Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI Mara: The Catastrophe

Status
Please reply by conversation.
Chapter II:
-Meet the Prodigy-





Tubuh itu tergantung lewat seutas tali yang melilit lehernya, dan diikatkan pada lubang ventilasi di atas pintu. Tubuh seorang lelaki. Diam, kaku, sunyi. Lidahnya menjulur sampai ke dagu, mulut membuka kaku, mata membelalak, dan wajah membiru. Tubuhnya bergoyang ke kiri-kanan, pelan, berayun-ayun.

Di bawah tubuh kaku itu, duduk seorang gadis kecil. Ga terlalu kecil, tapi lucu. Tapi kini ga lagi. Kelucuan yang dipancarkannya beberapa jam lalu sirna seutuhnya manakala melihat tubuh orang yang begitu dikenalnya tengah tergantung pada tali tambang. Kini, wajah si gadis pucat pasi, dan meski berkali-kali dia meniatkan diri untuk memanggil si lelaki, namun ga ada suara yang keluar.

Tenggorokannya tercekat oleh rasa takut.

Namanya Winda, usia lima. Dan kini dirinya sedang bertatap-tatapan dengan ayahnya yang gantung diri, tepat di depan matanya.


= = = = =​


Mimpi itu lagi. Winda terbangun dengan peluh bercucuran di sekujur tubuhnya. Reaksi akibat mimpi buruk yang terus di alaminya selama sepuluh tahun belakangan. Bahkan, efek mimpi buruknya terlalu berat, memberi tekanan pada badannya akibat implikasi trauma dan ketakutan alam bawah sadar.

Karena tiap kali Winda bangun dari mimpi buruknya, tubuh gadis itu terasa lelah. Amat lelah.

"Heh, kampret, lu kenapa?" tanya seseorang yang muncul dari balik pintu kamar mandi. Cowok seumuran dirinya. "Bangun tidur malah bengong, bukannya mandi. Kita nanti telat nih!"

Winda melirik ke si cowok. Evan, teman sekelasnya. Winda ga pernah suka dengan gaya bicara Evan yang kasar. Rasanya ga pernah nyaman kedengaran di kuping. Satu-satunya yang Winda suka dari kekasaran Evan adalah ketika di atas ranjang dan Evan bertindak kasar padanya. Evan adalah preman sekolah, punya reputasi buruk, tukang berantem dan palak, kasar dan ga bisa menghargai wanita, dan satu-satunya yang disukai wanita darinya adalah kekasarannya ketika bercinta.

"Sebentar, bangsat, gua ngumpulin nyawa dulu," balas Winda, sama kasarnya. Ups, gaya bicara Evan dan Winda memang sebelas-dua belas. "Pegel-pegel nih badan gua, nyet."

"Gara-gara gua 'pake' semalem?" tanya Evan sambil terkekeh.

Winda mendengus, lalu mulai berusaha bangun dari tidur. Sayang, badannya masih terlalu pegal dan lemas. Maka, Winda kini menyandarkan punggungnya di dinding. "Iya, itu juga, gua akuin lu jago 'mainnya' nyet, tapi...," Winda kini menatap Evan, "pernah ga sih lu ngerasain badan lu pegel-pegel tiap abis mimpi buruk?"

"Ga sih, biasa aja," jawab Evan, santai. "Lu lagi stress kali Win, makanya kebawa mimpi. Pantes lu ga semangat mulu kalo sekolah. Eh iya, cepetan mandi lu! Ntar telat, kampret!"

"Ga. Gua males mandi, langsung berangkat aja."

Balasan Winda, sanggup membuat Evan bengong. Tapi ga lama. "Lu mandi kampret! Lu itu bau peju, amis, ga inget apa semalem lu mandi peju gua? Jangan jadi cewek jorok apa sih!"

"Jangan atur-atur gua. Kita ini cuma temen sekelas, kadang temen tidur, dan lu bukan pacar gua," balas Winda lagi, ketus. "Jadi suka-suka gua mau mandi apa engga."

"Jorok banget sih lu!"

"Bodo. Jorok gini lu entot juga kan."

Pagi ini, Winda menang debat lagi, dan Evan tetap ga berhasil maksa Winda untuk mandi sebelum berangkat sekolah, seperti yang sudah-sudah.


= = = = =​


Orangtua Evan, untungnya, menganut paham demokratis. Selama Evan bisa bertanggung jawab terhadap sekolahnya, orangtuanya ga akan ikut campur terhadap kelakuan Evan. Termasuk soal membawa cewek ke kamarnya. Evan sering melakukan hal tersebut. Bukan cuma membawa, tapi juga menginap, dan mereka tidur berdua di ranjang Evan. Entah sudah berapa gadis yang Evan bawa masuk ke kamar, dan sudah berapa kali kedua orangtuanya mendengar rintihan, desahan, bahkan erangan dari atas kamar mereka.

Intinya, selama nilai Evan terkendali, mereka membebaskannya berbuat apapun yang dia mau.

Seperti saat ini.

Ini adalah kesekian kalinya Winda menginap di kamar Evan, dan kesekian kalinya juga dia rela digarap teman sekelasnya sendiri. Maka, ketika mereka turun tangga, Winda berpapasan dengan ibunya Evan, dan si ibu itu cuma senyum penuh arti ketika melihat Winda. Mampus, pasti doi senyum gara-gara dengerin desahan gua nih, begitu pikir Winda.

"Ma, Evan sama Winda berangkat sekolah dulu," ujar Evan setengah berteriak.

Ibu Evan yang sedang memoles selai di roti, berteriak balik, "ga sarapan dulu?"

"Ga usah, nanti telat!" Dan Evan pun meluncur ke garasi, untuk memanaskan mesin mobil.

"Win," Ibu Evan tampak menyodorkan Winda sesuatu. Dua butir obat tablet, beserta segelas air putih. "Buat jaga-jaga, biar kamu ga hamil. Saya ga mau Evan putus sekolah gara-gara harus urus anak. Bisa diminum sekarang? Hanya memastikan."

"Siapa juga yang mau hamil anak dari Evan, Tante? Saya masih mau hidup bebas," balas Winda. Tanpa pikir panjang lagi, cewek itu menelan dua butir obatnya, di dorong oleh satu teguk air putih. "Saya berangkat dulu. Terima kasih sudah di izinkan menginap. Selamat pagi."

Dua insan lain jenis itu kini melenggang pergi.


= = = = =​


Winda dan Evan tiba tepat ketika bel masuk berbunyi. Kedatangan mereka yang berduaan itu lagi-lagi menimbulkan kasak-kusuk di sekolah. Semua tahu, Winda dan Evan bukan sekedar teman sekelas. Mereka teman tidur untuk satu sama lain. Para penggosip di sekolah juga menyebut mereka sebagai 'pasangan serasi', si cowok preman dan ceweknya gampangan. Sama-sama buruk, klop.

Bukan rahasia lagi jika Winda disebut cewek gampangan. Reputasi buruknya tersebar ke seantero sekolah. Dan memang begitu kenyataannya. Winda adalah tipikal cewek yang bisa di ajak senang-senang; nongkrong, jalan-jalan, dan teman ranjang. Ga terhitung lagi sudah berapa cowok yang berhasil mencicipi tubuhnya. Winda sendiri ga mempermasalahkan hal tersebut, toh mereka melakukannya atas dasar suka sama suka, jadi apa yang mesti dipermasalahkan?

Winda sendiri ga perlu membantah atau merespon omongan miring yang beredar, karena memang seperti itu kenyataannya. Jadi, sekali lagi, apa yang mesti dipermasalahkan?

Winda cantik, berprestasi, sayangnya dia gampangan. Begitu omongan yang beredar. Siapa yang ga kenal Winda, si Ace tim basket putri dari kelas 2-A? Dengan sikap tomboi, Winda selalu tampil dengan potongan rambut bondol dan gaya sporty. Wajahnya juga cantik, dengan perpaduan Pakistan-Amerika, membuatnya terlihat mirip dengan mantan bintang porno berdada besar, Mia Khalifa. Tentu, versi remajanya yang lebih kinyis-kinyis, sekal, dan menggiurkan. Winda juga cukup tinggi, dan dadanya juga proporsional dengan bentuk tubuhnya.

Ngomong-ngomong soal dada, hal itu yang jadi favorit cowok-cowok di sekolah: melakukan tit-fuck padanya.

Dan impian mereka terbantu sekali untuk diwujudkan, oleh tabiat Winda yang hiperseks. Cuma sedikit dipancing, dan nafsu cowok-cowok itu terpuaskan. Ga heran kan kenapa Winda disebut gampangan?

Sebenarnya Winda punya banyak prestasi, meski bukan prestasi perorangan. Winda berhasil membawa tim basket putri di sekolahnya sebagai juara di tiap kejuaraan yang di ikuti. Winda adalah MVP di tiap pertandingan basket, dan sudah selayaknya bagi pencetak poin terbanyak untuk dinobatkan sebagai Most Valuable Player of the game. Kemampuan basketnya memang di atas rata-rata, dan dia cukup bangga akan hal itu.

Namun sayang, se-berprestasi apapun kamu, jika minus-nya lebih nampak, maka plus-nya ga akan terlihat.

Dan itu yang di alami Winda. Jadi korban labelling; jika sudah di cap jelek, maka jadi jelek saja sekalian.


= = = = =​


"Hari ini, kita kedatangan murid baru di kelas ini," begitu ucap Pak Ilyas, guru Fisika, yang juga wali kelas 2-A.

Suasana di kelas yang baru saja hening karena Pak Ilyas tiba-tiba masuk, berubah kembali riuh. Semua penasaran dengan anak baru yang di bilang Pak Ilyas. Mereka menebak-nebak, apakah anak baru ini cowok atau cewek, ganteng, cantik, atau jelek? Pintar atau bodoh? Apapun hasilnya nanti, akan menentukan sikap mereka terhadap si anak baru.

Kalau ganteng atau cantik, mungkin akan banyak yang menjadikannya gebetan. Kalau jelek? Siap-siap saja jadi bahan bullian.

Pintu kelas terbuka. Lalu masuk seorang cowok bertampang polos, berjalan ke arah Pak Ilyas berdiri. Si cowok menyisir pandangan, menatap satu persatu murid-murid yang kini diam, memandanginya.

"Silahkan kamu memperkenalkan diri," ujar Pak Ilyas pada si cowok, yang di balas anggukan mantap.

"Selamat pagi, saya mau memperkenalkan diri sebelum secara resmi bergabung di kelas ini. Nama saya Re Mara, tapi kalian bisa memanggil saya 'Mara'. Saya baru pertama kalinya bersekolah, karena sebelumnya saya mengenyam pendidikan dengan metode homeschooling. Jadi, saya akan butuh banyak bantuan dan bimbingan dari teman-teman semuanya. Salam kenal, dan mari kita berteman."

Mara mengucapkannya dengan sangat lugas. Bahasa yang dipakainya pun terlalu formal, meninggalkan kesan pertama segan bagi murid-murid di kelas itu.

"Silahkan duduk di kursi belakang yang masih kosong, Mara," ujar Pak Ilyas lagi.

Mara berjalan santai menuju ke mejanya. Di baris meja ketiga, dia ga sengaja bertatap muka dengan Winda, yang menatap malas pada si cowok. Satu tatapan singkat, yang cuma berlangsung tiga detik. Tapi tatapan Mara sanggup membuat Winda menyadari sesuatu.

Entah mengapa, tatapan Mara terasa mirip sekali dengan tatapan ayahnya sebelum gantung diri. Lembut, menenangkan, namun menyiratkan kematian. Dan Winda merasa terusik dengan hal itu.

Rekaman kejadian sepuluh tahun silam kembali membayang di benak Winda. Kali ini, ga butuh mimpi buruk untuk membuat ingatan traumatis itu muncul. Cukup dengan menatap Mara, dan mimpi buruk itu naik ke alam nyata.

Entah mengapa, Winda juga merasakan hal yang aneh dari Mara. Aura yang sama yang dia rasakan dari mayat ayahnya yang menggantung di ambang pintu, dulu. Aura kematian.


= = = = =​


Mara adalah kejutan, itu yang mau dibilang para penghuni kelas 2-A. Dia ga bisa mencerna pelajaran Fisika, ga bisa mengerti rumus-rumus Matematika, tapi bisa main piano setelah Bu Nina memberi contoh dalam satu kali praktek. Mara juga bisa menggambar persis seperti yang dibuat Pak Bahruddin, dalam praktek seni rupa. Mara bisa belajar bahasa Jerman dan bahkan meniru logatnya dalam sekali nonton video ketika pelajarannya Bu Cecil.

Dan ketika mereka bertanya apa pelajaran-pelajaran tersebut sudah pernah dipelajarinya, Mara menggeleng. "Aku baru belajar kok, ini pertama kalinya aku tahu pelajaran-pelajaran seperti tadi," ucapnya.

Dengan cepat, Mara naik popularitasnya dari anak baru jadi selebriti sekolah. Jam istirahat kedua, Mara dikerumuni cewek-cewek yang ingin berkenalan dengannya. Kecuali Winda, yang masih menjaga jarak. Dia ga pernah merasa se-ga nyaman ini sebelumnya kepada seseorang. Bukan karena orang itu jelek, bau, atau menjijikan, tapi lebih kepada... menakutkan.

Dan anehnya, hanya Winda yang merasa demikian.

Di penghabisan istirahat kedua, Mara tiba-tiba menghampiri Winda. Yang dihampiri mendadak menarik mundur kursinya, reflek yang aneh. Winda sendiri ga ngerti kenapa dia berusaha menjauh dari Mara, hanya saja... kesan aneh yang ga nyaman itu semakin terasa ketika Mara mendekatinya.

"Hai. Kamu namanya siapa?" tanya Mara sambil mengulurkan tangan kanan.

Winda ragu untuk menyambut tangan Mara. Akhirnya, dia mengacuhkan jabat tangan Mara, malah menatapnya tajam. "Wi-Winda. L-lu Mara, kan?"

"Iya, hehe. Maaf, hmm, Winda, aku cuma mau bilang kalau..."

"Kalau?" Winda tampak mengejar kalimat selanjutnya dari Mara.

"...Om, jangan ikuti Winda terus. Kasihan, Winda jadi terbebani. Om harus belajar merelakan, atau Om mau melihat Winda terus-terusan tersiksa?"

Mara berbicara seperti dia bicara dengan sesuatu di belakang Winda, bukan dengannya. Dahi Winda mengernyit, ga ngerti apa yang di ucapkan Mara. Apapun maksudnya, Winda tahu itu bukan untuknya.

"Oh, gitu. Iya, nanti saya sampaikan. Terima kasih," Mara mengangguk-angguk sendiri, kemudian kali ini benar-benar menatap Winda, "kamu tidak kasihan sama ayah kamu? Berhenti membuatnya cemas, Winda, atau dia tak akan bisa tenang dan terus penasaran di dunia ini."

Winda ga bisa berkata-kata lagi. Lebih tepatnya, rasa terkejutnya membuatnya ga bisa memikirkan sesuatu untuk membalas Mara.

"Kamu yang paling tahu maksud aku."

Mara pergi meninggalkan Winda, kembali ke mejanya. Dia kembali tenggelam dalam buku-buku, sementara Winda tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pikiran kalut yang bercampur baur, kacau.

Winda tiba-tiba menyadari hal baru. Aura kematian itu memang terasa ada pada Mara, tetapi lebih pekat terasa di belakangnya. Tapi Winda duduk di kursi paling belakang, dan di belakangnya cuma tembok. Jadi, aura kematian itu berasal dari mana?

Bulu-bulu halus di tengkuknya meremang seketika. Untuk alasan yang ga bisa dijelaskan, Winda merasa merinding ketakutan.



-Meet the Prodigy: End-
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
doa ane cuma satu, cerita ini ga cuma jadi cerita ngilang.. setelah beberapa chapter terus menghilang..

semangat nulisnya ya hu, ambil pelajaran dari thread2 lain yg konsisten dan menjaga ceritanya sampai berlabel halal, eh, TAMAT!

maaf sebelumnya ya hu.. hehe..
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
cadass pembukanya :mantap:


patut dinantikan kelanjutannya
 
Wiih... Mara ternyata bisa berkomunikasi dgn mahkluk gaib.. Apakah mara hasil eksperimen mutan laboratorium??
 
Ijin bergaabung

Ceritanya menarik

Tapi genre nya apa yaa

Hehe
Nunggu update dulu
 
Cerita-nya keren & bikin penasaran suhu!
Mungkin-kah Mara adalah penjelmaan malaikat kematian yang turun ke dunia atau..?
Untuk mengapresiasi karya suhu, ane cuman bisa kirim cendol..
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd