Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Lembutnya Ibuku.

Jembutnya Ibuku... eeh.. :bata:

Lembutnya Ibuku..
RINI
KrmCAPt.jpg
 
EMPAT

Seperti yang sudah diminta sebelumnya, malam itu aku sudah bersiap memijiti ibu di atas karpet didepan TV seperti kemarin malam. Diawali dengan becandaan-becandaan ringan diantara kami.

"Ibu udah siap nih dipijit. Kamu udah siap mijit belum ?"
"Udah dong bu" sambil nyengir.
"Ih kok kegirangan gitu kalau mijitin ibu ?"
Tentu saja aku sedikit malu dengan becandaan ibu yang benar adanya. Jadi aku cuman salah tingkah saja tidak bisa menjawab.
"Hahaha...... malu ya ketahuan seneng" kata ibu sambil mencubit perutku keras sekali.
"Aduuuh ibuuu....... " jeritku pura-pura
"Kenapa ???"
"Enak......" jawabku.
Dan mendaratlah cubitan ibu di perutku yang kedua kali dan kamipun tertawa berderai bersama.

Ibu pergi ke kamar, dan aku berdebar-debar menanti ibu keluar dengan dasternya yang cantik. Namun ketika ibu keluar dari kamar sambil membawa bantal, aku merasa bingung. Hal yang membingungkan adalah ibu malam itu belum berganti Hijab syar'i nya bekas tadi mengajar ngaji di mesjid. Lengkap dengan hijab panjang dan gamis panjang sampai mata kakinya dengan warna hitam.
"Ibu ngga ganti baju dulu sama daster?" tanyaku mancing-mancing.
"Ngga... ibu pakai ini aja, kamu mijit kaki ibu kan tetep bisa walaupun ibu pakai gamis begini".

Yahhhh..... aku kecewa berat. Apakah ibu tahu bahwa kemarin malam aku memijiti sambil menggerayanginya ? Aku khawatir sekali, tapi dari sikapnya yang tak berubah tetap sayang dan penuh bercanda kepadaku, rasanya tak mungkin ibu tahu.
Yang jelas aku malam itu memijiti ibu dengan perasaan kentang, seperti suhu-suhu semua yang sekarang ini sedang kentang.



*****

Perkenalanku pada majalah porno di sekolah pada akhirnya berlanjut menjadi hobi. Setiap hari pada jam istirahat dan setelah jam belajar berakhir, aku selalu menyempatkan diri berkumpul dengan Herman CS. Bahkan bisa dibilang aku sudah menjadi geng mereka, walaupun keberadaanku disana lebih dibutuhkan untuk menjadi target bulian, secara tubuhku paling kurus kecil. Tapi aku tahu, mereka cuma bercanda, walaupun becandaannya sedikit keras dan kadang keterlaluan. Aku fikir sih tidak apa-apa lah, karena dengan berkumpulnya dengan mereka aku jadi kebagian juga melihat foto-foto porno itu.

Hari itu aku sudah tak sabar ingin segera berada di rumah, karena didalam tasku sekarang ada sebuah majalah porno yang dipinjamkan oleh Herman CS. Kenapa dipinjamkan padaku? mungkin karena mereka sudah bosan dengan majalah yang kubawa ini karena mereka ada beberapa yang lebih baru, sementara yang ini sudah lecek dan beberapa halaman robek. Dan aku ingin segera menikmatinya di rumah.

Segera setelah sampai di rumah, aku tidak melihat ada ibu yang biasanya di dapur atau di ruang tamu sambil nonton TV. Entah kemana ibu, mungkin ke rumah tetangga. Tidak mungkin ibu ke mesjid untuk mengajar ngaji disana karena sekarang belum waktunya. Ah biarlah, kemanapun ibu saat ini tidak aku perdulikan karena aku begitu tak sabar ingin segera menikmati majalah porno ini dengan bebas di kamarku. Bahkan ini kebetulan sekali kalau ibu tidak di rumah karena aku jadi lebih bebas dan bisa lebih lama melihatnya tanpa perlu takut. Jadi aku langsung masuk ke kamar dan menutup gordeng kamar (ingat kan, kamarku ini tak memiliki daun pintu karena sudah rusak, jadi daun pintu diganti oleh gordeng).

Aku segera duduk di kasur tanpa mengganti baju seragamku. Maklumlah aku sudah tidak sabar lagi ingin melihat foto-foto perempuan yang sedang telanjang dan disenggamai itu. Mungkin anak-anak yang sejaman denganku masih ingat bahwa di tahun segitu yang namanya hp Android belum lagi terkenal. Apalagi buat anak seumuranku, dan juga berekonomi rendah yang namanya hp Android hanya mimpi belaka. Jadi pada zaman itu pornografi di hp masihlah milik anak-anak orang kaya. Yang berekonomi seperti kami-kami ini hanya dari majalah. Maka anda tidak usah heran jika aku begitu degdegan dan senang ketika bisa membawa pulang majalah ini.

Lembar demi lembar aku menikmati foto-foto perempuan setengah telanjang dan perempuan telanjang difoto dari berbagai sudut dengan berbagai posisi. Batang kemaluanku tegang setegang-tegangnya sampai rasa gatal cenut-cenut di tititku itu berubah menjadi rasa sakit karena kejepit oleh celana seragamku yang agak sedikit kekecilan ukurannya. Oleh karena itu aku membuka celana seragamku, menggantungkannya di dinding dan kembali celentang di kasur untuk membaca majalah itu hanya mengenakan celana dalam saja. Ujung kepala kemaluanku ternyata makin cenut-cenut setelah aku hanya mengenakan celana dalam. Karena ujung tititku itu berasa gatal dan cenut-cenut akhirnya untuk meredamnya aku berganti posisi, membaca majalah sambil tengkurap. Halaman demi halaman kubuka, dan semakin halaman bertambah maka semakin panas pula adegan yang aku lihat.

Perempuan-perempuan bule itu difoto pas bagian selangkangannya. Mulai dari Ngangkang hingga nungging difoto dalam jenis close up photo. Aku menyimaknya baik-baik, menghafalkan bentuknya, warnanya, jembutnya yang dicukur rapi dan ada juga yang dicukur gundul. Dari bentuk dan warnanya saja terlihat begitu menarik. Apalagi di halaman berikutnya, selangkangan perempuan.... aduh... memek... aduh.. aku saat itu enggan sekali menyebut kata "memek" walaupun hanya dalam otakku. Rasanya seperti sebuah dosa yang sangat berat. Tapi saat ini bisa dengan fasih aku memikirkan kata "memek" atau menyebutnya di bibirku, atau menuliskannya disini. Ya... foto memek yang tengah dimasuki titit..... eh... kalau yang sebesar itu mungkin lebih cocok dinamakan kontol.... karena kalau titit itu mungkin ukurannya hanya sebesar punyaku...... foto memek ditusuk kontol itu membuat aku gelisah dan kepala kontolku yang belum begitu besar itu berasa cenut-cenut luar biasa. Anehnya saat aku tekan di kasur (posisiku masih telungkup), rasa cenut-cenut itu hilang dan berganti dengan rasa nyaman.


Aku membuka halaman lain lagi, dan ah..... dari judulnya walaupun bahasa Inggris tapi aku sudah mulai mengerti bahwa itu adalah tentang hubungan sedarah antara seorang ibu dan anak lelakinya. Aku bingung juga sih, apa betulan anak lelakinya atau pura-pura saja karena yang disebut 'anak lelaki' itu ternyata sudah tua juga jika dibandingkan denganku. Tapi aku pada akhirnya jadi membayangkan jika aku melakukan apa yang ada di majalah itu dengan ibu. Misalnya di ruang tamu seperti yang pernah aku lihat waktu itu ketika ibu mengisap selangkangan bapak. Aaaah.... ujung tititku tiba-tiba gatal sekali makin cenut-cenut setelah aku membayangkan ibu hanya bercelana dalam saja seperti yg pernah kulihat. Aku menekan lagi tititku yang tegang di kasur.... aaah kok rasanya lega ya jika ditekan di kasur. Gatalnya itu hilang. Coba aku tekan lagi.... eeemh..... betul... bukan saja gatalnya hilang, tapi tiap kutekan maka ujung tititku itu merasa enak.

Katanya si Denny, biar enak harus digosok pakai tangan yang dilumasi sabun. Tapi ditekan di kasur juga kok enak. Hemm... coba aku tekan lagi.... ah betul.... rasanya melegakan sekaligus nagih.

Jadi, sambil melihat foto adegan hubungan sedarah itu aku menekan-nekankan titit tegangku di kasur. Gimana ya rasanya jika aku melakukannya dengan ibu ? pasti enak sekali.... apalagi sering kudengar dari Herman CS ataupun si Denny yang selalu berkhayal bahwa saat titit tegang ini masuk kedalam lubang memek.... maka kemaluan perempuan itu akan mencengkeram dan meremas-remas tititmu seperti diremas-remas oleh tangan. Aku jadi ingin sekali merasakannya.

Di fikiranku kembali melintas bayangan tubuh ibu yang jongkok hanya mengenakan beha dan celana dalam. Pantat ibu yang nungging mirip sekali posisinya dengan yang ada di majalah ini. Uuuh.... adegan berikutnya adalah kontol besar itu menusuk memek dari belakang.... aku belum tau namanya adalah doggy style. Jadi aku memikirkannya sebagai gaya nungging. Coba misalnya ibu nungging begini lalu aku menusuknya dari belakang.... blesss..... aaaah....
Sambil membayangkan itu, aku menekan lagi tititku keras-keras di kasur.... lama sekali karena aku ingin merasakan rasa enak itu lebih lama. Dan benar saja... rasanya semakin lama semakin enak.... dan aku ingin merasakan yang lebih enak lagi dari ini, jadi aku menekan lebih kencang lagi.... dan rasanya ternyata memang lebih enak lagi.

Dan saat itu aku terengah-engah karena merasa tak puas dengan rasa nikmat itu. Aku menekan lagi lebih kencang, sampai kakiku kejang-kejang. Dan rasa itu tambah enak lagi....
Dan aku mengejatkan kakiku lebih kencang lagi, dan ...... sebentuk rasa hangat mengalir..... dari kepala tititku yang tegang... ke selangkangan... lalu ke tulang ekor.... sebagian ke paha dan betis.... lalu sebagian lagi rasa hangat itu mengalir ke tulang belakang, ke leher... ke otak..... dan ke mata.... membuat mataku berat. Hingga aku akhirnya menutup mataku.... dan terbayang di mataku adalah ibu yang tengah nungging lalu kutancap berulang-ulang tititku ke memeknya.

Rasa hangat itu semakin menjadi, dan aku seperti kesetanan menekan nekan tititku ke kasur hingga akhirnya rasa hangat itu seperti tak tertahan lagi. Tubuhku bergetar, nafasku terhenti, mataku terbuka dan melotot. Kaki dan tubuhku kejang tak mampu kulemaskan.... lalu akhirnya meledaklah suatu perasaan yang luar biasa.
Aku merintih....
"aaaaaaah......."
Dan tubuhku berkelojotan tak karuan, tak mampu kutahan, dan kurasakan gelombang kenikmatan demi gelombang kenikmatan melanda ujung tititku yang ngilu-ngilu sedap.
Nafasku seperti tercekat, dan setiap udara yang keluar disertai dengan suara "Hkkkk.... hkkkkk.... hkkkkkkkkkk....."
Makin lama kenikmatan itu berangsur reda, tetapi tubuhku masih berkedutan dan berkelojotan. Hingga akhirnya melemah.... dan melemah.....

Apakah.... itu yang dinamakan orgasme ?
Itu adalah perasaan yang sangat luar biasa.
Tak ada kata di dunia ini yang bisa menggambarkannya.
Luar biasa.
Dan aku kelelahan.... lemas, ngantuk, capek, tak bertenaga.
Tapi.... apa ini ?
Hah ? ini...... basah-basah lengket....
Inikah yang disebut..... air mani ???

Aku serabutan mencari lap, dan berakhir dengan mengorbankan baju seragamku untuk mengelapnya.

Setelah berganti celana pendek dan kaos butut maka sambil tiduran, aku memikirkan rasa yang tadi kualami. Pantas saja orang ketagihan, rasanya memang enak. Apalagi jika melakukannya dengan perempuan... pasti lebih enak. Tapi kok mataku berat begini ya, ngantuk sekali aku. Tapi aku masih penasaran dengan majalah tadi, jadi aku sambil tiduran sambil melihat-lihat lagi majalah tadi. Tapi sekarang kok tidak semenarik tadi ya melihat gambar ini. Aku lebih tertarik memejamkan mataku.

Dan, ....... bluk..... majalah itu terjatuh. Aku tidak perduli, mataku tak bisa diajak kompromi.

Aku tertidur di sore hari.

*****

BYUR !!!!!!!
Aku terkesiap.

BYUR !!!!!!
Aku meloncat.

BYUR !!!!!!
Dan aku tercekat.


"ANAK SETANNN !!!!!!" sebuah suara serak menggelegar bak halilintar menyadarkanku dari rasa kantuk. Bapak berdiri disana, memegang ember yang sudah kosong di tangan kanannya. Dan di tangan kirinya adalah..... majalah pornoku......
Di belakangnya, ibu berusaha memegang tangan bapak dan menahannya.
Ibu menangis.

Oh kiamat ini.

Tenaga ibu tak mampu menahan bapak. Apalah arti tenaga seorang perempuan lemah lembut seperti ibu dalam menghadapi tenaga bapak yang bertubuh besar berotot.

Plakkkkk !
Majalah itu dilempar ke mukaku, sampai aku merasa pedas di wajahku.
Tidak cuman itu, yang berikutnya datang tak dapat kuperkirakan akan datang.

Duakkkkk....!
Bogem bapak mengenai mataku, sampai pandanganku gelap.

Klepak !
Klepak !
Tamparan kanan kiri kuterima.

Ada rasa hangat mengalir di bibir.

Blakkkk!
Sebuah tendangan di perut membuatku terjengkang lalu tubuhku terbanting ke dinding. Aku lemas tak berdaya, dan.... hekkkk.... muntah di lantai sambil tersungkur.
Pandanganku berkunang-kunang.... lalu gelap gulita.


BERSAMBUNG
 
LIMA

Ketika aku membuka mata, seluruh tubuhku terasa sakit terutama di mata, bibir, dan ulu hatiku. Pandanganku buram karena mataku bengkak. Sekilas kulihat ibu duduk disampingku sambil sesenggukan menangis. Tidak kulihat bapak walaupun hanya bayangannya.

"Ibu...." aku berusaha memanggilnya, tapi suaraku tercekat. Tak ada suara yang keluar dari tenggorokanku kecuali suara..... "bbbbbbbbhhhhhh"....
Namun ibu mendengarnya, dan ia memelukku sambil menyebut namaku.
"Dediiiiiii..... huuuuuuuu..... huuuuu" ibu menangis sambil memelukku.
"b..bbb...bbb..hhhhh..." masih tak sanggup kupanggil ibuku, dan pandanganku kembali gelap.

Sepanjang malam itu aku berulangkari bangun dan kembali tak sadar. Dunia seakan terbalik dan berputar-putar. Namun setiap kali aku bisa sadar lebih lama dan lebih lama. Ibu selalu ada di sampingku. Tak sekalipun aku sadar tanpa melihat ibu di sampingku. Ibu selalu ada untukku, memelukku, mengusap rambutku, mengganti kompres di dahiku, memberiku minum, menyuapi bubur, mengelap muntah, mengganti celana yang basa oleh kencingku.

Selama tiga hari aku hanya bisa diam. Aku terluka, luar dan dalam. Hatikku hancur, kenapa bapak begitu keras menyiksaku hanya karena aku melihat majalah porno ? tidak seharusnya bapak berbuat keterlaluan padaku. Bukankah anak-anak lain seusiaku juga melakukannya ? Bapak jahat.


Aku tak pernah bicara selama tiga hari, karena selain tak mampu juga karena aku dendam dan sakit hati pada bapak. Tapi aku kasihan sama ibu yang selalu menangis di sisiku. Ibu sayang padaku.

"Ded..... ngomong dong Ded..... ini ibu.... ibu sayang sama Dedi"
Tapi pandanganku hanya bisa berkeliling menyisir seisi kamar, dan ini bukan kamarku. Ini kamar orang tuaku. Tapi bapak tidak sedetikpun kulihat.
"Bapak ngga ada Ded..... jangan takut" ibu paham ketakutanku.
Aku memandang mata ibu, meminta jawaban.
"Ibu mengusir bapak....." katanya. Lalu menangis lama sekali sambil memelukku.

"Dedi makan ya, ibu suapin" katanya ketika tangisnya reda.
Aku menggeleng.
"Dedi mau makan buah ?"
Aku menggeleng.
"Dedi mau apa ?"
Aku menggeleng.
"Deeed..... bilang ke ibu, Dedi mau dibawain apa sama ibu..."
Aku tetap menggeleng.
"Deeed.... apapun yang Dedi mau.... ibu kasih...."
Aku menatap mata ibu, dan ibu menatap mataku.
Aku tetap menggeleng.
Dan ibu kembali menangis memelukku.


*****

Jadi bapak sudah diusir ibu dari rumah, dan katanya ibu meminta cerai dari bapak. Ibu sudah idak tahan atas semua kekasaran bapak padaku dan tekanan batin pada ibu.
Tapi hatiku ini masih sakit, walaupun setelah seminggu badanku sudah tidak terlalu sakit lagi. Jadi aku masih belum mau ngomong sama ibu, entah kenapa. Padahal ibu begitu baik dan perhatian, semua ditawarkan padaku. Mulai dari makanan, buah-buahan, minuman, rentetan pelukan dan ciuman di dahiku, dan pertanyaan pertanyaan lembut padaku mengenai keinginanku. Apakah ingin baju baru... sepatu baru... sepeda.... bahkan motor... tetapi selalu aku menggeleng dan tak sepatah katapun keluar dari mulutku.

Hari itu, ketika aku membuka mata kulihat aku masih di kamar ibu. Pandanganku terantuk pada kelebatan ibu di sudut kamar. Aku hanya memandang dari ujung ranjang, memperhatikan.

Ibu baru selesai mandi dan hanya mengenakan handuk yang terlilit di tubuhnya. Ia membelakangiku. Rambutnya yang lurus hitam panjang sepunggung itu masih terlihat basah dan menempel di punggungnya yang putih. Air masih menetes dan mengalir perlahan dalam bentuk titik-titik seperti air hujan yang mengalir pada kaca jendela. Handuknya yang melilit di tubuh hanya dapat menutupi daerah punggung dan pantatnya, sementara hampir seluruh bagian pantatnya nampak begitu jelas di depanku.

Ibu belum sadar bahwa aku telah bangun dan melihatnya melepas handuk dan mengeringkan rambutnya sementara seluruh bagian belakang tubuhnya terpampang jelas di pandanganku. Kemudian ibu mengambil celana dalam di depannya lalu sambil setengah nungging, kaki kanannya masuk ke celana dalam, kemudian kaki kirinya. Kedua tangannya kiri dan kanan menaikkan celana dalam putih itu keatas, sambil pinggulnya bergoyang. Tadi saat ia memasukkan kaki sambil menunduk, selintas aku melihat belahan pantatnya dan sebongkah daging berwarna kecoklatan merlihat menyempil di selangkangannya. Aku tercekat.

Berikutnya, ibu mengambil beha, yang juga berwarna putih dan berenda-renda. Ia memasukkan tangan kanannya, lalu tangan kirinya, dan tangannya megal megol berusaha mengancingkan beha di punggungnya. Aku menahan nafas.

Saat ibu mengambil gamis putih dan hendak mengenakannya, aku menarik nafas.
"Bu........"
Suaraku terdengar kering dan lemah, namun ibu mendengarnya. Ia membalikkan badan, menatapku, dan kami saling pandang.
"Ibu......" panggilku lagi.
Ibu melemparkan gamisnya ke lantai dan menghambur ke arahku. Dadanya yang putih menggembung berhiaskan beha putih dan mengkilap oleh titik-titik air terlihat berguncang-guncang saat ia berlari menghambur ke arahku.

Ibu memelukku erat, membenamkan wajahku ke dadanya yang empuk dalam-dalam seakan tak mau kehilanganku.
"Ded..... akhirnya kamu mau bicara sama ibu..... " katanya sambil terisak.
"Iya bu......" jawabku, yang membuat ibu kembali memelukku erat.

Aku ? walau bagaimanapun tentu saja aku menikmatinya. Tubuhku sudah sembuh kok, tak ada rasa sakit yang kurasakan. Bahkan hatiku saja sudah lupa akan rasa sakit. Yang ada sekarang hanya ingin membalas pelukan ibu yang tubuhnya terasa dingin karena baru selesai mandi. Tapi inilah yang namanya dingin-dingin-empuk. Tetap saja terasa nyaman.

"Dedi mau makan ?"
"Ngga bu..... "jawabku sambil tetap memeluk ibu.
"Mau ibu beliin apa ?"
"Ngga mau dibeliin apa-apa" balasku
"Jadi Dedi mau apa dong ?"
Aku diam lagi
"Iiih Dedi jangan diam lagi, mau apa dong ? janji, pasti ibu kasih" katanya.
"Dedi mau peluk ibu"

Jawabanku rupanya membuat ibu menangis bahagia. Ibu memelukku lagi erat-erat dalam posisi duduk di samping tempat tidur, aku telentang tidur di ranjang ibu.
Sekarang aku membalas pelukan ibu. Kedua tanganku melingkari tubuhnya, memeluknya erat. Gumpalan daging empuk menempel erat di dada kurusku yang tambah kurus ketika aku sakit. Aroma tubuhnya menyelesap ke hidungku, dan kuhirup dalam dalam hingga terasa aroma tubuh ibu yang bercampur wangi sabun itu menetap erat di otakku.

"Ibu temenin Dedi tidur disini" kataku sambil bergeser, dan ibu seperti janjinya tadi terbukti mengikuti keinginanku. Dia bangkit dari duduknya, lalu tidur miring di sebelah kiriku, menghadapku. Dan aku tidur miring menghadap tubuhnya.
Ibu kembali memeluk tubuhku, mengusap kepalaku, mencium keningku.
Aku balas memeluknya, erat. Tubuh ibu yang hanya mengenakan beha dan celana dalam tak menolak ketika aku memeluknya, mendekap erat, lengket bagaikan lintah.

Ibu terus mengusap lembaut kepalaku.
"Dedi jangan takut bapak lagi" bisiknya.
"Kenapa bu"
"Bapak ngga akan kembali ke rumah ini"
"Beneran bu ?" tanyaku. Kami saling pandang.
"Iya... komandan di kantornya sudah tau, dan dia sudah dilaporkan"
"Makasih bu.... tapi... kenapa bapak jahat sama Dedi bu ?"

Ibu tidak menjawab, tetapi memandangku sambil air matanya menitik.
Kami berpandangan lama.
"Ya udah Dedi ngga mau tau bu"
"Iya Ded... makasih.... ibu belum sanggup cerita"
Kami saling pandang lagi.
Ibu hendak mencium keningku lagi sambil matanya terpejam, tapi perlahan aku mengangkat wajahku hingga akhirnya bibir ibu bukan menempel di keningku, melainkan di bibirku.

Nafas ibu terasa hangat dan harum, seperti aroma bunga di hangat mentari.

Bibir ibu yang lembut menempel di bibirku. Hangat.
Ibu membuka mata, menatapku dalam diam.
Aku balas menatapnya, lemah.

Kami dalam posisi berpelukan erat sambil kedua bibir saling menempel ringan, merasakan nafas masing-masing. Aku terpesona, terpana, mabuk asmara.

Tak pernah aku bermimpi, di pelukanku ada seorang wanita dewasa yang setengah telanjang sedang menempel erat.

Ketika bibirku bergerak perlahan, merayapi seluruh bibirnya, dan mengecupinya, ibu hanya diam tak bergerak. Ia membiarkan aku mengecupi bibirnya. Aku melepaskan ciuman sebentar, kemudian kukecup lagi bibir bawahnya, mengemutnya, merasakan kelembutannya dengan lidahku yang menyedot mesra. Nafsuku bangkit, dan dibawah sana kurasakan tubuhku mengeras menempel erat di perut ibu yang halus.

Ibu melepaskan bibirnya dari bibirku, kami berpandangan.
"Ded......." bisiknya
"Apa bu....." jawabku juga berbisik.
Tapi ibu tidak bicara lagi, seperti ragu untuk mengungkapkan.
Dengan diamnya ibu, aku mengecupnya lagi, dan ibu tetap diam seakan mengijinkan.

Bahkan ketika lidahku menyelinap ke balik bibirnya, ibu tetap mengikuti keinginanku tanpa melarang. Aku memuaskan diri melilitkan lidahku kesana kemari di lidahnya, menelan hangatnya, menyesap aroma nafasnya tak puas-puas hingga aku berkeringat serta tubuh menghangat. Bahkan kemudian pada akhirnya ketika aku mendorong tubuhnya yang sedang miring memelukku untuk kemudian telentang, ia tidak menolak.
Aku bergerak, naik ke tubuhnya yang kini hangat.

Ibu tetap memelukku, mengusap kepalaku, walau aku saat itu sedang mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Kadang ia mengelus punggungku perlahan.

Tubuh kecil dan ramping ibu itu tidak jauh beda denganku. Yang beda adalah di dadanya ada sebongkah daging empung yang hangat berbalut beha putih. Itulah yang menarik perhatianku dan membuat kecupanku beralih dari bibirnya untuk kemudian turun ke pipi, lalu berangsur turun ke lehernya yang meruapkan aroma tubuh yang begitu menggoda. Aku menghirupnya dalam-dalam. Ujung tititku yang tegang terasa gatal bercenut-cenut jadinya. Aku menekan titit kerasku ke perutnya yang hangat dan empuk. Emh..... gatal-geli nya hilang, tapi nagih ingin lebih.

Ibu membiarkan aku menurunkan ciuman ke dadanya, ke gundukan putih berbeha putih berhias renda dan bunga putih. Indah.
Mengecupi buah dadanya, aku seperti meminum air laut, tak pernah terpuaskan.
Aku mengalihkan kecupan dari gembung buah dada kirinya, ke kanan, lalu balik lagi ke kiri dengan tangan kananku meremas buah dada kanannya.
Ibu diam tak berkata apapun, dan tetap mengelus kepalaku seolah menyuruhku untuk menyesap susunya seperti kala aku bayi dalam pelukannya.

Aku memerosotkan cup beha putih yang dikenakannya. Dan disana, sebuah puting kecil kecoklatan terlihat tegang. Lidahku menghampiri, yang membuat ibu menarik nafas dan menahannya di dada. Membuat dadanya tambah menggelembung. Saat lidahku beradu dengan putingnya, ibu terasa bergetar. Kedua tangannya sekarang menekan kepalaku ke dadanya. Dan melesaplah puting itu kedalam mulutku, dicucup lidahku berputar, disedot dalam-dalam. Ibu masih menekan kepalaku tanpa bicara.

Lama sekali aku menikmatinya, serasa meledak nafsuku. Aku menekan-nekan kepala tititku yang sedang tegang dan gatal itu ke perutnya yang empuk. Nikmat sekali. Apalagi ketika aku menurunkan posisi tititku yang tegang ke bawah perutnya, merayap makin kebawah sampai pas ke selangkangan ibu yang terbalut celana dalam.
Ketika aku menekan, kurasakan hangat yang nyaman, dan kelembutan gundukan selangkangan ibu di ujung tititku yang tegang. Aku sampai terpejam.

Ketika aku berusaha menatap ibu, dia sedang terpejam dengan wajah tanpa ekspresi.
"Bu....." bisikku.
Ibu diam.
"Ibu....." bisikku lagi
Ibu membuka mata, kami saling menatap, tapi ibu tak menjawab.
Hanya saja tangannya mengelus kepalaku.

Kedua kaki melilit di kaki ibu, paha kami beradu. Mulus kulit paha ibu yang hangat terasa membuat nafsuku makin terbakar. Aku terus memeluk dan menindih tubuh ibu yang hangat, sampai nafsuku seperti meledak di kepala. Nafasku terengah engah.

Dari balik celana pendekku, titit tegangku menagih dipuaskan. Menagih untuk ditempelkan rapat ke selangkangan ibu, diantara sela-sela belahan bukit selangkangannya yang hangat. Aku melongok kebawah, melihat selangkangan ibu yang celana dalamnya menempel ketat, membentuk gundukan indah.
Dengan tangan kanan, aku memerosotkan celana pendek dan celana dalamku sampai di lutut. Seketika tititku yang berukuran 10 cm disaat tegang itu terbebaskan. Kulihat helemnya mengkilat, berwarna keunguan.
Perlahan kuturunkan mendekati bukit selangkangan ibu yang tercetak celana dalam. Kutempatkan tepat di belahannya yang gembung. Walaupun celana dalam ibu menghalangi, tetapi halus bahan kainnya tak mengurangi kenikmatan. Lebih nikmat selangkangan ibu yang terbungkus celana dalam lah, daripada kasur lusuhku yang terbungkus seprai butut.

ketika helm tititku menempel di bukit itu, kehangatan segera menjalar. Gatal-gatal geli itu semakin menjadi, menagih untuk ditekan. Dan aku mengikuti kemauan tititku dengan menekannya keras ke bukit selangkangan ibu.
Oooooh nikmatnya selangkangan tempat aku dilahirkan beberapa belas tahun lalu.
Dan aku tak menyisakan waktu lagi, aku terus mendekap tubuh hangat ibu, mengulum puting payudaranya yang kecoklatan, dan menekan titit tegangku di belahan selangkangannya yang empuk dan hangat.

Aku tertawa dalam hati, senakal-nakalnya si Herman dan kawan-kawan gengnya, mereka belum tentu bisa menikmati hal setabu dan senikmat ini.
Aku terus menhanjut, pantatku bergerak gerak naik turun agar kepala tititku menggeseki dan menekan selangkangan ibu yang terpejam.
Nafasku kian tak beraturan.
Ujung tititku tak terpuaskan, dan ingin terus menggeseki permukaan selangkangan ibuku yang cantik dan setengah telanjang dan sedang kutindih.

Gatal itu semakin menjadi, dan aku menekan lebih keras. Gila..... empuk dan hangat banget. Kakiku berkejetan mengejar kenikmatan di ujung tititku. Terus dan terus kugeseki sampai serasa terhenti nafas ini.
Kehangatan mulai menjalar dari ujung tititku merayapi seluruh tubuh, hingga akhirnya rasa hangat itu sampai ke otakku.
Aku menekan lebih keras, seolah selangkangan ibu telah habis aku geseki.
Dan tiba-tiba aku merasakan suatu titik yang tak mungkin aku mundur lagi.
Aku menahan nafas sambil memeluk erat ibu yang tetap mengelusi kepalaku.
Dan tiga detik menahan nafas itu akhirnya mengantarkanku melayang.
Aku berkelojotan diatas tubuh ibu.
Crat....... crat....... crat......crat..... crat..... crat....
Luar biasa nikmat.
Aku merintih menahan rasa nikmat yang tak tertahankan.
Satu tangan ibu mengusap punggungku, dan satu tangan yang lain menekan pantatku agar tititku yang sedang berkedutan lebih erat melekat ke selangkangannya yang hangat.

Ketika kedutan itu mulai berangsur hilang, aku roboh di samping tubuh ibu.
Saat kuraba selangkangan ibu yang hangat, aku merasa permukaan celana dalam ibu dipenuhi lendir lengket yang licin hangat.
Getaran-getaran sisa kenikmatan masih kurasakan di ujung tititku.
Tubuhku lelah, maklum setelah seminggu aku dalam keadaan sakit akibat siksaan bapak, dan perutku yang kurang makan, kenikmatan itu begitu menguras tenaga.
Aku ngantuk.

Ibu bangkit dari tempat tidur, lalu pergi ke kamar mandi dengan gontai.
Ketika ia kembali ke kamar, ia langsung mengambil celana dalam dan beha yang baru dari lemarinya, kemudian mengenakan gamis dan hijab panjangnya.
Ibu menghampiri aku di tempat tidur.

"Ibu ngajar ngaji dulu ya di mesjid Ded"
Aku mengangguk lemah sambil memegang tangannya.
Ibu merunduk mencium keningku sambil berbisik
"Cepet sembuh ya, ibu ngga mau kamu sakit lagi. Apapun akan ibu lakukan supaya kamu kembali sehat seperti dulu"

Dengan ucapan itu, ibu berbalik meninggalkanku dan pergi mengajar.
Aku dalam keadaan lemah, celana pendek masih merosot di lutut, dan mata yang kantuk, hanya bisa merasakan bahagia di hati.

Aku ingin cepet sembuh seperti yang ibu minta, dan akan sayang ibu sampai kapanpun.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd