Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Memperbudak Para Mama

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Sabar ya suhu-suhu sekalian, ane masih skripsian dulu. Ini beneran loh bukan alasan gak nulis :)
 
Lanjutan cerita 5 di page 5

"Ingat janji kemarin bukan?" kataku ke Ibu Deni. Ibu Deni menganggukan kepalanya tanpa berkomentar. Boni merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan dua buah walkie talkie. Satu walkie talkie diserahkan ke Ibu Deni, sementara satunya lagi ia pegang sendiri. Boni kemudian menekan tombol ON di walkie talkie miliknya. Bzzzzzz! Terdengar suara echo dari walkie talkie di tangannya dan di tangan Ibu Deni.

"Bagus," komentarnya. "Walkie talkie mainan ini bisa menangkap sinyal dalam radius hingga lima meter. Jadi kita tidak perlu berdekatan."

"Nah," sahutku puas. "Sekarang bibi harus berjalan melewati gang ini, terus saja, dan bibi harus melakukan apa saja yang kami katakana lewat walkie talkie ini. Bila tidak... yah bibi tahu sendiri kan tentang video kemarin."

Ibu Deni memandang kami geram. "Sudah lakukan saja sekarang! Semakin cepat semakin baik!"

"Oke oke," aku dan Boni tertawa. " Kami akan mengawasi dari belakang. Bibi dilarang menoleh ke belakang. Anggap saja kami tidak ada. Baiklah ayo kita mulai!"

Ibu Deni segera berjalan menuju ke arah gang sempit yang dikelilingi oleh pagar beton milik rumah warga. Aku dan Boni mengikuti dari belakang dengan hati-hati. "Oke, bibi silakan gulung kaos bibi sampai di atas pusar lalu ikat di samping," kataku melalui walkie talkie. Ibu Deni mengangguk tanda mengerti. Ia menggulung bagian bawah kaosnya ke atas. Setelah dirasa melewati pusarnya, ia mengikat gulungan kaosnya di samping kiri. Aku dan Boni bisa melihat punggung bawahnya yang mulus tak bercela dari belakang.

Dari arah berlawanan, terlihat dua bocah laki-laki sedang asik bermain kelereng di pinggiran jalan gang. Aku meraih walkie talkie. "Ada dua bocah di depan, bibi harus bisa merayu mereka untuk memegang perut bibi," kataku.

Ibu Deni memasukan kembali walkie talkie-nya ke dalam saku celana. Ia memandang kedua bocah itu dengan gugup. Ia berjalan perlahan-lahan mendekati kedua bocah yang asik melempar bola-bola kelerengnya. Setelah cukup dekat dengan kedua bocah tersebut, Ibu Deni menepuk pundak salah satu dari mereka. "Wah ada apa ya bi?" tanya salah satu bocah itu. Ia menjatuhkan kelerengnya karena terpana dengan penampakan di depannya. "Bibi seksi betul!" pujinya seraya menelan ludah.

"Jadi... ngg... begini..." kata Ibu Deni gugup. "Bibi mau minta tolong kalian berdua."

"Minta tolong apa bi?" tanya mereka serempak.

"Bisa tolong elus perut bibi?" pinta Ibu Deni sambil mengusap perutnya yang tak tertutup pakaian. Kedua bocah itu saling berpandangan dengan ragu. "Tentu saja bisa!" sahut mereka. Kedua tangan mereka mulai bergerak mengusap perut Ibu Deni yang terlihat kencang. Tubuh Ibu Deni menggigil geli. Ketika salah satu tangan bocah itu menyentuh pusarnya, ia spontan mendesah. "Aaaah..." erangnya.

Tangan-tangan kedua bocah itu semakin menggerilya; tidak hanya mengusap perut Ibu Deni, mereka juga memasukan tangan mereka di sela-sela celana pendek Ibu Deni. Aku bisa melihat salah satu tangan bocah itu masuk di antara belahan pantat Ibu Deni. Setelah dua puluh menit berselang, aku menyalakan walkie talkie dan menyuruhnya berhenti. "Sudah cukup," kata Ibu Deni terengah-engah. Ia membetulkan letak celananya yang sedikit turun akibat tingkah kedua bocah tersebut. "Bibi harus melanjutkan perjalanan lagi, kalian lanjutkan permainan kalian," katanya sembari beranjak pergi. Kedua bocah itu tampak tak puas. Mereka memandang Ibu Deni sambil bergumam tak jelas.

Aku dan Boni menyelinap di antara tumpukan kardus bekas sambil terus mengawasi Ibu Deni dari belakang. Jalan di gang ini cukup panjang dengan tembok beton yang tingginya hampir setinggi orang dewasa. Lagipula di ujung jalan ini agak tertutup oleh tikungan tajam sehingga hanya warga sekitar sini saja yang mengetahui jalan ini. Tempat yang cocok untuk mengadakan pameran berjalan.

"Sekarang, ayo turunkan bagian belakang celana bibi sampai di bawah pantat," perintahku. "Sempaknya juga?" ia sedikit ragu. "Jelas saja iya, turunkan sampai aku benar-benar bisa melihat pantat bibi," kataku. Ibu Deni melihat ke sekelilingnya. Suasana sangat sepi padahal ini menjelang sore. ia kemudian membuka resleting celana pendeknya lalu menurunkan bagian belakang celananya termasuk sempaknya. Setelah kedua bongkahan pantatnya benar-benar menyembul seutuhnya, ia mengancingkan kembali kancing celananya.

Baru saja ia mengancingkan celananya, tiba-tiba terdengar dentingan suara sendok yang dipukulkan ke mangkok. Teng teng teng! Suara dentingan itu semakin mendekat. Dari kejauhan muncul sebuah gerobak bakso yang mendekati Ibu Deni dengan kecepatan cukup tinggi. Rupanya sebuah gerobak bakso yang dilengkapi dengan sepeda. Ibu Deni reflek menaikan kembali celananya. "JANGAN!" teriakku dari walkie talkie. Ia mengurungkan niatnya dan tetap berdiri di tempatnya.

Gerobak bakso itu ternyata berhenti sekitar beberapa meter dari tempat Ibu Deni. Tukang bakso itu turun dari gerobaknya dan memasang payung besar yang dibentangkan di atas gerobaknya agar tidak kepanasan. Rupanya ia sedang menunggu pembeli.

"Sekarang bibi harus menggoda tukang bakso itu," kataku lagi. "Bibi cukup bilang ' mas pantatku gatal nih, minta tolong garukin dong'"

"Gila kalian," seru Ibu Deni kesal.

"Eits menghina kami? Berarti bibi harus menungging saat tukang bakso itu menggaruk pantat bibi. Bibi juga harus melebarkan belahan pantat bibi sampai anusnya kelihatan."

"Tapi..."

"Gak ada tapi. Cepat lakukan."

Aku menutup walkie talkie dan mengamati Ibu Deni. Ia terlihat sangat gelisah. Meski begitu, ia terus berjalan mendekati tukang bakso yang sedang mengelap mangkok-mangkoknya. "Mas..." sahut Ibu Deni malu-malu. "Mau beli baksonya mbak?" tanya si tukang bakso datar. Rupanya ia belum menyadari bagian belakang Ibu Deni. "Ah gini mas, aku mau minta tolong sama masnya," ujar Ibu Deni. "Wah minta tolong apa ya mbak?" tanya si tukang bakso bingung. Ibu Deni menarik napas dalam-dalam lalu berujar: "Bisa tolong garukin pantatku?"

Ibu Deni memutar tubuhnya dan menunggingkan pantatnya. Ia juga melebarkan belahan pantatnya dengan kedua tangannya sampai anusnya yang kecokelatan terlihat menganga. Tukang bakso itu begitu kagetnya dengan kelakuan Ibu Deni sampai-sampai ia nyaris terjatuh dari tempatnya berdiri.

"Ap...apa yang mbak lakukan?" ia memandang pantat Ibu Deni tanpa berkedip.

"Cepat mas garukin," kata Ibu Deni dengan wajah memerah.

Si tukang bakso tidak mau kehilangan kesempatan itu. Ia segera meraih bongkahan pantat Ibu Deni lalu meremasnya. Celakanya, saat tukang bakso itu berusaha meremas, celana Ibu Deni meluncur turun hingga ia benar-benar tidak memakai celana. "Kyaaaa!" teriak Ibu Deni sambil menutupi memeknya. Karena tangannya gantian menutupi memeknya, belahan pantat Ibu Deni menutup kembali. Tukang bakso itu menahan pantat Ibu Deni lalu membuka lebar-lebar lubang pantatnya sampai lebih lebar dari sebelumnya.

"Yang... yang mana yang gatal mbak?" tanya si tukang bakso penuh nafsu.

"Yang mana saja," jawab Ibu Deni sambil memejamkan matanya menahan malu.

Bukannya menggaruk, tukang bakso itu malah membenamkan jari telunjuknya ke dalam anus dan jari tengahnya ke memek Ibu Deni. Tubuh Ibu Deni mengejang kesakitan. Tukang bakso itu menggerakan jari jemarinya keluar masuk. Tangan lainnya ia gunakan untuk tetap memperlebar belahan pantat Ibu Deni. Tak lama kemudian, cairan bening mengalir dari memeknya dan turun perlahan-lahan di kedua kaki Ibu Deni. Ia mengejang lagi, lalu ia mendesah agak keras, "Ough..."

Tubuh Ibu Deni mulai melemah. Sepertinya ia sudah orgasme. Aku menyalakan tombol ON di walkie talkie dua kali tanda berhenti. Ibu Deni segera meraih tangan si tukang bakso. "Lepaskan," katanya. Tukang bakso itu menurut dan mencabut jari-jarinya dari dalam lubang pantat dan memek Ibu Deni.

"Lain kali ngentot yuk," kata si tukang bakso dengan penuh harap.

"Tidak. Terima kash," ujar Ibu Deni sambil mengenakan kembali celana pendeknya. Ia menyibak rambutnya yang jatuh menutupi wajahnya yang tirus. Tukang bakso itu terus menatap Ibu Deni dengan kagum. "Berapa nomor teleponmu?" tukang bakso itu masih saja bertanya.

"Itu rahasia," jawab Ibu Deni. Ia mengambil beberapa lembar tisu yang berada di atas gerobak bakso lalu mengelap kedua kakinya yang jenjang agar tidak ada cairan yang menempel. Setelah dirasa beres, Ibu Deni meninggalkan si tukang bakso yang masih memandangi bokong Ibu Deni yang kini tertutupi celana.

Aku dan Boni hampir saja tertawa terbahak-bahak kalau saja aku tidak segera menyadarinya. Kami nyaris saja ketinggalan jauh dari Ibu Deni. Aku dan Boni langsung bergegas mengikuti sambil memasang wajah pura-pura tidak tahu saat melewati si tukang bakso yang masih tersenyum-senyum sendiri.

Akhirnya kami tiba di ujung jalan gang. Jalannya sekarang terasa lebih longgar dibandingkan sebelumnya, tetapi tetap saja sepi. Di ujung jalan ini adalah jalan raya, kami bisa mendengar suara kendaraan yang saling melintas.

"Astaga! Itu Deni!" kata Boni sambil menunjuk ke depan. Aku memicingkan mata. Benar. Deni tampak sedang berjalan kaki bersama ketiga temannya. Mereka sepertinya baru saja selesai bermain sepak bola, itu bisa dilihat dari pakaian mereka yang kotor oleh lumpur. Ibu Deni terpaku melihat anaknya. Untungnya Deni masih belum menyadari kehadiran ibunya.

"Ini tugas terakhir," kataku. Lalu aku mengatakan ke Ibu Deni lewat walkie talkie.

"Be... betulkah aku harus begitu..." suara Ibu Deni terdengar gemetar saat mendengar perintahku. Aku mengiyakan. "Tugas terakhir untuk hari ini. Tapi bukan yang benar-benar terakhir. Setelah ini bibi bisa beristirahat," kataku kalem.

Ibu Deni menaruh walkie takie-nya ke atas drum kosong di sampingnya. Lantas, ia melepas celana pendeknya sekaligus sempaknya lalu menaruhnya di atas drum itu juga. Kemudian ia menggulung kaosnya lebih tinggi lagi hingga melewati teteknya yang masih terbungkus beha berwarna ungu. Dengan sekali gerakan, ia melepas kait behanya dan kedua teteknya yang tadinya tertahan oleh beha kini jatuh menggantung di dadanya. Kedua putingnya sudah bulat sempurna seakan-akan siap dihisap.

Ia benar-benar hampir telanjang bulat. Pakaian yang menempel di tubuhnya cuma kaosnya yang tergulung sampai di atas teteknya, sementara tetek dan memeknya yang tanpa jembut terlihat polos tanpa penutup. Ibu Deni menarik napas panjang lagi dan melangkah maju mendekati anaknya.

"Wwwooowww... coba lihat ke depan," kata salah satu teman Deni sambil menganga tak percaya. Deni dan ketiga temannya langsung berhenti dan mengamati sesosok wanita setengah telanjang yang mendekati mereka.

"Loh ma... mama ngapain kok telanjang kayak gitu?!" seru Deni kaget saat menyadari bahwa wanita itu ternyata ibunya. Ibu Deni menundukkan kepalanya karena malu. "Mama mau menjemput kamu nak. Ayo kita pulang," kata Ibu Deni dengan suara nyaris terisak.

"Tapi... tapi pakaian mama..." kata Deni terbata-bata. Ketiga temannya menatap Ibu Deni dengan wajah mupeng. "Hehehe, bibi keterlaluan beraninya," kata mereka.

"Tidak ada tapi tapi, ayo pulang," kata Ibu Deni. "Oh ya, untuk teman-temannya Deni, bibi mau menunjukkan sesuatu sebagai tanda terimakasih karena sudah menjadi teman Deni selama ini."

Ibu Deni segera membalikan badan dan mengarahkan pantatnya ke arah Deni dan ketiga temannya lalu membuka lebar lubang pantatnya dengan menggunakan kedua tangannya. Deni dan ketiga temannya terpana melihatnya.
"Nah silakan dilihat sepuasnya," kata Ibu Deni sambil menangis.

"MAMA!" teriak Deni.

Melihat itu, aku dan Boni saling bersalaman dan tertawa cekikikan. Misi hari ini selesai dengan sangat sempurna.
 
Cerita 6

“Ingat janji kemarin bukan?” kataku ke Ibu Deni. Ibu Deni menganggukan kepalanya tanpa berkomentar. Boni merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan dua buah walkie talkie. Satu walkie talkie diserahkan ke Ibu Deni, sementara satunya lagi ia pegang sendiri. Boni kemudian menekan tombol ON di walkie talkie miliknya. Bzzzzzz! Terdengar suara echo dari walkie talkie di tangannya dan di tangan Ibu Deni.

“Bagus,” komentarnya. “Walkie talkie mainan ini bisa menangkap sinyal dalam radius hingga lima meter. Jadi kita tidak perlu berdekatan.”

“Nah,” sahutku puas. “Sekarang bibi harus berjalan melewati gang ini, terus saja, dan bibi harus melakukan apa saja yang kami katakana lewat walkie talkie ini. Bila tidak… yah bibi tahu sendiri kan tentang video kemarin.”

Ibu Deni memandang kami geram. “Sudah lakukan saja sekarang! Semakin cepat semakin baik!”

“Oke oke,” aku dan Boni tertawa. “ Kami akan mengawasi dari belakang. Bibi dilarang menoleh ke belakang. Anggap saja kami tidak ada. Baiklah ayo kita mulai!”

Ibu Deni segera berjalan menuju ke arah gang sempit yang dikelilingi oleh pagar beton milik rumah warga. Aku dan Boni mengikuti dari belakang dengan hati-hati. “Oke, bibi silakan gulung kaos bibi sampai di atas pusar lalu ikat di samping,” kataku melalui walkie talkie. Ibu Deni mengangguk tanda mengerti. Ia menggulung bagian bawah kaosnya ke atas. Setelah dirasa melewati pusarnya, ia mengikat gulungan kaosnya di samping kiri. Aku dan Boni bisa melihat punggung bawahnya yang mulus tak bercela dari belakang.

Dari arah berlawanan, terlihat dua bocah laki-laki sedang asik bermain kelereng di pinggiran jalan gang. Aku meraih walkie talkie. “Ada dua bocah di depan, bibi harus bisa merayu mereka untuk memegang perut bibi,” kataku.

Ibu Deni memasukan kembali walkie talkie-nya ke dalam saku celana. Ia memandang kedua bocah itu dengan gugup. Ia berjalan perlahan-lahan mendekati kedua bocah yang asik melempar bola-bola kelerengnya. Setelah cukup dekat dengan kedua bocah tersebut, Ibu Deni menepuk pundak salah satu dari mereka. “Wah ada apa ya bi?” tanya salah satu bocah itu. Ia menjatuhkan kelerengnya karena terpana dengan penampakan di depannya. “Bibi seksi betul!” pujinya seraya menelan ludah.

“Jadi… ngg… begini…” kata Ibu Deni gugup. “Bibi mau minta tolong kalian berdua.”

“Minta tolong apa bi?” tanya mereka serempak.

“Bisa tolong elus perut bibi?” pinta Ibu Deni sambil mengusap perutnya yang tak tertutup pakaian. Kedua bocah itu saling berpandangan dengan ragu. “Tentu saja bisa!” sahut mereka. Kedua tangan mereka mulai bergerak mengusap perut Ibu Deni yang terlihat kencang. Tubuh Ibu Deni menggigil geli. Ketika salah satu tangan bocah itu menyentuh pusarnya, ia spontan mendesah. “Aaaah…” erangnya.

Tangan-tangan kedua bocah itu semakin menggerilya; tidak hanya mengusap perut Ibu Deni, mereka juga memasukan tangan mereka di sela-sela celana pendek Ibu Deni. Aku bisa melihat salah satu tangan bocah itu masuk di antara belahan pantat Ibu Deni. Setelah dua puluh menit berselang, aku menyalakan walkie talkie dan menyuruhnya berhenti. “Sudah cukup,” kata Ibu Deni terengah-engah. Ia membetulkan letak celananya yang sedikit turun akibat tingkah kedua bocah tersebut. “Bibi harus melanjutkan perjalanan lagi, kalian lanjutkan permainan kalian,” katanya sembari beranjak pergi. Kedua bocah itu tampak tak puas. Mereka memandang Ibu Deni sambil bergumam tak jelas.

Aku dan Boni menyelinap di antara tumpukan kardus bekas sambil terus mengawasi Ibu Deni dari belakang. Jalan di gang ini cukup panjang dengan tembok beton yang tingginya hampir setinggi orang dewasa. Lagipula di ujung jalan ini agak tertutup oleh tikungan tajam sehingga hanya warga sekitar sini saja yang mengetahui jalan ini. Tempat yang cocok untuk mengadakan pameran berjalan.

“Sekarang, ayo turunkan bagian belakang celana bibi sampai di bawah pantat,” perintahku. “Sempaknya juga?” ia sedikit ragu. “Jelas saja iya, turunkan sampai aku benar-benar bisa melihat pantat bibi,” kataku. Ibu Deni melihat ke sekelilingnya. Suasana sangat sepi padahal ini menjelang sore. ia kemudian membuka resleting celana pendeknya lalu menurunkan bagian belakang celananya termasuk sempaknya. Setelah kedua bongkahan pantatnya benar-benar menyembul seutuhnya, ia mengancingkan kembali kancing celananya.

Baru saja ia mengancingkan celananya, tiba-tiba terdengar dentingan suara sendok yang dipukulkan ke mangkok. Teng teng teng! Suara dentingan itu semakin mendekat. Dari kejauhan muncul sebuah gerobak bakso yang mendekati Ibu Deni dengan kecepatan cukup tinggi. Rupanya sebuah gerobak bakso yang dilengkapi dengan sepeda. Ibu Deni reflek menaikan kembali celananya. “JANGAN!” teriakku dari walkie talkie. Ia mengurungkan niatnya dan tetap berdiri di tempatnya.

Gerobak bakso itu ternyata berhenti sekitar beberapa meter dari tempat Ibu Deni. Tukang bakso itu turun dari gerobaknya dan memasang payung besar yang dibentangkan di atas gerobaknya agar tidak kepanasan. Rupanya ia sedang menunggu pembeli.

“Sekarang bibi harus menggoda tukang bakso itu,” kataku lagi. “Bibi cukup bilang ‘ mas pantatku gatal nih, minta tolong garukin dong’”

“Gila kalian,” seru Ibu Deni kesal.

“Eits menghina kami? Berarti bibi harus menungging saat tukang bakso itu menggaruk pantat bibi. Bibi juga harus melebarkan belahan pantat bibi sampai anusnya kelihatan.”

“Tapi…”

“Gak ada tapi. Cepat lakukan.”

Aku menutup walkie talkie dan mengamati Ibu Deni. Ia terlihat sangat gelisah. Meski begitu, ia terus berjalan mendekati tukang bakso yang sedang mengelap mangkok-mangkoknya. “Mas…” sahut Ibu Deni malu-malu. “Mau beli baksonya mbak?” tanya si tukang bakso datar. Rupanya ia belum menyadari bagian belakang Ibu Deni. “Ah gini mas, aku mau minta tolong sama masnya,” ujar Ibu Deni. “Wah minta tolong apa ya mbak?” tanya si tukang bakso bingung. Ibu Deni menarik napas dalam-dalam lalu berujar: “Bisa tolong garukin pantatku?”

Ibu Deni memutar tubuhnya dan menunggingkan pantatnya. Ia juga melebarkan belahan pantatnya dengan kedua tangannya sampai anusnya yang kecokelatan terlihat menganga. Tukang bakso itu begitu kagetnya dengan kelakuan Ibu Deni sampai-sampai ia nyaris terjatuh dari tempatnya berdiri.

“Ap…apa yang mbak lakukan?” ia memandang pantat Ibu Deni tanpa berkedip.

“Cepat mas garukin,” kata Ibu Deni dengan wajah memerah.

Si tukang bakso tidak mau kehilangan kesempatan itu. Ia segera meraih bongkahan pantat Ibu Deni lalu meremasnya. Celakanya, saat tukang bakso itu berusaha meremas, celana Ibu Deni meluncur turun hingga ia benar-benar tidak memakai celana. “Kyaaaa!” teriak Ibu Deni sambil menutupi memeknya. Karena tangannya gantian menutupi memeknya, belahan pantat Ibu Deni menutup kembali. Tukang bakso itu menahan pantat Ibu Deni lalu membuka lebar-lebar lubang pantatnya sampai lebih lebar dari sebelumnya.

“Yang… yang mana yang gatal mbak?” tanya si tukang bakso penuh nafsu.

“Yang mana saja,” jawab Ibu Deni sambil memejamkan matanya menahan malu.

Bukannya menggaruk, tukang bakso itu malah membenamkan jari telunjuknya ke dalam anus dan jari tengahnya ke memek Ibu Deni. Tubuh Ibu Deni mengejang kesakitan. Tukang bakso itu menggerakan jari jemarinya keluar masuk. Tangan lainnya ia gunakan untuk tetap memperlebar belahan pantat Ibu Deni. Tak lama kemudian, cairan bening mengalir dari memeknya dan turun perlahan-lahan di kedua kaki Ibu Deni. Ia mengejang lagi, lalu ia mendesah agak keras, “Ough…”

Tubuh Ibu Deni mulai melemah. Sepertinya ia sudah orgasme. Aku menyalakan tombol ON di walkie talkie dua kali tanda berhenti. Ibu Deni segera meraih tangan si tukang bakso. “Lepaskan,” katanya. Tukang bakso itu menurut dan mencabut jari-jarinya dari dalam lubang pantat dan memek Ibu Deni.

“Lain kali ngentot yuk,” kata si tukang bakso dengan penuh harap.

“Tidak. Terima kash,” ujar Ibu Deni sambil mengenakan kembali celana pendeknya. Ia menyibak rambutnya yang jatuh menutupi wajahnya yang tirus. Tukang bakso itu terus menatap Ibu Deni dengan kagum. “Berapa nomor teleponmu?” tukang bakso itu masih saja bertanya.

“Itu rahasia,” jawab Ibu Deni. Ia mengambil beberapa lembar tisu yang berada di atas gerobak bakso lalu mengelap kedua kakinya yang jenjang agar tidak ada cairan yang menempel. Setelah dirasa beres, Ibu Deni meninggalkan si tukang bakso yang masih memandangi bokong Ibu Deni yang kini tertutupi celana.

Aku dan Boni hampir saja tertawa terbahak-bahak kalau saja aku tidak segera menyadarinya. Kami nyaris saja ketinggalan jauh dari Ibu Deni. Aku dan Boni langsung bergegas mengikuti sambil memasang wajah pura-pura tidak tahu saat melewati si tukang bakso yang masih tersenyum-senyum sendiri.

Akhirnya kami tiba di ujung jalan gang. Jalannya sekarang terasa lebih longgar dibandingkan sebelumnya, tetapi tetap saja sepi. Di ujung jalan ini adalah jalan raya, kami bisa mendengar suara kendaraan yang saling melintas.

“Astaga! Itu Deni!” kata Boni sambil menunjuk ke depan. Aku memicingkan mata. Benar. Deni tampak sedang berjalan kaki bersama ketiga temannya. Mereka sepertinya baru saja selesai bermain sepak bola, itu bisa dilihat dari pakaian mereka yang kotor oleh lumpur. Ibu Deni terpaku melihat anaknya. Untungnya Deni masih belum menyadari kehadiran ibunya.

“Ini tugas terakhir,” kataku. Lalu aku mengatakan ke Ibu Deni lewat walkie talkie.

“Be… betulkah aku harus begitu…” suara Ibu Deni terdengar gemetar saat mendengar perintahku. Aku mengiyakan. “Tugas terakhir untuk hari ini. Tapi bukan yang benar-benar terakhir. Setelah ini bibi bisa beristirahat,” kataku kalem.

Ibu Deni menaruh walkie takie-nya ke atas drum kosong di sampingnya. Lantas, ia melepas celana pendeknya sekaligus sempaknya lalu menaruhnya di atas drum itu juga. Kemudian ia menggulung kaosnya lebih tinggi lagi hingga melewati teteknya yang masih terbungkus beha berwarna ungu. Dengan sekali gerakan, ia melepas kait behanya dan kedua teteknya yang tadinya tertahan oleh beha kini jatuh menggantung di dadanya. Kedua putingnya sudah bulat sempurna seakan-akan siap dihisap.

Ia benar-benar hampir telanjang bulat. Pakaian yang menempel di tubuhnya cuma kaosnya yang tergulung sampai di atas teteknya, sementara tetek dan memeknya yang tanpa jembut terlihat polos tanpa penutup. Ibu Deni menarik napas panjang lagi dan melangkah maju mendekati anaknya.

“Wwwooowww… coba lihat ke depan,” kata salah satu teman Deni sambil menganga tak percaya. Deni dan ketiga temannya langsung berhenti dan mengamati sesosok wanita setengah telanjang yang mendekati mereka.

“Loh ma… mama ngapain kok telanjang kayak gitu?!” seru Deni kaget saat menyadari bahwa wanita itu ternyata ibunya. Ibu Deni menundukkan kepalanya karena malu. “Mama mau menjemput kamu nak. Ayo kita pulang,” kata Ibu Deni dengan suara nyaris terisak.

“Tapi… tapi pakaian mama…” kata Deni terbata-bata. Ketiga temannya menatap Ibu Deni dengan wajah mupeng. “Hehehe, bibi keterlaluan beraninya,” kata mereka.

“Tidak ada tapi tapi, ayo pulang,” kata Ibu Deni. “Oh ya, untuk teman-temannya Deni, bibi mau menunjukkan sesuatu sebagai tanda terimakasih karena sudah menjadi teman Deni selama ini.”

Ibu Deni segera membalikan badan dan mengarahkan pantatnya ke arah Deni dan ketiga temannya lalu membuka lebar lubang pantatnya dengan menggunakan kedua tangannya. Deni dan ketiga temannya terpana melihatnya.
“Nah silakan dilihat sepuasnya,” kata Ibu Deni sambil menangis.

“MAMA!” teriak Deni.

Melihat itu, aku dan Boni saling bersalaman dan tertawa cekikikan. Misi hari ini selesai dengan sangat sempurna.
 
Terakhir diubah:
aku mau nanya dong hu. Kadang ada judul cerita panas yang dicoret itu maksudnya apa ya???
 
kalau digembok itu tandanya gak bisa dibaca kalau gak login ya hu??

kalo cuma baca masih bisa(login atopun tidaklogin), yg gak bisa post. jadi buat TS yg threadnya di gembok oleh SATPAM, bisa pm ke SATPAM kalo pengen gemboknya di buka, biasanya dibukain kalo TS sudah akan update saja (daripada bikin thread baru buat nerusin cerita yg sudah ada). :beer:

CMIIW
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd