Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Maafkan mama, Ben

Bagian 17


Lagi-lagi sebuah minggu pagi yang tenang dan dingin, bulan Juli.
Jalanan begitu lengang, dengan latar belakang sebuah kanal yang sudah kita semua kenal, di seberangnya kini dipenuhi pepohonan sejak jalanan sebelah ditutup.
5 tahun sudah lampau, sejak rumah ini menjadi saksi pertempuran pak Dwi dan bu Rara, di antara lantai berdebu, puing bongkaran dan dinding bata merah yang sudah dikelupas plesterannya.
Sekarang, rumah itu demikian asrinya, ada sebuah pohon mangga, meski belum berbuah namun rindangnya cukup untuk menambah kesejukan setiap pagi, apalagi pagi seperti ini.
Rumah ini sudah glowing, dengan taman tropis yamg sudah tertata apik, di pinggiran tembok batas kiri kanan ada keladi raksasa dan pisang-pisangan yang bunganya merah kuning menjuntai meronah.
Di kejauhan, CEKREK, bu Rara membuka pintu depan, berpiyama agak longgar motif kembang dan rumah-rumahan.
Dengan muka tanpa make up, namun tetap glowing seperti biasanya walau masih belum segar benar, menenteng kresek hitam berisi sampah dapur.
Kulit kakinya yang putih bersih nampak kontras ketika bu Rara bertelanjang kaki menyusuri perkerasan grassblock di halaman.
Di tepi pagar depan sudah ada bak kompos buatan pak Dwi dulu, 5 tahun lalu ketika rumah ini sudah menjelang selesai.
Dalam 5 tahun ini, pak Dwi entah kemana, dengar-dengar sudah pindah ke kota lain, mendapat pekerjaan baru.
Bu Rara pun sudah sibuk kembali meniti kariernya kembali, masih di skincare ternama di kota itu.
Saat sedang berjongkok mengkais-kais rumput liar yang tumbuh di antara rumput gajah mininya, bu Rara terkejut, ketika di balik pagar ada sosok pak Dwi berlalu.
Segera, berlari-lari kecillah bu Rara, menaiki bagian dinding rendah dari pagarnya, berpegangan pada teralis besi kotak, melongok keluar.
"Ya bu? Ada barang bekasnya mau dibuang? " Sosok kurus legam dengan anting di sebelah kupingnya menyapa sopan, menyadari kehadiran bu Rara.
Bu Rara jadi salting, entah kenapa masih pak Dwi terus yang ada di pikirannya, namun ternyata bukan.
"Ehh.. Nggak pak. Tadi sy mau liat kucing saya bukan yang lewat. "
"Wah.. Masa... Saya dikira kucing ya bu? " Lelaki kurus tersenyum, menjual giginya yang ompong lumayan beraturan.
Lelaki kurus hitam itu tidak setua pak Dwi, namun gigi ompong dan kuningnya berkata lain.
"Ah nggak lah pak.. Eh tunggu bentar.. " Tukas bu Rara sambil ngeloyor kembali ke arah rumah.
Setelah menanti dengan sabar, lelaki itu, pak Anis, kembali mendapati bu Rara yang cantik jelita itu, membawakan seikat dus-dus bekas yang masih bersih dan kering.
"Makasih bu.. " Jawab pak Anis bahagia, sambil menerima seikat dus bekas tersebut, dan entah sengaja atau tidak, pak Anis sempat berlama-lama menyentuh punggung tangan bu Rara yang halus itu.
Bu Rara merasa sedikit risih, lalu cepat kembali ke dalam, tanpa menjawab apapun.
Pak Anis tertawa kecil sambil menutup mulutnya, matanya terpejam saat menghirup dalam-dalam telapak tangannya yang tadi mengelus tangan mulus bu Rara.
"Mmmm.. Harumnya.. "
Pak Anis melongok ke balik pagar, namun bu Rara sudah menghilang di balik pintu.


"Ma.. " Panggil Ben sambil mengoles selai kacang di atas selembar roti tawar.
"Mm? " Jawab bu Rara singkat sambil mencuci piring di dapur, membelakangi Ben.
"Nanti Ben ngebasket ya jam 8 an, boleh pake mobil? " Tanya Ben, matanya tiba-tiba menangkap getaran-getaran bongkahan pantat mamanya di balik piyama longgar seperti puding.
"Ben, kamu kan belum punya SIM, ke lapangan kan lewat jalan raya, nanti mama antar aja lah.. " Jawab Rara yang sibuk menyikat dasar panci.
Mendadak Ben merasa aneh.
Sebelum-sebelumnya biasa saja, bahkan ketika melihat mamanya handukan, tapi pagi ini, hanya getaran bokong di balik celana longgar, tiba-tiba membuat isi celananya jadi sesak.
Ben segera mengusap-usap matanya, berkejap-kejap beberapa kali, mengusir nafsu yang mendadak datang itu.
"Pasti gara-gara nonton JAV semalam" Pikirnya.
"Mirip banget sama mama.. Siapa ya namanya.. Ah iya, Yuri Nikaido.. "
Masih terbayang-bayang oleh Ben adegan incest yang ditontonnya semalam sambil mengocok kontol remajanya sampai keluar tersembur tertampung di tisu.
Meski pejunya sudah terkuras semalam, pagi ini di meja makan, kontolnya kembali mendesak maju, berdenyut-denyut.
Dilahapnya cepat roti sambil memandang ke halaman samping, mencoba membuang jauh-jauh pikiran kotornya.
"Hei.. " Rara membuyarkan lamunannya.
"Ngelamun aja.. Ntar kesambet kamu.. " Lanjut Rara sambil mengusel-usel rambut Ben sambil berlalu.


Kembali pada sebuah minggu subuh yang cerah dan dingin, bu Rara kembali nampak menenteng kresek hitam dengan muka masih mengantuk.
Di luar pagar yang sedikit tertutup tanaman soka merah, sepasang mata memperhatikan gerak gerik Rara, memperhatikan goyangan teteknya di balik kaos longgar tanpa lengan saat menuruni step teras.
Tangan hitam dan kurus itu tergesa-gesa, membuka kancing celananya.
Matanya tajam, memeriksa kanan kiri melihat jalanan yang kosong, lalu kembali menatap tajam ke arah Rara yang semakin mendekat.
Pentungan pak Anis yang setengah mengeras berayun-ayun saat dikocoknya dengan ragu-ragu.
Pak Anis tambah melotot, pentungannya semakin mengeras, kala bu Rara hanya berjarak tak sampai 2 meter darinya, hanya terhalang pagar dan tanaman.
Bu Rara masih berjongkok, memasukkan sisa-sisa sayur ke dalam bak komposnya.
Meski langit masih setengah gelap, namun kulit putih bu Rara menampakkan dengan jelas buah teteknya yang menggantung bebas tanpa bra.
Pak Anis memberanikan diri, maju selangkah.
KRES
Bunyi dedaunan kering saat terinjak oleh pak Anis.
Rara menoleh, melotot sambil memegangi mulutnya.
Pentungan pak Anis yang sudah keras berurat, ditodongkannya ke arah Rara dari antara teralis pagar, sambil ditatapnya lekat-lekat wajah ayu bu Rara. "Sudah terlanjur" Pikirnya berani.
Bu Rara diam saja, tangannya gemetar, menyerok-nyerok bak komposnya.
Dengan kaki yang agak lemas, bu Rara berdiri, perlahan dan agak gemetar juga, berjalan pelan ke dalam, semakin dekat pintu, semakin cepat.
Ditutupnya cepat pintu kayu depannya, lalu bersandar di dalam, memegangi dadanya, dirasanya jantungnya menggedor-gedor dari balik tetek kenyalnya.
Di luar, pak Anis masih mengocok kontolnya yang belum berkurang kerasnya, sampai termuntah-muntah dengan deras ke halaman bu Rara.
Diperasnya sampai tetes terakhir, lalu segera berbalik menuju gerobaknya dan berlalu.


Rara menjadi banyak terdiam, baik di tempat kerja maupun di tengah-tengah pekerjaan rumah.
Deraan pikiran akan kontol hitam perkasa milik pak Dwi dulu, kembali mengganggunya.
Malam itu, Rara menuntaskan hasratnya, dengan timun kecil pilihannya tadi.
Dikangkangkannya lebar-lebar selangkangannya, jarinya lincah mengusel-usel klitorisnya yang sudah memerah, mengeras dan berlendir bening.
"Oooh pak Dwi.. Mmhhhh.. " Mata Rara terpejam lekat-lekat, membayangkan lidah pak Dwi yang sedang mengorek-ngorek vaginanya yang sudah nganggur bertahun-tahun, bahkan untuk urusan masturbasi, seperti saat ini.
Digosok-gosokkannya timun beruntung itu di antara lipatan vaginanya, maju mundur.
"Mhhhhh.. " Rara mendesah pelan, takut terdengar Ben di kamar sebelah.
Di saat yang sama, Ben juga sedang melototi tante Yuri Nikaido di layar laptopnya, yang sedang menghisap bergantian kontol ABG seusianya.
Demikianlah, malam itu menjadi malam masturbasi bersama di rumah itu, yang klimaksnya dicapai sendiri-sendiri.


Kembali ke pagi yang cerah dan dingin, sepasang mata indah Rara mengintip dari balik tirai jendela depan, dilihatnya sekelebat bayangan dari balik tanaman soka di depan pagar.
Pintu dibukanya, lalu melangkah anggun keluar, dengan menggenggam sapu lidi.
Sosok di balik pagar itu sudah barang tentu adalah pak Anis, yang juga hampir tiap malam menanti-nanti minggu pagi yang cerah dan dingin, dimana bu Rara yang mulus semampai itu dijadikannya objek onani dari balik pagar.
Sudah pasti disengaja, Rara memakai lingerie babydoll tipis berenda hitam, lalu ditambah atasan cardigan tipis merah maron, dan wanginya, wangi sekali.
Meski tak ber make up, tapi pakaian semacam itu yang mengekspos tubuh gemoy semok glowingnya, tak pelak membuat pak Anis mengucek-ucek matanya penuh rasa tak percaya.
Pucuk dicinta ulam tiba, namanya.
Setelah klimaksnya yang tak sempurna minggu lalu, sepertinya inilah saat yang dinanti-nanti oleh pak Anis.
Rara mulai mendekat ke pagar, masih berjarak 2 meteran, menyapui daun-daun kering asal saja, tentu dengan agak menunduk, karena sapu lidinya tak bergagang.
Diintipnya sekilas, dan pentungan hitam pak Anis sudah siap sedia keras mengkilat, di antara teralis pagar, kepalanya yang kemerahan nampak berminyak karena sudah mengeras sempurna.
Rara menyapu menghadap pagar, agar pak Anis bisa menikmati goyangan-goyangan susu Rara yang menggantung tanpa bra di balik lingerie nya.
Belum lagi pentilnya yang pink kecoklatan, pak Anis belum pernah melihat such a thing like that.
Tangan kiri pak Anis menggenggam erat teralis pagar, sambil tangan kanannya mengurut dengan sabar kontolnya yang sudah mentok padat berisi, berdenyut-denyut seakan ingin lebih keras lagi namun sudah pol.
Ditatapnya lekat-lekat, tak berkedip, menikmati tiap seperdetik momen indah langka di depannya.
Bu Rara berbalik, kali ini tunggingannya yang lebih dalam dari yang tadi, menampilkan tempiknya yang berbulu lebat.
"Aduh" Mau tidak mau pak Anis buka suara.
bu Rara mundur, sedikit demi sedikit.
Pak Anis mengulurkan tangannya sejauh mungkin, bersungguh-sungguh full konsentrasi.
Sedikit lagi, dan.. Bu Rara mendongak lalu kembali menjauh.
"Auhh" Gerutu pak Anis.
"Sst... " Panggilnya kemudian
Rara menoleh, menatap sayu genit kepada pak Anis.
"Inii.. " Pak Anis menyodorkan lebih maju pentungannya sambil dielus-elusnya pelan.
"Kenapa? "
"Kocokin bu.. " Pinta pak Anis.
"Kocokin gimana? " Tanya Rara bingung
"Sini.. "
"Ih.. Gak ah nanti bapak pegang-pegang.. " Rara mundur sedikit.
"Sini.. Gapapa.. Pegang aja.. "
Rara maju perlahan.
"Tapi bapak jangan pegang-pegang saya ya? "
"I.. Iya bu.. Iyah.. "
"Tangannya ke belakang kalo gitu pak.. "
Pak Anis sigap, tangannya berpegangan di belakang posisi istirahat di tempat, kecuali pentungannya yang masih siap siaga melengkung ke atas.
"Oohhh.. " Pak Anis melenguh ketika tangan halus Rara perlahan mengocok kontolnya yang tegang maksimal berurat.
Rara berjongkok, membuka setengah lengan cardigannya agar bahu mulus glowingnya dapat pula dinikmati oleh pak Anis.
"Enak pak? " Rara menengok ke atas ke arah pak Anis yang sedang meringis penuh kenikmatan.
"Ho.. Hooh.. " Pak Anis menjawab kurang jelas, hanya mengangguk.
Rara sebenanrnya horny sekali, selangkangannya terasa berdenyut-denyut dan pipinya hangat, namun ingin dinikmatinya juga rasa tertahan seperti ini, ada kenikmatan yang lain.
Ingin meningkatkan intensitas permainan ini, Rara mengusapkan kepala kontol pak Anis ke putingnya yang tersembul tegang dari balik lingerienya.
"Aduhhhh.. " Pak Anis semakin tak tahan.
Rara yang gemas sengaja mengocok lebih cepat, melihat wajah pak Anis yang semakin merah padam, meringis sejadi-jadinya menahan agar dapat lebih lama merasakan sentuhan Rara.
"Ouhhhh.. " Pak Anis berpegangan pada teralis dengan kuat, tubuh bagian depannya dirapatkan pula.


CROTTT .... CROTT CROT....
Rara yang hendak menghindar, terduduk di rumput, namun sebagian semprotan peju pak Anis mengenai pahanya, selebihnya berceceran di rumput.








.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd