Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT METEOR AZKA

UPDATE AH ...

Maaf ya suhu-suhu, malam ini agak kurang enak badan, jadi gak bisa bales komentar-komentarnya satu persatu. Mending kita buka layar lagi. Langsung saja menikmati kelanjutan ceritanya. Terima kasih kepada suhu-suhu yang sudah meramaikan tempat saya ini. Sekali lagi saya harapkan, jangan pernah bosan berkunjung ke sini.

:ampun: TERIMA KASIH
:Peace: UPDATE SEBENTAR LAGI
 
CHAPTER 7


Pembangunan desa merupakan suatu pencapaian keadaan untuk meningkatkan pertumbuhan pola hidup masyarakat. Saat ini pembangunan di desaku telah mengarah pada perbaikan yang terus-menerus. Infrastruktur mulai dibenahi dan dipelihara dengan baik. Dengan adanya dana desa yang membantu hal tersebut terealisasi. Infrastruktur adalah unsur penting dalam pembangunan. Menurut pandanganku, infrastruktur adalah sektor yang menjadi andalan pembangunan. Infrastruktur fasilitas yang menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar.

Berdasarkan kerangka pemikiran itulah, aku selalu mendorong Pak Kades untuk memperbaiki infrastruktur desa karena pembangunan infrastruktur desa merupakan segala sesuatu yang bisa memfasilitasi aktivitas kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Pembangunan infrastruktur sebagai pendorong untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat dan mempersempit kesenjangan serta dapat membantu proses alokasi sumber daya manusianya.

“Sebaiknya kita bekerja sama dengan desa tetangga untuk membuka akses jalan yang baik agar mobilitas masyarakat lebih baik lagi.” Kataku di sela rapat staf desa yang dipimpin oleh Pak Kades.

“Baiklah. Sekarang kita akan fokus ke perbaikan jalan dan fasilitas umum. Bulan depan kita akan mendapat bantuan dana dari pemerintah di luar dana desa. Kita akan gunakan untuk memperbaiki infrastruktur desa. Untuk hari ini rapat saya tutup.” Kata Pak Kades sebagai penutup rapat.

Semua staf desa keluar dari ruang rapat, kini tinggal aku dan Pak Kades yang tertinggal di ruangan. Aku masih berbincang-bincang dengan Pak Kades mengenai beberapa hal tentang situasi dan kondisi desa, terutama tentang perbaikan jalan di RW 12. Setelah aku menjelaskan secara detail, akhirnya Pak Kades menyetujui usulanku mengani penggunaan tenaga kerja dari warga sekitar. Pak Kades mengakui kalau di wilayah kekuasaannya akan banyak terjadi pembangunan dan memang lebih baik warga sekitar yang mengerjakannya.

“Tapi, aku punya masalah lain. Ini masalah si Jafar dan komplotannya. Aku benar-benar tidak bisa mencegah aksi dia meminta uang pada pedagang di pasar. Aksinya sudah meresahkan para pedagang di pasar. Para pedagang sudah banyak mengeluhkan perbuatan Jafar kepadaku.” Tiba-tiba Pak Kades mengungkapkan kegelisahannya.

“Eh ... Bukannya Jafar ditahan polisi?” Tanyaku heran.

“Dia dikeluarkan dengan jaminan. Seorang temannya dari ibu kota berhasil mengeluarkan Jafar dari penjara.” Jawab Pak Kades lesu.

“Pakai duit pastinya.” Kataku.

“Ya ... Teman si Jafar membayar polisi sebagai jaminan.” Sambung Pak Kades sembari tersenyum getir. “Sebenarnya aku mau si Jafar itu dipenjara selama-lamanya. Dia selalu membuat masalah saja di desa kita ini. Kadang aku malu pada masyarakat dengan tingkahnya yang selalu saja meresahkan.” Lanjut Pak Kades.

“Sayangnya aparat kita tidak tegas pada orang-orang seperti Jafar. Premanisme sudah sangat menjamur di mana-mana. Tapi, aparat seolah membiarkannya. Kalau ada kejadian baru mereka mau repot menertibkannya.” Kataku sembari mengeluarkan bungkusan rokok putihku. Aku menawarkan kepada Pak Kades. Ia pun mengambil sebatang dan kami sama-sama menikmati rokok bersama.

“Aku merasa kikuk untuk menindak si Jafar karena bagaimana pun juga dia keponakanku.” Ujar Pak Kades lalu menghembuskan asap rokoknya ke udara.

“Semua ada di tangan Pak Kades.” Aku hanya bisa menyerahkan masalah ini pada orang yang aku hormati di depanku.

“Maafkan kalau aku tidak bisa tegas padanya.” Keluhnya sambil geleng-geleng kepala. “Oh ya ... Tanah almarhum Pak Margo sudah terjual. Hasil penjualannya dibagikan kepada semua ahli warisnya, dan aku juga kakekmu mendapat rejeki nomplok. Para ahli waris ngasih uang sebesar 100 juta buat aku dan kakekmu. Katanya sih sebagai tanda jasa mengungkap pembunuhan Pak Margo.” Lanjut Pak Kades.

“Wow! Uang besar itu pak. Tapi, secepat itu ya tanahnya terjual.” Kataku ikut senang.

“Jadi, saat Pak Margo masih hidup, tanah itu memang sedang dalam negosiasi. Istri Pak Tono yang menjadi aktornya, dia memalsukan tanda tangan Pak Margo. Saat itu sudah ada kesepakatan kalau tanah itu akan dibeli pengusaha dari ibu kota. Para ahli waris akhirnya meneruskan proses jual beli tanah tersebut.” Jelas Pak Kades.

“Bagaimana dengan nasib Pak Tono?” Tanyaku.

“Dia bebas dengan alasan diintimidasi oleh oknum jenderal polisi dan istrinya. Pak Tono bertindak seolah menyetujui penjualan tanah tersebut karena diancam dibunuh oleh oknum jenderal polisi selingkuhan istrinya.” Jelas Pak Kades.

“Oh ... Begitu ya ...” Gumamku.

“Kamu kasih tahu kakekmu supaya mengambil uangnya di rumahku. Kakekmu memang bandel. Sejak dulu aku suruh membuat rekening, tidak juga dibuatnya.” Ucap Pak Kades agak kesal.

“Bapak bisa mentransfer uang kakek ke rekeningku saja, supaya bapak tidak perlu mengambil uang ke kota.” Kataku.

“Ah iya ... Kenapa aku gak kepikiran ya ... Ya, sudah tak transfer uangnya ke rekeningmu saja. Mana nomor rekeningnya.” Kata Pak Kades dengan wajah berseri.

Aku memberikan nomor rekeningku dan Pak Kades langsung mentransfer uang sebanyak 50 juta ke rekeningku melalui mobile banking. Setelah transfer selesai, aku dan Pak Kades keluar ruangan rapat dan kembali ke ruangan masing-masing. Seperti biasa aku melakukan rutinitasku sehari-hari dan fokus pada pekerjaanku. Berselang satu jam, tiba-tiba smartphoneku berbunyi. Aku melirik pada benda itu yang tergeletak di atas meja kerja. Nama yang tertera di sana membuat jantungku berdebar cepat. Windi yang sedang menghubungiku. Awalnya aku sedikit bingung, apa aku harus mengangkat panggilan itu, dan akhirnya aku putuskan untuk mengangkatnya.

“Hallo ...” Sapaku yang kubuat seramah mungkin.

Hallo, Mas ... Kamu sudah gak marah kan?” Tanya Windi yang bersuara ramah juga.

“Aku kan gak pernah marah sama kamu.” Kataku pura-pura.

Kemaren mas marah ... Jangan bohong ... Ngaku saja.” Katanya langsung nyentor.

“Sungguh, aku gak marah kok. Kamu kan tau kalau aku gak bisa marah samu kamu. Cuma kesel saja. He he he ...” Kataku sambil terkekeh.

Ihk sebel ... Eh, aku ingin ketemuan sama mas. Gimana kalau kita ke cafe sawah nanti sore?” Ajaknya yang sukses membuatku terhenyak.

“Beberapa hari lagi kamu akan menikah. Tidak baik kalau kamu keluyuran sama laki-laki lain. Nanti disangka gak baik sama orang-orang yang mengenalmu. Kalau mau bicara, lebih baik di telepon saja.” Aku coba memperingatinya.

Tapi aku mau ketemuan ...” Windi memaksa.

“Maafkan aku Windi ... Aku tidak ingin membuat masalah.” Kataku tegas.

Aku mencintaimu ...” Ucapnya dan tiba-tiba sambungan telepon terputus.

Aku tertegun mendengar apa yang dikatakan oleh Windi, kini tanyaku kenapa dia mengatakan itu di hari bahagianya. Sungguh membingungkan dan merusak mood-ku saja. Tanpa banyak berpikir, aku akhirnya melanjutkan pekerjaanku sampai jam istirahat. Aku memutuskan untuk makan siang di luar. Tujuanku rumah makan padang yang letaknya tidak jauh dari gedung kantor desa. Hanya berjalan kaki sekitar dua menit aku bisa mencapai rumah makan padang tersebut.

Saat aku sampai di rumah makan padang yang kutuju. Tiba-tiba aku melihat gadis cantik berbalut kaos merah muda lengan panjang dengan celana jeans. Tas kecil berbentuk lingkaran berwarna merah terselempang di pundaknya. Gadis cantik itu sedang memesan nasi padang yang dibungkus untuk dibawanya pulang. Sontak saja tampangku menjadi bego karena melongo melihat kecantikannya. Dia memiliki visual yang benar-benar cantik layaknya titisan Dewi Aphrodite.

Dia menoleh padaku yang sedang membeku di tempatku. Raut wajahnya langsung berubah menjadi sangat tidak ramah. Sorot matanya memancarkan keangkuhan yang aku rasa sangat sulit untuk dilunakkan. Bibirnya tersungging, menunjukkan senyum meremehkan. Melihatnya seperti itu, kecantikannya langsung luntur. Bagiku, kecantikan bukan hanya soal paras atau penampilan saja. Tidak perlu menjadi perempuan yang anggun dan berparas cantik, tetapi attitude yang bagus saja akan memancarkan aura kecantikan dalam diri seorang wanita.

Aku pun melengos masuk ke dalam rumah makan padang sambil melewatinya. Aku segera duduk di kursi menunggu penjual selesai meladangi si gadis sombong itu. Dari sudut mataku, aku melihat si gadis tergesa-gesa membayar makanannya lalu keluar dengan hentakan kaki kesal. Aku hanya tersenyum dalam hati dengan tingkah gadis itu yang sok cantik, dan juteknya minta ampun. Gadis itu sangat sombong yang ditandai dengan tatapan mata merendahkan dan perilaku yang meninggikan diri sendiri.

“Makan di sini mas?” Tanya penjual dengan logat sumatera baratnya yang masih kental.

“Ya, uda ... Pake rendang ...” Sahutku dengan tatapan masih terarah pada gadis yang baru saja meninggalkan rumah makan padang.

“He he he ... Dia memang begitu mas. Judesnya gak ketulungan.” Tiba-tiba si uda berkomentar.

“Oh ...” Aku terkejut dan sedikit malu pada si uda yang mengetahui kalau aku sedang memperhatikan gadis jutek itu. “Anak mana dia, uda?” Tanyaku sekedar menyembunyikan perasaan malu.

“Itu rumahnya di depan GOR desa. Dia anak Pak Haji Yanto dari istri pertamanya.” Jawab si Uda sembari menata makanan pesananku di piring.

“Oh ... Pak Haji Yanto punya anak gadis? Setahuku anaknya laki-laki semua!” Kataku dengan nada terkejut. Aku mengenal cukup baik dengan orang yang bernama Pak Haji Yanto. Beberapa kali aku pernah berkunjung ke rumahnya

“Gadis itu bernama Sri ... Dia memang tidak tinggal di sini. Dia tinggal dengan pamannya di Jakarta. Dia juga kuliah di sana. Sekarang mungkin dia sedang mengunjungi orangtuanya.” Jawab si uda.

“He he he ... Uda tahu banyak tentang gadis itu. Jangan-jangan uda suka ya ...” Candaku saat makananku sampai di meja.

“Sebagai laki-laki kalau lihat cewek cantik, siapa sih yang gak suka? Tapi kalau dilihat dari sikapnya, aku harus masih berpikir seribu kali lagi untuk menyukai gadis seperti itu.” Katanya.

“Setuju ...” Sambutku sambil mengacungkan jempol.

Saking tidak kuat karena aku sudah lapar tingkat dewa, aku langsung melahap makanan itu masuk ke mulutku dan mengunyahnya. Bagiku masakan Padang memang tidak pernah gagal menggugah selera. Sedari tadi aku sudah membayangkan lezatnya rendang dan sambal ijo. Aku menghabiskan makan siang lalu minum kopi sambil ngudud karena kurang nikmat kalau habis makan tidak ngopi dan merokok. Setelah ngopi dan merokokku selesai, segera aku membayar makanan dan langsung ke tempat kerjaku lagi.

Aku pun mulai merancang APB Desa untuk tahun anggaran selanjutnya. Untungnya, aku telah diberi kekuasaan penuh oleh Pak Kades untuk hal yang satu ini. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 sore tanda jam kerja telah selesai. Aku mulai merapikan barang-barangku dan lekas meninggalkan kantor. Secepatnya aku melajukan motorku meninggalkan kantor desa. Di tengah perjalanan pulang, aku melihat beberapa orang yang sedang memukul-mukul sebuah mobil sedan. Setelah lebih dekat, penglihatanku semakin jelas. Mereka adalah Jafar dengan kedua temannya. Tampak jafar memaki-maki si pengemudi yang tidak berani keluar. Beberapa orang yang kebetulan lewat pun tak berani menghentikan aksi Jafar yang terlihat sedang diamuk amarah. Aku segera menepikan Si Black kemudian menghampiri Jafar dan kedua temannya.

“Hentikan!” Kataku agak keras.

Kontan, Jafar menoleh padaku. Mata merahnya menatapku seakan aku manusia menjijikan yang sangat dia dibenci. “MAU APA KAU ... ANJINK ...!!!” Jafar berteriak marah sambil menunjuk wajahku.

“Kau merusak mobil orang. Kalau kau ada masalah dengannya, bisa dibicarakan baik-baik. Jangan memakai kekerasan.” Kataku masih sopan dan santai.

“BANYAK BACOT! HAJAR DIA DULU!” Perintah Jafar kepada kedua temannya untuk menyerangku.

Aku hanya menghela nafas sambil meningkatkan kewaspadaan. Dua orang anak buah Jafar berjalan mendekatiku dengan langkah percaya diri. Mereka menyeringai sembari memukul-mukul kepalan tangan mereka ke telapak tangan satunya. Aku pikir, aku sanggup melawan mereka dengan kekuatanku sendiri tanpa bantuan batu cahaya. Tiba-tiba salah satu dari mereka maju berlari, dengan sekuat tenaga dia maju menyerang kepadaku. Serangannya dapat aku hindari, pukulannya hanya melintas beberapa senti di wajahku. Setelah itu, aku memberikan serangan balik kepadanya. Dengan pukulan hook yang tepat mengenai ulu hati orang tersebut, dirinya langsung tumbang bersimpuh persis di depanku. Air ludah bahkan menalir dari mulutnya. Hanya beberapa detik berselang, orang tersebut jatuh tersungkur sambil mengerang kesakitan.

“Maju!” Kataku pada orang yang sedang terbengong-bengong melihat temannya terbaring di aspal sambil mengerang kesakitan. Matanya melotot tak percaya. Tiba-tiba orang itu lari terbirit-birit meninggalkan temannya dan Jafar.

“KAU SELALU MEMBUAT MASALAH SAJA ... ANJINK ...! TUNGGU PEMBALASANKU ...!” Teriak Jafar sembari berjalan ke arah motornya yang terparkir tidak jauh dari tempatnya.

“Kau mau kemana? Urusan kita belum selesai.” Kataku sembari berlari mengejar Jafar. Aku pun langsung menarik kerah baju belakangnya sehingga Jafar terjengkang dan jatuh terduduk di aspal.

“KAU MAU APA HAH!” Jafar masih berteriak padahal aku tahu hatinya sudah menciut.

“Kita gelut ... Aku ingin menghajarmu ... Berdiri ...!” Kataku sambil menendang lututnya.

“A..aku ... A..ku ...” Suaranya melemas bagai kapas tersiram air.

“Berdiri!!!” Kataku sekali lagi sambil menendang lagi lututnya.

“A..aku ... Ti..tidak ...” Suaranya kali ini mulai bergetar pertanda takut. Jafat tidak ingin berdiri. Dia malah mengkerutkan badan.

“Aku kasih tau padamu ... Aku sudah mengumpulkan massa sedesa ini untuk mengusirmu jika kamu berbuat onar lagi di desa ini. Kalau kau macam-macam, aku akan menggerakkan massa untuk menghajarmu dan komplotanmu. Kau paham!” Ancamku setengah berbohong.

“I..iya ... A..aku ... Paham ...” Jafar tambah mengkerut.

“Ingat Jafar! Aku sudah mendapat ijin dari Pak Kades untuk menghajarmu. Aku dan warga desa ini akan mencarimu jika terdengar kau bertingkah seperti preman. Sebaiknya kau berhati-hati! Karena aku sudah muak melihat tingkahmu! Sekarang pergi sana!” Kataku sembari menendang lututnya lagi.

Jafar langsung bangkit dan berlari terpincang-pincang menuju motornya. Tak lama, Jafar pergi dengan kecepatan tinggi menggunakan motor berisiknya. Aku lantas melihat seorang pria tampan keluar dari mobil. Pria itu langsung memberikan senyum sambil menangkup kedua tangannya di dada sembari membungkuk padaku.

“Terima kasih mas ... Terima kasih telah menolong saya.” Ucapnya sangat ramah dan bersahabat.

“Tidak usah berterima kasih. Sudah tugas saya menjaga warga di sini.” Kataku sambil membalas salam hormatnya dengan sikap yang sama.

“Orang tadi tiba-tiba menghalangi jalan saya, mas ... Dia mengaku kalau pacar saya adalah pacarnya.” Ujar si pria tampan sembari menunjuk wanita yang duduk di jok depan mobilnya.

Wanita yang berada di dalam mobil itu menyeret kesadaranku secara paksa, membuat mataku langsung terbuka lebar-lebar dalam seketika. Gadis sombong yang kutemui di rumah makan padang tadi sianglah yang kulihat. Gadis itu memandangku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan, namun rasanya dia ingin juga mengucapkan terima kasih. Segera saja aku berpamitan pada si pria tampan untuk melanjutkan perjalanan pulang. Si pria tampan berkali-kali mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya Si Black melaju meninggalkan mereka.

Aku tersenyum geli sepanjang perjalanan saat mengingat mimik si gadis sombong tadi. Biar dia cantiknya selangit, tetapi aku sama sekali tidak tertarik. Kesombongan dan keangkuhannya telah menghilangkan semua yang ada di dalam dirinya. Aku paling benci pada orang yang berhati busuk. Aku tidak pernah menyukai orang-orang sombong yang menganggap dirinya lebih unggul dari orang lain, baik itu jabatan, harta kekayaan, dan juga kecantikan atau ketampanan. Aku sangat yakin orang yang sombong selalu dikalahkan dengan orang yang rendah hati. Mungkin tidak segera, tetapi pasti.

Sesampainya di rumah, aku langsung menemui kakek yang sedang duduk santai di ruang depan. Asap rokok keluar masuk dari mulut kakek silih berganti memang sudah seperti kereta malam. Aroma kopi tercium kuat. Menebar. Aku membakar rokok lagi, entah sudah ke berapa batang hari ini, dan duduk di kursi depan kakek.

“Kek ... Kakek mendapat uang dari ahli waris Pak Margo. Mereka ...” Ucapanku langsung dipotong kakek.

“Kakek sudah tahu. Tadi Pak Marto datang ke sini. Dia memberitahukan kalau uangnya ada di Pak Kades.” Ujar Kakek dengan menyebut nama Pak Marto. Pak Marto adalah anak ketiga dari almarhum Pak Margo.

“Uangnya sudah ada di rekeningku, kek. Semuanya 50 juta. Tadi Pak Kades mentransferkannya ke rekeningku.” Kataku lalu menyespa rokokku.

“Kalau begitu, kamu bayarkan ke Pak Rusdi. Kurangnya nanti pas kita panen.” Kata kakek santai. Aku tersenyum getir mengingat kebaikan kakek yang tidak bisa lagi kuhitung banyaknya.

“Ya kek ...” Hanya itu yang bisa kuucapkan.

“Oh ya ... Kita diundang ke rumah Pak Yanto. Besok kita harus ke rumahnya.” Ujar kakek.

“Pak Yanto? Pak Yanto mana?” Tanyaku penasaran.

“Itu yang rumahnya dekat kantor desa. Kamu kan pernah ke sana sama kakek.” Jawab kakek sambil mematikan rokok di asbak.

“Maksud kakek Pak Haji Yanto ...” Aku coba meluruskan.

“Ya, benar ... Pak Haji Yanto.” Jawab kakek.

“Ada keperluan apa kita diundang ke sana?” Tanyaku.

“Putri Pak Haji Yanto lah yang akan kakek kenalkan padamu.” Jawab kakek lagi yang sukses membuat tenggerokanku kering seketika. Aku sampai sulit menelan ludah.

“Oh ... Putrinya yang tinggal di Jakarta, yang bernama Sri.” Kataku.

“Loh ... Kamu sudah kenal toh?” Kakek tampak kaget.

“Aku bahkan sudah bertemu. Memang cantik tapi sikapnya aku yang gak suka. Lagi pula, dia sudah punya pacar. Aku pun bertemu dengan pacarnya.” Kataku. Aku pun akhirnya menceritakan kejadian yang aku alami sehari tadi yang berkaitan dengan gadis yang bernama Sri kepada kakek. “Nah begitu, kek. Jadi aku menolak acara perkenalan dan aku menolak untuk mendatangi undangan Pak Haji Yanto.” Aku mengakhiri penjelasanku.

“Jadi begitu ya ... Tapi kakek akan tetap ke rumahnya. Gak enaklah kalau gak datang ke rumahnya karena kakek sudah diundang. Kalau kamu tidak akan datang, gak masalah.” Ujar kakek sambil manggut-manggut.

“He he he ... Aku mandi dulu kek.” Kataku sembari bangkit dari duduk.

“Kalau begitu, kakek akan pergi ke rumah Pak Haji Yanto.” Kata kakek lagi yang langsung pergi untuk berkunjung ke rumah orang yang telah mengundangnya.

Aku pun langsung membersihkan diri di kamar mandi, kemudian memakai pakaian bersih dan rapi. Seperti kebiasaan sebelum-belumnya, ngopi dan merokok adalah ritual wajibku di sore hari setelah mandi. Tetapi kali ini aku tidak ditemani kakek. Untuk mengusir sepi, aku memutuskan menelepon Bu Yati. Aku mencari kontaknya dan menelponnya, kemudian mendekatkan smartphoneku ke telinga. Bunyi sambungan telepon terdengar sampai akhirnya suara Bu Yati tertedengar.

Hallo ...” Sapanya dengan suara mendayu dan ramah.

“Hallo sayang. Sedang apa di sana.” Kataku basa-basi biasa.

Hi hi hi ... Aku baru saja ingin meneleponmu.” Jawab Bu Yati.

“Oh ya ... Bagaimana ... Bagaimana?” Tiba-tiba aku sangat antusias.

Santi ingin ketemu denganmu. Hi hi hi ...” Katanya yang diakhiri tertawa genit.

“He he he ... Emang harus sekarang. Kan bukan hari libur.” Kataku.

Kok bukan hari libur? Besok kan tanggal merah.” Ucap Bu Yati agak meninggi.

“Betulkah?” Aku terkejut.

Besok tuh tanggal merah, hari libur nasional.” Suaranya terdengar sedikit kesal.

“Begitu ya ... Oke ... Aku ke rumahmu sekarang.” Kataku.

Hi hi hi ...” Suara Bu Yati kembali renyah. “Kamu jangan ke rumahku, karena aku sama Santi menunggumu di Villa Bukit Pinus Cobanrondo.” Lanjut Bu Yati kemudian.

“Oh ya ... Ya sudah aku segera ke sana.” Aku pun terkekeh.

Ditunggu ya ...” Ucap Bu Yati.

“Siap.” Jawabku dan sambungan telepon pun terputus.

Aku sambar tas pinggang tempat air keramatku dari dalam kamar, kemudian menghampiri Si Black. Tak lama, Si Black sudah melaju di jalanan yang tujuannya ke Villa Bukit Pinus Cobanrondo, yang bisa ditempuh sekitar 20 menit dari tempatku. Motorku terus melaju, hanya melewati jalan raya, mempercepatnya jika sampai di jalanan sepi. Tak terasa aku pun sampai di tempat tujuan. Setelah menelepon Bu Yati, aku pun diajak olehnya ke sebuah villa yang cantik. Saat aku masuk ke dalam villa, mataku langsung tertuju seorang wanita cantik yang berbadan seperti model majalah dewasa.

“Hai ...” Sapanya padaku tanpa sungkan.

“Hai juga ...” Jawabku dan kami pun bersalaman.

“Gak usah diperkenalkan lagi ya ... Kalian kan sudah saling kenal.” Ujar Bu Yati sembari menangkup tanganku dengan tangan Santi yang sedang bersalaman.

“Baru luarannya saja. Dalemannya belum.” Sahut Santi sambil mengedipkan sebelah matanya padaku.

“Hi hi hi ... Sudah mau langsung saja.” Canda Bu Yati genit.

“Hi hi hi ... Aku sudah gak tahan ...” Lirih Santi sangat menggoda iman.

“Gimana, sayang? Apa mau langsung saja?” Ucap Bu Yati semakin genit.

“Boleh. Kita kenalannya sambil begituan saja.” Jawabku tanggung sableng.

“Hi hi hi ... Ya sudah. Kalian mulailah di kamar.” Kata Bu Yati.

Sejujurnya aku bingung dan tidak mengangka kalau ini adalah kenyataan. Aku seakan sedang bermimpi. Aku bermimpi hidup di surga bersama dua bidadari. Aku jalan bergandengan tangan dengan Santi sambil saling tersenyum. Entahlah, tak ada sedikit pun kekakuan di antara kami. Aku merasa sudah mengenal lama dengan wanita cantik yang baru aku kenal ini. Bahkan aku sudah berani merangkul bahunya ketika berjalan memasuki kamar. Aku lantas menutup pintu kemudian kami saling berhadapan dengan kedua tanganku merangkul pinggangnya.

“Kamu yakin dengan keputusanmu?” Tanyaku sambil menatap wajah cantik Sari.

“Aku belum pernah seyakin ini sebelumnya. Hamili aku. Aku ingin sekali mengandung.” Jawabnya tanpa keraguan.

“Hhhmm ... Baiklah ... Kita mulai sekarang juga.” Kataku pelan.

Aku mendekatkan wajahku dan aku mulai merasakan nafasnya memburu mengenai wajahku. Aku mengecup bibirnya penuh dengan perasaan, melumat bibir atas dan bibir bawahnya bergantian. Dia pun membalas ciumanku dengan sangat lembut, aku mengigit bibir bawahnya dan dia membuka mulutnya memudahkan lidahku masuk menelusuri mulutnya. Lidah kita beradu dan kadang saling menghisap satu sama lain, dia mulai mengendurkan ciuman seperti ingin menjauhkan wajahnya, tetapi aku menahan tengkuknya supaya tidak melepas dan melanjutkannya kembali.

Aku mulai turun menciumi lehernya, mulai kehilangan kendali karena nafsuku sudah menggelegak, dan membuka kancing kemeja atas Santi satu persatu. Setelah kemeja Santi terlepas dari tubuhnya, aku mulai melepaskan kemeja yang kukenakan. Potongan kain itu ikut bergabung dengan kemeja putih Santi di lantai. Kini kami sudah dalam keadaan tubuh yang half naked. Kami melanjutkan ciuman. Ciuman basah kami semakin menuntut dan penuh nafsu. Tanganku merayap ke tubuh bagian belakang Santi.

Cetrekkk!’ Bunyi kaitan bra Santi yang dilepas oleh tangan pintarku. Aku melepas dan melempar sembarang bra Santi. Sekarang aku meremas payudara Santi yang kini sudah menggantung bebas tanpa sehelai kain.

"Eumphh..." Desah tertahan Santi karena bibirnya masih dibungkam oleh bibirku. "Eumphhh..." Santi frustasi. Sepertinya ia ingin mendesah dengan bebas. Santi terus meremas rambutku untuk menyalurkan nafsunya yang saat ini tak kalah tinggi dengan nafsuku. Ditambah milikku yang sudah mengeras dan mengacung di balik celana kini menyentuh perut bagian bawah Santi. Setelah cukup lama kami berciuman, ciuman kami pun terlepas karena kulihat Santi kehabisan nafas.

“Hah ... Hah ... Hah ... Kamu ahli juga berciuman.” Katanya disela engahan napasnya.

“Aku bukan saja ahli berciuman. Aku juga ahli bercinta di ranjang.” Candaku menyombongkan diri.

“Ah, benarkah?” Mata Santi membulat dengan senyuman yang mengembang di wajahnya.

“Ayo! Kita buktikan.” Kataku yang disambut cekikikan wanita cantik itu.

Aku membawa Santi ke atas ranjang dan menidurkannya terlentang. Aku langsung menyerang leher jenjang santi dengan ciuman panas dan basah. Mencumbui leher Santi. Menyecap tanpa membuat tanda di sana. Semakin turun hingga sampai di puting coklat kemerahan milik Santi yang sudah mengeras. Aku menciumi payudaranya bertubi-tubi dan bergantian, maklum nafsu birahiku sudah menggeliat. Santi pun semakin terengah-engah menghadapi seranganku.

"Eunghhh... Eunggghh..." Santi merem melek merasakan kenikmatan yang luar biasa saat aku menjilat dan menghisap payudaranya. Aku membuat Santi tak berdaya. Tangan Santi terus meremas rambut kepalaku. Tanganku yang satunya memilin puting kiri Santi. Erangan kenikmatan pun semakin intens keluar dari mulut Santi.

Setelah puas bermain di dada Santi, aku menurunkan ciuman. Menjilat perut Santi secara perlahan hingga bawah. Aku lalu menurunkan rok ketat milik Santi beserta celana dalam merahnya. Dan lagi, melempar ke sembaranh arah. Aku pandangi vagina mulis tanpa bulu milik Santi yang sudah basah. Santi merapatkan pahanya. Malu mungkin. Aku kembali naik dan melahap bibir Santi penuh nafsu. Rasanya aku sudah kecanduan dengan bibir Santi. Tangan kananku kini bergerak ke area selatan Santi. Menekan-nekan pelan, memainkan klitoris Santi, dan menggesek-gesekkan vagina Santi dengan jariku.

“Mmmmpphh ...” Lagi-lagi Santi mendesah dengan mulut tersumpal oleh mulutku.

Dua jariku menerobos masuk ke dalam liang senggama Santi. Reflek Santi sedikit menarik satu kakinya hingga lututnya terangkat. Dengan leluasa aku mengobrak abrik lubang nikmat Santi dengan jariku. Memaju-mundur, memutar-mutar, hingga gerakan menggunting.

"Eeeummphh ... Eummphh ... " Lagi-lagi desahan tertahan keluar dari bibir Santi.

Aku mengeluarkan jari dari liang senggama Santi dan melepas ciuma. Aku lalu menjilat telinga Santi seduktif. Membuat Santi merasakan geli. Karena sudah tidak tahan, aku melepas kancing celana bahanku. Melepas resleting, lalu menurunkan celana beserta celana dalam hitamku. Kejantananku yang besar dan panjang langsung terekspos. Kejantananku sudah siap melakukan pekerjaannya. Dia sudah sangat keras dan berdiri tegak. Santi merona melihatnya, berusaha memalingkan wajahnya.

Aku tersenyum sambil menekuk kaki Santi, membuat Santi kini mengangkang. Memperlihatkan lubang vagina berwarna merah nan basah yang sudah terbuka dan berkedut seolah meminta segera dimasuki. Aku pun langsung mengarahkan benda keras berurat dan panjang itu ke vagina Santi. Menggesek dan menekan-nekan sedikit di sana. Pelan-pelan aku memasukkan junior kebanggaanku ke lubang surga milik Santi. Setelah dirasa sudah seluruhnya masuk, aku bergerak memaju-mundurkan pinggulku dengan pelan.

"Aaahh... Aaahh... Ssshhh..." Desahan Santi terdengar nyaring. Tentu saja itu membuatku semangat untuk menumbuk lubang vaginanya lebih keras dan batang kejantananku timbul tenggelam di liang senggamanya.

Penisku menjelajahi liang vagina yang semakin basah dan berdenyut. Aku menggerakkan pantatku untuk mengocok penisku di dalam vaginanya. Santi menyambut dengan erangan dan gerakan pinggul yang bisa memelintir-melintir batang penisku dengan liarnya. Semakin lama gerakanku semakin cepat dan geolan Santi pun semakin cepat dan liar. Lenguhan nikmatku dan erangan nikmatnya bersatu padu membangun suatu melodi penuh gairah dan merangsang, semakin lama suara erangan dan lenguhan nikmat semakin riuh rendah. Gerakan kami sudah menjadi hentakan-hentakan nikmat yang keras dan liar.

"Aaahh... Aaahh... Aaahh... Sssshhh... Aaahh..." Lenguhan Santi begitu keras.

Aku mempercepat gerakan pinggulku. Mengeluar-masukkan juniorku sangat dalam hingga menyentuh daging kenyal di dalam sana. Dan itu benar-benar membuat Santi semakin mengerang-erang kenikmatan. Aku terus bergerak memompa tubuh berisinya, dadanya bergoyang-goyang mengikuti irama gerakanku. Kejantananku terasa dimanjakan, aku tidak bisa berhenti menggerakkan pinggangku. Aku terkejut ketika tangannya menarik tengkukku dan kepala Santi langsung maju dan bibirnya menyentuh bibirku dengan lembut, ibu jari tangannya mengusap pipiku lembut.

Ah, ciumannya memang hebat. Santi memainkan lidahnya di dalam mulutku, bergerak memutar atau sesekali menghisap lidahku. Tangannya memijat kepalaku seakan menikmatinya. Aku menjulurkan lidahku ketika dia menghisap ujungnya, aku melihat wajahnya yang menggoda di bawahku.

"Ah... Kamu sangat manis..." Pujiku.

"Kau pikir begitu? Aaahh..." Jawab Santi yang diakhiri desahannya.

Aku tanpa lelah menggerakkan pinggangku untuk mendorong kejantananku ke dalam liang kenikmatan Santi yang benar-benar sudah becek hingga menimbulkan bunyi kecipak ketika aku menabrak selangkanganku di sana. Aku kemudian terbangun dari posisi di mana Santi menggapaiku. Aku melebarkan selangkangannya dengan tanganku yang menggenggam erat pergelangan kakinya hingga dia terpaksa sedikit mengangkat bokongnya. Aku menyodoknya dengan lebih kuat hingga dia mendesah kencang dan tak berdaya. Aku terus menghentakkan pinggangku memperdalam kejantananku di dalam liang senggamanya.

Hingga akhirnya aku merasa gelombang yang maha dahsyat keluar dari dalam diriku melalui penis yang semakin keras dan kaku dan akhirnya tanpa dapat kukendalikan tubuhku menegang kaku dan badanku melenting ke atas serta menjerit melepas nikmat yang tak tertahankan "Aaaakhhh....!" Dan secara bersamaan Santi menjerit nikmat "Aaakkhhhh...!" dengan badan yang kaku dan tangan yang mencengkram sprei dengan sangat keras.

Tak lama kemudian, tubuh kami ambruk kelelahan seperti orang yang baru saja berlari cepat dalam jarak yang sangat jauh. Aku menggulingkan tubuhku agar tidak menindih tubuhnya. Dan kami telentang berdampingan sambil menikmati sensasi kenikmatan orgasme yang masih datang menghampiri kami. Setelah beberapa menit kami terdiam menikmati sensasi orgasme dan napas yang perlahan-lahan mulai pulih, kami pun saling menghadapkan badan dan berpelukan.

“Kamu memang pandai bercinta. Aku puas sekali. Aku jarang mendapatkannya.” Puji Santi sembari mengusap-usap wajahku yang berkeringat.

“Hah? Kok bisa?” Tanyaku tak percaya.

“Ya ... Seumur hidupku, hanya dua laki-laki yang memasuki tubuhku. Suamiku dan kamu. Boleh dibilang kalau suamiku tidak bisa memberiku kenikmatan seperti yang telah kamu berikan padaku tadi.” Ungkap Santi.

“Oh maaf ... Aku bukan bermaksud ...” Ucapanku langsung disambarnya.

“Tidak apa-apa, sayang ... Suamiku juga sadar kalau dia bukan pecinta ulung sepertimu.” Ucap Santi sambil tersenyum.

“Tapi benar suamimu tahu kalau kamu bercinta denganku saat ini?” Tanyaku ingin keyakinan.

“Tahu ... Suamiku telah mengijinkanku, bahkan sudah lama sekali suamiku menyuruh aku untuk mencari pasangan tidur.” Santi pun mengulum senyumnya.

“Mungkin suamimu tidak ingin kamu tinggal gara-gara ketidakmampuannya. Dia benar-benar mencintaimu.” Kataku.

“Tepat sekali. Suamiku rela berkorban apa saja, asal aku tidak meninggalkannya.” Sahutnya.

“Kalau begitu, kamu harus menjaga perasaannya dan tidak boleh menyakitinya.” Aku coba memberinya saran.

“Percayalah! Aku juga mencintai suamiku.” Jawab Santi yang masih mengusap-usap wajahku. “Kamu mirip sekali dengan suamiku. Makanya aku memilihmu sebagai partner bercintaku.” Lanjutnya dan aku pun tersenyum.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Bu Yati masuk dengan membawa dua botol air mineral. Tetapi bukan itu yang menjadi perhatianku. Bu Yati menggunakan gaun tidur transparan tanpa daleman, sehingga tampak seperti telanjang. Aku terkejut sekaligus senang bukan main dengan kedatangannya. Malam ini rasanya aku akan mendapatkan kesenangan yang luar biasa.

“Boleh aku bergabung?” Tanya wanita seksi yang baru datang itu.

Bersambung
Chapter delapan di halaman 51 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd