Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT memusnahkan guna” pemikat sukma

Status
Please reply by conversation.
Lanjuuuuutttttt....... para suhu... para agan agan semua....
salam hormat dari sy....
=========================================

Sebelum pewarna itu kering benar, cepat-cepat
tangan kubersihkan dengan lap yang juga kubawa di
dalam kantung daster. Lalu punggung Pak Kosim
pun kutiup-tiup kecil supaya cepat kering. Sambil
menunggu kering benar, aku berpindah memijat
kakinya.
“Berbalik, Pak,” bisikku lagi sesudah kuperkirakan
pewarna di punggungnya kering.
Ia pun menuruti perintahku. Kupijat sebentar di atas
pusarnya, lalu berpindah ke pahanya. Aku tahu ia
mulai terangsang ketika kulihat gerakan-gerakan di
balik celana dalamnya.
“Kita main-main sebentar, Pak,” bisikku sambil
membawa kedua tangannya ke atas kepala.
Kuambil tali sepatu nilon, lalu kuikat kedua tangan
itu ke tiang ranjang besi tempat kami berada. Kedua
tangan itu sekarang terpentang. Ia pasti tidak
sanggup melepaskan dirinya sendiri tanpa bantuan.
Kuraba dadanya yang tipis. Rabaanku turun dan
terus turun. Ia menggelinjang ketika celananya
kuperosotkan. Sebatang benda tumpul nampak
bergoyang-goyang. Tapi aku tidak terusik.
Kusiapkan tali nilon lagi lalu kuikat kaki-kaki Pak
Kosim kuat-kuat dengan simpul mati. Kupentangkan
keduanya dan kuikat erat ke kiri-kanan tiang
ranjang. Jadilah sekarang dia dalam keadaan
terentang di ranjang. Aku tersenyum puas.
“Sekarang tinggal aku mempermainkannya,”
senyumku sambil mengenakan dasterku kembali.
Kuambil segulung benang jahit ukuran besar yang
sudah kusiapkan untuk menghukumnya dengan
membuatnya impoten sementara waktu. Kuharap ia
akan jera dan membuatnya mengakui kesalahannya
dan mengaku untuk tidak mengulanginya.
Setelah merasakan tersiksa dan tidak berdaya, aku
hanya menunggu hingga pagi hari. Rencanaku
adalah membuatnya tertangkap basah oleh istrinya
dengan keadaan yang tidak berdaya itu. Setelah
meastikan dia tidak akan telepas dengan
sendirinya. Aku pun meninggalkannya sendiri di
kamarnya. Aku sudah dapat memastikan kalau
sebentar lagi Pak Kosim akan tertangkap basah
oleh istrinya dan tidak akan mengulani
perbuatannya lagi.
Kejadian itu membuatku merasa puas akan balas
dendamku, dan perasaanku dan hidupku sekarang
dapat lebih tenang.
*****
Beberapa hari kemudian, tepatnya malam kedua
setelah kejahatan Pak Kosim ketahuan oleh istrinya
dan dia mau bertobat, aku tidak dapat tidur dengan
tenang. Sekitar jam satu malam aku terbangun
dangan keringat membasahi hampir separuh
pakaianku. Aku merasakan hawa panas melingkupi
rumahku saat itu.
Ketika aku akan bangkit untuk membuka jendela
kamarku, aku melihat Pak Kosim sudah berdiri di
depan pintu kamarku. Pria itu tidak terlihat seperti
sebelumya yang ketakutan ketika melihatku. Kali ini
wajahnya penuh dengan arti kemenangan. Aku pun
teringat akan jimat penangkal guna-guna yang
kuletakkan di atas pintu rumahku. Benda itu kini
berada di tangan kanan pria itu.
Pria itu mendekatiku seraya membuka pakaiannya.
Aku tidak mampu bergerak dipandanginya. Tubuhku
kaku, tetapi keringat tetap mengalir. Tiba-tiba dia
mengangkat tubuhku dan membaringkanku di atas
dipanku. Dia mulai membuka pakaianku. Mulai dari
atas hingga bagian celana dalamku pun tidak luput
darinya. Hawa dingin mulai merasupi tubuh
telanjangku di tengah malam ini. Aku benar-benar
sedang dalam bahaya yang tidak kuasa kulawan.
Dia mulai merangsangku dengan menjilat dan
menghisap daerah-daerah sensitifku. Aku sudah
terangsang, tetapi mulai kurasakan rasa sakit
akibat penangkal dalam tubuhku bereaksi. Sakit itu
membuatku tambah tidak berdaya, dan lebih-lebih
ketika pria itu mulai menggagahiku.
Tiba-tiba ada suatu sentakan dalam diriku yang
membuatnya tejungkal jatuh. Aku heran, aku yang
sedang tidak berdaya tidak mungkin mempunyai
kekuatan seperti itu untuk mebuatnya terjungkal.
Tetapi dia kembali menggagahiku lagi, aku tetap
tidak berdaya ketika pria itu kembali
membentangkan pahaku. Dan dengan cepat
menindih serta menghantamku lagi. Aku pasrah
berdiam diri. Membiarkan tubuhku digoyang-goyang
lagi. Namun baru beberapa kali gerakan, tiba-
tiba..”Gdebrukk!”
Lagi-lagi Pak Kosim terjungkal jatuh.
Ia nampak amat sangat terperanjat karena kali ini
tidak melihatku melakukan gerakan apa pun. Seolah
ada kekuatan tidak terlihat yang mendorongnya
keras. Begitu bangkit terlihat ia memegangi miliknya
dan menyeringai kesakitan.
“Uffh.. Baik, kali ini kau menang lagi, Surti. Tapi aku
tak akan berhenti sebelum mengalahkanmu!”
ancamnya.
Setelah kata-katanya berakhir mendadak, “Buss!”
tubuh Pak Kosim lenyap menjadi asap dan
menghilang melalui sela-sela jendela kamarku.
“Byaar!” dunia pun seakan terang kembali di
hadapanku.
Pengaruh magis Pak Kosim pada diriku ikut sirna
bersama kepergiannya. Aku terduduk di tempat
tidur. Merenungkan apa yang baru saja terjadi.
“Kenapa Pak Kosim tidak menepati janjinya?” aku
bertanya-tanya.
“Bukankah ia bersumpah tidak akan mengulang
perbuatannya lagi, dan.. dan.. bukankah ia telah
impoten sejak aku berhasil menangkalnya?”
Pertanyaan itu terus berkecamuk di benakku.
“Apa mungkin ia melaporkan peristiwa dulu itu
kepada dukunnya, dan minta untuk membalas
dendam padaku? Bagaimana pula aku bisa punya
kemampuan melawannya setelah tadi penangkalku
dihancurkan?”
Pertanyaan-pertanyaan tadi tetap tidak terjawab
sampai mataku menjadi berat minta istirahat. Aku
tidak perduli dengan pakaianku yang masih
bertebaran. Esoknya terjadi kegemparan di antara
orang-orang kampungku. Pak Kosim diketemukan
tergeletak pingsan di bawah pohon besar tempat
aku pernah ditemukan. Sewaktu dulu aku yang
mengalami, beritanya tidak begitu meluas, karena
aku orang kecil. Namun sekarang peristiwa yang
sama dialami Pak Kosim yang pengurus RW,
beritanya jadi cepat menjalar.
Konon, ketika ditemukan Pak Kosim hanya
bercelana dalam serta nampak kesakitan dan terus
memegangi pangkal pahanya yang kelihatan
bengkak dan memar-memar biru. Benakku segera
menghubungkan kondisi Pak Kosim itu dengan
pengalamanku semalam.
“Biar tahu rasa dia!” pikiranku mendampratnya.
Kebetulan hari itu juga aku harus mengambil cucian
di rumahnya. Beberapa tetangga masih kelihatan di
halaman depan rumah itu ketika aku masuk. Diam-
diam aku masuk dan menguping pembicaraan
orang-orang itu tanpa mereka ketahui.
“Katanya sih Pak Kosim dibawa penunggu pohon
itu.”
“Iya, dulu juga si Surti tukang cuci itu pernah
mengalami hal yang sama.”
“Kok saya tidak tahu ya? Kapan itu?”
“Yah, kira-kira dua bulan yang lalu..”
“Tapi sekarang Pak Kosim nampaknya parah lho..
tubuhnya sakit semua, malah.. alat vitalnya juga..”
“Jangan-jangan..,” suaranya semakin berbisik,
“Penunggu pohon itu wanita dan telah
memperkosanya hi.. hi.. hi..”
Aku tersenyum kecut mendengar dugaan yang
terakhir ini. Oh, orang kalau sudah ngomongin
orang.. Orang lain yang sedang tertimpa musibah
pun bisa menjadi bahan tertawaan dan lelucon.
Sepertinya dia yang paling tahu dan benar saja.
Coba kalau dia sendiri yang mengalami musibah itu,
apa masih bisa tertawa?
Sementara itu menurut tukang kebunnya, Bu Kosim
serta anak-anaknya sedang mengantarkan Pak
Kosim ke dokter untuk diperiksa. Di bagian dalam
rumah agak sepi. Maka aku pun memberanikan diri
memasuki kamar utama, tempat aku dulu pernah
dizinahi Pak Kosim. Untung tidak dikunci. Mataku
memandang berkeliling. Kolong ranjang pun tidak
ketinggalan kuperiksa.
Akhirnya setelah membuka beberapa laci meja dan
lemari yang tidak terkunci, kutemukan benda yang
tidak sepantasnya ada di kamar itu, yakni celana
dalamku! Aku ingat benar benda itu adalah milikku
yang tertinggal dulu. Pak Kosim pasti sengaja
menyimpannya supaya dapat tetap mengguna-
gunaiku. Aku telah tertipu pada mulut manisnya
yang mengungkapkan penyesalannya waktu itu.
Memang, setelah dia berhasil kutaklukkan dulu di
hadapan istrinya sendiri, sempat kulihat dan
rasakan hubungan kami menjadi tidak yang seperti
dulu yang Pak Kosim acuh tidak acuh terhadapku.
Tetapi bagaimana dengan penjelasan celana
dalamku ini?
Sebenarnya hukuman untuknya sudah cukup besar
dariku, karena sudah menerima rasa malu dari
kekalahannya dan ketahuannya dariku. Belum lagi
ditambah dengan istrinya yang marah besar melihat
suaminya berani memasukkan wanita sembarangan
ke kamar mereka. Lebih lagi wanita itu ternyata
hanya meperdayai suaminya. Apapun akibatnya,
sekarang Bu Kosim jadi tahu karakter suaminya.
Ternyata ia bukan pria yang dapat dipercaya begitu
saja. Ditambah lagi sekarang Pak Kosim ditemukan
orang tidur setengah telanjang di bawah pohon.
Apalagi yang dilakukannya kali ini?! Betapa
menjengkelkan tua bangka ini, sekaligus
memalukan!
Kubawa celana dalamku itu. Kutaruh bercampur
dengan cucian yang kuambil. Aku akan
membakarnya supaya tidak ada lagi sisa-sisa
barang yang dapat dipakai untuk mengguna-
gunaiku. Meski begitu, aku sebenarnya masih agak
penasaran kenapa Pak Kosim bisa terkapar pingsan
di bawah pohon itu. Apakah ada kekuatan lain yang
telah mengalahkannya? Bukankah ia, dengan
berubah menjadi asap, sudah pergi dan tubuhnya
tidak mengalami cedera berat setelah gagal
menodaiku? Jangan-jangan ia mengira aku yang
telah mempermalukannya di bawah pohon itu.
Bagaimana kalau ia masih mau membalas dendam
lagi?
Kekuatiran dan rasa penasaran itu membuatku tidak
dapat tidur nyenyak selama beberapa hari.
Haruskah kutemui Mbah Purwo kembali untuk
memupus kegelisahanku ini?
“Jadi begitu ceritanya, Surti,” ujar Mbah Purwo
setelah mendengar ceritaku.
Kali ini aku tidak malu menceritakan tentang usaha
Pak Kosim menggagahiku lewat guna-guna lagi.
Bahkan sampai membuatku beku dan mendatangi
rumahku. Mbah Purwo juga sudah tidak sungkan-
sungkan lagi memanggilku tanpa sebutan “Mbak”
lagi. Mungkin ia merasa akrab sejak “memasang”
penangkal pada tubuhku dulu.
“Iya, Mbah. Bagaimana ini?” tanyaku.
“Kalau menurutku, Pak Kosim sendiri memang tidak
mungkin lagi berani mengguna-gunai siapa pun
sejak berhasil kau lumpuhkan. Ia pun sekarang
memang sungguh-sungguh sedang mengalami
impoten. Hal ini dapat dianggap sebagai tumbal
yang harus ia tanggung karena sudah memakai
guna-guna hitam itu. Meskipun impotennya itu
hanya bersifat sementara. Aku menduga,
kemungkinan besar yang datang ke rumahmu
kemarin itu adalah Mbah Dipo, dukunnya Pak Kosim.
Hanya saja ia menggunakan raga Pak Kosim
sebagai sarananya. Reputasi dukun ini memang
kurang baik di mata dukun-dukun lain. Ia sering
menghalalkan segala cara.”
Aku manggut-manggut mencoba memahami dunia
para dukun.
“Rupanya Pak Kosim melaporkan kekalahannya
olehmu itu. Lalu Mbah Dipo, yang merasa tidak
suka, berupaya menyakitimu. Memang ia telah
menghancurkan penangkal yang kuberi itu, tapi ia
tidak menduga bahwa aku pun telah memasang
Paku Bumi di tubuhmu. Dan kebetulan sekali ia
beraksi tepat pada waktu Paku Bumi juga sedang
bekerja. Seandainya ia bersabar sedikit barang lima
menit pastilah maksudnya akan kesampaian. Kau
ingat kan, Sur, bahwa Paku Bumi hanya bereaksi
sekitar lima menit. Setelah itu ia akan melemah
dengan sendirinya. Bila dalam masa lima menit tadi
ada yang memaksakan kehendaknya, maka
otomatis penangkal ini akan bereaksi keras
menolaknya. Bila yang memaksakan kehendak
adalah orang yang dipasangi penangkal ini, maka
engkau akan merasakan kesakitan yang luar biasa.
Bila yang memaksakan kehendak adalah orang lain,
maka ia akan ditolak dengan rasa sakit luar biasa
pada alat vitalnya. Kurasa orang itu mengalami hal
itu..”
mau lanjut apa cukup disini...???????
 
muthung dah gw... cz yg komen dikit.. bnykan SR nya..***s jadinya
 
Bimabet
Aku bersyukur dapat selamat dari nafsu Mbah Dipo.
Ya, ia memang tidak sabar dan menyerangku tepat
pada waktu penangkal Paku Bumi sedang bereaksi,
ketika perutku sedang melilit sakit. Seandainya ia
mau bersabar sebentar saja, tidak tahulah apa
jadinya dengan diriku.
“Jadi sekarang sebaiknya bagaimana, Mbah..?”
“Kukira ia benar-benar akan membalas dendam.
Oleh karena itu kau harus berjaga-jaga.”
“Mbah akan memberi penangkal lagi?”
“Ya. Tapi tolong, bagaimana pun kasihannya kau
pada seseorang, jangan biarkan ia tahu soal
penangkal ini. Rahasiakan hal ini dari siapapun,
bahkan anakmu sendiri. Hanya kita berdua yang
tahu masalah ini. Ingat, bila rahasia ini bocor,
taruhannya sekarang adalah nyawamu. Di dalam
dunia perdukunan, bila seseorang sudah berani
melawan seorang dukun, berarti si dukun sudah
siap bersabung nyawa dengan orang itu. Kalau
rahasia kekuatan orang itu sudah diketahui oleh si
dukun, sama artinya dengan menyerahkan
nyawanya pada si dukun.”
“Aku janji tidak akan membuka rahasia lagi, Mbah,”
jawabku.
“Karena si dukun yang mengincarmu ini tergolong
dukun cabul, maka biarkan penangkal Paku Bumi
tetap ada pada dirimu. Dengan pengalaman yang
pernah terjadi, kau tentu sudah lebih tahu
bagaimana menggunakannya, kan?”
“Iya, Mbah.”
“Yang kedua, aku akan memberimu penangkal yang
lebih kuat dari yang kemarin. Taruhlah ini di
rumahmu di tempat yang tersembunyi. Ia akan
menjaga dari ancaman guna-guna hitam yang
masuk ke rumahmu. Siapa pun yang mengirim
guna-gunanya akan mendapat reaksi perlawanan
dari penangkal ini. Hanya orang yang lebih kuat dari
penangkal itu sajalah yang dapat masuk ke
rumahmu dengan guna-gunanya. Terimalah ini..”
Kuterima bungkusan kuning dari Mbah Purwo. Agak
lebih besar sedikit dari penangkal berbungkus hijau
yang telah dihancurkan Mbah Dipo.
“Apa masih ada yang lain lagi, Mbah?” tanyaku.
“Ehem, ehem,” Mbah Purwo mendehem, “Kalau
yang ini terserah kau saja mau menerimanya atau
tidak, yakni kemampuan bathin Satu Raga. Dengan
memiliki kemampuan bathin ini nantinya kau bisa
memanggilku kapan saja diperlukan, terutama
dalam keadaan kritis yang berkaitan dengan
perdukunan.”
“Aku mau, Mbah,” jawabku tanpa pikir panjang.
“Syaratnya.., raga kita harus bersatu lebih dulu. Apa
kau sanggup, Sur?”
“Eh.. oh.. ap.. apa ini sama seperti waktu memasang
Paku Bumi. Mbah?” aku tersipu malu.
“Ya, prosesnya memang harus melalui cara itu, Sur.
Namanya juga Satu Raga.. Silakan kau pikirkan dulu.
Kalau kau bersedia, kau harus menginap di sini
karena prosesnya lama.. Maaf, silakan kau berpikir
di ruang dalam, karena pasien yang lain sudah
menungguku.”
Aku berjalan memasuki bagian dalam rumah Mbah
Purwo yang kelihatan biasa seperti rumah pada
umumnya. Tidak kulihat siapapun lagi di rumah itu.
Pasti ia hidup sendiri. Aku duduk tercenung di atas
kursi bambu di halaman belakang.
“Ah, kenapa lagi-lagi aku dituntut melakukan
perbuatan itu?” pikirku.
Kalau dulu aku melakukannya dengan Pak Kosim
dan ketiga pemuda dalam keadaan tidak sadar
karena pengaruh guna-guna. Maka sekarang aku
dituntut melakukannya dengan sadar tanpa
paksaan. Apa ini bukan akal bulus Mbah Purwo saja
untuk melakukannya yang kedua kali dengan
diriku? Tapi.. penangkal yang dia berikan dulu sudah
terbukti berhasil menyelamatkanku. Masak dia mau
menipu?
Sekarang yang perlu kupertimbangkan adalah
untung-ruginya kalau memiliki kemampuan Satu
Raga. Kemampuan ini memang tidak ada gunanya
kalau situasinya aman-aman saja. Namun
sekarang sudah jelas posisiku dalam keadaan
terancam pembalasan Mbah Dipo. Ia tentu akan
menggunakan kekuatan yang lebih hebat lagi.
Kemarin ia telah membuatku hampir mati beku dan
mengelabuiku menggunakan raga Pak Kosim,
sehingga aku hampir pula dinodainya. Sekarang
pasti akalnya lebih licin lagi. Jiwaku terancam
hebat. Ya kalau penangkal berbungkus kuning itu
mampu mengalahkannya. Kalau tidak mampu?
Dengan kesaktiannya, kukira Mbah Dipo pasti dapat
menemukan penangkal itu di mana pun
kusembunyikan, lalu menghancurkannya. Kalau itu
yang terjadi, habislah aku. Ia pun kukira pasti telah
menyiapkan cara untuk menghadapi penangkal
Paku Bumi yang kumiliki. Aku pun tidak dapat
menduga kapan ia akan datang. Agaknya aku
memang memerlukan penolong yang siap
membantuku setiap saat.
“Mari kita makan siang, Sur,” suara Mbah Purwo
mengejutkan lamunanku yang entah sudah berapa
lama.
Tidak terasa matahari telah di atas ubun-ubun.
“Pasienku sudah habis, dan biasanya kalau sudah
lewat jam satu siang begini tidak bakal ada yang
datang lagi. Sebaiknya kita makan sekarang,
kemudian kau tidur beristirahat untuk menyiapkan
diri menerima Satu Raga yang prosesnya
berlangsung semalaman. Kita mulai nanti setelah
makan malam.”
Seusai makan, Mbah Purwo memasuki kamar
prakteknya. Katanya ia hendak menyiapkan
perlengkapan untuk nanti malam. Sementara aku
dipersilahkan tidur di kamar di dalam rumahnya.
Kurebahkan tubuhku yang penat. Bau harum melati
yang bertaburan di atas tilam menyegarkan
penciumanku. Rupanya Mbah Purwo paling suka
aroma bunga melati, sehingga di setiap tempat
tidurnya bertaburan bunga ini. Di halaman rumahnya
pun tadi kulihat banyak tanaman ini sedang
berbunga lebat. Aroma khas melati ini membuatku
dengan cepat terlelap. Biarlah apa yang terjadi nanti
terjadilah. Aku perlu menenangkan kondisi fisikku
yang cukup lelah, karena tadi pagi harus
menyelesaikan cukup banyak cucian sebelum
berangkat ke rumah Mbah Purwo. Sementara itu
psikisku yang terus didera kejadian-kejadian aneh
rasanya juga lelah sekali.
Sambil berbaring, kupejamkan mata. Anganku
melayang pada Basuki dan Nina. Sedang apa
mereka sekarang? Semoga kedua anakku itu selalu
bahagia dalam lindunganNya. Hanya mereka berdua
sekarang yang menjadikan hidupku lebih
bersemangat. Andai tidak ada mereka, entahlah.
Mungkin aku tidak akan bersusah-susah mencari
Mbah Purwo guna mempertahankan hidup. Akan
kubiarkan segala yang menimpa diriku. Akan
kubiarkan diriku menjadi korban guna-guna. Toh
hidup lebih lama juga tidak menjamin kehidupanku
lebih baik.
Yah, kadang memang aku mengeluh pada Allah.
Kenapa hidup keluarga kami yang mulai tertata baik
mendadak harus kehilangan tiang penyangga
utamanya. Suamiku meninggal. Sehingga porak-
poranda lah seluruh yang sudah mulai tertata baik
itu. Padahal, menurut pikiran manusia, keluarga
kami tidak mengharap yang aneh-aneh atau muluk-
muluk. Kami selalu berusaha mencukupkan diri
dengan apa yang kami miliki.
Punya sedikit tidak mengeluh. (Kadang-kadang)
Punya berlebih, kami pun tidak menjadi sombong.
Sementara banyak orang yang hidupnya sudah
berkecukupan masih terus memburu harta-benda
tidak berkesudahan. Dan sepertinya mereka terus
mendapat kelimpahan. Sedangkan kami justru
tertimpa kesedihan? Kenapa ini terjadi, Tuhan?
Inikah memang yang Kau gariskan? Pertanyaan itu
tidak terjawab sampai mataku terlelap. Dan aku
yakin, misteri Allah ini tidak akan pernah terjawab
oleh siapapun sepanjang masa..
“Kita makan dulu, Sur,” ajak Mbah Purwo setelah
maghrib lewat.
Seperti tadi siang, selama makan aku pun tidak
banyak bicara. Bagaimana pun tetap ada rasa
jengah dalam diriku mengingat apa yang akan kami
lakukan setelah ini. Mbah Purwo yang coba
mengajakku ngobrol pun tidak mampu mencairkan
suasana hatiku.
“Rupanya kau belum bersikap sungguh-sungguh
untuk menerima Satu Raga, Sur? Sikapmu masih
takut-takut dan malu-malu..”
“Ak.. aku sudah siap, Mbah.”
“Kau jangan menipu mata tuaku ini, Sur. Kalau kau
masih terus bersikap begitu, maka akan
menghambat proses Satu Raga ini.”
“Maaf, Mbah. Aku memang masih merasa malu dan
ragu, soalnya..”
Belum selesai aku bicara Mbah Purwo sudah
memutus.
“Dalam proses Satu Raga, kita tidak boleh ragu-
ragu. Kita harus konsentrasi penuh dan hanya
membayangkan wajah mitra kita di dalam pikiran.
Kalau pikiran kita tidak konsentrasi, percuma saja
kita melakukan proses Satu Raga ini. Tidak ada
gunanya.”
“Iii.. iya, Mbah. Saya akan coba berkonsentrasi..”
“Tidak mungkin, Sur,” tegur Mbah Purwo arif.
“Sekarang begini saja.. Apa kau membawa foto
suamimu? Coba kupinjam..”
Aku mengingatnya sebentar. Kemudian beranjak ke
kamar mengambil dompetku. Di situ selalu
kuselipkan foto keluarga kami.
“Ini fotonya, Mbah. Tapi foto keluarga.”
“Ini pun cukup. Mari kita ke kamar praktekku dan
memulai proses Satu Raga.”
Kami duduk bersila, berhadap-hadapan. Mbah
Purwo mengamati foto keluargaku beberapa saat.
Dengan jari telunjuk dan jari tengah, di kiri kanan
ditutupnya gambarku dan kedua anakku sehingga
yang tampak tinggal gambar suamiku.
Dipandangnya gambar itu tajam-tajam. Lalu sambil
memejamkan mata, dibawanya gambar itu ke
keningnya, ditempelkannya, dan dibawanya turun
melewati wajahnya.
“Pandanglah mataku, Sur!” suara Mbah Purwo
berubah garang memerintahku.
Kuturuti permintaannya. Kupandang mata laki-laki
yang duduk di depanku itu. Aku terkejut sekali
karena ternyata aku saat itu tengah memandang
Mas Widodo, suamiku! Suamiku hidup lagi!?
“Bagaimana keadaanmu sekarang, Sur?” tanya Mas
Wid.
“Eh.. Oh.. Baik-baik saja, Mas,” sahutku kikuk.
“Lalu Basuki dan Nina sekarang di mana?”
“Mereka bekerja di Tangerang, Mas.”
“Aku rindu sama kamu, Sur..”
Mas Widodo mendekatiku. Dijembanya aku untuk
berdiri. Sebentar kemudian aku dipeluknya. Dan..
diciumnya.. Aku ingin meronta, namun nalarku
pelan-pelan berubah total jadi ingin menerimanya.
Air mataku mengucur haru menerima kehadiran
suamiku kembali. Kubalas pelukannya dengan
kerinduan yang amat sangat.
“Jangan tinggalkan aku lagi, Mas,” desahku sambil
mempererat pelukan.
“Tidak, Sur.”
Masih dalam suasana rindu itu kurasakan tubuhku
dipondongnya. Kami memasuki bilik kecil berlampu
merah. Aroma cendana dan melati membuat kami
lebih asyik-masyuk. Oh.. betapa rindunya aku akan
belaian dan dekapan Mas Wid. Lama sekali kami
tidak bermesraan seperti ini. Aku tidak tahan lagi.
Kubuka bajunya.. Aih, sekarang Mas Wid
memelihara bulu dada! Tubuhnya juga tampak lebih
kekar berotot, tidak seperti dulu, agak kerempeng.
Kukecup dada berbulu itu. Syuur.. terasa di sekujur
tubuhku. Terlebih ketika tangan kekarnya
memelukku ketat dan mulai nakal menggelitiku.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd