Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT memusnahkan guna” pemikat sukma

Status
Please reply by conversation.
ouch:konak:hyeaahhh.. haiyooo, Sur! rebah lah dikasur, mari kita bertempur hingga mennyebur kau punya sumur..
:goyang:

:D

lanjut, Bro:beer: meski copas dan pernah baca, cerita ini sungguh asyik dibaca nya..

setuju kan:cool: manteman​
 
Genre y jarang..lanjut gan
 
Salam Horny Dari Ratu
========================================

Sebentar kemudian gaun yang kukenakan sudah
terbang entah kemana. Aku tidak perduli. Juga
ketika secarik kain terakhir penutup aurat bagian
bawahku ikut merosot turun dan lepas. Bahkan aku
tidak mau kalah. Kulucuti juga apa saja yang
melekat di tubuhnya. Kami bagaikan dua bayi yang
baru lahir. Kutarik dia hingga kami roboh
bergulingan di atas tilam wangi melati itu. Ingin
kupuasi dahagaku selama ini. Kubenamkan
wajahnya di dadaku dalam-dalam. Kurasakan
hisapan-hisapan yang membuatku melayang-
layang tinggi ke awan.
Beberapa bulan tidak bertemu, ternyata sekarang
Mas Wid begitu perkasa. Tidak biasanya ia
mencumbuku seperti ini. Menghisap kuat-kuat.
Menggigit-gigit. Menelusuriku dengan lidahnya.
Membangkitkan ledakan di bagian sensitifku.
Membuatku menggelinjang. Meronta. Mas Wid
begitu liar, ganas dan dahsyat. Aku kewalahan
menghadapi ulahnya yang tidak seperti biasa.
“Hisap, Sur!” perintahnya sambil memasukkan jari
telunjuk ke mulutku.
Terasa manis. Aku jadi ketagihan. Menghisap dan
menghisapnya terus. Nikmat sekali! Apalagi
bersamaan dengan itu kurasakan remasan-
remasan di dadaku, kemudian disusul belaian di
bawah pusarku. Aku semakin tidak tahan. Pantatku
terangkat. Birahiku juga.
“Pandang mataku, Sur,” kembali perintah itu
kudengar.
Sambil tetap menghisap jari itu, kubuka mata
memandang wajah yang berada tepat di atasku.
Dan.. wajah Mas Wid pelan-pelan sirna, beralih rupa
jadi Mbah Purwo. Laki-laki itu dengan tubuh
telanjang tengah mengangkangiku.
“Ouh.. Mbah.. kenapa kita begini?” samar
kesadaranku mulai pulih.
Namun segera saja aku tersentak karena bibirku
telah tersumbat bibirnya. Tubuhku pun didesaknya.
Dilumatnya. Dihisap. Lidahnya membeliti lidahku.
Aku kembali melayang-layang. Kecupan-kecupan di
sekujur wajah, leher, dada, payudara, perut, pusar
dan terus turun semakin memupus bayangan Mas
Wid. Dalam sekejap aku telah melupakannya.
Walau sekarang kusadari Mbah Purwo yang tengah
menggelutiku, aku tidak perduli. Yang penting
birahiku yang menuntut kepuasan terpenuhi!
“Augh!” tiba-tiba rasa sakit melilit menyerang
bawah pusarku.
Kulipat kaki secara refleks. Bersamaan dengan itu
Mbah Purwo kurasakan menghentikan kegiatannya.
Berbaring menopang kepala dengan tangan kiri
sambil tangan kanannya membelai-belaiku.
“Tahan sebentar saja, Sur. Paku Bumi sedang
bereaksi. Setelah dia selesai, kita akan segera
menuju nirwana..”
Dipegangnya tangan kananku, dituntunnya menuju
ke bawah pusarnya. Sementara itu aku terus
bergelut dengan rasa sakit.
Gila! Tanganku tidak cukup besar untuk
menggenggamnya. Dadaku ikut berdesir.. seperti
tengah dibelai benda antik itu. Lima menit menahan
sakit rasanya bertahun-tahun. Aku sudah tidak
sabar lagi..
“Cepat Mbah, sekarang..” pintaku setelah rasa sakit
itu mereda sambil menarik tubuh Mbah Purwo
supaya menelungkupiku.
“Aku bukan suamimu, Sur,” dia tidak bergeming
namun terus membelai-belaiku.
“Aku sudah tahu, Mbah.”
“Kau sungguh-sungguh sudah sadar dan rela
melayaniku, Sur?” tanyanya lagi sambil terus
membangkitkan birahiku.
“Iya, Mbah,” jawabku tegas seraya tetap meremas-
remas.
Sejenak kemudian tubuhnya sudah kembali di
atasku. Aku mendesis membayangkan kenikmatan
tiada tara.
“Sekarang proses Satu Raga baru akan kita mulai,
Sur. Hisaplah dadaku,” perintahnya.
Mbah Purwo menyodorkan dada kanannya ke
bibirku. Terasa manis. Kemudian beralih dada kiri.
Aku semakin ketagihan dengan rasa manis itu.
Kuperkuat hisapanku. Kuperkuat pula pelukanku.
Samar kudengar suara bergeremang. Mungkin dia
sedang merapal manteranya. Aku tidak perduli.
Hisapanku semakin liar kemana-mana karena
ternyata seluruh tubuhnya terasa manis. Manis dan
manis yang membuatku kian berani dan gila.
Kudorong tubuhnya hingga jatuh telentang. Kini ganti
aku yang berada di atasnya. Kunikmati kemanisan
itu di sekujur tubuhnya. Di dadanya, di ketiaknya, di
pinggangnya, di perutnya, di pusarnya dan di.. Oh,
sungguh madu yang sangat harum itu terasa di
lidahku yang terus menghisap dan menghisap. Dia
nampak menggelinjang. Aku senang.
Terus kupermainkan hingga puluhan menit. Dan.., ia
menggelinjang semakin hebat sampai kemudian
lahar manis itu pun menggelegaklah. Menyembur
keras menerpaku, memenuhi mulutku.
“Telanlah, Sur.. Telan..!” parau suaranya
memintaku.
Tanpa disuruh pun aku memang sedang menikmati
madu manis yang terus mengucur bagai tidak ada
habisnya itu. Tidak kusisakan setetes pun sampai
nafasku habis. Yang kuherankan, “tiang” itu tetap
tegak tegar menantang dengan kebesaran dan
kharismanya. Membuatku terlongong-longong
memandangi benda ajaib itu.
“Itu yang pertama, Sur. Kita masih harus
melakukannya beberapa kali lagi supaya
kemampuan Satu Raga ini menjadi sempurna.
Sekarang kau berbaringlah.”
Bagai tidak kenal lelah, sedetik kemudian tubuh
kekar dengan dada berbulu itu telah membuatku
megap-megap. Terlebih setelah benda ajaib itu
menghantamku bertubi-tubi. Ugh.., lagi-lagi aksi
Paku Bumi kunikmati. Rasanya kali ini bahkan
melebihi. Aku ikut terangkat setiap ia bergerak ke
atas. Dan terhempas keras setiap ia menghunjamku
dalam-dalam. Aku terbeliak-beliak menahan
sesuatu yang hendak keluar.
“Tahanlah, Sur..” pesannya sambil terengah-engah.
Tubuhku mengikuti irama gerakan tubuhnya. Naik-
turun, naik-turun. Mengangkat-menghunjam,
menggocoh-menggoyang, mendesak-memutar..
Aku tersengal-sengal. Tidak mampu lagi
mengimbangi keliarannya. Kedua kakiku yang
semula menggamit pinggangnya pun telah lunglai.
Terkapar ke kiri-kanan.
“Ak.., aku tak tahan lagi..”
Mata kupejamkan. Bibir kugigit. Kupeluk erat tubuh
berkeringat di atasku. Mengejan keras, lalu.., “Srr..”
tubuhku terlonjak beberapa kali.
Aku telah kalah dalam pertempuran ini.
Tetapi goyangan di atas tubuhku masih terus
kurasakan. Tidak kenal lelah. Tidak kenal henti.
Semangatku yang sudah terkapar layu sedikit demi
sedikit ikut terpacu kembali. Birahiku bangkit lagi.
Kesakitan berubah jadi kenikmatan. Aku mau
mereguknya sekali lagi! Tubuh di atasku terus
berpacu. Aku kembali mengikuti iramanya. Kadang
kubalas dengan gerakan erotis. Ikut bergoyang.
Kuputar. Kutahan. Hampir satu jam kami berpacu.
Dan.., sepertinya aku hampir tidak tahan lagi.
“Akk.., aku mau keluar lagi..” desisku di tengah
kenikmatan tiada tara.
Seraya tetap bergerak, Mbah Purwo mengubah
posisinya hingga duduk. Kaki kiri-kananku
dinaikkannya di atas pahanya. Kemudian dipeluknya
aku dalam sikap duduk berhadapan. Aku menduduki
pahanya. Aku terlonjak-lonjak bagai orang naik
kuda. Kupeluk erat punggungnya. Kucoba bertahan
lebih lama, namun.. pertahananku bobol lagi.
Tubuhku gemetaran, tulang-tulang seperti dilolosi.
Pelukanku pun melemah, melemah dan akhirnya
lunglai.. dalam pelukan si kuda jantan yang masih
terus memacuku dalam posisi duduk berhadapan.
Dua kali aku ditaklukkannya, sementara dia masih
tegar. Kekuatan apa yang dimilikinya?
Dikembalikannya posisiku rebah telentang.
Dibentangkannya kedua kakiku lebar-lebar.
Ditindihnya lagi. Dihunjamnya. Dihantamnya
bertubi-tubi. Ugh.. apa birahiku akan bangkit lagi
untuk mengimbanginya? Nampaknya ia memang
sedang berusaha merangsangku lagi. Dan benar
apa katanya dulu bahwa aku termasuk wanita yang
mudah bergairah. Disenggol sedikit saja di daerah
sensitif, bangkitlah nafsuku. Ya, meski sudah dua
kali dipukul knock-out, pelan-pelan aku
terbangunkan lagi. Kubalas pelukannya. Kubalas
kecupannya. Kubalas gairahnya. Goyangannya.
Keperkasaannya yang entah sampai kapan..,
karena agaknya aku tidak dapat bertahan lebih
lama lagi untuk yang ketiga kalinya.
“Aku lelah sekali, Mbah..”
“Bertahanlah sampai yang kelima kali, Sur. Ini salah
satu syarat yang harus kita penuhi, yakni aku harus
bisa memuaskanmu lima kali berturut-turut tapi aku
sendiri tidak boleh kalah. Kalah sekali saja maka
prosesnya harus diulang dari awal lagi.”
“Hahh!” aku tercengang. Tidak habis mengerti
dengan syarat gila ini.
“Beruntung aku sudah memiliki Paku Bumi,
sehingga syarat itu bisa kulakukan. Baru nanti pada
yang kelima kalinya kita akan mencapainya
bersama-sama.. Ugh.. ugh.. ugh..”
Guncangan di atasku terus berlangsung gencar.
Keringat kami membanjir membasahi tilam yang
sudah berantakan namun harum wangi cendana dan
melati tetap tercium. Sudah kepalang tanggung,
pikirku. Dua kali lagi tidak jadi soal. Maka aku kini
diam saja untuk menyimpan tenaga. Kubiarkan
proses keempat berlangsung tanpa responsku.
Tubuhku yang sudah luluh lantak rasanya kubiarkan
terkapar dinikmatinya. Dan tidak lama, kembali aku
harus membeliak karena puncak itu datang lagi.
Dari keadaan diam aku tersentak-sentak beberapa
kali. Rasanya keluar habis seluruh cairan di dalam
tubuhku.
“Sss.. sekarang yang terakhir, Sur. Kkk..kita harus
mencapainya bersama-sama. Aaa.. aku sudah
hampir tak tahan lagi..” dengus Mbah Purwo di
sela-sela guncangannya.
Sementara aku perlahan mulai membangkitkan
semangat lagi. Kubenamkan wajahnya di dadaku.
Kudekap erat. Kunikmati hisapan kuda liar ini yang
dengan cepat mengundang birahiku kembali.
Auuwww..! Aku terpaksa membuka paha lebih lebar
merasakan gempuran di situ semakin dahsyat.
Kepala meriam yang membesar itu terasa kian
sesak mendesak-desak, memborbardirku. Aku
kewalahan.
“Ayo, Sur, sekarang.. egh.. egh..” pacunya semakin
cepat.
Kedua tangannya bertumpu di sisi kiri-kanan
lenganku. Keringat menetes dari dagunya.
Membasahi dadaku. Segera kutarik kepalanya ke
bawah. Kusambut bibirnya. Lidah kami saling belit.
Saling hisap. Bersamaan dengan itu, kupergencar
goyangan pantatku. Kuangkat. Kuputar. Kugetarkan.
Kuhentakkan. Akhirnya.. akhirnya.. tubuh di atasku
mulai gemetaran.
“Sss.. sekarang, Sur. Keluarkan..”
“Iii.. iya, Mbah,” sahutku sambil ikut menggigil
merasakan desakan lahar dari dalam tidak
tertahankan lagi.
Getaran Mbah Purwo semakin hebat.
“Uugghh..” sambil memekik panjang, mendadak
pantatnya bergenjut-genjut belasan kali.
Bersamaan dengan itu, aku pun tidak dapat
bertahan lagi. Tubuhku menggigil keras. Dan..,
“Surr.. surr..” kami merasakan kenikmatan
bersama-sama.
Aku yang kelima kalinya, sedang dia yang pertama.
Satu syarat lagi telah kami lalui. ..........
 
Satu syarat?????
 
Tubuh polos kami tumpang tindih bagai tidak mau
lepas. Nafasnya ngos-ngosan bagai kuda habis
berpacu. Dua jam lebih kami berpadu nafsu, bersatu
raga. Masih sekitar pukul sepuluh malam waktu ini,
padahal prosesnya masih akan berlangsung hingga
subuh. Proses apa lagi yang akan kujalani selama
enam jam berikut?
“Mari kita membersihkan tubuh, Sur..” ajak Mbah
Purwo.
Aku mengikuti langkahnya.
Bagai seorang anak kecil, ia memandikanku dengan
air kembang mawar. Menyiramiku. Menggosok
seluruh tubuhku dengan kembang. Menyabuni tubuh
telanjangku. Lalu ia menyuruhku melakukan hal
yang sama terhadap dirinya. Kusirami. Kugosok
dengan kembang. Kusabun. Kemudian kurasakan ia
memegang tanganku yang masih sibuk menyabuni
dadanya. Membawanya turun dan terus turun
hingga sejengkal di bawah pusarnya, lalu ia
memintaku menyabun bagian itu secara khusus.
Rasanya belum lama, namun benda ajaib itu telah
bergairah lagi. Menantang. Pelan tubuhku terdorong
ke dinding. Rapat. Dan kian rapat tubuh itu melekat
ke tubuhku. Tangannya mengelusku. Membelaiku,
dan perlahan mengangkat paha kiriku.
“Iihh..!” aku terpekik ketika ia telah memasukiku.
“Ap.. apa ini juga salah satu syarat, Mbah?”
“Bukan, Sur. Tapi kau tak keberatan menampung
hasratku lagi, kan?”
“Uuhh.. gila!” aku melenguh.
Pelukannya mengetat. Tubuhku semakin tergencet
ke tembok.
“Apa yang tadi masih belum puas, Mbah?” aku coba
mengelak.
“Tadi masih belum apa-apa, Sur. Dengan Paku
Bumi, aku sanggup bersenggama dua hari dua
malam tanpa henti.”
“Hah! Egh!” Aku terkejut.
Bersamaan dengan itu, ia menerjangku kuat-kuat
sampai tubuhku terangkat. Kupagut pundaknya
sambil coba meronta. Namun tubuhku bagai
terpasak di tembok porselen. Terlonjak-lonjak
mengikuti irama gerakannya. Irama yang membius
sehingga penolakanku pelan-pelan padam. Aku
berhenti meronta dan malah senang karena
merasakan kenikmatan gaya lain yang bakal
kualami lagi. Malam ini benar-benar surprise
buatku. Kini aku percaya kebenaran kata-katanya
bahwa aku punya nafsu besar. Buktinya, aku
mampu menerima perlakuan seks Mbah Purwo
yang gila-gilaan ini!
Tubuhku dipegangnya. Dilontarkannya ke atas ke
bawah. Sesuatu menusuk-nusuk di bawah perut
menimbulkan keasyikan tersendiri bagiku. Dalam
posisi tetap demikian, ia berjalan menuju ke kamar.
Tidak perduli tubuh kami belum kering benar. Aku
membeliak-beliak dan memeluk kepalanya erat.
Merasakan sensasi yang luar biasa.
“Ak.. aku mau keluar..” desahku.
“Tahanlah sebentar, Sur. Aku belum apa-apa..”
Dia duduk di tepi ranjang. Lalu menjatuhkan dirinya,
sehingga posisiku sekarang menelungkupinya.
Entah bagaimana caranya, dengan cepat kemudian
kurasakan ia mengubah posisinya menjadi di
atasku. Di atas punggungku. Pahaku
dikangkangkannya ke kiri kanan, diangkatnya, lalu
sigap kembali disergapnya.
Ufh.., lagi-lagi aku merasakan pengalaman baru
bersebadan dengan cara ini. Diserang dari
belakang! Seumur hidup baru kali ini kualami. Aku
yang orang kampung, mana pernah membayangkan
hubungan gila semacam ini. Seperti ****** kawin!
Tapi lama-lama aku menikmatinya juga.. Bahkan
mampu memberinya respons dengan gerakan
maju-mundur.
“Ufh.., terus.. terus, Sur. Kamu hebat..” suaranya
sambil memegangi pinggangku.
Disusul kemudian remasan-remasannya yang
menambahku semakin bergairah. Dalam posisi
seperti anak kecil main kuda-kudaan itu, akhirnya
aku menyerah lagi. Badanku berkejat-kejat. Lututku
lunglai. Tubuhku pun luruh kembali ke tilam. Tidak
menunggu lama, Mbah Purwo kembali
menelentangkanku. Lalu pasak dan cangkulnya pun
giat bekerja lagi. Menusuk. Mengebor. Menggoyang.
Membuatku melayang-layang lagi. Gila!
Satu jam lebih ia memperlakukanku sesuka hatinya
dengan cara-cara yang tidak pernah kukenal
sebelumnya. Sebagai orang kampung aku selama
ini memang tidak tahu banyak variasi yang dapat
dilakukan untuk mencapai kepuasan. Yang kutahu
hanya posisi pada umumnya, dimana pria di atas
dan wanitanya di bawah saling tidur berhadapan. Itu
saja. Barulah bersama Mbah Purwo ini kurasakan
berbagai gaya, berdiri, lewat belakang, tidur miring,
duduk berhadapan, dipangku, digendong, berjuntai
telentang hingga menyentuh lantai dan lain-lain
gaya. Rata-rata semuanya memberiku sensasi
kepuasan yang dahsyat. Terlebih dia bagaikan
memiliki tenaga sepuluh ekor kuda yang tanpa
kenal lelah berlari, dan terus berlari tanpa henti
sebelum mencapai garis finish. Hingga kami terkulai
bersama.
“Sudah Mbah, cukup,” bisikku antara sadar dan
tidak setelah melihat dia ikut terkulai di sisiku.
Aku hampir tidak mampu bergerak lagi. Luluh lantak
tubuh ini. Seperti hampir pingsan.
“Ya, Sur. Kita istirahat sebentar. Nanti tepat tengah
malam kita lanjutkan proses Satu Raga di luar
rumah. Tidurlah dulu nanti kubangunkan.”
Kupejamkan mata. Samar-samar sebelum terlelap,
kurasakan Mbah Purwo memelukku. Kelelahan
membuatku tidak ingat apa-apa lagi.
Entah berapa lama aku tertidur, namun ketika
bangun, kurasakan sesuatu mengelus-elus bahkan
seperti menjilat-jilat bawah pusarku.
“Iiihh.. binatang apa ini?” aku terkejut sambil
secepatnya berupaya menghindar.
Namun sekejap saja dua tangan kokoh menahanku.
Tahulah aku, ternyata Mbah Purwo lah yang tengah
melakukan itu. Yang terlihat hanya kepalanya ada di
pangkal pahaku dan kedua tangannya mementang
kakiku.
Dalam rasa lelah, kembali kunikmati rasa
menggelitik itu. Dan perlahan bangkit pula birahiku
merasakan lidahnya yang nakal semakin nakal dan
dalam. Aku tidak bertahan lama. Untuk kesekian
kalinya.., “Suurr.. suurr.. suurr..” dan tubuhku
menggigil gemetaran. Terasa aku dihisapnya.
Dihisapnya berulang-ulang. Sampai cairan tubuhku
kering!
Rupanya selama aku tidur pun laki-laki maniak ini
tidak berhenti menyalurkan hasrat birahinya. Ia
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan menikmati
tubuhku yang hanya semalam di rumahnya. Oh..,
kalau demikian, sudah berapa banyak tubuh wanita
yang dinikmatinya? Mungkin dia dapat disebut laki-
laki abnormal. Tapi ia pun tidak mungkin melakukan
ini kalau tidak ada respons dari si wanitanya,
seperti aku.
Ya, andai saja aku tidak mau menerima kemampuan
Satu Raga, sudah pasti kebinatangan ini tidak akan
terjadi. Aku tidak dapat menyalahkannya. Aku juga
ikut menciptakan kondisi ini. Dan mungkin juga
wanita-wanita lain yang suka menggunakan
bantuan dukun untuk mencapai keinginannya.
Wanita yang demikian pastilah tidak segan
menggunakan berbagai cara untuk meraih
hasratnya, termasuk mengorbankan tubuhnya.
Kehormatan tidak ada artinya lagi. Toh yang tahu
hanya dia dan si dukun itu.
Aku pun agaknya juga demikian. Tanpa terasa aku
telah merendahkan kehormatanku sendiri,
khususnya di depan Mbah Purwo. Aku rela menjual
tubuhku demi keinginanku. Memang keinginanku
sepertinya baik, yakni berupaya menyelamatkan diri
dari serangan ilmu hitam Mbah Dipo. Namun cara
yang kutempuh ternyata justru menciptakan
kerugian pada diriku yang nilainya mungkin setara
bila aku menderita kerugian karena ulah dukun
hitam itu. Aku menghindari satu masalah, tapi justru
masuk ke masalah lain yang serupa. Malah
sekarang di depanku jadi ada dua masalah.
Yang pertama, masalahku dengan Mbah Purwo,
karena aku telah mengikatkan diri padanya, bahkan
telah ber-Satu Raga. Untuk menyalahkan dia jelas
tidak mungkin, karena ini berarti membuka aibku
sendiri yang telah rela menjual kehormatan diri.
Yang kedua, masalahku dengan Mbah Dipo tetap
saja tidak sirna. Aku tetap terancam dukun hitam
itu. Betapa bodohnya aku. Lamunanku itu
berlangsung selama Mbah Purwo “sibuk” memuasi
diri di bawah pusarku. Lamunan itu sempat
membuatku kecewa terhadap apa yang sedang
menimpaku. Tapi perlahan akal sehatku menguap
sewaktu membayangkan kenikmatan-kenikmatan
birahi yang sudah dan sedang kureguk.
“Ah, persetanlah dengan semua lamunan untung-
rugi itu. Aku telah kepalang basah. Tak mungkin
mundur lagi!” teriak bathinku.
Maka kemudian kunikmati lagi hisapan-hisapan
yang melambungkanku itu jauh tinggi ke awang-
awang. Membuatku mampu menyemburkan lahar
kembali. Mengucur deras dan semakin deras
dinikmati Mbah Purwo. Yang mengherankan, dia
seperti tidak pernah lelah, sementara aku sudah
orgasme tiga kali. Berapa kali lagi ia mau
menghisap cairan tubuhku?
“Augh.. sudah Mbah, cukup. Jangan keluarkan
lagi..” kataku sambil memegang kepalanya yang
masih terus bergerak-gerak membuatku kegelian.
Dia menghentikan aksinya.
“Uh, enaknya. Kita akan awet muda kalau sering
menikmatinya, Sur. Cairan tubuh lawan jenis dapat
menjadi penetral cairan tubuh kita. Oh ya.. ini sudah
hampir tengah malam. Ayo kita mandi dulu,”
ajaknya.
“Mbah saja duluan mandi.. Kalau sama-sama saya
takut yang seperti tadi terulang lagi..”
“He.. he.. he.. Kenapa, kau tidak suka kenikmatan
itu, Sur?” cuapnya sambil ngeloyor pergi.
Uh, sialan..!
Selama dia mandi, aku tetap telentang di atas
kasur. Tubuh yang telah lunglai ini membuatku
enggan bergerak-gerak. Hanya keinginan untuk
segera menyelesaikan proses Satu Raga saja yang
memaksaku bangkit membersihkan diri.
*****
Tikar besar terbentang di halaman. Rindangnya
pepohonan melindungi kami dari pandangan luar.
Kami duduk bersila di atasnya. Berhadapan. Sebuah
pedupaan mengepulkan bau kemenyan di tengah-
tengah kami. Mbah Purwo asyik berjapa mantera.
Matanya terpejam. Mulutnya berkemak-kemik.
Kalung berliontin kepala ular tergantung di lehernya,
hingga mencapai dadanya yang berbulu.
“Angkat tanganmu, Sur..!” perintahnya.
Kedua tangan kuangkat. Kujulurkan tegak lurus
dengan telapak menghadap kepadanya. Mbah
Purwo melakukan hal yang sama. Ia menelusupkan
jari-jarinya, sehingga jemari kami saling bertautan.
Tanganku ikut bergetar. Asap pedupaan mulai
membuat mataku pedih dan terbatuk-batuk.
Baunya lama-kelamaan juga membuat pening.
Mbah Purwo mencengkeram tanganku makin kuat.
Geremang mulutnya masih terus berlanjut, malah
semakin deras manteranya. Perlahan aku terpaksa
beringsut maju karena tertarik kekuatannya. Dia
juga semakin maju. Pedupaan sekarang hanya
beberapa sentimeter saja dari kaki kami. Aku mulai
ngeri kalau sampai menyentuh benda panas itu.
Beruntung akhirnya ia menghentikan mantera dan
gerakannya. Disingkirkannya pedupaan dari antara
kami, lalu diambilnya segelas air kembang yang
sudah disiapkan di sampingnya. Diminumnya
beberapa teguk kemudian tanpa kuduga..
disemburkannya ke wajah dan tubuhku. Tentu saja
aku belingsatan menghindar.
“Tidak apa-apa, Sur. Jangan menghindar. Sekarang
lakukan hal yang sama pada diriku,” perintahnya
sambil mengangsurkan gelasnya padaku.
Dengan ragu-ragu kuterima. Kuminum beberapa
teguk, lalu kusemburkan balik ke wajah dan
dadanya. Rasakan pembalasanku ini, gerutuku di
hati. Namun ia ternyata tidak bergeming.
Sebaliknya, kembali meminta gelas dari tanganku
dan.. menyiramkan seluruh isinya ke kepalaku.
Sialan! Aku jadi basah kuyup. Apa dia tidak merasa
dingin tengah malam begini diguyur air!?
“Letakkan tanganmu di pundakku, Sur,” pintanya
sambil beringsut maju, sehingga lutut-lutut kami
saling bersinggungan.
Kuturuti perintah itu. Ia pun melakukan hal yang
sama. Pundakku dijangkaunya sehingga mau tidak
mau dahi kami pun nyaris bersinggungan. Kembali
ia mengucapkan manteranya. Aneh, aku mencium
bau harum keluar dari mulutnya. Harum melati. Oh,
tidak hanya tubuhnya saja yang terasa manis,
sampai nafasnya pun berbau harum. Sungguh hebat
dukun satu ini. Ufh.. sekonyong-konyong bibirku
sudah disergap dengan mulutnya! Kepalaku pun
sudah dipegangnya. Kurasakan hawa hangat yang
harum mengaliri mulut dan kerongkonganku.
Rupanya ia tengah menghembuskan keharuman itu
ke dalam diriku melalui mulut.
Aku manda saja. Malah seperti tidak sadar ikut
memeluk kepalanya. Sambil duduk berhadapan,
kami berciuman panjang dan lama. Beberapa kali ia
menarik nafas lewat hidung dan
menghembuskannya ke dalam mulutku. Perlahan
kesadaranku semakin pudar. Hawa harum itu
ternyata memiliki kekuatan membius.
Tahu-tahu ia telah menindihku lagi. Bibir-bibir kami
saling melekat erat. Hawa harum itu terus
memasukiku. Kesadaranku semakin hilang dan
pudar. Mungkin seperti inilah yang dirasakan orang
yang minum obat penenang atau *****. Dunia jadi
nampak indah sekali. Beban hidup tidak terasa berat
lagi. Semuanya terasa ringan, melayang-layang.
Aku serasa terbang tinggi di awan. Tinggi. Tinggi
sekali.. Namun udaranya pun terasa semakin dingin.
Dingin sekali seperti disiram air es. Menusuk tulang.
Menggigilkanku.
Auh! Aku tersentak bangun karena rasa dingin dan
tubuhku yang menggigil keras. Perlahan
kesadaranku pulih. Kudapati tubuh telanjangku yang
kedinginan di tengah malam itu menjadi bulan-
bulanan permainan nafsu Mbah Purwo. Entah
sampai kapan..
TAMAT
 
Kok tamat...
 
Sangat disayangkan cerita sebagus ini harus ditamatkan secara dini....
Ayou Hu semangat buat ngelanjutin karyanya.....
:beer:
 
Iya nih, sayang banget cerita menarik gini lain dari yang lain tapi langsung tamat. Ayo tetap Semangat berkarya lägï
 
belum up ya.....lanjut gan
 
Bimabet
looooooo knpa dah tamat zaa????? kan blm bertarung dan Mbah Dipo???????

:mantap: :mantap: :mantap:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd