Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Mengejar Masa Silam

13. Ki Ardayat Sang Dukun Palsu

Rumah itu kosong, hanya berisi perabot sederhana tanpa terlihat pernah digunakan. Segalanya baru, termasuk tempat tidur, kursi, perabot kitchen set, dan segalanya. Ki Ardayat sekarang merasa lebih tenang karena ternyata dirinya tidak diapa-apakan. Tidak diinterogasi, tidak disiksa, tidak disakiti dalam bentuk apapun, dan hanya dibiarkan sendiri didalam rumah yang bahkan tidak dikunci.

Rumah itu memiliki halaman berumput yang cukup luas, di sekelilingnya berdiri tembok bata setinggi tiga meter. Pintu masuk dan keluar menuju ke dunia luar hanya sebuah pintu gerbang besi plat tanpa lubang yang bisa diintip. Hanya pintu gerbang besi itulah yang terkunci. Di pagi hari ada seorang yang mengantar makanan. Cukup atau tidak cukup, makanan itu hanya dikirim sekali yaitu hanya di pagi hari. Tentu makanan itu selalu bersisa karena porsi makan Ki Ardayat hanya sedikit. Sang pengantar makanan tidak pernah menjawab pertanyaannya, alias bungkam seribu bahasa.

Tapi pagi itu sebuah mobil masuk ke halaman, yang datang adalah seorang perempuan cantik berusia dua puluhan. Perempuan itu membawa sebuah bungkusan berisi makanan.

“Saya Kristin.” Dia memperkenalkan diri sembari menaruh bungkusan makanan di meja.

“Saya…. “ Ki Ardayat berusaha memperkenalkan diri juga.

“Bapak dukunnya si Sella ?” Perempuan cantik itu memotong ucapan Ki Ardayat.

Jadi gimana ya ? apa harus mengakui saja ? atau didiamkan ? Ki Ardayat sedikit bimbang.

Ki Ardayat tak menjawab, melainkan membiarkan saja pertanyaan itu mengambang tanpa dijawab. Terserah perempuan itu mau mengira dirinya sebagai apa, dia hanya akan nurut saja.

“Saya panggil kamu apa ? Mbah ? Aki ?”

Ki Ardayat juga diam.

“Saya panggil kamu mbah saja ya, biasanya dukun dipanggil mbah.”

Ki Ardayat mengangguk saja, mengiyakan. Terserah tuan putri aja deh, pikirnya.

“Duduk mbah.” Kristin memerintah Ki Ardayat sambil dirinya sendiri duduk pada sofa. Ki Ardayat duduk di depannya.

Perempuan itu cantik, berkulit mulus walaupun tidak putih banget seperti Sella, dan terkesan ‘kaya’ dari dandanannya. Orang yang punya banyak uang hampir selalu terlihat dari penampilannya. Sudah naluri kita semua untuk judging people by it’s cover, menilai buku dari sampulnya. Benar kan ?

Coba saja kita lihat mulai dari bagian atas. Kacamatanya pasti mahal, walaupun Ki Ardayat tidak paham merk Dolce Gabbana dengam model agak membulat berwarna coklat kehitaman yang sewarna dengan rambut hitam dengan highlight coklat terang. Mungkin frame-nya terbuat dari kulit penyu.

Bajunya dress terusan dengan kerah “V” yang ketat sampai bentuk tubuhnya terlihat menawan. Sebagian dadanya mumbul terlihat menonjol pada “V” nya. Perempuan itu langsing, tetapi menonjol di bagian-bagian tertentu. Ya, dia berlemak di lokasi yang tepat sehingga terlihat indah.

Perempuan cantik itu duduk anggun dengan menumpangkan sebelah kaki.

“Saya mau mbah sekarang bekerja untuk saya.” Perintahnya.

“Eh….”

“Ya… mbah jadi dukun saya mulai sekarang.”

“Eh… gini… mbak….”

“Panggil saya sebagai ‘ibu’.”

“Gini…. Bu…”

“Jadi tugas pertama mbah sekarang, musnahkan segala pelet yang dikirim oleh mbah sendiri atas permintaan si Sella.”

Ki Ardayat mengangguk anggukkan kepala sebagai bentuk respon bahwa dia paham atas permintaan ibu kaya itu, bukan mengangguk sebagai tanda kesanggupan.

“Baik kalau mbah menyanggupi.” Kristin terus mendikte.

“Kita lihat selama seminggu ini, apakah suami saya masih kepelet sama si Sella.”

Ki Ardayat sebenarnya bingung, dia tidak pernah sekalipun praktek ilmu perdukunan. Jangankan mempraktekkan, melihatnya pun tidak pernah. Eh, pernah lihat juga sih di film-film horor lokal.

“Kalau suami saya masih berhubungan dengan si Sella, berarti kamu dukun palsu.” Ancam Kristin.

Ki Ardayat langsung berkeringat dingin, masalahnya dia tak paham bagaimana harus melaksanakan perintah itu. Tapi demi keamanan semua pihak, terutama keamanan dirinya, maka dia harus terlihat sebagai dukun betulan yang bisa melaksanakan keinginan client nya.

“Baik, saya kasih waktu seminggu buat mbah.” Wanita cantik itu bangkit dari duduknya.

“Kita ketemu lagi….. Minggu depan.” Dan ibu kaya itu pergi melangkah keluar rumah menuju mobilnya, meninggalkan Ki Ardayat yang pusing.


Sekarang mari kita tinggalkan dulu Ki Ardayat yang sedang memutar otak untuk mencari cara bagaimana agar bisa kelihatan sebagai dukun. Kita pergi lagi ke kaki Gunung Halimun dimana Sella pagi itu sedang mengobrol berdua dengan Bella.

“Bell, maaf ya tadi malem aku ngelantur.” Kata Sella ketika mengambil sebuah pisau dan talenan untuk membantu Bella memotong sayuran. Mereka berdiri bersisian di dapur yang sederhana berlantai semen.

Rumah yang ditempati Bella terlihat sama seperti rumah-rumah lain di kampung yaitu bermodel panggung yang menerapkan konsep “Tihang cagak, hateup salak”. Penduduk setempat menyebutnya dengan Imah Tihang Awi, berarsitektur Jolopong.

Bedanya adalah bahwa dapur pada rumah Bella sudah lebih modern karena memiliki meja “island” untuk mengolah makanan sambil berdiri. Tetapi walaupun demikian tidak ada kompor gas disana, yang ada hanyalah hawu ganda (dua lubang) berbahan bakar kayu.

“Nggak apa-apa Sel, lagian Kang Jati mungkin belum ngobrol banyak sama kamu ya ?”

“Masak apa kita hari ini, Bel ?”

“Kita masak sayur lodeh ya.”

“Oke, tapi aku nggak bisa pake kompor kayu bakar kaya itu tuh.” Bibir Sella monyong menunjuk ke arah hawu.

“Hahaha… itu bukan kompor tapi namanya hawu.”

“Ooooh…. “

“Biarin kalau itu mah urusan aku lah, nanti kulit mulus kamu bisa kecipratan ruhak tuh.”

“Ah, kulit kamu juga mulus banget Bel, mungkin karena udaranya disini sejuk ya.

Bella hanya tersenyum.
“Ruhak ? apa itu ?” tanya Sella

Bella tertawa, pusing juga mengartikannya dalam bahasa Indonesia.

“Ruhak itu bara api.” Ketemu juga tuh bahasa Indonesianya…. (setelah penulis membuka kamus bahasa Sunda).

“Jati itu orang sini asli ?” Tanya Sella.

“Aku sama Kang Jati itu warga pendatang. Karena itu, kita sering saling bantu dan kebetulan rumah yang ditempati Kang Jati nggak jauh dari sini.”

“Kalian pacaran ?” Sella tidak tahan untuk tidak bertanya.

“Huahahahah……….” Bella tertawa, dan Sella langsung menyesal telah bertanya.
“Tenang Sel…. aku sama dia cuma temenan.”

Wajah Sella langsung memerah, malu.

“Kamu naksir dia ya ?” Sekarang Bella yang bertanya, tetapi bukan penasaran melainkan hanya menggoda saja karena siapapun bisa melihat kalau Sella suka sama Jati.

“Hehe… nggak juga, tapi dia itu asik orangnya.” Kata Sella pura-pura tidak terlalu tertarik pada Jati.

“Hati-hati loh…. Saingan kamu banyak.” Sella sekarang mulai meniupi bara api dengan songsong yaitu sebatang bambu kecil yang sudah dibuat bolong sekat-sekatnya.

“Banyak yang suka ya ?”

“Uuh… janda…. Gadis… istri orang… banyak yang suka. Uhuk uhuk uhuk…” Setiap kali meniup songsong yang diarahkan ke hawu, Bella terbatuk kecil.

“Terus kalau si Jati nya sendiri naksir yang mana ?” Sella makin penasaran.

“Dia nggak pernah menanggapi mereka, cuek aja.”

“Beneran ? kenapa ya ?” Harapan di hati Sella mulai muncul lagi.

“Hmm…. kayanya dia belum move on.”

“Oooh….. Pernah putus ?”

“Istrinya dulu meninggal….. Eh… nanti kamu pura-pura ngga tau ya…. Ngga enak juga aku.” Bella tidak ingin dianggap ember. Tapi pikiran Sella sedang melayang membayangkan Jati yang belum bisa move on.

“Ngga punya anak ?”

“Gimana mau punya anak, mereka baru dua minggu menikah waktu itu.”

“Ya ampun…. Kasian banget ya.”

“Iya…. makanya… cepet deh kamu hibur dia Sel, orangnya emang baik.”

“Kenapa nggak sama kamu aja Bel ?” Tetap saja Sella berusaha mencari tahu bagaimana persaingan mendapatkan Jati.

“Hm…. aku sedang menunggu seseorang……”

“Ayahnya Rendi ?”

“Bukan.”

“Oooh….. Terus ayahnya Rendi kemana ?”

“Hmm….. panjang ceritanya.”

“Gapapa…. Kan kita punya banyak waktu, lagian kamu baru mulai ngaron nasi.”

Dan berceritalah Bella tentang mantan suaminya yang KDRT, malas bekerja, kerjanya nongkrong di warung, dan menghabiskan segala uang yang susah payah didapatkan Bella dari ngutang atau dari bekerja. Kisah selengkapnya silahkan baca pada cerita “Istri yang Tergadai”.

“Terus, kamu nggak pengen nyari penggganti Pak Adit ?”

“Dia sudah begitu berjasa sama saya dan Rendi, saya nunggu dia sampai keluar dari LP.”

Kesetiaan sudah begitu tererosi oleh zaman globalisasi, tapi Bella masih bertahan dengan kesetiaannya pada Pak Adit walaupun diantara mereka belum ada ikatan resmi apa-apa. Sella mengacungkan jempol pada Bella atas kesetiaannya pada seseorang yang telah demikian berjasa padanya walaupun masa depan hubungannya tak ada kejelasan.

“Kamu sendiri gimana sama Donny ?”

“Aku sekarang meragukan apakah Donny layak ditunggu seperti Pak Adit-mu itu, Bel.”
“ Jangan menaruh harapan sama laki-laki lemah, Sel. Sayang kan cuma buang waktu.” Bella memberi saran pada Sella.

“Iya…. makan hati doang.”

“Udah…. Mulai sekarang nggak usah menghubungi Donny lagi.”

“Iya.”

“Makan siang dulu yuk Sel, semua udah mateng nih.”


**********



Waktu telah berlalu seminggu dan seperti yang dijanjikan, Kristin datang menemui Ki Ardayat lagi. Mereka tengah duduk berhadapan di ruang tamu pada malam itu.

“Saya akui mbah sebagai dukun betulan. Suami saya sekarang nggak pernah komunikasi lagi dengan pacarnya itu.” Kristin memberikan kabar yang membuat Ki Ardayat lega, padahal selama seminggu ini dia tidak melakukan apa-apa. Bahkan dirinya tak bisa menelepon atau mengirim SMS pada Sella.

“Terus, saya sudah boleh pulang bu ?” Tanya Ki Ardayat.

“Pulang kemana ? ke apartemen ? cuih…. Apartemen itu dibayar oleh suami saya. Mungkin sebentar lagi bakal disewakan ke orang lain karena nggak akan dibayar uang sewanya.”

“Saya mau pulang ke kampung, bu.” Ki Ardayat memutuskan pulang ke kampung saja dimana dia masih ada warung kecil yang bisa dijalankan sekaligus menjadi tempat tinggalnya. Ki Ardayat sebenarnya khawatir akan keadaan Sella tetapi dia tidak bisa menghubunginya.

“Menurut saya, sebaiknya mbah disini aja dulu.”

“Saya nggak betah cuma makan dan tidur aja, Bu.”

“Kalau gitu…. Bantu saya supaya suami saya tertarik lagi pada saya.”

Nah ini….. Ki Ardayat jadi berpikir apakah dia bisa terus berpura-pura sebagai dukun ataukah tidak ? Lagipula dia tak tahu caranya.

“Gimana mbah ? Nanti saya kasih uang yang cukup.”

Hmm… kalau dikasih uang… mungkin bisa buat nambah modal warungnya di kampung.

“Gimana ? mau mbah ?” Kristin mendesak.

“Baik bu…. Saya usahakan.”

Mata Kristin berbinar, dia memang selalu percaya hal-hal mistis karena keluarganya memang sering bermain dukun di kampung sana. Tapi ini pulau Jawa, hantunya tentu beda dengan hantu di Manado. Untuk main dukun disini, sebaiknya pakai dukun lokal, bukan dukun dari kampungnya di Sulawesi.

“Apa yang harus saya lakukan mbah ?”

“Pertama, ibu harus dibersihkan dulu secara gaib dengan mandi.”

“Setelah itu gimana ?”

“Nanti ada ritualnya.”

“Kapan mulainya mbah ?”

“Tengah malam ini sudah tepat bu, lagian ini malam Jumat.”

Kristin melihat ke jam tangannya.

“Oke… tinggal sejam lagi juga udah tengah malem. Tapi kembangnya gimana ? harus pakai kembang kan mbah ?”

“Mandi kembang itu pembodohan bu, sebetulnya lebih kepada tata caranya saja. Nggak pakai kembang juga asal caranya sesuai maka hasilnya tetap mantap.”

“Ah masa gitu mbah ?” Kristin seakan tidak percaya atas keterangan Ki Ardayat yang agak aneh, masa mandi ritual nggak pakai kembang ?

“Betul bu, ada hal-hal yang lebih penting dari sekedar kembang, walaupun memang lebih baik jika pakai kembang.” Ki Ardayat berusaha menyesuaikan dengan keinginan calon pasien praktek perdukunan palsunya. Namanya juga dukun palsu, tentu hanya mengikuti kepercayaan si pasien.

“Ya sudah, pakai kembang aja mbah biar afdol. Kan di halaman ini banyak bunga.”

“Nanti pasti pakai kembang, tapi saya ingin agar pola pikir ibu bukan hanya ke kembangnya melainkan ke persiapan pola pikir dan sikap mental ibu terhadap ritual ini.” Ki Ardayat bersikukuh bahwa kembang bukan syarat utama dalam ritual mandi.

“Persiapan seperti apa mbah ?”

“Waktu sekarang masih satu jam menuju tengah malam, ibu harus lakukan dulu meditasi mengosongkan segala pikiran supaya nanti bisa konsentrasi lebih baik.”

“Oke mbah, gimana caranya ?” Kristin agak bingung karena biasanya kalau dia sedang mengantar salah satu dari keluarganya untuk ke dukun tidak ada tuh acara meditasi-meditasian dulu.

“Sini bu, ikut saya ke halaman belakang.” Ki Ardayat berdiri lalu melangkah ke halaman belakang diikuti Kristin.

“Nah, kebetulan halaman ini mengarah ke selatan.” Kata Ki Ardayat.

“Emang kenapa kalau ke selatan mbah ?”

“Loh… di selatan itu ada samudra yang luas dan terkenal ada kekuatan besar disana.”

Sebenarnya Ki Ardayat hanya teringat sama salah satu film yang dibintangi Suzanna, yang bercerita tentang seorang penguasa samudra di selatan pulau Jawa.

“Oooh…. gitu… “ Kristin manggut-manggut.

“Nah sekarang ibu duduk di atas rumput ini.”

“Begini mbah ?” Kristin duduk di salah satu batu yang merupakan hiasan taman.

“Jangan duduk di batu bu, di rumput aja.”

“Nanti rok saya kotor dong.” Kristin protes.

“Ya nanti ibu tinggal ganti saja roknya.”

Karena takut roknya kotor, Kristin membeberkan dulu roknya agar tidak terduduki. Dia kemudian duduk bersila.

“Sekarang pejamkan mata, tarik nafas melalui hidung dengan pelan-pelan lalu keluarkan lewat mulut. Jangan ingat ke hal lain, perhatikan udara yang keluar masuk aja bu.”

Kristin mengikuti segala petunjuk Ki Ardayat dengan serius, Ki Ardayat sendiri setelah melihat Kristin duduk di rumput dengan diterangi sebuah lampu taman yang remang-remang langsung pergi ke sudut-sudut halaman untuk memetik berbagai bunga. Kebetulan sekali ada tanaman mawar merah dan putih. Bahkan beberapa bunga kenanga ditemukan oleh Ki Ardayat telah terjatuh dari sebuah pohon kenanga yang cukup besar.


Di kamar mandi, Ki Ardayat memasukkan tiga jenis bunga yang berhasil dikumpulkannya kedalam sebuah ember besar dengan terlebih dahulu meremas-remasnya agar aroma bunga keluar. Setelah itu dia memenuhi ember besar tadi dengan air lalu keluar lagi ke halaman belakang.

“Sekarang sudah masuk waktu tengah malam bu.” Ki Ardayat berjongkok di sebelah Kristin yang duduk dalam posisi semadi.

“Bu….” Sekali lagi Ki Ardayat memanggil Kristin, tetapi Kristin tak menjawab. Ki Ardayat sudah pasti heran, ini cewek cantik tidur apa beneran terelarut dalam semedi ? Akhirnya Ki Ardayat menowel pundak Kristin.

“Bu…”

“Eh….” Kristin membuka matanya “Maaf mbah…. Saya ketiduran…… capek soalnya ngurus kantor.”

“Baik bu….. Sekarang sudah waktunya ritual….” Sebetulnya Ki Ardayat kesal juga pada Kristin yang malah ketiduran di tengah meditasi, tapi karena Ki Ardayat tahu bahwa ini hanya meditasi-meditasian alias bohongan, ya sudah diabaikan saja rasa kesalnya.

“Oke mbah….” Kristin lalu memejamkan matanya lagi, menunggu diguyur air kembang.

“Bu……” Ki Ardayat memanggil lagi.

“Hmmm…..” Kristin menyahut dengan hmmm-an. Matanya tetap terpejam menunggu guyuran air kembang.

“Anu…..” Ragu-ragu Ki Ardayat.

“Hmm…. apa….”

“Bajunya dibuka dulu.”

Kristin langsung membuka matanya, kepalanya menoleh pada Ki Ardayat yang jongkok di samping kiri tubuhnya.

“Hah, ngapain dibuka ?” Sudah barang tentu pertanyaan itu diucapkan Kristin karena buat apa pake buka pakaian, kan yang namanya air pasti menyerap di kain.

“Syarat ritualnya begitu bu.”
Mata Ki Ardayat dan Kristin bertemu tatap.

“Emang ngga bisa kaya gini aja ?”

“Sudah syaratnya bu, kan nanti airnya harus diratakan pakai jampi-jampi.”

Ki Ardayat sebenarnya asal saja, dia hanya coba menghayati peran sebagai dukun. Dan menurut film yang pernah ditontonnya dulu waktu tahun 1980-an, namanya mandi kembang ya ngga pakai baju.

“Disini ?” Tanya Kristin lagi.

“Terserah ibu saja…. Di kamar mandi boleh, disini juga bisa.”

Sebetulnya Kristin agak malas diguyur air dingin di tengah malam buta seperti itu, apalagi kalau di luar rumah yang banyak angin. Apa ngga hipotermia nanti ? setidaknya encok lah. Jaman sekarang namanya penyakit encok bukan monopoli kaum tua saja, bahkan yang masih muda seperti dirinya saja bisa kena encok.

“Kalau Didalam aja gimana ?” Tanya Kristin memastikan.

“Boleh, kita di kamar mandi saja bu.” Jawab Ki Ardayat mempersilahkan Kristin jalan duluan.

Kristin bangkit dari posisi semadi-nya lalu melangkah masuk kedalam rumah, langsung menuju kamar mandi. Ki Ardayat mengekor di belakangnya sambil memperhatikan goyangan pinggul Kristin.

Kiri…. Kanan….. Kiri… kanan…
Hati Ki Ardayat menyebut sesuai goyangan pantat Kristin.

Kiri…. Kanan…. Ki…

“Mbah diluar dulu…..” Kata Kristin sambil menutup pintu kamar mandi.

Hampir saja jidat Ki Ardayat terantuk pintu yang ditutup oleh Kristin. Dia menunggu sambil berdiri di dekat pintu kamar mandi dengan sabar.

“Mbah…..” Teriak Kristin dari dalam kamar mandi.

“Ya bu.”

“Pakaian dalem gak usah dibuka, boleh ?” Kristin bertanya dengan suara keras, padahal pakai suara biasa juga masih terdengar. Lagian, Ki Ardayat belum tuli pendengarannya walaupun sudah berusia 70an tahun.

“Sebaiknya dibuka, bu……” Jawab Ki Ardayat.

Ini bukan perihal dirinya ingin melihat ibu kaya itu telanjang, tapi demi peran yang lebih meyakinkan saja. Lagian di usia segitu Ki Ardayat rasanya sudah tak minat lagi melihat perempuan telanjang. Kenakalan di masa mudanya sudah cukup parah.

“Dipakai aja ya…” Tawar Kristin.

Susah sekali ya ngatur orang kaya, dianggap apa profesi dukun kalau begini caranya ? Segala serba ditawar, dan malahan dia yang ngatur. Sekali lagi, demi kenyamanan client maka Ki Ardayat terpaksa menyetujui. Pelanggan adalah Raja, begitu kan menurut pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah SD kurikulum 1958 ? Dan tolong kalian jangan tertawa, karena memang Ki Ardayat mengalami bersekolah jaman orde lama.

“Silahkan bu….” Jawab Ki Ardayat, gemas dari tadi ditawar melulu.

Ceklek, kunci pintu kamar mandi dibuka. Pintu berbahan plastik tipis bercat warna biru muda itu terbuka tetapi Kristin tak terlihat.

“Saya di belakang pintu, mbah.” Suara Kristin menggigil, rupanya kedinginan.

Ki Ardayat masuk ke kamar mandi yang berukuran tidak seberapa luas, bahkan cenderung sempit. Memang tidak sesempit rumah kreditan dari BTN sih, tapi tetap saja tidak luas. Mungkin luasnya hanya 1,5 x 1,5 meter. Kristin ngumpet di balik pintu sambil menutup dada-nya yang hanya ditutupi beha hitam berenda-renda.

“Duduk aja disini, bu.” Ki Ardayat menunjuk ke kloset duduk dengan jempolnya, seperti layaknya kesopanan para penduduk desa seperti dirinya. Mungkin seharusnya bukan menunjuk ya istilahnya, tapi menjempol. Boleh juga nanti diusulkan ke tim pengurus Ejaan Yang Disempurnakan.

Kristin duduk pada kloset duduk bermerek KIA. Kalau dipikir-pikir, kenapa ya perusahaan mobil malah membuat peralatan e’e ?

“Bu…. ngadepnya kesini…..” Tegur Ki Ardayat karena Kristin duduk membelakanginya ke arah tembok, lengannya bersandar diatas tangki air yang biasa ada di belakang kloset duduk.

“Eh…. gini juga ngga apa-apa kali mbah ?”

Tak tahan juga Ki Ardayat dengan sikap client-nya yang sulit sekali untuk mengikuti perintah. Bener-bener deh, ini perempuan sulit banget diatur. Pantesan aja suaminya punya pacar diluar. Begitu Ki Ardayat berfikir.

“Madep depan bu…. !” Ki Ardayat memerintah dengan cukup tegas.

“Begini aja mbah !” Kristin membalas dengan lebih tegas.

Ki Ardayat mengalah.

“Hummmmm……. Audibillahiminasyaitonirojimmmmmmmm.” Bibir Ki Ardayat mulai bergumam dengan sebuah do’a yang walaupun tidak paham, mudah-mudahan bisa membuat Kristin yakin bahwa dirinya beneran dukun, walaupun bukan.

“Cepetan mbah…dingin….”

Ya ampun Tuhan…. Ada ya perempuan kaya gini ? udah susah diatur, komentar melulu pula. Dalam hatinya Ki Ardayat malah mengutuki Kristin, mudah-mudahan betul-betul ditinggal suami deh lu.

“Saya kan harus lakukan ritual buuu… ngga bisa sembarangan. Nanti kalau gagal kan ibu yang rugi…. Kehilangan suami.”

“Oke..oke..oke…” ucap Kristin yang kemudian bisa diam dengan ancaman kehilangan suami.

Telapak tangan Ki Ardayat sekarang nempel ke ubun-ubun Kristin yang duduk membelakangi.

Hummmm……. Aujubilahiminasyaitoooonirojiiimmmmmmm….
Hummm….. Wass…..wiss…..wusss…wesss…wossss…..

Kata-kata yang diucapkan Ki Ardayat menjadi tidak jelas, yang jelas hanyalah bahwa banyak huruf ‘s’ diucapkan.

Hemmmmmm….. Weswesweswesweswes………
Hemmmmmmmm……

“Nama lengkapnya siapa bu ?” Tanya Ki Ardayat tiba-tiba menghentikan kata-kata penuh ‘s’ nya.

“Rosali Christina Ampow” Jawab Kristin.

Hemmmmm….. Wesweswewsweswes rosali kristina angpau…..

“Ampoow…. Mbah”
Hngggggg……wesweswes…. Rosali kristina angpow…..

“Am am am…. Ampow….”

Ya ampun…. Susah banget nih perempuan…..

Hnggggummmm…. Weswesweswesrosalinakristitnaampow……

Kristin manggut-manggut menyetujui penyebutan namanya yang benar.
Dia tidak protes lagi.

Ki Ardayat mengambil segayung air pada ember yang telah bercampur kembang tiga rupa.

Bayangkan ruangan kamar mandi yang tidak terlalu luas itu

Kalau membuka pintu kamar mandi, maka pintunya terbuka ke arah kanan dan mentok pada tembok di kanan. Tidak mentok-mentok banget sih karena ada kapstok alias kaitan untuk menggantung baju yang nempel di pintu bagian dalam.

Di sebelah kanan pintu ada wastafel lengkap dengan kaca berhias lampu downlight warna kekuningan.

Maju lebih kedepan, ada bak mandi yang terbuat dari plastik pvc di sebelah kiri tepat setelah wastafel. Paling ujung sebelah kiri ada kloset duduk yang sekarang sedang diduduki Kristin yang duduk memunggungi Ki Ardayat.

Sebuah ember besar berisi air penuh dengan kembang tiga rupa, ditaruh di lantai kamar mandi didepan bak pvc tadi. Jadi tadi Ki Ardayat dan Kristin harus melangkahi dulu ember tersebut untuk mencapai area yang ada kloset-nya.

Byur….. Dengan tangan kirinya, Ki Ardayat mengguyur segayung air kembang tepat ke ubun-ubun Kristin yang tengah dipegangi dengan telapak tangan kanan Ki Ardayat. Bibirnya tak henti-henti menggumam tak jelas.

Hummmmm….
Weswesweswes….wesweswesweswes
Wesweswes…..
Jammmmmm…pe-jampe harupat
Gera gede gera lumpat
Gera bisa meuli kupat
Keur Abah !

Byur…. Segayung lagi air kembang diguyur ke kepala Kristin. Tubuhnya mulai menggigil.

Hummm….
Wesweswesweswes…..
Jurig nyingkir setan nyingkah
Gera mawa kuah beukah
Keur Abah !

Byur…. Segayung lagi air tersiram.

Kalau kalian orang Sunda pasti tau, itu bukan jampi-jampi betulan. Melainkan sebaris lagu mainan kanak-kanak jaman dulu di kampung.

Byur….

Kini telapak tangan kanan Ki Ardayat mengusapkan air itu dari ubun-ubun sampai ke ujung rambut Kristin yang lurus hitam kecoklatan.

Hummmmmm
Wesweswesweswes

Byur….

Telapak tangan Ki Ardayat mengusap dan meratakan air itu ke pundak Kristin yang tak mengenakan pakaian.

Aduh….. Anget banget ya badan perempuan ini…..

Byur….

Sekarang telapak tangannya meratakan air ke punggung.

Wah…. mulus banget……
Kulitnya nggak putih, tapi bening…
Urat-urat punggungnya yang kehijauan sampai keliatan jelas begini….

Byur….

Tangan Ki Ardayat mengusap ke pinggangnya.
Pinggangnya kecil langsing…. Tapi ada sedikit lemak di pinggang yang enak banget dipegang.

Byur….
Tangan Ki Ardayat kembali ke atas ubun-ubun dan mulai mengusap lagi dari sana kebawah.

Tepat ketika byur yang ke delapan kali, Ki Ardayat menghentikan jampi-jampi palsunya.

“Bu….. tangan saya terhalang tali beha…. Boleh dibuka ?”

Sejenak Kristin tak menjawab, mungkin tengah berpikir.

“Oke.” Jawabnya.

Tangan kanan Ki Ardayat melepaskan tali beha warna hitam itu dari bahu kiri dan kanan.

Byur….
Kancing kait di punggung Kristin terlepas, beha hitamnya bebas, jatuh ke lantai.

Hummmmmm….
Byur..

Telapak tangan Ki Ardayat mengusapkan air ke seluruh kulit punggung Kristin, lalu merayap ke sisi kanan.

Hummmm….
Byur..

Telapak tangan itu sekarang agak ke depan, gumpalan lemak payudara Kristin yang menggelayut pun diusapnya pelan-pelan.

“Eh…. mbah…” Kristin angkat bicara untuk kembali protes. Tetapi sebelum protesnya diutarakan, segayung air kembang kembali mengguyur kepalanya.

Byur…
Dengan cepat dan sekilat, telapak tangan Ki Ardayat meratakan air di kedua payudara ranum Kristin yang padat serta kencang.

Kristin tidak sempat protes, tapi hanya mengeluh pendek.

“Ngh…..” desisnya saat telapak tangan kasar Ki Ardayat melintas pada putingnya yang tegang karena air dingin.

Byur
Tangan Ki Ardayat sekali lagi melintas disana, lalu turun ke perutnya untuk meratakan air.

“Bu…. silahkan berdiri.” Ujar Ki Ardayat setelah tubuh mulus itu berhasil dijaman seluruhnya

Kali ini Kristin nurut, tak ada sedikitpun protes yang diucapkan. Dia bangkit dari duduknya dan berdiri tegak di depan Ki Ardayat, tetap memunggungi.

Tubuh kecil langsing Kristin hanya setinggi dagu Ki Ardayat pada saat berdiri tegak. Ki Ardayat menelan air liur yang sudah sejak tadi terkumpul. Glek.

Tubuh mulus itu berdiri dekat sekali dengannya, bahkan pancaran hawa hangatnya terasa oleh Ki Ardayat. Dari posisi ini dia dapat melihat pantat Kristin yang walaupun telah melahirkan satu anak namun tetap kencang menantangnya bak pantat bebek, agak-agak nungging gitu. Celana dalam hitam yang dikenakannya telah basah, dan Ki Ardayat samar-samar dapat melihat apa yang ada di balik kain hitam tipis itu.

Byur….
Sekarang air kembang itu hanya diguyurkan dari bahu kanan Kristin. Air mengalir kebawah, lalu diratakan oleh telapak tangan Ki Ardayat dari punggung….. Pinggang….. Dan…. ah….. Pantat yang bagai pantat bebek itu. Ketika di pantat, tangan Ki Ardayat menekan cukup kuat sehingga celana dalam Kristin yang basah ikut turun merosot kebawah.

“Mbah….” Desis Kristin lirih. Dia merasa risih karena sejak puting payudaranya diusap tadi, getar-getar aneh sudah ia rasakan.

Byur…
Ki Ardayat tidak menanggapi, melainkan mengguyurkan lagi segayung air kembang.
Celana dalam yang sudah basah dan berat oleh air itu tanpa kesulitan merosot kebawah, ngelumbruk di lantai.

Mata Ki Ardayat jelalatan sesaat, menikmati pemandangan indah dari seorang wanita muda yang sedang matang-matangnya.

Byur….
Ki Ardayat sekarang jongkok meratakan air di sepanjang paha Kristin yang mulus, hingga air terusap ke betis dan mata kaki.

“Hummm……..” Desis Ki Ardayat

“Ngh…….” Desis Kristin yang tiba-tiba saja merasa terangsang saat paha bagian dalamnya dielus.

Byur….
Hummm
Nghhhh


Begitu berulang ulang.
“Ngghh..” yg diucapkan Kristin terdengar makin panjang saat telapak Ki Ardayat mengusap bagian depan tubuh bawahnya. Air berikut telapak tangan Ki Ardayat mengusap mulai dari perut….. Turun ke jembut….. Melintasi marmut……eh…. Anu….
Bagian itu hangat dan lembut.
Jari tangan Ki Ardayat menyelinap disana.

Byur
Hummmmm

“Nggggghhh…. Mbah…..” jerit Kristin saat kelentitnya terusap.

Byur.
“Ehem…. Sudah selesai bu ritualnya.” Ki Ardayat sekarang berdiri lagi, tubuh Kristin berdirir tepat didepannya.

Kristin menghela nafas panjang. Tadi sempat terpikir olehnya bahwa Ki Ardayat memanfaatkan situasi tersebut, tapi rupanya tidak. Tadi pasti Ki Ardayat memang hanya berusaha meratakan air kembang itu ke seluruh tubuh dan bagian-bagiannya walaupun tersembunyi dalam lipatan. Dirinya sempat juga tergetar oleh usapan usapan itu. Mungkin karena dia jarang dapat jatah…. Bahkan suaminya nyaris tidak pernah menyetubuhi dirinya.

“Eh.. udah ya mbah ?”

“Sudah selesai bu…. Ehem…. Tapi… belum semua…..”

“Maksudnya ?”

“Eh… air di badan ibu jangan dikeringkan….ehem…”

Kristin diam berpikir keras, mencoba mengerti.

“Air kembangnya supaya menyerap ke tubuh ibu…..” Ki Ardayat menemukan alasan yang tepat setelah memutar keras otaknya yang sudah menua.

“Jadi…. Saya berdiri begini terus ?”

“Eh… iya…. Bu… sambil saya bacakan lagi mantra….”

“Hummmmmmm……wesweswes….”

Bibir Ki Ardayat kembali komat-kamit membaca mantra seadanya, seingatnya, dan diusahakan tidak terlalu jelas. Yang penting banyak menggunakan huruf ‘s’.

Kristin berdiri sambil menggigil, dia menangkupkan kedua lengannya di dada berusaha menahan berat payudaranya. Lama-lama tak tahan juga dia akan rasa pegal pada betis dan paha. Awalnya dia menumpukan beban berat badan pada kedua kaki, tapi karena mulai pegal maka dia menumpukannya berganti-ganti. Sebentar ke kaki kiri, sebentar ke kaki kanan.
Sewaktu tubuhnya bergerak-gerak ketika berganti tumpuan berat badannya, sekali waktu pantatnya bergerak lebih jauh dan menyentuh tubuh Ki Ardayat.

Hah… apa itu… sepertinya keras ? Hati Kristin berkecamuk.
Ki Ardayat tetap mengucapkan jampi-jampi.

Kristin belum yakin atas apa yang dirasakannya, tubuhnya bergerak lagi.

Eh betul…. Keras….

Entah kenapa, tubuhnya menghangat sementara kulitnya merinding dan hatinya terkesiap.

“Mbah…..” desisnya sambil bersuara agak gemetar.

“Eh… ya bu…” Ki Ardayat tak kalah gemetar suaranya.

“Air kembangnya…. Sudah menyerap belum…. ?”

“Belum bu…. Biarkan aja….”

“Sudah merata semua airnya, mbah ?” Tanya Kristin dengan suara gemetar.

“Ehm…. eh… anu…..” Ki Ardayat sebetulnya sedang bingung akan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dia tak ingin acara mandi kembang ini segera berakhir tetapi tak menemukan alasan yang tepat. Otak tuanya beku, tak mampu diajak berpikir lagi.

“Jadi…. ?” Kristin memancing.

“Eh…. harus diratakan semua bu….” Ki Ardayat menemukan ide brilyan.

“Gimana ?”

“Tapi maaf sebelumnya….. Anu…. bagian bawah ibu ada yang belum kena air soalnya ….. Ada di…. Lipatan……” Sedikit ragu, Ki Ardayat mengungkapkan alasannya.

“Oh.. iya… gak apa-apa…. Eh… saya harus gimana ?” Kristin menanti jawaban.

“Anu…. kalau tidak keberatan… eh… ibu…. Posisinya nungging biar saya bisa meratakan air…. Eh… dibawah…” Ini namanya gambling, pikir Ki Ardayat. Tapi… what the hell…. Otaknya sudah macet, tak mau berpikir rumit-rumit akan segala resiko.

“Hummmm…wesweswes…” Ki Ardayat menggumamkan lagi jampi yang tak jelas.

Kristin dengan perlahan menurunkan tubuhnya condong ke depan, lalu kedua tangannya terjulur untuk menahan berat tubuh pada tangki air di kloset duduk. Kedua kakinya mulai membuka untuk memberi jalan pada Ki Ardayat.

Tepat ketika kedua kaki itu terbuka, Ki Ardayat merubah nada jampi-nya.

“Hummm….. HUMMMMMMMMHHH…..” Matanya nanar menatap pantat mulus Kristin yang nungging dalam posisi berdiri. Apalagi kedua kakinya sekarang terbuka, Ki Ardayat dapat melihat sesuatu mengintip dalam lipatan daging lunak.

Byur…
Dengan sisa air kembang yang sudah sangat sedikit, Ki Ardayat mengguyurkannya ke pantat Kristin yang sedang nungging. Pantat bulat dengan kulit mulus itu mengkilap terkena cahaya lampu kamar mandi, airnya turun mengalir ke sela-sela buah pantat, lalu menetes-netes pada bagian yang…. Ah….. bagian itu mengintip pada selangkangan Kristin.

Dengan gemetar, telapak tangan Ki Ardayat mengusap air yang sedang mengalir pada pantat Kristin.

“Hemmmmh…” desis Ki Ardayat yang merubah “hummm” nya menjadi “Hemmh”.

“Enghhhhh…..” Nafas Kristin tercekat dan tenggorokannya mengeluarkan suara aneh yang tak mampu ditahan ketika jemari Ki Ardayat yang keriput sampai pada bagian yang mengintip itu.
Pinggulnya bergerak, sehingga pantatnya bergerak ke kanan.

“Ehm…. diam sebentar bu….. Ehm… jangan… ehm… bergerak….”

Kristin diam lagi, dan dia merasakan jemari Ki Ardayat menyelinap ke balik sesuatu pada selangkangannya.

“Ennnnnghhhh…” Desisnya tanpa dapat ditahan.

“Anu… bu… ini…. Biar air kembangnya masuk…… biar afdol…” Tak ada alassan lain yang bisa disampaikan Ki Ardayat. Dia hanya mengemukakan alasan seadanya saja. Tapi sepertinya Kristin tidak protes dan menerima alasan itu.

Jari tengah Ki Ardayat masuk sebanyak dua buku jari pada celah yang licin. Hangat sekali disana, jarinya semakin bergetar.

Aduh gimana ini ya…. Ki Ardayat serasa mendapat serangan jantung. Sudah lama sekali dia tak menikmati hal seperti ini, dan rasanya terlalu mubazir kalau disia-siakan. Masa daging kenyal selembut dan sehangat ini hanya dinikmati oleh jari tuanya ? sayang banget kan ?

“Eh… sebentar bu…”
“Ke…. kenapa mbah ?”

“Eh.. ini belum bisa… anu… eh… blum masuk semua airnya…”

“Ngh… trus… ngh… gimana…. Mbah… ngh … ?” Kristin tersengal-sengal menahan rasa yang beregemuruh dan bergelombang.

“Maaf…. Bu…. maaf…..” Ki Ardayat meminta maaf berulangkali sambil menyingkap sarung yang tengah dikenakannya. Celana kolornya melorot sampai ke mata kaki. Batang kelelakiannya mencuat.

“Maaf bu…. Ini harus….” Kata Ki Ardayat sekali lagi meminta maaf.

Sesaat kemudian batang kejantanan Ki Ardayat yang hitam legam berukuran besar menempel pada lipatan daging empuk Kristin.

“Mbah…. “ Desis Kristin

“Maaf…..” Kata Ki Ardayat.

Plep

Batang kejantanan hitam legam nan besar dan telah sekian tahun pensiun dari kenikmatan itu menggeliat masuk ke celah vagina wanita muda berdarah Manado yang sedang nungging.

Sudah sekian lama Ki Ardayat tidak melakukannya, dan sebetulnya nyaris lupa rasanya. Tapi rasa memek muda yang sekarang tengah menggenggam kejantanannya itu sungguh….. Apa namanya…. Ki Ardayat sampai lupa…. sumpah…… ah… itu… gurih banget.

“Nghhh….. “ Kristin menghela nafas, merasakan batang itu menyelusup makin dalam, dan makin dalam….. Dan semakin dalam…. Matanya melotot. Sungguh ? kok panjang amat ?

“Hekkk…” Ujung kejantanan tua itu menyentuh ujung lorong vaginanya. Tapi Ki Ardayat masih menekan.

“Hhhhekkkkkk….” Serasa masuk sampai ke dada, walaupun sebetulnya tidak sampai sana. Tapi namanya juga perasaan….. Malah kadang ada yang bilang serasa sampai tenggorokan.

Yang jelas, Kristin merasa melayang.

“Bu… eh… ini… air kembangnya… eh… sudah masuk…. Sampai dalem….”

Kristin tak mampu menjawab, dia sedang menikmati tusukan terdalam yang pernah dirasakannya. Keningnya mengernyit, matanya terepejam, bibirnya gemetar menahan rasa yang tak mampu dilukiskan dengan kata.

Ki Ardayat menarik kejantanannya, dan Kristin merasa ada sesuatu yang hilang. Tanpa terasa, secara alam bawah sadar, bibirnya bergerak dan bersuara “Jang…”

Bles
Batang kejantanan itu tiba-tiba saja menusuknya lagi hingga ujung dada.

“Hekkk….” hanya itu yang diucapkan Kristin, alih alih melanjutkan ucapan ‘jangan’ yang tadi hendak diucapkannya.

“Eh… sebelah sini… belum rata bu…” Ki Ardayat ada-ada saja. Katanya sebelah kiri vagina Kristin belum rata dibasuh air kembang.

Bles
Ki Ardayat sekarang memegang pantat Kristin kiri dan kanan serta menghentakkan batangnya dengan kuat. Katanya sih biar meresap.

Tak ayal lagi Kristin mengaduh. Bukan karena sakit….. Tapi iya sih, ada rasa sakit juga. Tapi enaknya nggak ketulungan. Kakinya langsung lemas, tapi Ki Ardayat tak memberi ampun.

“Sebelah kanan juga bu…”
Bles
Kuat sekali.

Dan asal kalian tahu…. Kristin selalu orgasme kalau bagian kanan vaginanya yang sebelah dalam itu dikocok, entah oleh batang penis lelaki maupun oleh dildo yang dilengkapi vibrator yang sering dipakainya.

Begitu juga akibat gecakan kontol tua nan hitam Ki Ardayat disana, Kristin langsung ambrrol diserang orgasme yang menggetarkan. Lututnya terasa nyaris lepas ketika tubuhnya kelojotan.

“Nah… bu… ajiannya masuk…” Ki Ardayat bicara ngaco. Dia melihat batang kejantanannya amblas pada memek Kristin yang sedang megap-megap seperti mulut ikan mas mencari udara. Memek nikmat yang sedang megap-megap itu terasa meremasi kontolnya yang hitam, kontras sekali dengan kulit Kristin.

“Nah.. ini biar pol.”

Blas
Kontol hitam panjang Ki Ardayat bersarang dalam sekali, dan ditahannya disana sambil memperhatikan tubuh mulus Kristin yang nungging berkelojotan dengan kepala menggeleng kekiri dan ke kanan seolah olah tak percaya bahwa kontol tua itu masih bisa memberikan kenikmatan pada memek mudanya.

Dengan sabar Ki Ardayat menunggu sampai Kristin selesai menikmati orgasmenya.

Plong

Kejantanannya ditarik lepas.

“Coba berdiri ngadep sini bu…. Biar rata semua….” Tangan Ki Ardayat membangunkan tubuh Kristin yang sedang nungging. Dibalikannya tubuh Kristin hingga berhadapan dengannya. Kristin tak berbicara, jiwanya sedang entah kemana. Mungkin di surga.

“Ini naik satu ya.” Ki Ardayat mengangkat satu kaki Kristin dan ditaruhnya pada sisi bak mandi yang terbuat dari plastik hingga wanita muda cantik jelita itu hanya bertahan denggan satu kakinya. Karena tak kuat, akhirnya kedua tangan Kristin mencari pegangan. Yang berhasil dipegang ? kepala Ki Ardayat yang masih mengenakan kopiah hitam belel kekuningan.

Sebentar mencari-cari lalu Ki Ardayat menekan.

Plep

Kontolnya yang sudah uzur dan hampir pensiun itu kembali masuk ke memek Kristin yang terbuka.

“Aaaaah……” Sekarang Kristin berteriak karena rasanya kontol itu melesak sampai ke ulu hati, bukan hanya ujung dada. Tenaga Kristin makin lemas, akhirnya ia memeluk leher Ki Ardayat.

Tak ayal lagi, dua buah cupangan tercipta pada lehernya.

Kontol ki Ardayat yang panjang hitam itu menggecak memek Kristin dengan kecepatan penuh. Tapi apa daya, jantung Ki Ardayat sudah tidak muda lagi. Kalau diukur mungkin sekarang denyut jantung Ki Ardayat sudah melebihi 160bpm (beat per minute). Kalau diteruskan, paling-paling jadi serangan jantung.

Walaupun masih ingin lebih lama lagi menikmati memek muda itu, Ki Ardayat tahu batasan jantungnya. Dia segera menuntaskan aktivitas cardio aerobik dan anaerobiknya.

Dengan satu hantaman kuat, kontol hitamnya melesak sedalam-dalamnya pada memek pink Kristin.

“Oooooooooaaaaahhh…..” Kristin melolong karena mendapatkan orgasmenya yang kedua kali.

Ki Ardayat hanya terpejam, otot-otot lobang pantatnya yang sudah kendor terasa mengempot dengan keras, menyemprotkan gumpal demi gumpal sperma kental kekuningan pada ujung kontolnya yang sedang bersarang dengan nyaman di memek Kristin yang hangat.

Sungguh….. Kalau tahu begini, Ki Ardayat sudah praktek dukun dari dulu. Nggak apa-apa jadi dukun palsu juga.

Ketika kenikmatan itu berangsur-angsur reda, tubuh tua itu rebah pada dinding kamar mandi.

Kristin terduduk pada kloset duduk, dengan nafas ngos-ngosan.

“Mbah….. “ Akhirnya Kristin berbicara perlahan.

“Ya bu….”

“Kubunuh kamu kalau ternyata kamu cuma akal-akalan…..” Kristin mengancamnya.

Ki Ardayat hanya diam. Mati pun tak apa sekarang, aku rela pikirnya. Dia sudah menikmati gadis cantik bermemek sangat gurih itu. Nothing to lose.

Ki Ardayat tersenyum puas, tak perduli ucapan Kristin.


**********

Bersambung
 
Pemain2 Cinta yg tak Biasa sama Teh Euis kapan cameonya hu 😂 Seru juga kalau gabung2 bikin 1 universe sendiri, Bu Sri, Fadil, Teh Euis, Asep semua ikut habung.
 
Ni aki-aki emang super kreatip yak.
Dulu emaknye Sella juga kena kadal ama cerita cinderella. Sekarang giliran christine kena di kadalin pake cerita pelem suzanna.

Ngehee..

Hak.. hak.. hak..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd