Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI Mamaku Hamil 2

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Nitip jejak hu, kalo gak salah yg dulu pemeran utamanya bayu? Atau memang beda cerita ya?
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 3 : Ngeri!



POV Fajar
Tepat pukul 23.00 WIB aku sampai di rumah. Belum, hanya baru menginjakkan kaki di aspal jalan rumahku. Disambut silauan lampu dari tiang yang terpatok kokoh di trotoar, seakan memayungi dari bentang kegelapan. Tadi aku minta diturunkan supir taksi 'Burung Biru' di depan portal komplek yang merintang, ditutup oleh jeruji besi yang dicat minyak warna hitam, serupa kurungan Singa. Bisa saja aku minta salah seorang dari sepasang petugas keamanan yang sedang duduk di pos satpam membuka. Akan tetapi, aku tak mau mengganggu kekhusyukan mereka yang berjaga malam di bawah genteng tanah liat, menikmati secangkir kopi panas dengan gulungan rokok di sela-sela jari, asapnya mengepul dibawa angin dengan bara api terjatuh ke lantai. Lagipula, aku mau basa-basi dengan mereka terlebih dulu sebelum pulang ke rumah yang kuyakini dalam kegulitaan sebagaimana bangunan tak berpenghuni.

Aku tahu hari sudah malam. Tidak ada yang berseliweran di sekitarku, lengang hanya sekawanan kelelawar yang berterbangan mampir dari loteng ke loteng, ranting ke ranting pohon. Sesekali sepeda motor lalu lalang. Aku kira mereka sedang mencari makan di sekitar ujung jalan dimana kaki lima berkerumun di dekat rumah toko yang sudah tutup garasi. Menenteng jaket bomber di bahu, aku melewati portal yang terdapat celah pintu di sisi sebelah kiri. Mendorong pintu serupa pagar, Perawakanku lantas jadi kejutan, pandangan mata kedua satpam itu mengarah padaku bagai lampu sorot di panggung. Tak aku permasalahkan, karena mereka mengenali aku.

Pak Jajang dan Pak Mahfud. Dua-duanya orang yang paling bertanggung jawab kalau kejahatan terjadi di komplek perumahan ini. Aku tak tahu usia mereka berdua. Aku menduga umur mereka sekitar 50-an. Rambut yang mulai rapuh. Helai demi sehelai perak muncul satu demi satu. Keriput, tak terlalu. Berseragam biru gelap, membungkus kulit mereka yang menyerupai batang pohon yang bergurat-gurat. Tak lupa, tertera nama keduanya di dada.

"Fajar, papa kamu tadi telepon saya....nanya kamu udah sampai apa belum", pukas pak jajang.

"Ohh iya pak, saya lupa belum kasih tahu papa saya kalau udah nyampe", segera aku memeriksa smartphone yang aku genggam. Terdapat dua panggilan tidak terjawab. Sengaja aku melakukan itu karena bagiku jalanan merupakan tempat yang paling rawan tindakan kriminal, lebih-lebih malam hari. Tak sekedar melihat layar, Aku membuka whatsapp untuk mengabarkan pada papa posisiku sekarang.
"Pa, fajar udah nyampe....", begitulah kalimat yang aku tuliskan pada papa. Sayangnya, papa tak langsung membaca.

"Ade kamu kenapa, fajar?", tanya pak mahfud sambil menghisap sebatang rokoknya. Lalu, keluar asap yang dihembuskan dari mulut.

"Gak tahu pak, saya gak di rumah waktu kejadian....lagi jalan-jalan sama papa, mama, dan kak vania..", aku berdiri di hadapan mereka, mencari-cari kursi.

"Hayo duduk dulu, atau apa mau langsung ke rumah biar nanti bapak yang anterin...", ujar pak jajang.

"Di sini dulu aja deh pak....", balasku yang mencoba menghela nafas sejenak. Lalu aku masuk ke dalam pos, dan duduk di sebuah kursi plastik dekat mereka.

"Ohhh...sekarang gimana keadaannya?"

"Udah mendingan sih pak....tadinya kan jerit kesakitan terus tuh, sekarang sih udah enggak..."
"tapi ya musti dirawat juga kata dokter...."

"Hmmmmm......Ngopi gak?", tawar pak mahfud, mau bangkit berdiri.

"Gak deh pak, takut gak bisa tidur...saya besok juga kan musti sekolah....", jawabku memandang suasana komplek tempat tinggal. Pagar dan gerbang menemani beberapa mobil yang sedang dalam kesendirian. Sebegitu banyak mobil dipelihara, hingga kandangnya tak lagi mencukupi.

"Kok kamu sendiri yang pulang ke rumah? Yang lain nungguin semua tuh?", heran raut muka pak jajang.

"Nanti papa nyusul pulang pak, katanya mau nungguin dokter yang jaga malem dulu yang belum dateng-dateng..., saya jadinya milih pulang duluan karena udah males aja kelamaan di rumah sakit..."

"Ohh...."

"Hoaheeeemmmm.....yaudah yuk pak, saya mau pulang ke rumah nih..."

"Hayuk, pak jajang anterin...sekalian mau kontrol juga..."

Sepeda motor bebek mengantarku, menyelusuri jalan tanpa riuh keramaian. Tak ada yang aneh. Siang malam nyaris sama. Penduduk kurang bermasyarakat, selalu dihiasi orang luar yang berjualan ataupun pembantu yang menanti kedatangan tukang demi tukang. Mobil ulang-alik pagi dan malam, lebih sering hari biasa. Berderet pohon-pohon mahoni di sepanjang pematang jalan. Sisanya jambu dan mangga yang ditanam diperkarangan masing-masing. Akhir-akhir ini mereka dibiarkan lebat. Petugas dinas kebersihan belum mampir lagi karena beberapa warga menolak pohon-pohon itu dipangkas supaya teduh kalah matahari sedang ngengat. Cahaya lampu pun jadi terhalang, tak mengena jalan. Rumah-rumah arsitektur kontemporer dipasang pagar tinggi-tinggi, sebagaimana lembaga pemasyarakatan.

Tidak ada seseorang pun berdiri menepi, selagi aku melaju bersama pak jajang, menembus semilir angin malam yang dingin. Jika sering menonton sinema seram, bayang-bayangmu andai berjalan kaki seolah mendengar suara jangkrik berbisik-bisik, terhantui seorang wanita berbaju putih mengembang dengan rambut terurai menutupi muka, melambai-lambai di bawah pohon. Boleh jadi mereka bertengger sambil cekikikan menakuti para bujang yang melintas. Polisi tidur menyadarkanmu bahwa tidak ada apa-apa.

"Pak, biasa jaga sampai jam berapa?", tanyaku dibonceng pak jajang yang menggas pelan sembari memantau rumah satu per satu.

"Jam 5 pagi udah kelar, kadang habis subuh juga udah pulang..."

"Hheemm....pak, kalau malem-malem jaga suka lihat yang aneh-aneh gak?"

"Aneh-aneh? Aneh-aneh Bagaimana? Lihat Hantu begitu yaa?"

"Iya pak lihat hantu....", jawabku tersenyum

"Kalau hantu yang begitu mah udah biasa...."

"Biasa bagaimana, pak? Serem dong berarti daerah sini?"

"Ya yang namanya setan pasti ada dimana-mana...tergantung kitanya juga.....", jawab pak jajang berbelok ke kiri.

"Oooo....."
"Kalau boleh tahu bapak lebih sering lihat apa di sekitar sini....?", tanyaku serius.

"Kalau di sini itu, kuntilanak ada...genderuwo ada....,...binatang jadi-jadian juga ada..."

"Wuihh serem banget dong berarti daerah sini yaa....", balasku membantu pak jajang memantau rumah.

"Tenang aja, mereka gak ganggu, justru bantuin jaga..."

"Masa sih pak? Bukannya setan tugasnya ganggu manusia?"

"Iya bener, cuma di sini itu ada yang jaga", tutur pak jajang.

"Jaga bagaimana maksud bapak?"

"Kalau kata orang yang bisa lihat di sini itu ada kayak prajurit-prajurit kerajaan jaman dulu..."
"Bapak juga kurang ngerti masalah itu..."

"Wah, jangan-jangan daerah sini dulu bekas kerajaan gitu kali pak?"

"Bisa jadi,..tapi ya kita gak usah terlalu ikut campur...mereka juga punya dunianya..."

"Betul pak....", aku mengangguk saja apa kata pak jajang. Bagiku ceritanya cuma mitos belaka, seperti legenda Malin Kundang yang didongengkan turun temurun. Kalau kata dia ada yang jaga, bagaimana mungkin kemarin-kemarin ada warga yang kemalingan. Di sisi lain setan tetaplah setan, tugasnya mengusik keimanan manusia. Walaupun aku tak bisa sangkal mengenai kengerian daerah rumahku dari suasana yang kulihat ini. Aku tidak pernah keluar malam larut karena juga tidak bakal diperbolehkan.

Ini saja aku bersikeras karena tak tahan lama-lama dengan suasana rumah sakit. Usai zulfikar mengaduh-ngaduh membuat gaduh di Instalasi Gawat Darurat. Aku kira itu selesai. Ternyata setelah ia mendapatkan kamar rawat di lantai 3, kamar rawat sebelahnya dirundung duka. Salah seorang pasien meninggal dunia karena penyakit kanker. Jerit tangis histeris keluarga mengiringi kepergian pasien yang dibawa ke kamar jenazah untuk diurus kepulangannya sebelum disemayamkan. Bukan suster ngesot, melainkan Maut bergentayangan memasuki tiap kamar di rumah sakit zulfikar dirawat. Ketika Aku membeli air mineral di kantin rumah sakit, keranda jenazah didorong entah kemana. Dengar-dengar ada yang meninggal di salah satu kamar rawat di rumah sakit ini. Selain itu, ada yang berteriak-teriak memanggil suster saat aku berkeliling lantai 3. Ternyata ada pasien yang sedang sekarat. Sekelompok suster sampai berlarian memasuki sebuah kamar.

Vania dan Bi Asih berusaha betah. Keduanya lebih takut pulang ke rumah. Mama menginap semalam untuk menjaga zulfikar. Papa yang masih mengurusi administrasi rumah sakit segera menyusul kepulanganku.

"Udah sampe nih.....***mahnya gelap amat....", ucap pak jajang menengok ke arah rumahku.

"Yaiyalah pak, orang semuanya pada kumpul di rumah sakit semenjak sore...", balasku turun menginjak jalan.

"Yaudah deh...bapak balik ke pos dulu..."

"Iya pak, makasih udah nganterin...."

"Iyaaaa...."

Dihadapanku kini, rumahku istanaku. Biarlah itu arwah kakek berjalan ke sana kemari. Barangkali dunia sana membosankan. Sementara aku lebih nyaman di sini seraya menyambut pagi besok. Tidur di atas kasur empuk, berguling-guling bebas, dan bermimpi indah sambil menonton......apa sajalah sebagai teman tidur. Air dingin kamar mandi sudah amat kurindukan, menyapu peluh yang sudah menyatu dengan pakaianku. Sabun siap mengusir daki di sela-sela engsel. Tak sabar aku untuk lekas beristirahat.

"Oh iya kunci pintu rumah mana ya? Mana yaaa..hmm....perasaan di sini tadi", aku menyeluk saku celana jinsku, baik depan hingga belakang. Kemudian aku menepuk tangan di dahi.
"Astaghfirullah! Lupa minta sama Bi asih lagi.....aduh...Ya Allah....Ya Rabbi!! Kenapa bisa sampai lupa....."


###

Untung saja, bi asih tak sampai menggembok pagar. Bisa-bisa aku menggelesot di depan rumah, terlunta-lunta menunggu seperti gelandangan yang menyedihkan. Jauh jarak sehingga sangat tidak mungkin aku buang-buang tenaga ke pos satpam kembali. Sialnya, kunci pintu rumah lupa aku ambil dari bi asih karena terlampau buru-buru. Sekarang aku hanya bisa berharap papa segera tiba seraya bersandar di sebuah kursi kayu dekat pintu yang diapit dua kaca patri. Sambil meluruskan kaki, aku berusaha menghubungi papa sebisa mungkin sebab WA-ku belum dibaca, teleponku pun tidak dijawab. Apakah ia kesal karena aku tak mengangkat dua panggilan selagi aku di jalan? Gemas jadinya, sebagaimana diledek habis-habisan, tetapi kita tidak pernah bisa membalas ledekan itu hingga tersangkut di perasaan. Aku gelisah menunggu papa. Jadi sia-sia semuanya karena buat apa tergesa pulang sendirian.

Semesta semakin gelap. Untaian bintang tak kelihatan karena tertutupi awan mendung, hingga hujan gerimis turun membasahi taman rumahku. Semak perdu, rumput jepang, dan pohon cemara patut berbahagia pada pukul 23.30 WIB. Sementara aku ditertawai oleh mereka, cuap-cuap menanti kehadiran papa. Semakin sunyi dalam kelam karena lampu rumahku belum dinyalakan. Stop kontaknya berada di dalam. Haruskah aku bernyanyi "Ee ujan gerimis aje...ikan teri diasinin...." sebagai pemecah sepi? Aku sudah gregetan ingin masuk rumah. Andai aku manusia laba-laba sudah kupanjat dinding rumah ini dan masuk melalui lantai 2. Pada akhirnya aku diam mengamati sekitar rumahku. Sungguh tidak ada siapa-siapa. Kawanan Kelelawar yang berterbangan mencoba menakut-nakuti.

Berisik calak anjing tetangga sebelah membuat para kelelawar dungu itu melayang kalang kabut. Anjing itu berjenis pittbul berwarna hitam. Ia merupakan peliharaan majikan dari kekasihnya Bi Asih, supir tetangga sebelah, Padmo. Ternyata, Anjing tersebut terus menggonggong bagai musik rock cadas. Aku kira dia bakal berhenti usai mengusir kawanan kelelawar, namun tidak sama sekali. Dia seperti mau menggigit orang. Barangkali majikannya belum memberinya makan malam atau mengajaknya jalan-jalan. Lagipula sudah jarang anjing itu diajak keluar. Konon, Ia dibiarkan terus menerus di kandangnya boleh jadi karena ukurannya kian membesar. Tak perlu dipercayai, Itu cuma cerita dari mulut ke mulut. Bagaimanapun, pittbul itu berhasil meredam cekikikan kuntilanak dimanapun ia berada.

"Addduhhh.... ini papa sampai rumah jam berapa....ck....", saat menggerutu soal keberadaan papa. Ada yang mengetuk pintu rumah dari dalam. Jelas itu membuatku sontak terkejut. Kepala ini terasa mau copot walaupun pintu rumahku itu diketuk pelan seperti menggunakan kepalan tangan. Padahal, jelas-jelas pintu itu terkunci dari luar dan tak ada orang di dalam rumahku. Apakah maling? Adakah maling mengetuk pintu sebelum kabur melarikan diri? Nyatanya, ketukan itu pula tak selesai-selesai, membuatku bersiap melafalkan ayat kursi. Dingin semakin menusuk, bulu kuduk menggelitik, Aku kenakan jaket bomberku dan memeluk diri sendiri. Aku perhatikan bunyi ketukan dari balik pintu itu terus memancingku untuk mencari tahu.

Aku belum mengetahui siapa di balik pintu rumahku, suasana malah berubah semakin menyeramkan karena pittbul itu berhenti mencalak. Ia mulai meraung-raung sedih, melagukan kepedihan. Kutengok langit tak ada purnama yang coba bangkitkan serigala. Yang ada rasanya aku ingin melarikan diri saja dari rumah. Akan tetapi, aku tak punya cukup keberanian. Kalau-kalau setan-setan itu bergerombol memburuku apa yang harus aku lakukan. Ada kaca patri di sebelah pintu. Itu satu-satunya cara untukku mencari tahu siapa yang mengetuk.

"Allahula ilahaillahuwwal qayyul qayyum...."
Entah mengapa hujan gerimis tak juga berhenti dan papa belum jua sampai. Aku semakin lemas saja. Lantunan doa terus aku haturkan setelah ayat kursi jadi tameng pengusir setan. Beberapa menit kemudian, bunyi ketukan itu memang belum berakhir. Akan tetapi, aku malah melihat arwah kakek sedang tersenyum di depan pagar rumah. Serba putih pakaiannya. Sayang, belum kutatap wajahnya bulat-bulat ia sudah hilang. Berbarengan dengan bunyi ketukan itu dan raungan anjing pittbul tetangga sebelah.

"Fajar, fajar....fajar! kamu ngelihatin siapa?"
"Malem-malem ngelamun...."

"Eh papa?! Kapan nyampenya pa?!"


Bersambung

###
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd