Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Malam Jahannam

letoy234

Suka Semprot
Daftar
2 Jan 2014
Post
20
Like diterima
109
Bimabet
Salam! Ini ada cerita sempalan dari Berdamai dengan Luka https://www.semprot.com/threads/1022062?-Berdamai-dengan-Luka. Mudah-mudahan menghibur.

Malam Jahannam

"Bangsat lo semua!!!" Santo beranjak dari kursinya. Ia menerjang seorang laki-laki yang baru saja mendobrak pintu. Tanpa perhitungan, ia maju sambil tangannya merogoh sesuatu di pinggangnya. Tapi kecepatan tangannya kalah dengan kecepatan sebutir timah panas yang menembus iga kirinya. Badannya tersentak, Santo tidak menyadarinya. Ia hanya mendengar letusan nyaring. Badannya tersentak lagi, dan letusan yang kedua membuat dia sadar kalau telah tertembak. Santo ambruk ke lantai. Peluru kedua menembus pangkal lehernya. Darah pun berhamburan di lantai.

Sasha yang melihat kejadian itu dengan jelas langsung histeris. Ia tak peduli dengan teriakan beberapa laki-laki untuk tetap diam. Dari kursinya, Sasha menghambur ke arah Santo. Ia menangis. Hanya bisa menangis. Tak tega melihat Santo yang nafasnya tersengal-sengal. Darah keluar deras dari lubang di balik kaos hitam dan leher Santo. Mata Santo mendelik, entah ia merasakan sakit atau apa. Tapi sepertinya Santo tahu ajalnya sudah dekat.

"Santooooo, hu hu hu hu...," Sasha berusaha mengangkat kepala Santo ke pangkuannya. Ia tak tega melihat sahabatnya berakhir seperti itu. Mengakhiri hidup seperti itu.

"Sha, gua minta maaf sama elo. Tuhan ternyata ada. Gue dipanggil duluan, gua dah selesai..." Santo terbata-bata menyelesaikan kalimatnya dengan nafas yang masih tersisa. Sasha menangis semakin keras. Ia mengguncangkan tubuh Santo karena Santo benar-benar tidak bergerak. Mata Santo terbuka dan mulutnya menganga. Darah melumuri celana pendek dan paha Sasha. Santo benar-benar kehilangan nyawanya kali ini.

Dua laki-laki berbadan tegap berambut gondrong langsung memisahkan Sasha dari tubuh Santo. Seorang laki-laki lain yang tidak memegang senjata mengamankan dirinya, sedangkan dua orang yang memegang pistol menggeledah tubuh Santo. Sasha hanya bisa pasrah. Ia tak tahu harus berbuat apa. Untuk kesekian kalinya ia merasa perjalanan hidupnya akan menemui titik bawah lagi.

*

"Santo.." Seorang perempuan pertengahan 30-an memanggil anaknya yang sedang berenang di kolam renang pekarangan rumah. Sang anak laki-laki yang baru menginjak remaja pun menepi, menghampiri ibunya.

"Sudah berenangnya. Makan dulu, mama bikin nasi goreng nih," ujar si Mama.
Santo pun naik dari kolam renang, menghampiri meja di pinggir kolam tempat ibunya berdiri. Ia mengeringkan badan dan menemani ibunya yang sudah duduk.

"Istirahat dulu, jangan kecapekan, kamu kan harus belajar, besok ada ulangan nggak?"
"Ah belajar mulu mah, males. Kalo ulangan nyontek aja, gampang," ujar Santo sambil menyendok nasi goreng ke mulutnya.

Mamanya hanya tersenyum mendengar jawaban itu. Namun Santo kemudian mendapatkan nasehat-nasehat yang penuh kasih sayang. Santo bahagia dengan perhatian mamanya. Mamanya adalah satu-satunya orang yang memberikan kasihnya dengan tulus. Ia jarang mendapatkan perhatian dari papanya, karena papanya tak tentu ada di rumah.

Dari sisi materi, Santo tidak pernah kekurangan. Ayahnya yang seorang pengusaha, berlebihan untuk membiayai mereka. Apalagi Santo adalah anak satu-satunya. Santo bisa dibilang anak paling kaya.

Hanya saja keindahan dan kehangatan keluarga itu tidak bisa bertahan seterusnya. Beberapa bulan setelah sore yang indah itu, Santo menemukan rahasia lain dari papa dan mamanya. Suatu malam, papa dan mamanya bertengkar hebat. Keduanya mengumpat kata-kata kasar. Semua nama binatang terucap dari mulut mereka. Santo tahu kalau mamanya marah karena papanya selingkuh. Tak hanya itu, masa lalu keduanya pun terkuak. Sekilas Santo mengetahui kalau dia bukanlah anak yang lahir karena cinta. Dia adalah anak yang lahir karena nafsu. Pernikahan kedua orangtuanya terjadi karena mamanya telah mengandungnya lebih dulu.

Santo sedih mendengarnya. Ia yang baru menginjak remaja tidak paham seluruhnya dengan pertengkaran itu. Caci-maki kedua orangtuanya semakin hebat. Papanya bahkan tak segan-segan melayangkan tangan ke wajah mamanya. Santo tak tega melihat perlakuan itu, tapi ia juga takut melihat papanya yang sedang marah.

Ketika pertengkaran itu mereda, ia melihat mamanya sudah mengemas koper. Mamanya akan meninggalkan rumah. Santo sempat merengek menghentikan langkah mamanya. Namun hati mamanya sudah hancur berkeping. Mamanya bertahan dengan pendiriannya. Ia tetap menuju mobil yang diparkir di garasi. Santo hanya bisa merengek, melihat mobil mamanya meninggalkan gerbang rumah.

Santo menangis semakin jadi. Ia tahu bahwa ia akan menjadi laki-laki, tapi ia tak kuasa kehilangan mamanya. Ia menangis sejadi-jadinya, meringkuk di salah satu pilar rumahnya yang mirip istana. Ia tak peduli, meski papanya menyuruhnya masuk.

Ia tetap menangis. Di dalam hatinya ia marah kepada papanya. Kenapa mamanya yang harus pergi dari rumah itu? Kenapa mamanya yang ditampar, jika yang tidak diinginkan di rumah itu adalah dirinya. Ia sedih, marah, bingung, dan sebagainya. Isakan tangisnya semakin lama semakin reda, namun kesakitannya mengendap di dasar hatinya. Sampai Mang Udin, penjaga rumah, mengantarkan Santo masuk ke dalam kamarnya.

Sejak malam itu, Santo benar-benar merasa sendirian. Tidak ada lagi orang yang memberikan perhatian padanya. Papanya bahkan tidak berkomunikasi dengannya seminggu setelah itu.

Kesedihan Santo bertambah, ketika dua bulan berikutnya datang seorang perempuan yang dipanggilnya Tante Dona. Papanya bilang bahwa Tante Dona adalah calon ibunya yang baru. Santo benci kepada perempuan itu, karena perempuan itu yang membuat mamanya pergi.

Namun sebagai laki-laki remaja yang menginjak dewasa, Santo tak bisa membohongi dirinya kalau dia tertarik dengan kecantikan Tante Dona. Saat menemani papanya, Tante Dona selalu tampil anggun. Bahkan saat papanya tidak di rumah, Tante Dona selalu menjaga sikapnya dengan baik. Dona adalah sosok perempuan yang matang baik seksualitas ataupun kedewasaan.

Ketertarikan Santo terhadap Dona terus bertambah. Ia sering mengamati Dona jika sedang berenang. Jika mendapat kesempatan itu, Santo membandingkan tubuh Dona dengan adegan-adegan film biru yang sering ditontonnya.

Sampai suatu malam, saat Papanya tidak ada, Santo tahu siapa sebenarnya Dona. Santo terkejut ketika Dona masuk ke kamarnya saat dia sedang menonton bokep. Dona hanya tersenyum melihatnya sedang onani. Santo gugup Dona menghampirinya. Dia malu sekali.

"Kamu suka nonton itu ya? Coba Tante lihat punyamu?" Dona langsung menyibakkan bantal yang menutupi selangkangan Santo. "Hhhmmm, masih lemes. Tante bikin tegang ya." Tanpa ragu-ragu Dona langsung menggenggam penis Santo.

"Tante.." Santo bingung.
"Kamu diam saja. Jangan bilang Papa ya, Tante juga gak akan bilang ke Papa," ujar Dona menenangkan.
"Iiiyyyaaa tante..."
"Kamu sudah punya pacar?"
"Sudah tante?"
"Oooo, sudah pernah ML?"
"Belum pernah."
"Ooo, kalo lihat perempuan telanjang?"
"Sudah tante."
"Pacarmu?"
"Iya," Santo menjawab lugu.
"Kok gak sekalian ML saja kalau sudah telanjang?"
"Eeee takut tante."
"Takut apa?"
"Hamil."
"Oooo, kalo sama tante jangan takut ya."
"Iyaa..."
"Dah kamu gak usah lihat filmnya. Lihat tante aja. Tante bisa kok kaya di film." Dona benar-benar menjadi mentor yang baik buat Santo malam itu.

Bagi Santo, kehadiran Dona tentu saja membuat dia bimbang. Satu sisi dia benci dengan calon ibu tirinya, sisi lain Santo benar-benar penasaran dengan yang namanya ML. Dan Dona menawarkan hal itu.

"Tante....?" Santo coba mengutarakan kebimbangannya.
"Husssh...kamu diam saja. Nikmati saja. Kamu akan jadi laki-laki dewasa," ujar Dona.
"Tapiiii..."
"Gak ada tapi-tapian. Saya tahu kamu benci saya. Karena saya mengambil ayahmu kan? Jadi kenapa tidak sekalian saja, kamu ambil saya dari ayahmu, jadi saya tidak akan pernah jadi ibumu," Dona berurai panjang tanpa dimengerti Santo. Sementara tangannya terus mengocok penis Santo.

"Kalau ketahuan saya bisa dibunuh Tante."
"Gak akan ketahuan, kalau salah satu dari kita tidak memberi tahu. Saya akan tutup mulut. Kamu?"
"Saya juga akan diam."
"Bagus kalau gitu. Nikmati ya. Tuh dah tegang," ujar Dona yang menghentikan kocokannya. Dia kemudian melepas daster tidurnya. Dona langsung bugil karena ia tidak memakai pakaian dalam.

Santo menelan ludah secara tak sadar. Baru kali itu ia melihat tubuh perempuan dewasa yang sangat menggiurkan. Tak beda jauh dengan pemain film bokep yang sering dia tonton.

Dona kemudian mengulum penis Santo. Bibirnya secara teratur naik turun mengurut urat penis Santo. Santo kegelian sekaligus terangsang. Dona benar-benar perempuan berpengalaman, Santo yang masih bau kencur dibuatnya mabuk kepayang. Kuluman bibirnya di penis Santo membuat anak itu melupakan semua kebimbangannya. Dona juga meraba buah zakar yang membuat Santo tak bisa menahan kenikmatannya. Tanpa memberi aba-aba, Santo memuncratkan spermanya. Dona tersedak. Tapi dengan sigap Dona menampung semua sperma Santo di dalam mulutnya. Santo langsung terkulai lemas, sedangkan Dona menelan semua sperma Santo.

"Makasih ya," ujar Dona.
"Iya Tante. Tapi kok Tante yang makasih, bukannya saya ya?" Santo mulai berani memulai obrolan.
"Banyak orang percaya, sperma perjaka itu obat awet muda. Makanya Tante senang kamu kasih buat Tante. Dah sekarang istirahat dulu, penis kamu layu tuh," goda Dona.

Dona pun rebahan di samping Santo. Dona membuka obrolan soal seks. Ia membahas adegan-adegan dalam film yang masih berputar. Santo tidak canggung lagi. Ia bertanya-tanya seputar seks. Dona menjadi guru yang baik. Tak hanya menjelaskan, tapi memberi contoh langsung.

"Sekarang coba kamu cium Tante ya. Yang lembut, seakan-akan Tante ini pacarmu. Kamu tidak mau kehilangan dia," pinta Dona. Santo pun melakukan permintaan itu. Ia mencium bibir Dona, lembut. Dona membalasnya dengan lembut. Namun seiring ciuman itu, Dona mengeluarkan jurusnya untuk memancing libido Santo. Lidah Dona menari-nari di dalam pagutannya. Tangannya meremas-remas rambut Santo.

Puas dengan bibir, Dona meminta Santo menjilati semua tubuhnya. Hanya saja sebelum itu ia meminta Santo untuk telanjang seperti dirinya. Santo melepas kaos, pakaian satu-satunya yang masih melekat.

Dona mengarahkan jilatan Santo di wajahnya. Ia ingin Santo membangunkan birahinya. Ia juga meraih tangan Santo untuk meraba payudaranya. Sebagai seorang pemula, Santo pun tidak pasif. Ia mempraktekkan pengetahuannya dari film bokep. Tak butuh waktu lama gairah Dona bangkit. "Jilat puting Tante To," pinta Dona.

Santo sigap mengulum pentil Dona. Pentilnya yang hitam mancung membuat Santo bersemangat. Bagi Dona, jilatan Santo mungkin masih kalah dengan puluhan laki-laki yang pernah tidur bersamanya. Tapi karena Santo yang masih perjaka menghasilkan sensasi tersendiri. Jarang-jarang Dona bisa mendapatkan keperjakaan seseorang.
"Gigit-gigit kecil To," pintanya lagi. "Aaauuu jangan keras-keras.." Dona kesakitan karena Santo terlalu bersemangat. "Iya segitu pas, uuuuhhhhh....geli enak To."

Santo mengulanginya lagi. Tanpa disuruh ia pindah ke puting sebelahnya lagi. Kali ini ia mulai mahir mengimbangi Dona. Dona menilai Santo sudah lulus dengan nilai cukup untuk jilatan di payudara, selanjutnya ia ingin Santo menjilat vaginanya. "Ke memek Tante To. Jilat memeknya," Dona mulai tinggi birahinya.

Lagi, Santo terkagum-kagum. Vagina perempuan yang selalu membuatnya penasaran, kini ada di depan mata. Ia memperhatikan lekuknya, bentuknya, dan baunya. Santo kembali menelan ludah, ia sangat terangsang. Vagina Dona bersih dari rambut-rambut, belahannya merekah memanjang. Di kanan-kirinya menyembul daging lebih. Dalam hati Santo pasti daging itu empuk sekali. Ketika ia mendekatkan wajahnya, tak tercium bau amis. Bahkan Santo malah merasa vagina itu berbau harum.

"Jilatin To, jangan diem aja," Dona mulai tidak sabar. Santo tersadar dan mulai memenuhi permintaan Dona. Santo menjilat vagina Dona dengan kasar. "Uuuuhhhh, gak apa dikerasin aja To. Langsung aja ke itilnya," Dona benar-benar tidak sabaran ingin mendapatkan perjaka Santo.
Tangan Dona pun membantu Santo membuka belahan vaginanya. Ia menunjuk klitorisnya agar di jilat Santo.

Baru kali itu Santo benar-benar mengetahui apa yang namanya klitoris. Santo bernafsu menjilatnya. Dona melenguh keenakan. "Uuuuuhhhhhh lidahmu jago. Nggak nyangka, perjaka kecil langsung jago. Udah To, sekarang masukin kontolmu," pinta Dona.

Inilah saat yang ditunggu-tunggu Santo. Tangannya menggenggam penisnya dengan mantap. Ia mengarakan ke lubang vagina Dona. Tanpa ragu-ragu, Santo membenamkan penisnya. "Aaaahhhhhhh....." Dona melenguh keenakan. Berdasarkan adegan bokep, Santo tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, menusuk dan menarik penisnya berulang-ulang. Tapi sejenak ia ingin merasakan momen itu. Penisnya benar-benar tertanam di vagina perempuan. Sungguh sensasinya luar biasa. Santo seperti dalam mimpi.

"Tannteeeee...." Ujar Santo. Entah ia keenakan atau kegirangan. Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya saat melepas perjakanya.
"Iiiyyaaa, sayang. Enak ya?" Balas Dona. Penis Santo mungkin tidak sehebat penis-penis lain yang pernah singgah di vagina Dona. Tapi sekali lagi, kali ini adalah penis perjaka.

"Nikmatin dulu sayang. Gak usah buru-buru, memek tante gak kemana-mana kok," Dona menenangkan Santo. Dona kemudian memberi isyarat agar wajah Santo mendekat ke wajahnya. Ia ingin mengulum bibir Santo.

Santo merebahkan badannya dan langsung mencium bibir Dona. Tak ada basa-basi, Santo mengulumnya dengan keras. Dona sampai kewalahan. Tapi ia paham, darah muda selalu lebih liar dibanding penampilannya.

Dona harus melepaskan kuluman itu karena ia merasa tidak nyaman. Sebagai gantinya, dia meminta Santo untuk meraba payudaranya.

Masih dengan semangat yang sama, Santo meraba payudara Dona dengan kasar. Tapi itu malah yang diinginkan Dona. Libidonya jadi cepat naik. "Sekarang kontolmu digoyang, masuk-keluar," pinta Dona.

Dengan sekuat tenaga, Santo mempraktekkan teori dari film bokep. Rasanya luar biasa, berbeda jauh dengan onani. Hangatnya dinding vagina ternyata membuat dia nyaman. Santo menghujamkan penisnya sedalam-dalamnya. Ia tak peduli dengan irama. Yang penting masuk, masuk, dan masuk lagi.

Dona hanya bisa memaklumi. "Nanti kalo mau keluar bilang ya. Tante mau minum spermamu lagi," ujar Dona tak mau kehilangan sperma Santo.

"He'eh," hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Santo. Ia fokus membenamkan penisnya ke dalam vagina. Menyodok sekeras-kerasnya.

Santo terengah-engah. Ia seperti orang yang sedang melakukan sprint, berlari kencang tanpa berhenti. Nafsunya benar-benar sudah di ubun-ubun. Dona hanya bisa memakluminya. Ia membiarkan Santo menuntaskan birahinya. Tak lama kemudian Santo merasakan spermanya ingin muncrat.
"Tttttaaaannte.. Mau keluar," ujar Santo terengah-engah.

Tak peduli dengan Santo yang sedang menuju puncak birahi, Dona langsung mendorong tubuh Santo dengan keras. Santo terpelanting ke samping hingga penisnya terlepas. Ia sempat kaget dengan perlakuan Dona. Namun Dona segera menghampiri penis Santo dan mengulumnya kuat-kuat. Tangannya dengan terampil mengurut urat di bagian bawah penis. Membantu Santo mencapai klimaks.

Benar saja beberapa detik kemudian, sperma muncrat di dalam mulut Dona. "Aaaaaaaahhhhhh........aahh....aaahhhh....aaahhh...aahh...aahh...aahhh....," Santo merasakan ejakulasinya.

Mulut Dona sudah berpengalaman, meski panggul Santo menghentak-hentak, mulutnya bisa mengikuti irama dan menampung semua sperma Santo tanpa keluar setetes pun.

Mulut Dona tetap berada di ujung penis Santo, menunggu anak itu lebih tenang. Setelah itu Dona melepas mulutnya, merangkak ke wajah Santo, dan memperlihatkan sperma di dalam mulutnya kepada Santo. Dengan mimik yang sensual, ia menggoda Santo, lalu menelan sperma itu. Ia ingin memberikan kenangan indah untuk anak calon suaminya.

Dona puas sekali. Ia kembali mendapatkan sperma perjaka. Ia mengecup pipi Santo, lalu rebahan di sampingnya. "Enak sayang? Selamat ya, kamu sudah dewasa sekarang," ujarnya kepada Santo.

Sementara Santo masih mengatur nafasnya. Ia lega sekali, semua penat, ketegangan, rasa penasaran, tiba-tiba hilang. Dunianya kini indah sekali. Sungguh pengalaman yang luar biasa.

"Nanti kalau kamu mau lagi, bilang Tante. Tapi jangan saat ada Papa ya," Dona membelai dada Santo.
"Iya Tante."
Malam itu benar-benar membuka wawasan baru buat Santo. Sepanjang malam, ia diajak Dona mengeksplorasi tubuh. Berbagai adegan yang ada di dalam film dipraktekkan semua.

Hubungan antara Santo dan Dona semakin cair. Santo tahu bahwa Dona sebenarnya adalah mantan pramugari yang sudah berhenti bekerja. Maka tak heran jika Dona memiliki tubuh yang sangat menggoda.

Santo sangat menyukai perlakukan Dona, tapi sebenarnya ia bingung menempatkan Dona. Ia tak bisa menyebut Dona sebagai calon ibunya, karena jika saat papanya tidak ada, dia menggantikan peran papanya. Santo juga tidak bisa menganggap Dona sebagai kekasih, karena tidak ada perasaan cinta di dalamnya. Tapi pikiran itu hanya muncul sesaat, selebihnya, Santo menempatkan Dona sebagai penyalur gejolak birahinya yang sangat tinggi.

Dengan pengalaman bersama Tante Dona, Santo memulai petualangannya. Ujian pertamanya adalah memerawani pacarnya, Shinta. Berbekal rayuan tak akan meninggalkan Shinta, Santo berhasil mendapatkan keperawanannya. Shinta hanya menangis saja saat itu. Tapi bagi Santo, ia punya perbandingan. Lebih enak ML dengan perempuan dewasa dibanding dengan pemula.

Santo kemudian memutuskan Shinta, karena selepas SMP, mereka sekolah di SMA yang berbeda. Petualangan Santo semakin jadi. Di SMA Tunas Bangsa ia bertemu dengan teman-teman yang punya kegemaran sama, Doni, Iwan, dan Reza.

Awalnya Santo berkenalan dengan Doni yang baru saja berhasil mengambil perawannya Sasha.
Dua sahabat yang memiliki kegemaran sama itu saling berbagi. Santo bahkan mendapat kesempatan untuk ML dengan Sasha, sedangkan Doni mendapat kesempatan dengan Tante Dona.

Mereka kemudian bersahabat dengan Iwan. Kuartet penjahat kelamin itu menjadi lengkap dengan kehadiran Reza. Hanya saja saat itu, Reza mengaku masih perjaka.

"Jadi Reza masih perjaka To? Kenalin sama Tante dong?" Ujar Dona yang sudah tidak tinggal bersama keluarga Santo lagi.
"Tante gak puas-puas apa sama perjaka?" Santo bingung.
"He he he, asyik kalo sama yang baru. Lagian kalo udah umur segini susah nyari perjaka To, dapetnya bajingan mulu. Tante lebih suka calon bajingan, he he he," ujar Dona menggoda Santo.

"Tanya Doni dulu deh Tan, dia setuju gak?" Santo coba memberi pertimbangan.
"Atau gini aja, kita barengan aja semua. Sekalian ajak Sasha, kan jadi seru tuh. Di sini aja," bujuk Dona.
"Ha ha ha. Tante nggak kehabisan ide kalau untuk urusan kaya gini," Santo senang.

Mereka pun merencanakan sebuah pesta di apartemen Dona. Dua bulan terakhir, Dona tinggal di apartemennya sendiri. Hubungan antara dia dengan papanya Santo selesai dengan baik-baik.
"Kalau kamu bisa tidur dengan siapapun, kenapa aku tidak boleh? Apa yang kita cari sebenarnya bukan hubungan jangka panjang. Coba Mas sadari. Lebih baik Mas kembali ke istri Mas. Kalau sama saya, selama kita ada waktu, kita bisa melakukannya," ujar Dona halus. Dan kesepakatan itulah yang terjadi. Dona lebih senang menjadi simpanan bapak dan anak itu.
 
Malam Minggu, mereka menyepakati menggelar pesta seru di apartemen Dona. Semua persiapan telah dilakukan. Doni dan Sasha membawa satu krat bir serta makanan ringan. Tak lupa, Doni membawa perlengkapan yang dibutuhkan. Dona mengeluarkan koleksi sex toysnya. Ia berencana akan membuat empat remaja tanggung itu pulang merangkak.

Apartemen Dona cukup besar untuk ukuran seseorang yang tinggal sendirian. Di dalamnya ada dua kamar tidur dengan satu kamar utama yang cukup luas. Selain itu, ada juga ruang tamu dengan sofa yang empuk. Dapurnya ditata artistik yang langsung tersambung dengan ruang tamu. Ada sekat seperti meja bartender yang memudahkan lalu lintas makanan. Teras di samping ruang tamu memberikan pemandangan gedung-gedung pencakar langit. Meski tidak berada di lantai paling atas, namun cukup untuk merasakan angin yang kencang jika berada di luar.

Desain interiornya ditata dengan apik. Dua sofa panjang yang empuk saling berhadapan, dipisahkan sebuah meja jati vernis yang panjang. Di atas meja itu sudah tersedia botol-botol bir, gelas, dan es batu. Juga makanan ringan. Sedangkan di salah satu sisi antara sofa itu terbujur sofa tanpa sandaran yang menempel dengan kaca besar jendela teras. Untuk melengkapi kesan persegi empat, Dona menempatkan televisi LCD besar di tembok, lengkap dengan audio yang tak kalah dengan mini theatre.

Hampir seluruh furniture dan aksesoriesnya adalah barang-barang mewah. Tentu saja, bukan Dona yang membelinya. Ia tinggal tunjuk dan ada laki-laki lain yang membayarnya. Termasuk ayahnya Santo.

"Dona," ujarnya ketika menerima salam perkenalan dari Reza saat mereka berkumpul di ruang tengah.
"Dah kumpul semua nih, Doni mana?" Dona melihat Doni dan Sasha tidak ada di ruang tamu.
"Tuh di kamar mandi, sama Sasha," celetuk Iwan.
"Wah jangan-jangan colongan mereka, mulai duluan," goda Dona.
"Don keluar lu, jangan colongan dong!" Santo mengetuk pintu kamar mandi.
"Bentar, ngelepasin piercingnya Sasha, kasian dia," balas Doni dari dalem.
"Ngelepasin piercing apa ngelepasin peju?" Celetuk Iwan.

Reza yang belum pernah ML hanya dag dig dug. Ia tidak sabar untuk segera selevel dengan teman-temannya. Ia ingin mencoba tubuh Dona yang selama ini hanya didengar lewat cerita saja.

Sejak tadi Reza melirik-lirik Dona yang memakai kaos longgar dan celana jeans yang super pendek. Kaos putih Dona sangat tipis, hingga bra hitamnya membayang. Sedangkan di bagian bawah terpampang paha yang putih mulus hingga dekat selangkangannya. Reza sangat penasaran sekali, ia tak sabar ingin mencobanya.

Sebenarnya jika dibanding dengan Dona, Sasha tak kalah cantik dan menggoda. Dengan tank top tanpa bra dan celana pendek, Sasha sangat menggoda. Apalagi Sasha lebih muda, lebih segar. Tapi otak Reza telah dipenuhi khayalan akan Dona. Ia benar-benar tak sabar untuk melepaskan perjakanya untuk Dona.

Tak hanya Reza, Iwan pun sebenarnya penasaran dengan Dona. Ia juga baru pertama kali bertemu Dona. Tapi ia mengerti, ia bukanlah bintang utama di pesta itu. Ia mengikhlaskan posisi itu untuk Reza. Iwan sudah bersyukur jika ia bisa ikut menikmati tubuh Sasha.

"Terus gimana nih, kalo dah kumpul semua?" Dona coba membuka acara itu.
"Terserah Tante, kan yang punya acara Tante, kita kan cuma jadi penggembira aja," ujar Doni.
"Doni kok terus terang banget sih, kan tante jadi malu. Ada Sasha tuh," Dona tetap berusaha tampil menawan meski umurnya berbeda jauh dengan lima orang lainnya.
"Tante kalo mau mulai, duluan aja. Santo mau makan dulu, laper," ujar Santo.
"Ya udah kita main game aja dulu ya. Tapi main apa ya?" Ujar Dona memancing kelimanya.
"Main kartu aja Tante, yang kalah telanjang," Sasha coba memberikan ide.
"Ah kalau main kartu, terus yang kalah telanjang mah biasa Sha. Gak usah kalah kita juga bakalan telanjang," balas Iwan.
"Ooooo, Tante tahu. Kita main lempar kontol yuk," Dona menyebutkan permainan yang sudah disiapkan.
"Wah apaan tuh Tan?" Sasha penasaran sekaligus malu-malu mendengarnya.

Dona tersenyum dan mengambil aksesories penis kayu dari kamarnya. "Ini sederhana aja kok. Yang cowok-cowok lomba lempar penis ini ke dalam vas bunga itu. Siapa yang bisa memasukkan penis ke dalam vas, maka dia dapat yang dia mau. Dia boleh minta apa aja sama kita Sha. Tapi kalau nggak berhasil, gantian dia harus ikut dengan kemauan kita. Nah sebelum melempar, masing-masing harus menyebutkan, mau diapain. Karena ceweknya ada dua, jadi setiap orang melemparnya dua kali," ujar Dona.

"Ooo, jadi maksudnya, kaya gini ya. Gue pengen di oral sama Sasha, kalo lemparan gue sukses, maka gue berhak dapet oralnya Sasha, tapi kalo gak, terserah Sasha mau ngapain gue. Begitu juga sama Tante Dona?," tanya Doni.
"Pinter," balas Dona. "Sederhana kan, tapi pastinya kalian pada semangat," goda Dona.
"Ha ha ha ha, setuju," balas Iwan. "To elo setuju gak?"
"Gue ikut aja," ujar Santo yang lagi sibuk di meja mini bartender.

Dona kemudian meminta Doni untuk menyiapkan peralatan lomba itu. Doni menaruh vas bunga di dekat TV. Ia juga membuat batas untuk melakukan lemparan. Tak berapa lama mereka bersiap unjuk kebolehan melempar aksesories itu ke vas bunga yang sudah dikosongkan. Iwan mengambil urutan pertama.

"Gue mau doggy sama Sasha," ujarnya sebelum melempar penis kayu itu ke vas bunga.
"Kamu mau apa Sha, Iwan dah bilang tuh," sela Dona sebelum Iwan benar-benar melempar.
"Mau apa ya....? Bingung...," Sasha masih malu-malu.
"Jangan bingung Sha, sebutin aja. Ini kesempatan kamu melampiaskan semua imajinasi kamu," saran Dona.
"Nggak tahu mau apa Tan," Sasha masih belum memberikan keputusan.

Dona kemudian menghampiri Sasha. Dia kemudian berbisik kepada Sasha, sedangkan Sasha hanya cekikikan.
"Aku mau Iwan jilatin memekku sampe aku keluar, dua kali," ujar Shasa sambil tertawa.
"Ha ha ha, siap," balas Iwan.

Iwan kemudian mengajak rekan-rekannya melakukan tos, dengan botol bir. Ia berharap lemparannya sukses. Doni dan Reza pun memberikan semangat kepada Iwan dengan yel-yel, "doggy, doggy, doggy...." Sayangnya lemparannya melenceng jauh.
"Ha ha ha ha ha, siapin lidah lu Wan," ujar Doni.
"Sial, gak bisa doggy deh. Eh masih ada kesempatan satu lagi kan? Buat Tante Dona ya? Apa ya? Doggy juga deh," ujar Iwan.
"Boleh, tapi kalau nggak masuk, Tante mau kamu ngewe sama Tante pakai seragam satpam," ujar Dona.
"Seragam satpamnya mana Tante?"
"Ada tuh, Doni dah siapin," balas Dona.
"Ha ha ha, siap-siap jadi satpam yang suka jilat Wan," Doni berusaha memecahkan konsentrasi Iwan. Kali ini pun yel-yelnya berubah menjadi, "satpam, satpam, satpam...." Dan benar saja, lemparan Iwan kembali gagal.

"Shit, gagal deh. Gak ada bonus lemparan ya," Iwan coba menawar. Tapi semua malah menyoraki Iwan.
"Sekarang siapa lagi?" Dona bertanya pada Doni, Reza, dan Santo. Namun Doni mengambil inisiatif untuk melakukan lemparan.

"Buat Tante Dona, gue mau anal. Buat Sasha gue mau CIM," ujar Doni bersiap-siap melempar penisnya.
"Boleh, Don. Kalo gak masuk kamu aku iket ya, tangan sama kaki aku iket ke kasur. Pokoknya kamu gak boleh pegang-pegang, he he he," ujar Dona.
"Siap Tan... Sasha mau apa?" Tanya Doni.
"Aku mau kamu jilatin pantat aku," ujar Sasha.
"Ha ha ha....," Santo yang sedang makan malah tertawa mendengarnya.
"Iya deeehhhh..." Doni siap dengan pertaruhannya. Botol bir yang dipegangnya diangkat tinggi-tinggi, ia mengajak tos bersama teman-temannya. Teriakan dukungan terhadap Doni muncul dari Iwan dan Santo, sedangkan Sasha memberikan dukungan kepada Dona.
"Annaaallll....!" Doni teriak sambil melempar penisnya. Penis kayu itu sempat mengenai pinggiran keramik vas bunga, hanya saja terpental ke luar lubang.
"Ha ha ha, siap Tante siksa Don? Ha ha ha, kamu jadi budakku malam ini," ujar Dona puas.
"Waahh gak jadi anal deh," Doni merasa kecewa. Tapi dia punya satu kesempatan lagi untuk Sasha. Dia berharap lemparannya kali ini akan sukses. Selama dia ML dengan Sasha, kulumannya selalu membuat dia terbang ke awan.
"Ini buat elo Sha, CIM ya..."
"Masukin dulu aja Don, baru ngomong," balas Sasha.
Doni berkonsentrasi kali ini. Setelah lemparan pertamanya gagal, dia tak ingin kecewa lagi. Doni fokus pada kekuatan dan arah gerak tangannya. Setelah merasa mantap, ia melepaskan penis kayu itu, dan ternyata lemparannya berhasil. "Sasha......he he he...," goda Doni.
"Aahhh...elu mah emang ketagihan sama mulut gue..," balas Sasha.
"Nih sekarang giliran Reza," Doni menyerahkan estafetnya ke Reza.

Reza yang menjadi bintang dalam pesta ini sebenarnya tak punya keinginan lain selain ML dengan Tante Dona. Bahkan ia juga tidak masalah jika ML dengan Sasha. Ia tak peduli dengan gaya apapun, diotaknya, ia hanya ingin merasakan vagina.

"Gue mau ML ama Tante Dona sampe pagi," ujar Reza tiba-tiba.
"Wow sabar bro. Kalo sampe pagi itu namanya monopoli Tante Dona? Gimana yang laen bro, setuju gak?" Doni coba berargumentasi.
"Boleh aja sih Don, asal yang laennya udah terselesaikan dengan baik he he he," balas Iwan.
"Okeh setuju kalo gitu Wan. Gimana Tante, setuju?"
"Kalo Tante sih siapa takut, sampe pagi ayo. Tapi Tante maen sama Reza duluan sebelum sama siapa-siapa. Itu syarat mutlak, gak bisa diganggu gugat," ujar Dona.
"Ooooo kalo itu mah setuju Tante. Kita kasih penghargaan buat Reza malam ini, tos dulu dong semua," ujar Doni.

Reza kemudian mengambil ancang-ancang untuk melempar penis kayu itu ke dalam vas bunga. Kali ini semua diam. Mereka berharap Reza benar-benar berhasil. Dan hap, Reza berhasil memasukkan penis kayu itu ke dalam vas. "Cihuy sampe pagi...," Reza kegirangan.
"Selamet Bro, ini memang malem elu," ujar Doni. Tante Dona pun tersenyum lebar. Ia akan benar-benar merasakan barang baru. Ia sudah siap dengan segala triknya untuk membuat Reza mabuk kepayang.

"Buat Sasha apa ya? Gue bingung nih. Terserah elu aja deh Sha..." Reza merasa cukup puas dengan lemparan pertama.
"Jangan gitu Za. Mending lemparan elu buat gue aja," Iwan coba mencuri kesempatan.
"Woooo, kagak boleh bro. Rejekinya masing-masing," Doni langsung membantah.

"Gue sebenernya pengen ML sama elu Sha, tapi gak di sini. Di toilet sekolah. Gimana? Apa bisa kalo permintaan gue kaya gitu?" Reza mengutarakan keinginan terpendamnya.
"Yah kalo itu mah gak bisa Za, taruhannya di sini, ya mainnya di sini juga," ujar Doni.
"Udah, ML-nya di toilet sini aja," Dona coba menengahi.
"Ya udah deh kalo gitu, daripada kelamaan," Reza mengalah.

Reza pun bersiap melakukan lemparan kedua. Dan kali ini lemparannya kembali masuk ke dalam vas bunga. Ia memang menjadi bintang malam ini. Semua teman-temannya melakukan tos untuk Reza.

Kini giliran Santo yang melakukan lemparan. Santo yang baru selesai makan sebenarnya tidak terlalu semangat dengan permainan ini. Ia sudah berkali-kali merasakan tubuh Dona dan juga beberapa kali tubuh Sasha. Maka ketika mengambil giliran terakhir, Santo tidak menyebutkan keinginan apa-apa.

"Gue cuma mau jadi pelayan Tante sama Sasha aja, jadi masuk gak masuk, terserah Tante mau apa," ujar Santo.
"Yaahh gak asik To, tapi terserah. Tante sih maunya kamu jilatin memek Tante sampe keluar. Lidah kamu ajaib," ujar Dona.
"Sasha juga sama, Santo lebih enak lidahnya dari pada tititnya," ujar Sasha.
"Sha!" Doni berkata agak keras kepada Sasha untuk menjaga kata-katanya. Entah karena pengaruh alkohol, Sasha dianggap terlalu ceplas-ceplos.

Buat Doni, Santo, Dona, dan Sasha, mereka sudah tahu jika penis Santo lebih pendek dibanding penis yang pernah mereka ketahui. Doni yang tahu perasaan sahabatnya berusaha menjaga agar tidak muncul hal-hal yang menyinggung Santo. Doni juga pernah cerita kepada Iwan dan Reza tentang sahabatnya itu.

"Apaan sih Doni. Santonya juga gak apa. Lagian selama ini gue puas kok kalo dijilat Santo," balas Sasha.
"Udah, gak usah ribut, mau party gak nih," Dona kembali menengahi.

Santo yang bersiap melakukan lemparan hanya bisa tersenyum hambar. Ia tahu bahwa teman-temanya tidak ingin menyinggung perasaannya, tapi jauh di lubuk hatinya, ia juga ingin dianggap sebagai laki-laki sejati.

Hap, lemparan Santo gagal. Dan lemparan yang kedua pun gagal. Santo tidak kecewa dengan hal itu, ia hanya melangkahkan kakinya dengan gontai ke sofa, duduk di samping Dona.

Dona menyambut Santo dengan memberikan sebotol bir. Santo menerima botol itu dan langsung menenggaknya hingga terkuras setengah botol. Tak peduli dengan siapapun, Santo langsung meraih Dona dan mencium bibir Dona dengan agresif. Dona membalasnya dengan pagutan yang lebih provokatif. Ia ingin memancing Reza yang duduk di sebrangnya.

"Woowww....langsung dimulai guyss. Okelah kalau begitu," Doni menenggak bir dari botolnya dan langsung mendekati Sasha. Sasha yang sudah berpindah duduk di meja bar tahu apa yang akan dilakukan Doni. Sejak pertama kali mengenal seks dengan Doni, ia tak pernah bosan dengan laki-laki itu. Doni selalu memuaskan jika ia sedang butuh.

Ciuman Doni dibalas dengan hangat oleh Sasha. Sasha sudah hapal dengan perlakukan Doni. Dari pagutan lidah, Doni akan merangsangnya dengan rabaan-rabaan di payudaranya, sehingga ia membusungkan dada, menempelkan payudaranya ke dada Doni. Sasha turun dari tempat duduknya yang tinggi. Kini mereka berpagutan sambil berdiri. Tangan Doni menjelajah bagian depan kaos Sasha. Sasha mulai merasakan gairahnya bangkit. Gerakan tubuhnya terlihat erotis bagi Iwan.

Iwan menghampiri Doni dan Sasha. Ia mengambil posisi di belakang Sasha, dan langsung meraba pantat Sasha yang masih terbungkus celana pendek. Pantat Sasha sangat menggiurkan, karena ia sedang beranjak dewasa. Tak hanya meraba pantat, Iwan juga mencium punggung dan tengkuk Sasha.

"Ooohhh..." Lenguhan itu keluar dari mulut Sasha. Ia merinding tiba-tiba mendapatkan stimulus dan dua arah, Doni dengan pagutan lidah dan rabaan payudara di depan, dan ciuman tengkuk Iwan dari belakang. Jika selama ini ia hanya dirangsang satu titik saja, kini titik-titik syaraf seksual tubuhnya dibangkitkan serentak. Sasha merasa tidak menginjak lantai. Tubuhnya kembali membuat gerakan-gerakan erotis.

Doni tahu bahwa sex partnernya sedang mendapatkan pengalaman baru dengan cumbuan dua orang. Ia tak melepaskan pagutan lidahnya, namun tangannya kini berpindah ke selangkangan Sasha. Tangan kanan Doni menekan-nekan selangkangan Sasha meski masih terbungkus celana pendek.

Gairah Sasha semakin naik. Kini kedua tangannya bergantungan di leher Doni. Ia menikmati rabaan Doni dan Iwan yang masih menciumi punggungnya. Apalagi tangan Iwan mulai membelai paha belakangnya. "Ssshhh.." Sasha yang melenguh di antara ciumannya.

"Doonnn...., di kamar Don," Sasha sepertinya sudah tidak tahan. Perlahan-lahan, Doni membimbing Sasha ke kamar tanpa melepaskan pagutannya. Sedangkan Iwan coba melepaskan tank top Sasha. Sambil terus memberikan rangsangan, mereka menuju kamar tamu. Saat sudah mendekati kasur, tubuh Sasha hanya tingga celana dalam hitam.

Doni melepaskan pagutannya. Ia melepaskan pakaiannya sendiri. Sedangkan Iwan langsung menggantikan posisi Doni. Iwan mencium Sasha sama ganasnya. "Oooohhhh Sha...harusnya dari dulu gue kenal elo..," Iwan sempat berkata-kata disela ciumannya.

"Waaannn...elo kalah, janji lo mau jilatin memek gue kan....," Sasha tak bisa menahan nafsunya.
"Iya Sha, gue janji, tapi gue pengen nikmatin bodi lu dulu." Iwan kemudian mengarahkan Sasha untuk berbaring di tempat tidur itu. Setelah itu Iwan memindahkan lidahnya ke leher Sasha. Tangannya pun dengan cekatan meraba payudara Sasha.

Perlahan lidah Iwan turun ke payudara Sasha. Dua gunung kembar Sasha sangat indah. Bukitnya menjulang dengan tonjolan puting yang mulai mengeras. Iwan tak sabar untuk segera menjilat puting itu.

"Ssshhhssss......,Wann...." Shasa kembali melenguh. Tak puas Iwan menjilat satu gunung, dia ingin menjilat kedua gunung itu bersamaan, hingga dia merapatkan bukit kembar itu ke tengah-tengah.

Iwan bangga melihat raut wajah Sasha yang meringis dengan mengatupkan mulutnya dan mengigit-gigir bagian dalam bibirnya. Iwan sebenarnya tak mau beranjak dari sana jika ia tidak ingat akan kekalahannya. Tugasnya adalah menjilat vagina Sasha hingga klimaks dua kali.

Selain itu, Doni yang sudah telanjang bulat mendekati mereka berdua. Doni yang menang atas Sasha segera mendekatkan penisnya ke mulut Sasha. Sasha tahu tugasnya, ia pun membuka mulutnya dan melahap penis Doni.

Sasha kembali merasakan sensasi ketika mulutnya tersumpal penis Doni, sedangkan Iwan mulai melepas celada dalamnya. Sensasi itu bertambah ketika lidah Iwan menyusuri sisi luar labia mayoranya.

Sasha yang ingin melenguh tak bisa mengeluarkan suara apapun. Ia merasakan geli sekaligus nikmat, tapi ia juga terangsang melihat Doni yang keenakan penisnya dikulum mulutnya. Terasa campur aduk, tapi nafsunya tersalurkan.

Semua kenikmatan yang didapat di vaginanya di salurkan ke emutan penis Doni. Sasha sudah hapal dengan anatomi penis Doni. Besar berurat dan mampu menyumpal vaginanya. Tapi jika penis Doni ada di dalam mulutnya, maka Doni akan blingsatan jika lidahnya mengusap-usap urat di bagian bawah batangnya.

"Ooooohhhhh...... Shaa....."
"Emut kontol gue Shaa....." Doni kagum dengan kepiawaian Shasa. Sambil mengemut penis Doni, lidah Shasa masih berusaha menggelitik urat penis Doni. Doni pun tak kuasa untuk meraba payudara Shasa.

Rabaan tangan Doni yang kasar malah membuat Shasa semakin terangsang. Jilatan lidah Iwan sudah beranjak pada klitorisnya. Shasa sepertinya sudah tidak bisa menahan gejolaknya. Ia tak lagi konsentrasi mengulum penis Doni.

Tiba-tiba Sasha melepaskan penis Doni dari mulutnya. Dia tak kuasa untuk tidak mengeluarkan rintihan ketika klitorisnya dipermainkan Iwan.
"Oooooohhhhhh......wan..... Yang itu iya, eeeennnnaaaaaakkkkk........" Ujar Shasa sambil kedua tangannya membenamkan kepala Iwan ke selangkangannya.

Iwan semakin semangat mengetahui Sasha merasa keenakan. Jilatan lidah di tonjolan kecil di pintu atas lubang vagina Shasa semakin diintensifkan. Tak hanya itu, jari tengah Iwan pun mulai menusuk-nusuk vagina Shasa.

"Iiwwwaaaaaaaannnnnnn......... Ggguuuueeeee.......kkkeeellluuuuaaaaarrrrrrrrr........" Badan Sasha melengkung ke atas, perutnya naik ke atas, payudaranya naik turun, nafasnya tersengal-sengal.

Badan Sasha menghentak-hentak. Iwan pun mengintensifkan jilatan dan tusukan jarinya. Ia ingin Sasha benar-benar mendapatkan orgasmenya. Sedangkan Doni maklum jika Sasha sedang klimaks, maka ia memberi waktu pada Sasha.

Iwan juga memberi waktu. Dia menghentikan jilatannya. Sasha mengambil nafas untuk menurunkan ketegangannya. "Gila ternyata lidah lu enak banget Wan...."Ujar Shasa.
"Tenang aja Sha, gue masih utang sekali lagi kok," balas Iwan sambil tersenyum.

Sasha tersenyum. Saat dia melihat Doni yang sedang menunggu dengan penis yang masih tegang, Sasha memintanya untuk bersabar. "Sabar ya Don, masih enak nih memek gue," ujarnya.

Doni hanya bisa tersenyum sambil mengocok penisnya yang kehilangan kehangatan lidah Sasha untuk sementara. Dia menyaksikan bagaimana Iwan mencium Sasha dengan penuh nafsu. Sasha yang terlentang di atas kasur ditindih Iwan. Sambil mencium, tangan Iwan meraba payudara Sasha.

"Elo montok banget sih Sha, dari dulu kek gue bisa begini sama elo," ujar Iwan setelah melepas ciuman bibirnya. Sasha hanya bisa melenguh. Rabaan tangan Iwan di payudaranya memancing libido Sasha lagi. Dia sudah ngos-ngosan tadi, tapi tak menolak jika birahi datang kembali.

Sasha memberi isyarat kepada Doni untuk mendekat, dan kembali mulutnya mengoral penis Doni. Di bawah, Iwan mulai menjilat lagi sekitar vaginanya. Iwan membasuh keliling vagina Sasha dengan air liurnya. Lidahnya menjulur kesana kemari tanpa henti. Semua cairan kenikmatan Sasha disedotnya. Dibersihkan dengan lidahnya.

Tak mungkin Sasha menahan gelombang kenikmatan itu. Dia terus mengerang tertahan. Semua kenikmatan yang di dapat vaginanya, dia balas dengan memberikan kuluman maut untuk Doni. Saat kepalanya lelah maju-mundur, Doni yang mengganti gerakannya. Sasha tahu betul anatomi penis Doni hingga ia melakukan trik khusus untuk temannya itu.

"Ssssssssahhhhaaaaaa........ Gue mau keluar....." Sasha hanya memberi isyarat lewat kedipan mata dan raut mukanya. Dia mempersilahkan Doni untuk segera klimaks. Maka Doni tak lagi berusaha menahan laju peju dari pangkal pelirnya. Apalagi Sasha mengurut urat bawah penis Doni dengan tekanan lidahnya. Doni pun menghentakkan penisnya ke mulut Sasha.

Sasha tahu jika Doni ejakulasi. Ia tak bisa berbuat apa-apa, kecuali mengecilkan lingkaran bibirnya agar penis Doni tak keluar dari mulutnya. Ia pasrah ketika mukanya ikut terhentak ke bawah seiring dorongan panggul Doni. Sasha menampung semua peju Doni. Hingga kemudian Doni melepaskan penisnya dari mulut Sasha, baru Sasha menelan semua peju Doni.

Iwan melihat dengan takjub. Sesaat setelah mendengar Doni akan klimaks, ia menghentikan aktivitas di vagina Sasha. Ia memberikan kesempatan kepada kedua temannya untuk menuntaskan puncak birahi mereka. Iwan bangkit dan melihat adegan itu. Ia takjub melihat Sasha mampu melakukan itu dengan baik, bahkan lebih alamiah daripada adegan-adegan di film bokep.

Iwan kembali dari ketakjubannya ketika Doni mengecup kening Sasha dan meninggalkan arena pertarungan. Dia keluar kamar dan meninggalkan dirinya bersama Sasha. Iwan segera meneruskan pekerjaannya. Hanya saja kali ini ia ingin membayar hutangnya secepat mungkin. Iwan ingin segera menyetubuhi Sasha.

Vagina Sasha kembali menjadi incarannya. Iwan tak buang-buang waktu lagi dan langsung menyerang klitoris Sasha. Lidah Iwan membelai klitoris diiringi tekanan-tekanan berirama.

"Uuuuussssssshhhhhhh......" Sasha mulai mengerang. Iwan menambah rangsangannya dengan memasukkan jari tengah ke rongga vagina Sasha. Hal itu membuat panggul Sasha turun naik, ingin agar tusukan jari itu melesak lebih dalam.

Beberapa kali Sasha menyebut nama Iwan. Dia merintih keenakan. "Terus Wan, isep itil gue..." Ujar Sasha. Iwan tahu, dalam beberapa saat lagi Sasha akan mendapatkan orgasmenya. Dan setelah dia membayar hutangnya, dia ingin segera memasukkan penisnya ke dalam vagina Sasha.

"Waaaaaannnnnnn..........anjing enak banget...," ujar Sasha ketika dia orgasme lagi. Nafas Sasha tersengal-sengal, panggulnya turun naik. Begitu pula payudaranya. Ia tersenyum binal pada Iwan.

Iwan kemudian mencium bibir Sasha. Mereka berciuman bibir dengan panas. "Sha, gue pengen ngewe sama elo, boleh kan?" Iwan mengutarakan keinginannya.
"Iya, tapi bentar ya, gue napas dulu," balas Sasha.

Iwan hanya memberikan istirahat ketika dia melepas pakaian yang tersisa di tubuhnya. Setelah itu, dia langsung mencium Sasha. Dari bibir, turun ke payudara, dan seterusnya. Iwan tak mau berlama-lama karena penisnya sudah tegang dan ingin segera masuk ke dalam vagina Sasha.

Sasha yang kelelahan tak bisa berbuat apa-apa ketika kenikmatan sudah seperti candu. Rangsangan Iwan harus diselesaikan dengan penetrasi penis kali ini. Sasha pun pasrah saja ketika penis Iwan mulai menyeruak vaginanya.

"Ooooooohhhhhhh.........shit! Enak!" Sasha berkomentar saat penis Iwan menyeruak masuk tanpa permisi. Vaginanya yang tadi hanya dipermaikan oleh lidah dan tangan, kali ini diganjel penis Iwan yang lumayan besar.

Perlahan pasti Iwan pun memaju-mundurkan penisnya. Secara bertahap Iwan memainkan irama dari pelan menjadi cepat. Hujamannya pun disertai tekanan tubuhnya agar bisa masuk lebih dalam.

"Annnjjrrriiiiittttt..., ngetot ama elu enak banget Sha. Memek lu empuk banget," komentar Iwan disela genjotannya.
"Entot gue Wan, elu dah pengen dari dulu kan? Nikmatin wan..." Balas Sasha,

Iwan mengangkangkan kaki Sasha lebih lebar. Tangannya pun meraba payudara Sasha. Sedangkan Sasha yang terbaring tidak bisa menutupi kenikmatannya dengan gelengan kepalanya, ke kanan dan ke kiri.

Puas dengan hujaman-hujaman kasar, Iwan membalik tubuh Sasha. Rasanya ia akan segera orgasme, dan dia ingin memuncratkan spermanya dengan doggy style.

Pantat Sasha sangat menggairahkan. Bulat, padat, dan bersih. Iwan segera menyodok penisnya ke vagina Sasha sambil meremas pantat Sasha. "Pantat lu seksi banget Sha.."

"Oooo wan. Yang kenceng wan. Yang dalem," ujar Sasha. Kali ini Iwan dengan leluasa menghujamkan penisnya dengan keras. Sasha mengimbangi goyangan Iwan dengan gerakan maju-mundur yang berlawanan dengan irama Iwan. Akibatnya Iwan tak bisa lagi menahan orgasmenya.

"Shaaaaaa.....gue mau keluar..."
"Sebentar Wan, gue juga. Yang keras lagi," balas Sasha.
Tak berapa lama, Iwan pun memuncratkan spermanya di dalam vagina Sasha. Ia menghentak-hentak beberapa kali. Dan sebelum hentakannya habis, tiba-tiba Sasha juga melenguh panjang. "Aaaaahhhhh......shit gue keluar juga," Sasha sedikit berteriak.

Iwan langsung ambruk menimpa Sasha. Tubuh mereka bertumpuk dengan posisi tengkurap. Keduanya ngos-ngosan dan menikmati sisa-sisa orgasme. Namun tak lama, Iwan menggeser tubuhnya untuk memberi ruang kepada Sasha.

Keduanya hanya diam di atas kasur. Iwan puas sekali bisa menikmati tubuh Sasha yang sebelumnya hanya di dengar lewat cerita Doni atau Santo. Ia puas karena ternyata, bercinta dengan Sasha melebihi khayalannya.

Sasha haus. Dia bangkit dari kasur sambil meraup kain Bali yang ada di kamar itu. Setelah membalut tubuhnya dengan kain, Sasha menuju minibar untuk mengambil bir.

Sekilas, dia melihat Tante Dona sedang menjadi mentor yang baik untuk Reza di kamar sebelah. Dia tidak melihat Doni dan Santo di kamar itu. Namun saat Sasha melintas di ruang tengah, Santo dan Doni terlihat sedang asyik menikmati Jack Daniels di balkon apartemen.

"Woooiiiiii, ngapain lu berdua di sini, mau adu pedang?" Sergah Sasha.
"Elu Sha....minum Sha...." Ujar Santo yang sepertinya sudah terpengaruh alkohol.
"To, jangan banyak-banyak, elo gak mau ngewe sama gue? Kalo mabok ntar yang ada elu tidur, bukan ngewe," ujar Sasha.
"Gue mau ngewe ama elo Sha. Elo montok abis. Tapi biar Iwan dulu aja. Dia penasaran sama elo Sha...," ujar Santo.
"Udah Sha, biar Santo nikmatin minumannya aja. Dia lagi pengen minum kali. Iwan dah selesai?," ujar Doni yang masih sadar meski sudah menenggak dua sloki sejak Sasha duduk.
"Udah tuh, lagi tepar dia. Ha ha ha ha....," ujar Sasha sambil menenggak minumannya.

"To elu jangan banyak-banyak ya. Ntar mampus," ujar Doni ke Santo.
"Tenang aja bro. Elo kan tau, kalo gue mabok paling langsung tidur. Gue gak bakal nyusahin elo kok," ujar Santo.
"Ya udah, tambah lagi nih bro. Enak kalo udah goyang kan?" Ujar Doni.

Dari balkon, Sasha bisa melihat sebagian aksi yang sedang dilakukan Tante Dona kepada Iwan. Tante Dona rebah di atas kasur tanpa pakaian lagi, sedangkan Reza sedang menikmati payudara kanan Dona. Aksi itu membuat Sasha penasaran.

"Doni liat Tane Dona yuk," ajaknya ke Doni.
"Ah, biarin aja Sha... Lagi happy mereka," ujar Doni.
"Iiiihhhh, lucu kayaknya tuh. Ayuk lihat 'pembaptisan' Reza...," rengek Sasha.
Melihat Doni yang tak tertarik dan malah menenggak slokinya, Sasha pun menarik Doni sedikit memaksa. Dengan sedikit limbung Doni akhirnya menuruti permintaan Sasha. Mereka bergabung di kamar utama Tante Dona.

Tante Dona tahu jika Doni dan Sasha berada di kamarnya, duduk berpangkuan di kursi empuk di pojok kamar. Tapi Tante Dona cuek, dia menikmati setiap rabaan mulut Reza di payudaranya.

"Betul Za...begitu enak. Ternyata kamu pemula yang sudah paham betul...," ujar Dona sambil tangannya meremas rambut Reza. Reza terus menjilat, mencium payudara Tante Dona. Meraba dan menjilat payudara memang bukan yang pertama kalinya buat Reza. Selama dia pacaran cuma hal itu yang bisa dilakukan pada pacar-pacarnya. Selebihnya dia belum punya pengalaman apa-apa.

"Jangan cepat-cepat pindah Za...," pinta Dona ketika mulut Reza pindah ke bukit sebelah kiri. Tangan Dona pun mengarahkan Reza kembali ke bukit yang pertama.

"Terus Za, jilat putingnya...," pinta Dona. Reza rupanya tergesa-gesa ingin menikmati seluruh tubuh Dona. Sampai-sampai dia hanya melakukan formalitas saja menggarap payudara Dona.

Sesekali Dona menjambak rambut Reza sebagai respon untuk memberi tahu bahwa bagian yang disentuh memberikan kenikmatan. Ketika lidah Reza menjilat putingnya, Dona melenguh dan menjambak rambut Reza lebih keras.

Reza mengerti akan bahasa birahi itu. Dia sekali lagi menjilat puting Dona. Giginya ikut disentuhkan ke ujung puting. Dona kegelian sekaligus terangsang. Dia melenguh panjang. "Aaaaahhhhh......."

Dona memindahkan kepala Reza ke bukit sebelah kanan. Reza mengulangi prosesi pendakian bukit kenyal. Dia mengusap kaki bukti dengan lidahnya, menanjak perlahan dengan melingkarinya. Seakan-akan lidahnya mampu mengukur diameter bukit itu. Sampai akhirnya tiba di puting, Reza kembali menjilatnya lebih keras, termasuk gigitan kecil.

"Rezzzzaaaaa....enak....," ujar Dona mendesah. Dona menjauhkan kepala Reza dari payudaranya, menuntun agar jilatan Reza turun ke bawah. Lidah Reza melintasi pusar Dona. Perutnya ramping dan mulus, hinggga kemudian lidah Reza menemukan permukaan yang sedikit kasar.

Reza tahu sebentar lagi dia akan sampai di lubang surga Dona. Permukaan kasar itu dulunya adalah hutan jembut belantara yang kini sudah digunduli. Bekas waxing masih terlihat. Reza semakin semangat, sebentar lagi dia akan membuka pintu surga.

Inilah pengalaman pertamanya di depan pintu surga. Ia segera mengetuk pintu itu dengan lidahnya. Tak perlu mengucap salam, lidah Reza segera membuka pintu itu. Reza tak sabar karena sebagian pintu itu sedikit terbuka. Labia mayora Dona yang merah dan empuk sudah merekah.

Reza penasaran dengan yang disebut klitoris. Ia mencari-cari dengan lidahnya. Sesaat ia memperhatikan vagina Dona. Mau tak mau tangannya pun ikut bekerja, menyibak sedikit labia itu. Sekilas dia melihat tonjolan kecil di bagian atas vagina Dona, dan dia menduga itulah yang disebut klitoris.

Dugaan Reza benar. Saat lidahnya menyentuh bagian itu Dona melenguh panjang dan keras. Reza ingin menyentuh klitoris itu dengan jarinya, untuk merasakan seperti apa bentuknya. Namun baru sekali sentuh, tangan Dona meraih kedua tangannya dan menuntun untuk meremas kedua payudara Dona.

Inilah prosesi mendekati puncak kenikmatan bagi Dona. Dua bukitnya diremas-remas tangan Reza, sedangkan klitorisnya dijilat-jilat. Reza berimprovisasi dengan memilin kedua puting Dona bersamaan dengan menggigit kecil klitorisnya. Dona melenguh keras. "Aaaaaaahhhhhhh......Rrrrrzzzzzzzaaaaaaaaaa.....".
Hal itu pun diulangi Reza beberapa kali. Bahkan dia membuatnya dengan irama yang konstan. Maka tak lama kemudian Dona mendapatkan orgasmenya. "Rrrrrrrrzzzzzzzzaaaaaaaaa..........aaaaakkkkkuuuuu....kkeeelllluuuuaarrrrr...." Ujarnya sedikit berteriak. Reza menghentikan aktivitasnya, melihat tubuh Dona mengejang dengan kepalanya menggeleng ke kanan dan kiri beberapa kali.
 
Tuntas sudah kenikmatan Dona. Ia tersenyum manis kepada Reza. Dona merentangkan kedua tangannya, menggapai kepala Reza. Dia meraihnya dan memberikan ciuman yang mesra. Dona berterima kasih kepada Reza.

Selanjutnya dia bangkit dan meminta Reza yang merebahkan diri di atas kasur. Dona ingin membalas apa yang sudah dilakukan Reza. Ia ingin Reza menikmati surga dunia bersamanya.

Perlahan-lahan Dona memancing birahi Reza dengan rabaan tangannya. Reza sebenarnya sudah tidak sabar. Penisnya sudah tegang sejak awal. Hembusan nafas Dona yang terasa dikulitnya sudah mampu membuat dia terangsang hebat. Apalagi Dona menjilat bagian-bagian tubuhnya.

Sambil menjilat dada, Dona juga meraih penis Reza. Penisnya sangat keras dan lumayan panjang, Dona sudah punya bayangan, kenikmatan apa yang akan didapatkan dengan penis itu. Apalagi penis perjaka.

Reza tersentak ketika penisnya dipegang. Geli dan rangsangan hebat datang tiba-tiba. Dona tersenyum melihatnya. Dia meneruskan kembali pekerjaannya. Lidahnya menelusuri perut Reza, terus ke bawah hingga bertemu rimbunnya jembut.

"Aku cukur dulu ya. Biar bersih, kalo bersih kan enak dilijatnya," bujuk Dona.
"Iya tante," Reza mengiyakan meski dia sebenarnya sudah tak tahan ingin segera menuntaskan hasratnya. Dona mengambil cukuran jenggot di salah satu sudut kamarnya. Tubuh telanjangnya terlihat jelas oleh Reza. Reza juga melihat Dona tersenyum melihat Doni dan Sasha yang juga memulai pettingnya.
Reza takjub dengan live show yang dipertontonkan Doni dan Sasha. Kekagumannya adalah melihat tubuh telanjang Sasha dari belakang. Tanpa Reza tahu, Doni dan Sasha sudah masuk ke dalam kamar. Mereka yang awalnya hanya ingin melihat, tanpa disadari malah terpancing birahinya.

Sasha kembali bugar setelah melayani Iwan, sedangkan Doni semakin terangsang dengan pengaruh alkohol. Sasha yang duduk di pangkuan Doni, perlahan bisa merasakan jika penis Doni mulai mengeras. Doni pun mengatur posisi duduknya agar lebih nyaman sambil memangku Sasha.

Sasha memberikan respon dengan meraih tangan Doni. Dia memindahkan tangan Doni yang awalnya terjuntai ke salah satu payudaranya. Dia meminta Doni untuk meremasnya lembut. Doni dengan sigap tak hanya memberikan satu tangan, tapi kedua tangannya menjamah dua bukit kembarnya secara bersamaan. Akibat remasan itu ikatan kain yang menutupi tubuh Sasha terlepas, menggantung karena terjepit di antara pantat Sasha dan paha Doni.

Keduanya terangsang melihat kepala Reza terselip di paha Dona yang mengangkang. Erangan Dona seakan menjadi musik pengiring buat mereka saat melakukan petting. Sasha tak tahan, dia mengangkat badannya hingga kainnya terlepas ke lantai, dan berbalik menghadap Doni.

Doni lebih leluasa menjamah tubuh Sasha yang polos. Bahkan kini dia melahap dua pepaya mengkal Sasha. Sasha mengerang ketika putingnya dihisap Doni. Adegan itulah yang terlihat oleh Reza. Dia sangat bernafsu melihat Doni sedang menggarap Sasha. Dia berpikir, pasti dia nanti akan menikmati tubuh Sasha, tapi untuk sementara ini dia akan mendapatkan pelayanan dari Tante Dona.

"Sini pelan-pelan, kamu jangan begerak," ujar Dona ssaat kembali mengambil foam dan mengoleskan ke sekitar jembut Reza. Foam yang putih itu sebagian menutupi pangkal penis Reza. Dona menyibak jembut hitam Reza dan mulai mencukurnya.

Dona menarik alat itu dari atas ke bawah. Bagian kanan mulai gundul, dia pun berpindah ke kiri. Sambil membersihkan rambut-rambut pendek, seskali Dona memegang penis Reza. Dia pun kegelian. Apalagi ketika Dona membersihkan rambut di sekitar buah zakarnya, Reza benar-benar mabuk kepayang.

Dona kemudian mengambil handuk basah dan membersikan bekas cukuran itu. Dengan telaten Dona menuntaskan penggundulan jembut hingga bersih. "Nah dah bersih. Klo begini kan enak diliatnya," ujar Dona sambil mengelus kepala penis Reza.

"Oooohhhh....Tante...Geli," ujar Reza.
"Geli ya? Mau yang lebih geli?" Dona memancing dengan kalimat retorik. Dia pun langsung melumat penis Reza dengan mulutnya. Dona sudah berpengalaman dengan segala macam penis. Dan penis Reza, hanya bagian dari pengalamannya yang lain.

Tapi bagi Reza, apa yang dilakukan Dona adalah sesuatu yang luar biasa. Dia sampai merem-melek ketika Dona tak hanya mengulum penisnya, tapi juga meraba buah zakarnya. Sesekali Dona menyebot kepala penis, sambil mengusap-usap zakar. Dona tahu jika Reza berusaha mati-matian untuk tidak segera orgasme. Namun Dona memancing dengan menekan urat besar di bawah zakar yang melintang menuju anus. Reza kelabakan dengan dua kali pencet saja. "Ooooooo......tante...," Reza gelisah, takut spremanya muncrat sementara dia belum merasakan vagina Dona.

"Sudah ya, sekarang kamu pasti dah gak sabar masuk ke memek Tante kan?" ujar Dona. Dona bangkit, lalu jongkok di atas selangkangan Reza. Satu tangannya menyibak labia mayoranya, sedangkan tangan yang lain mengarahkan penis Rezat agar tepat berada di depan lubang.

Setelah terasa pas, Dona menurunkan panggulnya. Penis Reza perlahan menyusup di lubang yang hangat. Kepala Dona mendongak saat penis perjaka itu perlahan-lahan menyumpal vaginanya. Sedangkan raut muka Reza terlihat tegang. Sensasinya ternyata luar biasa. Rasa ngilu di ujung penisnya memberikan kenikmatan tersendiri, berbeda ketika penisnya hanya mendapatkan kocokan tangannya saja.

"Oooooooohhhhhhh..........," Reza dan Dona melenguh hampir bersamaan. Keduanya kini benar-benar merasakan birahi yang sangat tinggi. Tapi Dona yang sudang malang-melintang dalam hal percintaan, tahu saatnya jika dia harus mengontrol diri. Nafsunya sangat memuncak, tapi dia tak bisa larut, karena ini baru awal. Dia tak ingin Reza cepat keluar, sementara dia belum siap menerima cairan sperma Reza.

Dona mengangkat panggulnya perlahan, dan kedua tangannya kini bertumpu di dada Reza yang bidang. Dona membungkukkan badannya, dia menatap Reza yang masih terlihat tegang. "Reza sayang..., kalo mau keluar bilang ya. Tante mau minum sperma Reza," ujar Dona sambil menekan pinggulnya ke bawah secara perlahan.

Dona sangat menikmati tusukan penis Iwan yang kini sudah tidak perjaka lagi. Dona benar-benar menghayatinya, bahkan karena penghayatannya terlalu dalam, dia merasa tidak kuat menahan gelombang orgasmenya. Dona tak mau ambil pusing, kali ini dia tak peduli lagi dan melepaskan orgasmenya di atas tubuh Reza.

Panggulnya menghentak keras beberapa kali. Dia mengeluarkan suara kenikmatannya. Namun tiga kali hentakannya malah membuat Reza tak bisa menahan diri. "Tante saya mau keluar...," ujarnya tiba-tiba.

Dona yang belum selesai menikmati orgasmenya sadar dengan ucapan Reza, dan langsung mencabut vaginanya dari penis Reza. Dia berpindah ke sisi tubuh Reza dan langsung mengulum penis Reza. Benar saja, tak berapa lama kemudian, tubuh Reza mengejang, panggulnya menghentak ke atas.

Dona bahkan kewalahan menahan hentakan panggul Reza. Mulut dan hidungnya terasa sakit. Namun dia senang bisa menampung seluruh sperma Reza. "Oooooooooooooohhhhhhh........," Reza melenguh panjang

Hingga beberapa saat, panggul Reza tak lagi naik turun, dan ketegangan tubuhnya mulai mereda. Dona melepaskan mulutnya dari penis Reza. Dia berusaha menampung semua sperma Reza, lalu bangkit dan mendekati wajah Reza. Dengan gaya yang sensual, Dona menelan sperma itu dihadapan Reza.

Reza sudah tidak peduli lagi dengan aksi yang dilakukan Dona. Dia sudah cukup puas, dengan upacara "pembaptisannya". Dia kini sudah bisa disebut laki-laki. Reza hanya bisa terbaring kelelahan. Ejakulasi di mulut Dona memberikan sensasi tersendiri.

Sementara itu Dona belum puas meski baru saja mendapatkan perjaka Reza. Saat melihat Doni dan Sasha sedang saling memuaskan, Dona ingin ikut bergabung. Dia memberi kode kepada Doni untuk pindah ke tempat tidur.

Doni sebenarnya sedang menikmati goyangan Sasha di atas pangkuannya. Awalnya mereka tidak tahan melihat adegan Reza dan Dona. Sasha yang hanya dijilat payudaranya ingin segera mendapat kenikmatan sesungguhnya. Dia mengangkat pantatnya dan memasukkan penis Doni.

Erangan Iwan semakin membuat Sasha bernafsu. Dia menghentakkan pantatnya agar penis Doni menghujam dengan keras. Dia ingin mengejar orgasmenya. Maka taatkala Dona memberi isyarat agar pindah tempat, Doni tidak melepaskan penisnya dari vagina Sasha.

Dia menggendong Sasha sambil berjalan ke tempat tidur. Namun saat sampai di sisi tempat tidur yang kosong, Sasha ternyata ingin mengubah gayanya. Sasha langsung menungging dan meminta di sodok dari belakang. Doni sigap, dia menacapkan ke bibir vagina Sasha yang merekah merah.

"Yang keras Don....," pinta Sasha. Sekuat tenaga Doni memajukan panggulnya berkali-kali ke pantat Sasha. Hingga dua payudara yang bergelantungan itu ibarat bandul yang bergoyang ke depan belakang.

Giliran Dona yang terpancing birahinya. Setelah merasa belum mendapatkan kenikmatan maksimal dari Reza, Dona mengincar kenikmatan dari Doni. Sambil membiarkan Doni melayani Sasha, Dona menciumi tubuh Doni. Lidahnya berkelana di dada Doni, sampai kemudian Sasha menciumi Doni dengan hebat.

Ciuman itu ternyata memberikan efek pada Doni, sehingga hentakannya kepada Sasha semakin keras. Sasha tak bisa menahan tusukan itu. Penis Doni yang besar menghujam dalam dengan frekuensi yang cepat. "Ooooohhhh.....Dddooooonnnnniiiiiiiii.......," Sasha ambruk ke kasur ketika orgasmenya datang. Ia puas sekali. Tubuhnya terkurap di atas kasur dengan nafas tersengal-sengal.

Dona tahu, kini giliran dia mendapatkan kepuasan dari Doni. "Sekarang giliran tante ya," ujar Dona.
"Iya tante. Tapi aku tanggung nih, langsung aja ya," pinta Doni yang langsung menyelipkan penisnya ke selangkangan Dona.

Tapi Dona tak mau Doni langsung selesai. Dengan lembut dia menggenggam penis Doni dan dijauhkan dari selangkangannya. "Kamu sabar dulu ya, kan kamu hutang sama Tante," ujar Dona.
Doni tak bisa berbuat apa-apa selain melayani cumbuan Dona, padahal dia merasa spermanya sudah di ujung.

Sasha yang sudah reda dari kenikmatannya merasa ingin pipis. Dia bangkit menuju kamar mandi yang ada di kamar itu sambil memberi ruang kepada Dona dan Doni. Namun dia tidak tahu jika Reza mengikutinya dari belakang. Reza menunggu Sasha hingga selesai pipis di pintu kamar mandi yang tidak ditutup. Dan setelah itu dia menyergap Sasha yang berkaca di depan wastafel.

"Sekarang sama gue yang Sha," ujar Reza yang langsung memeluk Sasha dari belakang. Tubuh telanjang mereka langsung bersentuhan. Penis Reza yang mulai ereksi terasa mengganjal di pantat atas Sasha. Sasha terkejut, tapi dia sadar bahwa Reza telah memeluknya.

"Boleh istirahat dulu gak Za. Gue masih capek nih," Sasha berusaha melepaskan lingakaran tangan Reza di perutnya. Namun Reza tetap menempatkan tangannya di perut Sasha yang mulus.
"Kan dah janji Sha. Tadi gue menang, sekalian ada di sini," bujuk Reza.

Sasha sebenarnya masih lelah. Rasa sodokan penis Doni masih belum hilang di vaginanya. Tapi Reza sepertinya juga tidak mau mengalah. Bahkan Reza kini telah mencumbu leher Sasha lewat kecupan halus.

Sasha sempat mengelak, tapi pelukan Reza semakin kuat. Dia tak bisa apa-apa. Bahkan ketika kecupan berpindah ke tengkuk, dan leher belakangnya, Sasha malah mendesis. Bulu romanya bergidik. Dia kegelian sekaligus terangsang.

"Aaaaahhhh..Zaa," kini Sasha memberikan respon. Reza mungkin belum banyak pengalaman, tapi ternyata dia mampu membangkitkan birahi Sasha. "Terus Zaa...gelii..." Tambah Sasha.

Tahu jika Sasha mulai terangsang, Reza mengendorkan pelukannya, dan tangannya kini beralih ke payudara Sasha. Dia meremas dua gunung kembar Sasha yang ranum. Sasha pun memberi respon dengan menyandarkan tubuhnya ke badan Reza. Dia menempatkan penis Reza yang mengeras di antara bongkahan pantatnya. Lalu dia menekan dengan melakukan gerakan naik-turun. Seakan-akan memberikan pijatan pada penis kawannya itu.

Reza yang tahu jika nafsu Sasha sudah mulai bangkit, langsung membalik badan Sasha menjadi berhadap-hadapan. Dia melumat bibir Sasha penuh nafsu. "Sha, gue pengen sama elu. Elo cantik banget," ujar Reza dengan tak bisa menahan nafsunya.

Setelah melumat bibir Sasha, Reza langsung menuju payudara Sasha. Dua bukit kembar itu pun tak bisa lepas dari jilatan lidah Reza. Sasha hanya bisa melenguh ketikan putingnya dipilin lidah Reza. Tangan Sasha meremas-remas rambut Reza sebagai respon kenikmatannya.

Reza sebenarnya masih belum puas dengan dua bukit kembar Sasha, tapi rasa penasaran akan vagina Sasha sangat besar. Reza pun berjongkok, wajahnya tepat pada selangkangan Sasha.

Mengerti apa yang diinginkan Reza, Sasha membuka pahanya sedikit mengangkang. Saat itulah Reza melihat vagina Sasha yang baru dibersihkan tadi. Garis tengahnya sedikit merekah menampilkan warna kemerahan. Jika dibanding vagina Tante Dona, punya Sasha sepertinya lebih empuk karena lebih tembem di sekitarnya, pikir Reza.

Reza menjilat vagina Sasha. Dia berusaha menyelipkan lidahnya ke bagian dalam surga dunia itu, tapi tidak maksimal. Bahkan untuk menemukan klitoris Sasha, Reza harus menyibak menggunakan tangannya.

Akhirnya Reza memutar tubuh Sasha. Kini wajahnya mendapat pemandangan pantat Sasha. Bongkahan pantat itu sudah mengundang rasa penasaran Reza saat dia melihat Doni menghentakkan panggulnya tadi.

Reza pun meminta Sasha untuk menungging, hingga terlihat jelas vaginanya. Saat itulah dia benar-benar bisa menikmati pemandangan vagina Sasha. Lidahnya menjulur lagi. Kali ini dia bisa mengusap vagina Sasha seluruhnya.

"Ooohhh..." Sasha melenguh lagi sambil berpegangan di pingir meja wastafel. Reza mengusap lubang anus Sasha. Namun karena tak mendapat respon apa-apa Reza menghentikannya.

Kini tibalah saatnya. Dia ingin merasakan penisnya masuk ke dalam vagina Sasha. Dia bangkit dan mengarahkan penisnya ke lubang yang akan memberikan kenikmatan.

"Ooooohhhhh....," keduanya sama-sama melenguh. Reza langsung menajamkan indra perasanya. Ia ingin mencari perbedaan antara vagina Tante Dona dan vagina Sasha. Sedangkan Sasha merasakan rasa penis berbeda kali ini.

Bagi Reza, vagina Sasha terasa lebih kuat mencengkram penisnya. Juga terasa lebih empuk. Sedangkan Sasha menganggap, penis Doni tidak ada yang bisa mengalahkan. Mungkin karena Donilah yang dulu memerawaninya.

Sodokan Reza mulai bertambah cepat dan kuat. Sasha harus benar-benar berpegangan erat pada meja wastafel. Karena salah sedkit, bisa jadi tubuhnya terbentur meja tembok itu.

"Za pelan-pelan...," pinta Sasha. Tapi Reza tak mau menurunkan frekuensinya. Dia semakin cepat dan semakin cepat menyodok Sasha. Hingga kemudian tiba-tiba Reza berhenti.

Sasha bingung. Kenapa tiba-tiba berhenti, padahal Reza belum orgasme. Dia juga bingung dengan dirinya. Jika awalnya merasa kesakitan karena sodokan Reza sangat kasar, tapi saat berhenti tiba-tiba seperti ada kenikmatan yang hilang di vaginanya.

Sasha menoleh ke belakang mencari tahu jawabannya. Tapi ternyata Reza malah tersenyum puas. Reza bisa membuktikan bahwa Sasha sebenarnya menyukai sodokan yang keras. "Cukup? Apa kaya tadi lagi Sha?" Goda Reza.

"Iiiihh...gue kira udah keluar. Kaya tadi Za, enak," ujar Sasha. Namun bukannya Reza menuruti kemauan Sasha, Reza malah meminta Sasha pindah ke bath up.

"Gue puas nge-doggy elu Sha. Kita maen di bath up ya, sambil berendem air hangat," pinta Reza.
"Yaaa'ah. Enakan dari belakang Za," rengek Sasha yang sedang nanggung.
"Tapi gue capek Sha, pengen elu di bawah," balas Reza.

Sasha pun mengalah. Dia berpindah ke bath up sambil menyalakan air hangat. Bath up di kamar mandi itu mirip dengan jacuzzi, meski tidak terlalu besar. Cukup untuk menampung dua orang dewasa. Sasha kemudian rebah di bath up sambil menunggu air penuh, sedangkan Reza kembali mencumbunya. Sasha meminta Reza untuk menjilat vaginanya, karena tadi sudah dekat dengan orgasme. Reza menurutinya. Kali ini dia bisa melihat dengan jelas vagina Sasha. Bahkan dia bisa langsung menemukan klitorisnya.

Reza langsung memberi servis pada klitoris Sasha. Sambil berjibaku dengan air yang mulai mengumpul di bath up itu, Reza sangat intens menjilat klitoris Sasha. Kadangkala Reza pun memberi gigitan kecil, sehingga membuat Sasha tak tahan menahan orgasmenya.

"Terussss zaa...enak," ujar Sasha yang kemudian meremas kepala Reza dan membenamkan ke selangkangannya. Sasha orgasme.

Reza puas bisa memberikan kenikmatan pada Sasha. Dia tersenyum, lalu mengecup pelan bibir Sasha. Sasha membalasnya. "Sekarang giliran elu Za, sini gue isep dulu punya lu," ujar Sasha.

Sasha menaikkan sedikit kepalanya yang bersandar di ujung bath up. Dia membuka mulutnya ketika tangannya meraih penis Reza yang tidak setegang tadi. Sasha mencium ujung penis Reza sebelum benar-benar mengulumnya.

Reza sangat menikmati kuluman Sasha. Di sekolah, dia melihat Sasha tak ubahnya teman-teman yang lain. Tapi saat ini, Sasha adalah perempuan yang benar-benar bisa memberikan kenikmatan tiada tara. Dan kini, bibir manisnya sedang mengulum penisnya. Nikmat sekali.

"Sha, gue dan pengen masukin nih," ujar Reza. Sasha melepaskan kulumannya, membiarkan Reza menindih tubuhnya. Sebagian air di dalam bath up itu tumpah keluar akibat masuknya tubuh Reza.

Sasha masih bisa merasakan kenikmatan ketika penis Reza perlahan-lahan menyusup ke dalam vaginanya, meski hangatnya air di bath up merambat ke seluruh tubuh. Ternyata, bercinta di dalam bath up dengan berendam air hangat membuat Sasha lebih rileks.

Ini adalah pengalam pertamanya bercinta di bath up. Dia kini leluasa menerima tusukan Reza, bahkan tangannya bisa melingkar di punggung Reza. Sedangkan Reza bertumpu di pinggir bath up.

Reza yang awalnya menggebu-gebu ingin segera mengeluarkan spermanya mau tidak mau harus mengontrol iramanya. Karena jika dia menghentak tubuhnya agak keras, air di dalam bath up tumpah keluar dan membuat lantai kamar mandi menjadi becek.

Dengan irama yang lebih santai malah membuat keduanya bisa melihat ekspresi masing-masing. Reza bisa melihat bagaimana Sasha menikmati pada setiap tusukan penisnya. Sedangkan Sasha tersenyum melihat Reza yang harus menahan birahinya.

Ternyata Reza malah terangsang melihat Sasha yang menilkmati setiap tusukannya. Dia tidak perlu mengeluarkan esktra tenaga, tapi setiap penisnya masuk, terlihat jelas ekspresi Sasha. Reza tak mampu lagi untuk menahan birahinya.

Reza mendapatkan pengalaman yang baru kali ini, ejakulasi pertamanya di vagina. Sebelumnya dia tidak tidak pernah mendapatkannya, bahkan dengan Tante Dona tadi, ejakulasinya semua di dalam mulut. Reza bisa membedakan, ternyata ejakulasi di dalam vagina lebih sulit untuk ditahan. Remasan dinding vagina Sasha membuat penisnya merasakan kenikmatan sempurna. Reza menghentakkan panggulnya. "Oooooohhhhhh.....enak banget memek lu Sha..." Reza tak kuasa menahannya.

Air bercipratan ke lantai kamar mandi. Sasha membantu orgasme Reza dengan memeluk punggung kawannya itu. Setelah itu dia tersenyum melihat Reza yang ngos-ngosan dengan tangan masih bertumpu di pinggir bath up seperti habis push up.

"Gue keluar di dalam, gak apa-apa Sha?" Reza baru teringat jika dia mengeluarkan spermanya di dalam vagina Sasha. Dia mungkin khawatir jika Sasha hamil nantinya. Tapi Sasha hanya tersenyum sama tanpa berkata apa-apa.

Reza segera bangkit dari bath up. Dia mengeringkan badan dan melangkah ke dalam kamar untuk mengambil pakaiannya. Sedangkan Sasha meneruskan berendam, melepas lelas, serta mandi. Saat Reza melangkah ke dalam kamar, dia melihat Doni sudah terbaring di kasur. Tangan dan kakinya diikat kain ke ujung tempat tidur, sedangkan Dona asyik mengulum penis Doni.

Dona mengajak Reza untuk bergabung namun Reza memilih meninggalkan mereka berdua, dan menemui Santo serta Iwan yang sedang menikmati Jack Daniels di balkon.

"Woooiiii..... Selamat Bro! Akhirnya ngewe juga. Gimana? Mantap?" Ujar Iwan sambil mengulurkan tangannya.
"Mantap Bro," balas Reza. Sambil mengambil gelas kosong, menuangkan minuman dan mengajak mereka tos.
"Mana yang lain?" Tanya Iwan.
"Doni lagi sama Tante, Sasha di kamar mandi, berendem," ujar Reza.

Iwan dan Reza kemudian saling bercerita tentang kenikmatan vagina Sasha dan Tante Dona, dan Santo hanya menjadi pendengar yang baik sambil menenggak minumannya.

Di dalam kamar, Tante Dona sudah selesai mengulum penis Doni. Kini dia memasukkan penis itu ke dalam vaginanya. Dona yang sudah berpengalaman mulai mengayun panggulnya, maju-mundur. Tangannya meraba kedua payudaranya sendiri.

Doni sebenarnya sudah tidak kuat menahan orgasmenya sejak bercinta dengan Sasha tadi. Maka dia pun bilang ke Tante Dona akan segera keluar. "Aku mau keluar Tante...," erang Doni.

Dona kaget, dia langsung menghentikan aksinya dan mencabut penis Doni dari vaginanya. Tidak biasanya Doni cepat keluar, padahal dia belum terpuaskan dengan penis itu. Dona beringsut ke depan. Dia menempatkan selangkangannya tepat di atas wajah Doni. Dia ingin Doni memberikan servis lewat lidahnya. Dengan begitu, Doni bisa mengistirahatkan penisnya dan birahinya tetap terjaga.

Cukup lama Doni harus memuaskan Dona dengan lidah sambil tangan dan kakinya terikat. Dona yang merasa ingin dipuaskan dengan penis Doni kembali ke belakang dan memasukkan lagi penisnya.

Panggulnya mengayun pelan, maju-mundur. Tangannya meraba payudaranya, hingga menimbulkan erangan yang erotis. Dona sebentar lagi akan mencapai puncaknya. Dan kebetulan Doni sudah tidak kuat lagi menahan laju spermanya yang mengalir deras.

Kedua tubuh itu saling menghentak. Dona langsung menjatuhkan badannya, mencium bibir Doni dengan beringas. Panggulnya tetap mengayun maju-mundur seirama dengan hentakan birahinya. Hingga akhirnya reda dan tersenyum kepada Doni.

"Kamu sebenarnya masih hutang sama Tante. Tante belum puas dari kamu, tapi untuk kali ini Tante maafkan," ujar Dona. Dona berbaring di sebelah Doni yang belum dilepaskan ikatannya. Keduanya mengatur nafas untuk menormalkan kondisi tubuhnya.

Di balkon, Reza dan Iwan masih berbicara seru tentang pengalaman masing-masing, Santo terus saja menambah minumannya. Malam sudah melakukan hampir setengah perjalanannya. Tak terasa perut mereka keroncongan.

Reza dan Iwan mengajak Santo untuk makan, tapi Santo sepertinya sudah benar-benar mabuk. Akhirnya Iwan dan Reza membopong Santo masuk ke dalam agar tidak "KO" di luar.

"Dah pada selesai belum? Makan yuk," ujar Iwan ke mereka yang masih ada di dalam kamar. Dona akhirnya membuka ikatan Doni. Dia juga mengajak Sasha untuk segera menyelesaikan mandinya dan makan bersama di ruang tengah.

Sebenarnya tak ada makanan spesial, hanya fast food yang sudah dingin saja. Tapi semuanya sepertinya kelaparan. Dona dan Sasha membalut tubuhnya dengan kain, sedangkan tiga laki-laki di sekelingnya hanya bercelana pendek. Hanya Santo yang masih layak disebut berpakaian.

"Ayo pada makan, jangan sampe nanti lemes. Masih panjang loh," ujar Dona sambil mengerlip pada Reza.
"Santo kamu nggak makan?" Tanya Dona. Entah sadar atau tidak, Santo hanya geleng-geleng kepala saja. Dona tahu jika Santo sepertinya lebih senang alkohol dibanding seks.

Dona kemudian berbisik kepada Sasha. Dia meminta Sasha untuk melayani Santo seusai makan. Menurut Dona, Santo akan menghentikan minumnya jika dia sudah orgasme. Sasha mengerti dan mengiyakan permintaan Dona.

Maka setelah semua kenyang, kondisi tubuhnya kebali normal. Dona memberik kode kepada Reza untuk melanjutkan pertarungannya lagi. "Saya mau malam pengantin dulu ya sama Reza, jangan ganggu ya," ujar Dona mengajak Reza masuk ke kamarnya.

Melihat itu, Sasha mendekati Santo yang duduk di sofa. Dia sudah diberitahu Dona, jika Santo tidak dihentikan menenggak minumannya, tubuhnya akan semakin banyak menampung alkohol. Mereka takut terjadi sesuatu yang lebih parah.

Doni dan Iwan pun merelakan Sasha melakukan tugasnya. Sasha mulai mencumbu Santo. Dia menciumi bibir, leher, dan wajah Santo. Perlahan-lahan tangan Sasha meraba di dalam celana Santo. Dia mengelus-elus penis Santo. Sampai Santo mulai terlihat terangsang.

Sasha melepaskan celana Santo dan mulai mengoral penis temannya itu. Santo menikmati perlakuan Sasha, entah dia masih sadar atau tidak. Tapi adegan itu membuat Iwan terangsang. Sasha yang harus menungging untuk mengoral Santo, terlihat sangat seksi.

Kain tipis yang membalut tubuhnya hanya menutupi sebagian kecil pantat Sasha. Iwan tentu saja terangsang karena dia berada tepat di belakang Sasha. Dia menghampiri Sasha. Reza berjongkok di belakang pantat Sasha. Dia meraba keras pantat Sasha sambil menyibak kain tipis itu.

Sasha sempat kaget dengan rabaan di pantatnya. Tapi dia tidak peduli dan terus mengulum penis Santo. Iwan ternyata sangat terangsang dan langsung menjilat pantat Sasha serta menyibak labia mayora Sasha yang menyembul. Lidahnya kini membasuh labia itu.

Giliran Sasha yang meresa keenakan. Jilatan Iwan membuatnya mengulum penis Santo dengan optimal. Meski penis Santo kecil, namun Sasha memperlakukannya dengan baik. Sasha terus mengurut penis Santo hingga akhirnya Santo tak kuat lagi menahan spermanya.

Tanpa aba-aba, Santo memuncratkan spermanya di mulut Sasha. Sasha terkejut, dan takut tersedak, dia refleks melepaskan penis Santo. Santo pun terkulai lemas di sofa. Sementara itu Doni yang melihat bibir Sasha belopotan sperma Santo mengambil kain yang sudah terlepas dari tubuh Sasha. Dengan kain itu, Doni membersihkan bibir dan pipi Sasha.

Di belakang, Iwan sudah tidak tahan lagi. Begitu penisnya mengeras, dia langsung menacapkan ke vagina Sasha. Sasha terhenyak vagina tersumpal daging keras. Tapi Sasha kemudian mengubah posisinya, dia tak lagi mengungging di bawah Santo.

Dia meraih tubuh Doni dan segera menurunkan celana Doni. Sasha ingin mengulum penis Doni. Doni tanggap dan mengajak Iwan serta Sasha pindah ke sofa sebelah mereka yang kosong. Sedangkan Santo sudah mulai mendengkur. Pengaruh alkohol dan ejakulasi membuatnya dia tertidur.

Malam terus beranjak. Di kamar utama, Dona membimbing Reza untuk mendapatkan pengalaman sekelas Doni. Reza benar-benar memonopoli Dona. Sedangkan di ruang tengah, Sasha dipuaskan oleh Doni dan Iwan.

Dua laki-laki itu sepertinya tidak puas-puas mendapatkan kenikmatan. Setelah Iwan mendoggy Sasha, giliran Doni yang minindih Sasha. Dua mulut Sasha, mulut atas dan mulut bawah, tak pernah berhenti disumpal dua penis berbeda.

Tidak puas bercinta di ruang tengah, mereka bertiga pindah ke dalam kamar tamu. Entah sudah berapa kali Sasha mengerang, mengejan, mengentak akibat sodokan penis-penis itu tapi rupanya Doni dan Iwan belum terpuaskan.

Mereka terus bercinta sambil menenggak bir. Sampai akhirnya Iwan lunglai di atas kasur, sedangkan Doni menindih Sasha. "Don, habis ini sudah ya aku nggak kuat," pinta Sasha. Doni hanya mengangguk dan mempercepat orgasmenya. Setelah selesai Doni pun ambruk ke samping Sasha. Dia puas sekali. Mereka bertiga akhirnya tidur di kasur itu dengan Sasha memeluk Doni.

Pesta itu berjalan sukses. Meski tidak semua perjanjian mereka benar-benar terwujud, tapi Reza kini sudah memiliki pengalaman yang sama. Dia tak lagi penasaran.

**
 
Dua botol Jack Daniels dan delapan gelas kosong terongggok di atas meja. Puntung rokok bertebaran di sekitar asbak kecil yang overload. Snack dan kulit kacang berserakan di atas karpet. Dua remaja laki-laki terbujur tanpa busana di ruang tamu. Sepertinya sudah terjadi pesta seru sebelumnya.

"Wooiii bangun lu semua!! Dah jam 11 siang nih, check out. Mau ketinggalan pesawat lu!!" Doni keluar kamar membangunkan teman-temannya. Dengan gelagapan, Santo dan Iwan, bangun mencari pakaiannya. Doni mengecek kamar satu lagi yang diduga ada Reza.

"Nyet, bangun nyet, dah siang. Check out, dah jam 11. Pesawat kita jam 1," Doni membangun Reza.
"Masih subuh nih bro. Masih ngantuk gue," Reza malas-malasan.
"Bangun luh Nyet, mandi, bersihin mani lu tuh!" Hardik Doni.

Keempat remaja itu terpaksa bangun, meski kepala masih terasa pusing. Mereka harus mengejar pesawat kembali ke Jakarta dari Denpasar. Doni, Santo, Iwan, dan Reza pergi ke Bali untuk merayakan ulang tahun Santo yang ke-17.

Santo yang mentraktir, mulai dari tiket, hotel, sampai segala macam hiburan selama akhir pekan. Di malam terakhir, keempatnya menggelar pesta bersama empat wanita panggilan yang menemani sampai tak sadarkan diri.

Sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta, mereka hanya diam. Kepala mereka pusing dan ngantuk. Sampai tiba di rumah masing-masing rasa itu tidak hilang.

"Gimana pestanya sayang? Asyik?" Mamanya Santo senang melihat anak satu-satunya kembali dari Bali.
"Asyik Mah. Gila puas. Makasih ya Mah," Santo disambut mamanya saat melintas di ruang tamu.
"Ya udah, istirahat deh, besok sekolah."
"Iya mah, masih pusing nih kepalanya."
"Ha ha ha ha. Ya udah sana."

Keesokan harinya, tak lama setelah bel pulang sekolah berbunyi keempat sahabat itu berkumpul di salah satu sudut kantin. Doni, Santo, Iwan, dan Reza tertawa terbahak-bahak. Mereka melihat rekaman video saat menggelar pesta terakhir.
"Anjing tuh cewek, sedotannya gila," ujar Iwan yang melihat dirinya sedang dioral.
"Gua mah dah gak inget Wan. Seinget gua, gua ngabisin setengah botol. Itu yang gue inget, artinya gua masih minum lagi kan. Gua dah pasrah aja tuh cewe mau ngapain. Kayanya Santo yang nikmatin banget ngewenya, ha ha ha ha.." Balas Doni.
"Ya wajar dong Don, dia kan lagi ulang tahun. Rugi kalo ngewe pas mabok, gak bisa ngerasain, ha ha ha," timpal Reza.

Namun ketiganya langsung terdiam ketika melihat Santo ternyata sedang terpukau melihat seorang sisiwi yang melintas di lorong kantin. Mereka tahu kalau Santo menyukai Vina, siswi kelas 1C.

"Nyet, cewek telanjangnya di sini. Yang itu kagak telanjang," Doni coba menyadarkan Santo.
"Ha ha ha ha," mereka tertawa bersamaan.
"Lu suka ya To sama Vina. Kejar dong, masa gak bisa dapet lu?" Iwan menimpali.
"Bisa, kenapa gak bisa?" Santo merasa tertantang.
"Yakin bisa? Bukan bisa jadian doang ya?" Balas Iwan.
"Terus?" Santo penasaran.
"Bisa dapet perawannya. Gue yakin tuh anak masih perawan," tantang Iwan.
"Ah lu gila. Otak lu emang gak jauh-jauh dari selangkangan," balas Santo.
"Kaya elu kagak aja, he he he."
"Ya udah, kalo gue bisa, lu mau kasih apa?"
"Gue modalin elu ke Singapur dua malam, dua orang. Tapi kalo elu kaga bisa, gantian elu yang modalin gue, gimana? Deal?"
"Ya kalo itu mah, deal! Salaman."
"Eh gak pake waktu? Berapa lama? Ntar sampe kita tua Santo masih ngejar perawannya Vina, ha ha ha," Reza menyela.
"Oh iya, kasih gue waktu tiga bulan," Santo merasa yakin.
"Kelamaan, satu bulan," balas Iwan.
"Gak mungkinlah, gue kan perlu pe-de-ka-te. Belum lagi spik-spik. Dua bulan dah," tawar Santo.
"Ya udah dua bulan ya, mulai hari ini, jam sekarang. Bukti kalo elu berhasil, selain foto dia, celana dalemnya juga," balas Iwan.
"Okeh deal," Santo meyakinkan dirinya.

"Woi woi Sob. Mulai gak bener lu pade. Kasihan," Doni tiba-tiba menyela.
"Kenapa Don?" Iwan merasa terusik.
"Dia anak baik-baik. Pantang hukumnya bikin anak orang jadi gak baik. Kalo mau ancur, ancur sendiri aja, jangan ngajak-ngajak orang," Doni coba meluruskan. "Mending cewek lain aja. Kaya gak ada cewek lain. Tuh ada Sasha," ujar Doni.
"Yah kalo Sasha kan elu yang merawanin Don. Eh terus kita gilir. Gak menantang," balas Iwan. "Menurut lu gimana Za?"
"Menurut gue mah terserah elu berdua. Dosa elu yang nanggung, dapet hadiah juga elu yang nikmatin. Sok aja."
"Ha ha ha tuh Don, Reza setuju. Kalah lu, 1 lawan 3," balas Iwan.
"Yah terserah dah," Doni pasrah.

Mulai saat itu Santo fokus mendekati Vina. Vina adalah salah satu siswi kelas 1 yang menarik perhatian para kakak kelasnya. Wajahnya imut, innocent, sedangkan kulitnya putih bersih. Yang membuat para siswa laki-laki tertarik tentu saja bentuk tubuh Vina. Di balik seragam sekolahnya, Vina menyimpan lekuk tubuh yang aduhai, sintal. Ranumnya payudara Vina bisa diterka dari tonjolan di dadanya.

Sehari-hari Vina selalu tampil ceria. Bahkan kadang kala ia tampil kekanak-kanakkan. Vina tak ubahnya boneka Barbie. Tidak sedikit siswa yang mendekati Vina. Tapi sebenarnya Vina menyukai salah satu seniornya, Dimas.

Sayangnya, Dimas sepertinya tidak memberi perhatian padanya. Mereka hanya pernah berkenalan dan bertegur sapa jika berpapasan. Dimas tak pernah sengaja mendatanginya untuk mengajak ngobrol.

Hari demi hari Santo mencari cara untuk mendekati Vina. Mulai dari kenalan langsung, minta nomor telepon, hingga mendekati teman-teman dekat Vina di kelasnya. Santo menggunakan semua jaringannya, termasuk kepopularannya.

Lewat salah satu teman dekat Vina, Mita, Santo berhasil mendekati Vina. Santo pun mulai gencar melakukan pendekatannya sendiri. Sampai dua minggu kemudian, ia mengajak Vina pacaran.

"Gimana ya, gue gak boleh pacaran sama Mama?" Ujar Vina apa adanya saat mereka berdua saja di mobil Santo.
"Gak boleh apa elu mau gak pacaran?"
"Kalo pacaran sih mau, tapi terus terang gue gak ada perasaan sama elo. Elo baik, tapi gue biasa aja, jangan marah ya," Vina mencoba berterus terang. Vina sebenarnya masih berharap bisa pacaran dengan Dimas.
"Oooo gak apa-apa. Gue tahu kok, nggak bisa maksain perasaaan. Tapi gue berharap elu mau kasih kesempatan buat gue, kalo gue bisa bikin elo punya perasaan sama gue. Nanti kalo elo bener-bener gak suka sama gue, elo putusin gue aja. Gue bisa terima kok," rayu Santo.
"Eee gimana ya. Gue gak tahu,"
"Ya udah, kalo belum tahu jawabannya, gue bisa tunggu kok. Tapi jangan lama-lama ya," ujar Santo.

Vina sebenarnya ingin menunggu Dimas untuk mengajaknya berpacaran. Tapi ia tak mengetahui apakah Dimas benar-benar menyukai dia atau hanya sebatas teman saja.

Mita yang menjadi teman dekatnya di kelas memprovokasi Vina untuk menerima ajakan Santo. "Gak ada ruginya Vin, untung malah. Elu ada yang nganterin kalau pulang sekolah. Kalau mau kemana-mana juga pasti ditemenin. Apalagi kalau kita bisa bikin dia seneng, pasti dikasih hadiah," ujar Mita.

"Emang pacaran ngapain aja sih Mit?"
"Ha? Elu belum pernah pacaran ya? Kok tanyanya begitu?"
"Iya, belum pernah," Vina jujur.
"Ha ha ha ha. Pacaran paling ngobrol-ngobrol doang. Sayang-sayangan, lewat telpon. Terus paling ciuman. Nah elo pasti juga belum pernah ciuman kan, coba deh he he he. Tapi kalo dia minta yang macem-macem elo langsung tolak. Kalau perlu elu ancam putus, atau teriak ha ha ha ha," Mita memberikan pandangan.

"Tapi Mit, sebenernya gue suka sama orang lain, bukan Santo," Vina coba mengutarakan isi hatinya.
"Ha? Siapa?" Mita penasaran.
"Sama Dimas," ujarnya pelan.
"Oooo Dimas anak kelas 3 IPS itu ya? Dia sih macho, keren. Tapi kalo dibanding Santo, mendingan elu pilih Santo aja deh. Lebih tajir, pastinya elu bakal dimanjain," ujar Mita.
"Lagian selama ini gue lihat, Dimas gak pernah ngejar-ngejar elu. Sekarang ada Santo yang dah pasti suka sama elu, dan terima Santo aja," bujuk Mita.

Vina pun akhirnya menerima ajakan Santo untuk pacaran. Vina senang karena apa yang dibilang Mita ternyata benar. Ada orang lain yang memanjakan dirinya. Santo dengan segala kelebihan materinya mampu memberikan Vina berbagai kemewahan. Ia bahkan terharu ketika Santo memberikan kalung berlian.

"Santo ini apa? Terlalu berlebihan. Gue dikasih bunga aja sudah senang. Gue gak bisa terima ini," ujar Vina.
"Elo terima aja Vin. Itu bukti kalau gue sayang banget sama lo," ujar Santo.
"Tapi gue tetap nggak bisa Santo, terlalu mahal buat gue."
"Begini aja. Gue titip barang itu di elo, suatu saat nanti gue ambil lagi. Tapi kalau elo suka, silahkan elo ambil. Kalau elo pinjam untuk pakai, silahkan," Santo memperhalus pemberiannya.

Vina yang baru pertama kali pacaran luluh hatinya. Di mata dia, Santo mewujudkan dongeng pangeran yang jatuh hati pada perempuan sederhana. Dia merasa seperti Cinderella.

Meski pemberian kalung berlian itu terkesan hanya untuk memikat Vina, tapi sebenarnya Santo ikhlas. Ia benar-benar mengagumi Vina. Vina sangat cantik, ia ingin kalung itu menambah kecantikannya. Ia berharap sekali, jika Vina benar-benar mau menjadi pacarnya.

"Gimana bro, tinggal dua minggu lagi nih. Elu dah beli tiket belom buat gue?" Tanya Iwan saat pulang sekolah.
"Ha ha ha dua minggu bro, masih lama. Pasti gue menang," ujar Santo.
"Ya baguslah kalo elo yakin. Keep fighting man!" Iwan coba menyemangati.

Taruhan itu sepertinya menjadi simalakama. Baru kali ini Santo merasa tidak ingin menjadikan perempuan sebagai objek seks belaka. Santo sangat mau ML dengan Vina, tapi itu bukan tujuannya sejak awal. Hanya saja jika ia tidak berhasil memberikan bukti, ia akan dipandang sebelah mata. Ia merasa bukan siapa-siapa.

Iwan sengaja memancing Santo untuk mendekati Vina untuk menaikkan harga dirinya. "Biar jangan minder bro. Jangan sampe dia nggak berani dekatin Vina cuma gara-gara kontolnya doang. Lu liat sendiri kan, kalo ada Vina tuh anak langsung melotot. Feeling gue, dia suka beneran sama tuh anak," jelas Iwan kepada Doni tanpa sepengetahuan Santo.

"Vina sayang, besok main ke rumahku ya. Kamu kan belum pernah ke rumahku. Biar kamu tahu juga," ujar Santo lewat pesan singkatnya.
Vina yang sedang berbunga-bunga mendapat pacar, hanya bisa mengiyakan ajakan Santo. Bagi Vina, Santo adalah laki-laki yang baik sekali. Vina sangat tersentuh dengan perhatian Santo, tak hanya hadiah, tapi juga kata-kata mesra yang mulai biasa diterima Vina. Vina hanya bisa menyimpan hal itu untuk dirinya. Kedua orangtuanya tidak tahu. Terlalu besar resikonya jika sampai diketahui.

Sepulang sekolah, Santo akhirnya memboyong Vina ke rumahnya. Ia sudah menyiapkan skenario sebagai penentu kemenangannya atas Iwan. Lewat Tante Dona, Santo berhasil mendapatkan sejenis obat tidur. Obat itu mampu menghentikan sementara syaraf tubuh. Beberapa fungsi anggota tubuh akan berhenti, seperti dibius.

Obat itu juga tidak memiliki rasa, bau, dan warna. Tapi Dona menyarankan agar dicampur dengan sirup agar lebih tersamar. Santo berterima kasih atas pemberian itu. "Ternyata kamu lebih gila dari Papamu," ujar Dona yang tahu maksud Santo.

Saat itu kondisi rumah Santo sepi. Sehari-harinya rumah itu memang sepi, ia tidak perlu mengkondisikan apa-apa. Lima pembantunya ada di belakang kalau sudah siang seperti itu. Papanya pasti di luar rumah, bahkan bisa jadi tidak pulang. Sedangkan Mamanya biasanya kencan dengan Romi.

Meski Mamanya sudah kembali ke rumahnya, bukan berarti kehangatan di rumah itu kembali seperti dulu. Santo bahkan tidak bisa mengerti apa yang terjadi di rumah itu.

Mamanya sering membawa Romi nginap jika Papanya tidak ada. Waktu pertama kali, Santo marah melihat kelakuan Mamanya. Ia mendatangi apartemen Dona, mengira Papanya ada di sana untuk diajak melabrak Romi. Tapi ternyata Papanya tidak ada, dan Santo malah bermalam di tempat Dona. "Sudah kamu gak usah ikut campur urusan orangtua. Kamu nikmatin aja masa mudamu," Dona menenangkan Santo.

Dan Santo benar-benar menikmati masa mudanya. Ia menjelma sebagai petualang jembut belantara dan pendaki gunung kembar. Ia ingin menorehkan prestasinya.

Vina terkagum-kagum dengan rumah Santo saat tiba. Rumah Vina tidak jelek, tapi dibanding rumah Santo, kemegahannya tidak tertandingi. Ia masuk dengan canggung, siap-siap berhadapan dengan Mamanya Santo. Ia duduk di ruang tamu, sementara Santo menyiapkan minuman ajaibnya.

Vina membuat dirinya nyaman di sofa. Tak berapa lama, Santo membawa minuman ajaibnya yang sudah dicampur sirop. Dia mempersilahkan Vina meminumnya. "Mama-Papa kemana To?" Ujar Vina.
"Kerja," jawab Santo ringan.
"Yang lain? Kamu sendirian aja di rumah kalo siang?"
"Iya, paling pembantu di belakang. Kalo siang begini sepi, makanya aku lebih senang main sama Doni," ujar Santo.

"Ooo....," ujar Vina sambil mengambil gelasnya. Santo yang duduk di sofa sebrang Vina menyimpan senyumnya. Dia dengan seksama memperhatikan gerakan tangan Vina. Santo ingin memastikan jika Vina benar-benar mengangkat gelas itu dan mendekatkan ke bibirnya. Dan ketika Vina menenggak minumannya, Santo memperlihatkan senyumnya.

"Kamu mau makan gak? Kalau mau, aku bilang sama mbak di belakang biar disiapin," ujar Santo yang merasa senang rencananya akan berhasil. Vina hanya menggeleng kepala, sambil menghabiskan minumannya. Kebetulan dia memang haus.

Namun tidak sampai satu menit meminum air dari gelas itu, kepala Vina terasa pusing. Badannya terasa lemas, bahkan ia merasa tak kuat menjaga tubuhnya hingga hanya bisa bersandar saja. "Kok aku tiba-tiba pusing To?" Ujar Vina.

"Ooo mungkin kamu belum makan kali. Makan ya biar disiapin," ujar Santo berpura-pura.
Kali ini Vina tidak bisa lagi menggelengkan kepalanya. Dia benar-benar pusing. Tubuhnya terasa melayang.

Antara sadar dan tidak Vina tahu jika Santo membopongnya. Membawa ke kamar di lantai dua. Di dalam hati Santo, inilah saatnya. Vina sudah benar-benar terpengaruh dengan obat dari Tante Dona.

Setelah merebahkan Vina, Santo segera mencumbu pacarnya itu. Santo menciumi bibir Vina, wajah, hingga rambutnya. Tak hanya itu, tangannya juga meraba payudara Vina yang masih tertutup seragam sekolah.

Melihat Vina seperti itu Santo terangsang sekali. Selama ini Santo hanya mampu membayangkan tubuh Vina saja, tapi kali ini apa yang diinginkan Santo ada di hadapannya. Vina tergolek lemas, pasrah dengan apapun yang terjadi.

Santo merangsang Vina dengan mencumbu payudaranya. Santo juga mengelus paha Vina yang sedikit tersingkap dari roknya. Satu-persatu, kancing kemeja Vina dibuka. Santo melakukannya perlahan, seakan sedang membukan bungkusan kado yang sangat bagus.

Setelah semua kancing terbuka, Santo melihat dua gundukan yang selama ini hanya bisa dibayangkan saja. Gundukan itu masih terbungkus bra berwarna krem. Kombinasi bra krem dan kulit perut Vina yang putih mulus membuat Santo semakin terangsang.

Ia menciumi payudara Vina meski masih terbungkus. Dia juga menciumi perut Vina yang mulus. Lama-lama, Santo menciuminya dengan kasar. Bahkan saat membuka BH Vina, Santo sedikit memaksanya. Ia kesulitan untuk membuka BH karena masih ada seragam sekolah Vina. Dia harus membolak-balik tubuh Vina.

Setelah berhasil melepaskan pakaian atas Vina, Santo kembali melanjutkan aktivitasnya. Dengan rakusnya Santo melahap buah kembar Vina. Santo lupa diri, dia lupa dengan yang lain, tidak peduli. Bahkan dia juga tidak peduli dengan Vinanya sendiri. Baginya saat itu, dia sedang menikmati hadiah yang sangat indah. Hadiah yang selama ini dia impikan, terlepas dia mengikat perjanjian dengan Iwan.

Vina ada hadiah terindah dalam hidupnya. Tubuh Vina bak bidadari yang datang dari surga, mengalahkan tubuh semua perempuan yang pernah bersamanya. Tubuh Vina menjadi hadiah yang harus dinikmati saat itu.

Vina tak bisa memperlihatkan ekspresi apa-apa. Bahkan kalaupun dia ingin melawan, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Tubuhnya lemas. Hanya bola matanya yang kadang melotot, menyipit, hingga akhirnya tertutup. Dan Santo tidak mengetahui hal itu, dia benar-benar tidak peduli dengan sekelilingnya, juga tidak peduli terhadap Vina itu sendiri.

Puas melumat dua buah kembar yang montok itu, Santo beralih menuju pintu surga yang masih tertutup rapat. Pertama-tama dia menyibak rok Vina ke atas hingga paha yang putih mulus terlihat jelas. Bahkan celana dalam krem Vina kini menyita perhatian Santo.

Santo semakin lupa diri karena penasaran akan bias rambut-rambut selangkangan Vina di celana dalam itu. Dia segera melepaskan rok abu-abu Vina. Meski harus mengangkat pinggul Vina, tapi dia berhasil meloloskan rok itu.

Kini Vina hampir telanjang, tinggal celana dalam saja yang menutupi tubuhnya. Dan Santo dengan sigap melucutinya. Detak jantung Santo berdetak keras, nafasnya pun semakin cepat, birahinya sudah di ubun-ubun. Ia ingin segera memerawani Vina. Ia tidak lagi peduli dengan teori-teori atau cara bercinta yang biasa dia lakukan bersama Tante Dona atau Sasha. Ia ingin penisnya segera menancap di vagina Sasha.

Dia langsung membuka semua bajunya, telanjang bulat seperti Vina. Dengan sekali gerakan, Santo memposisikan penisnya di depan vagina, tangannya mengangkat kedua kaki Vina dan mengangkangkan lebar-lebar. Dia menekan panggulnya agar penisnya masuk ke vagina Vina.

Ia agak kesulitan namun akhirnya dia merasa penisnya dijepit vagina Vina. Santo melihat Vina yang menutup matanya. Ia tidak peduli lagi, entah Vina menikmati, kesakitan, atau merem karena pingsan. Baginya yang terpenting adalah memuncratkan spermanya di tubuh Vina.

Maka Santo menggenjot penisnya. Tak butuh waktu lama untuk ejakulasi, karena Santo sangat bernafsu bercinta dengan Vina. Saat dia akan orgasme, Santo mencabut penis dan memuncratkannya di atas perut Vina.

Santo ngos-ngosan, nafasnya tersengal-sengal. Dia ambruk di samping tubuh Vina. Setelah kenikmatan orgasmenya reda, Santo ingat akan perjanjiannya dengan Iwan. Dia pun mengambil gambar Vina yang terbaring telanjang dengan cairan sperma di perutnya.

"Kamu jangan nangis sayang, aku cinta kamu," ujar Santo sambil mengecup bibir Vina. Dia melihat Vina menitikkan air matanya.
Santo benar-benar melihat Vina sebagai obyek saja, bahkan dia tak peduli dengan perasaan Vina ketika dia meminta celana dalamnya. "Celana dalammu buat aku ya, kenang-kenangan," ujarnya.

Setelah itu Santo membersihkan bekas spermanya di perut Vina. Dia juga membantu Vina memakaikan pakaiannya lagi karena Vina masih lemas. Setelah itu, Santo berpakaian kembali dan rebah di samping Vina.

Hampir satu jam kemudian tubuh Vina bisa digerakkan kembali. Dia duduk di atas kasur menangis terisak, sementara Santo terlihat sudah mendengkur ketiduran. Vina marah sekali, hidupnya terasa hancur. Maka saat merasa tubuhnya sudah kuat, ia pun melarikan diri. Ia ingin pergi dari rumah neraka itu secepatnya. Ia pulang naik taksi.

Santo bangun dari tidur, dia bingung karena Vina sudah tidak ada. Dia coba menghubungi telepon Vina, tapi tidak tersambung. Dia mungkin khawatir, tapi kemudian dia ingat kalau dia telah sukses mendapatkan tujuannya. Santo kemudian menelepon Iwan.

"Nyet, siapin tiket! Elo kalah ha ha ha ha," ujar Santo.
"Weeideeeehhh udah berhasil bro? Mana buktinya?" Balas Iwan.
"Besok dah gue bawa ke sekolahan," ujar Santo. Santo merasa bangga karena dia berhasil menang dalam pertaruhannya. Dia bisa tersenyum di depan kawan-kawannya besok. Tapi dia juga teringat akan Vina. Maka semalaman dia coba menghubungi Vina meski tidak diangkat-angkat.

Keesokan harinya Santo berkumpul bersama tiga sahabatnya. Saat istirahat mereka bertemu di salah satu pojok kantin membicarakan kesuksesan Santo.
"Mana buktinya bro?" Tanya Iwan yang sudah siap dengan janjinya.
"Nih liat, bukan sombong ya, gue bisa!" Ujar Santo sambil memperlihatkan foto di HPnya kepada Iwan. Doni dan Reza pun penasaran dengan foto yang ada di HP Santo.
"Nih satu lagi bro," ujar Santo sambil mengeluarkan kain yang berbentuk celana dalam perempuan dari kantong celananya.
"Ha ha ha ha," tawa mereka muncul bersamaan. Namun Doni langsung memungut celana dalam itu untuk dikembalikan lagi ke Santo. Sadar jika nanti akan membuat curiga orang di sekitar mereka.
"Ha ha ha, ini simpan dulu bro. Nggak enak kalo ada yang ngeliat," ujar Doni.
Santo mengikuti saran Doni. "Jadi gimana Wan? Elu dah booking tiket sama hotel belum, gue mau pergi sama pacar gue nih," ujar Santo.
"Siap, segera gue pesen. Tapi sebelum itu gue ucapin selamat dulu. Terus elu harus cerita semuanya ke kita-kita," ujar Iwan.

Ketiganya terbahak-bahak mendengarkan cerita Santo. Bahkan mereka tidak sadar jika mungkin saja di sekelingnya ada yang mencuri dengar. Tapi mereka merasa senang atas keberhasilan Santo. Keempat remaja itu benar-benar menikmati dunianya.

***
 
Angin musim gugur berhembus kencang, dinginnya menembus daging hingga terasa di tulang. Buat mereka yang selama hidupnya tinggal di daerah tropis, kondisi alam seperti itu terasa menyiksa. Santo pun harus beradaptasi dengan kehidupan barunya di Melbourne.

Selepas SMA, Santo memilih kuliah di Australia. Kedua orangtuanya sangat setuju dengan keputusan Santo. Tentu saja, masing-masing punya alasan tersendiri mendukung hal itu. Santo sengaja memilih kuliah di luar negeri karena ingin meninggalkan sejenak keluarganya. Untuk sementara ia tidak ingin berhubungan secara langsung dengan Papa dan Mamanya.

Sedangkan bagi Papa dan Mamanya, kepergian Santo ke Australia malah membuat mereka lebih bebas. Keduanya tidak harus melakukan sandiwara di depan Santo. Mereka tidak perlu peduli satu sama lain, kewajibannya hanya mengirimkan uang untuk biaya hidup Santo di Melbourne. Selain itu, tak ada lagi.

Musim gugur sebentar lagi usai. Santo yang belum terbiasa dengan cuaca dingin hanya meringkuk di apartemennya. Untuk ukuran mahasiswa perantauan, apartemen Santo tergolong mewah dan sangat berlebihan.

Mamanya yang mengantarkan Santo ke Melbourne memastikan anaknya tidak kekurangan sesuatu di kota itu. "Mama mau kamu tidak kekurangan apa-apa. Kalau Papa tidak kasih kamu uang, bilang ke Mama. Jangan sampai dia foya-foya dengan perempuannya sedangkan anaknya terlantar," ujar Mama Santo saat menemani dirinya beberapa bulan lalu.

Kini Mamanya sudah kembali ke Indonesia, dan Santo mulai menjalani perkuliahan. Dua bulan menjalani perkuliahan, belajar dan bergaul dengan terbatas membuat Santo mulai bosan. Dia kehilangan masa-masa indahnya di SMA bersama Doni, Iwan, dan Reza.

"Sha.. Elu jadi pindah ke sini kan?" Santo menelepon Sasha yang juga kuliah di Melbourne.
"Jadi, bentar lagi sampe To," balas Sasha di seberang telepon.
Santo mengajak Sasha untuk menemaninya tinggal di apartemen. Tidak ada alasan yang merugikan bagi Santo dengan kehadiran Sasha di tempat tinggalnya. Justru dia malah memiliki teman yang sudah dikenal.

"Gak apa-apa nih To, gue tinggal di sini?" Ujar Sasha ketika sampai di apartemen Santo sambil membawa barang-barangnya.
"Ya elah, pake enak gak enak segala. Kalo elo ngewe ama gue, itu baru gak enak. Kontol gue kecil. Kalo cuma tinggal bareng mah gak usah lu pikiran Sha... Kaya gak kenal gue aja sih lu!" Balas Santo.
"Bukannya apa-apa To, kan gue tetep harus nanya dulu sama elo. Ntar kalo ada apa atau gimana yang gue kagak tahu, malah gak enak," Sasha coba berargumentasi.
"Elu ngapain nyari tempat laen. Dari dulu dah gue bilang kalo elu mau kuliah di sini, tinggal bareng gue aja. Nggak usah ribet-ribet. Nyokap lu kan dah kenal gue juga," ujar Santo.
"Iya-iya.. Gue tinggal di sini aja."

Sasha akhirnya memutuskan untuk kuliah di Australia. Berbeda dengan Santo, Sasha disuruh kuliah oleh "papa"nya. Sosok papa yang disebut Sasha sebenarnya bukan ayah kandungnya. Laki-laki itu adalah seorang pejabat yang menjadikan mamanya sebagai isteri simpanan.

Di mata Sasha, Papanya orang yang baik. Mau membiayai kehidupan dia dan mamanya. Padahal Papanya itu tahu jika mama Sasha dulunya adalah seorang pekerja seks, meski untuk kalangan atas. Entah alasan apa yang digunakan Papanya, karena kalau soal seks semata pasti Papa bisa mencari barang baru. Tapi kini dia malah membiayai Sasha ke Australia.

Sasha tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Mamanya pernah cerita kalau ayah kandungnya adalah pelanggannya dulu. Tapi lelaki itu menolaknya dan mengatakan mama Sasha berbohong ketika diberitahu mengandung anaknya.

"To, kalo gue tinggal di sini berarti gue harus ngapain? Apa gue harus ngelayanin elu terus?"
"Ya elah Sha... Elu tinggal di sini nemenin gue. Ngelayanin apa maksud lu? Ngewe? Ya nggak harus kali. Kaya baru kenal aja. Urusan ngewe, kalo emang pengen ngewe, ya kita ngewe aja. Elu cukup temenin gue aja," Santo menegaskan.

"Ooo kirain gue harus ngelayanin elu kalo lagi sange," canda Sasha.
"Kalo itu kayanya bakalan gue yang jadi budak lu. Bukannya elo yang gampang sange?" Balas Santo.
"Wwwooooo....emang gue segitunya?"
"Lah biasanya? Doni aja sampe nyerah," ujar Santo.
"Ya abis, gue mau minta sama siapa lagi kalo bukan sama dia?"
"Kan ada Iwan atau Reza?"
"He he he..***k tahu To. Gue lebih nyaman sama Doni. Di antara elu berempat, gue paling nyaman sama Doni, terus sama elo. Sama Reza atau Iwan kalo kepepet aja, atau kalo mereka yang minta."
"Kok bisa gitu Sha, gue kira kita berempat sama aja di mata lo? Jangan-jangan elo......sama Doni. Ha ha ha ha..." Pancing Santo.
"Apa??? Cinta...?? Rugi kalo gue ngasih perasaan ke elu berempat!"
"Ha ha ha ha ha ha....."

Mereka pun tertawa bersama dengan lepas. Kuartet penjahat kelamin itu memang memiliki ikatan yang unik. Keempatnya berkumpul karena memiliki kesamaan hobi. Namun lambat laun mereka merasa memiliki persamaan nasib. Sasha, ratu yang ditemukan Doni, melengkapi persahabatan itu. Satu sisi visi mereka tak jauh dari urusan selangkangan, tapi dalam perjalanannya mereka tidak bisa menafikkan hati dan logika mereka. Seperti halnya Sasha yang merasa lebih cocok dengan Doni.

Sasha menemani Santo di apartemennya. Satu minggu pertama keduanya menjalani tanpa ada kejadian apa-apa. Pulang-pergi ke kampus bersama-sama, belanja bersama, makan bersama, hanya tidur yang belum bersama. Kamar mereka terpisah di antara ruang keluarga.

"To, lagi ngapain lu?" Sasha menyambangi Santo yang sedang rebahan di kamarnya.
"Browsing Sha, kenapa? Makanan habis? Yuk beli stock ke minimarket."
"Nggak, bukan itu. Makanan masih ada. Elu laper ya?" Sasha tidak jadi mengutarakan niatnya.
"Iya"
"Ya udah gue bikinin spagetti ya. Sekalian buat gue."
"Asyik. Nggak percuma ngajak lu ke sini. Ada yang masakin gue," balas Santo.

Sasha, meskipun dulunya tidak pernah bersentuhan dengan benda-benda di dapur, namun saat dia di perantauan mau tidak mau melakukan banyak hal. Apalagi kini dia menumpang hidup dengan Santo. Maka Sasha mencoba menjadikan dirinya berguna.

Sambil makan mereka ngobrol membicarakan tiga sahabat mereka. "Eh tadi elo mau ngapain nyamperin gue ke kamar?"
"Ha? Oooohh tadi? Nggak, bosan aja gue," ujar Sasha.
"Oooo...kirain..."
"Kirain apa?"
"Kirain mau 'minta' sama gue...he he he...," pancing Santo.
"Iya sih, abis garing mau ngapain. Ngewe kayaknya enak. Abis di luar juga dingin banget," Sasha berterus terang.
"Ha ha ha, tuh kan sangenya kumat," Santo merasa menang.
"Iya To, dah dua bulan nih. Gak ada Doni. Elu emang kaga sange? Dingin pula di sini."
"Iya gue juga. Ya udah abisin makanannya Sha."

Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan makan malam mereka, dan ingin menuntaskan kebutuhan biologis mereka.
"Belakangan kita kok kaya canggung ya Sha?"
"Iya, padahal dulu kita santai-santai aja. Gue dah sering telanjang di depan lu. Tapi selama gue di sini, kita kayaknya coba jaga privasi."
"Iya Sha. Kalo gue sih sebenernya biasa aja. Gue aslinya memang begitu, suka di dalem kamar aja. Ngobrol seperlunya. Mungkin karena di rumah dulu, gue kaya gitu. Nah elu kenapa? Apa elu ngerasa sungkan sama gue?"
"Bisa jadi To. Gue kadang nggak enak sama elo. Semua gratis di sini," balas Sasha.
"Tuh kan, elu masih kayak gitu. Jangan dipikirin Sha. Kita dah kenal lama. Elu sama gue gak jauh beda nasibnya. Elu gak usah sungkan-sungkan lagi ya. Elu mau ngapain aja di sini bebas," ujar Santo.

"Iya, gue mulai ngerti. Ya udah, gue dah sange nih," ujar Sasha yang mulai melucuti kaos dan celana pendeknya.
"Ya udah, elu duluan gue bikin puas. Abis itu gantian," balas Santo yang juga butuh pelampiasan.

Udara dingin di luar tidak terasa bagi Santo dan Sasha yang saling memacu birahi di sofa ruang tengah apartemen itu. Kedua sahabat itu sudah sering memacu birahi bersama, sehingga Santo tahu betul bagaimana memuaskan Sasha. Lidahnya menjelajah seluruh tubuh Sasha.

Sasha pun tahu kehebatan sahabatnya itu. Meski penisnya paling kecil dibanding tiga temannya, tapi Santo sangat mahir mengoral klitorisnya. Bahkan jilatan Santo tidak ada yang menandingi.

"Oooooooohhhhhh......yes...enak banget To. Itilnya jilatin...." Sasha merintih.
"Gue sodok pake jari apa dildo? Biasanya elu bawa dildo?" Santo memberikan pilihan pada Sasha.
"Ada dildo di meja kamar gue To," ujar Sasha sambil terengah-engah. Santo pun bergegas ke kamar Sasha dan mengambil dildo yang masih terbungkus.
"Belum lo pake Sha dildonya?"
"Belom, tadi gue mau pake. Tapi gue inget ada elo, kenapa nggak minta sama elo aja," balas Sasha.

Santo memasukkan dildo itu ke vagina Sasha sambil lidahnya menjilat klitoris. Sasha pun tak tahan menahan gelombang birahinya. "OoooOoohhhhh.....yessssss..... Enak To. Gue udah keluar."

Santo tersenyum melihat Sasha yang ngos-ngosan terbaring di sofa. Dia kemudian duduk memandangi vagina Sasha yang merekah. Nafsunya bangkit dan dia melucuti pakaiannya sendiri. "Sini gantian To. Kontol lu gue emut," ujar Sasha.

Sasha langsung menghisap penis Santo. Dan tak berapa lama, penis santo mulai ereksi meskipun kecil. "Sha gue masukin ke memek ya?"
"Masukin aja To."

"Shit. Enak Sha. Anget memek lu," ujar Santo saat penisnya dilumat vagina Sasha.
"Goyang yang keras To. Biar gue terasa," pinta Sasha.
Santo pun memompa penisnya dengan keras agar lebih terasa. Santo dan Sasha sudah tahu, jika mereka harus melakukan trik-trik khusus saat ML. Penis Santo yang kecil dan pendek tidak bisa masuk lebih dalam ke vagina Sasha. Namun dengan begitu saja, Santo merasa puas. Tak lama menggenjot tubuh Sasha, dia ejakulasi.

"Ooooohhhhh....nikmat Sha...." Tubuh Santo ambruk di atas tubuh Sasha. Mereka berdua tersenyum puas. Santo lalu berbaring di sisi Sasha. Sofa itu pun terasa sempit.

"To, lu tidur di kamar gue aja ya. Gue pengen ditemenin," ujar Sasha setelah mereka benar-benar reda dari birahinya. Santo pun menyanggupi permintaan Sasha.

Sejak itulah, Santo dan Sasha kembali pada gaya persahabatan mereka seperti dulu. Hanya saja kali ini mereka tidak ditemani Doni, Iwan, atau Reza. Mereka bersahabat, tinggal bersama, namun tetap menghormati privasi masing-masing. Satu sama lain tidak memaksakan keinginannya.

Sasha cukup beruntung memiliki sahabat seperti Santo yang bisa menerima dirinya apa adanya. Begitupula Santo. Tapi bukan berarti kedua orang itu dengan mudah membuka hatinya. Mereka sama-sama pernah merasakan trauma sakit hati yang dalam.

"Elo nggak pernah coba cari pacar Sha?" Suatu kali Santo bertanya setelah mereka saling memuaskan nafsu di awal musim panas. "Banyak bule ganteng-ganteng di sini, kok gak ada yang elu pastiin yang mana?" Lanjut Santo.
"Elo nanya kaya elo bener aja To," balas Sasha.

"He he he... Iya sih kita memang nggak bener. Tapi maksud gue apa elu nggak kepikiran buat jadi bener?"
"Oooo, berarti sekarang elo lagi kepikiran buat jadi bener To?" Balas Sasha.
"Iya kepikiran aja. Gue lagi inget-inget hidup gue. Kok gue ada di sini sekarang. Di Melbourne, kuliah gak jelas, tinggal bareng elo, sahabat yang gue ML-in terus."
"Ha ha ha... Kenapa? nyesel ML ama gue?"
"Bukan nyesel, cuma lama-lama gue gak tega," ujar Santo polos.
"Ha? Sejak kapan lu punya perasaan gak tega? Lagian kalo kita ML kan kadang gue yang minta. Atau kalo elo yang minta, gue juga oke-oke aja. Gak ada masalah. Kenapa sekarang elo kepikiran?"

"Coba Sha elu inget-inget jalan hidup lo. Gue, ke Melbourne sebenernya bukan buat kuliah. Gue sengaja lari dari orangtua gue. Gue kesel sama mereka. Gue masih inget waktu nyokap ninggalin gue malem-malem abis dia berantem sama bokap. Gue nangis sejadi-jadinya. Tapi gue tetep kehilangan."
"Terus dateng Tante Dona. Awalnya gue marah sama dia, karena gue anggap dia yang bikin nyokap dan bokap pisah. Tapi lama-kelamaan gue gak bisa marah sama Tante Dona. Gue bahkan malah merasa beruntung ketemu Tante Dona. Gue tahu seks, dan dia bisa nerima gue apa adanya."
"Terus gue kenal Doni, elu, Iwan, Reza. Gue ngerasa gak sendirian. Gue punya kawan, gue punya orang yang peduli sama gue. Itu kenapa gue maksa elu tinggal bareng gue di sini Sha."
"Terus sampe kapan gue akan begini. Tapi kalo balik ke Jakarta, gue juga gak tahu gimana gue menghadapi hidup gue. Gue masih trauma dengan nyokap bokap. Gue sendiri nggak tahu gue mau ngapain ke depan. Kadang gue mikir, kalo emang udah gak jelas, buat apa lagi hidup?" Santo bercerita panjang lebar.

Sasha yang terlentang tanpa busana di samping Santo menarik selimut dan memiringkan tubuhnya, matanya menatap Santo. Dia menduga Santo sedang dalam titik rendah semangat hidupnya. Sasha memaklumi hal itu karena dia juga pernah merasakannya.

"Gak tahu To. Pertanyaan lu, gak jauh beda sama gue. Dan gue juga gak punya jawabannya. Dari kecil gue udah sering lihat nyokap gue pulang mabok. Gue udah biasa liat nyokap selalu diantar cowok yang berbeda setiap malam. Waktu kelas 5 SD gue penasaran, ngapain laki-laki yang nganterin nyokap ngak keluar kamar sampe pagi. Sampe gue liat nyokap ML sama laki-laki itu."

"Itu pertama kali gue tahu yang namanya ML. Tapi beberapa bulan kemudian, nyokap gak lagi bawa laki-laki pulang ke rumah. Yang ada nyokap malah jarang pulang. Kadang dia bilang mau pergi ke Bali, Singapura, atau lainnya. Gue tinggal sama bibi, pembokat gue."

"Gue seneng aja, karena kalo pulang nyokap beliin oleh-oleh yang banyak. Semua boneka ada di rumah gue. Tapi pas SMP gue mulai protes, gue gak mau ditinggal pergi sama nyokap lagi. Dia marah, karena katanya nyokap pergi untuk nyari duit. Tapi gue maksa. Bahkan gue sempet gak mau makan."

"Abis itu, nyokap selalu ngajak gue untuk pergi ke mana aja, selama tidak ganggu jadwal sekolah. Jadi kalo Sabtu-Minggu, gue ikut nyokap jalan-jalan, ke Bali, Singapura, Hong Kong, sampe ke New York."

"Lama-lama gue penasaran juga. Katanya nyokap pergi buat nyari duit. Tapi kapan kerjanya? Kalo siang dia nemenin gue sama pembokat gue jalan-jalan keliling kota. Cuma kalo malem aja dia gak ada di kamar hotel. Setelah itu gue sering tanya ke nyokap. Gue baru dijelasin kalau malam dia menemani tidur orang lain. Akhirnya lama-lama gue paham maksudnya nyokap."

"Dalam hati gue marah. Ngapain nyokap ngelakuin itu. Gue nggak segitunya pengen jalan-jalan atau lainnya, sampe nyokap harus begitu. Gue pernah bilang sama nyokap, bahkan gue sempet kabur dari rumah. Tapi akhirnya gue gak bisa menang. Kelas 3 SMP gue dah putus asa dengan nyokap, tapi dia malah nggak terlalu sering ninggalin gue di rumah. Abis itu ada laki-laki yang sering datang. Orangnya simpatik. Awalnya gue panggil dia om, tapi lama-kelamaan nyokap nyaranin gue panggil Papa."

"Suatu kali dateng Pak Ustad ke rumah gue. Nah saat itu mereka akad nikah. Gue baru tahu kalo mereka nikah siri. Gue seneng banget. Gue bisa manggil seseorang dengan sebutan Papa, meski dia bukan bokap kandung gue. Nyokap juga dah gak kaya dulu lagi. Dia di rumah aja, nunggu Papa kalo dateng. Kadang kala gue jalan-jalan keluar negeri bertiga."

"Gue maklum dengan nyokap gue waktu dia dilabrak sama isteri pertama Papa. Nyokap dikatain pelacur. Tapi nyokap cuma tersenyum aja, sambil jawab. 'Gue emang pelacur. Suami lo juga tahu kalo gue pelacur, tapi dia yang mau jadi suami gue. Yang salah siapa? Gue gak minta dia nikahin gue kok. Gue selalu bilang ke suami lo. Pake gue aja, ML, bayar, selesai. Gak usah nikah siri segala, tapi laki lu pengennya nikah. Dan asal lu tahu, gue nggak ngarepin dapet warisan dari laki lu. Tabungan gue cukup buat pensiun gue. Dan masih banyak laki-laki lain yang mau ngasih gue duit.' Nyokap gue ngomong kayak gitu. Gue tersentak, nyokap gue ternyata begitu kuat."

"Sejak itu gue paham, bahwa laki-laki sebenernya emang gak jauh-jauh dari urusan selangkangan doang. Apalagi pas ketemu Doni, sama elo dan lainnya. Klop dah. Tapi yang gue belajar dari nyokap, gue harus mandiri. Gue gak boleh tergantung sama orang lain. Termasuk sama elo saat ini. Makanya gue ngerasa nggak enak. Di sini gue nggak nyumbang apa-apa. Dari tempat tinggal, makan, sampe berangkat ke kampus, elo bantu gue."

"Ada yang enggak gue bantu Sha," Santo memotong.
"Apa?"
"Beliin pembalut sama pasang IUD, ha ha ha...." Ujar Santo.
"He he he, kalo pembalut, make up, mah emang tanggung jawab gue. Kalo spiral, gue ditemein nyokap gue dulu, ha ha ha ha...," ujar Sasha.

"Tapi To, gue belajar banyak dari nyokap gue. Dia memang pelacur, makhluk yang hina. Tapi dia nyokap gue. Dia nggak ninggalin gue, dia nggak nelantarin gue. Coba lu liat, masih ada perempuan yang bunuh bayinya waktu ditinggal laki-laki yang ngehamilinnya. Atau masih ada orangtua yang ngejual anaknya. Nyokap gue nggak pernah begitu. Dia selalu melindungi gue dari laki-laki yang mau jahat sama gue. Dia selalu bilang bahwa laki-laki hanya terkesan kuat dari luar, di dalamnya mereka gak pernah bisa sekuat perempuan. Laki-laki bisa nikmatin tubuh perempuan, tapi laki-laki nggak pernah bisa memiliki hati perempuan. Laki-laki itu mahkluk yang paling sederhana, kepentingannya gak jauh-jauh dari ego kejantannya, urusan perut, dan urusan di bawah perut. Laki-laki sudah puas kalo dianggap hebat, sudah puas kalo perutnya kenyang, sudah puas kalo spermanya keluar. Simple kan?"

"Itu mungkin bener Sha," ujar Santo yang merasa tidak setuju tapi tidak punya alasan yang kuat untuk mematahkan argumen Sasha.
"Tapi Sha, yang gue persoalin bukan itu. Pertanyaan gue kenapa dosa yang dilakukan orangtua tapi malah anaknya yang kena batunya. Kenapa nggak mereka yang kena batunya. Mereka yang seharusnya menangung perbuatannya?" Tanya Santo.
"Gue jadi berpikir, Tuhan kok gak adil sama gue? Bahkan gue berpikir, jangan-jangan Tuhan lepas tanggung jawabnya buat mengasihi semua makhluk. Atau jangan-jangan Tuhan gak ada?" Tambah Santo.

"Ha ha ha ha ha...bisa jadi To," Sasha terbahak-bahak sampai dia harus bangkit dari kasur, duduk di atas tempat tidur. Payudaranya pun berguncang-guncang. "Udah-udah, kejauhan pikiran lu. Stop sampe di situ aja. Gue juga gak tahu jawabannya," ujar Sasha masih dengan tawanya.
"Gue mau mandi, terus makan. Elu masih mau ML gak? Kalo gak gue mandi dulu," ujar Sasha yang melihat Santo hanya diam saja.
 
Perjalanan hidup memang membawa setiap orang pada titik-titik yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Santo dan Sasha terdampar di negeri orang, meski sebenarnya hal itu tak bisa dilepaskan dari sebab yang mereka pilih atau mereka tentukan.

Pada saat senggang, atau pada saat istirahat, dalam perjalanan itu, maka seseorang biasanya merenung kembali, melihat lagi, apa yang sudah dilaluinya. Mencoba memahami perjalanannya, atau memahami sudah sampai di mana. Karena kadang kala kita hanya fokus berjalan, melangkah, tidak paham dengan sekeliling. Seakan-akan kita sampai di suatu tempat dengan tiba-tiba.

Santo dan Sasha sampai di Melbourne dengan pilihan atau keputusan atau tindakan yang sudah terjadi sebelumnya. Iwan, Reza, dan Doni memiliki hal yang sama, dan mereka menjalani pejalanannya masing-masing. Sampai nantinya apakah perjalanan meraka akan bersinggungan lagi atau tidak, tidak ada yang bisa mengetahuinya. Selalu menjadi misteri kehidupan.

Seperti halnya ketika Shinta dikejutkan suara halus di depan gerbang gedung apartemen seusai olahraga pagi. "Are you Indonesian?" Seorang perempuan seumurannya tiba-tiba menghentikan langkah Sasha melintas di gedung apartemen.

Sambil menyeka peluh di jidatnya Sasha menjawabnya. "Iya, kenapa Mbak?" Sasha langsung menebak bahwa perempuan itu pastinya juga berasal dari Indonesia. Selain raut wajah Asia, logat bahasa Inggrisnya pun standar dari Jakarta.

"Oooh syukurnya. Maaf ya mbak, saya mencari teman, katanya tinggal di apartemen ini. Dia kuliah di University of Melbourne, namanya Santo. Mungkin kenal atau pernah dengar?" Ujar perempuan itu berharap-harap cemas.

"Santo? Yang ambil kuliah ekonomi?" Sasha ingin memastikan.
"Kalo ambil kuliahnya apa, saya kurang tahu mbak. Tapi dulu di Jakarta dia sekolah di SMA Tunas Bangsa. Saya juga sudah lama tidak ketemu sejak SMP dulu. Kita pernah satu SMP dulu," ujar perempuan yang terlihat sopan.

Sasha terkejut, tentu saja dia tahu Santo yang dimaksud. Tapi Sasha cepat menguasai diri dan mencari tahu siapa perempuan yang mencari Santo itu. "Oooo, tapi ngomong-ngomoing mbak siapa? Saya Sasha," ujarnya sambil mengulurkan tangan.

"Shinta," balas perempuan yang tidak kalah cantik dari Sasha itu.
"O namanya Shinta. Saya tahu Santo Mbak, tapi kita ngobrol di atas saja. Saya sudah kehausan nih," ajak Sasha ke apartemennya.

Dalam hati Sasha ada banyak pertanyaan tentang siapa sosok Shinta yang mencari Santo ini. Sepengetahuan dia, Santo tidak pernah bercerita tentang perempuan-perempuan yang pernah dekat dengannya. Hanya dua orang perempuan yang dia ketahui berhubungan dengan Santo, yang pertama Tante Dona dan yang kedua Vina. Jangan-jangan perempuan ini korbannya Santo juga, gumam Sasha.

"Mbak tinggal di Melbourne juga?," tanya Sasha sambil menunggu lift.
"Ooo, nggak. Saya di Jakarta, saya lagi liburan di sini. Sekalian aja cari tahu soal teman saya. Saya dapat kabar dia di sini," ujar Shinta. "Tapi ngomong-ngomong panggil Shinta aja nggak usah pake mbak, kayanya kita seumuran deh," tambah Shinta.

"He he he, iya kita gak jauh beda kok Shin," Sasha coba berakrab dengan teman barunya. "Kamu berapa lama liburan di sini? Tinggal di mana?"
"Oo, sebulan. Aku ada sodara jauh di sini," balas Shinta.

Mereka pun naik lift dan menuju ruang apartemen Santo. Selama mengobrol dengan teman barunya, Sasha belum menceritakan apa-apa tentang Santo, termasuk tempat yang didatengi ini adalah apartemennya.

"Masuk Shin, tunggu ya. Gue ganti baju dulu ya. Eh kalo mau minum ambil sendiri ya," ujar Sasha sambil berlalu ke kamarnya. Shinta duduk di ruang tengah. Sejenak dia memperhatikan tempat tinggal Sasha. Ruang apartemen itu cukup bagus, dua kamar ridur, ruang tengah, dan dapur. Shinta menduga, Sasha adalah anak orang kaya atau dia tinggal bersama saudaranya yang memiliki pekerjaan bagus di sini. Interior ruangan itu minimalis tapi terkesan modern.

"Loh belum minum? Mau minum apa? Coklat panas aja ya, yang gampang," ujar Sasha setelah berganti baju dengan pakaian rumah.
"Eh gak usah repot-repot, gue cuma mau tanya soal temen gue aja kok. Malah jadi ikut masuk ke sini," Shinta coba bersikap sopan.

"Dah santai aja. Gue juga jarang kok ketemu orang Indonesia di sini. Sekalian ngobrol-ngobrol dulu. Elo dah kemana aja di sini?" Sasha memulai obrolannya.
"Belum, belum kemana-mana," ujar Shinta ringan.
"Oooo, belum kemana-mana. Terus elo malah nyari Santo dulu. Kayaknya Santo orang penting nih buat lo? Ha ha ha," pancing Sasha.

"Ha ha ha, gak juga sih," ujar Shinta yang sadar kalau teman barunya mulai menyelidikinya. Tapi Shinta juga ingin tahu, siapa Sasha yang mengaku kenal dengan Santo ini. "Gue kenal dia waktu SMP. Ya gitu deh, pernah deket. Tapi kan dulu masih kecil gitu," Shinta membuka sedikit tentang dirinya.

"Ooooo, 'pernah deket'," canda Sasha. "Gak bukannya gue mau tahu urusan orang, cuma buat ngobrol aja ya. Gue sebenernya satu SMA sama Santo. Dia anaknya baik, tajir lagi. Dulu banyak yang ngejar dia," ujar Sasha.

"Elo juga ngejar dia Sha?" Gantian Shinta memancing.
"Ha ha ha, kalo gue mah gak ngejar dia Shin, dia yang ngejar gue. He he he becanda. Gak begitu kok," Sasha coba membuka pembicaraan lebih akrab sambil mencari tahu siapa sebenarnya Shinta.

Shinta sebenarnya mulai curiga dengan Sasha. Tapi dia juga tidak punya cara untuk membuka kecurigaannya. Perjalanannya dalam lima tahun terakhir terasa sangat berat. Saat kelas satu SMA, Shinta ikut orangtuanya ke Singapura. Papanya ditugaskan menangani anak perusahaan di sana. Shinta melanjutkan SMA di sana.

Jarak yang jauh dari Jakarta membuat dia harus menahan semua rindunya. Dulu, ketika pacaran dengan Santo, mungkin hanya sebatas cinta monyet belaka. Tapi ketika dia sadar dengan apa yang telah terjadi, dia merasa itu bukan sesuatu yang biasa.

Setiap malamnya dia selalu teringat tentang Santo. Kadang dia marah, kadang dia rindu, tapi pastinya bayangan tentang Santo selalu hadir dalam pikirannya. Bahkan ketika dia sudah merasa tersiksa dengan hal itu, dan berusaha untuk melupakannya, dia malah merasa kehilangan sesuatu.

Sosok Santo yang imajiner di khayalannya memiliki pengaruh yang nyata dalam kehidupannya. Dia putus asa dengan apa yang dihadapinya. Maka kepergiannya ke Australia sebenarnya adalah untuk menjalankan misi utamanya, mendapatkan jawaban atas realita perasaannya. Lalu menentukan langkah apa yang akan diambil.

Kini, dia berhadapan dengan Sasha, perempuan sebayanya yang sepertinya mengetahui banyak tentang Santo. Bahkan, bisa jadi Sasha adalah pacar Santo saat ini. Jika itu benar adanya, Shinta akan lebih mudah untuk mengambil sikap. Tapi untuk mendapat jawaban itu, dia tidak bisa langsung melontarkan pertanyaannya.

Shinta sedang mengukur Sasha, dan sepertinya Sasha melakukan hal yang sama. Kedua perempuan yang baru kenal itu tidak mau nantinya akan terjadi salah paham yang tidak perlu. Mereka ingin mendapatkan pertimbangan untuk menentukan di mana posisi mereka sebenarnya.

Namun kemudian Shinta memutuskan dia yang akan membuka lebih dulu. Karena dia sadar, dia lebih membutuhkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya sendiri. Dia sudah datang jauh-jauh untuk mendapat jawabannya. Apapun jawaban itu, dia harus dapatkan dulu. Setelah itu dia baru akan tahu melakukan apa.

"Sebenernya dulu gue pernah pacaran sama Santo. Gue cuma penasaran saja sekarang dia gimana? Gue denger dia ada di sini, makanya sekalian aja gue mau ketemu dia. Habisnya gue gak punya kontak dia," Shinta mulai membuka satu petunjuk untuk Sasha.

"Ha ha ha...bener tebakan gue. Pasti Santo orang spesial buat elo. Jangan-jangan elo sengaja dateng ke Australia cuma buat nyari dia, bukan sekadar liburan ya..?" Pancing Sasha lagi.

"Ha ha ha....," Shinta hanya bisa tertawa tak mau membuka lebih lanjut. "Btw elo kayaknya deket juga sama Santo ya, atau jangan-jangan elo malah pacarnya dia sekarang ya?" Giliran Shinta yang ingin mengetahui Sasha.

"He he he he.... Gimana ya ngomongnya. Gue bukan pacarnya dia. Tapi gue deket sama dia. Mungkin sahabat-lah. Cuma gue takutnya orang lain salah ngerti persahabatan gue sama Santo yang nganggap kita pacaran. Gue tahu siapa Santo, tapi kita nggak kepikiran untuk pacaran meski gue tahu dia luar dalem. Makanya gue nggak mau elo nanti jadi salah paham sama gue. Kita baru kenal, kalo tiba-tiba berantem gak jelas kan lucu aja," jelas Sasha.

"Oooo jadi elo sahabatan sama dia. Jadi gue bener-bener tepat dong ketemu elo ya. Boleh gak elo ceritain tentang dia sama gue. Gue gak ada maksud apa-apa kok. Maksudnya, gue nggak ada niat jahat, gue cuma mau tahu kabarnya dia, dah lama nggak ketemu," balas Shinta.

"Gimana ya... Gue takutnya elo salah paham. Gini aja deh, elu tanya aja yang mau elo tahu. Kalo gue bisa jawab gue akan jawab," Sasha juga membatasi dirinya.

"Ooo gitu, ya udah. Sekarang Santo tinggal di mana?" Tanya Shinta.
"Kalo itu nanti pasti gue jawab. Ganti pertanyaan yang lain dulu," ujar Sasha.
"Apa ya....?" Shinta bingung memulai pertanyaannya darimana. Tapi dia kemudian mengeluarkan pertanyaannya. "Eeee Santo punya pacar gak sekarang?" Ujar Shinta malu-malu.

"Oo kalo itu jawabannya jelas dan pasti. Gak punya!" ujar Sasha mantap. Muka Shinta pun cerah mendengarnya. Jika dia sempat ragu-ragu, kali ini dia menatap Sasha dengan wajah berbinar. Dia senang sekali mendapat jawaban itu.

"Elo kuliah juga, atau jangan-jangan satu kampus sama Santo?" Tanya Shinta lagi.
"Iya gue satu kampus, beda study aja. Setiap hari gue ketemu dia," balas Sasha.

"Cerita dong persahabatan elo sama Santo. Katanya kenal dari SMA. Apa dulu dia punya pacar di SMA," Shinta meminta seperti anak kecil kepada temen barunya.
Sasha sudah bisa menebak jika teman barunya ini ternyata punya perasaan terhadap Santo. Dia sebenarnya ingin membuka diri, tapi dia juga tidak bisa serta-merta menceritakan semua tentang Santo. Apalagi jika dia langsung berkata dia tinggal bersama dengan Santo di tempat itu.

Sasha pun menceritakan Santo saat SMA dulu. Dia memilah mana yang perlu dikatakan dan mana yang tidak. Dia hanya bisa mengatakan bahwa Santo memang didekati beberapa siswi saat sekolah dulu, tapi ada satu orang yang sempat jadi pacarnya, namanya Vina. Tapi mereka pacaran hanya beberapa bulan saja, dan Vina langsung tidak ada kabarnya.

Sasha juga bercerita kalau Santo memiliki empat sahabat, termasuk dirinya. Sayangnya hanya dia dan Santo yang melanjutkan kuliah di Australia, tiga sahabatnya yang lain ada yang kuliah di Jakarta dan Singapura. Selama di Australia, Santo tidak memiliki pacar.

"Sorry ya Shin, gue memang orang baru buat elo, tapi gue sahabatnya Santo. Elu boleh percaya atau nggak sama gue. Tapi gue ada pertanyaan buat lo. Agak privasi mungkin, karena gue menduga elo bener-bener jatuh hati sama dia. Sekali lagi sori ya dengan pertanyaan gue ini. Eeee....waktu pacaran dulu elo dah pernah ML sama dia, atau mungkin elo diperawanin dia ya?" Tanya Sasha.

"Sorry ya Shin kalo pertanyaan gue terlalu jauh, sementara kita baru aja kenal. Tapi gue sama-sama perempuan, gue bisa ngerasain kok," jelas Sasha coba mengajak berdiskusi sebagai sesama perempuan.

"Eeeee....," Shinta hanya bisa terbata-bata. "Tapi elo bukan pacarnya kan, atau elo gak pernah pacaran sama dia, atau elo nggak punya perasaan apa-apa sama dia kan?" Shinta bertanya balik.

"Tenang aja Shin. Elo bisa dapet jaminan dari gue soal itu. Gue tidak ada apa-apa, tidak pernah ada, dan tidak akan ada apa-apa sama Santo. Dia murni sahabat gue," jelas Sasha. "Dan apa yang elo mau ceritain ke gue, kalo elo minta supaya gue tutup mulut, gue akan tutup mulut," tambah Sasha.

Seketika Shinta menitikkan air matanya. Akhirnya bendungannya jebol, seluruh perasaan yang dulu ditahan selama lima tahun sepertinya akan ditumpahkan saat bertemu dengan Sasha yang baru dikenalnya belum satu jam saja. Shinta merasa bisa mempercayai Sasha. Ia akan menceritakan semuanya, tapi yang pertama-tama dia akan menjawab pertanyaan Sasha dulu.

"Iya Sha......," Shinta tak bisa menahan tangisnya. Sasha refleks memeluk Shinta yang menangis. Dia tahu artinya tangisan perempuan seperti itu. Sasha membelai rambut Shinta dan berusaha meredakan emosi perasaannya. Sasha bisa merasakan kesedihan itu, meski dia punya prinsip yang berbeda dengan Shinta. Kesedihan itu adalah yang terdalam dari seorang perempuan.

Sasha tahu kesedihan Shinta bukan karena soal seks atau keperawanan belaka, tapi karena ada hati yang disia-siakan. Ada mimpi yang dihancurkan. Sepanjang hidupnya, Sasha sangat tahu dengan hal itu. Bagaimana dia disia-siakan oleh ayah kandungnya yang sampai sekarang tidak dia ketahui. Apa salah dia hingga ayahnya tidak mau mengakui dirinya. Tubuh, seks, selaput dara, uang, kekuasaan hanyalah bentuk material, fisik, ilusi dunia belaka. Tapi sebagian besar laki-laki menganggap itu segalanya. Mereka tidak pernah bisa memahami apa yang ada dalam hati perempuan. Seorang laki-laki seakan-akan hebat jika bisa meniduri perempuan, mengambil perawan perempuan, memiliki harta berlimpah, atau memiliki kekuasaan atas orang lain.

Dengan hal itu, laki-laki merasa hebat. Lalu setelah mendapatkan predikat hebat, mereka tidak tahu makna kehebatan itu. Tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan kehebatannya. Sampai akhirnya mereka hanya memupuk kehebatannya saja. Terus mencari perempuan untuk ditiduri, menumpuk harta tanpa tahu akan dipakai untuk apa, atau sibuk mempertahankan kekuasaannya, hingga siap bertaruh nyawa untuk menjaga kekuasannya.

Sedangkan perempuan, memiliki persepsi yang berbeda. Dengan nalurinya sebagai makhluk yang butuh perlindungan akan memberikan segala hal untuk mendapatkan perlindungan. Maka ketika semuanya sudah diberikan sedangkan dia tidak dapat perlindungan, maka perempuan itu merasa sudah kehilangan semuanya.

Sasha bisa memahami hal itu melalui kegetiran yang dialami Mamanya. Sepanjang hidupnya, dia tidak menemukan laki-laki yang tidak hanya bicara soal kehebatan saja. Mungkin hanya sedikit laki-laki seperti itu, atau mungkin tidak ada sama sekali. Sasha belum bertemu dengan laki-laki yang benar-benar membutuhkan dirinya untuk melengkapi hidupnya. Laki-laki yang menjadikan dirinya seperti tulang rusuknya yang hilang, dan tidak mau kehilangan lagi.

Kini dipelukannya ada Shinta, perempuan yang baru ditemuinya, dan sepertinya menjadi korban Santo, sahabatnya. Santo memang sahabatnya yang sudah dikenal sejak SMA, tapi Shinta, meskipun baru dikenal satu jam saja adalah manusia yang pantas mendapatkan pembelaannya. Shinta sama seperti dia, seorang perempuan, sama seperti Hawa atau Eva, yang disalahkan karena membuat Adam tertarik hingga dihukum turun ke bumi.

"Sudah Shin...," ujar Sasha coba meredakan Shinta.
"Maaf ya Sha, gue jadi nangis. Soalnya udah lama banget gue gak bisa cerita ke siapa-siapa," ujar Shinta sambil terisak.
"Iya gue ngerti Shin. Udah elo cerita aja kalo elo mau cerita. Gue gak akan bilang ke siapa-siapa. Itu kenapa gue tanya elo soal ML, jawabannya pasti menjelaskan semua hal kenapa elo nyari Santo," ujar Sasha.

Shinta pun bercerita semuanya. Terutama saat mereka berpacaran cinta monyet di SMP. Juga ketika Santo mengajak Shinta ke rumahnya dan kemudian coba-coba melakukan ML. Shinta awalnya tidak mau, tapi kemudian Shinta luluh dengan rayuan Santo.

Sebagai perempuan Sasha bisa memahami apa yang terjadi pada saat itu. Apalagi masa SMP adalah masa yang paling gamang. Pencarian identitas yang tak bermakna apa-apa. Sasha bisa merasakannya, karena pada saat itu dia mencari identitasnya yang tidak lengkap karena tidak ada yang bisa dipanggil ayah, bapak, atau papa.

"Gue takut banget Sha waktu itu. Selepas SMP, Santo minta putus. Gue juga diajak orangtua gue ke Singapura. Gue ngerasa hidup gue hancur. Tapi gue gak bisa cerita ke siapa-siapa, gue pendem sendiri. Setiap malam gue nangis. Gue marah sama Santo, gue marah sama diri gue. Gue pengen ngelupain dia, tapi semakin keras gue berusaha, dia tetep ada di pikiran gue. Gue nyerah, terserah mau apa dengan jalan hidup gue. Bahkan sampai di sini pun gue gak tahu kalau nanti ketemu dia. Gue gak tahu mau bilang apa, apa gue akan marah, apa gue akan mengiba-iba agar dia mau sama gue lagi. Gue gak tahu Sha," Shinta terisak.

Sasha hanya bisa manggut-manggut saja mendengar cerita Shinta. Dia menangguhkan rencana mengatakan bahwa Shinta sudah ada di apartemen Santo. "Iya, gue ngerti. Elu juga bingung kalo ketemu Santo nanti ya. Elo mau apa? Mau minta balik? Mau marah? Sepertinya kita gak punya hak apa-apa sama laki-laki yang sudah nyakitin kita ya?" Sasha coba memahaminya.

"Gue ngerti apa yang elo alami Shin. Gue juga nggak jauh beda kok. Tapi gue bukan disakitin sama pacar, gue disakitin sama bokap gue. Sampe sekarang gue gak tahu siapa bokap gue," ujar Sasha dingin.
"Ha?" Shinta yang tadinya terisak malah tersentak. Diam mendengar pengakuan Sasha.
"He he he. Iya, gue gak punya bokap. Nyokap gue pernah jadi pelacur dulu," tambah Sasha. Shinta semakin terkejut.

"Dah ceritanya nanti aja. Sekarang elo dulu. Elo belom tahu mau apa kalo ketemu Santo? Kalo sekarang gue bilang elo ada di apartemennya Santo pasti elo semakin bingung ya?" Sasha akirnya membuka satu pintu misteri di antara mereka.

"Maksudnya?" Shinta semakin kaget. Kalau tadi dia kaget dengan secuil kisah Sasha, sekarang dia kaget dengan ucapan Sasha.
"He he he. Iya. Elu dah di apartemennya. Yang itu kamarnya Santo, yang ini kamar gue. Kita duduk di ruang tamu, nah kalo itu dapur," Sasha coba membuat ringan dengan menjelaskan denah apartemen itu.

"Ha? jadi elo tinggal berdua?" Shinta bingung dengan informasi baru itu. Kepalanya terasa pusing. Ia berusaha menangkap kenyataan yang datang bertubi-tubi tanpa bisa dipahami sepenuhnya. Pertama, dia seharusnya senang jika ternyata sudah sampai di tempat Santo meski Santo tidak ada. Tapi hal itu sekaligus menyatakan bahwa Santo tinggal bersama dengan seorang perempuan. Bukankah tidak mungkin jika mereka melakukan hal-hal yang jauh. Tapi dia ingat ucapan Sasha bahwa Sasha bisa menjamin tidak ada perasaan apa-apa dengan Santo. Mereka hanya sahabat. Tapi Sasha juga bilang kalau dia punya perjalanan yang pahit, bahkan ibunya adalah mantan pelacur, bisa jadi Sasha juga meniru ibunya. Shinta tambah pening. Dia mengambil coklat hangat yang belum disentuhnya sejak awal.

"Iya minum dulu Shin. Gue juga kayaknya perlu minum," ujar Sasha sambil bergegas ke kulkas mengambil sekaleng bir.
"Elo pasti kaget. Gue juga kaget. Tapi pastinya kita nggak bisa mengelak dari kondisi ini. Mau tidak mau harus kita hadapi. Ini yang mungkin namanya perjalanan hidup yang mempertemukan orang-orang," Shinta berujar sambil menenggak bir dan duduk di depan Shinta.

"Sejak tadi, waktu elo cegat gue di bawah, gue udah feeling kalau ada cerita yang panjang yang belum selesai, atau bahkan akan ada cerita baru yang akan ditulis. Makanya gue ajak elo untuk naik ke atas, masuk ke apartemen ini. Apartemen ini punya Santo, gue cuma numpang aja, diajak nemenin dia. Tapi gue mohon elo jangan salah persepsi dulu ya, nanti gue jelasin."
"Iya Sha..."

"Gue bisa maklum kalo elo posesif sama Santo, tapi kalo elo posesif sama Santo terus kita salah paham malah jadi gak bagus. Karena memang gue gak ada apa-apa. Gue sama kaya elo Shin, perempuan juga."
"Nyokap gue dulunya pelacur, sekarang dah berhenti. Mungkin elo gak pernah ngerasain jadi anak pelacur, tapi gue bangga sama nyokap gue. Nyokap gue nggak pernah ninggalin gue. Nggak se-pengecut bokap gue. Gue dah nggak kepengen ketemu bokap gue, kalau pun ketemu bokap gue sekarang, gue juga akan diem aja. Karena sepanjang hidup gue, gue emang gak punya bokap. Dia ada atau dia nggak ada, gak penting buat gue. Gue dan nyokap gue bisa hidup," tambah Sasha.

"Elo sama gue pasti beda melihat sesuatu Shin, karena memang gue gak dididik seperti keluarga normal. Kalo elo punya persepsi yang aneh-aneh sama gue, juga gue bisa maklum. Di otak lo pasti banyak pertanyaan, kok bisa sahabatan tapi tinggal bareng. Apa mungkin kita gak ngapa-ngapain, atau gak ada apa-apa. Tapi itu nanti pasti gue jawab."

"Sekarang elo mau nanya apa Shin, gue pasti jawab. Gue akan jawab sebener-benernya. Gue gak akan bohong. Elo dateng jauh-jauh dari Jakarta pasti punya banyak pertanyaan kan? Apalagi sekarang elo dah lihat kenyataannya, Santo tinggal bareng gue. Gue akan jujur, meski itu akan jadi terasa sakit buat lo. Tapi lebih baik sakit sekarang daripada nanti elo ngerasa sakit dua kali. Jadi elo mau tanya apa Shin?" Sasha akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan ke tahap yang lebih lanjut.

"Eee tanya apa ya? Elu cerita aja deh, ngomong aja," Shinta tiba-tiba tak punya pertanyaan ketika berhadapan dengan kenyataan itu. Dia bingung.
"Kok gak punya pertanyaan? Ha ha ha, nggak punya pertanyaan apa bingung mau nanya yang mana dulu, atau elo takut bertanya?," Sasha coba membawa obrolan yang dalam itu dengan ringan.

"Iya, bingung sama takut. Nyampur Sha."
"Ha ha ha, takut apa? Takut nyinggung gue apa takut elo sebenarnya gak siap dapat jawabannya," goda Sasha.
"Dua-duanya Shin."

"Kalo soal nyinggung gue, elo gak usah takut. Gue gak akan tersinggung, karena gue emang gak ada apa-apa sama Santo. Kalo soal gak siap, buat apa elo dateng ke sini? Elo dari Jakarta kan mau dapet jawaban. Kebenaran, bukan pembenaran."

"Itu dia mungkin gue gak siap dapet kebenaran yang bikin gue tambah ngilu," balas Shinta.
"He he he, Shinta-shinta, sama aja lo dengan gue. Perempuan kadangkala memang lebih suka dapet pembenaran dibanding kebenaran yang sesungguhnya. Apalagi kebenaran yang menyakitkan, lebih baik dibohongin tapi nggak sakit. Iya kan...?"
"Tapi itu kesalahan kita Shin. Kita lebih senang dibohongi, dan pada akhirnya kita hidup dengan kebohongan, sampe akhirnya kita tersesat di dalamnya."

"Tapi Sha...."
"Kenapa tapi? Gak kuat, butuh waktu? Ya terserah elo sih. Kalo gue sih siap bantu elo," ujar Sasha mantap. "Terus elo dah siap ketemu Santo?"

"Hmmmm.... Gue malah tambah bingung Sha. Satu sisi gue memang kangen sama dia, tapi di sisi lain gue takut. Gue nggak tahu mau ngapain. Sekarang aja, pas gue tahu ternyata gue udah ada di apartemennya, gue malah jadi dag dig dug. Mungkin sebenernya gue gak siap ketemu dia ya. Mungkin lebih baik gue pulang aja sekarang ya," ujar Shinta.

"Loh kok gitu? Emang elo nggak mau ketemu dulu. Elo kan mau ngobrol dulu sama dia. Dah nyantai dulu aja di sini. Atau elo boleh masuk ke kamarnya kok. Nah sana masuk aja, elo liat-liat. Dia pulang jam lima sore nanti kok," ujar Sasha.

"Boleh Sha?"
"Ya boleh lah, asal jangan elo berantakin aja. Kalo diberantakin, gue lagi yang harus beresin, he he he. Nggak kok becanda. Elo masuk aja," ujar Sasha.

Shinta melangkah dengan ragu-ragu ke kamar Santo, sedangkan Sasha masuk ke kamarnya, mengambil handuk untuk mandi. Di dalam kamar Santo, Shinta memperhatikan kamar itu. Tempat tidurnya besar dan rapi, lemari besar menempel di tembok. Sebuah meja di sudut menjadi tempat PC dan tumpukan buku. Beberapa pakaian Santo tergantung di tembok.

Shinta membayangkan Santo yang sedang berada di kamar itu. Santo tidur, mengerjakan tugas kuliah, hingga dia membayangkan Santo berganti pakaian. Namun ketika pikirannya melesat membayangkan Santo berduaan dengan Sasha, dia langsung menghentikan khayalannya. Dia kembali ke ruang tengah yang sudah kosong.

"Sha...," panggil Shinta.
"Gue mandi dulu Shin. Kalo elo mau makan atau apa, langsung aja. Ada makanan di kulkas, tinggal panasin di oven," teriak Sasha dari kamar mandi.
"Oooo, oke," balas Shinta.

Shinta sebenarnya memiliki banyak pertanyaan, tapi dia memendamnya dalam hati. Seperti apakah Santo saat ini? Apakah dia masih bajingan seperti dulu? Apakah Santo dan Sasha hidup bersama tanpa ikatan bahkan tanpa rasa cinta? Lalu, apakah dia akan mempertahankan perasaannya terhadap Santo meski akan ada lagi pengorbanan yang lebih besar? Bukankah semua pengorbanan itu sudah cukup?

Pikiran Shinta kembali melayang ke masa lalu. Saat dia harus memendam sendiri perasaannya. Saat dia hanya bisa menangis, membayangkan Santo lewat foto yang tersisa. Saat dia berharap bertemu Santo. Saat gairahnya memuncak, menginginkan kejadian itu lagi tanpa harus mengeluarkan air mata.

Kini setelah sampai pada perjalanan ini, sampai di apartemen Santo, Shinta gamang menentukan keputusannya. Apakah dia akan benar-benar menemui Santo, ataukah cukup dengan hanya mengetahui kabarnya saja. Shinta tak tahu jika ternyata perjalanan kehidupan memiliki cabang yang sangat banyak. Cabang yang akan berakhir dengan konsekuensi yang berbeda-beda. Lalu konsekuensi apa yang akan dipilihnya?

Sasha keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk. Imajinasi Shinta melenting jauh. Mungkin saja Sasha seperti itu sehari-harinya meski ada Santo. Padahal di tempat lain, dirinya harus menahan perasaannya ingin bertemu Santo. Shinta cemburu.

"Sorry ya Shin...," Sasha berlalu ke kamarnya untuk berpakaian. Shinta hanya bisa bilang tidak apa-apa.
Selesai berpakaian, Sasha keluar kamar hanya menggunakan celana pendek tipis yang celana dalamnya menerawang, bahkan kaos atasnya juga tidak kalah seksi. Shinta hanya berpikir, jika setiap harinya Sasha seperti ini apa mungkin antara Sasha dan Santo tidak ada apa-apa?

"He he he, sorry ya," ujar Sasha mengulang lagi.
"Iya gak apa, gue kalo di rumah juga suka begitu, gak ribet," balas Sinta mengomentari pakaian yang dipakai Sasha.
"Oooo, bukan ini. Gue tahu ini gak sopan pas ada tamu. Tapi gue minta maaf karena pasti elo menduga gue ada apa-apa sama Santo dan elo cemburu, ya kan?"

"Ah nggak, ngarang deh," Sinta coba membantah.
"Udah gak usah bohong, muka lo merah tuh, ha ha ha," Sasha menggodanya. "Kita ngobrol di kamar gue aja yuk," ajak Sasha.

Mereka berdua pindah ke kamar Sasha. Shinta memperhatikan kamar Sasha yang lebih kecil dari kamar Santo. Kamar itu sangat fenimin sekali, sentuhan wanita ada di setiap sudut. "Enak kamar lo Sha," ujar Shinta.
"Iya tapi bukan punya gue. Apartemen ini punya Santo, dan kayaknya gue harus relain kamar ini," balas Sasha sambil mengambil koper besar.
"Maksud lo Sha?" Shinta bingung dengan penjelasan Sasha.

"Tadi di kamar mandi gue sempet mikir. Mungkin ini sudah saatnya gue keluar dari sini. Nah sekarang gue mau ceritain semua ke elo. Mungkin gue akan terasa tega nyeritain semuanya, gak peduli itu bakal nyakitin lo. Karena gue pikir, elo butuh kebenaran. Terserah elo nantinya mau ambil keputusan apa. Gue akan ceritain persahabatan gue dan Santo, juga teman-teman gue yang lain," ujar Sasha.

Sambil duduk di kasur dan memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper Sasha mulai bercerita. Bercerita tentang kehidupan pribadinya, yang menjadi anak dari seorang pelacur. Ia juga berkenalan dengan Doni, yang ternyata bersahabat dengan Santo. Bahkan Sasha menceritakan bagaimana awalnya persahabatan mereka terjalin. Semua diikat dari urusan selangkangan.

Sasha juga menceritakan siapa Tante Dona, Iwan, dan Reza. Bahkan Sasha menceritakan bagaimana mereka pernah menggelar pesta seks semalaman di apartemen Dona. Shinta hanya bisa geleng-geleng kepala. Kadang ia merasa tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Sasha.

"Sampe begitu Sha?"
"He he iya, elo boleh bilang gue cewek murahan kok Shin. Tapi gue gak ada tujuan apa-apa kok, gue gak ngejual badan gue ke orang lain. Kadang gue cuma puas, kalau gue ngerasa bener sama pendapat gue. Laki-laki itu semuanya bajingan," ujar Sasha.

"Terus elo juga jangan salah paham, jangan berpikir kalo gue ngejual badan gue ke Santo. Dia kaya iya, diporotin gampang. Tapi gue gak pernah ngerayu dia supaya dia ngajak gue tinggal di sini, semua dia beliin, dan sebagainya. Mungkin nanti kalo elo ketemu Santo, bisa ngobrol dari hati ke hati, Santo itu sama juga kaya gue, korban kehidupan. Nanti elo bisa tanya keluarga dia kaya apa," tambah Sasha.

Shinta sebenarnya hanya bisa memahami setengah dari cerita Sasha. Dia tak pernah tahu jika masih banyak orang yang memendam kesakitannya dengan sangat dalam. Bahkan terendap di dasar hati yang paling dalam hingga menganggap kesakitan itu bagian hidup yang wajar. Dia mengira, dialah perempuan yang paling sakit hatinya setelah ditinggal Santo. Tapi mendengar Sasha, Shinta menganggap Sasha, Santo, dan kawan-kawannya adalah kumpulan orang yang lebih tersiksa lagi. Lalu apakah dia siap dengan hal itu jika memutuskan akan bersama Santo?

"Nah sekarang gue dah cerita ini semua ke elo Shin, terserah elo Shin. Gue mau pindah dari sini, sudah saatnya gue keluar," ujar Sasha yang telah mengemas kopernya.
"Loh kok elo malah cabut Sha? Maksudnya?," Shinta bingung untuk kesekian kalinya.

"Ya gue sudah harus keluar dari apartemen ini Shin. Sekarang sudah ada elo. Kalo gue di sini, yang ada Santo nggak pernah bisa belajar, terus elo juga akan semakin cemburu sama gue. Dan gue juga sudah harus mandiri," jelas Sasha.

"Eee elo segitunya. Maksud gue, elo bisa mutusin elo pindah dari sini cuma karena gue? Elu percaya sama gue? Terus kan kita belum ketemu Santo juga, hubungan elo sama Santo nanti bagaimana?" Shinta kebingungan.

"Shin, kita emang baru kenal. Gue gak tahu siapa elo. Tapi kalo elo datang, mau ketemu Santo. Bukan hak gue untuk mengizinkan atau melarang. Gue sahabatnya, tapi elo sudah memberikan hati buat dia, gue kira elo lebih berhak dari perempuan manapun atas Santo. Gue yakin, elo akan menjaga Santo lahir batin," Sasha mengutarakan pendapatnya.

"Tapi Shin, setelah gue denger semua cerita elo, gue gak yakin akan menemui Santo. Bayangan gue tidak seperti itu. Gue malah jadi takut sendiri, Sha?" Shinta kembali ragu-ragu.

"Semua terserah elo Shin. Gue cerita apa adanya, menurut versi gue. Mungkin elo juga perlu tahu versinya Santo. Setiap orang berbeda melihat sesuatu, meski melihat pada saat yang bersamaan pada hal yang sama pula. Elo juga harus kasih kesempatan buat diri lo, bukannya elo pengen dapat jawaban dari dia," tambah Sasha.

"Tapi kalo elo pergi gimana gue bisa ketemu Santo?" Shinta berharap Sasha mendampinginya saat bertemu Santo nanti.
"Loh elo kan bisa langsung ketemu dia. Elo bisa tunggu dia sekarang di sini atau elo pura-pura cegat di pintu gerbang kaya elo ketemu gue tadi," balas Sasha.

"Tapi gue masih butuh elo Sha."
"Oooo iya, gue gak kemana-mana Shin. Ini lo catet kontak gue, elo mau apa? Email, facebook, twit**ter, no HP, semua gue kasih. Elo kontak aja kalo pengeng ngobrol atau ketemuan," ujar Sasha.

Pertemuan dengan Sasha membuat Shinta sadar bahwa jalan hidup tidak pernah bisa diterka. Dia tak pernah membayangkan seperti apa jadinya ketika dia datang ke Melbourne. Sebelum berangkat dia hanya ingin bertemu Santo. Kepada kedua orangtuanya dia hanya izin untuk pergi liburan ke Australia.

"Sha sama siapa lo?" Tiba-tiba ada suara yang memecahkan keheningan sesaat antara Sasha dan Shinta. Kedua perempuan itu langsung kaget mendengar suara laki-laki dari ruang tengah. Muka Shinta langsung merah, dia langsung menerka jika suara itu adalah suara Santo. Sasha langsung memasang mimik bertanya kepada Shinta. Tapi Shinta tak tahu harus apa, apakah dia akan sembunyi, atau langsung menyapa Santo. Dia ternyata belum siap menemui Santo.
 
"Sama temen gue To dari Indonesia juga," balas Sasha. Santo yang awalnya menuju kamarnya berbalik arah dan menuju kamar Sasha, penasaran ketika disebut teman dari Indonesia. Sementara Shinta kebingungan karena belum siap menghadapi Santo. Dia belum punya alasan yang bisa diterima secara logika pertemanan. "Sha gimana nih," Shinta berbisik dan memunggungi pintu kamar Sasha, tidak mau wajahnya terlihat langsung oleh Santo.
"Udah gak usah takut, ada gue," Sasha berusaha menenangkan.

"Siapa Sha, gue kenal juga?" Santo sudah berdiri di pintu kamar Sasha. Sekilas dia melihat seorang perempuan duduk di pinggir kasur Sasha.
"Gak tahu kalo elu kenal apa nggak. Elo kenalan aja nih," Sasha menyuruh Santo untuk mendekati perempuan yang duduk dipinggir kasur itu.

Detak jantung Shinta berdetak semakin keras. Dia takut, malu, senang, dan semua berbagai rasa bercampur jadi satu. Saat yang ditunggu-tunggu lebih dari empat tahun akan hadir sekejap saja. Wajahnya tertunduk. Sebagian rambutnya yang panjang menutupi mukanya. Santo hanya melihat seorang perempuan berambut panjang dengan kaos dan celana jins ketat yang menutupi tubuhnya. Dia mengira temannya Sasha pasti tak kalah cantik dengan Sasha.

Santo menjulurkan tangannya, "Santo," ujarnya mengajak berkenalan. Shinta mau tidak mau mengangkat wajahnya, melihat laki-laki di sampingnya yang menjulurkan tangannya. Sejenak dia menatap wajah Santo. Menatap lekat. Membandingkan dengan foto miliknya yang merekam wajah Santo saat masih SMP dulu.

Hatinya luluh ketika matanya beradu dengan tatapan mata Santo. Kekesalan, kemarahan, kebahagiaan, dan penasaran yang terpendam seakan hilang ketika ia menatap mata Santo. Semuanya terasa hilang, ada kekosongan tapi bukan kehampaan yang sedih atau menyakitkan. Sesaat hatinya seperti tanpa rasa.

Semua itu terjadi dalam sepersekian detik saja. Namun Shinta, Santo, dan Sasha bisa menangkapnya. Menangkap dengan perasaan masing-masing. Shinta yang kemudian tersadar menjulurkan tangannya meraih tangan Santo, sambil menyebut namanya dengan pelan

"Shinta?" Santo bingung ternyata perempuan yang duduk di kasur Sasha adalah Shinta, yang dulu pernah jadi pacarnya saat SMP dulu, yang dulu pernah jadi percobaan Santo, yang dulu dia ambil perawannya.
Kini Shinta menjelma menjadi gadis yang sangat manis. Gadis yang tidak kalah dengan teman-teman wanita Santo. Santo sangat senang melihat Shinta. Jauh di lubuk hatinya, Santo tetap mengingat Shinta. Bahkan belakangan, saat dia berpikir, mengenang masa lalu, bayangan Shinta hadir dalam kenangangannya.

"Iya, Shinta. Dulu kita satu SMP kan?" Ujar Shinta sedatar mungkin memendam semua gejolak perasaannya.
"Ya ampun. Ini gue Santo," ujar Santo.
Shinta tidak menjawab dan dia memaksakan senyumnya terkembang. Sambil melepaskan tangannya dari genggaman Santo.

"Kok bisa sampai di sini. Elo kenal Sasha juga? Sejak kapan? Kok lo gak bilang gue Sha," Santo melontarkan pertanyaan membabi buta.
Sasha hanya tersenyum saja, dia menunggu sandiwara apa yang akan dimainkan Shinta, dan dia akan mendukungnya.

"Iya gue lagi liburan, sekalian aja ketemu Sasha. Ternyata dia tinggal di sini sama lo ya," ujar Shinta.
Ada nada sumbang yang terasa ke hati Santo ketika mendengar kalimat terakhir Shinta. Tapi dia langsung mengabaikan dan membalas dengan senyumnya. "Iya, dah hampir setahun. Biar gak sepi sendirian," ujar Santo.

Jika hanya mengandalkan perasaannya saja mungkin Shinta sudah marah mendengar kata-kata Santo. Bagaimana mungkin dia mengucapkan kalimat seperti itu, mengajak Sasha untuk tinggal bersama, agar tidak kesepian. Sedangkan dia harus memendam rasa karena tidak bisa bertemu dirinya. Tapi Shinta sadar, semua yang dirasakan perasaannya adalah dunianya sendiri. Dunia Santo jauh berbeda. Dia tidak bisa memaksakan Santo untuk masuk ke dunianya secara tiba-tiba, merasakan dan memahami perasaannya. Dunia mereka jauh sekali.

Rentang waktu lima tahun sangat relatif, bisa terasa panjang bisa terasa pendek. Keduanya memiliki perjalanannya sendiri-sendiri, itu yang membuatnya memiliki perbedaan. Bahkan perbedannya sangat jauh. Santo tak pernah mengenal sebuah mimpi. Tak mengerti tentang tujuan. Selama ini, perjalanannya hanya sebatas berusaha memahami. Bahkan seringkali dia gagal memahami perjalanannya, dan melarikan diri dari apa yang dia hadapi. Shinta, hidupnya saat ini memiliki tujuan yang satu. Dia ingin menuntaskan gejolak perasannya, bertemu Santo dan membangun hidup bersama Santo. Dia rela berkorban dan perjuangan mendapatkan mimpinya. Maka tak heran jika Shinta menjadi possesif terhadap Santo meski di permukaan hal itu tidak terlihat.

"Terus gimana kabar lo setelah lulus SMP, katanya elo SMA di Singapura ya?" Tanya Santo.
"Iya, gue ikut bokap-nyokap di Singapura. Elo sendiri gimana, kok bisa ke Melbourne?" Balas Shinta.

"Wah panjang ceritanya Shin. Gue juga gak tahu harus mulai dari mana. BTW elo tinggal di mana di Melbourne?"
"Gue? Gue numpang saudara yang ada di sini. Gue gak lama, cuma sebulan doang," Shinta menerangkan sekilas.
"Oooo, elo nginep di sini dulu aja, biar bisa ngobrol-ngobrol. Elo bisa tidur di kamar Sasha ini," Santo menawarkan.

Shinta ragu-ragu untuk menjawab ajakan Santo. Di dalam hatinya dia masih belum bisa menentukan keputusan apa-apa. Hatinya masih bergemuruh dengan letupan-letupan emosinya sejak bertemu Sasha, dan mendapat cerita tentang Santo. Shinta hanya menoleh ke Sasha yang tersenyum saja.

"Betul tuh, gue bisa pindah ke tempat Kevin To. Kalau mau, Shinta pakai kamar ini aja gak apa2 kok," ujar Sasha coba memberi kesempatan kepada Shinta. Tapi mendengar ucapan Sasha, mata Shinta malah melotot. Dia sepertinya tidak setuju dengan rencana Sasha yang tiba-tiba. Dia ingin mengatakan bahwa dirinya masih butuh pertolongan Sasha untuk menemaninya berhadapan dengan Santo.

"Ah nanti-nanti aja, gue juga masih ada di sini kok. Belum satu minggu gue di sini," ujar Shinta sekenanya.
"Sha, elo mau kemana? Kevin siapa? Udah janjian? Ntar dulu deh, kan kita baru ketemu lagi," Shinta coba menahan Sasha dari rencananya.

"Iya nih Sasha. Lagian kan Kevin bisa ketemu kapan aja. Elo gak bosan apa ketemu Kevin mulu," Santo juga butuh Sasha sebagai penyeimbang dari kehadiran Shinta yang tiba-tiba di apartemennya. "Shinta jauh-jauh dateng dari Jakarta, buat ketemu elo, elo malah tinggalin dia Sha, gimana sih lo?" Tambah Santo.

Santo tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya tahu jika Shinta adalah teman Sasha yang datang ke Australia untuk liburan sekaligus bertemu Sasha. Sasha pun akhirnya menyetuji permintaan Santo dan Shinta. "Ya udah, tapi sekalian aja, Shinta nginep di sini ya," ujar Sasha kepada Shinta.

"Tapi...," giliran Shinta yang bingung.
"Dah nginap di sini. To, anterin Shinta ke rumah sodaranya. Sekalian minta izin buat nginep, terus ambil pakaian dia," Sasha setengah memerintah ke Santo.
"Oke siap. Ayo Shin," ajak Santo.
"Eh, eh, gimana nih," Shinta bingung. Tapi Sasha memasang wajah serius dan meminta Shinta mengikuti sarannya. Akhirnya Shinta mengikuti Santo yang keluar dari apartemen itu. Tapi Shinta meminta Sasha untuk ikut ke rumah saudaranya, karena akan lebih mudah mendapatkan izin jika tidak hanya Santo yang mengantarkannya.

Sepanjang perjalanan di dalam mobil, ketiganya tidak banyak bicara. Shinta dan Santo masih berusaha mengukur sampai di mana perasaan masing-masing. Santo hanya menanyakan hal-hal ringan tentang perjalanan Shinta di Melbourne. Shinta pun menjawab seadanya. Sampai mereka tiba di rumah saudara Shinta, ketiganya sempat ngobrol-ngobrol ringan dengan saudara Shinta, dan Shinta pun dizinkan untuk nginap sementara.

Mereka kembali ke apartemen Santo, namun beberapa saat sebelum tiba di gedung apartemen, Sasha minta untuk turun lebih dulu. Dia ingin membeli makanan untuk makan malam, karena stock persediaan menipis. "Ya udah kita beli bareng-bareng aja," ajak Shinta. Namun Sasha berkeras untuk belanja sendirian. Dia ingin memberi waktu kepada Santo dan Shinta untuk berdua tanpa kehadiran orang lain.

Sepeninggal Sasha, keduanya terlihat kaku, bahkan lebih banyak diam. Setelah sampai, Santo membantu Shinta mengangkat barang bawaannya ke dalam kamar apartemen. Di ruang tengah akhirnya mereka membuka pembicaraan.

"Jadi elo pacaran sama Sasha sekarang?" Shinta coba membuka obrolan dengan pancingan.
"Nggak. Dia sahabat gue dari SMA. Nah elo sendiri gimana bisa kenal Sasha?" Santo juga membalas dengan pancingan yang lain.
"Bener cuma sahabat? Sahabat kok tinggal bareng, hampir setahun lagi. Yakin tuh gak ada apa-apanya?" Shinta terus memancing di perasaannya yang keruh.

"He he he, mungkin orang melihatnya berbeda Shin. Tapi gue sama Sasha bener-bener sahabat, gue gak ada perasaan apa-apa sama dia. Gue juga yakin kalau dia juga gak ada apa-apa sama gue," ujar Santo.
"Tapi meskipun gak ada perasaan elo bisa ML juga kan sama dia?" Shinta langsung menjurus dengan pertanyaannya.
"Kalau itu mungkin elo punya pendapat yang berbeda sama gue dan Sasha. Gue gak tahu apa Sasha udah cerita semua ke elo apa nggak, tapi gue dan Sasha memang sering ngelakuin bareng," Santo coba berterus terang.

"Tapi Shin, gue mau kesampingkan dulu soal gue dan Sasha. Ini kesempatan gue ketemu elo. Gue mau minta maaf sama elo atas kejadian masa lalu. Belakangan ini gue sadar kalo gue banyak nyakitin orang-orang. Elo di antaranya, bahkan sama Sasha pun sebenarnya gue juga nyakitin dia. Gue pasrah, entah elo mau maapin gue atau nggak, tapi setidaknya gue harus minta maaf dulu sama elo Shin," Santo akhirnya mengungkapkan perasaannya.

"Kejadian waktu SMP, bener-bener salah gue Shin. Sekarang kalau elu mau balas ke gue silahkan. Gue memang pantes. Bahkan gue pengecut nggak berani ketemu elo waktu itu. Sampe sekarang gue ini masih pengecut di depan lo Shin. Gue gak tahu harus apa sekarang. Gue cuma berpikir ini kesempatan gue untuk minta maaf ketika gue ngeliat lu ada di sini. Gue kaget elo bisa dateng ke sini," ujar Santo.

Shinta duduk menunduk di sofa mendengar uraian Santo. Dia teringat masa-masa kesepiannya, malam ketika dia memendam marahnya, memendam kerinduannya, memendam semua perasaannya. Semua menjadi bagian dalam perjalanannya selama lima tahun. Kini di depannya, orang yang menyebabkan hal itu mengaku bersalah, mengaku tidak berdaya. Inikah kesempatan untuk balas dendam, mengembalikan semua kesakitan yang sudah ditimpakan kepadanya? Shinta menitikkan air mata. Di balik tirai rambut panjang yang menutupi wajahnya, air mata Shinta menetes ke karpet lantai, tapi Santo tidak menyadarinya.

"Shin, gue ini bukan manusia. Gue ini gak pantes buat siapa-siapa atau apa-apa. Gue sampah. Sekarang kalo elo mau bales dendam, atau elo mau bunuh gue pun, gue bisa terima Shin," Santo berkatan dengan emosi yang terpendam.

Selama ini, meski dekat dengan Sasha, Doni, Iwan, atau Reza, Santo tidak pernah mengutarakan hal yang seperti ini. Bahkan kepada Tente Dona yang dianggapnya lebih tua pun Santo tak pernah mengutarakan perasaannya seperti ini. Kini dia takluk di depan Shinta. Perempuan ini telah menyita rasa bersalahnya yang dalam.

Isakan tangis Shinta mulai terdengar. Santo sadar bahwa dia telah membangkitkan kesakitan masa lalu, tapi dia juga ingin Shinta mengetahui bahwa rasa bersalahnya tak bisa dihilangkan. Isakan tangis Shinta semakin keras, hingga kemudian wajah Shinta tak lagi tertunduk. Matanya menatap tajam ke wajah Santo. Ekspresi mukanya memperlihatkan kemarahan yang sangat besar.

Shinta langsung bangkit dari sofa, menghampiri Santo dengan kemaharannya. Tangan kanannya berayun cepat, menampar pipi Santo. Plak!! Keras sekali Shinta menampar Santo hingga wajah Santo tertoleh kekanan.

Santo masih bisa menahan nyeri di pipinya, tapi dia bisa merasakan kegetiran hati Shinta lewat tamparan itu. Kalau saja dia yang merasakan kegetiran itu, belum tentu dia bisa mengatasinya. Maka dia hanya diam saja dengan perlakukan Shinta. Dia pantas mendapatkannya.

Tak puas dengan menampar pipi, Shinta kemudian menubruk Santo yang tetap duduk di sofa. Shinta membabi buta menyerang Santo, memukul wajah, menjambak rambut, hingga mendorong-dorong tubuh Santo. Shinta menangis keras.

"Elo bangsat. Elo bajingan, elo anjing!" Semua kata-kata kasar dia tumpahkan kepada Santo. Shinta menumpahkan semua kekesalannya. "Elo cuma pengen ngewe doang sama gue, terus elo tinggalin, sekarang elo mau minta maap? Anjing lo!," Shinta mengumpat kasar sambil tangannya menampar pipi Santo. Kali ini tamparan Shinta sangat keras hingga tubuh Santo jatuh dia atas sofa.

Shinta terus memburu Santo dan memukulinya lagi. "Elo gak tahu kalo gue gak pernah bisa tidur nyenyak selama ini, karena gue selalu ingat waktu elo ambil perawan gue. Elo gak pernah tahu kalo gue sampe gak punya rasa percaya diri. Elo anjing! Elo dah ambil semuanya dan elo tinggalin gue. Elo bangsaaattt Santoo...," Shinta mengumpat dengan tangisnya yang menyayat.

Santo hanya bisa diam. Pasrah. Apapun dia terima kali ini. Bahkan kalau Shinta akan membunuhnya juga, dia akan diam saja. Inilah saatnya hukuman untuk dirinya datang. "Elo bisa enak-enakan ngewe sama siapapun, sementara gue selalu teringat sama elo. Anjing lu To...," Shinta terus mengumpat sambil memukul dada Santo dengan keras.

Santo tetap pasrah dengan perlakuan Shinta yang duduk di atas tubuh terlentangnya. Dia hanya diam ketika tangan Shinta menamparnya bolak-balik. Rasa nyeri di pipinya sudah tidak terasa karena lama-kelamaan mulai kebas. Namun amukan Shinta lambat laun mulai mereda. Tangisannya yang menderu perlahan melemah. Shinta kelelehan dengan emosi marahnya, hingga akhirnya tubuh Shinta terkulai di atas tubuh Santo.

"Gue sayang elo To, kenapa elo tinggalin gue?," Shinta tetap terisak sambil memeluk tubuh Santo. "Elo gak tahu apa yang gue rasain. Gue kesakitan elo tinggalin To. Gue bukan sampah yang habis dipake terus elo buang. Gue manusia. Kenapa elo tega? Apa lo nggak punya perasaan?," ucap Shinta terisak di atas wajah Santo.

Santo tetap diam. Wajahnya tidak memberikan ekspresi apa-apa. Tidak kesakitan, tidak juga penyesalan. Dia hanya ingin bisa menerima hukumannya dengan baik. Perasaan? Mungkin sudah mati sejak SMP dulu, batin Santo. Inilah dia, hantu masa lalu datang satu-persatu.

"Gue sayang sama elo To. Bahkan sampe sekarang gue masing sayang To, tapi elo bajingan," ujar Shinta sambil membelai pipi Santo yang memerah karena tamparan tangannya.

Santo tetap diam. Wajahnya tidak memberikan ekspresi apa-apa. Tangannya juga terkulai, dia tak berusaha menangkis, atau menahan tubuh Shinta yang menindihnya. Dia hanya diam. "Santo, kenapa elo sia-siain apa yang udah gue kasih? Elo gak boleh begitu lagi...," Shinta tersedu-sedu.

"Peluk gue To, peluk gue. Gue kangen sama elo....," Shinta menyerah dengan perasaan sayangnya. Santo bergeming. Di dalam hatinya, tak pantas dia memeluk Shinta. Namun Shinta meraih tangan Santo dan menyampirkan di atas punggungnya. "Sekali ini To, peluk gue To....," Shinta memelas.

Santo pun akhirnya menghentikan diamnya. Kedua tangannya memeluk Shinta dengan erat. Dia berusaha memeluk tubuh perempuan di atasnya dengan cara yang berbeda dari perempuan-perempuan lain yang pernah ML dengannya. Tapi Santo tidak bisa, dia hanya merangkulkan tangannya di atas tubuh Shinta. Santo tak tahu bagaimana mencintai seseorang.

Cukup lama mereka bertindihan seperti itu, hingga Shinta reda emosinya. Santo bisa merasakan detak jantung Shinta yang mereda di dadanya. Pipinya basah karena ditetesi air mata Shinta. Dan Shinta pun menggerakkan tubuhnya, ingin bangkit.

Disaat itulah pintu apartemen terbuka. Sasha datang membawa belanjaan. "Ooo..Ups! Soorrry guys.. Dilanjut," ujar Sasha membalik badan keluar dari apartemen ketika dia memergoki Santo dan Shinta dalam posisi seperti itu. Namun Shinta langsung berteriak memanggil Sasha. Shinta bahkan mengejar Shinta ke pintu, dan
minta untuk kembali masuk.

"Sorry Shin," ujar Sasha malu-malu dan mau masuk kembali ke dalam apartemen.
"Elo apa sih," Shinta coba tampil seperti tidak ada kejadia apa-apa, meski dia tetap mengelap sisa air di sudut matanya.
"Elo gak apa-apa Shin?" Giliran Sasha yang menyadari bahwa yang telah terjadi tidak sesuai dengan perkiraannya. Shinta hanya menggelengkan kepalanya. Sasha lalu melihat Santo yang tetap tiduran di sofa. "Elo gak apa To?," ujar Sasha melihat Santo menggeleng tanpa ekspresi.

"Oooo kalo semua nggak apa-apa, berarti gue bisa langsung masak dong. Pasti elo bedua laper kan. Apapun yang barusan terjadi pasti dah ngabisin energi elo berdua. Apalagi elo Shin dari tadi belum makan, sekarang dah hampir malam. Gue masak dulu ya, anggap aja gue gak ada," Sasha langsung membawa belanjaannya ke dapur.

"Eh gue bantuin Sha," Shinta mengiringi Sasha ke dapur. Sasha memelankan langkahnya menunggu Shinta hingga berdampingan. Sasha bertanya ke Shinta lewat gerak bibir, tanpa suara. "Ada apa? Elo nangis?"
"Iya panjang ceritanya, nanti gue ceritain," balas Shinta.

"Elo mendingan ganti pakaian dulu Shin, kalo mau masak-masak," kali ini suara Sasha keluar disengaja.
"Eh iya, sampe lupa kao gue bawa pakaian ya?" Shinta kemudian mengerlipkan matanya ke Sasha. Sasha hanya bisa tersenyum melihat teman barunya itu.

Shinta langsung berganti pakaian di kamar Sasha. Sekilas dia melihat Santo yang tetap tiduran di sofa. Padangan Santo kosong menatap langit-langit apartemen. Namun Shinta membiarkan dan menemui Sasha di dapur.

"Masak apa Sha?" ujar Shinta untuk mengesankan dia hanya melakukan obrolan ringan dengan Sasha, dan Santo tidak perlu curiga.
"Yang gampang aja Shin, nih gue beli spagetti," Sasha mengerti maksud Shinta. Namun setelah itu mereka ngobrol sambil berbisik-bisik. Shinta pun menceritakan apa yang telah terjadi. Sasha hanya geleng-geleng kepala, tersenyum, dan akhirnya cekikikan. "Gue sayang dia Sha...," Shinta mengakhiri ceritanya dengan nada serius.

Sasha langsung memeluk Shinta. Dia terharu mendengar pengakuan Shinta. Sejak awal dia sudah menduga kalau Shinta adalah orang yang bisa dia percaya. Sebagai sesama perempuan, Sasha bisa merasakan kemenangan perasaan Shinta.

"Dah jadi deh," ujar Sasha sambil melepaskan pelukannya. "Ayo makan yuk."

Mereka membawa makannya ke ruang tengah. Santo masih tergolek di atas sofa. Sasha kemudian menyadarkan Santo untuk makan. Santo bangun dengan malas-malasan. Dia tidak sedang bernafsu makan saat ini, bahkan dia tidak bernafsu apa-apa. Dia hanya ingin diam.

Shinta dan Sasha memakan hasil masakan mereka, sedangkan Santo hanya memandang makanan itu.
"To, makan dulu tuh, ntar dingin gak enak," ujar Sasha. "Apa elo mau disuapin?" Santo hanya diam. "Shin, suapin gih."
"Iihh apaan sih Sha, dia bisa makan sendiri kali," balas Shinta. Keduanya pun meneruskan makannya. Bahkan sampai mereka selesai makan, Santo masih dengan posisinya, memandangi makanan.

Sasha kemudian meninggalkan Shinta dan Santo ke kamarnya. Tak berapa lama, Sasha kembali ke ruang tengah sambil membawa koper. "To, gue pindah ke tempat Kevin ya buat sementara. Mungkin nanti gue cari apartemen sendiri," ujar Sasha kepada Santo.

Santo yang sejak tadi diam, langsung memberikan reaksi. "Kok gitu Sha, elu di sini aja. Kenapa elo jadi mau pindah segala?" Santo bingung sekaligus merasa tidak enak.
"To, sekarang elo udah ada Shinta. Sebajingan-bajingannya elo, elo masih mau bener kan? Kemaren elo sempat kepikiran untuk jadi bener. Ini ada Shinta, dia dateng jauh-jauh dari Jakarta cuma buat nyari elo. Mungkin elo nggak pernah tahu yang namanya perasaan, ini kesempatan lo buat belajar. Kalo ada gue di sini yang ada elo gak akan belajar. So gue cabut ya," jelas Sasha.

Santo tak bisa memutuskan apa-apa karena Sasha kemudian meninggalkan Santo dan Shinta. Dia pindah ke apartemen Kevin, teman kampusnya yang asli Australia. Santo sendiri tidak tahu apa apa yang akan diperbuat. Dia sendiri tidak tahu dengan dirinya sendiri.

Shinta juga protes dengan tindakan Sasha. Tapi Sasha berkeras untuk pindah. "Udah, elo di sini aja. Sekarang elo yang jagain dia. Gue percaya kok sama elo. Jangan dibunuh ya temen gue, ntar dia juga mati sendiri. Barang-barang gue masih ada di sini juga kok," canda Sasha.

"Apaan sih Sha. Gue masih butuh elo," Shinta merajuk.
"Ya udah, kalo ada apa-apa, elo telp gue ya. Gue pasti ke sini secepetnya," balas Sasha. "Dah elo baik-baik aja. Elo selesein masalah lo berdua. Nanti kalo udah selese, gue pasti gak akan sungkan-sungkan ikut campur masalah lo bedua, he he he," Sasha bercanda dan meninggalkan mereka berdua.

Kini tinggal Santo dan Shinta di apartemen itu. Shinta sebenarnya canggung sekali. Hari yang ajaib pikirnya. Apa yang dulu pernah diimpikan, tiba-tiba terwujud hari ini. "To dimakan ya makanannya."
"Iya Shin, ntar gue makan."

Shinta kemudian masuk ke dalam kamar yang ditinggali Sasha. Dia kembali menelisik kamar itu. Beberapa barang Sasha masih ada di kamar itu. Dia membuka lemari pakaian, dan melihat ada ruang kosong yang bisa digunakan untuk menaruh pakaiannya. Shinta pun membuka tasnya dan menempatkan beberapa pakaiannya.

Sambil merapikan kamar, Shinta melihat Santo menyantap spageti di ruang tengah. Setelah itu Shinta coba rebahan di kasur yang biasa ditiduri Sasha. Di balik jendela kamar, Shinta tahu jika hari sudah malam. Lampu-lampu kota menyala kerlap-kerlip.

Hari yang melelahkan, gumam Shinta. Ia mencoba mengingat keputusannya untuk mencari Santo hingga ke Melbourne. Dia ingat ketika mendapat kabar dari salah satu temannya yang tahu jika Santo ada di Melbourne. Bahkan dia juga mendapatkan alamatnya. Maka ketika dapat izin dari orang tuanya, Shinta memutuskan untuk pergi. Keinginannya satu, bertemu Santo dan menyelesaikan semuanya. Tapi dia sendiri tidak tahu apa yang ingin diselesaikan. Dia sebenarnya hanya ingin mendapatkan Santo kembali. Dan kini dia ada di apartemen Santo. Tapi apakah Santo benar-benar sudah menjadi miliknya? Dia sendiri tidak berani memastikannya.

"Shin, gue keluar dulu ya," ujar Santo melihat Shinta lagi rebahan di kamar.
"Mau kemana?"
"Cari angin sambil beli makanan ringan."
"Gue ikut, jangan tinggalin gue sendirian," Shinta bergegas menghampiri Santo.
"Ya udah, pake jacket. Di luar anginnya kenceng."

Santo dan Shinta akhinya keluar dari apartemen. Santo mengajak Shinta pergi ke minimarket terdekat. Sebenarnya, Santo tak hanya ingin cari angin, dia butuh minuman. Di saat-saat seperti ini, dia butuh alkohol. Maka ketika sampai di minimarkert, Santo memborong bir dan beberapa botol berlabel hitam.

"Lo mau ngapain beli sebanyak itu To?" Shinta heran.
"Ini buat gue Shin. Jangan kaget, gue kaya gini di sini. Stock di kamar abis, dan saat kaya gini gue butuh ini," ujar Santo.
"Oooo.....," Shinta hanya bisa mengucap huruf itu. Tapi di dalam hati Shinta dia berkata, yang elo butuhin bukan itu To, elo cuma butuh ngobrol, orang yang bisa ngajarin elo kasih sayang. Mudah-mudahan gue bisa.

Setelah berbelanja secukupnya, mereka kembali ke apartemen. Santo mulai membuka kaleng birnya, dan Shinta coba menemaninya. "Elo gak usah nemenin gue, tidur aja istirahat. Kasihan elo," ujar Santo.
Tapi Shinta coba menemani Santo, bahkan dia ikut membuka satu kaleng bir. "Elo minum juga?" Tanya Santo.
"Nggak, setahu gue rasanya pahit kan," Shinta menenggak sedikit bir dan menyipitkan matanya karena rasa pahit.

"Itulah bir, rasanya pahit. Sama kaya hidup gue pahit," ujar Santo.
"Kalo emang nyari pahit, kenapa gak minum jamu aja. Hidup gue juga pahit, tapi gue gak minum bir. Gue minum jamu. Sehat," balas Shinta.

Santo hanya tersenyum. "Hidup lo gak pahit Shin. Gue yang bikin hidup lu pahit. Nah sekarang elo balikin semua kepahitan lo, ini kesempatannya Shin," balas Santo.

Giliran Shinta yang tersenyum. Dia pun mulai memancing Santo. "Dulu gue gak pernah tahu siapa elo To. Mau nggak elo ceritain ke gue, semuanya, dari keluarga lo, temen-temen di SMA, sampe di sini," ujar Shinta.

Santo lalu bercerita tentang dirinya sendiri. Mulai dari dia kecil. Dia cerita bagaimana mama-papanya pisah. Dia juga cerita tentang Tante Dona. Persahabatannya dengan Doni, Iwan dan Reza. Juga Sasha. Dia juga menyebut tentang Vina meskipun sekilas. "Elo sendiri gimana bisa kenal Sasha?" Tanya Santo sambil menenggak kaleng bir yang sudah kesekian kalinya.

"Ntar gue ceritain. Elo cerita dulu aja semuanya. Nanti gue akan jujur sama elo To," ujar Shinta.
"Itu dia Shin. Satu hal yang gue gak bisa terima adalah kenapa jalan hidup gue kaya gitu. Gue gak perlu uang banyak, yang gue butuh cuma orangtua gue. Gue tahu rasanya disia-siain, makanya gue akan terima apa yang mau elu lakuin ke gue Shin. Gue yang bikin hidup lo hancur belakangan ini. Apa yang elo minta dari gue, gue usahaiin bisa memenuhinya Shin," ujar Santo yang kini berganti meminum black labelnya.

"Menurut lo, apa kesalahan lo sama gue To?," tanya Shinta.
"Kesalahan gue yang terbesar adalah menularkan kesakitan gue ke elo Shin. Gue gak bisa hadapi kesakitan gue tapi malah gue tumpahin ke elo," ujar Santo.
"Terus menurut lo, kira-kira hukuman apa yang pantes untuk kesalahan lo itu," tanya Shinta lagi.
"Gak tahu, mungkin elo mau bunuh gue?," ujar Santo.
"Elo siap gue bunuh?," Shinta sedikit menantang.
"Dengan senang hati Shin," Santo berkata dingin.
"He he he, gue gak akan bunuh lo To."
"Kenapa? Bukannya elo akan puas jika gue mati. Atau elo sengaja ngebiarin gue hidup biar gue tersiksa dengan rasa bersalah gue?"
"He he he, gue masih sayang sama elo To," Shinta mengucapkannya sama dinginnya, ditambah dengan senyuman kecil yang ironi. Dia harus mengakui, jika di balik semua kesakitannya, masih ada rasa itu terselip di hatinya.

"Gimana bisa? Elo yang benci sama gue, yang hidup lo udah gue hancurin, tapi elo masih bisa bilang punya rasa sayang sama gue? Gue gak pernah tahu yang namanya cinta, apalagi kasih sayang. Tapi bukannya itu bertolak belakang?," Santo berusaha memahami.
"Gue juga gak ngerti sepenuhnya To. Gue benci elo sebenci-bencinya. Kalo elo bilang gue mau bunuh lo, itu pernah terbersit di benak gue. Tapi gue juga gak bisa kesampingkan kalo gue sayang elo. Gue mau hidup sama elo," ujar Shinta.

"Apa itu artinya elo minta gue nikahin?," Santo coba memperjelas keinginan Shinta.
"Apa elo gak mau nikah sama gue?," balas Shinta.
"Gue akan berusaha memenuhi keinginan lo Shin, karena gue dah bikin lo hancur. Gue mau nikahin elo. Tapi apa lo siap dengan gue. Elo akan punya laki yang hidupnya penuh kesakitan. Apa gak nanti, gue malah terus-terusan nularin kesakitan gue ke elo. Hidup lo akan semakin hancur?"

"Bukannya hidup gue udah hancur To? Elo yang ngehancurin. Kenapa gak sekalian aja? Toh gue sudah terjebak dalam kesakitan yang elo buat," balas Shinta.
"Hhhmmmm....," Santo menenggak satu botol black labelnya hingga tuntas. "Terserah Shin. Kalo itu cara elo ngehukum gue, dengan membuat gue selalu melihat lingkaran kesakitan yang gak putus-putus, gue akan terima. Itu hukuman setimpal, gue akan melihat diri gue menjadi penyebab orang lain sekarat perlahan-lahan. Gue akan menjadi iblis selamanya," ujar Santo.

"Iya elo akan jadi iblis selamanya. Iblis yang kesakitan ketika ada orang lain yang tertular kesakitan lo," ujar Shinta.
"Gue iblis Shin...," Santo membuka satu botol black label lagi dan menenggaknya hingga setengah. Matanya sudah mulai nanar. Santo tak kuasa memahami dirinya. Dia benar-benar jatuh ke jurang kehidupan.

Hampir dua botol black label masuk ke perutnya. Tapi Santo terus menenggak bir, dan ingin minum lagi. Alkohol kali ini sepertinya tidak mampu membuatnya lari jauh dari kenyataan yang ada. Dia tetap melihat Shinta yang membuatnya semakin merasa bersalah.

Shinta mulai khawatir dengan apa yang terjadi dengan Santo. Shinta tidak tahu jika Santo memiliki pribadi yang labil sekali. Santo terus menenggak minumannya. Bahkan setelah mabuk, Santo tak lagi mendengar nasehat Shinta. Tentu saja Shinta khwatir, karena tubuh pasti memiliki batasnya. Dia tak mau Santo benar-benar tewas karena terlalu banyak minum alkohol.

Shinta bergegas ke kamarnya, mencari selulernya dan berusaha menghubungi Sasha. Dia memencet nomor Sasha dan menunggu untuk di angkat. Sayangnya hingga nada tunggu habis, Sasha tida mengangkat teleponnya. Shinta mencoba lagi, dan kembali tidak di angkat. Shinta pun mencoba sekali lagi.

Sebenarnya saat Shinta menelpon, Sasha sedang sibuk memacu birahi bersama Kevin. Tubuh telanjangnya sedang meliuk-liuk di atas tubuh Kevin. Vaginanya membenamkan penis Kevin. Desahan erotis keduanya lebih keras dari pada suara dering telepon. Sasha sempat mendengarnya namun tak lama kemudian berhenti. Dia kembali memaju-mundurkan pinggulnya di atas selangkangan Kevin.
Namun pada dering kedua kalinya, Sasha tersadar mungkin saja Shinta yang menghubungi. Sehingga ia memutuskan untuk berhenti sementara.
"I've to pick up that call," ujarnya ke Kevin yang kecewa Sasha menghentikan goyangannya.
"Ooooh please baby, I'm coming soon," balasnya.
"Just hold a second babe, it's must be important," Sasha langsung mengambil selularnya dan melihat nama Shinta di layarnya.

"Ada apa Shin?" ujar Sasha sambil ngos-ngosan ketika HPnya berdering lagi.
"Ini si Santo," ujar Shinta yang heran mendengar suara Sasha yang tersengal-sengal.
"Iya kenapa dia?" Ujar Sasha menepis tangan Kevin yang menghampirinya saat menjawab telepon.
"Santo mabok, terus minumnya gak berhenti. Gue khawatir," ujar Shinta.
"Ooo, dah berapa botol?," ujar Sasha yang dipeluk Kevin dari belakang.
"Udah botol ketiga, sama bir banyak banget," ujar Shinta. "Gimana berhentiinnya Sha?"

"Oooh shiit," suara Sasha tertahan ketika penis Kevin menyusup dari belakang dan memaksanya untuk menjawab telepon sambil nungging.
"Kenapa Sha, parah banget ya?," Shinta semakin khawatir.
"Oo, bukan shitnya ke Santo. Ini Si Kevin lagi ngerjain gue," ujar Shinta.
"Ooo, sorry Sha, gue ganggu elo," Shinta paham maksud Sasha. "Dah elu terusin dulu, nanti telpon gue ya."
"Gak, gini aja Shin. Cara cepetnya untuk berhentiin Santo minum, elo harus ngeluarin spermanya dia. Kalo udah keluar biasanya dia langsung tidur. Gitu ya lu coba aja," ujar Sasha sambil menutup teleponnya dan menikmati sodokan penis Kevin.

Bikin keluar spermanya? Gimana caranya? Gumam Shinta. Apa gue ajak dia ML? Apa gue siap ML ama dia? Shinta bingung dengan saran Sasha. Tapi dia bisa maklum karena dia sudah dengar tentang kehidupan Santo dan Sasha. Shinta belum memutuskan apa-apa ketika Santo menghabiskan botol ketiganya. Sedangkan di meja tengah, masih ada satu botol tersisa.

Shinta bukannya tak pernah lihat orang mabok. Tapi dia khawatir dengan jumlah alkohol yang sudah masuk ke tubuh Santo. Tapi apa untuk menghentikannya harus dengan ML? Saat dalam kerinduannya, Shinta sebenarnya juga pernah membayangkan bisa ML lagi dengan Santo. Dia ingin melakukannya dengan penuh perasaannya. Tapi kalau dia melakukannya sekarang, Santo sedang mabuk. Dan bisa jadi Santo malah tidak terkendali.

Akhirnya Shinta memutuskan untuk mengikuti saran Sasha saat melihat Santo membuka botol keempatnya. Shinta mendekati Santo yang duduk bersandar di sofa. Dia langsung duduk di pangkuan Santo dan mencumbunya.

Shinta mencium Santo dengan ganas. Dia langsung meluapkan gairahnya yang terpendam selama ini. Bibir Santo yang bau alkohol dilahapnya dengan rakus. Shinta juga meraba dada Santo yang masih dilapisi kaos.

"Shin, elo gak perlu begini Shin...," ujar Santo yang ternyata masih sadar dengan apa yang terjadi.
"Santo, elo jangan minum lagi ya," ujar Shinta lembut sambil membelai pipi Santo.
"Iya, tapi gue haus Shin," ujar Santo pelan.

Shinta pun meneruskan cumbuannya. Dia menciumi wajah Santo. Kemudian turun ke leher, dan meraba tubuh Santo dari dalam kaosnya. Shinta kemudian membuka kaos Santo. Dia melihat tubuh Santo yang tidak atletis. Dulu tubuh ini, dada ini penah menindih tubuhnya. Tubuh ini pula yang sering dirindukannya.

Shinta menciumi dada Santo. Mencium, menjilat, dan meraba dengan penuh gairah. Hal itu membuat Shinta merasa terangsang sendiri. Dia pun membukan kaos tidurnya, juga branya. Shinta kembali mencium bibir Santo dengan mesra.

Karena tidak ada reaksi apa-apa dari Santo, Shinta meraih tangan Santo untuk menyentuh payudaranya. Shinta meminta Santo meremas payudaranya. Setengah sadar, Santo menuruti kemauan Shinta. Dia meraba, dan meremas bukit Shinta yang tidak terlalu besar. Shinta mendesah ketika dia menyentuhkan pentilnya ke bibir Santo.

Shinta mendesah lagi ketika dia mengganti pentil lain untuk diemut Santo. Lama kelamaan Shinta bisa merasakan jika vaginanya telah basah. Maka dia pun bangkit dari pangkuan Santo dan melepaskan celana kargonya. Tak tanggung-tanggung, Shinta juga melepaskan celana dalamnya.

Sebenarnya jika Santo tidak mabok, dia bisa menikmati pemandangan yang indah. Tubuh Shinta sangat mulus, meski kalah padat dari Sasha, tapi Shinta sangat putih dan mulus. Warna putih itu dihiasi dengan rambut kemaluan Shinta yang tipis dan terurai rapi. Tanpa harus dicukur, kemaluan Shinta terlihat bersih.
 
Setelah melepaskan pakaiannya, Shinta pun melepaskan celana Santo. Mulai dari celana jinsnya hingga celana dalam Santo. Shinta sempat kesulitan, namun dia berhasil melucuti pakaian Santo. Shinta melihat penis Santo yang belum tegang.

Shinta kembali duduk di pangkuan Santo. Dia meraih tangan Santo untuk meremas payudaranya, sedangkan tangan Shinta meraih penis Santo dan membelainya. Perlahan penis Santo sepertinya mengeras. Shinta kemudian mencium bibir Santo sambil tangannya mengocok penis Santo. Dia terus melumat bibir Santo dan mengocok penisnya.

Sampai kemudian napas Santo sedikit terengah-engah dan tangan Shinta beloptan dengan sperma Santo. Shinta tahu jika Santo telah ejakulasi, maka dia menghentikan aktivitasnya. Dia sendiri sebenarnya masih dalam gairahnya, tapi itu bukan tujuan Shinta.

Shinta bangkit dari tubuh Santo dan bergegas ke kamar mandi. Dia membersikan tubuhnya. Dan ketika kembali ke ruang tengah, dia melihat Santo sudah benar-benar mengantuk. Dia memapah tubuh Santo dengan sekuat tenaga untuk pindah ke kamar. Dan Shinta pun menemani Santo tidur di kamar itu, menutupi tubuh mereka yang telanjang dengan selimut. Shinta memeluk Santo dengan erat.

Babak baru dimulai dalam kehidupan Santo dan Shinta. Dua manusia yang memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya dengan alasan yang berbeda. Santo putus asa dengan hidupnya, apapun saat ini dia seperti tidak punya pilihan, sedangkan Shinta ingin membuktikan keinginannya. Meskipun dia tidak benar-benar yakin dengan keinginannya.

Manusia memang hanya bisa menjalani hidupnya. Tapi apakah manusia memang benar-benar hanya bisa menjalani takdirnya? Bukankah manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan, setidaknya kebebasan untuk memilih karena semua makhluk terikat dengan hukum alam.

Semua keinginan, harapan, cita-cita tidak bisa dilepaskan dari hukum alam. Tidak akan bisa manusia bercita-cita menjadi sesuatu yang melampaui kodratnya, seperti misalnya menjadi malaikat, setan, atau Tuhan. Karena kodratnya manusia adalah manusia. Ketika seseorang tidak bisa menjadi apa yang diinginkan, diharapkan, bisa jadi bukan karena takdir, tapi karena salah bercita-cita, salah bermimpi, salah berharap. Karena dia tidak memahami kodratnya, tidak memahami dirinya, tidak mengenal batas kemampuannya? Lalu apakah Shinta termasuk yang salah berharap? Berusaha menjalani hidup bersama Santo?

Keesokan harinya Santo bangun dengan kepala pusing. Dia ingat jika semalam dia menenggak alkohol, namun yang membuatnya kaget, ada Shinta yang memeluknya. Santo kaget karena mereka tidak berpakaian sama sekali. Apakah ini juga menjadi salah satu bentuk kehancuran Shinta, seperti kehancuran dirinya?

"Shin.....," Santo berkata pelan membangunkan Shinta.
"Hmmmmpphhh.....," Shinta mengulet. Dia bangun dan melihat Santo sudah terbangun dari tidurnya. "Kamu dah bangun, dah pagi ya?"
"Iya..," Santo berkata pelan.
"Kita semalam...ngapain? Kok sampe telanjang begini?" Santo coba mencari jawabannya.

"Hhmm...nggak ngapa-ngapain. Aku cuma berhentiin kamu minum. Habisnya kamu minum banyak banget. Aku khawatir," ujar Sinta.
"Yakin gak ngapa-ngapain?" Santo yang curiga karena Shinta kini memanggilnya dengan sebutan kamu.
"Nggak, aku cuma ngerjain adik kamu kok. Nggak sampe ML," ujar Shinta.
"Oooo, kok bisa?" Santo terus mengejar.
"Iya aku semalam panik ngeliat kamu minum gak berhenti. Terus aku telp Sasha, dan dia kasih tahu caranya, ya udah aku coba aja, ternyata berhasil," jelas Shinta.

"Nggak, maksudku kamu mau ngelakuin itu," ujar Santo.
"Kenapa nggak? aku jauh-jauh datang ke sini cuma buat nyari kamu To. Bukan mau liburan atau ketemu Sasha," ujar Shinta.
"Ooo, jadi kamu bener-bener nyari aku Shin? Untuk balas dendam?," balas Santo.
"Ya terserah definisi kamu. Bukannya kamu juga rela dan siap untuk ngelakuin apa aja sebagai tanggung jawab dari masa lalu," ujar Shinta.
"Iya," ujar Santo menghela napas.

"Terus kalau sekarang aku mau ML sama kamu, kamu mau?" Tiba-tiba Shinta mengajukan pertanyaan yang mengejutkan Santo. Santo mau tidak mau menatap wajah Sinta yang tidur di sampingnya. Dia melihat sorotan mata Shinta yang penuh harapan. Sekilas dia bingung, apakah tatapan itu benar-benar datang dari lubuk hatinya? Ataukah tatatapn itu pengelabuan dari niat Shinta yang ingin membuat dirinya semakin bersalah lagi?

"Gak salah denger Shin? Maksudnya apa, kok minta itu?," tanya Santo.
"Maksudnya aku mau ML sama kamu, memangnya kurang jelas ya?" Shinta memasang wajah harap sambil menggoda.

Sudah belasan perempuan yang pernah ditiduri Santo. Pernah juga dia mendapat pertanyaan yang sama. Tapi kali ini dia tidak langsung mengiyakan jawabannya. Karena kali ini yang bertanya adalah Shinta.
"Shin, kalau kamu memang mau membalas semua kesakitan kamu dengan terus menyeret diri kamu dalam kehancuran sehingga aku benar-benar hancur melihat kamu hancur, kenapa gak langsung aja. Toh kita berdua sudah hancur? Kamu pengen aku hancur seperti apa?," ujar Santo.

"He he he. Cuma mau ML kok, tapi ngomongnya sampai soal hancur-menghancurkan segala? Dulu kamu sempet kepikiran gak waktu mau ngambil perawan aku soal hancur menghancurkan itu?," balas Shinta.
"Iya aku salah," ujar Santo.

"Kalo aku bilang aku mau ML karena aku sayang kamu, pasti kamu juga nggak percaya ya?," tanya Shinta.
"Iya, karena sebenarnya kamu tidak benar-benar sayang," jawab Santo.
"Itu artinya dulu kamu juga begitu ya?," kejar Shinta.
"Iya," Santo mau tidak mau harus mengakui.
"Meski kamu dulu kamu mengucapkan dengan serius kalau kamu sayang aku?" Shinta terus memojokkan Santo dengan perasaan bersalahnya.
"Iya," Santo pasrah Shinta benar-benar menelanjangi pribadinya.

"Oke. Terus kalau sekarang ini aku benar-benar sayang sama kamu, aku harus membuktikan apa?" Tanya Shinta.
"Gak tahu. Apa rasa sayang itu harus dibuktikan?," Santo balik bertanya.
"Menurutmu? Karena aku hanya ingin ML sama kamu. Tapi kamu terkesan tidak mau, karena jika kita ML, kamu anggap sebagai balas dendamnya aku, bukan sebagai wujud sayang aku. Bukankah kamu bisa ML sama siapa saja tanpa harus ada rasa sayang? Seperti sama Sasha, atau sama aku dulu. Kenapa sekarang rasa sayang itu jadi penting bagimu?"

Santo tak punya logika yang bisa membalik ucapan Shinta. Dia akhirnya menyerah. "Hanya ML, tidak ada yang lain?"
"Hanya ML, tidak ada yang lain," ujar Shinta.
"Ya sudah," Santo benar-benar menyerah.

Entah kenapa sekarang urusan ML jadi terasa berbelit-belit bagi Santo. Padahal biasanya urusan ML tinggal buka baju, penisnya ereksi, ada vagina yang siap dimasukkan, penetrasi, ejakulasi, selesai. Tapi sama Shinta, semua prosesi itu butuh alasan yang mendasarinya. Bahkan kini, meski dia pasrah Shinta akan melakukan apa saja dengan tubuhnya, ada rasa yang mengganjal di hatinya.

Baru kali ini Santo merasa tidak mau ML tapi dia harus melakukannya. Dan dia tidak berdaya untuk menolaknya. Mungkin inikah perasaan yang dulu dialami Shinta atau Vina saat dia mengambil perawannya? Santo pasrah jika itu adalah hukuman yang harus dia terima.

Hari sebenarnya sudah beranjak siang. Namun Santo tidak niat untuk melakukan aktivitasnya. Dia memang ingin malas-malasan di apartemennya. Dan kini, di balik selimut, Shinta mulai mencumbunya. Tangan Shinta meraba tubuhnya, dari dada turun membelai penisnya.

Santo hanya bisa diam saja. Shinta mencium bibir Santo. Mencium dengan hangat, meski tidak tak ada respon apa-apa dari Santo. Shinta menciumi dada Santo. Dia menyibak selimut yang menutupi mereka.

Kini secara sadar Santo melihat dengan jelas tubuh telanjang Shinta. Tubuh Shinta sebenarnya sangat menggiurkan. Jika dibanding Sasha, Shinta memang kurang berisi, tapi Shinta terlihat seksi dengan panggul yang besar. Jika dalam kondisi 'normal' Santo pasti tidak sabar untuk menusuknya dari belakang. Tapi kali ini, Santo tidak dalam kondisi seperti biasanya. Dia masih merasa bahwa sebenarnya dia tidak mau ML dengan Shinta.

Santo tetap diam ketika tangan Shinta menggenggam penisnya dan mengurutnya perlahan. Shinta berusaha agar penis Santo tegang. Santo berusaha agar penisnya tidak tegang karena dia tidak suka dengan perlakuan Shinta. "Kamu rileks aja, nikmatin ya. Kalo kurang enak kasih tahu aku. Biar aku belajar," ujar Shinta.

Kalau saja yang berkata perempuan lain, pasti Santo sudah mendesah-desah keenakan. Tapi ini Shinta, perempuan yang ingin membalas perlakuannya. Shinta mengocok pelan penis Santo. Dia telaten melakukannya karena seringkali penis Santo terlepas dari genggamannya.

Merasa tidak berhasil membangkitkan gairah Santo, Shinta kemudian menurunkan wajahnya ke penis Santo. Dia mengulumnya dengan lembut. Shinta memang tidak punya pengalaman apa-apa tentang ML selain bersama Santo dulu, tapi bukan berarti dia tidak tahu bagaimana merangsang laki-laki.

Shinta kemudian mengemut penis Santo, terus berusaha agar penis Santo tegang. "Sayang, jangan dilawan, nikmatin aja. Enakkan?" Shinta menggoda Santo. Lama-kelamaan, Santo pun mengikuti irama Shinta. Kontrol dirinya pun berkurang, dan lambat laun penisnya mulai menegang.

"Oooo, sudah tegang ya," ujar Shinta ketika sadar penis Santo mengeras. Namun ketika dia bandingkan dengan penis laki-laki yang pernah dia lihat dalam film bokep, penis Santo sepertinya kurang panjang, tidak sampai satu genggaman tangannya. Shinta sempat mengernyitkan dahi, dan hal itu terlihat oleh Santo.

Santo bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Shinta. Namun dia hanya diam saja, di dalam hatinya dia terusik ego kelaki-lakiannya. Dia pun diam ketika Shinta mengubah posisinya, dan berjongkok di atas selangkangannya. Shinta kemudian coba memasukkan penis Santo ke vaginanya.

Terasa susah untuk memposisikan penis Santo tepat di lubang vaginanya. Entah karena penis Santo yang pendek, atau karena vagina Shinta yang masih rapat. Shinta menggunakan tangannya untuk memastikan penis Santo bisa masuk ke dalam.

Pelan-pelan dia menurunkan tubuhnya, coba merasakan penis Santo masuk ke dalam vaginanya. "Aaaauuu....," terasa perih ketika penis Santo menerobos. Rasa perih itu mengingatkannya akan kejadian waktu pertama dulu. Shinta tidak pernah melakukannya lagi setelah kejadian itu. Tapi kini, rasa perihnya masih kalah dengan kepedihan hatinya. Shinta membenamkan penis Santo lebih dalam.

"Aaahhhh....," ketika Shinta membenamkan semua penis Santo. Sementara Santo tidak memberikan reaksi apa-apa. Dia merasa kali ini dia yang sedang diperkosa. Pelan-pelan Shinta mengangkat panggulnya, namun tak sengaja malah membuat penis Santo terlepas. Shinta pun coba memasukkan kembali.

Shinta mengulang prosesnya dari awal, hingga kemudian dia bisa menemukan ritmenya. Pelan namun pasti, Shinta mulai merasakan kenikmatan bercinta. Kenikmatan ketika penisnya disodok penis dengan kesukarelaannya. Dia mengangkat panggulnya, lalu memaju-mundurkan, dia bisa merasakan geli dan kenikmatan menjadi satu.

Dulu, dia seringkali membayangkan adegan ini. Dan kini dia baru tahu apa rasa sesungguhnya. Tanpa sadar, dia pun terengah-engah. Shinta juga mengeluarkan erangan erotis. Sementara Santo hanya pasrah terlentang.

Shinta kemudian mengambil tangan Santo dan memintanya untuk meraba payudaranya. Santo dengan terpaksa mengikuti keinginan Shinta. Dia meraba dan meremas payudara Shinta, sedangkan tubuh Shinta tak berhenti memompa penisnya.

Jika saja yang di atas tubuhnya adalah Tante Dona atau Sasha, mungkin ceritanya akan lain. Santo bisanya dengan rakus melumat payudara itu. Tapi Shinta, Shinta adalah perempuan yang kali ini punya alasan berbeda. Santo tak kuasa melakukannya.

Shinta tak peduli dengan Santo. Dia mengejar orgasmenya sendiri, hingga pada saat memuncak, Shinta menggoyang panggulnya lebih keras dan cepat, dia akan mencapai puncaknya. "Oooooohhhhhh......Santo sayangggg.....," Shinta langsung ambruk di atas dada Santo.

Nafasnya tersengal-sengal. Matanya nanar. Rambutnya tambah acak-acakan. Dia memeluk erat Santo. "Ternyata ML itu enak banget ya, pantesan kamu dulu tega-teganya ambil perawan aku. Atau sekarang kamu bisa ML sama siapa aja," ujar Shinta di wajah Santo sambil tersenyum.

Santo hanya diam. Dia sendiri belum orgasme, tapi dia tidak berniat untuk mendapat orgasmenya. Dia hanya diam melihat Shinta. Hingga Shinta beringsut ke samping, Santo bergeming.

"Kok kamu diam aja? Nggak enak ya mainnya? Aku kurang liar ya?," tanya Shinta.
"Aku sekarang bisa ngerasain gimana rasanya diperkosa. Mungkin dulu kamu seperti ini juga ya, tidak mau tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bisa ngerasain Shin. Aku minta maaf," ujar Santo dingin.

"Kok kamu ngomongnya begitu? Kita kan cuma ML doang. Gak ada yang lain, gak ada pembalasan, gak ada rasa sayang, cuman ML," ujar Shinta.
"Nggak Shin. Aku bisa bedain sekarang, mana yang ML doang mana yang ML pakai rasa sayang atau marah. Kamu pakai emosi, entah sayang atau marah. Aku bisa ngerasain," balas Santo.
"Ya udah, jadi kamu percaya kalau aku sayang kamu?" Ujar Shinta.
"Yang tadi itu perasaan sayang atau pembalasan dendam?" Tanya Santo.

"Gimana bedainnya To? Bukannya itu satu paket? Sama seperti mata uang yang punya dua sisi. Aku sayang sekaligus dendam? Itu aku, bukan Sasha atau perempuan lainnya. Itu aku, Shinta yang punya sayang dan marah sama kamu," ujar Shinta.
"Jadi kamu menghancurkan aku sekaligus menjaga aku? Bagaimana bisa?" Tanya Santo.

"Kenapa gak bisa? Semua yang ada di dunia ini pasti punya lawannya, kebalikannya, antitesisnya, untuk menjaga keseimbangan. Dan satu lagi To, semua hal juga ada prosesnya. Kamu melihat aku hanya dari sisi pandang kesakitan saja. Aku mau menghancurkan kamu. Untuk menghancurkan kamu ada proses yang harus dijalani, kamu tidak langsung hancur. Ketika proses penghancuran itu berjalan, proses menjaga kamu, rasa sayang, juga berjalan sadar atau tidak sadar. Begitupula sebaliknya," ujar Shinta.

"Lalu apa yang kamu cari dari aku?" Santo semakin bingung dengan Shinta.
"Kita jalani saja, nanti juga akan tahu apa yang aku cari? Bukannya kamu ini sekarang dalam posisi pasrah, kosong, hampa, berhenti, dari semua duniamu? Kamu memang butuh diam sejenak, dan aku akan menemanimu," jelas Shinta.

"Hhhmmmm.....kenapa bisa jadi sekompleks ini Shin?"
"Tidak kompleks. Kamu resapi saja apa yang kamu rasakan saat ini. Kamu rasakan keputus asaan kamu, kamu nikmati kesakitan kamu. Tapi sebenarnya ada proses kebahagiaan juga yang berjalan. Apakah nanti kita akan terus bersama-sama, waktu yang akan membuktikannya," jelas Shinta lagi.

"Dah sekarang kamu peluk aku, yang mesra," ajak Shinta. Sejenak Santo merasa canggung untuk memeluk Shinta, namun ia coba menuruti perkataan Shinta. Dia meraih kepala Shinta, merangkulnya, dan mencium kening Shinta.

Ada getaran hebat yang muncul dalam perasaannya. Selama ini Santo tidak pernah merasakan getaran itu, seperti sengatan listrik yang menyentak seluruh tubuhnya. Inikah yang namanya perasaan? Entah itu sayang atau benci? Santo coba menerka. Bagaimana bisa saat mencium kening Shinta dia bisa mendapat hal seperti itu? Ketika berciuman dengan Tante Dona atau Sasha tidak ada rasa seperti itu. Bahkan ketika mencium Shinta dulu pun tidak ada rasa yang dia rasakan tadi. Padahal itu hanya kecupan di kening. Bagaimana bisa?

Santo bertanya dalam hatinya. Dia ragu untuk menanyakan apa yang dialaminya kepada Shinta. Sehingga dia hanya diam saja dan memeluk erat tubuh Shinta. Shinta pun tersenyum.

Musim panas di Melbourne sudah hampir selesai. Sebentar lagi akan jatuh Valentine Days. Shinta memutuskan untuk tetap berada di apartemen Santo hingga perayaan itu. Sesekali dia mengunjungi saudaranya hanya untuk memberi tahu kalau dia baik-baik saja selama menginap di rumah temannya. Kadang kala dia ditemani Sasha, tapi sering juga dia ditemani Santo.

"Gue ngelihat Santo sekarang berubah ya Shin? Ada yang beda kayaknya ya? Apa ya?" ujar Sasha kepada Shinta seusai menemui keluarga Shinta.
"Beda apanya Sha?" Tanya Shinta.
"Beda, kayanya dia punya nyawa sekarang. Ada yang hidup, dulu dia seperti nggak punya nyawa, mati, putus asa. Berarti elo bener-bener kasih sesuatu yang positif buat dia. Elo hebat Shin," ujar Sasha.
"Ha ha ha, masa? Baguslah kalau begitu?" Ujar Shinta. "BTW elo akan terus tinggal di apartemen Kevin. Dah hampir dua minggu elo di sana, kenapa nggak balik aja ke tempat Santo?" Tanya Sasha.

"Masa gue balik ke sana lagi. Mending gue cari apartemen sendiri aja. Gue udah ada beberapa tempat kok yang gue anggap layak, tinggal tunggu kosongnya aja, nanti gue pindah," ujar Sasha.
"Kenapa gak mau balik Sha?" Tanya Shinta.
"Ya di sana kan ada elo. Masa gue ikut nimbrung. Keenakan Santo dong bisa three some, ha ha ha ha," canda Sasha.

"Iya ya keenakan dia. Tapi gue belum pernah tuh Sha, boleh juga dong nyobain," balas Shinta dengan datar.
Sasha menoleh ke arah temannya, apakah pernyataan itu serius atau hanya becanda saja. Tapi dia menganggapinya dengan bercanda. "Ha ha ha, kenapa lo? Gak puas sama Santo?"

"Iya," Shinta tetap datar ekspresinya.
"Ini serius nih, elo gak puas terus mau nyoba three some?" Giliran Sasha yang terpancing.
"Ha ha ha, becanda lagi. Puas gak puas, gue sebenarnya gak tahu Sha. Gue ini gak punya pengalaman selain sama Santo. Makanya kadang-kadang gue cuma penasaran sama fantasi gue. Apalagi kalo inget cerita elo, jadi semakin penasaran. Gimana ya bisa kaya gitu, orgy," ujar Shinta.

"Kalo cuma penasaran doang mendingan gak usah Shin. Rasanya sama aja kok," balas Shinta.
"Iya, elo bisa ngomong begitu karena elo udah pernah, nah gue kan belom. Tetap aja penasaran jatohnya," balas Shinta.

"Shinta-Shinta. Jangan deh," ujar Sasha.
"Tapi elo bisa kan, orgy?" Tanya Shinta.
"Ya kalo gue mah jangan dijadiin patokan," balas Shasa.
"Terus kenapa, gue gak boleh?," tanya Sasha.
"Ya nggak bolehlah, elo anak baik. Masa gue rusakin. Gue juga gak bakal ngijinin Santo ngeruskin elo Shin."
"Loh kok gitu. Emang anak baik gak boleh jadi jahat, anak jahat gak boleh jadi baik. Bukannya setiap orang punya kesempatan yang sama untuk jadi baik atau jadi jahat?"
"Wah ternyata otak lo lebih korslet dari gue Shin. Kacau lo. Santo tahu kalau elo ternyata korslet?"
"Dia tahu, tapi dia nggak bisa memahami kekorsletan gue. Kapasitasnya terbatas, dan dia hanya sibuk dengan kekorsletan hidupnya sendiri," ujar Shinta.
"Hua ha ha ha ha.....," Sasha tertawa keras. Dan Shinta pun ikut tertawa.
 
Sore itu Sasha ikut pulang ke apartemen Santo. Sasha ingin mengambil beberapa barang yang dibutuhkan. Dalam perjalanan, Shinta bercerita tentang rencana kepulangannya ke Jakarta pada musim gugur nanti. Dia sempat berpesan kepada Sasha untuk titip Santo. Bahkan dia meminta Sasha untuk kembali tinggal di apartemen Santo jika dia kembali ke Jakarta. Shinta merasa lebih tenang jika ada Sasha di apartemen Santo. Shinta percaya dengan Sasha tapi Sasha tidak langsung mengiyakan permintaan Shinta.

"Santo, ada tamu dateng..," ujar Shinta ketika membuka pintu apartemen.
Santo yang berada di kamar langsung menghampiri teriakan Shinta. Begitu melihat Shinta datang bersama Sasha, penasaran Santo langsung hilang. "Wah kalo itu mah bukan tamu, dia itu anak ilang yang kabur dari rumah," ujar Santo.

"Tuh kan Sha, elu bukan tamu. Elo itu anak ilang, artinya elo bagian dari apartemen ini. Jadi nanti elo harus balik lagi nemenin Santo kalo gue dah balik ke Jakarta. Boleh kan To?" Ujar Shinta.
"Loh kamu mau balik kapan Shin?," Santo merasa belum diberi tahu Shinta tentang rencananya.
"Mungkin akhir bulan ini sayang, kenapa? Bakalan kangen ya?" Goda Shinta ke Santo.
"Ooo, kok gak ngasih tahu."
"Loh ini ngasih tahu," balas Shinta.
"Iya, aku kira kamu ngasih tahu aku duluan," balas Santo.
"Oo, jadi kamu cemburu, aku kasih tahu Sasha duluan di banding kamu. Tenang aja Santo sayang, aku gak ada perasaan apa-apa sama Sasha kok," canda Shinta.
"Hua ha ha ha, rasain lo To. Kena batunya sekarang lo," timpasl Sasha.

Sasha langsung masuk ke dalam bekas kamarnya. Tapi dia heran karena kamarnya tidak ada yang berubah, masih seperti dulu. "Lo gak pakai kamar ini?" Tanya Sasha ke Shinta yang ikut masuk ke kamar.
"Nggak, gue sempet taro pakaian di lemari. Tapi akhirnya gue pindahin ke kamar Santo, biar lebih praktis," ujar Shinta.
"Iya ya, ngapain elo bedua pakai dua kamar. Salah pertanyaan gue," ujar Sasha.
"He he he..."

"Eh Sha, sekarang aja elo langsung pindah ke sini. Lagian lebih rame kalo ada elo," ujar Shinta yang sedang mengambil barang-barangnya.
"Ih ogah, ntar gue denger elo lagi oh yes oh no, gue cuma blingsatan sendiri," ujar Sasha.
"Ya elo langsung masuk aja. Kan gue dah bilang tadi, asyik ya kalo three some," goda Shinta.
"Ah emang elo dah niat pengen coba gituan ya, ha ha ha," ujar Sasha.

Mereka tertawa bersama. Shinta bahagia bisa saling berbagai dengan Sasha. Bahkan Shinta tidak lagi cemburu seperti saat dia datang pertama kali. Dia bisa merasakan bahwa Sasha adalah perempuan yang tangguh. "Nih Shin, kalo elo kurang puas, elo pake ini aja," ujar Sasha sambil menunjukkan dildo simpanannya.

"Iih apa tuh Sha?," Shinta penasaran. Sasha kemudian memberikan benda itu dan menjelaskan fungsinya. Sasha menyebutkan bahwa dildonya bisa bergetar dan membuat gerakan memutar.
"Ooo, pantesan elo santai-santai aja. Punya ini ya. Gede Sha...," ujar Shinta takjub.

"Ha ha ha ha, buat elo aja deh. Anggap aja hadiah dari gue," ujar Sasha. "Inget ya, kalo abis pakai, cuci yang bersih, pakai alkohol. Simpen lagi di tempatnya," tambah Sasha.
"Ah coba ah," ujar Shinta langsung mengangkangkan kakinya sambil duduk di atas kasur.
"Gila lo ya," ujar Sasha. Tapi Shinta malah melakukan gerakan erotis sambil memaju mundurkan dildo itu di depan vaginanya yang masih terbungkus celana pendek sambil tertawa.
"Santo, cewek lo gillaaaa....," teriak Sasha memanggil Santo.

Mendengar Sasha teriak, Shinta semakin menjadi menggoda Shinta. Dia menghampiri Sasha yang sedang membereskan barang-barangnya. Shinta lalu menarik tubuh Shinta hingga terjatuh terlentang di atas kasur. "Sekarang elo gue perkosa!," ujar Shinta pura-pura serius.

"Ooohhh....mau dong....," Sasha membalas menanggapi Shinta. Tanpa ragu-ragu, Shinta langsung menyergap tubuh Sasha. Dia menggerayangi tubuh Sasha. Sampai Sasha merasa kegelian dan tertawa terbahak bahak. "Santooo...cewek lo gokil....," Shinta terus teriak.

Shinta tambah gila lagi. Kali ini dia meraba vagina Sasha. "Shinttaaaaa....elo gilaaaa....," Sasha berusaha merapatkan pahanya. Namun Shinta berusaha merenggangkan paha Sasha. Shinta kemudian menggesek-gesekkan dildo di atas selangkangan Sasha. Sasha sampai tak kuat tertawa dan ngos-ngosan sendiri.

"Ampun Shin, ampun ...," Sasha menyerah dengan candaan Shinta, dan Shinta pun menghentikan aksinya. Mereka tertawa bersama sambil berbaring berdampingan. "Gila lo Shin, ha ha ha," ujar Sasha.

"Eh kok meki gue jadi gatel beneran nih," ujar Sasha.
"Nah lo, terus?," Shinta yang merasa berhasil mengerjai Sasha.
"Ya elo tanggung jawablah...," ujar Sasha yang gantian meraih tubuh Shinta.
"Iiihhh... Ada Santo tuh...minta Santo sana," Shinta berusaha berontak.
"Gak mau sama Santo. Sama elo aja," Shinta sudah menduduki Shinta yang terlentang. "Sekarang elo yang gue perkosa!" Ujar Sasha.

Kali ini sepertinya Sasha tidak benar-benar bercanda. Dia meraba payudara Shinta yang masih terbalut kaos. Shinta menanggapi candaan Sasha dengan erangan-erangan erotis. Tapi sebenarnya, Shinta juga mulai menikmati rabaan Sasha.

"Sha udah Sha, nanti gue pengen beneran," pinta Shinta menyudahi candaan mereka.
"Ya udah sekalian aja, dari tadi kan elo mancing gue mulu," balas Sasha sambil terus menggerayangi payudara Shinta. Bahkan Sasha kemudian meraba payudara Shinta dari balik kaosnya. Dia mengangkat kaos Shinta, sehingga payudara yang masih terbungkus bra krem terlihat jelas.

"Hhhmmm toket....," ujar Sasha mendesis, memancing gairah Shinta. Sasha meremas halus payudara yang masih terbungkus bra itu, namun tak lama kemudian dia langsung menyingkap bra Shinta dan meraup payudara Shinta. Dia meraba, dan memilin putingnya.

Dua puting langsung dia kerjakan sekaligus. Shinta tentu saja blingsatan. Namun dia langsung sadar bahwa yang memancing birahinya adalah Sasha, sesama perempuan. "Sha...udah...Sha...," pinta Shinta memelas.
"Udah elo nikmatin aja, kan elo yang penasaran," balas Sasha.
"Udah Sha, gue belum pernah...," Shinta terus merajuk, meski desahannya tidak berhenti.
"Gue juga belum pernah Shin. Ini pertama kalinya gue sama perempuan," balas Sasha.

Sasha langsung menghisap puting Shinta. Sebagai sesama perempuan, dia tahu titik-titik mana yang langsung membakar gairah seorang perempuan. Maka tak ayal Shinta kelabakan.

Tak puas menghisap puting Shinta, tangan Sasha menyusup ke balik celana Shinta. Tangannya langsung menuju vagina Shinta. Jari-jarinya melewati bagian kasar di bawah pusar, dan terus mencari belahan di bawahnya. Shinta mendesis ketika satu jari Sasha melintas di atas klitorisnya.

"Aaaahhhhh..... Sha...." Sasha menambah frekuaensi ransangan di bagian sensitif Shinta. Tidak hanya satu jari, jari tengah dan jari telunjuk berkolaborasi memberi ransangan pada klitoris Shinta. Dua jari itu menekan dan menjepit tonjolan daging lunak di atas lubang vagina Shinta. Sementara itu lidahnya mengulum puting Shinta.

"Shaaaaaa.......sssshhhhsssss....," Shinta terus mendesis keenakan. Melihat Shinta yang menikmati rangsangan itu, Sasha memberi kode agar Shinta melepaskan semua pakaiannya. Serta merta Shinta bangkit dan melepaskan pakaiannya. Sasha pun tidak mau kalah, dia juga melucuti satu persatu pakaiannya.

Shinta yang selesai lebih dulu, langsung rebah kembali di atas kasur, sedangkan Sasha mengambil dildo yang tadi jadi barang candaan mereka. Sambil memegang dildo, wajah Sasha menghampiri vagina Shinta. Lidahnya menjulur membelai rekahan labia mayora Shinta.

"Ooooo......shit...., enak Sha," Shinta berkomentar dengan mata terpejam. Sasha memberikan servis yang maksimal. Dia tahu bagian mana saja yang menjadi titik sensitif perempuan. Setelah lidahnya menekan klitoris Shinta berkali-kali, akhirnya dia memasukkan dildo ke dalam vagina Shinta.

"Oooohhhhh....," Shinta mendesis lagi. Perlahan dildo itu dibenamkan. Sasha tahu sensasinya vagina ketika disumpal dildo yang besar. Dia memasukkan pelan-pelan, selain untuk menghilangkan nyeri, juga untuk memberi kesempatan pada syaraf seks di vagina bekerja maksimal.

Sasha mencabutnya perlahan dan berusaha tetap tidak terlepas. Sasha kemudian mengkombinasikan sodokan dildo itu dengan hisapan di puting Shinta. Mulutnya berganti-gantian menghisap dan menjilat puting Shinta. Dan sodokan dildonya pun mulai semakin cepat.

Shinta tersengal-sengal dengan gairah yang besar. Tubuhnya seakan-akan tidak mampu menahan semua gejolak seks yang dimunculkan oleh Sasha. Puncaknya adalah ketika Sasha menyalakan mode getar dan gerak dildo itu. Shinta semakin blingsatan.

"Sssshhhaaaaa.....," Shinta tahu tahu lagi harus berbuat apa. Puncaknya adalah ketika Shinta menarik kepala Sasha dari payudaranya dan wajahnya didekatkan ke wajahnya. Shinta langsung menyosor bibir Sasha. Dia tak peduli kalau dia mencium perempuan. Birahinya sudah hampir sampai, dan dia butuh penyaluran emosinya.

"Hhhhppphhheeeeppphhh...pphheepp...," hanya suara itu yang keluar dari mulut keduanya ketika tangan Shinta memeluk erat tubuh Sasha, dan badannya menengang. "Hhhhhaaaaahhh.....," Shinta melepaskan cimumannya di bibir Sasha. Lega rasanya semua birahinya terlampiaskan.

"Gila, enak banget Sha," Shinta tersengal-sengal. Dia mengatur nafasnya perlahan, sedangkan Sasha masih menindih tubuhnya. "Sekarang gantian elo," ujar Shinta.

Sasha pun bangkit dari posisinya. Dia langsung mengarahkan selangkangannya yang sudah basah di atas mulut Shinta. Shinta tahu apa yang diinginkan Sasha. Lidahnya menjulur menjangkau belahan vagina Sasha.

Sasha menurunkan sedikit panggulnya, agar usapan lidah Shinta terasa oleh titik-titik syaraf seks vaginanya. Ketika lidah Shinta terasa di vaginanya, Sasha merangsang sendiri payudaranya. Kedua tangannya meraba payudaranya.

Sekilas Shinta melihat aksi Sasha. Tangannya bersusah payah untuk menjangkau payudara Sasha sambil tetap menjilat vagina. Shinta belum berpengalaman, sehingga remasan di payudara Sasha terkesan asal saja. Sasha memandu tangan Shinta.

"Iya begitu Shin," ujar Sasha ketika Shinta melakukan tugasnya dengan benar. "Eeemmmppphhhhh...," Sasha menahan erangan suaranya sendiri. Tahu jika lawan mainnya kurang jam terbang, Sasha bangkit dan berganti posisi menjadi terlentang di kasur. Dengan posisi ini Shinta lebih mudah untuk memuaskan dirinya.

Shinta meneruskan pekerjaannya, mengorek vagina Sasha dengan lidahnya. Tangannya kembali meraba payudara Sasha. Dan kali ini, Shinta melakukan tugasnya lebih leluasa. "Shin masukin jari lo ke memek gue," pinta Sasha.

Shinta menyanggupi permintaan itu. Telunjuknya menerobos vagina Sasha yang sedikit terbuka. Terasa basah sekali, dua kali tusukan, Sasha minta Shinta mengganti jarinya dengan jari tengah. "Pake jari tengah lebih enak Shin," ujar Sasha.

Terus saja Shinta mengocok vagina Sasha engan jari tengahnya, dan dia berprovisasi dengan mengulum puting payudara Sasha. Shinta mencontoh apa yang dilakukan Sasha kepadanya tadi. "Ooooohhhhhh.....anjrit enak isapan lu Shin," ujar Sasha menyemangati Shinta.

Shinta mengagumi payudara Sasha yang lebih besar darinya. "Toket lo montok Sha, lebih empuk dari punya gue," ujarnya di sela-sela perpindahan isapan puting.

"Sabar sayang, nanti Santo yang bikin toket lo gede," ujar Sasha sambil terpejam menikmati semua birahinya. Shinta terus menyodok dan mengulum puting Sasha. Sampai dia sendiri sebenarnya ikut terangsang.

"Shin, pake dildo," pinta Sasha.
"Belum dicuci Sha."
"Gak apa, bekas lo ini," balas Sasha. Shinta langsung mengambil dildo yang ada di atas kasur. Dia memasukkan dildo itu perlahan, sama ketika Sasha memasukkan ke vaginanya tadi.

"Oooohhhhh.....," Sasha melenguh ketika dildo itu dilumat vaginanya. Shinta kemudian mengocok vagina Sasha dengan dildo dengan perlahan. Tangan Shinta yang lain kemudian meraba payudara Sasha. Shinta gemas dengan bentuk payudara Sasha yang menggiurkan laki-laki, sehingga dia meremasnya.

Shinta kemudian mengganti tangannya dengan lidahnya. Dia mengulum puting Sasha. Namun tak berapa lama kemudian Sasha meminta Shinta untuk menjilat klitorisnya. Maka Shinta pun menjilat klitoris Sasha.

Sasha menikmati apa yang dilakukan Shinta. Dan dia meminta rangsangannya ditambah. "Shin, nyalain vibratornya. Terus elo tetep jilatin itil gue dong," pinta Sasha. Sasha langsung berimporviasasi. Setelah menyalakan mode bergetar, dia mendiamkan dildo itu tertanam di vagina Sasha. Lidahnya tetap menjilat klitoris Sasha, sedangkan kedua tangannya memilin puting Sasha. Hasilnya, Sasha kelojotan.

"Ooooohhhhh Shiiinnnn...... Elo pinter....," ujar Sasha. Shinta terus memanjakan klitoris dan kedua puting Sasha. Dan tak lama kemudian, badan Sasha menegang, melengkung, dan orgasme. "Oooooooooo.......sshhiiitttt.......," Sasha melolong keenakan.

Nafasnya tersengal, dan tangannya langsung mencabut dildo yang masih tertanam. Shinta rebah di samping Sasha, menatap sahabatnya yang sedang menikmati orgasme. "Makasih ya sayang...," ujar Sasha sambil membelai pipi Shinta. Shinta tersenyum manis.

Kedua perempuan itu mendapatkan pengalaman baru. Sasha, meski sudah malang melintang dalam urusan seks, namun dia belum pernah mencumbu dan dicumbu oleh sesama perempuan. Sedangkan Shinta, baru dua minggu terakhir melakukan aktivitas seks secara rutin bersama Santo. Dan dia langsung mendapat pengalaman yang lebir liar bersama Sasha.

"Eh sayang, kamu ngapain di situ. Nonton live show ya," Shinta memergoki Santo yang ternyata sudah memindahkan kursi di depan pintu kamar Sasha menyaksikan aksi Sasha dan Shinta.

Sasha yang baru sadar Santo melihat aksinya langsung berusaha menutupi tubuhnya dengan bantal dan guling. Sedangkan Shinta bangkit menghampiri Santo.

"Kamu kenapa gak gabung aja? Yuk sini," ajak Shinta.
"Gak ah. Kalian berdua ternyata..." Santo tidak berani meneruskan kata-katanya.
"Apa? Lesbi? Biseks? Kita cuma cari pengalaman berbeda aja kok. Gak sampai pakai perasaan," ujar Shinta yang kemudian memeluk Santo meski tubuhnya masih telanjang.

"Kamu gak pengen dilayani dua perempuan? Yuk sini gabung," tangan Shinta sambil bergelayut di leher Santo. Santo tak bisa mengelak ketika Shinta menarik dirinya untuk masuk ke dalam kamar.

"Kok elo tutupi Sha, kenapa?" Shinta heran melihat Sasha yang menutupi tubuhnya dengan kain yang ada.
"Malu tahu," ujar Sasha yang mukanya merah.
"Malu? Inikan Santo," ujar Shinta.
"Iya Santo. Santo kan cowok lo," ujar Sasha.
"Ha ha ha ha...," Shinta malah tertawa.

"Kok elo malah ketawa Shin?"
"Ya iyalah. Gue baru dua minggu dateng ke sini. Padahal sebelum gue ke sini, elo berdua fine-fine aja," ujar Shinta.
"Ya bedalah. Sekarang dia punya elo. Meski dia sahabat gue, tapi dia cowok lo," ujar Sasha.

"Ha ha ha. Ya udah gini ya. Gue memang sayang sama Santo. Kita mungkin memang pacaran, meski gak ada kata-kata jadian. Tapi gue juga tahu kalo elo berdua sahabatan dari lama. Gue beruntung ketemu elo Sha. Gue bisa percaya sama elo. Nah nanti, kalo gue pulang ke Jakarta, gue pengen elo bantu gue, jagain Santo. Santo, kamu cuma boleh ML sama Sasha ya, nggak boleh sama yang lain. Sha, tolong ya, kalo cowok gue lagi butuh elo kasih ya, kan elo bedua dah sahabatan dari lama," ujar Shinta setengah bercanda.

"Iiiih apaan sih lo Shin," ujar Sasha.
"Iya, kenapa juga begitu?" Santo coba membantah Shinta yang duduk di kasur.
"Ya terus gimana? Kalo kamu lagi kepengen apa kamu onani terus? Kan pasti pengen ngerasain meki juga kan? Nah dari pada aku gak tahu kamu sama perempuan lain, mending kamu sama Sasha aja. Dah jelas, aku tahu siapa orangnya. Dan aku percaya sama Sasha ini," jelas Shinta

"Iiih kayaknya nggak gitu deh Shin, gue mendingan cari yang lain. Maaf ya To," balas Sasha.
"Iya, Sha. Gue juga mending onani sendiri aja kalo emang gue gak boleh sama perempuan lain," timpal Santo.

"Iya-iya. Gue ngerti kalian gak mau nyakitin gue. Atau kalian ternyata sudah punya batas masing-masing. Terserah kalian. Tapi kalau suatu saat kalian ngelakuin, aku gak akan marah. Dan gak usah ditutup-tutupi ya," ujar Shinta. "Kamu sini To, tidur di samping aku," Shinta mengajak Santo rebahan di sampingnya sedangkan Sasha di sisi yang lain.

"To gue mau tanya sama elo deh?" Sasha membuka ganjalannya.
"Apa Sha?"
"Elo sayang sama Shinta?"
"Mungkin. Gue belum tahu," ujar Santo.
"Iya gak apa. Elo beruntung To. Ada orang yang cinta sama elo To. Bukannya dah lama elo nyari orang yang bener-bener sayang sama elo?"
"He he he, sejujurnya gue masih bingung Sha. Sinta ini bener-bener sayang sama gue apa dia mau balas dendam? He he he," ujar Santo.

"Kamu kok masih belum percaya kalau aku sayang kamuuuu Santo," ujar Shinta sambil mencubit badan Santo. Santo yang mengelak malah membuat Shinta berusaha menguasai tubuh Santo. Shinta yang telanjang pun menduduki tubuh Santo.

"Nih kalo nggak percaya aku sayang kamu," ujar Shinta yang langsung melumat bibir Santo. Sambil mencium Santo, Shinta kemudian berusaha membuka kaos Santo. Kaos itu dengan mudah dilepas karena Santo membantunya. Tak puas dengan kaos, Shinta melucuti celana Santo. Sehingga dalam sekejap, Santo sudah bugil.

Shinta mencumbu tubuh Santo seperti yang dia lakukan setiap malam selama dua minggu itu. Dia tak peduli jika di sampingnya, Sasha memperhatikannya. Shinta langsung saja mengulum penis Santo agar segera ereksi.

Setelah ereksi, Shinta memasukkannya ke dalam vaginanya. Dia memompa pelan. Namun perlahan gerakannya semakin cepat, naik-turun, maju-mundur. Gerakan tubuh Shinta terlihat erotis bagi Sasha. Terpancing dengan adegan itu, Sasha bangkit dan menghampiri Shinta. Sasha mencium bibir Shinta dengan lembut. Tangannya meraba payudara Shinta. Shinta benar-benar memacu birahinya dengan cepat. Dia ingin segera mendapatkan orgasmenya.

Tapi kemudian Sasha menempatkan selangkangannya tepat di atas wajah Santo. Dia ingin vaginanya juga mendapatkan pelayanan. Maka Santo langsung menjulurkan lidahnya mencari vagina Sasha yang sudah dia hapal.

Santo kini melayani dua perempuan di atas tubuhnya. Lidahnya menjilat klitoris Sasha, penisnya menyelusup ke vagina Shinta. Sedangkan, dua perempuan di atasnya saling mencumbu. Mereka saling meraba payudara lawan mainnya, dan bibir mereka berciuman.

Shinta yang awalnya ingin cepat-cepat mendapat orgasme malah ingin menikmati rasangan itu lebih lama. Sejenak dia menghentikan goyangannya di atas penis Santo. Dia lebih fokus mencumbu payudara Sasha. Tapi usahanya gagal, rangsangan di semua titik sensitif membuatnya dia tak bisa menahan birahinya.

Panggulnya maju mundur lagi, dan langsung lebih cepat. Ciumannya di bibir Sasha pun semakin kuat. Sasha tahu jika Shinta akan segera mendapatkan puncaknya, dan dia membantu dengan memilin-milin puting Shinta.

"OoooooooooOhhhhhhhhh.....," Shinta akhirnya orgasme. Sasha langsung memeluk Shinta dengan erat. Ciuman mereka terlepas, tapi Shinta mendapatkan kehangatan dari pelukan Sasha. Sejenak kedua perempuan itu tersenyum.

Di bawah, Santo tidak peduli dengan yang terjadi pada kedua perempuan itu. Penisnya yang butuh oragasme tetap menyodok-nyodok vagina Shinta. Lidahnya juga menerobos klitoris Sasha. "Tooo....," Sasha protes karena Shinta baru saja mendapatkan orgasmenya. Namun Santo terus mengerjai klitoris Sasha. Akibatnya, Sasha juga ingin menyusul Shinta.

"Oohh...oohhh...oohhh...," Sasha meraih tangan Shinta dan menempatkan di payudaranya. Shinta tahu jika Sasha juga segera ingin orgasme. Tak hanya Sasha, Santo juga sudah tak sabar untuk menyemprotkan spermanya. Pinggul Santo menyodok keras berbenturan dengan pantat Shinta. Maka giliran Shinta yang melayani sahabat dan pacarnya.

Panggulnya ikut naik turun, bibirnya mencium liar bibir Sasha, dan tangannya memilin kedua puting Sasha. "Ooooooohhhhhhhh....," Sasha melepaskan ciumannya dan melenguh keras. Lidah Santo benar-benar membuatnya orgasme.

Sementara itu Santo menghentak kuat panggulnya. Meski tidak mengeluarkan erangan karena mulutnya tertutup labia mayora Sasha, Shinta tahu jika Santo orgasme. Dia merasa senang bisa membuat kekasihnya meraih kenikmatan. Akhirnya ketiga orang itu rebah di kasur melepaskan lelah. Santo terkulai di tengah antara dua perempuan, satu adalah sahabatnya dan satu lagi orang yang mencitainya.

"Gilaa...," ujar Sasha setelah gejolaknya mereda. Sedangkan Santo dan Shinta hanya tertawa. Shinta memeluk Santo.
"Shin kok sekarang elo yang malah ancur sih. Padahal dua minggu lalu elo yang terkaget-kaget denger cerita gue tentang persahabatan gue sama Santo," Sasha menyelidik perubahan drastis Shinta.

"Ya gimana Sha? Elo berdua bertolak belakang sama gue, tapi gue sayang Santo. Sekarang gimana gue bisa memahami Santo, kalo gue masih berada di luar dunianya? Gue pengen memahaminya supaya gue bisa ajak dia keluar dari jurangnya," ujar Shinta.

"Tapi itu cara yang ekstrim Shin. Elo sebenarnya gak perlu harus ikut-ikutan. Bukannya kadang kala kita justru harus di luar kubangan untuk mengangkat orang yang terjebak di kubangan lumpur? Karena bisa jadi kita sendiri yang ikut tenggelam," tanya Sasha.

"Bener Sha. Tapi Sha, meski kita di luar kubangan belum tentu kita selamat. Bahkan, bisa saja orang yang kita angkat untuk keluar malah menarik kita untuk ikut masuk dalam kubangan. Karena yang kita tolong sebenarnya tidak mau ditolong. Nah sekarang gue mau mastiin, apa yang ditolong mau keluar dari kubangan lumpurnya atau nggak? Masa meski udah sama-sama masuk dalam kubangan yang ditolong gak mau keluar juga," jelas Shinta.

"Terus gimana keluarnya kalo dua-duanya ada di dalam lumpur?" Tanya Sasha.
"Ya, sebelum masuk ke kubangan, seharusnya kita tahu ada jalan yang bisa didaki untuk keluar. Terus kalau mau lebih aman lagi, kita sudah ikatkan tubuh kita dengan tali. Jadi kalau mau keluar tinggal menarik tali itu," tambah Shinta.

"Hhhmmm....tetep ekstrim Shin," Sasha menghela napas.
"Iya, abis yang gue mau tolong ekstrim sih," ujar Shinta.
"Iya ya. Ngerti gak lo To?" Sasha mengalihkan pertanyaannya ke Santo.
"Setengah-setengah," ujar Santo lugu.
"Ha ha ha. Kan gue dah bilang Sha, kapasitasnya dia terbatas. Jangan kasih muatan yang banyak. Dia sibuk menjaga kepalanya supaya tetap di atas lumpur. Belum bisa berenang," canda Sasha.

"Ha ha ha ha.....," Sasha tertawa renyah. "To elo beruntung. Elo ketemu Sasha. Orang yang benar-benar peduli sama lo. Sekarang tinggal elo. Elo mau keluar dari lumpur ini atau nggak. Jangan sia-siain dia To," ujar Sasha.

"Iya Sha. Nah elo sendiri gimana? Elo juga masih akan begini terus?" Shinta yang coba mengulik Sasha.
"Gue? Gue belum ketemu laki-laki yang kaya elo Shin," ujar Sasha.
"Lah gak mungkin elo ketemu laki-laki kaya gue. Gue kan perempuan?" Canda Shinta.
"Bukan, maksud gue, gue belum ketemu laki-laki yang datang untuk menolong atau setidaknya menyadarkan gue untuk ninggalin kubangan ini," ujar Sasha.

"Itu Doni gimana Sha?" Tiba-tiba Santo nyeletuk.
"Ha?" Sasha pura-pura tidak jelas mendengar ucapan Santo. Padahal mukanya bersemu merah.
"Nah tuh, Doni? Sahabat kalian ya?," timpal Shinta.
"Iya Shin, Doni. Aku sih curiga Sasha punya hati sama Doni. Iya kan Sha? Ngaku aja lo," tambah Santo.

"Iiihh...Santo elo nebak-nebak aja deh," Sasha coba menghindar.
"Alah gak usah malu kali Sha. Ini gue. Elo sama gue ketemu terus tiap hari, masa elo gak mau ngaku juga?," desak Santo.
"Rese lo To. Ya udah deh, sekarang Doninya mana? Dia gak dateng ke kubangan lumpur gue. Dia gak ada di sini. Dia nggak ngajak gue untuk keluar dari kubangan gue. Dia gak kaya elo Shin, yang datang ketemu orang yang elo cintai, dan ajak untuk keluar dari kubangannya," Sasha mengeluarkan isi hatinya.

Sasha menitikkan air matanya. Jauh di relung hatinya ternyata dia menyimpan perasaan terhadap Doni. Meski dia pernah bilang tidak akan memberikan hatinya kepada keempat kuartet penjahat kelamin itu, nyatanya terselip rasa untuk Doni. Dan Sasha menyimpannya dalam-dalam.

Shinta tahu jika Sasha mengeluarkan isi hatinya yang terdalam. Dia pun langsung pindah ke tengah, menggeser Santo, untuk memeluk Sasha. Tubuh dua perempuan yang masih telanjang itu berpelukan erat. Sasha menangis dalam pelukan Shinta.

"Gue sebenarnya sayang dia Shin, tapi gue gak mau kejadian yang menimpa nyokap gue terulang sama gue. Udah cukup. Gue tahu rasanya jadi anak yang gak pernah kenal bapaknya. Gue tahu rasanya disia-siain, makanya gue takut punya anak," ujar Sasha sambil terisak.

"Iya Sha," Shinta coba menenangkan Sasha. Sementara Sasha terus menangis. Semua kesakitan yang dipendam dirinya keluar. Santo hanya bisa memaklumi sahabatnya itu. Selama ini Sasha selalu memandam perasaannya terhadap Doni. Santo hanya bisa menerka-terka saja, tapi kini semuanya diakui Sasha.

"Gue ajak Doni tinggal di sini ya Sha?" Santo mengusulkan sesuatu.
"Huussshh! Kamu diem aja Santo sayang. Kamu nggak ngerti apa-apa," Shinta menghardik Santo.
"Ya terus gimana? Kan Sasha mau Doni ada di sini. Gue bisa suruh dia dateng," ujar Santo.
"Maksudnya Sasha. Doni itu datang sendiri, bukan disuruh dateng. Doni punya kesadaran untuk menolong dia," jelas Shinta sambil mengusap rambut Sasha.

"Oooooo....," Santo hanya bisa membulatkan bibirnya.
"Ooooooo....bulet!" Shinta sedikit kesal.
"Shin, gue sebenarnya gak tahu apa yang gue lakuin ini bener atau nggak. Gue punya kubangan gue sendiri. Gue datang ke sini, nyari penjahat kelamin Santo ini, karena ini cara gue untuk keluar dari kubangan gue. Gue butuh dia untuk angkat gue keluar dari kubangan gue. Tapi ternyata dia punya kubangannya sendiri. Jadi gue harus tolong dia dari kubangannya agar nanti dia tolong gue dari kubangan gue. Gue cuma berharap menjaga tali pengaman gue supaya nggak putus di tengah jalan. Mudah-mudahan elo gak perlu sampe kaya gue Sha," ujar Shinta.

Sasha semakin terisak, dan Shinta memeluknya lebih erat. Santo menarik bed cover untuk menyelimuti dua perempuan yang sedang saling menjaga lewat nalurinya. Santo tidak bisa memahami sepenuhnya kedua orang itu. Dia hanya berpikir terlalu banyak labirin dalam kehidupan seseorang, termasuk kehidupannya. Mungkinkah seseorang tahu labirin itu akan membawanya kemana?

Melbourne hanyalah pelarian Santo. Metropolis modern ini sebenarnya lebih sunyi di hati Santo di banding Jakarta. Lebih dingin karena tak ada kasih sayang yang didapatnya. Namun kehadiran Shinta membalik keadaan itu. Santo mulai belajar bagaimana dia mengembalikan lagi perasaannya. Menghidupkan lagi kemanusiaannya yang dulu pernah dia miliki sebelum remaja.

Dia memulainya dengan merayakan Valentine Days bersama Shinta. Tidak ada acara yang mewah, namun Shinta membuat Santo merasa memiliki sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Rasa.

****
 
Bunyi telepon genggam berdering keras. Santo masih terlelap di balik selimut. Ia malas sekali untuk bangun dan mengangkat telepon. Dia menduga telepon itu dari Shinta, karena biasanya Shinta mengabsen dirinya pagi, siang, malam.

Sudah hampir enam bulan, Shinta kembali ke Jakarta dan belum bertemu Santo lagi. Sedangkan Sasha memutuskan untuk pindah apartemen, tidak lagi tinggal bersama Santo. Sasha memilih hidup mandiri.

Selama enam bulan itu, Santo sebenarnya memulai sesuatu yang baru. Menata pribadinya agar lebih baik. Dia memiliki motivasi dan merasa dimiliki oleh Shinta. Namun Santo salah lagi meniti jalannya untuk keluar dari kubangan. Ketika Shinta dan Sasha tidak ada, Santo malah terjerumus menjadi pemakai narkotika.

Sasha yang mengetahui hal itu sempat marah. Dia juga marah kepada teman-temannya yang membawa Santo menjadi pemakai. "Mereka juga anak-anak Indonesia Shin. Anjing tuh mereka, bikin Santo jadi pemakai. Kayaknya harus elo yang nyadarin dia Shin. Omongan gue dah gak mempan," ujar Sasha lewat telepon ketika dia mengetahui apa yang terjadi dengan Santo.

Bahkan Sasha berharap Shinta bisa datang lagi ke Melbourne untuk menyadarkan Santo. Tapi Shinta tak bisa menemui Santo karena dia juga harus menyelesaikan kuliahnya di Jakarta. Shinta hanya bisa menjaga Santo lewat telepon saja. Mengabsen setiap waktu agar Santo terus teringat motivasinya bersama dia.

Santo menduga yang meneleponnya kali ini adalah Shinta. Shinta selalu bertanya tentang kondisi dirinya. Sudah hampir satu bulan ini Santo selalu bertengkar dengan Shinta. Shinta tahu kalau dirinya sekarang menggunakan narkotika. Santo merasa terganggu.

"Kamu semakin dalam di lubangmu Santo. Bagaimana aku bisa mengangkatmu?" Suatu kali Shinta mengingatkan Santo.
"Shin, yang elo mau kan gue hancur. Nih sekalian gue hancur. Kenapa sih elo gak ngerelain gue mati sekalian," ujar Santo disaat dia putus asa.

Entah kenapa Santo kembali pada jurangnya lagi, padahal dia sempat merangkak naik. Sedemikian dalamnya lubang Santo hingga dia putus asa dan memutuskan untuk hidup di dalam lubang itu selama-lamanya? Santo sendiri tidak pernah berani untuk menjawabnya.

"Apa....?," Santo akhirnya mengangkat telepon itu.
"Ini mama To," suara di sebrang yang berbeda dengan suara Shinta.
"Oohhh mama. Ada apa ma? Tumben telepon? Uangnya masih ada kok," ujar Santo ketika dia tahu yang menelpon adalah mamanya. Biasanya jika mamanya telepon maka urusannya tidak lain menanyakan kondisi keuangan Santo. Apakah sudah dikirimkan uang oleh papanya atau belum.

"Bagus kalau masih ada," ujar mamanya. "Eee, begini To, ada kabar buruk. Kamu lagi baik-baik aja kan?" Tanya mamanya lagi.
"Iya, kabar buruk apa Ma?"
"Papamu ditangkap polisi," ujar mamanya.
"Ha? ditangkap kenapa ma?"
"Mama juga belum tahu. Tapi katanya penggelapan. Nah sekarang ini semuanya di sita polisi. Rumah, perusahaan, rekening papa, semua disita. Bahkan uang mama juga mau di ambil. Nah mendingan kamu selamatkan uangmu yang ada di rekeningmu. Di pindahin dulu ke rekening temanmu atau beli dollar dulu, supaya tidak disita," ujar mamanya.

"Oohh begitu. Iya mah secepatnya Santo tarik semua. Santo cairin di sini aja. Terus mama tinggal di mana sekarang?" Santo mulai khawatir dengan kondisi mamanya.
"Gampang, mama banyak teman, bisa nebeng sebentar. Sambil tunggu masalah papamu selesai," ujar mamanya.

Kabar pagi itu menyentakkan Santo. Dia pun bergegas untuk menyelesaikan urusannya. Dia segera mencairkan uang yang masih ada di rekeningnya. Dia sempat meminjam rekening Sasha untuk menyimpan sebagian uangnya.

"Gue kayaknya bakal balik ke Jakarta Sha," ujar Santo kepada Sasha setelah menceritakan yang menimpa keluarganya. Sasha pun menyetujuinya dengan harapan Santo akan lebih baik tinggal di Jakarta. Selain menyelesaikan masalah keluarganya, di Jakarta ada Shinta yang lebih memperhatikannya, sehingga Santo tidak lagi menggunakan narkoba.

Mau tidak mau Santo kembali ke Jakarta. Dia untuk sementara menghentikan kuliahnya. Setelah sampai di Jakarta, dia langsung menemui mamanya. "Ini rumah siapa ma?" Santo bertanya ketika bertemu mamanya di sebuah rumah yang jadi tempat tinggal sementara mamanya.

"Ooo, ini rumah kenalan mama. Dia tolong mama untuk tinggal di sini, selama rumah kita di sita. Kamu bisa tinggal di sini juga kok," ujar mamanya.
"Terus rumah kita? Perusahaan papa? Disita semua?," Santo seakan tak percaya, kejayaan materi keluarganya tiba-tiba ambruk.

"Iya. Bahkan papa tidak ninggalin sepeserpun buat mama. Semua hartanya diambil. Mama hidup dari pertolongan teman-teman," ujar mamanya Santo.
"Uang Santo masih ada kok ma. Cukup kalau untuk hidup beberapa bulan," balas Santo. "Terus urusan papa gimana? Apa kita kena seret juga?" Tanya Santo lagi.
"Mama gak paham soal urusan hukum To. Tapi katanya dia sewa pengacara," ujar mamanya.

Santo tahu jika mamanya sudah tidak ambil peduli dengan kondisi papanya. Sejak berangkat ke Australia, papa dan mamanya sudah hidup sendiri-sendiri, meski mereka belum memutuskan untuk bercerai. Santo pernah bertanya kenapa mamanya tidak minta bercerai jika kondisi rumah tangga mereka tidak bisa dipertahankan lagi. Saat itu mamanya menjawab menunggu Santo selesai kuliah di Australia.

"Terus mama gimana?" Tanya Santo tanpa henti.
"Kayaknya mama mau minta cerai aja To. Kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi. Mama mempertahankan pernikahan ini karena mama ingin dapat jaminan agar dia tetap membiayai kamu. Tapi sekarang, dia membiayai dirinya sendiri juga tidak mampu," jelas mamanya.

"Mama tega ninggalin papa dalam kondisi seperti ini?" Tanya Santo.
"Tapi kondisi ini juga bukan alasan mama untuk mempertahankan pernikahan kan? Mama menjaga pernikahan hanya untuk melindungi hak kamu. Kalau sekarang tanpa dia kita harus hidup, kenapa dipertahankan?" Balas mamanya.

"Orang lain mungkin melihatnya mama tega ninggalin papa dalam kondisi seperti ini. Bahkan kamu juga tanya hal itu. Tapi kalau mereka di posisi mama, mereka akan meninggalkan papa, saat kamu masih kecil dulu. Saat mama tahu kalau dia sudah menghancurkan pernikahan kami. Tapi biarlah, orang lain hanya bisa berkomentar, ini jalan yang harus mama lalui. Semua pilihan itu kini harus mama ambil konsekuensinya," tambah mamanya Santo.

"Tapi dia pernah membahagiakan mama kan? Dia pernah melindungi mama kan?," kejar Santo lagi.
"Iya, tapi kebahagiaan itu semu To. Mama hanya dibohongi saja," ujar mamanya dingin.
"Bukannya semuanya memang semu ma. Semua yang ada di dunia ini cuma ilusi saja? Bahkan kesakitan ini juga sebenarnya ilusi saja? Lalu di mana batasnya ma?," Santo bingung sendiri.

Mamanya hanya bisa mengernyitkan dahi tak bisa menjawab pertanyaan Santo. Ibu dan anak itu sama-sama merasakan kesakitannya sendiri-sendiri, namun mereka mengambil langkah masing-masing untuk mengobatinya. Santo lari dengan obat-obatan yang secara instan mampu membius dirinya dan melupakan kesakitannya. Sedangkan, mamanya mencari ilusi lain dengan mencari laki-laki yang seakan-akan mampu melindungi dirinya. Dan ketika berhadapan dengan realita yang membuat mereka kesakitan lagi, mereka lari. Keduanya tak mau mendapat kesakitan tambahan.

"Sebenarnya realita itu yang mana Shin?" ujar Santo ketika Shinta meminta Santo tidak lagi menggunakan obat-obatan terlarang setelah dia di Jakarta. Santo tidak bisa lagi membedakan mana realita dan mana ilusi. Jika semua yang ada di dunia ini hanyalah ilusi, kenapa rasa sakit dan senangnya terasa nyata. Obat-obatan itu mampu membuat Santo melompat, dari dunia realita ke dunia ilusi, atau sebaliknya.

Shinta tahu bahwa realita yang dialami Santo adalah apa yang dirasakannya sekarang. Jika saat ini terasa sakit, maka itulah realitanya, begitu pula sebaliknya. Shinta tahu bahwa kesakitan yang dialami Santo adalah karena masa lalunya. Orang bisa bilang 'masa lalu biarkanlah berlalu', tapi bukahkah masa lalu yang membentuk perjalanan kita sekarang? Kita tetap harus tetap berhadapan dengan masa lalu. Berhadapan! Bukan lari darinya. Karena masa lalu tidak boleh menghancurkan masa depan.

Kesakitan yang ada saat ini adalah akibat dari pilihan masa lalu, dan itu realita. Sama halnya ketika orang melakukan kebajikan, belajar yang rajin, menabung, maka akan menikmati kebaikan, kepintaran, dan materi yang cukup. Apakah manusia bisa memilih hanya menerima kebaikan saja, kebahagiaan saja, kekayaan saja. Sedangkan, ketika datang ketidakbahagiaan, kebodohan, kemiskinan, mereka akan lari? Bukankah itu hukum alam yang sederhana, jika ada kesakitan maka akan ada kebahagiaan, jika ada air maka akan ada api. Dunia ini diciptakan dengan keseimbangan yang sangat sempurna. Dua hal yang bertolak belakang itu bisa jalan bersama-sama dalam waktu yang bersamaan.

Kebahagiaan, kesakitan, dan semuanya yang seperti itu bukan takdir, tapi proses dari sebab-akibat. Takdir berbeda dengan hukum alam itu sendiri. Kehendak Pencipta tidak memerlukan proses hukum alam, meskipun Pencipta tetap menggunakan hukum alam agar manusia mampu memahami kehendakNya.

Lalu dimanakah batas takdir dan hukum alam itu? Mungkin batasnya tergantung dari kemampuan setiap manusia memahami apa yang harus dijalaninya. Ada pepatah ketika seseorang tidak mampu menjawab berbagai pertanyaan dalam hidupnya, maka dia akan bilang "Hanya Tuhan yang tahu." Jika sudah sampai pada batas itu, maka seharusnya kembali pada logika yang paling sederhana untuk menghadapi realita yang paling dekat, kondisi yang dia hadapi saat itu. Dan seseorang tinggal memilih, apakah dia akan menanam kebajikan pada saat itu atau kebalikannya, karena dia akan mendapat buahnya di masa depan nanti.

Shinta tahu tentang hal itu. Dia juga tahu bahwa realitanya Santo saat ini adalah penuh dengan kesakitan, tapi sebenarnya di balik kesakitan itu ada kebahagiaan. Hanya saja kebahagiaan itu masih diliputi misteri. Shinta sebenarnya mau mengajak Santo bersama-sama menyingkap misteri kebahagiaan itu. Tapi Shinta sudah pada batas kemampuannya. Kubangan lumpur Santo mencengkram kuat, hingga Santo tidak mampu untuk melakukan apa-apa.

"Kesakitanmu terlalu besar To. Mungkin aku sudah tidak bisa menolongmu. Aku mencintaimu, tapi aku juga harus hidup," ujar Shinta ketika dia putus asa dengan Santo. Kalau hanya untuk menghentikan Santo tidak menggunakan narkoba lagi, Shinta bisa melakukan banyak cara. Tapi Santo sendiri tidak bisa lepas dari pikirannya yang selalu diliputi kesakitan, putus asa, dan kebencian kepada dunia. Tak ada pertolongan yang bisa dilakukan orang lain jika yang ditolong tidak mau ditolong.

Shinta hanya bisa menahan tangisnya. Tangisnya bukan karena penyesalan karena dia gagal mengajak Santo untuk bangkit. Bukan karena penyesalan karena dia pernah ikut bersama-sama terjun ke kubangan lumpur yang sama agar sama-sama bisa bangkit. Tangisnya Shinta adalah karena keharuan terhadap dirinya sendiri. Keharuan terhadap kemampuannya yang menemukan batasnya. Perasaan cintanya yang menemukan tepinya, bahwa di titik itulah dia harus melepas. Merelakan rasa cintanya untuk tidak terwujud. Dan dia menerima semua itu dengan lapang. Karena dia sadar, dia sendiri harus hidup, seperti layaknya semua makhluk di alam semesta yang berusaha bertahan dari kematian hingga ajalnya tiba dengan sendirinya.

"Kamu harus berjuang sendiri To. Aku hanya bisa mendoakan kamu. Suatu saat kalau kita bertemu, aku cuma berharap kondisinya tidak seperti ini," ujar Shinta yang harus melepas Santo.

"Aku sudah menduga kalau kamu akan seperti ini. Kamu yang mengaku mencintai aku akan meninggalkan aku. Jangankan kamu, ibuku yang melahirkan aku saja tetap meninggalkanku. Sama seperti Sasha yang juga ditinggalkan oleh bapaknya. Aku tidak marah Shin. Sejak awal aku sudah tahu, cinta kamu hanya ilusi saja," ujar Santo.

"Aku malah bersyukur, karena justru di sinilah aku sudah menyelesaikan satu masa laluku. Aku sudah bertanggung jawab dengan kamu. Kita selesai sampai di sini. Aku senang karena aku, kamu, menyelesaikan persoalan kita. Dan kita akan melangkah pada tahap berikutnya," ujar Santo.

"Terserah dengan apapun yang kamu katakan, tapi apa yang kuberikan bukan atas dasar kebencian dan dendam. Semua karena aku punya mimpi bersama kamu. Aku punya cinta. Tapi sepertinya cintaku kurang besar untuk mengobati keakitanmu. Kamu membutuhkan cinta yang lebih besar lagi. Mudah-mudahan kamu benar-benar mendapatkan kebahagiaanmu, kalau tidak di dunia ini mungkin di kehidupan lain," Shinta tak mampu lagi berkata-kata setelah itu.

Santo meninggalkan Shinta tanpa rasa apa-apa, hambar saja. Baginya satu tahap sudah dia selesaikan. Sedangkan Shinta, mengenal lebih jauh akan dirinya. Ada batas-batas yang tidak bisa dilampaui dirinya, dan dia harus menerima itu dengan ihklas, karena itu adalah dirinya sendiri.

Santo berkelana tanpa arah. Mama-papanya kemudian benar-benar cerai. Papanya terbukti bersalah dan harus menerima hukuman penjara. Tidak hanya itu, sebagai pengganti kerugian, semua harta papanya disita pengadilan. Santo benar-benar memulai hidupnya dari nol. Sementara itu, mamanya menikah lagi dengan laki-laki lain. Santo sudah tidak peduli lagi dengan mamanya. Dia punya urusan sendiri yang harus dia selesaikan. Satu persatu dia akan menghadapi masa lalunya yang belum tuntas.

Selama hampir dua tahun Santo menjalani kehidupan tanpa arah. Ketergantungannya terhadap narkotika semakin menjadi-jadi. Bahkan dia tak lagi sebagai pemakai, dia juga bandar. Penghasilannya lebih dari cukup untuk bertahan hidup. Sampai suatu waktu dia mendengar kabar jika Sasha selesai kuliah dan kembali ke Jakarta.

"Jadi elo dah putus sama Shinta To?," tanya Sasha ketika mereka bertemu lagi.
"Iya Shin. Dia gak kuat sama gue. Sejak awal, gue memang sudah tahu kalau dia gak bakalan bisa sama gue," ujar Santo.
"Terus kehidupan elo gimana sekarang?" Tanya Sasha.

Santo pun menceritakan semua perjalanan hidupnya setelah kembali dari Melbourne. Dari perihal keluarganya, Shinta, hingga tentang kecanduannya dengan barang haram. Sasha hanya bisa geleng-geleng kepala. Sasha merasa bahwa Santo sudah sulit untuk ditolong lagi. Ketergantungannya terhadap narkotika sudah membawa dia terlalu jauh. Jauh dari keinginan Santo untuk kembali kepada niat baiknya.

"Elo gimana Sha? Eh ngomong-ngomong Doni apa kabarnya?," tiba-tiba Santo bertanya tentang Doni.
"Loh elo yang duluan dateng ke Jakarta. Emang elo gak ketemu dia?" Balas Sasha.
"Pernah, tapi waktu itu gue lagi buru-buru ada pesenan barang jadi gue nggak sempet ngobrol banyak," ujar Santo.
"Oooo, kalau elo gak sibuk dia sebentar lagi datang kok. Elo tunggu aja di sini," ujar Sasha.

Sasha bercerita jika dia sudah sebulan kembali dari Australia. Kini dia menempati sebuah apartemen yang tidak terlalu mewah namun cukup bersih. Dia juga cerita jika dia sering bertemu Doni di Jakarta. Doni sekarang sedang merintis karier di tempatnya bekerja. Ada rencana Doni akan ikut tinggal bersama Sasha.

"Oo, jadi elo pacaran betulan sama dia Sha, syukurlah. Itu yang elo mau dari dulu kan?," Santo merasa senang.
"Ha ha ha. Belum betulan To. Gue sama dia lagi penjajakan," ujar Sasha.
"Penjajakan apa lagi? Elo sama dia dah kenal dari dulu. Luar dalem, apa lagi?," balas Santo.
"Elo tahu gue kan, elo juga tahu dia. Kita tetap aja punya ketakutan masing-masing. Dan kita lagi ngukur masing-masing. Gue gak mau terus-terusan sakit, dia juga. Jadi ya kita sedang penjajakan," ujar Sasha.

"Oooo begitu. Baguslah Sha. Elo berdua beruntung Sha," ujar Santo.
"He he he, elo juga sebenernya beruntung To. Tapi elo gak mau mengejar keberuntungan lo kok," balas Sasha.

Saat mereka ngobrol itulah. Bel apartemen Sasha berbunyi, dan saat pintu dibuka ternyata yang datang adalah Doni. Santo langsung menghampiri sahabat lamanya itu. Doni kini terlihat lebih necis, lebih bersih, lebih segar.

"Apa kabarnya bro. Gile makin ganteng aja lo," ujar Santo.
"Ha ha ha biasa aja man. Elo gimana? Lama gak ada kabar, kayak menghilang aja," balas Doni.
Santo dan Doni akhirnya bicara panjang lebar. Mereka bercerita tentang Iwan yang sedang berada di Singapura dan tentang Reza yang meneruskan usaha bapaknya.
"Kalo gue sih begini aja To. Mulai dari nol. Berjuang sendiri," ujar Doni.
"Apa lagi gue Don. Gue nih gagal sama hidup gue," Santo merasa tidak bisa menandingi Doni. "Sabar man, nggak selamanya elo di bawah, roda pasti berputar," ujar Doni. "Eh gue denger kabar soal Vina, To. Katanya dia mau married sama Dimas, temen seangkatan kita. Elo denger kabar itu gak?" Ujar Doni.

"Ha? Nggak Don," ujar Santo.
"Ooo, kirain elo denger. Eh To, elo tinggal di mana sekarang?," tanya Doni mengalihkan pembicaraan.
"Ha ha ha, nomaden bro. Di mana aja gue bisa tidur," ujar Santo.
"Elo di sini aja To. Bareng-bareng. Gak apa kan Sha?," tanya Doni memastikan ke Sasha.
"Ya gak apa-apa. Tapi elo di sini juga kan?," ujar Sasha kepada Doni.
"Iya gue di sini," ujar Doni.
"Ha ha ha gak usahlah bro. Gue bisa tinggal di tempat lain. Ntar aja kalo gue lagi pengen main, ngobrol sama elo-elo, gue ke sini," ujar Santo.

Santo, Doni, dan Sasha kemudian ngobrol panjang lebar. Mereka bercerita tentang kenangan mereka saat SMA dulu. Mereka tertawa, kemudian ketiganya terdiam karena ternyata masa lalu mereka terasa begitu kelam. "To, gue sahabat lo. Gue cuma bisa ngingetin doang, nggak bisa ngapa-ngapain. Mungkin sebaiknya elo tinggalin kerjaan elo yang sekarang. Kalo cuma numpang hidup, elo bisa sama gue atau Sasha, yang penting elo harus mau bangkit," ujar Doni akhirnya menasehati Santo.
"Iya Don, suatu saat gue memang harus bangkit. Dan pastinya gue akan dateng ke elo berdua kalo gue butuh bantuan," ujar Santo.

Hari itu dia senang sekali bisa berkumpul lagi dengan sahabat-sahabat terdekatnya. Namun satu hal yang mengganjal pikirannya adalah ucapan Doni tentang Vina. Tiba-tiba saja Santo terusik pikiranya ketika mendengar nama Vina.

Dia teringat peristiwa saat SMA dulu. Vina tak ubahnya seperti Shinta. Tapi kini dia mendengar bahwa Vina malah ingin menikah. Shinta, yang pernah mendatanginya untuk meminta tanggung jawab malah belum dikabarkan rencana untuk menikah. Santo merasa terusik.

Rasa terusik itu tidak hilang hingga beberapa hari kemudian, sampai dia memutuskan untuk mencari tahu sendiri tentang kabar Vina. Dia mulai menghubungi beberapa teman yang kira-kira tahun tentang Vina. Bahkan Santo sempat mengintai rumah Vina.

"Elo ngapain sih To nyari dia segala. Sudahlah, biarin aja dia hidup sendiri," ujar Sasha menasehati Santo agar tidak menganggu Vina.
"Gue cuma mau minta maaf Sha," balas Santo.
"Percuma minta maaf To. Permintaan maaf lo nggak akan mengubah apapun. Dia tetap dengan apa yang harus dia jalani," ujar Sasha.
"Terus gue harus apa Sha?" Santo bingung.
"Ya elo gak bisa apa-apa. Emang elo mau ngapain, tanggung jawab? Nikahin dia? Elo sendiri yakin bisa tanggung jawab sama orang lain, elo tanggung jawab sama diri lo aja belum tentu bisa To!" Balas Sasha.

"Gue masih punya rasa bersalah Sha," balas Santo.
"Ya itu hukuman yang harus elo tanggung To. Rasa bersalah itu adalah hukuman buat elo seumur hidup lo. Elo mau kaya Shinta. Bisa selesai dengan tuntas? Mungkin akan berbeda To. Shinta bukan Vina, dan sebaliknya. Kalau dia sekarang mau menikah, ya artinya dia sudah bisa bangkit dari masa lalunya. Entah dia ngelupain masa lalunya atau tidak, itu sudah bukan urusan lo lagi," jelas Sasha.

Santo sepertinya tidak peduli lagi dengan nasehat Sasha. Dia terus mencari Vina. Santo berhasil mendapatkan nomor telepon Vina dan Dimas. Dia pun mengirim pesan singkat kepada Vina. "Vin, ini gue Santo, temen SMA dulu. Masih inget kan? Apa kabar?"

Pesan singkat itu tidak mendapat respon apa-apa. Tapi Santo terus berusaha untuk menghubungi Vina. Mulai dari mengirim pesan setiap hari sampai berusaha menelpon Vina. Berbagai cara dia lakukan, termasuk mengganti nomor teleponnya sendiri.

Tak hanya Vina, dia juga berusaha menghubungi Dimas, teman seangkatannya yang kabarnya akan menikahi Vina. Tapi sama dengan Vina, Dimas juga tidak memberi respon apa-apa. Sampai akhirnya Santo mendatangi rumah Vina.

"Ya mas ada perlu apa?" Santo ditanya papanya Vina ketika tiba di rumah Vina.
"Saya Santo om. Saya dulu temannya Vina. Saya mau ketemu Vina," ujarnya.
Namun tanggapan ayahnya Vina berbeda dengan cara bicara Santo yang berusaha santun.
"Jadi kamu yang namanya Santo? Yang dulu pernah pacaran sama anak saya?" Ujar papanya Vina yang mengetahui sebagai Santo sebagai laki-laki yang pernah menghancurkan anaknya.
"Iya om," ujar Santo tak berkutik dibentak seperti itu.

"Kamu ngapain datang ke sini. Kamu bukan manusia. Keluar kamu dari rumah saya," hardik papanya Vina.
Namun Santo bersikeras untuk bertemu Vina. "Saya cuma mau minta maaf om. Kalau memang saya harus bertanggung jawab, saya akan bertanggung jawab," ujar Santo.
Tapi apapun perkataan yang keluar dari mulut Santo, papanya Vina sudah tidak mau melihat muka Santo lagi. Serta merta orang tua itu mencengkram leher Santo dan menariknya keluar dari ruang tamunya.
Satpam yang melihat kejadian itu pun datang menghampiri. Awalnya satpam yang sudah berumur melerai majikan dan tamunya. Tapi setelah diberi tahu siapa tamu mereka kali ini si satpam malah menghajar Santo. Otomatis tukang kebun dan pembantu laki-laki yang lain pun ikut memukuli Santo.

"Jadi elo bangsatnya. Elo yang ngancurin Mbak Vina. Anjing lo," ujar penjaga keamanan rumah itu. Santo pun digelandang ke tepi jalan dan dibiarkan terseok-seok kesakitan. Tapi kesakitan yang dirasakan Santo masih kalah dengan rasa sakit penyesalan yang harus ditanggungnya.

"Bro, sudah bro. Jangan ganggu Vina dan Dimas," Doni menasehati Santo ketika Santo menginap di tempat Sasha. Doni meminta Santo untuk tidak menganggu Dimas dan Vina karena mereka akan melangsungkan pernikahan. Entah bagaimana caranya, Dimas berhasil mengontak Doni dan meminta Doni agar menasehati Santo tidak menganggu kehidupan mereka.

Doni hanya bisa mengiyakan saja permintaan Dimas. Dia tahu, dia juga punya andil dalam kebrengsekan Santo waktu itu. Maka sebisa mungkin, Doni mencegah Santo untuk menghubungi Dimas atau Vina. Tapi Santo tidak peduli hingga dia mencegat Dimas dan Vina yang sedang mengecek gedung lokasi resepsi pernikahan mereka.

Di gedung itu, Dimas berkelahi dengan Santo hingga dilerai oleh petugas keamanan. Santo sempat diusir. Namun saat Dimas dan Vina masuk ke dalam mobil, Santo menerobos masuk dan ikut ke dalam mobil. Vina panik hingga Dimas dan Santo berkelahi lagi.

Setelah keluar dari lokasi gedung, ternyata Santo tetap mengikuti mereka. Dia menyewa tukang ojek untuk membuntuti Dimas. Di sebuah lokasi yang sepi, Dimas menghentikan mobilnya. Ia menyambangi Santo dan kembali berkelahi. Tukang ojek yang tidak tahu apa-apa kemudian meninggalkan mereka. Dimas kembali naik pitam. Santo yang sedang mabuk dihajar habis-habisan oleh Dimas. Dimas benar-benar meluapkan kemarahannya. Dimas tak ingin lagi melihat muka Santo.

Santo ditinggalkan bak sampah jalanan yang sudah tak ada artinya lagi. Santo pingsan di pinggir jalan, hingga kemudian di tolong oleh pengguna jalan dan bisa kembali ke tempat tinggalnya sementara.

Kubangan lumpur telah mengikat Santo erat-erat, hingga dia merasa tidak bisa lagi keluar dari kubangan itu dengan selamat. Maka dia pun memutuskan untuk segera saja menentukan batas akhirnya.

"To, kalo elo macem-macem, gue gak mau nampung elo lagi. Gue gak mau terbawa-bawa urusan elo ya," ujar Sasha ketika dia tahu Santo sudah semakin liar.
Sasha tahu jika sekarang Santo membawa senjata api saat pergi kemana-mana. Santo beralasan jika senjata itu untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu dia mendapat masalah. Senjata itu dia dapatkan dari jaringan narkotikanya.

"Tenang aja Sha. Gue gak bakalan bawa-bawa elo dan Doni. Gue udah beruntung punya elo dan Doni, sahabat-sahabat gue yang nemenin gue sampai akhir," ujar Santo.
"Maksud lo To?," Sasha bingung dengan ucapan Santo.
"Gak tahu Sha. Gue ngerasa waktu gue sudah sebentar lagi. Dari semua yang udah gue jalanin, gue bener-bener gak bisa bangkit dari kubangan gue Sha. Gue dah masuk dalam banget, sampe gue gak bisa lagi liat apa-apa. Lumpurnya dah bikin mata gue buta Sha," ujar Santo di apartemen Sasha.

"Kok lo ngomongnya begitu To? Ada apa? Soal Vina? Bukannya udah jelas, elo seharusnya gak usah ganggu dia lagi?" Balas Sasha.
"Nggak cuma soal Vina Sha. Semua. Elo mungkin masih inget obrolan-obrolan kita sejak dulu. Semua yang gue lakuin gak pernah bisa menghasilkan kebaikan buat gue. Entah, mungkin gue memang titisan iblis. Iblis yang terjebak dalam kedengkiannya sendiri, sampai-sampai Tuhan sudah tidak bisa menolongnya lagi," ujar Santo.

"Nggaklah To. Nggak begitu. Elo manusia bukan iblis. Elo pernah seperti iblis, tapi lo bukan iblis. Elo masih ada kesempatan untuk berubah. Elo masih bisa," ujar Sasha. "Kenapa elo terus-terusan putus asa? Kenapa elo selalu melihat hidupnya sebagai kesakitan, sebagai kubangan lumpur. Elo masih bisa bahagia To," ujar Sasha.

"Nggak Sha. Gue dah putus asa. Gue pengen ketemu Tuhan. Gue pengen tanya, kenapa Dia nggak kasihan sama gue. Atau sebenernya Tuhan memang nggak ada Sha," ujar Santo yang sudah putus asa.

Saat mereka ngobrol itu, tiba-tiba pintu apartemen Sasha diketuk orang. Sasha sempat curiga karena tidak biasanya ada tamu datang ke apartemennya. Doni pun hari ini tidak berencana nginap di tempat Sasha, karena sedang dinas keluar kota.

"Siapa ya?" Sasha penasaran.
"Bukan Doni Sha," ujar Santo setengah berbisik.
"Doni lagi keluar kota," balas Sasha pelan. Santo pun meminta Sasha untuk diam, tetap di tempat duduknya. Lalu suara keras terdengar dari luar pintu.

"Buka pintunya!," bentak suara laki-laki dari luar pintu. Santo dan Sasha terkesiap. Namun Santo tahu apa yang akan dihadapinya. Hanya saja dia tidak punya waktu banyak untuk menjelaskan kepada Sasha.

"Bangsat lo semua!!!" Santo beranjak dari kursinya. Ia menerjang seorang laki-laki yang baru saja mendobrak pintu. Tanpa perhitungan, ia maju sambil tangannya merogoh sesuatu di pinggangnya. Tapi kecepatan tangannya kalah dengan kecepatan sebutir timah panas yang menembus iga kirinya. Badannya tersentak, Santo tidak menyadarinya. Ia hanya mendengar letusan nyaring. Badannya tersentak lagi, dan letusan yang kedua membuat dia sadar kalau dia telah tertembak. Santo ambruk ke lantai. Peluru kedua menembus pangkal lehernya. Darah pun berhamburan di lantai.

Sasha yang melihat kejadian itu dengan jelas langsung histeris. Ia tak peduli dengan teriakan beberapa laki-laki untuk tetap diam. Dari kursinya, Sasha menghambur ke arah Santo. Ia menangis. Hanya bisa menangis. Tak tega melihat Santo yang nafasnya tersengal-sengal. Darah keluar deras dari lubang di balik kaos hitam dan leher Santo. Mata Santo mendelik, entah ia merasakan sakit atau apa. Tapi Santo tahu ajalnya sudah dekat.

"Santooooo, hu hu hu hu...," Sasha berusaha mengangkat kepala Santo ke pangkuannya. Ia tak tega melihat sahabatnya berakhir seperti itu. Hidupnya berakhir sebagai sampah masyarakat.
"Sha, gua minta maaf sama elo. Tuhan ternyata ada. Gue dipanggil duluan, gua dah selesai..." Santo terbata-bata menyelesaikan kalimatnya dengan nafas yang masih tersisa. Sasha menangis semakin keras. Ia mengguncangkan tubuh Santo karena Santo benar-benar tidak bergerak. Mata Santo terbuka dan mulutnya menganga. Darah melumuri celana pendek dan paha Sasha. Santo kehilangan nyawanya.

Dua laki-laki berbadan tegap berambut gondrong langsung memisahkan Sasha dari tubuh Santo. Seorang laki-laki lain yang tidak memegang senjata mengamankan dirinya, sedangkan dua orang yang memegang pistol menggeledah tubuh Santo. Sasha hanya bisa pasrah. Ia tak tahu harus berbuat apa. Untuk kesekian kalinya ia merasa perjalanan hidupnya akan menemui titik bawah lagi.

Sasha merasa badannya sangat lemah dan lemas. Bahkan logikanya seakan terhenti setelah menyaksikan apa yang telah terjadi. Ketika tersadar, dia merasa sedang duduk di dalam mobil.
"Bawa cewek ini ke kantor. Supri, kamu ikut saya, kejar Johan. Barangnya ada sama dia, nggak ada sama tikus itu," Sasha masih bisa mendengar laki-laki di samping supir memberi perintah kepada laki-laki yang ada di dalam mobil itu.

Sasha pun terdampar di kantor polisi. Ia dicecar sejumlah pertanyaan. Bahkan dia diminta untuk diambil sample urinnya. Sasha takut sekali. Seumur hidup dia tidak pernah berurusan dengan polisi hingga dia harus mendekam dipenjara. Maka ketika diberi kesempatan untuk menghungi keluarga, dia pun menghubungi Doni. Dia meminta Doni segera pulang ke Jakarta, untuk menemuinya di kantor polisi itu.

Keesokan sorenya, Doni datang menjemput. Tapi Doni juga tak luput dari interogasi polisi. Doni dan Sasha bisa membuktikan bahwa mereka tidak termasuk dalam jaringan narkotika seperti yang dituduhkan kepada Santo. Keduanya bisa keluar dari kantor polisi.

"Don...," Sasha berujar pelan ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
"Kita sepertinya sudah harus serius mikir hidup kita Don. Aku gak mau sendirian, aku takut," ujar Sasha yang terisak.
"Iya Sha. Aku tahu. Mungkin inilah saatnya kita memutuskan langkah kita ke depan Sha. Sudah saatnya kita menikah Sha," ujar Doni.
"Iya Don. Kamu mau menikahi aku?," ujar Sasha yang isakannya terdengar semakin kencang.
"Iya Sha," Doni berkata pelan namun jelas.
"Kamu akan terima aku apa adanya, dengan kesakitan, dan ketakutanku, dengan semua mimpi burukku?," tanya Sasha.
"Semuanya Sha. Kita akan hadapi tanggung jawab dari masa lalu bersama-sama. Kalau kita tidak memulai kebaikan, kapan kita bisa keluar dari kubangan kita. Ini saatnya Sha. Santo sudah memberi contoh buat kita," ujar Doni.

Sasha memeluk erat Doni, tak peduli jika Doni sedang menyetir kendaraannya. Mau tidak mau Doni pun menepikan mobilnya untuk berhenti. Dia membalas pelukan Sasha dengan erat. Lebih erat dan hangat dari pelukan yang pernah dia lakukan sebelumnya. Doni tak peduli jika di balik jendela mobilnya para pengguna jalan mengumpat karena mobilnya berhenti tiba-tiba dan membuat jalanan macet.

"Woiiii, pacaran jangan di sini. Cari hotel aja!" ujar pengendara motor yang protes dengan mobil Doni yang berhenti dan melihat sepasang manusia sedang berpelukan di dalamnya. Doni melepaskan pelukan Sasha, membuka jendela, dan membalas umptannya.

"Woooiii.....nnggeeennnhhpp," Doni yang ingin membalas tidak bisa meneruskan kata-katanya. Tangan Sasha langsung membekap mulutnya.
"Sudah Don, nggak usah ditanggapin," ujar Sasha pelan.
"Iya Sha. Selamat datang di realita," ujar Doni meneruskan perjalanannya.

#####
 
Ceritanya mantap, banget :jempol:
Satu hal yang sangat diSayangkan, Santonya dimatiin dengan cepat sehingga cerita ini harus cepat pula berakhir, padahal kalau lebih didetailkan lagi pasti akan jadi masterpiece yang baru Suhu :ngiler:

Overall mantep bener dah :jempol:
 
Ceritanya panjang beneerrr.... Tapi bagus... Gue suka. Keep posting ya Broo...
 
Gila.. Kayak Lomba Marathon..
Keren banget.. Menyentuh sendi sendi kehidupan, mulai dari masa sekolah, merantau, hingga kisah asmara. :mantap:
Cuma syang, aktor utamanya mati, persis kayak film indonesia jadul, kalo ngga menikah, berarti mati :bata:
:cendol: sent
 
Bimabet
Mantap ceritanya panjang dan detail....salut buat agan satu ini......keep posting untuk karya2 selanjutnya.....
grp send ya gan
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd