Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Maafkan mama, Ben

Bagian 5



"Nit, bu Farah lagi ke pusat ya? Aku whatsapp ga dibales-bales" Tanyaku pada Nita, yang sedang melipstick ulang bibirnya di depan cermin.
"Nggak ah bu, sepertinya lagi ijin, dari pagi ga masuk koq. "
"Aku juga gak enak badan nih Nit.. Mau agak cepat pulang, mau ke dokter dulu. "
"Hmmm.. Beneran nih ga enak badan? " Lirik Nita dari cermin.
"Iya.. Gak ada janji juga sama pasien sore ini, nanti kalau ada yang mau konsul kasihin ke dokter Fadli aja. " Jawabku sambil menenteng tasku. "Ciao ciao".

TING

" Sore bu Laura, pulang cepat lagi? " Seperti biasa sapa pak Didik satpam.
Sore ini aku kaosan dengan blue jeans, jadi maaf aja pak Didik, ga ada belahan susu kali ini.
Pak Didik termasuk tampan sebenarnya, seharusnya dia mendapat pekerjaan yang lebih baik.
Kulirik sekilas, cincin kawin emas di jari manisnya.
Well, apapun itu, yang penting bekerja yang halal dan profesional.

TING

"Mari, pak Didik" Pamitku ramah.
"Silahkan bu Laura. "
Kali ini aku menuju basement, hari cerah dan aku membawa yamaha Mio J tuaku.
Sebenarnya, aku punya planning yang aneh sore ini.
Sambil memacu pelan Mio J ku, kulirik jam tanganku: pukul 16:22.
Setahuku proyek di dekat kanal itu biasa bubaran jam 16:30.
Ada rasa kasihan pada pak Dwi, terlebih saat itu ketika ia menolak lima lembar merah pemberianku.

"Aduh bu, jangan bu, saya ga bisa nerimanya, " Pak Dwi mundur sedikit dan agak membungkuk.
"Tapi pak, ini rasa terima kasih saya, malah ini.. Ini masih kurang pantas.. " Aku memohon.
"Jangan bu, saya bukan tidak menghargai maksud ibu, tapi cukup Gusti Allah yang membalasnya bu, sungguh. " Pak Dwi menjawab dengan menunduk sopan, tak berani melihatku.

Mengingat saat itu, mataku kembali berkaca-kaca.
Aku singgah di Alfamart, membeli sekarung beras 5kg an, minyak goreng dan beberapa barang lainnya.

Sejurus kemudian, aku sudah di depan pagar proyek pembangunan kompleks perkantoran di dekat kanal.
Aku stop di seberang jalan, melihat para pekerja bangunan pulang, rata-rata bawa motor, harusnya gak sulit menemukan pak Dwi di antara mereka.
15 menit berlalu, kulirik lagi jamku: 16:47.
Tak lama, setelah pekerja terakhir keluar, seorang petugas keamanan berseragam hendak menutup pintu.
Aku menyeberangi jalan, setelah memastikan belanjaanku aman di motor.
"Pak, maaf pak. "
"Ya bu? " Sang petugas segera berbalik.
"Pak, mau tanya, ada pak Dwi kerja di sini?"
"Ooh, iya bapak kurus yang sepedaan itu ya. "
"Iya pak.. "
"Kalo pak Dwi, seingat saya ya, udah mungkin 2 atau 3 hari g masuk kerja. Saya apal, soalnya cuma dia yang sepedaan disini. Lainnya naik motor. "
"Oh iya pak, gak pa pa.. Eh, makasih ya pak infonya. " Aku bergegas pamitan.
Ada sesuatu yang ganjil dari tatapan petugas tadi, tapi apa ya?
Seperti hendak mengingat-ingat pernah melihatku di suatu tempat.
Duh, kalau gini mending aku ke rumahnya pak Dwi aja di pinggir kanal itu.
Gak ada 5 menit, aku sudah kembali berada di depan pagar rumah tua itu yang tidak pernah tertutup.
Kudorong motor melaui halaman yang agak panjang ke dalam, melewati rerumputan dan pepohonan di kiri kanan yang sudah lebih rimbun, dari terakhir aku ke sini.
Di teras depan terparkir sepeda yang kukenali adalah punya pak Dwi.
Di sisi kanan ada sepeda gerobak berisi kardus-kardus bekas yang terlipat, dan beberapa karung botol plastik bekas.
Aku terkejut seperempat mati, saat melangkah masuk, ada anak kecil bermain di lantai berdebu itu.
Rambutnya coklat agak awut-awutan, duduk seenaknya di lantai sedang menulisi lantai yang berpasir dengan ranting kayu sambil menyedot ingusnya yang kehijauan.
"Mamak.. Mamak.. " Ujarnya sambil menunjuk ke dalam.
Aku masih bingung.
Aku berjalan pelan tanpa bersuara, menyusuri lorong.
Rumah tua ini memiliki ruang tamu di depan, lalu lorong panjang dengan kamar-kamar di satu sisi.
Kamar pertama yang kutemui kosong, beberapa tanaman merambat sudah merayap masuk dari jendela samping.
Kamar kedua.. Astaga.
Pintu terbuka tapi aku menghentikan langkahku, sebelum mencapai pintu itu.
Perlahan, dengan jantung berdegup meninggi, aku mengendap maju.
Kulihat lagi ke arah depan, anak kecil berusia 3 tahunan tadi masih asyik menggambari lantai dengan ranting.
Semakin aku mendekati pintu, semakin sayup-sayup terdengar.

"Mmhh.. Mh... Mhhh... "
PAK PAK PAK PAK PAK
Aku menutup mulutku dan terbelalak.
Seorang pria paruh baya yang kukenal, namun kali ini tubuh hitam legamnya telanjang, sedang membelakangi aku.
Otot pinggang dan pantatnya bergerak-gerak, seiring goyangannya yang teratur pada bongkahan pantat jumbo di depannya.

"Mmh.... Mmhhh... Mmhh.. " Hanya suara halus wanita bertubuh gemuk itu yang terdengar.
Pak Dwi nampak seperti mesin seks yang tak bersuara.
Sesekali dihentaknya dengan keras, CEPLAK CEPLAK
Lalu kembali digoyangnya dengan pelan dan teratur.
Oh God, keringatku mulai bercucuran.
Mendadak, aku ingin.
Aku sudah lama tidak itu..
Aku ingin, kontol Bill bisa keras lagi, dan menyodokku seperti yang pak Dwi lakukan pada perempuan gemuk di depannya.
Lalu rasa itu segera berubah, karena Bill sudah loyo.
Perutnya saja segede karung beras yang kubeli di Alfamart tadi.
"Mmhh... Oooohhhh.. " Perempuan gemuk yang masih bergamis lusuh dan berbaju lengan panjang tadi melenguh merdu.
"Ooohhhh.. Ah.. " Tangannya mencoba meraih-raih ke belakang.
"Terus mas, yang keras... "
Pak Dwi hanya diam, tak berhenti menggenjot, dengan otot-otot kelingnya yang semakin mengkilat basah oleh keringat.
"Ahhhhh.. " Pekiknya lagi, sambil memegang tangan yang diulurkan pak Dwi.
Pak Dwi berhenti menggenjot.
"Mas, aku sudah.. " Perempuan gemuk bergamis tadi menjatuhkan pipinya ke lantai, dengan pantat berlemaknya masih dalam kekuasaan pak Dwi.
"Keluarin mas, aku udah keluar 2 kali.. Capek.. "
Sesaat pak Dwi mengatur nafas, lalu kembali menggenjot tanpa ampun.
5 menit berlalu, perempuan gemuk nampak mulai meringis.
"Mas, keluarin aja cepet, aku capek.. " Pintanya.
Pak Dwi mempercepat genjotannya, mencabut dengan sigap kontolnya,

"Aaargghhhgg... Haaaahhh.... Ahhh... "
Raungannya menggemai kamar dan lorong itu bersamaan ditumpahkannya dengan hari-hati cairan putih kentalnya di puncak pantat si perempuan gemuk.
"Awas mas, jangan kena bajuku.. " Pinta perempuan gemuk tanpa bergeming
 
Bagian 6

Kedua insan yang bentuk tubuhnya berbeda ekstrim tersebut, tergolek lemas bersebelahan, di atas kasur buluk tak berseprai.
Perempuan gemuk tengkurap, punggungnya bergerak naik turun masih terengah-engah, pak Dwi berbaring telentang di sebelahnya, memeras sisa-sisa santan kental dari kontolnya yang bahkan lebih legam dari warna kulitnya.
Kami sama terkejutnya, ketika pandangan mata kami bertemu.
Aku segera menarik diri dari pintu, berlari-lari kecil ke halaman depan, melewati anak tadi yang masih asik bermain dengan stik rantingnya.
Aku duduk sejenak di jok Mio J ku, mengusap keringat di dahiku.
Jantungku masih berdebar-debar tidak keruan, dihadapkan pada semua keadaan aneh ini.
Haruskah aku pergi? Tidak, aku tidak dapat memutuskan.
"Ayo masuk nak, dicari ibumu. " Terdengar suara pak Dwi sayup-sayup dari dalam ruang tamu.
Pak Dwi sarungan dan bertelanjang dada, menghampiriku.
"M.. Maaf pak, saya gak tau lagi ada istrinya. " Entah pemilihan kalimatku tepat atau tidak, dalam situasi ini.
"Nggak apa-apa bu.. Dan mbak Min bukan istri saya juga. "
Diam sejenak, pak Dwi melanjutkan penuturannya, " Mbak Min dulunya bersuami, lalu mabok-mabokan dan judi gak jelas, tau-tau suatu hari pergi begitu saja, ninggalin mbak Min dan 2 anaknya. "
"Tapi, cuma ada 1 anak saya liat pak? "
"Satu lagi di belakang. "
"Ooh"
"Saya bantu kuburkan di halaman belakang, yang masih bayi, waktu ditinggal suaminya, lagi demam tinggi, sedangkan mbak Min tak ada yang menolong, uang sepeserpun gak punya. "
Ah, hatiku teriris-iris mendengarnya.
Meski kurang lebih nasibku dan mbak Min mirip, dalam hal suami yang gila, setidaknya aku masih memiliki segala sesuatunya.
"Jadi.. " Pak Dwi melanjutkan ceritanya "Disini sudah kayak istri saya sendiri, datangnya ya pas berteduh karena kehujanan juga" Sedikit senyum merekah dari pipi keriput pak Dwi.
"Oh iya pak, em.. Tempo hari man bapak ga bersedia menerima pemberian saya, kali ini diterima ya pak.. " Ujarku memohon.
"Bisa buat mbak Min dan anaknya juga kan pak.. Ini nggak seberapa koq. "
Pak Dwi melihat ke arah beras dan lainnya di motorku.
"Aduh bu Rara, saya berat menerimanya, ini terlalu banyak buat saya. " Pak Dwi berkaca-kaca.
"Terima ya pak, saya angkat nih ke dalam. " Aku mau mengangkatnya tapi pak Dwi mencegahnya.
"Baik bu.. Ja.. Jangan, jangan, biar saya aja yang angkat" Pak Dwi bergegas meraih beras dan kantong kresek berisi minyak goreng dan lainnya.
Aku mengikutinya ke ruang tamu, anak kecil tadi sudah tak ada.
Mbak Min keluar dari kamar, sudah berpakaian lengkap, menggendong anak kecilnya.
Mbak Min tidak terlalu nampak heran, sepertinya dia tidak tahu, kalau aku tadi sempat menyaksikan persenggamaannya dengan pak Dwi.
"Mas Dwi aku keluar bentar ya ke tempat nimbang. " Didudukkannya anaknya di dalam gerobak yang sudah berisi karung-karung botol bekas.
Aku tersenyum saja pada mbak Min saat ia berlalu.
"Bu Rara, monggo duduk.. Bentar bentar tak kibas dulu" Pak Dwi dengan cekatan menepuk-nepuk sofa tua yang sudah robek sana sini berwarna merah tua.
"Bu Rara saya beneran gak nyangka, hati ibu sebaik ini.. "
Diambilnya bungkus rokok dari lantai di belakang bangku kayunya.
"Maaf, saya merokok gak apa-apa ya bu? "
Aku mengangguk saja.
"Yah begitulah bu.. Bukan kali pertama rumah ini kedatangan orang gak bener. "
Pak Dwi memantik rokok kreteknya, sesaat kemudian asap pekat mengepul.
"Kadang ada yang bawa cewek kesini, bawa banci, seringlah, ada-ada aja bu. "
"Trus bapak gimana? "
"Ya saya usir bu, saya takut-takutin pake clurit. "
Ditiupnya ke arah lain asap rokoknya, sambil melihat ke arah jalanan di depan.
"Tapi kalau orang baik hati kayak bu Rara, kapan saja boleh berteduh disini. " Seulas senyum tadi muncul lagi.
"Tiap minggu saya kesini boleh ya pak, bawain bapak beras sama minyak goreng. "
"Jangan bu.. Saya kan kerja.. " Tiba-tiba kalimatnya terhenti.
"Bapak masih kerja di proyek perkantoran itu? "
Pak Dwi tidak menjawab, kian dalam rokok kreteknya dihisap.
Sepertinya aku tau apa yang terjadi, tapi pak Dwi enggan membahasnya.
Tetap seorang lelaki sejati, enggan meminta-minta.
"Jangan ditolak ya pak? Saya tulus dan ga punya maksud apa-apa selain membalas budi bapak. " Aku bergeser mendekati pak Dwi yang duduk di bangku kayu kecilnya.
"Dan.. " Wajahku memerah "maaf tadi gak sengaja melihat pak Dwi lagi itu.. "
"Ha ha.. Ya nggak apa-apa to bu, situ kan juga sudah bersuami? "
"Iya, tapi punya suami saya ga bisa keras kayak punya pak Dwi. " Entah kenapa aku mengucapkan itu, iblis entah dari mana yang membisiki.
"Uhukk.. " Pak Dwi langsung terbatuk.
"Bu Rara ini lucu, masa saya yang dekil ini dibandingkan sama suaminya? "
"Iya pak Dwi, aku tadi ga berkedip, nonton mbak Min dikerjain bapak.. " Ujarku lembut manja, sambil bergeser sejengkal lagi.
"Aku kan sudah tua bu, umurku saja sudah.. " Pak Dwi tidak meneruskan, cuma kembali mendaratkan rokok di mulutnya.
"Aku gak tau umurku berapa bu, gak punya KTP. "
"Aku bisa cari tau umur pak Dwi.. " Tanganku semakin berani memegang paha pak Dwi yang masih terbungkus sarung.
Pak Dwi nampak tetap tenang dalam hisapan rokoknya, dan seakan membaca pikiranku, tiba-tiba ia berdiri.
"Coba bu Rara cari tau.. " Tangannya sebelah berkacak pinggang dan sebelah lagi kembali mendaratkan rokok yang tinggal dua ruas jari panjangnya ke mulutnya.
Tepat di hadapanku yang masih duduk di sofa, pak Dwi meraih tanganku dengan lembut, menuntunnya perlahan menyusup ke dalam sarungnya.
Kudapati kontol pak Dwi yang menggantung, masih setengah terkulai saja sudah sepanjang ini.
"Bu Rara sudah tau umur saya? "
"Mmm.. Belum.. " Jawabku lembut sambil mengusap-usap kontol pak Dwi, merasakan tekstur urat-uratnya dan bulu-bulu rimbun di pangkalnya.
'Coba, permisi.. " Pak Dwi perlahan melonggarkan sarungnya, dan mengangkat sarungnya keluar melalui atas.
Gosh.
Jantungku.
Otot-ototnya pak Dwi.
"Bagaimana bu Rara? Sudah tau? " Dihisapnya untuk terakhir kali rokoknya lalu puntungnya dibuang ke lantai, diulek dengan kaki telanjangnya.
"Mmm... " Aku masih terkagum-kagum dengan pentungan kayu eboni di depanku ini, bahkan masih ada sisa permainan dengan bu Dwi tadi di ujungnya.
"Bu Rara cantik banget.. " Ujar pak Dwi seiring kontolnya semakin tegak dan tegak melengkung.
"Maafin aku bu, sudah kurang ajar.. "
"Mm... Nggak koq pak. " Kuusap kontol pak Dwi dengan tanganku yang halus, yang berkuteks pink tua.
"Tangan bu Rara halus banget.. Tapi apa nggak bau burungku bu? Aku cuci dulu ya.. "
Aku menggeleng perlahan.
"Aku hisap ya pak.. "Pintaku sambil mengocoknya lembut. Kontol pak Dwi sudah kembali siap tempur.
Tanpa aba-aba dan menunggu persetujuan, kontol pak Dwi sudah separuh masuk di rongga mulutku.
Pak Dwi tak bersuara, hanya sesekali memejamkan mata.
Tangan hitam kekarnya mengelus-elus rambut mahalku, yang beberapa hari lalu baru saja disalon.
"Mmmmhh... Srppppp.. Srppp.. Srppp.. " Aku memaju mundurkan kepalaku perlahan, menikmati tiap sentimeter tekstur kontol pak Dwi.
Cairan asin sisa persetubuhan tadi, kutelan semua.
Sial, kontol Bill waktu baru menikah pun gak segede ini.
Pak Dwi, di usia yang kutafsir sekitar 55-60 tahun, masih tegak berurat begini.
Tangan pak Dwi tak ingin ketinggalan, meremas lembut susu mungilku yang masih terbungkus bra dan baju kaos.
"Akh.. " Tanpa melepas kulumanku aku menjerit kecil ketika pak Dwi mendadak meremas kasar susuku.
Kulepaskan kulumanku, lalu kubuka kaosku dengan cepat.
Pak Dwi terbelalak, seumur-umur melihat tubuh seputih dan sehalus ini mungkin belum pernah, apalagi kontras sekali dengan bra hitam berendaku.
Kubuka juga bra ku, hingga kini bertelanjang separuh atas tubuhku.
Pak Dwi menjejalkan kontol hitamnya di antara susuku.
"Hmhh.. " Aku tersenyum "susuku kecil pak, gak bisa buat jepit. "
Pak Dwi tak peduli, diusap-usapkannya dengan bersemangat batang eboni nya ke pentil coklat muda menuju pink milikku.
"Ahh.. " Aku bersandar ke sofa, pak Dwi merangsek maju.
"Bu Rara gantian aku yang hisap susunya ya.. " Ujarnya sesaat sebelum melahap susuku bergantian.
"Ahhhhh.. " Sudah lama tak ada yang menghisap susuku, sejak Bill brengsek itu beralih dariku menuju minuman keras.
"Ohhh nikmatnya pak... Gigit pelan pak... "
Pak Dwi menggigit putingku sebelah dan meremas kasar yang sebelah lagi, dan.
"Ooohhhhhh.. " Orgasme pertamaku tiba.
Orgasme pertama lagi, setelah bertahun-tahun.
Bill sial itu bahkan dihisap beberapa menit udah gak tahan.
"Pak Dwi, entot aku.. " Aku memohon padanya, yang masih sibuk dengan susuku.
Pak Dwi melirikku, lalu naik memagut bibirku.
"Mmmhhhh.... Mmmm... " Entah kenapa bau rokok yang biasanya kubenci, membuatku semakin horny.
"Mmmmhhhh.. Mmmm.. Srppp.. Cupp.. Mmmmmmh... "
Bau rokok bercampur bau keringat alami pak Dwi, membuatku ingin orgasme untuk kedua kali, padahal memekku belum sekalipun disentuh.
Pak Dwi terus melumat bibirku sambil meremas susuku bergantian.
"Mmm.. Mana kontolmu.. Emhh pak... "
Pak Dwi sigap berdiri di atas sofa, memperkosa mulutku sambil berpegangan pada dinding lapuk di belakangku.
"Mmmhhh.. Mmff... Emh.... "
Beberapa menit berlalu, memekku sudah berkedut-kedut meminta tumbukan.
"Mmmf... Pak... Mmh... Entot aku pak.. "
Pak Dwi dengan sabar turun, membuka kancing jeansku perlahan, dan menurunkannya pelan-pelan.
Tampaklah CD tuaku yang sudah mulai robek juga di beberapa ujungnya.
Memekku sudah lembab sedari pagi meninggalkan bekas di bagian selangkangan CD ku.
Diturunkannya CD ku sekali hentak, lalu dibuang ke sampingku.
"Ayo pak.. Please... Entot aku sesukamu.. " Aku memohon sambil membuka lebar kedua pahaku.
Memekku yang masih sempit karena cesar saat melahiran Ben, sekali lagi membuat pak Dwi terbelalak.
"Bu Rara belum pernah brojol? "
"Mmmh... Cepat pak.. Masukiiin.. " Pintaku manja.
Diletakkannya mantap pentungan hitamnya di atas belahan memekku, ditekannya tanpa memasukkan kepalanya, hanya dilewatkannya saja.
"Ohhh.. Shit... Kenapa ga dimasukin paak.. "
Pak Dwi terus menggesekkan sisi bawah pentungannya ke belahan bibir memekku yang sudah licin berair.
"Pak... Ohhh... Please.. "
Pak Dwi hanya memejamkan mata, meneruskan kegiatannya tadi.
Badannya membungkuk, menjilati kedua putingku.
"Ooh pak.. Kenapa.. Gak.. Dimasukin.. "
Pak Dwi sudah berpengalaman sekali membaca tanda-tanda tubuh perempuan.
Dan tiba-tiba..
SREPPPP
Dihujamkan kontolnya sedalam-dalamnya, sambil mencengkeram pinggulku.
"Oohhhhhh... " Aku bangkit memeluk erat-erat pak Dwi, semakin merapatkan tusukan pertama kontolnya.
"Akkhhhhhhhh... " Memekku menyedot-nyedot kontol pak Dwi yang diam saja.
Aku meringis, menitikkan air mata, dan mencengkeram punggung pak Dwi sampai kulitnya tercabik.
Aku orgasme untuk ketiga kalinya, pada tusukan pertama kontol pak Dwi.
Aku menjatuhkan diri ke sofa, lemas.
Pak Dwi mulai memainkan kontolnya dalam memekku dengan tenang.
Kalau ini persetubuhanku dengan Bill, mungkin sekarang dia sudah ngorok, dan aku sedang mencuci memekku.
Tapi ini, pak Dwi bahkan baru mulai menanamkan kontolnya di memekku, aku sudah orgasme untuk ketiga kalinya.
Aku lemas, tapi tusukan demi tusukan pak Dwi membangkitkan kembali gairahku.
Aku merasa penuh, liang memekku belum pernah terasa tersumpali kontol seperti ini.
Kontol seorang pekerja bangunan paruh baya yang dekil, namun padat dan keras melengkung.
"Bu Rara.. Oh... Memekmu rapat sekali, gak melar kayak memek mbak Min. " Sesekali pak Dwi menyeka keringatnya.
"Sini pak, kasih aku keringatmu. " Kuraih tangannya yang hitam kasar, dan kuhisap jemarinya.
"Ohhh.. Pak Dwi aku mau keluar lagi.. "
"Sodok yang cepet pak.. Ouhhh.. "
PAK PAK PAK PAKPAKPAKPAKPAK
"Ouhhhh... " Aku meringis nikmat lagi, tubuhku mengejang untuk kesekian kalinya, namun aku tak punya daya lagi untuk bangkit dan memeluk pak Dwi.
Melihat itu, pak Dwi dengan lembut mendekatkan tubuhnya, dada kami bersatu, kepala pak Dwi di samping kepalaku.
Kujepit pantat pak Dwi dengan kedua kakiku, kutekan dalam-dalam.
"Akhhhhhh... Ahhhh...... Mmhhhh.. "
Orgasmeku yang keempat tiba.. Mungkin yang terakhir, aku sudah tak kuat lagi.
"Bu Rara, aku tumpahin dimana? "
Pak Dwi mencabut kontolnya dan berdiri sigap.
Aku terbaring lemas dan membuka mulutku.
Pak Dwi mendekat, dan..
CROTTT CROTTTT CROTTTTTT
Pak Dwi berjuang di sisa-sisa sperma penghabisannya, setelah sebelumnya menggauli mbak Min, sekarang giliran cici bongsor ini yang dipuaskan.
Kuraih dan kukulum bersih kontol pak Dwi, spermanya sudah kutelan semua.
Pak Dwi nampak mengatur nafas sejenak, lalu tiba-tiba ia terkaget.
"Hoi.. Bajingan.. " Pak Dwi mengambil sandal jepitnya dan melempari jendela ruang tamu.
Tak lama terdengar suara langkah berlarian menjauh diiringi suara tawa cekikikan.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd