Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Last Seraph

Lore III:
Cunning Guy from Nowhere









Kelas, atau bisa disebut juga profesi, adalah pengelompokan khusus yang mengajarkan keahlian atau keterampilan tertentu bagi siapapun yang tergabung ke dalam kelompok tersebut. Di benua Terraria sendiri terdapat ratusan jenis profesi yang bisa dipilih. Biasanya, para penghuni benua Terraria akan memilih salah satu profesi yang dirasa cocok bagi mereka sebagai modal untuk bertahan hidup di lingkungan yang keras.

Misalnya, jika seseorang ingin menjadi seorang Knight, dia akan memfokuskan latihan menggunakan senjata dan mengikuti ujian perekrutan Knight yang diselenggarakan oleh tiap-tiap kerajaan. Begitu pun bagi para pemula yang ingin belajar sihir. Mereka akan belajar di akademi sihir dan jika lulus ujian, mereka resmi menjadi seorang Mage. Selain itu, bagi mereka yang tidak ingin terikat dengan sistem kerajaan, bisa memilih menjadi seorang Warrior dengan bergabung ke guild tersebut.


Guild sendiri berperan sebagai organisasi yang membawahi suatu profesi yang menjadi ciri khas guild tersebut. Contohnya, seperti Thief Guild yang biasanya bermarkas di bagian-bagian kumuh dari suatu kota besar, yang menaungi dan membawahi para pencuri yang terdaftar di guild itu. Selain itu, ada pula guild yang berfokus sebagai organisasi para pembunuh bayaran, Assassin Guild. Organisasi ini adalah salah satu guild paling berbahaya dan misterius di Terraria, dan keberadaannya selalu sulit dilacak oleh para ksatria kerajaan. Para anggotanya juga selalu bergerak di balik layar, bersembunyi dalam bayang-bayang dalam setiap misinya.

Karena informasi mengenai para Assassin sangat minim, membuat banyak rumor asal yang beredar mengenai mereka yang disebarkan dari mulut ke mulut. Sebut saja rumor yang mengatakan bahwa para Assassin adalah pembunuh sadis yang akan membunuh siapa pun yang mereka temui. Rumor ini cukup terkenal, sehingga bagi siapapun yang ketahuan bahwa mereka adalah Assassin, maka akan diserang, ditangkap dan diadili oleh warga sekitar.

Tapi dari sekian banyak rumor yang beredar, dua fakta yang pasti; para Assassin selalu mengutamakan keberhasilan misi, dan kenyataan bahwa mereka menjalani latihan sangat berat yang tidak bisa ditanggung oleh orang biasa, sehingga membuat mereka mempunyai kemampuan bertarung sangat hebat. Fakta ini yang membuat Nier yakin, bahwa Helena bisa dia andalkan untuk membantunya berburu naga saat ini.

“Kalau perburuan ini berhasil, kita akan jadi kaya, Helena,” ucap Nier, sembari menggenggam kapaknya erat-erat.

“Sebaliknya, kalau gagal, nyawa kita jadi taruhannya.”

Nier terkekeh geli. “Pertaruhan yang setara, bukan?”

“Ga pernah ada pertaruhan setara kalau menyangkut nyawa, Nier.” Helena sekali lagi mengintip sang naga yang sedang berjaga di mulut gua, dari balik pohon. “Kemungkinannya, kondisi fisik Rathalos ga seburuk Rathian, jadi amat sangat mungkin kalau perlawanannya akan sengit. Kamu siap?”

Nier menatap Helena dengan pandangan penuh percaya diri, sembari dilepaskannya rantai besi yang selama ini membelit tangannya. “Selalu. Aku akan maju duluan. Saat aku mengalihkan perhatiannya, kamu bisa menyerang naga itu dari belakang, Helena,” ucap Nier, sebelum memberi aba-aba, “oh iya, incar bagian perut dan leher bawahnya, karena di bagian itu—”

“—Ga ada sisik kerasnya, jadi cukup lunak untuk ditembus senjata. Aku tahu,” potong Helena.

Nier tersenyum lebar. Dalam hatinya, dia merasa lega karena Helena ternyata memang benar-benar bisa diandalkan. Maka, Nier memberi aba-aba dalam hitungan mundur dari angka tiga. Pemuda itu berbisik amat pelan. Lalu, ketika Nier membisikkan angka satu, Helena langsung melompat ke satu dahan pohon, lalu ke dahan lainnya. Sampai akhirnya, Helena melompat tinggi dan sangat jauh ke depan. Gerakannya nyaris tanpa suara.

Melihat itu, Nier langsung bergerak cepat keluar dari balik hutan. Dia segera melemparkan kapaknya ke arah Rathalos. Kapak itu melesat di udara, berputar cepat menuju targetnya.

Rathalos yang tidak menduga akan diserang secara mendadak, harus menggunakan seluruh refleksnya untuk mengantisipasi serangan yang datang. Dalam waktu yang amat singkat, dirinya memfokuskan penglihatannya pada kapak yang berputar-putar di udara untuk mempelajari jalur lemparan kapak Nier. Lalu, Rathalos memiringkan lehernya hingga menyentuh tanah, dan membiarkan kapak Nier lewat di atasnya. Tapi Rathalos kaget, karena setelah kapak besar itu lewat, hanya berselisih satu detik, Nier sudah berada di atas kepalanya.

Rupanya, Nier mengikatkan rantai besi miliknya di gagang kapak. Sehingga ketika kapaknya melesat di udara, tenaganya cukup besar untuk menarik tubuh Nier dan ikut terbang melesat menuju Rathalos. Nier pun berhasil menghentikan kapaknya di udara, dan momentum dirinya berada di udara dia manfaatkan dengan menarik kapaknya hingga berhasil dia genggam kembali. Lalu, dia mengayunkan kapaknya, terarah ke leher Rathalos yang terbuka.

Serangan itu tidak dapat Rathalos antisipasi. Naga itu hanya bisa menatap pasrah saat kapak Nier terayun cepat untuk menebas lehernya.

Tapi Nier tiba-tiba memutar tubuhnya, sehingga kapaknya mengayun melewati atas leher Rathalos, lalu terus memutar ke arah atas. Tepat di atas tubuh Nier, Helena sedang menukik untuk menancapkan kedua pedang pendeknya ke leher sang naga. Nier langsung menggunakan sisi datar dari kapaknya untuk menangkis hunusan pedang Helena.

Pemuda itu pun terdorong, hingga menimpa leher dan kepala Rathalos. Membuat keduanya mencium permukaan tanah dengan keras.

Sebaliknya, Helena mendarat dengan mudah, dan sebelum sang naga bisa menguasai keadaan, gadis itu melesat maju dan kembali menghunuskan pedangnya. Ada sedikit keraguan dalam benak Helena, sehabis kejadian Nier menangkis serangannya. Tapi dia kembali fokus, dan memutuskan untuk bertanya kepada Nier setelah menghabisi naga itu.

“Helena, tunggu!” Nier kembali menangkis serangan Helena, lalu mendorong gadis itu hingga mundur. Kemudian, Nier berjaga-jaga di depan Rathalos agar Helena tidak menyerangnya kembali. “Tahan seranganmu!”

Kini, Helena yakin yang dilakukan Nier bukan suatu ketidak-sengajaan. Pemuda itu dengan jelas sedang melindungi sang naga. “Apa maksudnya ini, Nier? Ada hal disini yang belum aku mengerti?” tanya Helena, sembari mengangkat kedua alisnya.

“Ada banget!” Nier merentangkan satu tangan, sebagai gesturnya untuk meminta Helena menahan diri. “Makanya, tunggu dulu. Aku mau jelasin.”

Helena mengernyitkan kening. “Apa yang perlu dijelasin?”

“Soal berburu naga, itu cuma bohong aja. Tujuanku sebenarnya ngajak kamu itu, karena aku butuh bantuan untuk melindungi Rathalos dan Rathian.”

Helena tidak lantas mengendurkan kewaspadaan setelah mendengarkan penjelasan Nier. Baginya, kata-kata Nier terdengar tidak masuk akal. Bagaimana mungkin makhluk sekuat naga butuh dilindungi? Tapi gadis itu tidak juga menemukan celah untuk menyerang Nier dan juga Rathalos di belakangnya. Helena bisa menganalisis, bahwa Nier terlihat seperti mengendurkan pertahanannya, tapi sebenarnya, pemuda itu dalam posisi sempurna untuk melancarkan serangan balik jika ada serangan yang ditujukan padanya.

“Lalu, yang barusan itu maksudnya apa? Kenapa kamu pura-pura menyerang Rathalos kalau memang punya maksud melindunginya?”

“Itu...,” Nier menggaruk kepala. Sembari tersenyum kikuk, dia berkata, “Itu cuma tes. Aku penasaran dengan kemampuanmu. Aku pikir, kamu ga secepat itu, Helena. Tapi saat aku melihat kamu lompat tinggi untuk menyerang Rathalos dari udara, saat itu aku tahu aku harus menyudahi tes konyol ini.”

“Iya, memang konyol. Banget.” Helena menatap Nier, tajam. “Waktumu satu menit untuk merangkai penjelasan,” ucapnya, ketus.

“Nier,” Rathalos menggeram, seraya menyebut nama pemuda itu, “I ma yrros rof gnivig uoy hcus yrasrevda.”¹

“Si ti enif. I lliw eldnah siht,”²
balas Nier, menggunakan bahasa yang sama.

Helena terkejut karena Rathalos berbicara menggunakan bahasa naga, dan lebih terkejut lagi karena Nier ternyata juga bisa menggunakan bahasa yang sama. Adalah hal yang langka bagi naga untuk berbicara kepada manusia, dan manusia yang bisa menggunakan bahasa naga adalah hal yang jauh lebih langka. Helena semakin bertanya-tanya dalam hati, tentang siapa Nier sebenarnya.

“Seperti yang kamu lihat, aku ga punya tendensi untuk membunuh naga-naga ini, Helena. Justru, aku ingin melindungi mereka dari para petualang yang mengambil misi berburu Rathalos dan Rathian. Para petualang itu akan datang ga berapa lama lagi, dan aku pasti akan kesulitan kalau melindungi mereka sendirian.”

“Tapi untuk apa melindungi naga-naga ini?” tanya Helena.

Tiba-tiba, dua ekor naga kecil yang merangkak keluar dari dalam gua seakan menjawab pertanyaan Helena. Kedua naga kecil itu menghampiri Rathalos, lalu bersandar manja padanya. Rathalos pun menggunakan salah satu sayapnya untuk menaungi kedua anaknya, sebagai sikap melindungi.

“Rathian baru menetaskan anak-anak mereka dari telur beberapa minggu lalu. Sejak melahirkan, kondisi Rathian memburuk. Naga itu sudah tua, Helena. Melahirkan di umur tua hanya memperburuk keadaannya. Naga betina itu sedang diambang kematiannya. Jadi, Rathalos memutuskan untuk menjadikan gunung ini sebagai sarang terakhir Rathian, sebelum Rathalos dan kedua anaknya pergi mencari sarang baru setelah Rathian mati.

“Apesnya, Rathalos terlihat oleh penduduk desa yang sedang mencari kayu bakar di gunung, beberapa hari lalu. Rumornya pun menyebar cepat. Sisanya seperti yang kamu ketahui; banyak petualang berdatangan ke desa Gorvik. Aku yang juga mendengar rumor yang sama, segera pergi ke puncak gunung untuk memastikan kebenarannya.”

Nier bercerita, bahwa Rathalos sangat agresif saat pertama kali bertemu dengannya. Kalau saja Nier tidak bisa bahasa naga, niscaya pemuda itu sudah menjadi daging panggang saat itu. Setelah berhasil meyakinkan kedua naga itu bahwa dia tidak punya maksud buruk, Nier memberitahukan Rathalos dan Rathian, bahwa akan ada ekspedisi besar-besaran dari para petualang ke gunung Morghr untuk memburu naga. Dalam kondisi normal, Rathalos dan Rathian sudah pasti akan pindah dan memilih sarang baru, tapi kondisi Rathian tidak memungkinkan. Sedangkan Rathalos tidak bisa meninggalkan pasangannya sendirian, lagipula anak-anak mereka belum bisa terbang.

“Jadi, aku menawarkan diri untuk melindungi mereka sampai Rathalos bisa membawa anak-anaknya pergi dari gunung ini. Lalu, aku pun mengatur strategi. Dengan asumsi bahwa para petualang hanya mengetahui ada satu naga yang berkeliaran, aku meminta Rathalos untuk mulai berburu hewan ternak di padang Tarbush, alih-alih berburu hewan di gunung. Ini untuk membangun asumsi para petualang, bahwa hanya ada satu naga, dan area berburunya adalah di padang Tarbush. Dengan begitu, mereka akan fokus berburu di padang, dan aku bisa mengalihkan gunung Morghr dari menjadi area berburu mereka.”

Helena tertegun sejenak. Selama dia bekerja di tavern, dia memang selalu melihat Nier setiap malam selama beberapa hari terakhir. Pemuda itu selalu duduk sendirian. Sikapnya terlihat cuek, tapi sebenarnya menyimak betul apa yang para petualang obrolkan.

“Tapi semakin banyak petualang yang curiga tentang sarang Rathalos. Mereka beberapa kali menyebut gunung ini sebagai dugaan mereka akan sarang sang naga. Aku ga bisa menahan strategi itu terlalu lama. Makanya, aku kembali ke gunung, lalu meminta Rathian untuk muncul. Aku ingin agar para petualang itu akhirnya berpikir ada dua naga, dan saat mereka sadar, aku meminta Rathalos dan Rathian membakar padang Tarbush.

“Para petualang itu sudah menggodok strategi mereka untuk bertarung keroyokan melawan satu naga. Tapi bagaimana jika menghadapi dua naga? Tentu aja, mereka ga akan punya strategi matang dalam waktu singkat. Itu yang aku incar. Penyusunan strategi yang prematur hanya akan mengantarkan mereka pada kematian.

“Kejadian di padang Tarbush buktinya. Jumlah mereka berkurang drastis, dan jika ada pasukan lain yang menyerbu gunung ini pun, jumlahnya ga akan signifikan. Sedangkan untuk memanggil bantuan pun butuh waktu berhari-hari, sementara aku bisa membaca pikiran mereka yang ga ingin melewatkan kesempatan menghabisi naga yang sedang kelelahan. Kalau perhitunganku tepat, mereka sedang dalam perjalanan ke sini, dengan pesertanya para petualang yang tersisa dari pertarungan di padang Tarbush.”

Helena kembali mengernyitkan kening. “Bukannya kamu terlalu pintar untuk ukuran seorang petualang, Nier?” Gadis itu menggelengkan kepala, merasa tak habis pikir dengan rencana Nier. “Lalu, racun yang kamu oles di senjatamu, itu bukan untuk membunuh naga?”

Nier seketika tersenyum. Tentu saja, dia juga berasumsi Helena mengetahui apa yang sedang dia lakukan saat dirinya sedang menumbuk tanaman-tanaman itu tadi. Tapi saat mengetahui asumsinya tepat, menjadi kepuasan tersendiri bagi Nier.

“Ini... cuma untuk melukai Rathian.”

“Melukai?” Helena tampak bingung, “katamu akan melindungi naga-naga ini?”

“Rathian sedang sekarat, Helena. Sebentar lagi, naga itu akan mati. Berhasil atau tidaknya aku melindungi naga-naga ini, Rathian pasti akan mati, dan kemungkinan terburuknya, mayatnya akan diklaim oleh para petualang. Kamu dengar sendiri kan, mereka mau menggunakan mayat naga untuk apa? Jadi baju zirah dan senjata.”

“Jadi?”

“Jadi aku akan meracuni Rathian, dengan membuat luka gores memakai kapak ini. Racun dari campuran bunga Olivander, Night Lily dan Whithermore akan mengalir di seluruh tubuh Rathian, membuat tubuhnya membusuk dengan cepat sehingga ga ada material di tubuhnya yang bisa dimanfaatkan orang-orang itu.”

Sekali lagi, Helena menggelengkan kepala. Dia tak habis pikir, kenapa pemuda itu bisa bertindak sejauh ini hanya karena berempati terhadap sepasang naga beserta anak-anaknya. Dari beberapa orang klan Silverhart yang pernah dia temui, Nier adalah yang paling aneh, yang mau-maunya membantu monster dengan sukarela.

“Tadi kamu bilang butuh bantuan. Pertanyaannya, kalau aku ga mau membantu, apa yang akan kamu lakukan, Nier?” tanya Helena.

“Aku akan berjuang sendiri. Tapi aku harap, kamu ga membantu para petualang itu. Aku lebih baik melawan para petualang amatiran itu, daripada melawan satu Assassin sepertimu.”

Helena spontan mengangkat kedua alisnya. “Melawan segitu banyak orang? Jangan gila.”

“I ma ereh ot pleh mih, gnuoy lrig,” timpal Rathalos, seraya menatap tajam Helena. Nier kemudian menjelaskan bahwa Rathalos akan membantu mereka.

Rathalos kemudian berdiri tegak. Sang naga menatap lurus, ke arah kaki gunung. Lalu, dia menggeram kesal karena dia melihat sesuatu di ujung jarak pandangnya. Naga mempunyai jarak pandang yang lebih jauh daripada manusia. Karena itu, Rathalos mampu melihat arak-arakan pasukan yang bergerak di kaki gunung, berkilo-kilometer jauhnya di bawah sana. Arak-arakan dari para petualang yang tersisa, bergabung dengan para petualang yang baru tiba di desa.

“Apa yang aku dapat kalau membantumu?” tanya Helena.

Nier mengulas satu senyum licik yang lebar. “Harta rampasan perang dari para petualang yang 'pensiun',” Nier mengacungkan dua jari dari kedua tangannya, “Gimana?”

Helena berhitung cepat. Senjata, baju dan perbekalan yang dibawa petualang biasanya bernilai tinggi. Setidaknya, untuk petualang pemula sekalipun, peralatannya bisa dijual sampai dua keping emas. Jika mereka bisa mengumpulkan harta rampasan perang dari puluhan petualang, ratusan keping emas bisa mereka dapat dengan mudah.

Helena pun mendekati Nier, seraya berucap, “Oke. Aku sepakat.”

“Bagus!” Nier lalu beranjak ke kepala Rathalos. Membisikinya sesuatu, dan setelahnya, Rathalos tersenyum sama liciknya dengan Nier.





Berg memutuskan untuk bergabung dengan para petualang untuk berburu naga di gunung Morghr. Meskipun dia telah melihat dampak kerusakan yang ditimbulkan sepasang naga itu di padang Tarbush, tetap tidak mengecilkan niatnya untuk mencari Helena.

Firasatnya mengatakan, Helena ada di puncak gunung. Firasatnya diperkuat dengan penemuan jejak kaki milik dua orang yang berjalan memasuki gunung. Salah satu jejak kakinya berukuran kecil. Berg begitu mencintai Helena, hingga dia hafal betul ukuran kaki gadis itu.

Tapi Berg bukanlah petualang. Dia juga tidak mempunyai keahlian bertarung dan menggunakan senjata, dan para petualang merasa kesal padanya karena memaksa ikut dan berpotensi membahayakan dirinya sendiri dan para petualang. Berg yang nekat, meyakinkan diri bahwa dia bisa berguna. Maka, sebagai syarat bergabung dalam pasukan, pemuda itu diharuskan membawa peralatan milik para petualang.

“Petualang berambut perak itu sudah tahu kalau naganya ada di puncak gunung!” teriak salah satu petualang, sembari mengikuti jalur setapak di kaki gunung. Di belakangnya, Berg berjalan susah payah sembari menggendong tas berisi peralatan dan perbekalan para petualang.

“Dan dia tidak mau membagikan informasi itu kepada kita. Dia mau hadiahnya untuk dirinya sendiri,” timpal yang lain.

Salah satu petualang pemula mengernyitkan dahi. “Memangnya apa yang bisa dilakukan seorang petualang menghadapi dua ekor naga?”

“Dia menunggu naga-naga itu kelelahan, lalu melancarkan serangan kejutan. Trik yang licik!” sahut petualang lain. Dia meludah kencang, sembari memamerkan ekspresi jijiknya. “Dari awal, memang sudah seharusnya kita bantai saja petualang dari klan Silverhart itu.”

Berg yang hanya menyimak obrolan, jadi penasaran, apa Helena tertarik pergi ke puncak gunung untuk memburu naga karena terhasut oleh petualang berambut perak di tavern itu? Pemuda itu tahu, bahwa Helena adalah salah seorang keturunan klan Silverhart, dan meski tidak diterima dengan baik di desanya, tapi Helena diizinkan tinggal di sana. Selama tinggal pula, Helena belum pernah bertemu dengan klan Silverhart lain. Mungkin karena mereka berasal dari klan yang sama, jadi Helena mudah mengikuti kata-kata petualang itu.

Sejauh yang Berg ingat, Helena tiba di desanya sekitar empat tahun lalu. Saat tiba, kondisi gadis itu memprihatinkan; kurus kering, tak terawat, dan penuh luka cambukan di sekujur punggungnya. Berg yang saat itu bekerja untuk kepala desa, merasa kasihan terhadap Helena dan meminta kepala desa untuk merawatnya. Meski, permintaan Berg ditentang oleh sebagian besar penduduk desa karena mengetahui kalau Helena adalah seorang Silverhart.

Tapi Berg bersikeras. Dia jatuh cinta pada Helena sejak pandangan pertama. Pemuda itu bahkan rela menukar sebidang tanah warisan dari mendiang kedua orangtuanya dengan Helena, kepada kepala desa. Kepala desa pun menyetujui permintaan Berg, dengan dua syarat; Berg yang menanggung biaya hidup Helena, dan Helena yang harus tinggal di rumah kepala desa untuk bekerja menjadi pembantu di rumahnya. Syarat ini, meski berat hati, disetujui oleh Berg.

Seiring waktu Helena tinggal di rumah kepala desa, perlahan kondisinya pun membaik. Gadis itu bahkan menjadi gadis paling cantik di desa Gorvik. Berg yang tidak ingin didahului pemuda lain, menyatakan cinta kepada Helena, dan diterima gadis itu dengan senang hati. Mereka pun resmi menjadi pasangan kekasih, dan memutuskan untuk menikah.

Tapi semakin lama Helena tinggal di rumah kepala desa, rumor miring tentangnya semakin berhembus kencang. Beberapa warga pernah mendengar suara desahan yang berasal dari rumah kepala desa, sisanya ada yang memergoki Helena sering keluar-masuk kamar kepala desa. Berg tutup mata terhadap rumor-rumor itu. Baginya, dia hanya ingin fokus kepada hubungannya dengan Helena, dan target menikah mereka.

Sejujurnya, Berg ingin penilaiannya terhadap Helena hanya yang baik-baik saja. Tetapi rumor-rumor yang beredar, membuat keyakinannya goyah. Maka, dia ingin menemui Helena sekali lagi, untuk meminta keseriusan gadis itu jika ingin hidup berdua dengannya. Setelah urusan naga ini selesai, Berg akan mengajak Helena pergi berdua, meninggalkan desa.

Atau seperti itu rencananya, jika berhasil selamat dari perburuan ini. Tapi seekor naga yang tiba-tiba terbang rendah dari arah puncak gunung dengan kecepatan tinggi di atas para petualang, membuat Berg merasa bahwa impiannya untuk hidup berdua dengan Helena terasa jauh untuk digapai. Maut berada lebih dekat dengannya daripada Helena.

“Nagaaaa!” teriak seorang petualang, yang langsung direspon oleh rombongan.

Para petualang segera bersiap. Mereka menggenggam senjata dan perisai mereka, lalu membentuk formasi dan memfokuskan diri ke sang naga yang terus terbang menjauhi mereka, ke arah kaki gunung. Tak berapa lama, suara ledakan dan pohon-pohon yang terbakar menghampiri telinga mereka. Naga itu sedang membakar hutan di kaki gunung.

“Rathalos itu memblokir jalur pulang kita!”

“Sialan! Kenapa naga itu begitu cerdik?!”

Rutukan amarah dan panik memenuhi hutan. Para petualang semakin bingung saat melihat kobaran api dengan cepat menjalar ke tengah hutan. Api-api jingga yang menyalak segera mencapai mereka. Dilanda kepanikan, para petualang segera berlari ke arah puncak, berusaha menghindari api.

Di kejauhan, dari atas pohon Nier menatap senang saat melihat para petualang berlarian ke arahnya. Lalu pemuda itu segera turun, dan memberitahu Helena untuk bergerak.

“Sekarang saatnya! Robohkan tanggul-tanggul itu, Helena!”

Sebelumnya, Nier, Helena dan Rathalos membagi tugas untuk membuat jebakan bagi para petualang yang akan datang. Rathalos menebang beberapa pohon besar dan merebahkannya di tanah, sementara Nier dan Helena membuat tanggul dari pohon-pohon lain. Saat tanggul-tanggul itu dirobohkan, pohon-pohon besar yang ditebang Rathalos akan menggelinding karena posisi permukaan tanah yang landai.

Nier dan Helena dengan cepat merobohkan tanggul-tanggul pohon, dan dengan mudah pohon-pohon besar itu menggelinding turun. Akibat berat pohon yang masif, kecepatan menggelinding dan dibantu gravitasi, pohon-pohon besar itu ikut merobohkan pohon-pohon di bawahnya yang masih berdiri tegak saat pohon-pohon itu bertubrukan. Efeknya, semakin banyak pohon rubuh yang menggelinding ke bawah.

Para petualang yang berlarian ke arah puncak, tiba-tiba mendengar suara gemuruh yang semakin lama terdengar semakin jelas. Mereka pun dengan cepat menyadari bahwa puluhan pohon besar sedang menggelinding kencang ke arah mereka. Para petualang di barisan depan hanya bisa melihat dengan mata melotot, saat pohon-pohon itu menubruk tubuh mereka dengan keras. Pohon-pohon itu juga melindas tubuh mereka, serta membawa paksa mereka turun gunung.

Tidak berhenti sampai di situ, pohon-pohon yang menggelinding itu bahkan terus menggelinding di kobaran api yang membakar hutan, mengakibatkan batangnya berselimut api. Pohon-pohon itu terus menggelinding sampai ke kaki gunung, hingga menghantam desa Gorvik yang berada tepat di akhir jalur itu. Puluhan pohon menghantam bangunan-bangunan desa dan sekaligus warganya. Api yang dibawa pohon-pohon itu juga menyambar ke bangunan yang ditabraknya, dan api dengan cepat menjalar ke sekitar. Desa Gorvik hancur dalam sekejap mata, berikut sebagian hutan gunung Morghr di atasnya.

“Pemandangan yang menakjubkan,” ucap Nier sembari bersiul dari atas pohon.

Nier dan Helena dengan cepat bergerak turun untuk menyisir pasukan petualang yang masih hidup. Sebagian besar sudah tewas, dan sisanya sedang meregang nyawa saat Nier dan Helena berjalan melewati mereka. Sementara Rathalos terbang rendah sembari mengepakkan sayapnya untuk memadamkan api di hutan.

“Ini yang aku janjikan, Helena,” ucap Nier saat melihat senjata dan perlengkapan milik para petualang, “harta rampasan perang.”

“Strategimu ga buruk,” balas Helena sembari tersenyum kecil.

Lalu, langkah gadis itu berhenti saat melihat seorang pemuda yang tengah bersandar pada sebuah pohon dengan perut dan dadanya yang sedang terhimpit batang pohon lain. Pandangan pemuda itu kosong, dengan darah yang terus mengalir dari celah bibirnya. Helena pelan-pelan mendekati pemuda itu, lalu berjongkok dan mengelus rambutnya.

“Hei, Berg. Ini aku, Helena.” Dia mengucap lembut di telinga Berg.

Berg yang sedang sekarat, hanya bisa mencari-cari sosok Helena dengan kedua matanya yang pandangannya telah begitu kabur. Samar, dia melihat wajah Helena.

“Hele... na... a... ku....”

Helena mengecup lembut bibir Berg, merasakan aroma anyir darah yang tertransfer ke bibirnya. “Ga apa-apa, Berg. Tidur, ya? Ga apa-apa... ga usah dilawan ngantuknya....”

“A... ku... mau... kita....”

“Berg,” Helena merangkul lalu mengusap rambut tunangannya dengan lembut, “terima kasih sudah baik kepadaku selama ini. Tapi maaf, kita ga bisa bersama.”

Lalu, gadis itu melepas rangkulannya, dan pergi meninggalkan Berg. Pemuda itu kembali sendirian, menunggu maut menjemput. Berg yang malang, terombang-ambing dalam rasa kesakitan dan kecewa di penghujung hidupnya.

Sementara itu, setelah berhasil memadamkan api yang membakar hutan, Rathalos turun menghampiri Nier dan Helena. Sang naga mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka, dan berjanji, bahwa jika mereka membutuhkan bantuan, maka naga itu akan menghampiri mereka, tidak peduli seberapa jauh jarak di antara mereka.

“Og, Rathalos. Eht regnol uoy era ereh, eht esrow ruoy efil nac eb,” ucap Nier, memperingati Rathalos akan bahaya dari pasukan susulan yang kemungkinan tinggi akan memburu mereka dalam waktu dekat.

Rathalos mengangguk, lalu mengepakkan sayapnya, terbang tinggi menuju puncak gunung. Tidak ada perpisahan yang mengharu biru diantara mereka, karena baik sang naga maupun Nier yakin, bahwa mereka akan bertemu kembali, suatu saat nanti.

Setelah Rathalos pergi, Nier berkali-kali menghela nafas panjang. Lalu, pemuda itu mendekati Helena, sembari menggaruk-garuk kepala. “Kayaknya, kita butuh waktu untuk menjual semua barang-barang ini.”

“Karena?”

Nier menunjuk ke arah desa Gorvik yang kini sudah porak-poranda. “Desanya ikut hancur. Kita ga bisa jual ke desa, jadinya.”

“Klise.” Helena menghembuskan nafas panjang. “Ambil saja beberapa yang kelihatan berharga, secukupnya. Buat modal perbekalan petualangan kita.”

“Kita?”

“Iya. Kita berdua. Siapa lagi? Rumahku sudah hancur, dan aku ga punya tempat tinggal lain. Jadi, kemana pun kamu pergi, aku ikut.”

Nier menghela nafas panjang. “Kamu yakin? Perjalanan ini bisa jadi sangat berbahaya, loh.”

“Aku sadar... kalau aku ga pernah bisa hidup normal, Nier. Jadi, seberbahaya apa pun perjalanannya, aku terima resikonya. Ajak aku.”

Nier melihat kesungguhan pada sorot mata Helena. Dia pun berpikir, menambah satu teman perjalanan yang hebat tidak akan membuatnta rugi. Apalagi teman perjalanannya adalah seorang Assassin.

“Jadi, kemana tujuan selanjutnya?” tanya Helena, sembari mencari beberapa perlengkapan milik para petualang yang tewas.

“Hmm,” Nier tiba-tiba teringat sesuatu, “ada festival yang akan diselenggarakan di kota Borrowin. Arahnya tenggara dari sini. Tertarik?”

“Ikut.” Helena mengumpulkan beberapa perlengkapan yang dia ambil, lalu sembunyi di balik semak-semak. Tak berapa lama, dirinya muncul kembali, sembari menunjukkan penampilan barunya kepada Nier.



–Helena–

“Dengan begini, aku sudah lebih cocok untuk jadi petualang, kan?”

Nier tidak berkata apa-apa, tapi dalam hati, dia menyetujui pikiran mesumnya sendiri yang berkata bahwa Helena terlihat seksi dengan pakaian barunya.










•••


Catatan Kaki:


“Maaf karena aku telah memberimu kesulitan.”¹

“Tidak apa-apa. Aku akan mengatasi ini.”²
 
Terakhir diubah:
cerita keren yang hilang begitu saja... :galau: tapi emang berat sih nulis cerita genre epic fantasy begini :ngeteh:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd