengan raut wajah yang terlihat serius, seolah ia benar-benar tengah mengasihaniku. Sekarang apa lagi kira-kira yang akan ia lakukan?

“Aku bilang cepat! Jangan membuang waktu lagi, apa kau mau tersiksa lebih lama hah? Cepat!” Serunya bersemangat dengan kedua alis tertaut.

Arrgghhh sialanlah.. aku enggak punya pilihan lain lagi kan? Berengseklah..

Aku enggak mau banyak berpikir, enggak mau banyak pertimbangan, dan enggak mau disiksa rasa sakit dari denging ini lebih lama lagi. Segera saja kuangakat tangan kananku, dan membuka telapak tangan kananku itu ke arah pria tersebut. Aku melakukan itu dengan sekuat tenaga, berusaha mengatasi deraan rasa sakit yang bertubi-tubi terus menghantam seisi ruang kepalaku.

Dengan telapak tangan yang gemetar bukan main, aku pun akhirnya bisa membuka telapak tanganku dan mengarahkannya dengan mantap ke arah pria tersebut. Sekelibat aku bisa melihat senyuman kecil mengembang dari bibir pria itu.

Aku menunggu.. menunggu apa yang akan pria ini lakukan untuk bisa menolongku dari rasa sakit berkepanjangan ini.

“Bagus.. tahan di sana..” Ujarnya datar sembari mengangkat tangan kirinya ke depan, ke arahku, kemudian ia buka telapak tangannya.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba di hadapanku muncul percikan-percikan cahaya yang kemudian membentuk garis-garis putus berwarna biru atau mungkin ungu gelap.

Kemudian garis-garis itu bertumbuh dan sambung menyambung, jahit menjahit..

Dan ujung masing-masing garis itu saling mendatangi. Dan garis-garis itu terus bertumbuh, terus saling jahit menjahit untuk kemudian membentuk sebuah lingkaran sempurna. Bajingan..

Apa lagi ini berengsek? Kenapa tiba-tiba sesuatu yang mirip seperti hologram di film-film ini bisa muncul di hadapanku?

Jadi bentuknya tuh bundar pipih (lempengan berbentuk bundar dengan posisi berdiri tegak), ukurannya lumayan gede, mungkin segede ban truk tronton.

Dan bukan itu doang, di bagian tengah lingkaran hologram itu terdapat pola bintang terbalik, lalu di sisa-sisa ruang yang tak terisi di dalam lingkaran tersebut, ada pola-pola kecil yang saling jahit menjahit (kaya pola batik-batik kecil gitu) untuk memenuhi keseluruhan volume hologram lingkaran itu.

Warna hologram lingkaran yang berdiri tegak tepat di depan telapak tanganku itu juga kini semakin jelas dan tegas, ungu gelap (agak kebiru-biruan juga sih), dan garis-garis itu menampilkan cahaya ungu kebiru-biruan menyala tersendiri. Kaya cahaya yang ketahan gitu, kedap-kedip.


063308100_1470911316-tumblr_inline_na0cf34kAQ1s6nw8r.jpg


Anjirlah... apa lagi ini?

Belum lagi, aku merasakan hawa panas sedikit menguar dari hologram lingkaran di hadapanku ini, kaya lagi berdiri deket api unggun gitu asli.

Lebih-lebih di telapak tangan kananku yang terbuka menghadap hologram itu, panasnya jauh lebih berasa, aku bahkan hampir menurunkan telapak tanganku andai enggak ditahan sama pria itu.

“Bertahanlah bocah, bertahanlah jika kau benar-benar ingin terlepas dari siksaan yang merajam kepalamu saat ini!”

Aku pun bertahan sesuai instruksi pria itu, karena walaupun semua ini janggal sekali untukku, tapi aku enggak punya pilihan lain dan enggak mau ambil pusing masalah nalar non-nalarnya, yang aku tau aku Cuma pengen nih denging yang nyakitin banget lekas ilang, udah itu aja.

“Bagus.. sekarang tempelkan telapak tanganmu ke segel itu..”

“Tapi kan panas..” Sanggahku cepat sembari menahan rasa sakit merespon perintah pria itu.

“Lakukan saja bocah, ini tidak seberapa dibandingkan rasa sakit yang harus kau tanggung jika tidak melakukannya!” Ujar Pria itu terdengar agak enggak sabaran, mungkin ia juga enggak tega kali ya ngeliat aku yang kesakitan kaya gini? Baik juga ternyata dia. Arrrgghhh.. sialan.. denging berengsek!

Ah persetanlah.. mending nahan panas dikit dibanding nanggung kesakitan kaya begini!

Aku pun mulai mendekatkan telapak tanganku ke hologram lingkaran di depanku ini, jarak hologram itu dari telapak tanganku memang hanya sejengkalan, jadi harusnya ini enggak makan waktu lama lah.

“Ya.. bagus.. terus..” Ujarnya yang masih duduk bercondong ke depan dengan tangan kiri terarah ke hologram ini.

Sial.. makin panas aja.. arrrgghhh.. enggak bisa nih kalo dipelanin kaya gini, mending langsung ajalah. Melepuh ya melepuh sekalian deh tanganku.

Aku pun menarik napasku panjang, lalu kudorong telapak tanganku sekuat tenaga, namun tiba-tiba..

“ASURAAAAAAAAAAAA!!!!”

Sebuah teriakan kencang nan lantang melaung ke sepenjuru ruangan..


POV3D

Di sebuah ruangan bak aula utama istana yang begitu megah, Regan tengah bersimpuh lutut meresapi rasa sakit dari denging yang menjalar di kepalanya. Wajahnya memerah padam dengan napas terengah-engah, tangan kiri remaja laki-laki itu terlihat memegangi kepalanya dengan cengkeraman keras, seolah ia berusaha merenggut rambut hitamnya kuat kuat.

Sedang tangan kanan remaja itu sendiri terlihat terarah ke depan, menjulur dengan posisi telapak tangan terbuka. Dan di depan telapak tangan Regan, terdapat sebuah hologram pipih berbentuk lingkaran berwarna ungu kebiru-biruan padam yang menyala-nyala kecil. Lingkaran itu memiliki pola bintang terbalik sebagai pola utama, dengan pola-pola kecil memenuhi sisa volumenya.

“Ya.. bagus.. terus..” Seorang pria yang sedari tadi menjadi lawan bicara Regan terlihat menatap dengan antusias dari tempatnya duduk, sebuah singgasana megah berlapis emas mengkilap. Pria berkimono putih itu menggurat senyum kecil di sudut bibirnya, tangan kanannya tetap nyaman mencengkeram pegangan singgasana, sedang tangan kirinya sendiri diarahkan pada hologram lingkaran di hadapan Regan, pria itu tengah melakukan penyelarasan.

Mata pria berkimono itu semakin berbinar tatkala didengarnya Regan bersuara di dalam hati, pria itu begitu antusias ketika mengetahui bahwa remaja di hadapannya sudah membulatkan tekad untuk menjalankan apa yang ia perintahkan.

Ditatapnya baik-baik telapak tangan Regan yang semakin dekat ke arah hologram itu.

“Akhirnya..” Gumam pria itu di dalam hati, kegirangan bukan main. Namun di tengah kegirangannya itu, tepat ketika kulit telapak tangan Regan hanya berjarak tak sampai 2cm di depan hologram lingkaran tersebut, tiba-tiba..

“ASURAAAAAAAAA!!!!”

Sebuah teriakan yang amat diwaspadai pria berkimono putih itu menggema memenuhi sepenjuru pendengarannya. Raut bahagia di wajah pria itu seketika padam, berganti raut amarah yang tertahan.

Dan tepat saat teriakan itu mengudara, dari atas ruangan itu meluncur sesosok bayangan besar, seolah sosok yang baru saja datang itu habis melompat dari suatu tempat.

Kedua tangan sosok bertubuh tinggi besar itu terangkat tinggi di atas kepala dengan satu tangannya menggenggam bagian tengah sebuah tongkat besi, sosok itu meluncur ke bawah dengan begitu derasnya. Dan setengah meter sebelum kaki dari sosok bertubuh besar itu mendarat, satu tangannya yang tak menggenggam tongkat segera mencengkeram bagian belakang pakaian Regan, disentaknya ke belakang tubuh Regan, setelah itu langsung ia lepaskan kembali.

Hal itu terang saja membuat tubuh Regan tertarik dan meluncur kencang ke arah belakang.

“PUPUS LAMUNAN!!”
BRRUUUGGGGGHHHH

Sosok itu berteriak dengan lantang tepat ketika kedua kakinya mendarat di lantai. Bersamaan itu ia posisikan tongkatnya di depan tubuh, digenggam dengan kedua tangannya, kemudian ditancapkan keras-keras ke lantai.

PRRAAKKKHHHHH..
BBAAAAGGGHHH...

Bagian bawah tongkat besi itu pun menghujam lantai dengan keras, tepat ketika punggung Regan menghantam keras sesuatu yang tak kasat mata.

Ya.. tak kasat mata, sebab bagian pintu ruang yang seperti istana ini pun masih jauh di belakang pemuda itu, namun anehnya tubuh Regan justru berhenti meluncur karena menghantam sesuatu dengan keras, seperti ada sesuatu yang terbangun di sana.

Dan tepat saat itu juga, tepat ketika tubuh Regan berhenti meluncur, tepat ketika bagian bawah tongkat besi digenggaman sosok bertubuh tinggi besar itu mengoyak lantai. Tiba-tiba..

BBBBOOOOOOOOOOOOOMMMMMMM

Sebuah ledakan yang amat keras dan memekakkan telinga terjadi. Sentakkan energi yang begitu deras meletup ke sembarang arah, dengan pusatnya adalah bagian tongkat di tangan sosok yang baru datang tersebut. Angin yang amat kencang bak badai hebat seolah keluar dari arah tongkat itu tertancap. Bak menusuk sumber mata air, tongkat itu seolah melakukan hal yang sama, hanya saja yang keluar bukanlah air, melainkan angin hebat yang menderu-deru.

WWWUUUURRRHHHHHH...
WWWUUUURRRHHHHHH...

Kencangnya angin membuat sosok tinggi besar yang baru datang itu pun harus merendahkan tubuhnya, membuka kedua kakinya lebih lebar dengan satu kaki diposisikan agak ke belakang, sosok itu berusaha memasang kuda-kuda terbaiknya. Rambut dan jenggot sosok pemegang tongkat besi itu terlihat bergerak-gerak mengikuti sentakan angin, hal yang sama pun terjadi pada pria berkimono yang masih duduk di singgasana.

Angin kencang yang menderu membuat kimono pria itu berkibar-kibar seolah-olah siap terlepas kapan saja andai tidak diikat dengan benar.

Regan yang masih bingung akan apa yang terjadi saat ini, serta serbuan angin kencang yang menjelma bak badai tentu saja membuat pemuda itu reflek melindungi kepalanya. Tertelungkup dengan rasa sakit akibat denging di kepalanya yang tak kunjung selesai serta rasa takut yang mulai berkecamuk di dalam hatinya.

“Arrrgghh.. sekarang apa lagi!” Batin Regan dengan perasaannya yang bercampur aduk, antara rasa sakit, rasa takut, dan rasa lelah yang teramat sangat.

Dan seiring deruh angin yang memancar dari tancapan tongkat sosok yang baru datang tersebut, sesuatu yang amat aneh dan luar biasa pun terjadi.

Lantai di mana tongkat tersebut tertancap terlihat mengelupas bak kertas yang terbakar api, terangkat menjadi serpihan-serpihan kecil. Dan pengelupasan itu terus meluas dengan cepatnya, menyebar dari titik pusatnya menuju ke sepenjuru ruangan, terus mengelupas dan terus mengelupas hingga naik ke dinding-dinding, dan masih terus mengelupas hingga ke langit-langit ruangan ini.

Pengelupasan itu terjadi amat cepat, dan tak butuh waktu lama, pemandangan yang amat kontras pun terjadi.

Pengelupasan yang terjadi seolah menjadi pembuka tabir tempat ini, menampilkan keaslian tempat tersebut yang berbeda jauh dengan apa yang tadi tersaji.

Tak ada lagi ruangan megah nan mewah dengan kerlap-kerlip lampu benderang, berubah menjadi hamparan tanah tandus menghitam dengan pencahayaan yang sangat temaram. Langit-langit ruangan megah pun berganti menjadi hamparan langit yang sesungguhnya, dengan awan hitam mengungkung seisi langit. Debu berterbangan, hawa pengap menjalar ke inti-inti perasaan.

Serta yang tak kalah membingungkan adalah, ada pagar berbentuk jeruji besi yang mengungkung tubuh Regan dan tubuh pemegang tongkat tersebut dari empat sisi, dengan bagian atas jeruji besi itu yang amat tinggi menjulang, hingga tak terlihat bagian atasnya.

Mendapati perubahan hawa tersebut, Regan yang sedari tadi tertelungkup mulai mengangkat kepalanya, memandang sekeliling tempatnya tengkurap dengan pandangan bingung tak terkira.

“Di mana lagi ini? Errrghhh..” Batin Regan sembari menahan sakit dari denging yang masih merajam kepalanya.

Dan melihat Regan yang sudah mulai mengangkat wajahnya, sosok bertubuh tinggi besar dengan jenggot dan rambut panjang itu pun melepaskan genggamannya pada tongkatnya yang masih tertancap. Berjalan menuju Regan yang terlihat kepayahan bangkit.

Sedang Regan sama sekali tak menyadari bahwa sosok tersebut tengah berjalan ke arahnya, ia terlalu terfokus pada rasa sakit dari denging yang merajam seisi kepalanya serta kebingungan akan perubahan tempat yang ia alami saat ini.

Ya.. Regan berpikir bahwa ia berpindah tempat lagi seperti sebelum-sebelumnya, meski sejatinya, kali ini ia tidak kemana-mana, masih di tempat yang sama, hanya saja tempat itu yang berubah tampilannya.

Regan baru menyadari bahwa ada orang yang mendekatinya tatkala sepasang kaki berhenti tepat di depan wajahnya. Membuat pemuda itu menahan napasnya dan mengangkat wajahnya secara perlahan. Dan napasnya kian tertahan tatkala ia mendapati sosok bertubuh besar sudah berdiri di hadapannya, ia tak bisa melihat jelas sosok tersebut karena sosok tersebut seolah berdiri membelakangi cahaya, membuat Regan hanya bisa melihat hitam siluet sosok tersebut.

“Maafkan saya karena terlambat datang, Den. Saya akan membantu Raden..” Ujar sosok tersebut sedikit merendahkan tubuh serta menjulurkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke arah kening Regan.

Dan belum sempat Regan memberikan reaksi..

CESSSSHHHH..

Jari telunjuk dan jari tengah sosok tersebut sudah menempel tepat di bagian tengah kening Regan. Membuat Regan semakin tertegun seraya melepaskan napasnya perlahan, karena dari jemari sosok tersebut mengalir sebuah hawa dingin yang amat sejuk dirasakannya. Membuat Regan perlahan tanpa sadar menutup matanya, menikmati sejuk yang mulai menjalar di kepalanya.

Dan hawa sejuk itu, seolah menjadi penawar bagi denging menyakitkan yang sedari tadi merajam kepala pemuda tanggung itu. Perlahan demi perlahan, denging yang merajam kepala Regan mulai berangsur mereda, terus mereda dan terus mereda hingga hilang sepenuhnya.

Hingga dirasa cukup, sosok tersebut pun menarik jarinya dari kening Regan, menegakkan kembali tubuhnya. Dan Regan, merasakan denging di kepalanya sudah menghilang membuat pemuda tanggung itu pun perlahan membuka wajahnya. Membuang napasnya pelan, seraya bangkit dan berdiri dengan masih sedikit sempoyongan.

Dan begitu Regan sudah sepenuhnya mampu berdiri, di saat itu pulalah sang Putra Mahkota dari Purantara itu tertegun dengan wajah tertengadah, menatap wajah dari sosok di hadapannya yang ternyata memiliki tinggi dan besaran tubuh yang sangat tidak normal bagi Regan sendiri.

Bagaimana tidak, dalam posisi berdirinya saja, wajah Regan hanya berada sebatas perut bagian tas sosok tersebut. Itu belum lagi jika membandingkan lebar tubuh keduanya, dimana sosok tersebut memiliki lebar tubuh yang sama dengan dua tubuh Regan jika didirikan sejajar.

Sementara itu, melihat Regan yang sudah sepenuhnya berdiri dalam posisi tegapnya, membuat Sosok bertubuh tinggi besar itu segera memundurkan dua langkah kakinya, lalu dengan cepat segera menurunkan tubuhnya, berlutut dengan wajah yang ditundukkan dalam.

Dan meski sosok tersebut tengah berlutut, ukuran tubuhnya yang di luar normal membuat posisi kepala sosok yang tertunduk itu berada segaris dengan wajah Regan. Seolah Regan tak ubahnya seorang balita yang tengah berhadapan dengan pemain Basket yang memiliki tinggi tubuh yang menjulang.

“Raden Regan Denta Purnama.. Putra Raden Saka Agra Aliendra dan Raden Ayu Anggana Raras Rengganis.. Cucu dari Nyai Putri Cempaka Kemala Sari dan Mendiang Adipati Suratmajaya Di Ningrat.. juga Cucu dari Empuh Danurwenda Aliendra dan Nyi Anum Purbasari.. Serta Putra Mahkota dari Kesultanan Purantara yang Agung dan Abadi.. Mohon terimalah sembah sujud dari saya, Basu Senggana.” Ujar sosok tersebut berpanjang lebar dalam satu tarikan napas. Suaranya bergetar hebat ketika melafalkan kalimat demi kalimatnya, bahunya sedikit berguncang seolah tengah menahan keharuan yang amat dalam, semakin tertunduk dalam wajahnya saat ini.

Dan mendengar jabaran kalimat dari sosok di hadapannya yang baru pertama kali ia temui, namun mampu menyebutkan satu persatu nama anggota keluarganya dengan fasih dan lengkap tanpa kesalahan satu kata pun, tentu saja membuat seorang Regan Denta Purnama dibekap kebingungan hebat. Hatinya bergetar sendiri tanpa alasan, tenggorokkannya tercekat amat dalam.

“Basu Senggana.. keparat kau!”

Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah belakang makhluk besar tinggi yang menamai dirinya Basu Senggana tersebut, membuat Regan sedikit menggeser tubuhnya untuk dapat melihat ke arah di mana suara itu berasal karena ia merasa.. suara itu masih merupakan suara yang sama dengan suara pemuda aneh yang duduk di singgasana raja tadi.

Dan pemikiran sang Putra Mahkota itu ternyata benar, suara itu memang berasal dari sosok yang sama, hanya saja.. sosok pemuda itu kini tidak lagi duduk di singgasana megah, melainkan duduk di atas tumpukkan tengkorak kepala manusia yang berada di bagian luar kerangkeng besi ini. Sebelah kakinya ia angkat bak orang-orang yang tengah menikmati makanan di warung tegal.

Bukan itu saja, tak ada lagi jubah kimono putih yang membalut tubuh pemuda itu.. sebab saat ini pemuda itu hanya mengenakan sebuah celana panjang berwarna hitam, sedang bagian atas tubuhnya tidak dibalut apa-apa bertelanjang dada.

Ditambah.. ternyata tato pria itu bukan hanya di wajah saja seperti yang Regan lihat sebelumnya, tetapi juga di bagian-bagian tubuhnya yang lain..



HD-wallpaper-sukuna-jujutsu-kaisen-demonio-itadori.jpg

ASURA


Tatapan pemuda itu pun tajam menghujam, seolah dipenuhi amarah, kebencian dan dendam yang sudah menggunung.

“Cepat kembali ke sini, atau aku akan benar-benar mencabik tubuh lemahmu itu bocah bodoh!” Geram pemuda bertelanjang dada itu sembari mengarahkan jari telunjuknya ke arah Regan, membuat sang putra mahkota itu harus menelan ludah saking ngerinya.

“Jaga ucapanmu dan turunkan telunjuk mu sekarang juga, Asura..” Sahut Basu Senggana sembari bangkit dari posisi bersimpuhnya, lalu memutar tubuhnya menghadap ke arah yang sama di mana regan menatap.

30-300478_hanuman-wallpaper-hd.jpg

BASU SENGGANA



Membuat mata Basu Senggana langsung bersitatap dengan mata pemuda yang sedari tadi dipanggilnya dengan nama Asura. Kebencian terlihat jelas dari raut wajah Asura, sedang Basu Senggana.. ia hanya menatap datar sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Dan mendapati kedua sosok aneh itu bersitegang dalam tatapan, Regan sang putra mahkota hanya bisa mengernyit bingung..

Siapa sebenarnya mereka ini?”



Bersambung..
 
Terakhir diubah:
Punten suhu-suhu, selamat malam.. salam hormat sebelumnya. Berikut terlampir bagian 20 dari thread LAKUNA, sekaligus menandai selesainya masa hiatus saya. Selamat menikmati, dan mohon maaf jika dirasa ada kekurangan di sana sini 🙏

Ditunggu saran dan kritiknya, dan diskusi juga dipersilahkan.

Oh iya, ada episode spesial (di luar Bab utama) yang sudah saya persiapkan dan akan saya rilis jika page sudah tergeser ya. So.. silahkan komen.

(Percayalah.. komen dan tanggapan kalian, adalah bahan bakar utama cerita ini.)
 
Terakhir diubah:
Makasih updatenya

Sayang banget Hani mesti melakukan jurus ilmu yang berbahaya, semoga saja dia selamat.

Bagian Flashback Regan menarik banget nih, seakan membuka tanda tanya chapter-chapter sebelumnya tentang masa lalu Regan.
Tapi sayangnya malah didalam tubuh Regan ada 2 sosok lain lagi, eh benarkan ada 2. Apa hanya ada satu. Saking serunya mesti dibaca ulang lgi nih chapter ini. Panjang banget hahaha

Update spesial tentang masa lalu Regan kah?

Ditunggu kelanjutannya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd