Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Let Down

Bimabet
Talita maksudnya, Kang..
Belum tahu tuh.. tp sepertinya diundang, malah mungkin katering Bu Atik yg dipakai, karena kedekatan dengan keluarga Dinan :)

Nah malah saya kepikiran Katering Bu Atik yang kembali di pilih Dinan akhirnya Ketemu Talita lagi wkwkwk gatau kenpa, selalu muncul pertanyaan atas tokoh yang akang buat.

Akang selalu berhasil nge bangun sebuah tokoh dalam cerita, selalu aja ada yang di pertanyakan untuk setiap tokoh yang ada, di dikung dengan alur, detail dll. bukti nyata bahwa imaji pembaca benar benar masuk kedalam Dunia yang akang buat..... salut sama Akang ini

:ampun:
 
Bro @praharabuana ..
Ada sedikit yang 'mengganjel' pikiran..
Dinan udah jelas fix menikah dengan Alifa...
(Kalau yang katanya hanya 1X update lagi... tamat)
Neta juga sudah kawin...
Mira juga udah kawin...
Rere juga...
Deki juga...
Masa sih 'nasib' nya Tessa bgitu saja..?
Umur udah hampir 'kadaluarsa' (untuk ukuran wanita umumnya)
Menjomblo...?
Atawa ada 'penyelesaian' lain.?
Yah... siapa yg tahu, sepulang dari rumah Alifa, ternyata Tessa bertemu seorang laki-laki, yg sama2 makan nasi goreng di lapak depan perumahan...

Lalu... takdir memuluskan jalan mereka :)
 
Nah malah saya kepikiran Katering Bu Atik yang kembali di pilih Dinan akhirnya Ketemu Talita lagi wkwkwk gatau kenpa, selalu muncul pertanyaan atas tokoh yang akang buat.

Akang selalu berhasil nge bangun sebuah tokoh dalam cerita, selalu aja ada yang di pertanyakan untuk setiap tokoh yang ada, di dikung dengan alur, detail dll. bukti nyata bahwa imaji pembaca benar benar masuk kedalam Dunia yang akang buat..... salut sama Akang ini

:ampun:
Nah... saya justru bingung.
Kadang saya menggambarkan seorang tokoh figuran dengan terlalu detil, hingga status 'figuran' itu menjadi samar. Hehe..

Tapi, keuntungannya adalah, tokoh 'figuran' tersebut bisa membuka jalan bagi saya untuk menulis kisah baru.. :)
 
Nah... saya justru bingung.
Kadang saya menggambarkan seorang tokoh figuran dengan terlalu detil, hingga status 'figuran' itu menjadi samar. Hehe..

Tapi, keuntungannya adalah, tokoh 'figuran' tersebut bisa membuka jalan bagi saya untuk menulis kisah baru.. :)

Nah itu dia, saya malah ngga ngerasa benar - benar ada figuran di setiap cerita akang, penggambaran terlalu detail itu buat saya jadi mikir

'Ohhh tokoh baru nih, hnnng kayaknya kedepan bakalan gini deh, bakal gitu deh'

Dan malah di belokan dengan mudahnya sama Akang...
disitu saya kadang merasa Belegug . Hadeeeh kudu buru buru sare ieu mah lamun beunta bawaanya pengen nagih epilog :malu:
 
Hahaha lah diforum ini mah statement nya mesti yahud suhu... gak seru kalau ga miring... ;):p




tapi jangan bawa2 ortulah...:kumis:
 
Hahaha lah diforum ini mah statement nya mesti yahud suhu... gak seru kalau ga miring... ;):p




tapi jangan bawa2 ortulah...:kumis: gak asik suhu
 
Hahaha lah diforum ini mah statement nya mesti yahud suhu... gak seru kalau ga miring... ;):p




tapi jangan bawa2 ortulah...:kumis: gak asik suhu
Siap... kalo gitu, ane salah. Maafkan TS yang nggak asik ini.

Ente bebas mengeluarkan statement apapun koq di sini.
Kalo dirasa salah, ente pasti bisa segera meng-editnya, 'kan?

Tapi jangan telat edit, ya. :)
 
Suhu tolong dong di epilognya di buatkan akhir yg bahagia jga buat tessa. Kasian sekali dia, udah gagal nikah sama ivan, ehh dinan si cinta yg dinanti2 malah nikah sama sepupunya. Mungkin di cerita selanjutnya suhu bisa buatkan kisah bahagia buat tessa.. kasihan sekali tessa
 
Fiuhh, akhirnya selesai juga baca cerita agan, cerita yg sangat menarik membawa pembaca ke dalam cerita, seolah" mengalami ny langsung. Selamat buat dinan sama alifa, betul di saat terpuruk cuma dia yg ada di sisi alifa.
Selamat atas tamat ny cerita ny gan, semoga cerita selanjutnya lebih bagus dan menarik lagi dari sebelumnya...
 
61
(Dinan pun Memilih)


30 Juli 2017


"Salah satu kerabatku, atau pamanku, juga mengalami gagal ginjal," giliran Tessa bercerita.

"Kerabatmu juga menjalani cuci darah rutin?" tanya Dinan.

Tessa mengangguk. "Sekali sepekan, setiap Jumat siang."

"Siapa namanya?" tanya Dinan lagi. "Mungkin aku masih mengingatnya. Yah... meskipun sebenarnya aku jarang menemani almarhum Papa."

"Pak Susilo," jawab Tessa. "Hmm... kalau aku, tentu memanggilnya dengan Om Susilo. Kamu kenal, Dinan?"

"Pak Susilo," Dinan tercekat. "Beliau punya seorang anak perempuan yang berwajah manis, benar?"

Tessa tertawa kecil. "Sepertinya, kamu justru lebih mengingat putrinya, ya? Namanya Alifa, dia sepupuku, dari lain kakek dan nenek. Tapi hubungan kami terbilang dekat."

"Alifa tahu, kalau aku dan kamu pernah berpacaran semasa kuliah dulu?" selidik Dinan. "Maksudku, apakah Alifa tahu, kalau kamu punya seorang mantan pacar bernama Dinan?"

"Mmm... Alifa tahu," jawab Tessa, dengan sorot mata yang menyiratkan rasa heran. "Aku pernah bercerita kepadanya, tentang kamu. Kenapa kamu bertanya soal ini?"

Dinan menggeleng.

"Kasihan anak itu," lanjut Tessa. "Hubungannya dengan seorang lelaki mesti bubar, hanya dua hari sebelum sang lelaki berniat melamarnya."

"Aku tahu," gumam Dinan.

"Kamu tahu?" Tessa makin heran. "Kok bisa?"


"Antar aku menemui Alifa," cetus Dinan tiba-tiba

"Kamu benar-benar kenal Alifa?" tanya Tessa. "Jangan bilang, kamu adalah lelaki yang batal melamarnya."

"Itu aku, Tessa," gumam Dinan. "Maaf... lelaki itu memang aku."

Tessa tertegun. "Dan jangan bilang, kalau alasan batalnya rencana lamaran, adalah aku."

"Aku nggak tahu," ujar Dinan. "Makanya, antar aku menemui Alifa. Tessa... dia bilang, aku nggak boleh menemuinya, kecuali setelah tahu alasan pembatalan itu."

Tessa pun menyanggupi.


Dinan segera membereskan sisa-sisa kotak makan siang dan beberapa camilan serta minuman ringan mereka. Tessa sama sekali tidak membantu, karena takjub melihat cekatannya pekerjaan lelaki itu.

"Kamu serius, Dinan?" gumamnya. "Kamu dan Alifa pernah hampir terikat oleh acara lamaran?"

Dinan menjawab dengan anggukan, tanpa menghentikan kegiatannya.


"Ayo," ujar Dinan, sambil bangkit.

Tessa mengangguk, lalu ikut berdiri. Ia menatap Dinan dengan sorot mata dalam, dan dibalas oleh sang lelaki.

"Dinan..." lirihnya. "Aku... mmm..."

"Aku mencintaimu, Tessa," sela Dinan, sambil kemudian menarik tubuh Tessa ke dalam dekapan eratnya. "Aku sangat mencintaimu."

"Aku tahu, Dinan," balas Tessa. "Aku juga sangat mencintai kamu. Tapi... kita nggak bisa bersama."

"Karena Alifa," tebak Dinan.

"Iya, Dinan," Tessa mengangguk, dalam dekapan Dinan. "Kamu juga menyayangi Alifa, 'kan?"

Dinan tidak lantas menjawab.


"Aku tahu, Alifa membatalkan rencana lamaran seorang lelaki," tutur Tessa. "Aku juga tahu, Alifa stres dan tertekan akibat keputusannya itu. Tapi, aku sama sekali nggak tahu, kalau lelaki itu adalah kamu, Dinan."

"Dan aku nggak pernah tahu, bahwa kamu berkerabat dengan keluarga Pak Susilo," imbuh Dinan. "Apa mungkin, itulah alasan Alifa membatalkan rencana lamaranku?"

"Kamu masih mencintai Alifa?" tanya Tessa, langsung ke sasaran.

"Aku masih mencintaimu," jawab Dinan.

"Aku percaya," Tessa tersenyum. "Tapi, kamu lebih menginginkan Alifa, daripada aku. Iya, 'kan?"

Dinan tertegun.

"Dari ekspresi wajah kamu, ketika mengetahui hubungan kekerabatan antara aku dan Alifa," sambung Tessa. "Aku bisa menebak, seberapa dalam perasaan kamu padanya."

Dinan hanya mengedikkan bahu.

"Kalau memang seperti itu, kejarlah Alifa," ucap Tessa pelan. "Mmh... aku memang menginginkan kamu, Dinan. Tapi... Alifa lebih membutuhkan kamu."


Dinan tak mampu berkata apa-apa. Sejujurnya, hatinya gamang. Tessa dan Alifa, kini terlibat dalam kehidupannya, di waktu yang sama. Tessa, adalah perempuan yang pernah dan mungkin masih dicintainya. Sementara Alifa adalah perempuan yang masih ia harapkan kehadirannya, karena ia mencintainya.

Belasan tahun, berkali-kali aku merana akibat kegagalan asmara, ucap hatinya. Dan kini, dua perempuan yang berhasil menggetarkan hatiku, muncul di hadapanku. Duh... aku lebih memilih untuk sendiri, daripada dihadapkan pada dua pilihan seperti ini.

Namun, Dinan harus memilih. Tessa, Alifa, atau sama sekali tidak memilih keduanya. Poligami? Maaf, Dinan sadar diri, bahwa ia takkan pernah bisa bersikap adil. Maka, opsi terakhir adalah sebuah kemustahilan.


Tessa mampu menangkap kegamangan pada hati Dinan. Karenanya, ia beringsut, dan menggenggam kedua telapak tangan lelaki itu.

"Aku mencintai kamu, Dinan," tuturnya. "Tapi, aku rela melepaskan kamu, demi Alifa. Mmh... hanya demi Alifa."

"Kamu sanggup, melihat Alifa, sepupumu sendiri, hidup bersamaku?" tantang Dinan.

"Sulit, kuakui itu," Tessa mengedikkan bahu. "Tapi... rasanya lebih sulit untuk melihat Alifa menderita, karena aku."

"Dan kamu rela menderita, karena Alifa?" balas Dinan.

"Aku harus rela, meskipun berat dan pahit," Tessa tersenyum. "Aku harus berkorban untuk Alifa. Juga... untuk kebahagiaan kamu."

"Bagaimana kalau kebahagiaanku adalah jika hidup bersamamu?" balas Dinan. "Kita nggak pernah tahu, 'kan?"

Tessa menggeleng. "Seluruh dunia menganggap bahwa aku adalah penyebab keterpurukan, bukan pembawa kebahagiaan kamu. Biarkan mereka tersenyum senang, ketika akhirnya kamu nggak bersanding denganku."

"Aku nggak pernah menganggapmu sebagai penyebab keterpurukanku," bantah Dinan. "Aku sendiri yang tolol, karena nggak berupaya untuk bangkit."

Tessa tersenyum. "Mereka nggak mau tahu."


"Aku mencintaimu, Tessa," lirih Dinan.

"Aku juga mencintai kamu, Dinan," balas Tessa. "Hmm... mungkin ini klise. Tapi, nggak selamanya rasa cinta mesti dipuncaki dengan memiliki. Kita harus berdamai dengan kenyataan, seperti yang udah berkali-kali kita lakukan selama ini."

Dinan menggeleng. "Aku nggak tahu..."

"Dinan Sayang..." ucap Tessa. "Aku tahu, kamu mencintai Alifa."

"Memang, aku mencintai Alifa," Dinan membenarkan. "Tapi, setelah kembali berjumpa denganmu, aku..."

"Percaya aku," potong Tessa. "Lebih baik hidup bareng seseorang yang mencintai kamu, daripada bersama seseorang yang kamu cintai."

"Kita juga saling mencintai, Tessa," ujar Dinan.

"Tapi, Alifa mencintai kamu lebih besar dan lebih dalam daripada aku mencintai kamu," tutur Tessa. "Kamu akan lebih berbahagia jika hidup sampai tua bareng Alifa."

Dinan menggeleng.

"Kita berjodoh, Dinan," Tessa tersenyum. "Lihat, andai kamu menjadi pendamping hidup Alifa, kita akan berjodoh sebagai sepasang kerabat. Itulah ujung dari garis jodoh kita."

Dinan kembali menggeleng. "Aku nggak tahu. Aku nggak mampu berpikir."

"Dinan," ujar Tessa. "Aku minta, sekarang juga, kamu pikirkan sungguh-sungguh, siapa yang akan kamu pilih. Nggak usah diingat bahwa aku adalah mantan pacarmu, dan Alifa adalah sepupuku. Andai aku dan Alifa nggak saling kenal, siapa yang akan kamu pilih?"


Hampir dua puluh menit Dinan bungkam, seiring dengan Tessa yang juga sama sekali tidak mengajaknya bicara. Memberi keleluasaan penuh bagi Dinan untuk mengambil keputusan. Lelaki itu bahkan sempat menyalakan dan menghabiskan dua batang rokok, sambil duduk merenung di halaman samping yang berbatasan dengan kebun dan tempat menjemur pakaian itu.


Lalu, Dinan kembali, dan duduk di hadapan Tessa.

"Andai ini akan menjadi kebersamaan kita untuk kali terakhir," ucapnya. "Bolehkah kupeluk kamu?"

Saat itu, Tessa pun menyadari bahwa dirinya bukanlah sosok yang terpilih sebagai jalan hidup Dinan. Tessa menjawab pertanyaan Dinan dengan serta-merta memeluk tubuh lelaki itu. Dan karena permintaannya dituruti dalam sebentuk tindakan, Dinan pun balas melingkarkan kedua lengannya di tubuh Tessa. Mereka berpelukan, sangat erat.

"Aku nggak mengira," lirih Tessa. "Perjumpaan kita setelah empat belas tahun, justru berujung dengan perpisahan."

"Aku juga," imbuh Dinan. "Yah... mungkin, justru pertemuan itulah yang ditakdirkan Tuhan sebagai cara bagi kita untuk mengetahui bahwa kita nggak berjodoh."

Tessa mengangguk.

"Aku sayang kamu, Tessa," bisik Dinan.

"Aku juga, Dinan," balas Tessa. "Tapi, Alifa lebih mencintai kamu. Aku yakin itu."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Bu Susilo begitu terkejut dengan kedatangan Dinan bersama Tessa. Beliau menatap Tessa.

"Kamu kenal Nak Dinan, Téh?"

Tessa menjawab dengan senyuman.

"Nak Dinan?" Bu Susilo mengalihkan atensi pada Dinan. "Kenal dengan Téh Tessa?"

Dinan mengangguk pelan.

"Nanti aku jelaskan, Tante Niar," ucap Tessa. "Ceritanya lumayan rumit."

"Ceritakan, Téh," minta Bu Susilo.

"Iya," imbuh Dinan. "Ceritakan aja, Tessa."

Tessa mengangguk sebagai tanda kesanggupan.


"Alifa ada, Bu?" tanya Dinan.

"Alifa selalu ada di rumah," jawab Bu Susilo. "Dia sudah berhenti bekerja, kok!"

"Di kamar?" tebak Dinan. "Boleh aku menemuinya?"

Bu Susilo mengangguk.


Dinan mendekati pintu kamar tidur Alifa. Samar ia mendengar Tessa mulai bercerita kepada Bu Susilo, yang tadi dipanggilnya dengan nama 'Tante Niar' itu.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


"Kang Dinan!" pekik Alifa tertahan.

Dinan, yang berdiri di ambang pintu kamar, tersenyum. "Boleh aku masuk?"

"Boleh," jawab Alifa pendek, sambil mengangguk.


Dinan menghampiri ranjang di mana Alifa duduk bersila sambil memegangi ponselnya. Lalu ia duduk di tepi ranjang. Tangan kanannya terulur, mencoba menyentuh wajah si perempuan. Namun Alifa mengedikkan kepala, hingga Dinan terpaksa menarik kembali tangannya tersebut.

"Oke," gumam Dinan. "Nggak nyaman, ya?"

Alifa mengangguk.

"Aku hanya kangen, Al," lirih Dinan. "Kangen sekali."

Alifa menatap Dinan, lalu tersenyum. "Aku juga, Kang."

"Boleh aku... memelukmu?" tanya Dinan takut-takut.

Kembali, Alifa menatap Dinan. Lebih lekat dan tajam, sebelum akhirnya mengangguk pelan.


Dan terjadilah saling dekap itu. Saling taut yang bukan hanya merefleksikan kerinduan secara fisik, namun juga batin. Keduanya seolah berusaha memuaskan dahaga di hati mereka.

"Kamu baik-baik aja?" bisik Dinan.

"Aku baik-baik aja," jawab Alifa sambil mengangguk. "Akang kelihatan kurus."

"Aku nggak memiliki lagi seseorang yang rewel mengingatkanku soal makan," ujar Dinan. "Aku kehilanganmu, Al."

"Akan selalu ada seseorang yang mengingatkan Akang, kok!" tanggap Alifa. "Nggak perlu hanya aku, 'kan?"

"Aku menginginkanmu," lirih Dinan. "Aku hanya menginginkanmu."


Secara tiba-tiba, Alifa melepaskan diri dari dekapan tangan Dinan, hingga sang lelaki keheranan.

"Akang udah berhasil menemukan alasan itu?" tanya Alifa.

"Mungkin," jawab Dinan. "Izinkan aku menebaknya."

Alifa menatap Dinan dengan gestur bertanya.

"Apakah Tessa?" ujar Dinan.

Alifa sedikit tercekat, disusul dengan anggukan kepala lirih. "Bagaimana?"

"Apanya?" tanya balik Dinan.

"Setelah tahu alasan aku membatalkan lamaran itu," ujar Alifa. "Masihkah Akang menganggap perpisahan sebagai ujian berat bagi hubungan kita? Ujian yang akan makin menguatkan relasi di antara kita? Seperti yang Akang bilang?"

Dinan mengangguk.

"Meskipun alasan itu adalah Téh Tessa?" tanya Alifa lagi. "Perempuan yang sangat Akang cintai?"

Dinan mengangguk lagi. "Aku tetap memilihmu, Al."

"Akang bohong," tukas Alifa.

"Bohong?" tanggap Dinan. "Apa lagi yang mesti kubuktikan, Al?"


"Bertahun-tahun Akang mengharapkan Téh Tessa, 'kan?" ujar Alifa. "Dan sekarang, Akang udah berhasil bertemu dengannya. Apa lagi yang Akang tunggu?"

"Kamu, Al," jawab Dinan. "Aku menunggumu."

Alifa menggeleng. "Nggak logis."

"Nggak logis?" tukas Dinan.

"Aku bicara perandaian," tutur Alifa. "Seandainya, Téh Tessa muncul ketika kita masih bersama, apakah Akang bergeming?"

"Iya," jawab Dinan mantap. "Aku tetap memilihmu."

"Bohong!" cetus Alifa.


Dinan mendadak bangkit dan turun dari ranjang. Alifa mengikuti gerakan Dinan dengan tatapan matanya.

"Kamu ingat?" gumam Dinan. "Ketika kita berpisah dulu, aku bilang, akan datang kepadamu, ketika udah mengetahui alasanmu. Dan hari ini, aku datang. Dan tebakanku tentang alasanmu, tepat. Apa yang kurang?"

Alifa memalingkan wajah.

"Apa yang kurang?!" ulang Dinan, dengan nada bicara yang mendadak tinggi.

"Jangan bentak aku!" balas Alifa. "Akang berani membentak aku, hah?"

Dinan menjambaki rambutnya sendiri.


"Dinan, Néng," sapa seseorang dari arah pintu. "Kok malah bertengkar?"

Dinan dan Alifa sontak menoleh ke arah sumber suara. Lalu tertegun, mendapati Tessa berdiri di sana.

"Tétéh ada di sini," gumam Alifa.

"Kenapa kalian malah bertengkar?" tanya Tessa lagi, sembari mendekati ranjang. Tepatnya, menghampiri Alifa.

"Kang Dinan berbohong," jawab Alifa.

"Berbohong apa?" tukas Dinan.

"Dinan," ujar Tessa, sembari meletakkan telunjuk tangan kanannya di depan bibir. "Jangan bicara dulu, ya. Please..."

Dinan menatap Tessa. "Tapi, aku..."

"Please..." sela Tessa. "Beri aku waktu untuk bicara dengan Alifa. Mmh... kamu bisa keluar dulu? Aku mohon."

Dinan pun patuh.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Hampir lima belas menit kemudian, Tessa membuka pintu kamar Alifa, dan keluar.

"Kamu boleh masuk, kalau mau," ujarnya, menatap Dinan yang tengah berbincang dengan Bu Susilo.

Dinan segera berdiri, dan melangkah ke arah kamar Alifa.

"Kepala dingin, Dinan," Tessa tersenyum. "Alifa menyayangi kamu."


Dinan pun masuk kamar. Dilihatnya Alifa duduk di tepi ranjang, sambil menutup wajahnya.

"Alifa," sapa Dinan pelan.

Alifa mengangkat wajah, dan menatap Dinan.

"Kamu menangis?" tanya Dinan, seraya menghampiri Alifa. Tanpa izin terlebih dahulu, didekap dan ditariknya kepala sang perempuan terbenam di perutnya. "Karena aku?"

Dinan merasakan kepala Alifa menggeleng.

"Maafkan aku, andai aku berbuat salah," bisik Dinan. "Maafkan aku, andai sikapku membuatmu menangis. Aku... aku kalap. Aku takut, andai kamu nggak mau dekat denganku lagi. Aku nggak..."

"Aku nggak mau hidup tanpa Akang," potong Alifa, sambil kemudian mengangkat wajah. "Aku juga nggak mau membiarkan Akang kelimpungan tanpa aku."

"Kita menikah, ya," cetus Dinan tanpa basa-basi. "Kita lanjutkan rencana yang batal itu."

Alifa mengangguk.


Dinan tidak tahu, kata-kata seperti apa yang telah diucapkan Tessa pada Alifa. Hingga ketika dirinya kembali masuk kamar, sikap dan penerimaan Alifa berubah drastis. Namun, apapun itu, jelas bahwa Tessa telah mengucapkan sesuatu yang berarti. Sesuatu yang membuat Alifa yakin.

Tessa, perempuan yang mencintainya, justru berjasa mengembalikan kebersamaan Dinan dan Alifa.


Dinan merengkuh kedua bahu Alifa, dan meminta agar perempuan itu bangkit. Alifa menurut. Dan Dinan segera menggenggam kedua telapak tangan perempuan itu. Ditatapnya bola mata Alifa dalam-dalam.

"Kamu siap, kalau kunikahi dalam waktu dekat?" tanya Dinan.

"Sedekat apa?" tanya balik Alifa. "Akang belum melamar aku, 'kan? Masa' mau langsung menikah?"

"Besok, aku datang bersama Mama dan Rere, untuk melamarmu" jawab Dinan. "Dan... bulan depan, kita menikah. Bagaimana?"

"Besok?" seru Alifa. "Nggak terlalu cepat?"

"Aku takut, kita batal lamaran lagi," lirih Dinan. "Makanya, lebih cepat, tentu lebih baik."

"Pekan depan, bagaimana?" tawar Alifa. "Aku berjanji, kali ini, nggak akan ada pembatalan lagi. Kecuali... atas kehendak Tuhan."

Dinan mengangguk setuju.


"Akang benar-benar menginginkan aku?" tanya Alifa dengan nada lembut.

Dinan kembali mengangguk.

"Apa buktinya?" tanya Alifa lagi. "Satu jawaban sederhana, tapi bermakna segalanya untuk kita, Kang."

Dinan tersenyum. "Buktinya, Al?"

"Iya, Kang," Alifa mengangguk.

"Dulu kubilang, aku akan datang lagi, sekali lagi, setelah tahu alasanmu," tutur Dinan. "Logikanya, aku nggak akan datang lagi, setelah tahu bahwa alasanmu adalah Tessa. Tanggung, tokh Tessa udah kembali dekat denganku, kunikahi saja dia. Benar?"

Alifa mengangguk lagi.

"Nyatanya, aku berada di sini, saat ini," lanjut Dinan. "Bukti bahwa aku menginginkanmu, bukan yang lain."


Sontak Alifa mendekap erat tubuh Dinan. Dibenamkannya wajahnya dalam-dalam, di dada sang lelaki.

"Lamar aku pekan depan, Kang," bisiknya. "Dan nikahi aku. Aku sungguh-sungguh bersedia jadi istri Akang."

"Iya, Al," tanggap Dinan. "Kita akan menikah, sederhana aja. Yang penting sah dan selamat."

"Sederhana aja," Alifa mengangguk. "Karena uang Akang habis untuk membangun rumah, ya?"

Dinan tertawa kecil. "Uangnya... lebih baik dipakai untuk bulan madu kita. Ke Brussels, seperti keinginanmu, Sayang?"


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Tessa bergabung dengan Dinan dan Alifa, di kamar. Awalnya, Tessa menolak, saat Alifa memanggilnya untuk bergabung. Namun, Alifa memaksa dengan ditambahi embel-embel,

"Aku ingin jujur tentang sesuatu, tentang kalian."


Hal pertama yang ditanyakan Tessa adalah,

"Masalah kalian udah selesai? Kalian akan menikah?"

Baik Dinan maupun Alifa, tak ada yang menjawab. Keduanya malah saling pandang.

"Iya, kalian akan menikah," simpul Tessa, sembari tersenyum.

"Nggak apa-apa, Téh?" tanya Alifa ragu.

"Kenapa harus jadi 'apa-apa'?" tanya balik Tessa. "Karena Dinan adalah mantan pacar aku, dan kamu adalah sepupu aku?"

Alifa mengangguk pelan.

"Nggak usah memikirkan aku," Tessa kembali tersenyum. "Kalian akan sama-sama bahagia, jika bersama. Hmm... aku akan dikutuk dunia, jika menghalangi kebahagiaan kalian. Udah cukup aku dipersalahkan dunia sebagai penyebab keterpurukan Dinan. Aku nggak mau lagi."

Dinan dan Tessa kehilangan ide untuk menanggapi.

"Sekarang, lebih baik kita dengarkan cerita Alifa," lanjut Tessa. "Hal apa yang akan jujur kamu ceritakan, Néng?"


Alifa tidak segera bicara. Ia malah menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, sebelum mulai bercerita.


"Mungkin, Akang dan Tétéh merasa heran," ujar Alifa. "Kenapa setelah belasan tahun nggak bertemu, akhir-akhir ini kalian jadi sering berjumpa. Iya?"

"Campur tanganmu, Al?" tebak Dinan.

Alifa mengangguk. "Juga dengan bantuan Téh Rida."

"Rida?" tanya Tessa.

"Iya," Alifa kembali mengangguk. "Pertemuan pertama kalian, kuatur. Aku tahu dari Téh Rida, kalau Tétéh akan bertemu seseorang di sebuah kafe di Jl. Sawah Kurung. Aku langsung mengajak Kang Dinan untuk bertemu, di waktu dan tempat yang sama."

"Meskipun akhirnya kamu batal datang," tanggap Dinan.

"Sengaja, Kang," Alifa tersenyum. "Karena aku memang berniat mempertemukan kalian. Kalau ada aku, rencana mungkin berantakan. Meskipun akhirnya rencana itu sedikit kacau, karena menurut cerita Téh Rida, Akang mengajak anak kecil bernama Marko, yang terus merengek ingin pulang. Kalian nggak bisa mengobrol lama, deh!"


"Yang kedua," sambung Alifa. "Aku berspekulasi mengatur pertemuan kalian di sekitar perempatan antara Jl. Dago dan Jl. Sulanjana."

"Masuk akal," ujar Tessa. "Kamu tiba-tiba minta dibelikan obat untuk ayahmu, yang kamu bilang, hanya bisa diperoleh di apotik yang berada di persimpangan tersebut."

"Padahal, obat untuk Bapak selalu tersedia," timpal Alifa. "Karena dokter udah mengatur persediaannya akan cukup antar waktu check up."

"Sementara aku?" tanya Dinan. "Tahu dari mana, kalau hari itu, aku ada urusan di Jl. Sulanjana?"

"Téh Rere," jawab Alifa. "Téh Rere bilang, pada hari itu Akang punya urusan dengan seseorang di Jl. Sulanjana. Dan kebetulan, di hari yang sama, Akang nggak membawa sepeda motor, karena surat-suratnya sedang diurus Téh Jesi. Mmm... aku langsung meminta Téh Tessa untuk membeli obat itu, di apotek tersebut."

Dinan dan Tessa saling pandang.

"Pertanyaannya, bagaimana cara menyinkronkan waktu kalian?" sambung Alifa. "Jujur, aku hanya berspekulasi. Aku berpikir, kalau kalian berada di area yang sama pada suatu waktu, peluang kalian untuk bertemu akan besar."

"Kalau kami gagal bertemu?" tanya Dinan.

"Secara kebetulan pula, Téh Tessa pingsan," lanjut Alifa, tak memedulikan pertanyaan Dinan. "Dan jodoh berbicara, karena Kang Dinan tepat berada di sana."

"Dari kejauhan, aku memang udah melihatmu, Tessa," Dinan tersenyum. "Lalu aku hampiri, dan... ternyata tubuhmu oleng. Terjadilah peristiwa itu."


"Mestinya, kamu nggak melakukan semua itu, Néng," ucap Tessa. "Kamu nggak perlu membatalkan rencana lamaran kalian, setelah tanpa sengaja mengetahui masa lalu aku bersama Dinan. Apalagi sampai berusaha menyatukan kami lagi."

Alifa tak bisa menanggapi.

"Jujur, hari ini, aku merasa menyesal, udah pernah bercerita tentang Dinan pada kamu, Néng," lanjut Tessa. "Kalau dari awal aku tahu bahwa cerita itu menghalangi hubungan kalian, aku pasti nggak akan bercerita. Tapi... udahlah. Tokh, akhirnya kalian akan menikah juga."

"Aku mengalah, demi kebahagiaan kalian, Téh, Kang," Alifa menatap Tessa dan Dinan, bergantian. "Kalian pernah saling mencintai."

"Mengalah atau menyerah, Néng?" ujar Tessa, sukses membuat Alifa sedikit tertegun. "Aku tahu, apa yang ada di pikiran kamu. Kamu nggak bisa membayangkan, kalau setelah kalian menikah, lalu bertemu aku. Dinan akhirnya tahu bahwa aku adalah saudara sepupu kamu. Kamu takut Dinan akhirnya berpaling dari kamu. Untuk menghindari itu, kamu memilih melupakan Dinan, sebelum semuanya telanjur terjadi."

Alifa mengangguk pelan.

Tessa menatap Dinan. "Kamu akan berpaling, Dinan? Seperti apa yang ditakutkan Alifa?"

"Ketika memutuskan untuk menikahi seseorang," Dinan tersenyum. "Aku harus siap dengan segala konsekuensinya, baik atau buruk. Termasuk kemunculan mantan kekasih, misalnya. Tapi, aku udah menjadi seorang suami. Nggak boleh seenaknya membuka hati terhadap perempuan lain, termasuk mantan kekasih, 'kan? Nggak boleh seenaknya mempermainkan lembaga pernikahan."

"See?" Tessa tersenyum. "Dinan adalah lelaki paling 'fokus' dalam menjalani suatu hubungan. Kamu pasti bisa merasakannya, Néng. Dan aku yakin, sikap itu nggak pernah berubah. Yah... meskipun di masa lalu, aku sendiri pernah meragukan itu."

Alifa mengangguk pelan.

"Dan aku juga berjanji, akan membatasi interaksi dengan kalian," lanjut Tessa. "Aku akan melanjutkan hidup aku. Aku ikut berbahagia untuk kebersamaan kalian."


"Oya, Néng," Tessa seolah ingat sesuatu. "Kalau soal aku dan Dinan yang berada di Amsterdam pada hari yang sama, peranmu juga, Néng?"

"Kalian bertemu di Amsterdam?" tanya balik Alifa dengan sorot mata takjub.

"Nyaris," jawab Dinan dan Tessa serempak.

"Itu bukan ulahku," bantah Alifa. "Itu adalah bukti bahwa kalian berjodoh."

"Kami nggak berjodoh," Dinan tersenyum. "Kalau memang berjodoh, kami pasti bertemu. Bukan sekadar nyaris."

"Dan kalau kami memang berjodoh," imbuh Tessa. "Dinan nggak akan berada di sini, saat ini, mengemis meminta kamu untuk menjadi istrinya."

"Setidaknya, aku berhasil mempertemukan kalian, setelah belasan tahun nggak bertemu," Alifa tertawa kecil.

"Dan pertemuan kami hanyalah berbuah kejelasan," tanggap Tessa. "Bahwa kami nggak pernah ditakdirkan untuk hidup bersama."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Dinan takjub dengan sikap legawa Tessa. Dengan tegar, perempuan itu 'mengikhlaskan' Dinan untuk bersatu dengan Alifa, sepupunya sendiri. Hidup dalam satu lingkaran keluarga dengan Dinan, lelaki yang pernah begitu disayanginya, bahkan mungkin hingga saat ini. Menahan sesak, andaikan tanpa sengaja menyaksikan kehangatan lelaki yang dicintainya itu bersama Alifa. Namun, itulah konsekuensi atas keputusannya.

Tadi, sebelum keluar kamar dan kemudian pulang, Tessa berucap dengan nada menggoda,

"Kalian berduaan dulu, gih! Pasti saling kangen, 'kan?"

Duh... Tessa! Betapa besar hatimu.

Kudoakan yang terbaik untukmu, Tessa, ucap Dinan di dalam hati. Kamu akan mendapatkan jodoh yang terbaik. Dan itu bukan aku, meskipun mungkin kamu justru berpikir demikian.


"Kenapa melamun, Kang?" tegur Alifa, mengembalikan Dinan dari dunia lamunannya.

"Nggak apa-apa," Dinan tersenyum.

"Memikirkan Téh Tessa?" tebak Alifa.

Dinan pun mengangguk pelan. "Dia bisa bersikap legawa. Aku salut."

"Sama, Kang," imbuh Alifa. "Hmm... semoga Téh Tessa mendapatkan lelaki terbaik."

"Lebih baik dariku," tambah Dinan.

"Akang yang terbaik, kok!" ujar Alifa. "Untuk aku."

"Kemarin-kemarin sih bukan, ya?" sindir Dinan. "Karena, kalau aku memang yang terbaik, nggak mungkin kamu melepaskanku."

"Akang..." rengek Alifa. "Nggak usah dibahas lagi, ya. Itu adalah salah satu keputusan paling fatal yang pernah aku ambil."


Dinan menarik bahu kanan Alifa, hingga tubuh sang perempuan bersentuhan dengan tubuhnya.

"Kita akan menikah, Al," lirih Dinan. "Semoga nggak ada halangan lagi."

"Kalau dariku pribadi, nggak ada halangan lagi," tanggap Alifa. "Nggak ada keraguan lagi. Aku benar-benar siap menikah dengan Akang. Tapi..."

"Tapi apa, Al?" tanya Dinan lembut. "Masih ada unek-unek? Ceritakan, Al."

"Aku minta, kalau bisa, jangan membentak aku lagi, seperti tadi," tutur Alifa. "Aku takut, Kang..."

"Maafkan aku," ucap Dinan. "Tadi aku merasa sedikit putus asa. Dan aku kelepasan, tiba-tiba membentakmu."

Alifa mengangguk.


"Ada lagi unek-unekmu?" tanya Dinan. "Keluarkan, Al. Kita bahas sekarang, supaya nggak ada ganjalan lagi."

"Mmm... apa, ya?" bola mata Alifa berputar, tampak berpikir. "Nggak ada, Kang. Hubungan kita memang belum berlangsung lama, tapi Akang selalu jujur. Jadi, aku udah tahu banyak hal prinsipil tentang Akang. Dan itu nggak masalah buat aku."

"Kamu bisa menerima kekuranganku?" tanya Dinan lagi. "Kamu siap hidup dengan lelaki yang penuh kelemahan sepertiku?"

"Memangnya ada lelaki yang tanpa kelemahan?" balas Alifa. "Akang... aku juga punya banyak kelemahan. Kenapa Akang bertahan dengan aku?"

Dinan hanya bisa tersenyum. Ucapan Alifa adalah balasan sempurna.

"Karena Akang mencintaiku?" tebak Alifa. "Itu 'kan, jawaban Akang? Hingga rasa cinta itu bikin Akang mengabaikan segala kekurangan aku?"

Dinan mengangguk.

"Alasan aku juga sama," lanjut Alifa. "Aku mencintai Akang."


Ya, saatnya bagi mereka untuk berdamai dengan kenyataan. Kembali berdamai dengan kenyataan. Jika sebelumnya mereka berdamai dengan kenyataan yang memaksanya untuk berpisah dengan orang yang disayangi, kali ini, mereka harus berdamai dengan kenyataan bahwa orang yang disayanginya itu memiliki kekurangannya masing-masing.

Tak bisa dimungkiri, hidup pascapernikahan adalah sebuah fase sulit. Fase di saat kita menemukan kekurangan dan bahkan cacat dari pasangan, yang tak pernah ditunjukkan selama berpacaran. Banyak pula pasangan yang gugur, menyerah di bulan-bulan awal usia pernikahan mereka, dengan memutuskan bercerai hanya karena terkejut dengan kekurangan pasangan yang baru saja ditemukannya tersebut.

Bagaimana dengan Dinan dan Alifa? Waktulah yang akan menjawabnya.


"Ada satu pertanyaan," ucap Alifa dengan nada serius.

"Tanyakan aja, Al," ujar Dinan. "Silakan."

"Akang serius, ketika bilang bahwa kita akan honeymoon ke Brussels?" tanya Alifa.

"Aku serius," jawab Dinan. "Kamu kepingin bertemu Tintin dan Smurf, 'kan?"

"Iya, sih..." gumam Alifa. "Tapi, aku cuma bercanda, lho!"

"Sayangnya, aku menganggap serius ucapanmu," Dinan tersenyum.


"Satu unek-unek, Kang," cetus Alifa.

"Soal apa?" tanya Dinan.

"Mmm... apa, ya?" Alifa berujar dengan nada ambigu. "Aku malu."

"Kenapa?" kening Dinan berkerut. "Kamu masih merasa malu? Bulan depan, kita jadi sepasang suami istri, lho!"

"Hmm... begini, Kang," Alifa memelankan suaranya. "Malam pertama nanti, bakalan sakit, ya?"

Dinan tak kuasa menahan tawa. Alhasil, tonjokan tangan kanan Alifa mendarat di bahu kirinya.

"Kok malah memukul, sih?" protes Dinan.

"Akang malah tertawa!" rutuk Alifa. "Aku bertanya serius, lho! Aku... aku khawatir."

"Kamu masih virgin?" tanya Dinan pelan.

Alifa mengangguk. "Kata orang-orang, ketika pertama kali 'itu', rasanya sakit."

"Mungkin," Dinan mengangkat bahu. "Aku belum pernah jadi perempuan. Jadi nggak tahu bagaimana rasanya."

"Akang!" jerit Alifa manja.


"Aku nggak akan terburu-buru," janji Dinan. "Kamu tenang aja. Aku serahkan kendali kepadamu, kapan kamu merasa siap. Jadi, kamu bisa menikmati pengalaman pertama itu."

"Terima kasih atas pengertiannya, Kang," tanggap Alifa. "Akang memang terbaik."

"Ada satu cara, agar malam pertamamu tidak terasa sakit," ujar Dinan.

"Cara seperti apa, Kang?" tanya Alifa penasaran.

"Kita lakukan 'itu' sekarang," seloroh Dinan. "Jadi, di malam pertama nanti, kamu udah terbiasa dan nggak merasa kesakitan lagi."

Alifa melotot.


"Sini, Sayang," ucap Dinan, sambil sedikit merentangkan kedua tangannya.

"Jangan 'itu' sekarang, Kang..." gumam Alifa dengan nada cemas. "Aku takut."

"Siapa yang minta 'itu', Al?" Dinan tersenyum. "Aku kepingin memelukmu. Al... aku benar-benar kangen kamu."

Alifa bergeming, meski raut wajahnya menyunggingkan seulas senyuman.

"Sini, Al," ulang Dinan. "Rasakan sendiri, kalau aku sungguh-sungguh memilihmu."


Alifa bangkit, lalu berdiri tepat di hadapan Dinan yang masih duduk di tepi ranjang. Ia meraih telapak tangan kanan Dinan, dan menggenggamnya layaknya bersalaman. Lalu, diciumnya punggung tangan kanan sang lelaki dengan takzim.

"Izinkan aku mengabdi kepadamu, Calon Imamku..." lirihnya.

Dinan sontak berdiri, dan merengkuh erat tubuh Alifa. Sementara sang perempuan, tentu saja, membalas rengkuhan calon imamnya dengan tak kalah erat.

"Jangan pernah pergi dariku lagi, Alifa," mohon Dinan, berbisik.

"Selama ajal nggak memisahkan," Alifa mengangguk. "Aku nggak akan pernah melepaskan diri dari Akang."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Dinan tiba di Kopo Bihbul dengan wajah berseri. Hatinya sumringah, tak sabar menyampaikan kabar baik yang baru saja diterimanya, pada Mama dan Rere.

"Yang baru kencan dengan seseorang di masa lalu," seloroh Rere. "Ceria sekali, kamu!"

"Dan Mama menduga, bukan hanya kencan itu yang membuatmu ceria," imbuh Mama. "Apa yang terjadi?"

"Ma, Re," gumam Dinan, lalu menarik napas dan melepaskannya lagi. "Pekan depan, antar aku melamar, ya."

"Secepat itu, Nak?" tanggap Mama, sedikit tidak percaya.

Dinan tersenyum. "Mama pasti makin terkejut, kalau kubilang, bulan depan kami menikah."

"Nggak akan seperti kemarin lagi?" ujar Rere. "Dibatalkan hanya dua hari menjelang acara lamaran?"

"Jangan bikin aku parno!" tukas Dinan.

Rere tergelak. "Sekadar mengingatkan, Dinan. Bahwa apapun masih bisa terjadi, 'kan?"

"Kali ini, udah ada jaminan, nggak akan ada pembatalan lagi," ucap Dinan yakin. "Jadi... agendakan ya, Ma, Re. Pekan depan kita melamar, dan bulan depan kami menikah."

"Sebulan, Nak?" Mama menggelengkan kepala, takjub. "Memangnya terkejar?"

"Bisa, Ma," jawab Dinan. "Sederhana aja, kok. Nggak perlu mewah. Hmm... uangnya untuk honeymoon ke Brussels."


Mama menatap Rere.

"Bagaimana, Téh?" Mama minta pendapat Rere.

"Terserah Dinan, Ma," jawab Rere. "Mama pasti hafal, bagaimana keukeuh-nya itu anak, kalau udah punya niat."

Dinan terkekeh, mendengar ucapan Rere.

"Ya sudah," putus Mama, menatap Dinan. "Pekan depan, kami antar kamu melamar."

"Aku akan bilang Deki," imbuh Rere. "Supaya pekan depan mengosongkan jadwal. Dia yang menjadi sopir rombongan calon pelamar menuju Pasir Impun."

"Jatihandap, Re," ralat Dinan.

"Jatihandap..." gumam Rere. "Kamu akan melamar Néng Alifa? Bukan Tessa?"

Dinan mengangguk sambil tersenyum.

"Bagaimana ceritanya, sih?" tukas Rere bingung. "Mama bilang, tadi kamu membawa Tessa ke sini, lalu ke Margaasih. Lalu, ujung-ujungnya, berdamai dengan Néng Alifa?"


Dinan pun menceritakan garis besar peristiwa yang terjadi tadi. Tentang obrolan hati ke hati dengan Tessa. Tentang fakta bahwa Tessa dan Alifa adalah saudara sepupu. Tentang Alifa yang menjadikan fakta tersebut sebagai alasan dirinya membatalkan rencana lamaran. Juga tentang Alifa yang berusaha mempertemukan Dinan dan Tessa.


"Dan ternyata, ada campur tanganmu, Re," ujar Dinan. "Kamu membantu Alifa mempertemukan aku dan Tessa."

"Dan aku berhasil," jawab Rere. "Kalian kembali berjumpa dan dekat lagi."

"Ya, berhasil mempertemukan aku dan Tessa," tanggap Dinan. "Sekaligus berhasil membuatku sadar bahwa Alifa adalah pilihan terbaik."

"Bahkan dibandingkan Tessa?" tantang Rere.

Dinan mengangguk. "Alifa ada di sisiku, di masa-masa sulitku. Sementara Tessa?"

"Bagaimana reaksi Tessa?" kejar Rere.

"Tessa berbicara pada Alifa, entah apa," jawab Dinan. "Yang pasti, setelah berbicara dengan Tessa, Alifa mau menerima ajakanku. Padahal, awalnya Alifa ngotot, menolakku. Kami... bahkan sempat bertengkar."

"Kalian memang saling mencintai," Mama menanggapi. "Kamu dan Néng Alifa. Pertengkaran itu adalah bukti bahwa kalian mau saling terbuka, mau menyampaikan pendapat. Bukankah hal tersebut yang dibutuhkan dalam interaksi antara sepasang suami-istri?"

Dinan mengangguk pelan.

"Kalian akan menjadi pasangan yang berbahagia," lanjut Mama. "Hmm... seperti yang selalu Mama lihat dari interaksi kalian, sebelum pembatalan rencana lamaran itu. Dan akhirnya, waktu membuktikan bahwa kalian adalah pasangan yang tahan banting."

"Meskipun kami sempat berpisah," Dinan tersenyum kecut. "Dan hal itu sempat membuatku terpuruk."

"Tapi, karena tujuan dan misi yang sama," giliran Rere yang bicara. "Akhirnya kalian berjumpa di ujung rute. Sementara, dengan Tessa, kamu hanya punya kesamaan tujuan, dengan misi yang berbeda. Dan ya, kalian berjumpa di ujung rute, menjadi saudara. Itulah jalan jodoh antara kamu dan Tessa."

"Apapun itu, Ma, Re," ucap Dinan bersungguh-sungguh. "Alifa adalah pilihan terbaik untukku. Mungkin, aku mencintai Alifa, nggak lebih besar daripada aku mencintai Tessa. Tapi... Alifa lebih berarti daripada Tessa. Karenanya aku memilih dia."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Sementara itu, di kediaman keluarga Pak Susilo di Jatihandap, sepeninggal Dinan,

"Kalian sudah berdamai?" tanya Ibu. "Heran. Lama tidak berjumpa, perjumpaan selanjutnya malah diisi pertengkaran dan saling bentak."

Alifa terkekeh. "Namanya juga bumbu percintaan, Bu. Pasti akan ada pertengkaran."

"Yang penting, kalian sudah kembali berdamai," tanggap Ibu.

"Lebih dari itu," Alifa tersenyum.

"Maksudmu?" tanya Ibu tidak mengerti.

"Pekan depan, kita mesti bersiap kedatangan tamu," jawab Alifa. "Keluarga Kang Dinan."

"Nak Dinan akan... melamarmu?" terka Ibu. "Nak Dinan jadi melamarmu?"

Alifa mengangguk semangat.

"Ibu ikut senang," ujar Ibu dengan ceria. "Bapak juga, pasti bahagia, karena akan segera punya menantu."

"Apalagi aku, Bu," Alifa tersenyum. "Ah... aku nggak pernah mengira, kalau Kang Dinan lebih memilih aku, daripada Téh Tessa."

"Karena kamu istimewa, Sayang," Ibu mengedipkan kelopak mata kirinya. "Pantas berjodoh dengan lelaki seistimewa Nak Dinan."


+ + + + + + + + +
- T A M A T -
+ + + + + +​

Om @praharabuana apakah tesa udah sempat memberitahukan ke dinan penyebab tesa menjauhi dinan?? (klo ane gak kelewat bacanya keqnya tesa belum memberitahukan dinan kan??)... ane bebrharap tesa memberitahukan ke dinan klo awalnya tesa menjauhi dinan krna mira yang mengancamnya,lalu karna bapaknya yg gak pernah mau lagi dina bertemu denga tesa....

berharap ntar tesa bertemu lagi dengan lelaki pertama yg telah membuatnya trauma dulu (yaitu lelaki yg menjebol PW nya tesa) trus si lelaki menjadi sadar dan mencari2 tesa selama ini lalu mereka pun bertemu diwarung nasi goreng..
 
58
(Lintas Perjalanan Tessa)





"Aku bisa melakukan apapun untuk membuat Kang Dinan jadi milik aku," desis Mira. "Aku akan melakukan apapun untuk itu."

Tessa mengangguk lirih.

"Dan aku bisa melakukan sesuatu untuk merusak hidup kamu," sesumbar Mira. "Sesuatu yang..."

"Sesuatu apa?" potong Tessa. "Sebutkan, sesuatu seperti apa?"

Mira tersenyum. "Terangsang hebat, lalu disetubuhi Kang Dinan, rasanya tentu nikmat, 'kan?"

Tessa tercekat. Kamu tahu tentang itu?

"Aku kepingin tahu," lanjut Mira, setengah berbisik. "Bagaimana rasanya kalau yang menyetubuhinya adalah seseorang selain Dinan? Kamu mau mencoba?"

Tessa menggeleng tegas.

"So," Mira kembali menyunggingkan senyum. "Jauhi Kang Dinan."



+ + + + + + + + +
+ + + + + +​
om @praharabuana dari mana mira tau kalo tesa pernah "Terangsang hebat, lalu disetubuhi Dinan? apakah mira yang memberikan obat perangsang tsb?? bukan awit??
 
Tessa ngmg ap ya hhhmm...
Msh ada rahasia ntah itu takdir Tuhan..
Auah..riweh..
Blum klimaks om..
Btw thanks so much udh bikin mumet dr awal smpe skrg..sampe komen2 org dbacain kwkwkw..
Sampe pegel jg nunggu apdetan..hopelly ada 1 atw 2 chapter terakhir..applause bwt akang..
 
Bimabet
Mang saya mau ripiu sakedik ah.
Ini salah satu cerbung terbaik sajauh ini yang saya baca.
Awal baca prolognya saya pikir ceritanya biasa aja tapi ternyata ajib bener. Penggambaran latarnya juga mantap. Di awal banung tahun 2000an awal tuh kena banget .
Nah yang bikin bagus itu pembangunan sifat karakter yang natarul banget dan yeah ada developmentnya. Karena timelinya panjang dari 90an akhir sampe masa sekarang para tokoh juga ikut berkembang secara sifat atau watak ga stagnan nah ininih yang bikin beda ama cerita yang lain. Bagusnya lagi si perubahan watak itu berjalan mulus dan natural tidak dipaksakan karna misalkan sebuah moment yang mangubah watak secara drastis.
Tapi poin minusnya sih gregetnya jadi kurang pas semenjak dinan putus sama neta. Semenjak timeline itu watak dinan jadi gampang kebaca menjurus stagnan, hampir ga ada lagi kejutan kejutannya dari watak atau pengambilan keputusan dari dinan kecuali di klimaks cerita. Tapi kalo dari alur sih tetep ngegigit lah ya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd