Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT METEOR AZKA

CHAPTER 2

Batu cahaya yang kumiliki tak ubahnya sebuah misteri yang sulit ditebak dan sulit dicari padanan logikanya. Aku pun berkesimpulan tidak bisa memikirkan batu cahayaku dengan akal pikiran, hanya intuisi yang dapat digunakan. Meskipun demikian, aku perlu melakukan beberapa eksperimen untuk membuktikan beberapa tebakan dalam pikiranku. Ya, aku harus membuktikan kekuatan yang dimiliki batu cahaya yang kurang lebih aku telah sedikit mengetahuinya.

Aku teguk air dari botol minuman mineral tempat bersemayam batu cahaya lalu kusimpan botol tersebut di bawah tempat tidur. Aku keluar kamar dan terus berjalan ke belakang rumah. Aku menatap hamparan ladang sayuran yang membentang sejauh mata memandang. Pagi menjelang siang ini cuaca sangat bersahabat, burung-burung berterbangan dengan riang. Aku memperhatikan burung-burung itu. Mereka berterbangan kesana-kemari. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku berhayal jika burung-burung itu berkumpul di dekatku. Aku ingin bermain bersama mereka.

Luar biasa! Aku sampai tak percaya melihatnya. Burung-burung berterbangan menghampiriku. Mereka berada di dekatku. Burung yang kesehariannya menghindari manusia, kini mereka begitu jinak di dekatku, bahkan beberapa menclok di bahu dan kepalaku. Kini ada titik terang dengan apa yang aku perkirakan. Sesuai prediksi, sesuai dengan apa yang aku perkirakan, akhirnya aku menemukan jawaban. Batu cahaya itu memiliki kekuatan yang bisa mewujudkan hayalan.

Aku tetawa-tawa sambil bermain dengan burung-burung yang mendadak jinak. Tiba-tiba muncul pertanyaan di dalam otakku. “Apakah kekuatan batu cahaya itu bisa digunakan berkali-kali atau bahkan seterusnya?” Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Entah kenapa aku berhayal burung-burung ini saling mencari pasangan dan kawin beramai-ramai. Satu detik, dua detik, tiga, empat, sampai satu menit tak ada yang bergerak. Burung-burung tetap berada di posisinya. Aku berkesimpulan kalau kekuatan batu cahaya tidak bisa digunakan dua kali. Artinya satu kali minum air mineral yang berisi batu cahayaku hanya untuk satu hayalan.

Setelah puas bercengkrama dengan burung-burung, aku kembali ke dalam rumah yang sebelumnya aku mengusir dulu burung-burung dari pekarangan belakang rumah. Aku masuk ke dalam kamar lalu meminum seteguk air mineral dari botol tempat batu cahayaku untuk melakukan eksperimen berikutnya. Kali ini, aku bawa botol mineral itu dengan memasukkannya ke dalam tas pinggang. Saat aku keluar kamar, aku melihat kakek sedang berbincang-bincang di teras depan dengan seorang janda beranak empat tetangga beberapa rumah dari rumah ini. Janda itu selalu kupanggil Mbak Warsih. Penampilannya lumayan, wajah manis dengan postur tubuh agak gendut tetapi tidak gembrot. Entah apa yang mereka perbincangkan tetapi tampak seru kadang diselingi tawa mereka.

“Wah! Ini kesempatanku melakukan eksperimen lagi.” Tiba-tiba pikiranku seperti dikelilingi lampu pijar.

Sambil tertawa dalam hati aku membayangkan kakek bercinta dengan Mbak Warsih di ruang depan. Sebenarnya bukan sekedar hayalan. Sungguh, aku berkeinginan kakek bercinta dengan wanita itu. Aku yakin kakek masih memiliki hasrat kepada wanita. Tubuh kakek masih tegak dan kuat, bahkan masih mampu mencangkul di sawah. Pastilah hasrat bercintanya masih ada.

Tak lama, aku melihat kakek dan Mbak Warsih masuk ke dalam rumah kemudian kakek menutup pintu. Aku langsung masuk lagi ke dalam kamar agar kedua orang yang baru masuk itu tidak melihatku. Aku menunggu sekitar empat atau lima menitan, kemudian terdengar lenguhan sensual dari mulut Mbak Warsih. Lagi-lagi aku ketawa dalam hati, eksperimenku berhasil kembali. Aku pun segera keluar kamar dan langsung menyaksikan kakek sedang menyetubuhi Mbak Warsih di lantai beralaskan tikar. Posisi mereka memang membelakangiku, jadi wajar kalau mereka tidak melihatku.

“Aaahh ... Aaahh ... Aaahh ... Teerruusss ...” Suara Mbak Warsih yang keenakan itu sungguh seksi terdengar.

“Memek sampeyan legit tenan ...” Kakek membalas di sela genjotannya.

Kakek bergerak dengan ganas, menghujamkan penisnya keluar-masuk tanpa henti membuat Mbak Warsih yang ditusuk meracau dengan liar. Suara khas dua kelamin yang bertubrukan kasar, diringi dengan desahan yang terus mengalun, menjadi musik pengiring kegiatan panas itu. Penis kakek terus menyodok keluar-masuk, merenggangkan lubang kenikmatan Mbak Warsih, mengejar puncak kenikmatan. Bunyi basah persenggamaan mereka menggema. Memenuhi seisi ruangan. Juga erangan dan desahan panas kedua insan yang bergerak kacau di atas tikar. Membuat siapa pun yang mendengarnya akan lebih memilih menulikan telinga karena demi apapun, mereka bercinta seperti orang kesurupan.

Aku melangkah ke dapur kemudian menuangkan air minum ke botol air mineral tempat bersemayam batu cahaya hingga penuh. Aku pun lantas membuat kopi sambil menunggu kakek yang sedang menumpahkan hasratnya bersama Mbak Warsih. Kuseruput kopi dengan ikhlas dan menikmatinya secara sederhana. Kuambil sebatang rokok dari bungkus putih yang isinya tinggal beberapa lagi, meraba kantong celanaku mencari korek yang sembunyi di sela-selanya. Kunyalakan rokok ditemani suara erangan dan lenguhan dua insan di depan sana. Sambil mengecup ujung manisnya, aku merasa tenang. Hembusan nafas yang keluar bersama kepulan asap putih membersihkan kotoran di pikiran.

Sekita sepuluh menit berselang, suara-suara sensual itu pun berhenti, dan kini yang kudengar suara obrolan kakek dan Mbak Warsih yang samar-samar. Saat aku meneguk sisa kopi terakhirku, kakek datang dan duduk di kursi dengan wajah yang berseri dan penuh semangat. Aku tersenyum sambil menatap kakek dengan selebar dan semanis mungkin. Kakek membalas tatapanku dengan mata yang agak membulat.

“Ada apa kok kamu cengar-cengir kayak gitu?” Tanya kakek seperti orang yang tidak mempunyai salah.

“He he he ... Pagi-pagi udah ngeluarin air mani, pastilah seger.” Candaku masih dengan senyuman.

“Isss ... Saru ... Wis ojo dibahas ...!” Ujar kakek sembari melotot. “Tadi pagi, kakek menemui kepala desa. Kakek sudah menyerahkan uang untuk kepentinganmu menjadi Sekdes. Tapi ada sedikit masalah. Keponakan Pak Kades juga menginginkan jabatan itu. Sekarang Pak Kades sedang puyeng. Sebenarnya dia sangat ingin kamu yang menjadi Sekdes, tapi keluarga besarnya memaksa Pak Kades untuk mengangkat keponakannya.” Jelas kakek dan tentu aku lumayan terkejut mendengarnya.

“Apakah keponakan Pak Kades itu bernama Jafar?” Tanyaku sembari membenarkan letak dudukku lebih ke depan.

“Benar ... Jafar yang ingin dijadikan Sekdes oleh keluarga Pak Kades. Tapi Pak Kades sangat keberatan karena Jafar dinilai orang yang tidak baik. Kerjaannya malak di pasar dan mabuk-mabukan. Citranya sangat buruk sebagai preman pasar yang selalu membuat onar.” Jawab kakek lalu membakar rokok kreteknya.

“Semua kembali kepada Pak Kades. Kita hanya bisa menunggu.” Kataku berbesar hati.

“Benar. Kita tinggal berdoa saja supaya Pak Kades tetap memilihmu. Bagaimana pun juga Pak Kades sangat memilihmu bukan keponakannya. Pak Kades tinggal meyakinkan keluarganya agar tidak ikut campur dengan urusannya.” Ujar kakek.

“Ya pantas kalau Pak Kades tidak suka sama si Jafar. Pak Kades sering berkelahi dengan si Jafar. Mereka itu gak akur.” Kataku yang mengetahui fakta bahwa Pak Kades sering memarahi keponakannya karena sering membuat keributan di wilayahnya.

“Selain itu, si Jafar itu pengguna narkoba. Dia pernah terjaring polisi kasus narkoba. Saat itu Pak Kades harus menebusnya 15 juta. Dan orang-orang masih melihat kalau si Jafar masih menggunakan narkoba jenis *****. Kakek pun pernah mendengar pemuda sekitar sini sering dikasih ***** sama si Jafar.” Ungkap kakek dan itu pun pernah kudengar.

“Ya, biarin saja kek ... Aku percaya kalau Pak Kades mempunyai penilaian dan pilihan yang tepat.” Kataku sambil tersenyum.

“Benar ... Kita tunggu saja beberapa hari ke depan.” Jawab kakek lalu berdiri dan meninggalkanku. Kakek berjalan ke kebun belakang.

Setelah kakek keluar rumah, aku pun bergerak ke pintu depan. Sebelum membuka pintu, sejenak aku meneguk air keramat, begitu aku akan menyebut air mineral berisikan batu cahaya untuk selanjutnya, hanya satu tegukan. Aku simpan lagi botol air keramat dalam tas pinggang, lalu keluar rumah. Segera kuhampiri sepeda motor kesayangan, Honda GL Pro keluaran tahun 1991, aku memberinya nama ‘Si Black’. Berwarna hitam dengan tampilan standar, hanya sedikit ubahan pada mesin, sekedar agar lebih bertenaga daripada keluaran asalnya. Segera kunyalakan, agar agak panas sebentar, kemudian aku mulai mengendarai Si Black perlahan, menuju kediaman Windi.

Windi adalah teman dekatku sejak sama-sama duduk di bangku SMA. Kami selisih satu tahu. Windi adalah gadis yang manis memiliki body aduhai layaknya model-model dari brand-brand ternama. Kulitnya yang putih bersih bak pemain drama Korea masa kini. Tubuhnya tinggi semampai, langsing dengan rambut hitam lurus sedikit melewati bahu. Matanya yang hitam pekat bagaikan permata berkilauan. Easy going, supel, dan popular tidak hanya di kalangan kaum Adam tetapi juga selalu menjadi teman yang mendapat sambutan hangat dari kaum Hawa.

Tak sampai 30 menit aku sudah sampai di rumahnya. Segera kuketuk pintu dan mengucapkan salam, tamu yang mencoba sopan. Tak berapa lama pintu terbuka dari dalam, sebentuk wajah melongok ragu-ragu. Wajah itu milik Windi, dan dia belum mandi. Tubuhnya masih wangi walau belum mandi, hanya saja pakaiannya agak sedikit kusut. Dia sedikit terkejut dan kemudian tertawa. Tawa yang selalu aku suka. Dia selalu menutup mulut dan separuh wajahnya ketika tertawa, dengan awal tawa yang mirip orang hampir tersedak.

“Kok udah nyampe?” Tanyanya sembari melanjutkan tawa.

“Iya. Enakan pagi. Cepetan mandi.” Pintaku sembari sekali lagi melihat wajahnya.

Aku tersenyum dan membalikkan badan. Kutunggu Windi di teras rumahnya sembari menyalakan sebatang rokok putih kegemaranku. Pikiranku berkelebat nakal, aku membayangkan menyusul ke dalam dan melihat Windi mandi. Hari Sabtu seperti ini orangtuanya yang keduanya guru sudah berangkat mengajar, dan adiknya sudah berangkat sekolah. Aku hanya tertawa dalam hati membayangkan pikiran kotorku sendiri.

Entah siapa yang menggerakan, tiba-tiba tubuhku bergerak sendiri. Aku sadar kalau aku bergerak tanpa kemauanku. Tetapi anehnya aku sama sekali tidak bisa menghentikannya. Kakiku tak bisa ditahan terus berjalan menuju kamar mandi belakang. Kini aku berdiri di depan pintu kamar mandi. Terdengar suara gemericik air dari dalam. Lagi-lagi aku tidak bisa menguasai diri, tiba-tiba tanganku mendorong pintu kamar mandi.

Mataku membulat dan jantungku berdetak kencang ketika melihat tubuh telanjang Windi yang terbasuh oleh air. Tubuh telanjangnya begitu berkilau di bawah pantulan cahaya matahari yang masuk dari celah ventilasi, sebagaimana kulit bagai kuning madu itu dilumuri bulir-bulir air yang membuatnya menjadi makhluk terseksi. Windi malah menyungging senyum tipis yang lebih terlihat bagai seringai penuh kemenangan kala mendapati aku memandang lapar. Seolah dirinya bangga menjadi mangsa segar yang siap dimangsa.

“Mas Azka ingin melihat tubuhku kan?” Windi malah menggoda. Windi tahu dirinya menakjubkan. Tidak perlu pengakuan lebih untuk satu itu. Dan ia tidak butuh usaha agar aku memohon-mohon untuk menjamah tubuhnya.

“I..iya ...” Kataku gugup bukan kepalang.

“Tetaplah di situ. Jangan masuk. Nikmati saja pemandangan aku mandi.” Kata Windi yang terdengar seperti perintah.

Begitu indah dipandang mata. Payudara Windi tidak besar tetapi juga tidak bisa dibilang kecil. Aku taksir ukurannya 36 B. Bentuk pinggulnya seperti putri duyung, melebar di area pinggul, bokong dan paha. Berbeda dengan pinggangnya yang singset. Bentuk tubuhnya seperti gitar spanyol. Dengan Windi diam dan berdiri di sana dengan tubuh telanjang itu sudah cukup membuat sesuatu di bawah sana bangun tanpa disuruh.

Tubuhku bereaksi, birahiku menggeliat seakan-akan diundang secara langsung untuk bangkit. Namun aku tak ingin melangkah lebih jauh. Aku mencintainya dan telah berjanji akan menjaganya. Aku harus menahan konakku, sekaligus juga tak mau terjebak dalam masalah yang lebih besar. Sebenarnya hubungan pertemananku dengan Windi tidak disukai oleh kedua orangtua Windi. Mereka bahkan membenciku. Pasalnya, aku dipandang oleh mereka laki-laki yang tidak mapan dan pengangguran. Orangtua Windi menghendaki anak gadisnya mendapatkan suami yang mapan dan kaya raya.

“Hei! Malah bengong! Ayo keluar!” Ucap Windi membuyarkan lamunanku.

Aku yang baru tersadar langsung menoleh ke arah Windi yang kini tubuhnya sudah terbalut handuk. Buru-buru saja aku berjalan keluar dan duduk kembali di kursi teras. Sial! Aku baru saja ‘termakan’ oleh lamunanku sendiri. Untungnya aku melamun tidak sampai melakukan hubungan badan. Aku pun menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Kuulangi beberapa kali hingga jantung dan hatiku berhenti meronta-ronta.

Aku pun berdiri di sisi teras sambil menghisap rokok putihku yang baru. Kuhisap rokokku dalam-dalam, hanya dengan cara ini aku bisa menenangkan pikiranku yang sempat keruh. Aku masih asik menikmati rokokku yang kedua sebelum terdengar suara pintu ditutup dan dikunci. Aku reflek membalikkan badan, Windi sudah berada di belakangku. Menggunakan celana jeans warna biru tua berpadu Sneaker Converse warna coklat membuatnya terlihat agak tinggi. Kaus pink yang ia kenakan membuatnya terlihat seperti anak usia SMA.

“Ayuk!” Katanya sembari memakai helm hello kitty nya.

“Kemana?” Tanyaku menggoda.

“Awas lho tak cubit.” Dia mencoba mengancam.

“Ampuuunnnn...” Aku bergegas meraih helm dan segera menaiki Si Black. Aku tak mau terkena cubitan Windi. Suatu waktu aku pernah dicubitnya di lengan tangan kanan sebelah belakang. Baru setelah satu minggu bekas cubitannya hilang. Windi segera menaiki jok belakang Si Black, sejenak mencari pijakan kaki dan kemudian melingkarkan kedua tangannya di pinggangku, berpegangan.

“Peluk dong ... Awas lho jatuh.” Aku kembali menggodanya.

“Gak maaauuu ...” Katanya manja.

“Awas ya, mas mau ngebut.” Aku setengah mengancam agar Windi mau berpegangan sembari memelukku.

“Gak takut, ngebut aja!” Ah Windi, dia memang pemberani.

Kami berangkat, beranjak dari halaman rumahnya. Aku arahkan Si Black menuju ke barat. Pagi ini, aku ingin mengajaknya ke Cafe Sawah. Aku asik melamun, kata Windi itu kebiasaan burukku. Melamun sambil naik motor, di jalan raya pula. Aku hanya tertawa setiap dia mengingatkanku tentang hal itu. Di kejauhan, Gunung Dorowati terlihat jelas, hanya sedikit berkabut pada sisi bawahnya, menjadikannya seperti sebuah sabuk yang melingkari pinggang raksasa.

Hanya 15 menitan berselang, kami sampai di gerbang masuk objek wisata Cafe Sawah. Cafe Sawah memang hits dan terkenal sebagai salah satu tujuan untuk dikunjungi. Sesuai dengan namanya, cafe ini dikelilingi oleh areal sawah dan latar belakang pemandangan Gunung Dorowati. Tema lokasi ini tentu disesuaikan dengan suasana di sekitarnya, jalanan setapak, bunga-bunga, tempat duduk kayu atau bambu dan area makan khas gubug atau gazebo.

Hanya ada satu petugas kebersihan sedang menyapu dedaunan di sisi utara dekat dengan kamar mandi dan mushola. Aku tak langsung mencari tempat untuk memarkir Si Black, berhenti sejenak melihat kanan dan kiri, kuputuskan untuk memarkir Si BLack di sebelah selatan saja, di bawah pohon Ketapang.

“Dingin dek?” Tanyaku pada Windi.

“Enggak mas, panaaaasssss.” Jawabnya, nyengir. Aku tak menyahut, hanya sebuah cubitan di hidungnya yang kuberikan sebagai balasan. “Aduh, minta dijiwit ya? Sini!” Windi berlari mengejarku. Aku pura-pura lari, sejurus kemudian berpura-pura tertangkap pula. Lenganku dicubitnya, beda. Kali ini tak terasa sakit seperti biasanya ketika dia mencubit lenganku. Kami tertawa-tawa.

Aku gandeng tangannya. Kami kemudian melangkah menuju anak tangga di sebelah mushola. Tangga semen itu menjadi pemisah antara lapangan parkir dan taman yang sedikit berada di atasnya. Diantara tangga dan taman, di sebelah kiri terletak pos retribusi. Harusnya kami membeli tiket masuk dan membayar di sana, tetapi pagi ini masih belum buka. Rupanya keberuntungan buat kami, tak harus mengeluarkan 10 ribu berdua untuk menikmati keindahan alam yang harusnya gratis ini, kami kembali tertawa.

Setelah berkeliling jalan-jalan, akhirnya kami singgah di sebuah gazebo dan memesan makanan serta minuman. Setelah pesanan datang, kami pun makan sambil membicarakan orang-orang yang sedang dekat dengan kami hingga lupa waktu. Namun ketika Windi membicarakan calon suaminya, aku langsung terdiam. Windi mengatakan kalau dirinya sudah dijodohkan oleh orangtuanya kepada seorang pria kaya raya. Usia pria itu 36 tahun dan membujang. Windi tak bisa menolak keinginan orangtuanya karena Windi ingin membahagiakan mereka.

Kami lama terdiam. Asik dengan pikiran dan lamunan kami masing-masing. Asik menikmati pemandangan yang tak setiap hari bisa kami nikmati. Tak ada orang lain selain kami pagi itu. Mungkin karena hari Sabtu, dan tidak semua orang libur pada hari yang menurutku lebih menyenangkan dari hari Minggu. Memang sejak awal aku menyadari kalau aku tidak pantas untuknya bahkan menjadi temannya saja tidak pantas. Namun kenapa hari ini hatiku agak sedikit terluka.

“Dek ... Aku cinta sama kamu ...” Tiba-tiba saja kata itu keluar dari mulutku. Bangsat! Segera aku tersadar kata-kata barusan akan membuat suasana menjadi canggung dan tak lagi menyenangkan.

“Aku tahu.” Windi menjawab singkat. Jawabannya lebih mengagetkanku daripada pertanyaanku sendiri.

“Hah! Tahu darimana? Mas gak pernah bilang.” Aku mencoba mencari jawaban.

“Pokoknya tahu aja.” Katanya sambil memandang ke lain arah.

Ya, kini aku tahu kalau Windi sudah dijodohkan. Celakanya, Windi mengatakan kalau dirinya menyukai calon suaminya. Laki-laki yang menurutnya sangat baik, pengertian, dan penyayang. Hubungan mereka sudah jalan delapan bulan. Sengaja dia baru mengatakan padaku karena satu bulan lagi mereka akan melangsungkan pernikahan. Dan aku juga sadar, kata-kataku tadi tak akan mengubah apapun tentang hubunganku dengannya. Aku juga tak sadar menyatakan kata-kata cinta jahanam itu. Mungkin karena di bawah sadarku aku selalu mengkhayalkan Windi adalah kekasihku.

“Aku tahu mas cinta sama Windi.” Kembali Windi bersuara, dan aku tak lagi seantusias tadi mendengar suaranya. Aku lebih banyak melamunkan kebodohanku barusan.

“Udah pulang yuk. Mas ada acara nanti setelah siang.” Aku mencoba mencari alasan untuk menghindari suasana yang membuatku canggung sendiri, padahal Windi terlihat biasa saja.

“Gitu ya. Ya udah, ayuk pulang.” Dia mengiyakan.

Kami bersegera turun lokasi gazebo. Sepanjang perjalanan hanya Windi yang beberapa kali berbicara, bertanya tentang beberapa hal. Aku banyak tenggelam pada lamunanku yang itu-itu saja. Aku teringat kedua orangtuaku. Tiba-tiba aku merindukan mereka. Andai mereka masih ada, aku akan bercerita tentang Windi. Dan ibu pasti akan mengusap-usap rambutku sembari menyimak dengan penuh perhatian seluruh ceritaku. Dan bapak, dengan senyum khasnya pasti akan menertawakanku. Menertawakan ketololan lelaki. Menurut bapak, laki-laki bisa memilih perempuan mana saja untuk bisa jadi kekasihnya, tetapi yang masih sendiri katanya. Dan pasti kami akan tertawa bersama, sembari menikmati rokok dan kopi. Ah, aku kangen ibu dan bapak.

Sampai di pelataran parkir, kami menuju Si Black. Segera setelah kami berdua berada di atasnya, aku arahkan Si Black menuju rumah Windi, mengantarnya pulang. Perjalanan kami pulang terasa singkat dan cepat. Kami sudah tiba di depan rumahnya sebelum jarum jam tergelincir dari angka paling atasnya.

“Aku langsung pulang ya dek.” Kataku.

“Lhoh gak mampir masuk dulu mas, ngopi.” Windi heran karena tak biasanya aku langsung pamit pulang.

“Enggak. Mas keburu ada perlu nih.” Aku mencoba menolak tawarannya yang biasanya tak bisa aku tolak.

“Hmmm, ya sudah. Hati-hati ya mas.” Ucap Windi tampak kecewa.

“Iya.” Aku menjawab singkat. Sembari tersenyum aku membalikkan Si Black, meninggalkan Windi.

Sepanjang perjalanan aku lebih banyak melamun lagi. Tentang Windi, kedua orangtuaku. Kedua hal itu bergantian mengisi lamunan demi lamunan yang memang terlalu asik untuk ditinggalkan. Kembali juga teringat kata cintaku untuk Windi di Cafe Sawah tadi, aku hanya tertawa di dalam hati ketika mengingatnya. Itu tidak akan mengubah apa pun. Windi sudah punya calon suami, dan pasti juga dia tak akan pernah mencintaiku. Aku hanya temannya. Aku kembali menahan senyum yang terus menggoda di sudut-sudut hatiku.

Si Black melaju dengan kecepatan sedang di jalan desa yang sangat mulus, lurus dan sepi. Tiba-tiba saja, sebuah motor menyalip kemudian menghadang laju motorku. Karuan saja aku langsung ngerem mendadak untuk menghindari tubrukan. Seketika firasatku langsung berkata hal buruk akan segera menimpaku, saat aku mengenali siapa orangnya yang sengaja menghadangku. Ya, dialah Jafar, pria pembuat onar dan juga ditakuti warga sekitar. Tanganku perlahan menggapai tas pinggangku. Entahlah, instingku mengatakan kalau aku memerlukan bantuan batu cahaya untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Aku meneguk air keramat langsung dari botol, lalu mengembalikan botol tersebut ke dalam tas pinggang.

“Turun ...!!!” Suara Jafar begitu besar dan menggelegar menegaskan sarat kebencian di dalamnya.

“Ada apa ini?” Tanyaku sekedar basa-basi. Aku pun turun dari motor kesayangan.

Tiba-tiba Jafar mencengkram kerah bajuku dan mengangkatnya tinggi-tinggi sampai aku menjinjit, “Dengerin brengsek! Kau harus mengundurkan diri mencalonkan diri jadi Sekdes! Kalau nggak! Kau akan aku cingcang! Mengerti!”

Aku pun menangkap tangan Jafar yang sedang mencengkram leher baju, dengan sekali hentakan keras cengkrama Jafar pun terlepas. “Aku gak bakalan mengundurkan diri.” Kataku sambil mendorong Jafar hingga ia mundur selangkah ke belakang, “Aku akan serahkan kepada Pak Kades. Aku juga belum tentu diterimanya. Jadi kita tunggu hasil pemilihan dari Pak Kades.” Lanjutku sambil meningkatkan kewaspadaan.

“Hah! Kalau begitu, kau mati saja!” Ujar Jafar sambil mengayunkan kepalan tangannya.

Jafar melayangkan pukulannya mengarah ke kepalaku. Aku menggeser tubuhku ke belakang untuk menghindari pukulannya. Saat tinju Jafar telah melintasi kepalaku, dengan cepat aku merangsek ke depan. Tinjuku bergerak cepat dari arah bawah. Hanya satu helaan napas, kepalan tanganku bersarang di perut laki-laki yang kata orang bringas dan keji itu.

BUUUKKK

HEK!

Tubuh Jafar condong ke depan tanpa pertahanan. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan. Sesaat kemudian, sikuku menghantam bagian belakang kepalanya sangat keras. Tak ayal wajah Jafar mencium aspal. Sebelum laki-laki itu bisa bangkit kembali, secepatnya aku injak lehernya dengan tekanan sedikit keras.

“Aaaakkhh ... Aaaakkhh ...” Jafar mengerang kesakitan sambil tangannya menggapai-gapai kakiku yang sedang menginjak lehernya.

“Aku bisa saja mematahkan lehermu. Tapi aku masih berbaik hati. Aku ampuni kesalahanmu. Tetapi lain kali jika kau berurusan lagi denganku, aku tak akan ragu mematahkan lehermu.” Kataku.

“Aaaakkhh ... Aaaakkhh ...” Jafar terus mengerang tak bisa mengeluarkan kata-kata karena memang pita suaranya tertekan oleh injakanku.

“Pergilah!” Kataku sambil melayangkan tendangan keras ke kepalanya.

Jafar berteriak kesakitan dengan badan berguling-guling di jalanan aspal. Sekejap saja Jafar berdiri sambil memegangi lehernya dengan lidah keluar dari mulutnya. Jafar sempoyongan menghampiri motornya lalu menaikinya. Tampak sekali Jafar besusah payah menghidupkan mesin motor, dan tak lama dia pun pergi dengan kecepatan langsung tinggi. Aku geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah jagoan kampung itu.

Aku pun kembali menunggangi Si Black, kemudian melaju dengan kecepatan tinggi. Aku ingin segera sampai di rumah dan beristirahat di sana. Dua kejadian sangat tidak mengenakan yang baru saja kualami membuat tubuhku terasa lemah. Rasanya dengan berbaring di kamar, aku lebih bisa rileks sedikit. Memang bukan badanku yang lelah, tetapi pikiranku yang lelah. Namun, efeknya terasa juga pada tubuhku.

Hanya berselang lima menit, aku sudah sampai di rumah. Jam menunjukkan jam 13.20 siang. Aku pun merebahkan badan di kasur. Aku coba menutup mata berusaha tidur, setidaknya dari pada mengingat dua kejadian yang baru lalu lebih baik aku tidur. Kesadaranku masih penuh, tiba-tiba teriakan marah terdengar dari luar rumah.

“AZKA ... BAJINGAN ... KELUAR ...!!!”

Aku sangat hapal suara itu. Ternyata Jafar tidak kapok walau sudah aku hajar. Aku turun dari tempat tidur, kemudian berjalan ke depan rumah. Mataku terbelalak saat melihat gerombolan orang berdiri di halaman rumahku. Mereka tidak kurang dari sepuluh orang yang masing-masing membawa senjata tajam.

Modar aku ...” Aku mendesis dalam hati.

“AZKA ...!!! AKU AKAN MENEPATI JANJIKU ... KAU AKAN KUCINCANG ...!!!” Teriak Jafar sembari mengacungkan sebilah parang.

Lantas aku tersenyum walau hati agak menciut. Aku berkata dalam hati sambil membayangkan semua orang yang berkupul di halamanku ini tiba-tiba membubarkan diri. Mereka semua pergi ke Polsek dan melakukan onani di depan kantor Polsek secara bersama-sama. Aku harap hayalanku terlaksana berkat bantuan batu cahayaku. Dengan hati berdebar dan penuh harap, aku berdiri di teras rumah.

“AZKA ...! KAMI AKAN PERGI DULU! TAPI PASTI KAMI AKAN KEMBALI!” Teriak lantang Jafar yang tiba-tiba mengundurkan diri.

Karuan saja, aku tertawa terbahak-bahak dalam hati sekaligus bersyukur aku selamat dari amukan Jafar dan teman-temannya. Kini tinggal menunggu kabar, apa yang akan terjadi pada Jafar dan teman-temannya. Senyumku melebar tatkala gerombolan itu naik ke motor masing-masing lalu pergi begitu saja. Setelah mereka pergi, tetangga-tetanggaku berdatangan menanyakan masalah apa yang aku hadapi hingga berurusan dengan orang yang paling ditakuti di desa ini. Aku hanya menjawab masalah sepele saja, tidak perlu ada yang membesar-besarkan.

“Kalau kamu diapa-apakan sama si Jafar, aku siap membantu.” Salah seorang pemuda tetanggaku berkata.

“Ya, aku juga. Aku pernah sakit hati sama si Jafar. Sudah waktunya balas dendam.” Salah seorang tetanggaku yang lain.

“Aku juga ikut ...”

“Aku juga ...”

“Kita hancurkan Jafar bersama-sama ...”

Warga pun kompak ingin menumpas Jafar dan kelompoknya. Wajar, karena Jafar sering membuat keonaran dan merugikan warga sekitar. Warga sangat membenci orang itu. Dengan kejadian yang baru saja terjadi, mungkin warga sadar kalau mereka harus bersatu untuk memberantas kejahatan dan teror yang selama ini dilakukan oleh Jafar. Aku pun akhirnya mengkoordinir warga agar bersatu dan siap-siap menghadapi Jafar bila dia datang lagi. Jika perlu, panggil warga-warga dari kampung lain untuk bersatu.

“Kenapa kita tidak dari dulu seperti ini. Kita lawan Jafar bersama-sama, supaya desa kita aman.” Seorang warga bersuara.

“Masalahnya kita takut duluan.” Kataku sambil tersenyum.

“Benar kata Azka ... Kita takut duluan dan membiarkan dia meraja lela. Tapi sekarang saatnya kita usir dia dari desa ini. Gimana kawan-kawan?” Seru seorang warga yang lain.

“SETUJU!!!” Semua orang serempak bersuara lantang.

“Baiklah! Kalau begitu kita bubar dulu. Kembali pada aktivitas kita masing-masing. Nanti, biar saya sendiri yang mengkoordinir massa untuk mengusir Jafar.” Kataku.

Semua orang yang ada pun akhirnya membubarkan diri. Aku pun masuk ke dalam rumah dan langsung merebahkan diri lagi di atas kasur. Jujur, aku ingin sekali megetahui, apa yang terjadi di kantor Polsek siang ini. Sepertinya akan seru dan tentu saja tidak sabar mendengar kabar beritanya. Lama-lama mataku terasa berat, aku tidak bisa menahan rasa kantukku lagi, dan aku mulai tertidur lelap.

Aku terbangun saat mendengar suara kakek memanggil-manggil namaku dari luar kamar. Secepatnya aku turun dari tempat tidur walau kesadaranku belum sepenuhnya kembali. Sambil mengucek-ucek mata aku keluar dari kamar dan menemui kakek sedang berdiri di dekat kamarku. Kakek mengajakku ke dapur. Terlihat wajah riang kakek mendominasi mimiknya saat ini.

“Bikin kopi dulu, cu ... Kakek mendapat informasi yang sangat menggembirakan.” Ujar kakek sambil mengambil sebatang rokok kretek dari bungkusnya.

“Ada apa sih kek?” Tanyaku sembari menyiapkan dua gelas kopi.

“Cepatlah buat dulu kopinya ... Gak asik ngobrol tanpa kopi.” Sahut kakek. Aku pun cepat-cepat menyelesaikan pembuatan kopi, kemudian menyajikannya di meja makan.

“Sudah selesai kopinya. Sekarang ceritakan, ada apa sebenarnya?” Tanyaku penasaran.

Kakek menyeruput kopi yang masih panas lalu menyimpan gelas kopinya lagi di meja. Kakek tidak langsung menjawab, dia malah menyesap rokoknya, baru kemudian kakek berkata, “Jafar ditahan polisi.”

Aku pun baru ingat, apa yang memang sedang aku tunggu-tunggu, “Ha ha ha ... Kenapa dia ditahan polisi?” Tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Kata polisi perbuatan asusila ... Jafar dan teman-temannya beronani di depan kantor polsek bersama-sama. Dia juga dikenakan pasal penghinaan pada institusi kepolisian selain perbuatan asusila.” Jawab kakek sambil cengar-cengir.

“Gila apa? Si Jafar onani di tempat umum? Eh, kantor polisi?” Tanyaku masih dalam kepura-puraan.

“Entahlah ... Motifnya masih didalami kepolisian. Tapi yang jelas sekarang dia ditahan dan berita ini sudah menyebar kemana-mana. Tadi kakek ketemu Pak Kades. Katanya dengan kejadian ini kamu melenggang menjadi Sekretaris Desa, karena pihak keluarganya sudah tidak berkutik dan menyerah. Keluarganya malu berat dengan kejadian ini.” Ungkap kakek membuat hatiku lega.

“Jadi kapan pengankatannya, kek?” Tanyaku.

“Hari senin, berarti dua hari lagi. Akhirnya kakek senang, kamu mempunyai pekerjaan.” Ujar kakek sembari menyemburkan asap rokoknya ke udara.

“Ini semua karena kakek juga. Aku yang harusnya berterima kasih pada kakek. Kakek sudah berkorban buatku. Aku sendiri tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan kakek.” Kataku khidmat.

“Jangan kamu pikirkan, Azka ... Dengan kamu bekerja saja, kakek merasa kamu sudah membayarnya. Sekarang, bekerjalah dengan baik. Dengan jabatanmu kamu bisa membuat masyarakat menjadi lebih baik. Bantu mereka agar bisa menikmati hidup dengan bahagia.” Jelas kakek yang kujawab dengan anggukan kepala.

Aku dan kakek memutuskan untuk melanjutkan obrolan di dapur sambil memakan camilan dan segelas kopi yang sudah hangat. Kini aku mempunyai harapan. Harapan hidup yang lebih baik. Harapan adalah lilin terakhir yang dapat menyalakan lilin kehidupan lainnya. Saat semua telah hilang, setitik harapan dapat menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Harapan adalah sebuah mimpi, angan dan cita-cita. Dengannya aku menemukan harapan baru, aku akan tetap berjalan, terus bergerak, tidak akan melambat dalam bertindak. Aku akan terus berjalan meski tidak ada kepastian namun pastikan ada keyakinan positif dalam diri.

Bersambung
Chapter tiga di halaman 17 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
mantap updatenya bang semoga gk cepat tamat hihihihihi
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd