Aku bersyukur dapat selamat dari nafsu Mbah Dipo.
Ya, ia memang tidak sabar dan menyerangku tepat
pada waktu penangkal Paku Bumi sedang bereaksi,
ketika perutku sedang melilit sakit. Seandainya ia
mau bersabar sebentar saja, tidak tahulah apa
jadinya dengan diriku.
“Jadi sekarang sebaiknya bagaimana, Mbah..?”
“Kukira ia benar-benar akan membalas dendam.
Oleh karena itu kau harus berjaga-jaga.”
“Mbah akan memberi penangkal lagi?”
“Ya. Tapi tolong, bagaimana pun kasihannya kau
pada seseorang, jangan biarkan ia tahu soal
penangkal ini. Rahasiakan hal ini dari siapapun,
bahkan anakmu sendiri. Hanya kita berdua yang
tahu masalah ini. Ingat, bila rahasia ini bocor,
taruhannya sekarang adalah nyawamu. Di dalam
dunia perdukunan, bila seseorang sudah berani
melawan seorang dukun, berarti si dukun sudah
siap bersabung nyawa dengan orang itu. Kalau
rahasia kekuatan orang itu sudah diketahui oleh si
dukun, sama artinya dengan menyerahkan
nyawanya pada si dukun.”
“Aku janji tidak akan membuka rahasia lagi, Mbah,”
jawabku.
“Karena si dukun yang mengincarmu ini tergolong
dukun cabul, maka biarkan penangkal Paku Bumi
tetap ada pada dirimu. Dengan pengalaman yang
pernah terjadi, kau tentu sudah lebih tahu
bagaimana menggunakannya, kan?”
“Iya, Mbah.”
“Yang kedua, aku akan memberimu penangkal yang
lebih kuat dari yang kemarin. Taruhlah ini di
rumahmu di tempat yang tersembunyi. Ia akan
menjaga dari ancaman guna-guna hitam yang
masuk ke rumahmu. Siapa pun yang mengirim
guna-gunanya akan mendapat reaksi perlawanan
dari penangkal ini. Hanya orang yang lebih kuat dari
penangkal itu sajalah yang dapat masuk ke
rumahmu dengan guna-gunanya. Terimalah ini..”
Kuterima bungkusan kuning dari Mbah Purwo. Agak
lebih besar sedikit dari penangkal berbungkus hijau
yang telah dihancurkan Mbah Dipo.
“Apa masih ada yang lain lagi, Mbah?” tanyaku.
“Ehem, ehem,” Mbah Purwo mendehem, “Kalau
yang ini terserah kau saja mau menerimanya atau
tidak, yakni kemampuan bathin Satu Raga. Dengan
memiliki kemampuan bathin ini nantinya kau bisa
memanggilku kapan saja diperlukan, terutama
dalam keadaan kritis yang berkaitan dengan
perdukunan.”
“Aku mau, Mbah,” jawabku tanpa pikir panjang.
“Syaratnya.., raga kita harus bersatu lebih dulu. Apa
kau sanggup, Sur?”
“Eh.. oh.. ap.. apa ini sama seperti waktu memasang
Paku Bumi. Mbah?” aku tersipu malu.
“Ya, prosesnya memang harus melalui cara itu, Sur.
Namanya juga Satu Raga.. Silakan kau pikirkan dulu.
Kalau kau bersedia, kau harus menginap di sini
karena prosesnya lama.. Maaf, silakan kau berpikir
di ruang dalam, karena pasien yang lain sudah
menungguku.”
Aku berjalan memasuki bagian dalam rumah Mbah
Purwo yang kelihatan biasa seperti rumah pada
umumnya. Tidak kulihat siapapun lagi di rumah itu.
Pasti ia hidup sendiri. Aku duduk tercenung di atas
kursi bambu di halaman belakang.
“Ah, kenapa lagi-lagi aku dituntut melakukan
perbuatan itu?” pikirku.
Kalau dulu aku melakukannya dengan Pak Kosim
dan ketiga pemuda dalam keadaan tidak sadar
karena pengaruh guna-guna. Maka sekarang aku
dituntut melakukannya dengan sadar tanpa
paksaan. Apa ini bukan akal bulus Mbah Purwo saja
untuk melakukannya yang kedua kali dengan
diriku? Tapi.. penangkal yang dia berikan dulu sudah
terbukti berhasil menyelamatkanku. Masak dia mau
menipu?
Sekarang yang perlu kupertimbangkan adalah
untung-ruginya kalau memiliki kemampuan Satu
Raga. Kemampuan ini memang tidak ada gunanya
kalau situasinya aman-aman saja. Namun
sekarang sudah jelas posisiku dalam keadaan
terancam pembalasan Mbah Dipo. Ia tentu akan
menggunakan kekuatan yang lebih hebat lagi.
Kemarin ia telah membuatku hampir mati beku dan
mengelabuiku menggunakan raga Pak Kosim,
sehingga aku hampir pula dinodainya. Sekarang
pasti akalnya lebih licin lagi. Jiwaku terancam
hebat. Ya kalau penangkal berbungkus kuning itu
mampu mengalahkannya. Kalau tidak mampu?
Dengan kesaktiannya, kukira Mbah Dipo pasti dapat
menemukan penangkal itu di mana pun
kusembunyikan, lalu menghancurkannya. Kalau itu
yang terjadi, habislah aku. Ia pun kukira pasti telah
menyiapkan cara untuk menghadapi penangkal
Paku Bumi yang kumiliki. Aku pun tidak dapat
menduga kapan ia akan datang. Agaknya aku
memang memerlukan penolong yang siap
membantuku setiap saat.
“Mari kita makan siang, Sur,” suara Mbah Purwo
mengejutkan lamunanku yang entah sudah berapa
lama.
Tidak terasa matahari telah di atas ubun-ubun.
“Pasienku sudah habis, dan biasanya kalau sudah
lewat jam satu siang begini tidak bakal ada yang
datang lagi. Sebaiknya kita makan sekarang,
kemudian kau tidur beristirahat untuk menyiapkan
diri menerima Satu Raga yang prosesnya
berlangsung semalaman. Kita mulai nanti setelah
makan malam.”
Seusai makan, Mbah Purwo memasuki kamar
prakteknya. Katanya ia hendak menyiapkan
perlengkapan untuk nanti malam. Sementara aku
dipersilahkan tidur di kamar di dalam rumahnya.
Kurebahkan tubuhku yang penat. Bau harum melati
yang bertaburan di atas tilam menyegarkan
penciumanku. Rupanya Mbah Purwo paling suka
aroma bunga melati, sehingga di setiap tempat
tidurnya bertaburan bunga ini. Di halaman rumahnya
pun tadi kulihat banyak tanaman ini sedang
berbunga lebat. Aroma khas melati ini membuatku
dengan cepat terlelap. Biarlah apa yang terjadi nanti
terjadilah. Aku perlu menenangkan kondisi fisikku
yang cukup lelah, karena tadi pagi harus
menyelesaikan cukup banyak cucian sebelum
berangkat ke rumah Mbah Purwo. Sementara itu
psikisku yang terus didera kejadian-kejadian aneh
rasanya juga lelah sekali.
Sambil berbaring, kupejamkan mata. Anganku
melayang pada Basuki dan Nina. Sedang apa
mereka sekarang? Semoga kedua anakku itu selalu
bahagia dalam lindunganNya. Hanya mereka berdua
sekarang yang menjadikan hidupku lebih
bersemangat. Andai tidak ada mereka, entahlah.
Mungkin aku tidak akan bersusah-susah mencari
Mbah Purwo guna mempertahankan hidup. Akan
kubiarkan segala yang menimpa diriku. Akan
kubiarkan diriku menjadi korban guna-guna. Toh
hidup lebih lama juga tidak menjamin kehidupanku
lebih baik.
Yah, kadang memang aku mengeluh pada Allah.
Kenapa hidup keluarga kami yang mulai tertata baik
mendadak harus kehilangan tiang penyangga
utamanya. Suamiku meninggal. Sehingga porak-
poranda lah seluruh yang sudah mulai tertata baik
itu. Padahal, menurut pikiran manusia, keluarga
kami tidak mengharap yang aneh-aneh atau muluk-
muluk. Kami selalu berusaha mencukupkan diri
dengan apa yang kami miliki.
Punya sedikit tidak mengeluh. (Kadang-kadang)
Punya berlebih, kami pun tidak menjadi sombong.
Sementara banyak orang yang hidupnya sudah
berkecukupan masih terus memburu harta-benda
tidak berkesudahan. Dan sepertinya mereka terus
mendapat kelimpahan. Sedangkan kami justru
tertimpa kesedihan? Kenapa ini terjadi, Tuhan?
Inikah memang yang Kau gariskan? Pertanyaan itu
tidak terjawab sampai mataku terlelap. Dan aku
yakin, misteri Allah ini tidak akan pernah terjawab
oleh siapapun sepanjang masa..
“Kita makan dulu, Sur,” ajak Mbah Purwo setelah
maghrib lewat.
Seperti tadi siang, selama makan aku pun tidak
banyak bicara. Bagaimana pun tetap ada rasa
jengah dalam diriku mengingat apa yang akan kami
lakukan setelah ini. Mbah Purwo yang coba
mengajakku ngobrol pun tidak mampu mencairkan
suasana hatiku.
“Rupanya kau belum bersikap sungguh-sungguh
untuk menerima Satu Raga, Sur? Sikapmu masih
takut-takut dan malu-malu..”
“Ak.. aku sudah siap, Mbah.”
“Kau jangan menipu mata tuaku ini, Sur. Kalau kau
masih terus bersikap begitu, maka akan
menghambat proses Satu Raga ini.”
“Maaf, Mbah. Aku memang masih merasa malu dan
ragu, soalnya..”
Belum selesai aku bicara Mbah Purwo sudah
memutus.
“Dalam proses Satu Raga, kita tidak boleh ragu-
ragu. Kita harus konsentrasi penuh dan hanya
membayangkan wajah mitra kita di dalam pikiran.
Kalau pikiran kita tidak konsentrasi, percuma saja
kita melakukan proses Satu Raga ini. Tidak ada
gunanya.”
“Iii.. iya, Mbah. Saya akan coba berkonsentrasi..”
“Tidak mungkin, Sur,” tegur Mbah Purwo arif.
“Sekarang begini saja.. Apa kau membawa foto
suamimu? Coba kupinjam..”
Aku mengingatnya sebentar. Kemudian beranjak ke
kamar mengambil dompetku. Di situ selalu
kuselipkan foto keluarga kami.
“Ini fotonya, Mbah. Tapi foto keluarga.”
“Ini pun cukup. Mari kita ke kamar praktekku dan
memulai proses Satu Raga.”
Kami duduk bersila, berhadap-hadapan. Mbah
Purwo mengamati foto keluargaku beberapa saat.
Dengan jari telunjuk dan jari tengah, di kiri kanan
ditutupnya gambarku dan kedua anakku sehingga
yang tampak tinggal gambar suamiku.
Dipandangnya gambar itu tajam-tajam. Lalu sambil
memejamkan mata, dibawanya gambar itu ke
keningnya, ditempelkannya, dan dibawanya turun
melewati wajahnya.
“Pandanglah mataku, Sur!” suara Mbah Purwo
berubah garang memerintahku.
Kuturuti permintaannya. Kupandang mata laki-laki
yang duduk di depanku itu. Aku terkejut sekali
karena ternyata aku saat itu tengah memandang
Mas Widodo, suamiku! Suamiku hidup lagi!?
“Bagaimana keadaanmu sekarang, Sur?” tanya Mas
Wid.
“Eh.. Oh.. Baik-baik saja, Mas,” sahutku kikuk.
“Lalu Basuki dan Nina sekarang di mana?”
“Mereka bekerja di Tangerang, Mas.”
“Aku rindu sama kamu, Sur..”
Mas Widodo mendekatiku. Dijembanya aku untuk
berdiri. Sebentar kemudian aku dipeluknya. Dan..
diciumnya.. Aku ingin meronta, namun nalarku
pelan-pelan berubah total jadi ingin menerimanya.
Air mataku mengucur haru menerima kehadiran
suamiku kembali. Kubalas pelukannya dengan
kerinduan yang amat sangat.
“Jangan tinggalkan aku lagi, Mas,” desahku sambil
mempererat pelukan.
“Tidak, Sur.”
Masih dalam suasana rindu itu kurasakan tubuhku
dipondongnya. Kami memasuki bilik kecil berlampu
merah. Aroma cendana dan melati membuat kami
lebih asyik-masyuk. Oh.. betapa rindunya aku akan
belaian dan dekapan Mas Wid. Lama sekali kami
tidak bermesraan seperti ini. Aku tidak tahan lagi.
Kubuka bajunya.. Aih, sekarang Mas Wid
memelihara bulu dada! Tubuhnya juga tampak lebih
kekar berotot, tidak seperti dulu, agak kerempeng.
Kukecup dada berbulu itu. Syuur.. terasa di sekujur
tubuhku. Terlebih ketika tangan kekarnya
memelukku ketat dan mulai nakal menggelitiku.