Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT METEOR AZKA

CHAPTER 3


Perjalanan hidup tiap-tiap orang tentu saja berbeda-beda. Ada orang yang memiliki hidup nyaman sejak kecil, ada juga orang yang harus banting tulang untuk menghidupi keluarga, hingga merasa tidak bahagia dengan kehidupan yang dijalaninya. Meskipun jalan cerita tiap orang berbeda, namun semua orang tentunya selalu merasakan dua hal, yakni bahagia dan nelangsa. Bahagia pun selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu dalam fase hidup manusia. Sebaliknya, orang-orang pun tidak ada yang mau merasakan nelangsa atau kesulitan dalam hidupnya.

Hidup adalah pertanyaan, bagaimana kita menjalaninya adalah sebuah jawaban. Dari kenyataan, aku belajar yang namanya penerimaan dan perubahan. Dalam setiap proses menerima kenyataan, aku belajar yang namanya kesabaran dan beryukur. Ya, aku bersyukur telah menjadi sekretaris desa. Sekretaris desa (Sekdes) memegang peranan yang sangat strategis di desa, baik dalam penataan administrasi desa dan pengelolaan keuangan desa. Manakala Sekdes tidak mampu menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, maka banyak persoalan akan muncul, dan akibatnya desa tidak akan maju dan berkembang sesuai dengan harapan yang diharapkan pemerintah.

Tentu itu adalah tugas berat yang harus aku emban sebagai Sekdes. Tentunya juga aku akan berusaha menjadi Sekdes yang baik. Benar kata kakek bahwa kekuasaan dan kewenangan yang aku punya saat ini bisa membawa hidup masyarakat lebih baik, paling tidak aku bisa membuat masyarakat hidup lebih senang dari sebelumnya. Minggu pertama menjabat sebagai Sekdes, aku masih banyak mendapat bimbingan dari Pak Kades. Pak Kades yang bernama Rustandi selalu memberikan wejangan dan petuah padaku dalam menjalankan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabku. Minggu kedua dan kini memasuki minggu ketiga aku sudah bisa menjalankan sendiri tugas-tugasku walau sesekali aku masih meminta bimbingan pada Pak Kades.

Pagi ini, aku mendapat tugas untuk membuka program desa yang digagas Pak Kades yang dinamakan ‘Program Desa Siaga’. Desa siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk untuk mencegah dan mengatasi masalah kesehatan, bencana, dan kegawadaruratan, kesehatan secara mandiri. Acara dilaksanakan di Puskesmas yang letaknya tidak lebih dua kilometer dari kantor desa. Setelah memberikan kata sambutan dan meresmikan program desa siaga tersebut. Aku pun memeriksa kesiapan pelaksanaan program ini, terutama yang terkait dengan sarana dan prasarana.

Selama berjalannya acara, aku selalu ditemani oleh seorang bidan cantik yang juga sebagai ketua pelaksana program. Bidan cantik ini bernama Isty Indriyati yang lebih senang dipanggil Yati. Selain sebagai bidan, Yati juga menjabat sebagai kepala Puskesmas. Di usianya yang ke-40 tahun, Yati masih terlihat segar dan menawan. Perawakannya lumayan tinggi, kulit putih, mata lebar, hidung mancung, ramah dan santun tutur katanya. Ibu dari dua anak ini yang bersuamikan prajurit TNI Angkatan Laut sangat dikenal sebagai sosok yang suka menolong orang lain.

Jujur, kesan pertamaku pada Bu Yati sangatlah ramah dan terbuka. Kesan berikutnya adalah Bu Yati termasuk kategori wanita yang seksi. Bu Yati mengenakan outfit serba ketat yang membuat lekuk tubuhnya terlihat jelas. Pakaian serba putihnya melilit erat tubuhnya yang sintal, payudaranya menggelembung indah dengan pantat yang bundar dan padat. Bisa dibilang, penampilannya benar-benar good looking dan mampu membangkitkan letupan birahiku.

“Bu Yati ... Saya harus kembali ke kantor desa. Saya harap program ini bisa berjalan sesuai rencana dan bermanfaat bagi masyarakat banyak.” Akhirnya aku berpamitan karena dirasa acara telah usai.

“Terima kasih pak. Mudah-mudahan program ini berjalan lancar dan membawa kebaikan buat kita semua. Tapi saya berharap bapak terus memantau program ini, agar kami sebagai pelaksana bisa bekerja lebih maksimal.” Kata Bu Yati lalu kami berjabatan tangan.

“Saya bahkan lebih kepengen memantau ibu saja.” Godaku sambil tersenyum dan menatapnya penuh arti.

“Ihk, kok begitu?” Tiba-tiba dia terkejut dan tak lama tampak pipinya merona. Dia pun mengulum senyumnya.

“Benar bu ... Seperti kereta, gerbong-gerbong akan berjalan sesuai kepalanya. Kalau kepalanya berjalan cepat maka gerbong-gerbong juga akan berjalan cepat. Sebaliknya kalau kepala berjalan lambat, gerbong-gerbong juga akan berjalan lambat. Sama seperti program desa siaga ini, ibarat ibu adalah kepala kereta yang membawa gerbong-gerbongnya.” Aku semakin mempererat genggaman tanganku sambil melebarkan senyum.

“Oh ... Eh ... I..iya ... Saya mengerti ...” Ucapnya tergagap dan aku tahu kalau wanita cantik ini sedang kegeeran.

“Tapi benar kok bu ... Saya ingin memantau lebih pada ibu. Ingin mengenal ibu lebih dalam lagi.” Kataku mengembalikan maksud ucapanku yang sesungguhnya.

“Aih ... Bapak ini bisa saja ...” Bu Yati mendesah sembari menyembunyikan kuluman senyumnya ke arah samping.

“He he he ... Maaf saya sudah lancang.” Kataku lalu melepaskan genggaman tanganku.

“Oh ... Gak apa-apa kok pak ... Sudah lama saya gak digombalin cowok ganteng ...” Katanya yang sukses membuat hatiku membesar dan kepercayaan diriku meningkat tajam.

“Kalau begitu ... Boleh saya menyimpan nomor kontak ibu di hape saya?” Tanyaku sedikit menggoda.

“Tentu saja ... Hi hi hi ...” Balas Bu Yati yang terlihat mulai genit.

Kami pun saling bertukar nomor kontak. Kebetulan aku mempunyai smartphone baru itupun pemberian Pak Kades. Setelah aku dan Bu Yati memasukan nomor kontak kami masing-masing. Aku pun segera undur diri dan menaiki Si Blak motor kesayanganku. Sepanjang perjalanan aku tersenyum dalam hati, sekarang aku mempunyai ‘gebetan’ baru. Ternyata lebih mudah merayu emak-emak dari pada seorang gadis. Lamunanku mulai mesum membayangkan Bu Yati kusetubuhi. Untung saja aku tidak sedang dalam masa meminum air keramat, kalau saja aku sedang dalam masa meminum air keramat pastilah lamunanku akan menjadi kenyataan.

Hanya sepuluh menit aku sudah sampai di kantorku. Aku langsung disuguhi beberapa dokumen yang aku harus pelajari. Aku langsung fokus pada pekerjaanku dan membuat rencana pelaksanaan tugas. Tak terasa waktu terus bergulir, tatkala matahari sudah condong ke barat, aku pun menyudahi pekerjaanku. Semua pegawai desa pun mulai meninggalkan kantor desa satu persatu, termasuk diriku. Si Black melaju pelan sambil aku memperhatikan daerah sekitar yang aku lalui. Aku memperhatikan kehidupan warga, siapa tahu ada warga yang memerlukan bantuan.

Sampai di rumah aku tidak menemukan sesuatu yang kuanggap penting. Aku pun segera mandi dan berganti pakaian. Setelahnya, aku bergabung dengan kakek yang sedang menikmati rokok kreteknya di ruang depan. Aku duduk di depan kakek sambil meletakkan gelas kopi yang baru saja aku buat. Aku keluarkan bungkusan rokok dari saku celana. Aku sulut sebatang dan menghisapnya dalam-dalam.

“Warga RW 12 meminta perbaikan jalan. Apakah ada dana desa untuk memperbaikinya?” Tanya kakek padaku.

“Bapak RW 12 sudah datang padaku, kek ... Tapi desa sedang menunggu bantuan tahunan dari pemerintah. Untuk saat ini dana bantuan pemerintah tahun kemarin sudah terjadwal semua. Aku sudah bilang pada Pak RW kalau program perbaikan jalan menunggu sampai tahun anggaran berikutnya.” Jawabku lalu menyeruput kopiku yang masih panas.

“Itu masih terlalu lama. Masih sekitar lima bulanan lagi. Jalan desa di RW 12 lumayan parah karena sering tergenang air. Kakek mengusulkan, bagaimana kalau kamu meminta bantuan pendanaan pada Pak Rusdi.” Ujar kakek yang membuatku langsung tertawa.

“Ha ha ha ... Dari pada ke Pak Rusdi ya lebih baik ke bank sekalian. Itu lebih jelas dan bunganya lebih sedikit.” Kataku sambil geleng-geleng kepala tidak mengerti pola pikir mantan kepala desa itu.

“Pak Rusdi berani memberikan bunga lebih kecil dari pada bunga bank karena nilainya besar. Kakek pernah melakukannya bahkan beberapa kali. Asal kamu lapor ke camat, itu gak menjadi masalah.” Jawab kakek dan kali ini aku terperanjat.

“Wow! Benarkah begitu? Kalau benar, aku akan melakukan perbaikan jalan desa di RW 12 secepatnya.” Kataku.

“Kamu telepon Pak Camat, bila dia mengijinkan, langsung saja temui Pak Rusdi. Masalah dokumen legalitas pekerjaan bisa menyusul. Sekarang yang penting perbaiki dulu jalan. Kasian warga RW 12.” Jelas kakek lagi.

“Baiklah.” Kataku.

Tanpa ragu aku menelepon Pak Camat untuk menyampaikan keinginanku. Ternyata Pak Camat sangat mendukung apa yang akan aku kerjakan. Bahkan masalah formalitas akan kecamatan sendiri yang akan menyiapkan. Selanjutnya aku menelepon Pak Kades. Begitu pula dengan Pak Kades. Dia menyetujui juga usulanku. Setelah menghabiskan kopi sambil ngobrol bersama kakek, aku beranjak dari duduk lalu ke kamarku. Seperti kebiasaanku hari-hari ini, sebelum pergi kemana-mana, aku meminum dulu air keramat rendaman batu cahaya. Aku simpan dalam tas pinggang botol air keramat itu, kemudian memacu Si Black menuju kediaman Pak Rusdi.

Belum apa-apa aku sudah menghayal Bu Rusdi menyambutku dengan pelukan dan ciuman. Wanita itu seperti sangat merindukanku, sepertiku yang saat ini sangat merindukannya. Dan aku pun bercinta di sofa ruang tengah tanpa diganggu oleh siapa pun. Kali ini aku tidak membayangkan Pak Rusdi ada di rumah. Pak Rusdi pergi ke suatu tempat untuk membiarkan aku menyetubuhi istrinya. Setelah aku selesai bercinta dengan Bu Rusdi barulah Pak Rusdi datang dan aku mendapat bantuan pinjaman darinya tanpa bunga. Aku jadi tertawa geli sendiri saat menghayalkan keinginanku itu.

Hanya setengah jam kurang, aku sudah sampai di rumah megah berpilar besar milik orang kaya itu. Pak Rusdi menyambutku dengan sangat ramah, namun sambutannya hanya sampai di depan pintu rumahnya saja. Pak Rusdi bilang kalau dirinya akan keluar untuk ke bank di kota kabupaten. Aku pun disuruh Pak Rusdi menemui istrinya yang sedang menyaksikan acara televisi di ruang tengah. Tentu saja aku tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Setelah Pak Rusdi pergi dengan menggunakan mobilnya, aku langsung masuk menemui Bu Rusdi di ruang tengah.

“Hai sayang ...” Ucap Bu Rusdi yang langsung bangkit dari sofa. Dia setengah berlari memburuku yang baru saja memasuki ruang tengah.

“Hai ...” Balasku dan kami pun berpelukan dan berciuman untuk beberapa detik.

“Aku kangen banget. Aku menyangka kalau kamu sudah melupakan aku.” Bu Rusdi merajuk.

“Saya hanya sibuk saja, tapi pikiran saya terus tertuju pada ibu.” Kataku untuk membuatnya senang.

“Duh ... Pak Sekdes baru ... Belum apa-apa sudah sesibuk pengusaha ...” Bu Rusdi mencandaiku.

“Ha ha ha ...” Aku tertawa sambil berjalan ke sofa. Aku duduk di sofa sementara Bu Rusdi langsung duduk mengangkang di pangkuanku.

“Aku sudah lama menunggumu sayang ... Aku merindukan kejadian kita dulu itu ...” Suara Bu Rusdi mendesah-desah dengan wajah yang hanya beberapa senti dengan wajahku.

“Saya juga merindukannya.” Jawabku pelan.

Kami langsung berciuman dengan ganasnya, saling melumat, menjilat dan saling menghisap. Suasana menjadi hening, hanya deru nafas dan desahan kami yang terdengar. Dengan kedua tangannya, Bu Rusdi memeluk leherku. Aku usap kepalanya yang berbalut jilbab. Kali ini ciuman kami lebih bergairah dari sebelumnya. Tanganku yang semula mengusap kepala dan pipinya mulai turun mengusap dadanya yang cukup besar. Tanganku tanpa menunggu waktu lama, kini aku berusaha membuka gamis yang Bu Rusdi kenakan. Dengan sedikit bantuannya, gamis itu lepas melalui kepalanya. Buah dada wanita cantik itu yang masih tertutup oleh bra begitu merangsangku. Sambil masih berciuman, aku meremas kedua buah dada Bu Rusdi.

“Mmmppphhh ....” Desahan Bu Rusdi keluar diantara ciuman kami. Tangan Bu Rusdi mulai berjalan menelusuri tubuhku, pertama-tama ke bagian belakang kepalaku. Ia meremas rambutku dengan begitu kencangnya, saraf di otakku seperti memberikan alarm yang kukenali sebagai gairah yang makin lama makin tidak tertahan.

Ternyata, Bu Rusdi tak ingin kalah dariku. Dengan nakalnya, dia membuka retsleting celanaku. Mengeluarkan 'Si Boy' yang sudah lama merasakan sesak di dalam celanaku. Aku melepaskan ciuman kami agar Bu Rusdi dapat melihat jelas 'pedang sakti' milikku ini. Bu Rusdi tampak begitu terpesona dengan ‘pedang saktiku’ yang telah menegang hebat.

"Wow. Besar sekali." Pujinya.

“Ibu kan sudah mencobanya.” Kataku geli.

“Aku lupa ... Yang aku ingat hanya enaknya saja ...” Ucap Bu Rusdi sambil tersipu malu.

Kami pun menggelapar dalam nafsu birahi bagai ikan kehausan. Kami berdua saling menjamah dan memberikan sentuhan-sentuhan yang saling merangsang hingga pakaian kami terbang melayang. Bu Rusdi terus meracau saat kedua jariku mengobrak-abrik lubang vaginanya dan bibirku menyusu pada teteknya. Ibu Rusdi meremas pundakku untuk melampiaskan apa yang ia rasakan. Aku terus saja menggerakkan jari di organ intim Bu Rusdi dan memanjakan kedua putingnya secara bergantian, menyesap serta menggigit kecil puting coklat kemerahan itu. Tubuh Bu Rusdi bergetar saat ia mencapai orgasmenya, padahal aku belum masuk ke menu utama.

"Sayang aaahh... Aaakkhh... Haahh... Aaaacchh..." Ibu Rusdi menatap sayu yang kini tersenyum padaku.

"Apa ibu yakin ingin meneruskannya?" Tanyaku sambil menempelkan keningnya pada kening Bu Rusdi.

"Heumb... Aku milikmu sekarang ..." Jawab Bu Rusdi, kemudian kembali memagut bibirku.

Aku dan Bu Rusdi kembali saling merangsang dan menggerayang. Sambil berciuman mesra, tangan kami menjelajah ke sekujur lawan. Mengusap-usap dada, mengelus-elus paha, serta mempermainkan kelamin kami bersama-sama. Hingga tubuh kami bergelora, sama-sama terbakar hasrat yang membara.

“Aaahh... Cukup!! Lakukan sekarang...!" Pinta Bu Rusdi dengan tatapan sayunya.

Aku tersenyum lalu memeluk tubuh Bu Rusdi agar lebih melekat di atas pangkuanku. Bu Rusdi kembali mencium bibirku dan sedikit mengesekkan belahan vaginanya pada penisku yang keras sempurna di bawahnya. Sambil berciuman, Bu Rusdi mengangkat tubuhnya dan memposisikan penisku tepat pada muara lubang peranakannya. Dengan perlahan Ibu Rusdi menurunkan pinggulnya sampai penisku itu masuk seluruhnya. Ibu Rusdi menunduk dan menyandarkan kepalanya pada bahuku, nafasnya terengah menyapu leherku.

"Emmhh... Aaahh... Aku merindukanmu... Aaahh..." Racau Ibu Rusdi sambil mulai menggerakkan pinggulnya naik turun di atasku, dan hanya dalam beberapa menit, penisku sepenuhnya tertutupi dengan cairan cintanya yang bocor. Bagian dalam vaginanya begitu hangat dan basah sehingga secara naluri aku ikut menggali dengan menyodok-nyodok penisku dari bawah sesuai dengan ritme naik turun pinggul Bu Rusdi.

Aku tidak tinggal diam, aku lantas menjarah ke dua puting Bu Rusdi secara bergantian, menyesap dan juga meninggalkan banyak kismark di dada wanita cantik ini yang semakin membusung, seolah menginginkan aku melakukan lebih dari itu. Sementara itu Bu Rusdi terus bergerak menarik pinggulnya hingga akhirnya batang pejalku yang kokoh perlahan keluar sedikit demi sedikit, perlahan sekali. Terasa nikmat dan geli sekaligus, lalu Bu Rusdi memasukannya lagi. Mulanya perlahan namun beberapa saat kemudian, Bu Rusdi mulai bergerak makin cepat, naik turun pinggulnya mengasah batang tegarku. Telah lancar memang keluar masuknya pada liang kewanitaan Bu Rusdi sehingga seluruh tubuh Bu Rusdi berguncang.

“Ouh… Ouh… Ouh…” Rintih Bu Rusdi berulang-ulang.

Kenikmatan tiada tara aku rasakan, ketika batang kemaluanku keluar masuk di vaginanya, bergesekan dengan dinding vagina yang lembut, hingga ke pangkalnya. Bu Rusdi merintih semakin kencang ketika kemaluanku yang besar menggesek bibir vagina dan klitorisnya, matanya setengah terpejam mulutnya menganga, nafasnya tersenggal-senggal. Penisku keluar sampai kepalanya hampir keluar. Ia masukan lagi sambil bergoyang. Sementara rintihannya selalu ditambah teriakan kecil, setiap kali pangkal batang kemaluanku menghantam bibir vagina dan klitorisnya. Gerakannya semakin lama semakin cepat, bibirku bergantian antara melumat bibirnya, atau menghisap puting payudaranya kiri dan kanan.

Teriakan-teriakannya semakin menggila, kepalanya dia tolehkan ke kiri dan ke kanan membuatku hanya bisa menghisap puting payudaranya saja, tidak bisa lagi melumat bibirnya yang seksi. Sementara itu pinggulnya tidak mau diam untuk menstimulasi dirinya agar kenikmatan di vaginanya lebih terasa menyengat. Kini vagina Bu Rusdi benar-benar basah, sampai akhirnya ...

“Saaayyyyaaanngghh …. Aku mau keluar lagiiiiii… Oooohhhhhh… Aaahhhhh...” Teriakannya semakin kacau.

Aku memperhatikan dengan puas, saat dia mengejan seperti menahan sesuatu, vaginanya kembali banjir seperti saat dia orgasme oleh tanganku. Aku memang sengaja mengontrol diriku untuk tidak orgasme, hal ini aku pelajari dengan seksama. Setelah dia melambung dengan orgasme-orgasmenya yang susul-menyusul, Bu Rusdi pun bergerak dari atas tubuhku dan mengeluarkan kemaluanku yang masih perkasa dan keras. Bu Rusdi tergeletak terlentang di atas sofa. Aku memberinya waktu beberapa saat untuk mengatur nafasnya.

“Kontolmu enak sekali.” Ujar Bu Rusdi sembari mengusap-usap vaginanya.

“Punya ibu juga enak sekali. Punyaku seperti diperes-peres.” Sahutku sambil tersenyum lalu kuremas-remas buah dadanya yang basah oleh keringat.

“Aku istirahat sembentar ya ... Nanti kita lanjut.” Katanya yang kujawab dengan anggukan kepala.

Kami ngobrol sejenak tentang pekerjaanku. Sebenarnya sama sekali tidak ada yang menarik dari ceritaku itu. Kami hanya mengisi waktu untuk memulihkan tenaga. Tak lama, Bu Rusdi sudah siap kembali, kemudian aku memintanya menungging, dia dengan senang hati melakukannya. Kembali kami tenggelam dalam permainan yang panas. Sekali lagi aku membuatnya mendapatkan orgasme yang berkepanjangan seakan tiada habisnya, aku sendiri karena sudah cukup lelah, kupercepat gerakanku untuk mengejar ketinggalanku menuju puncak kenikmatan. Sambil mendengus aku menekankan pinggulku sedalam mungkin, merasakan lecutan birahiku melambung dan akhirnya materi kental milikku memancur keras membasahi seluruh permukaan dalam kewanitaan Bu Rusdi.

Setelah beristirahat sebentar masing-masing kami memakai baju kembali, dan kami memilih untuk melanjutkan obrolan di dapur. Sambil menikmati kopi, kami berbincang-bincang seputar diri kami masing-masing. Aku menjadi agak serius ketika Bu Rusdi membicarakan bahwa suaminya sedang menghadapi masalah. Pak Rusdi sedang diperas oleh oknum polisi yang meminta sejumlah uang yang cukup besar dikarenakan bapak ketahuan sedang berjudi di kota.

“Dia minta 100 juta, kalau tidak bapak akan dipenjarakan.” Suara Bu Rusdi memang terdengar normal namun aku merasa ada kesedihan di sana.

“Masa hanya berjudi diminta 100 juta. Itu sih keterlaluan.” Responku sangat menyasali perbuatan oknum polisi itu.

“Dia tahu kalau bapak berduit. Makanya dia minta segitu.” Ucap Bu Rusdi. Walau Bu Rusdi tersenyum namun aku tahu betul bahwa senyumannya itu mengandung kesedihan yang mendalam.

“Ibu kenal dengan polisi itu?” Tanyaku sambil mengambil tangannya lalu meremasnya pelan.

“Dia polisi Polsek ... Namanya Reno Bastian. Dia tinggal di Desa Sukomulyo.” Jawabnya dengan membalas remasan tanganku.

Rasanya tidak akan sulit mencari polisi bernama Reno Bastian. Selain hanya sedikit penduduk yang berprofesi sebagai petani, juga nama Reno Bastian adalah nama yang unik di daerahku. Nama itu menandakan kalau polisi tersebut adalah perantauan. Bu Rusdi menceritakan kejadian saat Reno Bastian mendatangi rumahnya dan menakut-nakuti Pak Rusdi akan diproses hukum karena perbuatan berjudinya. Baru saja Bu Rusdi selesai bercerita, Pak Rusdi pun datang dan bergabung denganku.

“Tadi ibu cerita kalau bapak sedang diperas oknum polisi.” Kataku membuka pembicaraan dengan Pak Rusdi.

“Benar ... Saya diperas untuk memberinya uang. Ini uangnya baru saya ambil dari bank.” Jawab Pak Rusdi lemas.

“Kapan uang ini akan bapak berikan?” Tanyaku.

“Malam ini dia akan mengambilnya ke sini.” Jawab Pak Rusdi sambil tersenyum kecut.

Aku merasa kasihan juga pada orang kaya dermawan ini. Lantas aku berpikir bagaimana cara menolongnya. Tak lama datang pegawai Pak Rusdi yang merawat ternaknya. Pegawai itu berkata kalau dombanya telah melahirkan dua anak domba. Pak Rusdi pun segera beranjak ingin melihat domba-dombanya. Aku yang tertarik untuk melihatnya juga segera mengikuti langkah Pak Rusdi ke kandang dombanya di belakang lokasi rumah utama. Aku baru tahu kalau Pak Rusdi mempunyai banyak domba dengan kandang yang besar dan bersih.

Dua pegawai kandang kemudian memperlihatkan anak-anak domba yang baru lahir. Kelihatannya sehat-sehat bahkan sudah bisa berdiri dan berjalan. Setelah memeriksa anak domba yang baru lahir, aku dan Pak Rusdi kembali ke rumah utama yang langsung disambut raut suram Bu Rusdi. Bu Rusdi mengatakan kalau oknum polisi yang memeras Pak Rusdi sudah menunggu di ruang depan.

“Kalian tunggu di sini ...” Pak Rusdi bergegas ke ruang depan sambil membawa kantong plastik yang aku yakin itu adalah uang yang akan ‘disetor’ Pak Rusdi pada oknum polisi itu.

Aku yang sejak tadi sudah mempunyai rencana untuk menyelamatkan Pak Rusdi segera berbicara pada Bu Rusdi, “Pegawai bapak di kandang domba, suruh mereka menyingkir dulu dari sana. Suruh mereka ke sini saja dulu.”

“Emanya kenapa?” Bu Rusdi bertanya heran.

“Pokoknya ibu ikuti saja perintah saya ... Cepat ...!” Kataku.

Dengan wajah kebingungan Bu Rusdi akhirnya melakukan apa yang aku perintahkan. Aku langsung saja menuju ruang tengah. Aku berdiri di belakang pintu yang menghubungkan ruang tengah dan ruang depan. Kudorong pintu perlahan yang hanya menyisakan sedikit ruang untuk aku bisa mengintip. Kulihat Pak Rusdi bersama oknum polisi yang bernama Reno sedang berbincang-bincang. Tanganku bergerak ke tas pinggang langsung mengambil botol air keramat dan meminum airnya setegukkan. Sambil menyebut kekuatan batu cahaya, aku langsung berhayal kalau oknum polisi itu menggagahi salah satu domba milik Pak Rusdi di kandangnya. Saat dia kepergok olehku dan Pak Rusdi, si oknum polisi itu merasa sangat malu dan memohon-mohin agar kelakuannya tidak disebar-sebar kepada orang lain, dan si oknum polisi akan melakukan apa saja yang aku dan Pak Rusdi inginkan.

Aku membuka pintu lebar-lebar lalu berkata, “Pak Rusdi maaf mengganggu ... Saya ada perlu sebentar.”

“Oh iya ...” Pak Rusdi langsung saja berdiri dan menghampiriku. “Ada apa?” Tanyanya kemudian.

“Apakah uangnya sudah diberikan?” Tanyaku.

“Belum ... Masih di simpan di bawah meja.” Jawabnya.

Aku pun tersenyum lalu membawa Pak Rusdi ke dapur. Di sana sudah ada Bu Rusdi dengan dua pegawai kandang. Pak Rusdi terus bertanya-tanya padaku dan aku mengulur waktu. Aku terus melarang Pak Rusdi untuk menemui tamunya tanpa alasan yang tentu membuat Pak Rusdi terheran-heran.

“Nak Azka ini ada apa? Kok aneh sekali melarang saya menemui tamu?” Suara Pak Rusdi mulai terdengar kesal.

“Bapak tenang saja di sini dulu. Biar tamu bapak menunggu.” Kataku.

“Ya ... Tapi ada apa?” Tanya Pak Rusdi lagi sepertinya tambah kesal.

Aku melihat jam tanganku dan kuperkirakan sudah lebih lima menit dari Pak Rusdi meninggalkan oknum polisi di ruang depan. Aku lantas mengajak Pak Rusdi dengan kedua pegawainya ke kandang domba. Bu Rusdi aku tahan untuk tidak ikut bersama kami. Kami berempat berjalan ke kandang domba perlahan-lahan dan mengendap-endap. Belum juga sampai di kandang, aku mendengar suara berisik domba dari dalam kandang. Kami terus mengendap-endap sampai berada di dalam kandang.

Tentu aku tersenyum senang saat melihat oknum polisi itu sudah tidak bercelana dan sedang menggagahi salah satu doma betina di kandangnya. Aku menahan semua orang agar tidak bergerak dan berisik. Aku bahkan menyuruh Pak Rusdi memfoto kejadian langka ini. Akhirnya Pak Rusdi tersenyum tanda mengerti. Kemudian dia mengambil smartphone miliknya lalu mendokumentasikan kejadian pemerkosaan yang dilakukan oknum polisi kepada salah satu dombanya. Sang domba meronta-ronta sambil bersuara pilu saat diperkosa. Namun Reno berhasil menahan rontaan domba tersebut sambil mengeluar masukan kejantanannya ke dalam tubuh si domba. Setelah selesai memfoto, kami pun keluar dari tempat persembunyian.

“Akan saya laporkan saudara ke atasan saudara karena telah memperkosa domba saya!” Ucap Pak Rusdi lantang.

Sang oknum polisi tentu terperanjat dengan muka pucat. Reno menatap kami dengan tatapan tak percaya yang tangannya masih memegang erat tubuh bagian belakang domba yang sedang ia gagahi. Lalu Reno menunduk menyaksikan sendiri betapa kejantanannya masih bersatu dengan kemaluan milik domba. Reno berteriak histeris sambil melepaskan tautan kelaminnya dari domba.

“Ma..maaf ... Maaf ... Saya khilaf ...” Suara ketakutannya sangat jelas terdengar di telingaku. Oknum polisi itu langsung memasang lagi celananya.

“Kita bisa bicarakan di dalam ...!” Kata Pak Rusdi bersahaja.

Tanpa menunggu jawaban, aku dan Pak Rusdi segera kembali ke dalam rumah. Bu Rusdi menyambut kami dengan pertanyaan-pertanyaan kekhawatiran. Sementara Pak Rusdi terus berjalan ke ruang depan, aku lah yang menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Bu Rusdi melotot sambil menutup mulutnya saking terkejut dan tidak percaya dengan apa yang aku ceritakan.

“Bapak sekarang punya senjata yang akan melawan oknum itu. Saya yakin oknum itu akan menerima permintaan bapak untuk tidak memerasnya lagi.” Kataku.

“Oh ... Baguslah ...” Rona Bu Rusdi berubah total kini menjadi sangat cerah.

“Sebaiknya kita tunggu. Kita akan dengarkan hasilnya saat bapak ke sini.” Kataku.

Tiba-tiba Bu Rusdi memelukku dan bibirnya menyambar bibirku. Kami pun berciuman lagi dan lagi. Aku didorong olehnya hingga terduduk di kursi kayu dan Bu Rusdi mengangkangi di atasku. Kami terus berciuman. Indah dan manis sekali kurasakan. Ciuman semakin panas hingga akhirnya Bu Rusdi melepaskannya. Aku segera mengambil oksigen sebanyak yang kubisa.

“Aku sangat berterima kasih padamu telah menolang bapak dari masalahnya.” Ucap Bu Rusdi sembari mengusap-usap kedua pipiku.

“Bapak sudah banyak membantu dan malam ini pun saya akan kembali meminta bantuannya. Jadi wajar kalau saya membantu bapak.” Jawabku dengan senyuman termanisku.

“Aku ingin malam ini kamu tidur bersamaku di rumah ini. Aku ingin bercinta denganmu sampai pagi.” Ungkap Bu Rusdi yang membuatku tersenyum.

“Kalau bercinta sampai pagi, saya besok tidak bisa kerja karena kehabisan tenaga. Kalau ibu mau saya menginap di sini, nanti saja saat hari libur.” Jawabku.

“Ah ... Kamu bikin alasan saja ...” Kata Bu Rusdi yang kembali menciumku.

Tiba-tiba pintu dapur terbuka. Pak Rusdi dengan wajah sumringah menghampiri kami yang masih sedang berciuman. Pak Rusdi duduk di kursi depanku yang terhalang oleh meja makan sebagai penjarak antara aku dan pria itu. Tak lama Bu Rusdi melepas ciumannya lalu beranjak dari atas tubuhku. Wanita itu sejenak membenahi penampilannya yang agak kusut, dan aku langsung menghadapkan wajahku pada Pak Rusdi.

“Jadi bagaimana hasilnya?” Tanyaku penasaran.

“Reno malah berbalik takut pada saya. Dia melepas saya dan berjanji tidak akan mengganggu saya lagi.” Jawab Pak Rusdi dengan senyum lebarnya.

“Wow! Bagus kalau begitu. Apakah bapak balik mengancamnya?” Tanyaku lagi.

“Ya ... Kalau dia berani mengganggu saya ... Saya akan laporkan pemerkosaannya pada domba saya ke atasannya. Selain itu, saya akan menyebarkan foto-foto ke keluarganya dan teman-temannya.” Jawab Pak Rusdi sangat puas.

“Hah! Biar tahu rasa dia. Seharusnya jadi polisi itu mengayomi masyarakat, bukannya menjadi pemeras.” Aku berkomentar pedas.

“Memang awalnya saya yang salah. Saya ketangkap berjudi. Judi itu melanggar hukum. Jadi pantas dia menggunakan kesempatan itu untuk memeras.” Ujar Pak Rusdi.

“Makanya hentikan kebiasaan berjudi bapak!” Sambut Bu Rusdi tidak senang.

“Gak tau ... Padahal bapak tuh ingin berhenti. Tetapi sangat sulit untuk menghentikannya. Sudah beberapa bulan bisa menahan untuk tidak berjudi, sekalinya ada teman yang ngajak, ya terjerumus lagi.” Pengakuan Pak Rusdi penuh penyesalan.

“Maaf ya pak ... Saya langsung saja mau mengutarakan maksud dan tujuan menemui bapak.” Aku akhirnya masuk ke permasalahan utama.

“Oh ya ... Ada apa?” Tanya Pak Rusdi sangat ramah.

“Saya dan Pak Kades berkeinginan untuk memperbaiki jalan desa di RW 12 yang lumayan parah. Tetapi anggaran desa sangat terbatas. Bantuan pemerintah untuk tahun anggaran ini sudah habis. Karena kebutuhan jalan sangat mendesak demi kenyamanan masyarakat dan tidak bisa menunggu, akhirnya saya dan Pak Kades setuju untuk meminjam dana dari bapak. Dan kata kakek bapak bisa menjadi pemodal dengan bunga yang lebih rendah dari bunga bank.” Jelasku lumayan detail.

“Oh ... Tentu saya akan senang bisa membantu ... Saya dengan senang hati akan membantu modal untuk perbaikan jalan desa. Silahkan Nak Azka membuat perencanaan dan proposal. Segala biaya akan saya tanggung. Dan ya, karena Nak Azka sudah menolong saya, saya akan menawarkan sesuatu yang pasti Nak Azka tertarik.” Katanya dan sontak aku mengerutkan kening kebingungan.

“Maksud bapak?” Tanyaku tidak mengerti.

“Begini ...” Pak Rusdi menarik kursinya ke depan. “Dana perbaikan jalan desa itu saya taksir tidak kurang dari 4 milyar. Tentunya saya akan memasang tarif bunga 2%. Saya tawarkan bunga 2% itu buat Nak Azka. Kembalikan saja modalnya yang 2% masukkan ke dalam rekening Nak Azka.” Jelas Pak Rusdi yang tentu saja aku seperti kejatuhan bulan purnama.

“Sungguhan pak?” Tanyaku masih tidak percaya.

“Ya ... Nanti Nak Azka membuat proposal ke pemerintah dengan nilai bunga 2%. Pasti pemerintah akan menyetujui proposal Nak Azka. Pembayaran pasti akan melalui rekening Nak Azka sebagai Sekdes. Bayar saja pada saya sesuai modal yang saya keluarkan. Bunganya simpan buat keperluan Nak Azka.” Pak Rusdi memperjelas maksudnya.

“Oh ... Terima kasih pak ...” Aku langsung berdiri dan menghampiri Pak Rusdi. Aku jabat tangannya erat. “Sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Bapak sudah sangat baik pada saya.” Kataku kemudian.

“Itung-itung balas budi karena Nak Azka sudah menolong saya. Kalau tidak ada Nak Azka, saya akan kehilangan 100 juta. Uang sebesar itu lebih baik saya berikan kepada Nak Azka.” Pak Rusdi pun tersenyum sambil menggoyangkan jabatan tangan kami.

“Sekali lagi terima kasih.” Kataku sangat senang.

Pepatah Jawa mengatakan ‘ngunduh wohing pakarti’ yang bermakna bahwa semua orang akan mendapatkan balasan yang setimpal atas setiap perbuatan yang pernah mereka lakukan. Hampir sama dengan istilah hukum tabur tuai, setiap kebaikan akan dibalas kebaikan dan seseorang pun akan mendapat keburukan jika keburukan pula yang orang itu beri. Mungkin inilah yang aku rasakan saat ini. Pak Rusdi merasa telah dibantu olehku dengan memecahkan masalahnya, maka aku pun layak menerima balasan darinya.

Aku pun melepaskan genggaman tangan Pak Rusdi, lalu berpamitan kepada tuan rumah. Pak Rusdi dan Bu Rusdi mengantarkanku sampai teras rumah. Kurang ajarnya aku, sebelum menuju Si Black, aku berciuman dulu dengan Bu Rusdi di depan muka Pak Rusdi. Memang gila dunia yang diciptakan batu cahayaku. Semuanya tidak masuk akal. Tidak ada logikanya mencium bibir istri orang di depan suaminya tanpa sedikit pun si suami marah. Tak lama, Si Black sudah melaju membawaku pulang dengan hati yang sangat riang.

Bersambung
Chapter 4 di halaman 25 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
mantap updatenya bang
 
Bimabet
Makasih updatenya om
Sama-saha suhu ...
Makasih suhu ...
Kesana lagi suhu @kenthirkatrok bareng suhu @Aswasada sama suhu @rajavalid sembari nyedot SUSU SAE dari Pujon menuju padepokan pertapaan suhu @umam di puncak ANJASMARA.
Ha ha ha ... Apakah suhu @umam tinggal di Pujon kah?
Atur nuwyn updatenya bosz @Aswasada
Sama-sama hu ...
@Aswasada terima kasih. Lanjutkan.
Sama-sama hu ...
bu rusdi aku juga mau donk,,...
mantapp suhuu the best❤️❤️❤️❤️❤️
Ha ha ha ... Cipok aja sama si Azka ... :D
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd