Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT METEOR AZKA

CHAPTER 14


Walau badan terasa lelah dan mengantuk, aku tidak ingin melewati acara pemakaman Pak Rusdi. Acara pemakaman berlangsung dengan sangat haru. Kini hanya tinggal kenangan antara almarhum Pak Rusdi dengan keluarganya. Secara keseluruhan acara pemakaman berlangsung khidmat. Warga yang menyaksikan semua bubar menyisakan aku, kakek, Bu Rusdi, dan kedua anak Bu Rusdi, Indra dan Nurman. Aku meletakkan bunga tepat di makam Pak Rusdi lalu berdoa untuk arwahnya.

Ibu Rusdi dan kedua anaknya enggan untuk beranjak dari sana. Mungkin mereka harap itu hanyalah sebuah mimpi yang tak pernah nyata. Akan tetapi harapan tinggal harapan. Dan sekarang orang yang mereka sayangi telah meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Bu Rusdi yang diapit kedua anaknya masih tetap bersimpuh dan memeluk batu nisan yang bertuliskan nama Pak Rusdi. Wanita cantik itu memeluk batu nisan seperti memeluk kepala mendiang suaminya.

“Hiks ... Hiks ... Hiks ... Papa kenapa kamu ninggalin mama? Hiks hiks hiks ... Mama tidak mau papa pergi secepat ini, hiks. Mama tau, meski papa tiada akan tetapi mama yakin papa mendengar ucapan mama kan! Mama harap papa bisa kembali lagi meski itu mustahil. Hiks hiks hiks ...." Bu Rusdi sudah tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi.

“Nduk ... Jangan berkata itu lagi.” Ujar kakek. “Biarkan suamimu pergi dengan tenang. Kalau kamu masih saja menangis, nanti arwahnya tidak tenang." Lanjut kakek berusaha menenangkan Bu Rusdi.

“Hiks ... Hiks ... Hiks ... Biarkan saja aku menangis. Biar papa tidak tenang. Jika papa tidak tenang, pasti dia akan kembali.” Kata Bu Rusdi disela tangisannya.

"Nduk...! Apa yang kamu ucapkan! Itu salah! Kamu malah membuatnya tidak tenang!" Kakek membentak Bu Rusdi dengan keras. Kakek memelototi Bu Rusdi yang sedang memandangnya. Bu Rusdi pun menangis pilu. Seseorang yang mendengar hal itu, pun ikut teriris, termasuk diriku.

Aku yang merasa tidak tega memilih meninggalkan makam. Aku berjalan keluar area TPU dengan jalan sedikit gontai. Saat berada di luar pintu masuk TPU, tiba-tiba Jafar dengan motor berisiknya berhenti di sampingku. Tampak wajahnya berseri-seri padahal di tengah suasana berduka seperti ini. Dia turun dari motornya dan tak disangka-sangka Jafar memelukku sambil menepuk-nepuk punggungku.

“Sialan! Lepasin!” Teriakku sambil menahan malu karena perbuatan Jafar menjadi tontonan orang lain.

Jafar melepas pelukannya dan berkata, “Terima kasih, saudaraku ... Sekarang aku bebas dan kaya raya. Si Reno ditembak polisi dan mati karena berusaha merampok bank.”

“Bukannya semalam dia ditahan polisi?” Candaku.

“Aku tahu kau berbohong. Aku sama sekali tidak percaya dengan ceritamu tadi malam. Tapi aku gak peduli, yang penting dia sudah modar.” Kata Jafar sambil terkekeh senang.

“Sekarang tugasmu adalah memberikan heroin yang kau pegang ke polisi.” Aku memperingatinya.

“Sudah kubuang ke sungai. Aku gak mau berurusan dengan polisi.” Jawab Jafar.

“Serius nih? Kamu gak bohong kan?” Aku sedikit menyangsikannya.

“Serius ... Azka ... Aku sekarang sudah tobat. Gak akan menyentuh barang haram itu lagi. Aku benar-benar tobat. Sumpah, aku sudah membuah barang haram itu ke sungai.” Terlihat kesungguhan dari ucapan Jafar.

“Untuk saat ini aku percaya padamu. Tapi, jika kau ketahuan mengedarkan atau memakai heroin itu, aku gak akan segan-segan menghukummu seperti Reno. Kau paham?!” Ancamku tidak main-main.

“Ya, aku paham. Aku gak berani padamu, boss.” Sahut Jafar sambil cengengesan.

“Baiklah ... Aku pulang dulu.” Kataku sambil meninggalkan Jafar. Saat aku menaiki Si Black, tiba-tiba aku teringat sesuatu, “Hei! Jafar!” Panggilku pada Jafar saat dia akan menaiki motor bisingnya.

“Yo ... Ada apa boss?” Tanyanya.

“Uangmu itu pakai modal usaha. Buat bengkel atau tambal ban atau tempat cucian motor. Bawa anak buahmu usaha daripada nongkrong-nongkrong gak jelas di pasar.” Kataku.

“Wow ... Siap boss ... Aku juga kepikiran ke situ. Aku ingin anak buahku punya kerjaan. Terima kasih boss dengan sarannya yang brilian.” Jawab Jafar sambil mengacungkan jempol.

Segera saja aku menghidupkan mesin Si Black lalu melaju pulang. Ternyata gembong mafia itu tewas di tangan polisi. Memang itu hukuman yang setimpal dengan kejahatannya. Hukuman mati pantas didapatkan bagi pengedar narkotika dan pembunuh. Kali ini aku tidak menyesal membuat orang itu mati. Sekarang hatiku sangat lega karena orang yang membuat onar di desaku telah sirna. Aku berharap ke depannya desaku semakin aman dan damai, terlebih Jafar sekarang terlihat sudah bertobat.

Aku sampai di rumah ketika matahari berada di puncaknya. Aku langsung masuk ke dalam kamar. Sebelum berbaring di kasur, aku mengambil botol air mineral tempat Pet bersemayam. Aku letakkan Pet di bantal tempat aku menyandarkan kepala. Wajahku kuhadapkan padanya. Pet bergerak melayang-layang dengan sinar yang begitu menawan.

“Aku telah menghancurkan musuhku ... Dia tidak akan menggangu warga lagi. Tugasku tinggal membebaskanmu. Tapi hari ini aku sangat lelah dan ingin tidur seharian sampai besok pagi.” Kataku.

Keadaan tubuh manusia memiliki keterbatasan secara tenaga dan pikiran. Manusia memang makhluk terlemah di jagat raya ini. Tetapi manusia makhluk paling cerdas di antara mahkluk-makhluk yang lain. Dengan otaknya manusia bisa menutupi keterbatasan mereka.” Jelas Pet.

“Pet ... Di seluruh jagat raya ini. Planet apakah yang terbesar?” Tanyaku iseng ingin tahu.

Namanya Planet Azumath ... Besarnya 100 kali besar bumi yang kamu tinggali ini.” Jawab Pet.

“Apa? Seratus kali???” Pekikku kaget.

Ya ... Planet yang sangat besar. Keadaan di Planet Azumath sangat persis dengan keadaan di bumimu ini. Ada daratan, lautan, air asin, air tawar, minyak bumi, batu bara, padi, jagung, dan lain-lain yang sama persis dengan bumi. Hanya saja kehidupan di Azumath masih sangat tradisional, jauh tertinggal dengan keadaan bumi sekarang. Di sana belum ada listrik, mobil, kapal terbang, bom dan semuanya masih sangat tradisional. Kira-kira 500 tahun tertinggal peradabannya dengan bumi.” Jelas Pet lagi.

“Seperti jaman kerajaan jaman dahulu di bumi.” Kataku,

Benar ... Seperti itu ...” Sambung Pet.

“Selain planet terbesar, apa lagi keistimewaan Azumath?” Tanyaku lagi.

Jika di bumi ini, teknologi ciptaan manusia menjadi standard kemakmuran. Semakin modern suatu kaum, maka semakin makmur kaum itu. Di Azumath tidak begitu. Di Azumath kekuatan sihir adalah segala-galanya. Semakin kuat sihir suatu kaum, semakin makmur kaum tersebut.” Ungkap Pet yang membuatku semakin tertarik dan seru.

“Ha ha ha ... Sihir sudah lama ditinggalkan manusia bumi.” Kataku.

Sebenarnya masih ada yang menggunakan sihir di bumi ini juga. Hanya saja sudah sangat jarang. Lagi pula di bumi sihir sudah sangat tidak berarti. Semuanya tergantikan dengan teknologi.” Ungkap Pet.

“Oke ... Berarti Azumath bisa dikatakan planet sihir. Ada apa di dalam planet itu?” Tanyaku lagi dan lagi.

Sebenarnya Azumath adalah planet yang sangat indah. Aku yakin kamu akan betah tinggal di sana. Azumath ditinggali oleh bangsa manusia sebagai mayoritas. Hampir setengah planet adalah ras manusia. Tetapi di Azumath masih ada tiga ras lainnya yang hidup berdampingan. Pertama ras Elf atau ras peri, kedua ras demon, ketiga ras naga. Ras Elf adalah ras kedua terbanyak, disusul ras demon, dan paling sedikit ras naga.” Ujar Pet semakin menarik.

“Sial! Aku jadi gak ngantuk. Lanjutkan Pet!” Pintaku bersemangat.

Ras manusia seperti manusia di sini, sama persis, tetapi kehidupannya masih sangat tradisional. Ras Elf atau ras peri secara fisik sama dengan manusia, walaupun begitu Elf tetaplah berbeda dengan manusia. Mereka memiliki fisik yang lebih dari manusia terlihat seperti lebih cantik dan tampan, selalu terlihat muda dan berambut pirang. Para Elf pada dasarnya adalah makhluk dengan roh yang abadi, yang tidak lekang dimakan usia, tetapi bukan berarti tubuh mereka abadi. Tubuh mereka mengalami proses penuaan, namun dengan sangat lambat, setara dengan ribuan tahun umur manusia. Tubuh mereka juga dapat mati atau hancur karena penyakit, peperangan, dibunuh, dan sebab-sebab tak alami yang lainnya. Mereka juga memiliki satu keahlian yaitu ahli dalam menggunakan senjata panah.” Jelas Pet.

“He he he ... Aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Siapa tahu dapat jodoh bangsa Elf.” Candaku sambil terkekeh pelan.

Ras demon adalah ras setengah iblis. Mereka terlahir dengan bakat sihir yang sudah tinggi. Ras Demon memiliki kemampuan sihir yang hebat dan dibekali dengan skill dan sihir gelap yang sangat dahsyat. Ras demon sama dengan ras Elf yang berumur panjang. Ras demon juga bisa terluka dan mati. Pada dasarnya ras demon adalah musuh bebuyutan ras manusia dan ras elf. Setelah melalui peperangan tiada henti melawan ras manusia dan Elf, akhirnya ada beberapa generasi muda dari ras demon yang mempunyai ideologi yang berbeda dengan sesepuh mereka yang menawarkan diri untuk berdamai dan mengajak beraliansi dengan ras musuh bebuyutan mereka, yaitu ras manusia dan Elf.” Papar Pet.

“Hhhmmm ... Menarik ... Lanjutkan.” Kataku.

Terakhir ras naga. Ras ini adalah ras terkuat di Azumath. Satu naga saja bisa mengalahkan seribu ksatria sihir dari ras manusia atau ras Elf. Seekor naga memiliki kemampuanya dipercaya sebanding dengan dewa. Naga sangat kuat bahkan sangat ditakuti oleh semua ras yang ada di Azumath. Bayangkan, satu ekor naga saja bisa mengalahkan seribu ksatria sihir, bagaimana dengan dua juta naga. Tetapi untungnya ras naga adalah ras yang mencintai kedamaian, mereka tidak suka peperangan. Naga hidup sendiri-sendiri dan menyendiri. Umur naga termasuk panjang tetapi tidak sepanjang ras Elf dan demon. Naga berumur kisaran 500 tahunan. Pimpinan ras naga bernama Naga Suci Khor. Menurut cerita yang beredar, satu kepakan sayap Naga Suci Khor dapat menghancurkan satu kerajaan besar ras manusia. Di Azumath, ras nagalah yang bertugas menjaga perdamaian.” Jelas Pet.

“Aku sungguh ingin ke sana, Pet ... Jika kau telah bebas, bawa aku ke planet itu.” Kataku sangat antusias.

Aku berjanji akan membawamu ke sana. Oh, ada yang terlupakan. Ada perbedaan waktu antara bumi dan Azumath. Karena planet itu 100 kali lipat besarnya dengan bumi, maka waktu satu hari di bumi sebanding dengan 55 hari di sana. Jadi waktu sebulan di bumi sama dengan 4,5 tahun di sana.” Jawab Pet.

“Wow! Oke Pet ... Aku sangat ngantuk. Aku ingin tidur dulu. Nanti kita sambung obrolan ini lagi.” Kataku yang sudah tak bisa lagi menahan kantukku.

“Baik.” Jawab Pet.

Setelah itu obrolan terhenti. Aku yang sudah ngantuk berat tidak kuasa lagi untuk membuka mata. Akhirnya aku pun tertidur pulas, hingga tak terasa detik demi detik jarum jam telah menunjukkan pukul 19.45 malam. Aku tertidur sangat lama hampir delapan jam. Sialnya aku malah menjadi sangat segar, tentu aku telah merusak siklus waktu tidurku. Mau tidak mau aku mandi karena badan terasa lengket yang akhirnya tubuhku semakin segar saja.

Setelah merasa rapi, aku membuat kopi di dapur, lalu menghampiri kakek yang sedang ngobrol dengan Jafar. Aku heran dengan Jafar, bagaimana dia bisa tidak tidur selama 24 jam. Aku pun duduk di kursi. Kuseruput kopi yang masih panas pelan-pelan, kemudian membakar sebatang rokok.

“Kau gak tidur?” Tanyaku pada Jafar.

“Tadi siang tidur, ini aku juga baru bangun.” Jawabnya sambil menghembuskan asap rokoknya.

“Kau tidur di sini?” Tanyaku lagi.

“Iya ...” Jawab Jafar singkat.

“Jafar ingin membeli tanah kakek yang di dekat pasar. Katanya ingin bikin usaha bengkel, tambal ban dan pencucian motor.” Ujar kakek lalu menyeruput kopinya.

“Gaya ... Beli tanah ... Duit dari mana?” Candaku.

“Ha ha ha ... Aku dapet rejeki nomplok. Rejeki anak saleh.” Balas canda Jafat. Aku pun hanya tersenyum.

“Jika kamu mau membuka usaha. Pakai saja tanah itu. Tapi jangan sampai kamu jual. Kalau memang mau dipakai usaha, kakek ikhlas memberikannya padamu. Lagi pula tanah itu sangat tidak produktif, jadi memang cocok untuk dibikin tempat usaha.” Kata kakek sangat ringan.

“Benar kek? Oh, terima kasih.” Pekik Jafar sangat senang sampai berdiri dan mencium tangan kakek.

“Enak aja ... Ntar kek ... Masih ada paman sebagai ahli warisnya.” Kataku mencandai Jafar.

“Ya, kau ... Kakek sudah memberikannya padaku.” Jafar langsung kecewa.

“Gak apa-apa. Tanah cuma 7 tumbak saja. Pamanmu juga tidak mau mengurusnya.” Ujar kakek lagi.

“Nah tuh ...” Jafar tersenyum lebar.

“Rejekimu ...” Balasku dengan tersenyum juga.

Kami pun ngobrol sambil bercanda dan tertawa. Kurang lengkap rasanya tak menjadikan kopi sebagai bagian penting yang harus ada dalam obrolan. Salah satu hal yang menarik dari kopi adalah kawan penyertanya. Kopi identik dengan rokok. Tentu hal yang wajib bagi penikmat kopi, serasa dua pasang sejoli yang tak boleh dipisah. Rokok menjadi bagian penting yang harus ada ketika menyeruput kopi. Hal ini ibarat matahari dan bulan yang tak bisa dipisahkan bagi beberapa kalangan. Setelah keduanya bertemu niscaya ide atau pikiran yang mumet dijamin bakal hilang.

Entah kenapa, kakek kalah bertahan dan memutuskan untuk istirahat duluan. Ya mungkin kakek kecapean, hingga meninggalkan obrolan tidak seperti kebiasaan. Kini aku dan Jafar yang melanjutkan obrolan. Kami berbincang ke sana ke mari tanpa tujuan, yang penting seru dan penuh candaan. Saat sedang seru-serunya, tiba-tiba smartphoneku berdering, seseorang meneleponku, dan tanpa melihat lagi nama yang tertera di layar smartphone milikku, aku langsung menjawab panggilan itu.

“Hallo ...” Sapaku dengan suara ramah.

Apakah aku mengganggu?” Suara itu sangat familiar di telingaku, namun aku ragu. Sebentar aku melihat identitas si penelepon, ternyata Hajah Nengsih yang meneleponku.

“Oh, tidak bu ... Saya tidak sedang apa-apa.” Kataku semakin ramah.

Oh.” Hajah Nengsih terdengar mendesah.

“Ada apa ya bu?” Tanyaku.

Ti..tidak ... Tidak ada apa-apa. Hanya i..ingin ngobrol sa..saja ...” Jawabnya tergagap. Entahlah, aku merasa wanita itu seperti ingin ditemani malam ini olehku.

“Bapak ada gak bu?” Tanyaku sambil tersenyum.

Tidak ada.” Jawabnya lemah terkesan malu-malu. Fix sudah, malam ini dia perlu belaian.

“Saya ke sana sekarang.” Kataku sambil berdiri dan berjalan keluar rumah.

Oh ... I..ya ...” Hajah Nengsih walau tergagap namun dia berseru tanda kalau dia senang.

“Tunggu saya ya bu.” Kataku lagi.

Iya.” Jawabnya.

Sambungan telepon terputus. Saat kakiku menapak sandal, tiba-tiba Jafar bersuara agak keras, “Hei! Mau kemana?”

“Mau maen catur sama Pak Kades.” Kataku sembarang.

“Ah, sial! Aku cabut juga ah! Gak asik kalau gak temen ngobrol.” Katanya.

“Mau kemana?” Nongkrong di pasar.

“Awas! Aku gak suka kalian mabuk-mabukan!” Aku memperingati Jafar.

“Gak ... Tenang saja ...” Sahut Jafar segera menaiki motor rombengnya.

Tak lama Jafar pun pergi. Setelahnya, aku menyusul keluar halaman rumah. Tak lebih 20 menitan, aku sampai di rumah Hajah Nengsih. Benar saja, tak ada siapa-siapa di rumah ini. Sri pun belum pulang dari siang tadi bersama tunangannya. Aku dan Hajah Nengsih duduk di sofa panjang bersebelahan dengan tangan melingkar di pinggangnya.

“Kalau tahu tidak ada siapa-siapa, kenapa ibu tidak menghubungiku dari tadi siang?” Tanyaku sekedar basa-basi.

“Malu ...” Lirihnya sambil mengulum senyum malu-malu.

“Kenapa harus malu ... Kita sudah pernah telanjang bersama.” Candaku.

“Ihk ..” Lirihnya sambil menyikutku pelan.

“He he he ... Kalau dari tadi siang kan, kita sudah beberapa ronde sekarang.” Candaku semakin menjadi-jadi.

“Ihk, kamu ini.” Suara Hajah Nengsih semakin pelan dan terlihat pipinya merona.

“Aku juga kangen sama ibu.” Kataku sambil mengambil dagunya lalu menarik wajahnya untuk mendekat. “Aku ingin membuat ibu gak bisa berjalan besok pagi.” Godaku dengan suara mendesah.

“Mas ...” Ucapnya belum tuntas keburu kusambar bibirnya.

Bibir kami pun saling menempel dan bertemu. Sepuluh detik kemudian, ciuman itu semakin ganas. Berawal dari sebuah ciuman lembut berubah menjadi ciuman penuh gairah nafsu. Lumatan demi lumatan kami lakukan. Aku menciumnya, menggigit bibirnya mencoba menyesap menyelusuri mulut hangatnya. Perlahan tetapi pasti tanpa melepaskan ciuman diantara kami, aku mengangkat tubuhnya ke pangkuanku. Ciuman demi ciuman, lumatan demi lumatan kami lakukan sehingga kurasakan Hajah Nengsih menggenggam erat kemeja yang masih kukenakan. Kurasa Hajah Nengsih kehabisan nafas, perlahan aku melepaskan ciumanku.

Langsung saja kuangkat tubuh Hajah Negsih ala bridal style menuju kamarnya. Kami sama-sama tersenyum, kami sama-sama menginginkan. Memancing gelora birahi untuk datang dengan hebat. Membuatku tak kuasa untuk menolak. Sesampainya di kamar, aku membaringkan tubuhnya di atas kasur busa empuk. Kulepas gamisnya hingga hanya menyisakan celana dalam warna putih yang sangat minim. Ternyata Hajah Nengsih tidak memakai bra, sehingga tampak buah dadanya yang sekal menggantung dengan indahnya pada kulit dadanya yang putih, dihiasi puting coklat kemerahan yang berdiri mancung.

Aku juga melepas pakaianku hingga telanjang. Ketika melihat Hajah Nengsih tak berkedip memperhatikan batang penisku yang menggantung tegang di antara kedua kakiku, gairahku jadi semakin terlecut. Segera aku beringsut menghampirinya, menciumi kedua pipinya, juga menjilati putingnya yang coklat kemerahan sambil tanganku menyelip ke balik celana dalamnya untuk mempermainkan daerah vaginanya sekaligus melepas celana dalam yang masih menempel itu.

Pelan-pelan aku ciumi buah dadanya, yang sebelah kanan sedangkan tanganku mulai meremas susu yang kiri. Hajah Nengsih mulai menggeliat-geliat, dan erangannya membuat mulut dan tanganku tambah gemas memainkan susu dan putingnya. Aku terus menciumi untuk beberapa saat, dan kemudian pelan-pelan aku mulai mengusapkan tanganku ke perutnya, kemudian ke bawah lagi sampai merasakan bulu jembutnya, aku elus dan aku garuk sampai mulutnya menciumi telingaku. Pahanya mulai aku renggangkan sampai agak mengangkang. Kemudian sambil mulutku terus menciumi payudaranya, jariku mulai memainkan klitorisnya yang sudah bereaksi juga, terbukti dengan cipratan-cipratan kecil sangat terasa di tanganku yang keluar dari vaginanya. Cairan kenikmatannya itu kuusap-usapkan ke seluruh permukaan kemaluan Hajah Nengsih, juga ke klitorisnya, dan semakin licin saja klitoris serta liang kewanitaannya, membuat Hajah Nengsih semakin menggelinjang dan mengerang. Klitorisnya aku putar-putar terus, juga mulut kemaluannya bergantian.

"Aaahh.. Maass... Aaahh... Ituu... Aaahh... Sayaanggh..." Mulut Hajah Nengsih terus meracau pelan sementara pinggulnya mulai bergoyang-goyang. Pantatnya juga mulai terangkat-angkat.

Aku pun segera menurunkan kepalaku ke arah selangkangannya, sampai akhirnya mukaku tepat di selangkangannya. Kedua kakinya aku lipat ke atas, aku pegangi dengan dua tanganku dan pahanya kulebarkan sehingga liang kewanitaan dan klitorisnya terbuka di depan mukaku. Aku tidak tahan memandangi keindahan liang kewanitaan wanita ini. Lidahku langsung menjulur dan mengusap klitoris dan liang kewanitaannya. Cairan surga Hajah Nengsih kusedot-sedot dengan nikmat. Mulutku menciumi bibir kemaluannya dengan ganas, dan lidahku aku selip-selipkan ke lubangnya, aku kait-kaitkan, aku gelitiki, terus begitu, sampai pantatnya terangkat. Kemudian tangan Hajah Nengsih mendorong kepalaku sampai aku terbenam di selangkangannya. Aku jilati terus, klitorisnya aku putar dengan lidah, aku isap, aku sedot, sampai Hajah Nengsih meronta-ronta. Aku merasa penisku sudah sangat keras, dan mulai berdenyut-denyut.

"Maasss eee... Aku nggak tahan... Aaaduuhh... Aaahh... Maasss eee..." Rintih Hajah Nengsih berulang-ulang. Mulutku sudah berlumuran cairan kewanitaannya yang semakin membuat nafsuku tidak tertahankan.

Dengan hati-hati tubuhku bertengger di atas tubuhnya. Aku menciumi lagi lehernya yang jenjang kemudian turun melumat puting payudaranya. Telapak tanganku terus mengelus dan meremasi masing-masing lekuk dan tonjolan tubuh Hajah Nengsih. Aku pulang melebarkan kedua pahanya, sambil menunjukkan batang kejantananku ke bibir kewanitaan Hajah Nengsih. Hajah Nengsih merintih lirih. Matanya perlahan terpejam. Giginya menggigit bibir bawahnya untuk menyangga laju birahinya yang semakin kuat.

“Aku masuk ya bu...” Bisikku pelan, sedangkan kepala kejantananku masih menempel di belahan liang kewanitaan Hajah Nengsih. Kata-kataku yang terakhir ini ternyata menciptakan wajah Hajah Nengsih memerah.

Aku dapat meyakinkan, Hajah Nengsih agak malu mendengarnya. Aku berhenti sesaat untuk menantikan jawaban permohonanku kepadanya, sebab bagaimana pun juga aku tidak mau mengerjakan persetubuhan tanpa mendapat persetujuan darinya. Aku bukan tipe laki-laki yang demikian. Bagiku berpadu cinta ialah kesepakatan, sepakat menurut kesadaran tanpa adanya bagian pemaksaan. Hajah Nengsih menatapku sendu kemudian mengangguk pelan sebelum memejamkan matanya. Itu berarti ’ya’. Aku berjanji bakal memperlakukannya dengan hati-hati sekali, begitu yang terdapat dalam fikiranku.

Kini aku berkonsentrasi dengan membimbing batang kejantananku yang perlahan mulai menyusup melesak ke dalam liang kewanitaan Hajah Nengsih. Mula-mula terasa seret memang, tetapi aku justru semakin menyukainya. Perlahan tetapi pasti, kepala kejantananku membelah liang kewanitaannya yang ternyata begitu kencang mengapit batang kejantananku. Dinding dalam kewanitaan Hajah Nengsih ternyata telah begitu licin, sampai-sampai agak mempermudah kejantananku guna menyusup lebih ke dalam lagi. Hajah Nengsih mendekap erat tubuhku sambil menenggelamkan kuku-kukunya di punggungku, sampai aku agak kesakitan. Namun aku tak peduli.

“Mas... Gede banget, occhh...” Hajah Nengsih menjerit lirih. Tangannya turun menciduk batang kejantananku. “Pelan maas...” Ujarnya berulang kali.

Sebenarnya aku merasa aku telah melakukannya dengan demikian pelan dan hati-hati. Mungkin sebab lubang kewanitaannya jarang ditembus batang kemaluan laksana milikku ini. Mungkin ukuran kejantanan Pak Haji Yanto tidaklah sebesar yang aku miliki. Akhirnya batang kejantananku terbenam pun di dalam kewanitaan Hajah Nengsih. Aku berhenti sejenak untuk merasakan denyutan-denyutan yang timbul dampak kontraksi otot-otot dinding kewanitaan Hajah Nengsih. Denyutan tersebut begitu kuat, sehingga aku memejamkan mata guna merasakan kesenangan yang begitu sempurna. Aku melumat bibir Hajah Nengsih seraya perlahan-lahan menggerakkan batang kejantananku. Aku tarik sampai batas kepala lalu kubenamkan lagi, masuk-keluar, masuk-keluar. Aku meminta Hajah Nengsih untuk membuka kelopak matanya. Hajah Nengsih pun menurut. Aku paling senang menyaksikan matanya yang semakin sayu merasakan batang kejantananku yang timbul tenggelam di dalam kewanitaannya.

“Aku suka memekmu, bu ... Memekmu masih tetap rapet.” Ujarku sambil mengerang keenakan. Sungguh, liang kewanitaan Hajah Nengsih masih terasa enak sekali.

“Icchh... Mas ngomongnya vulgar banget!” Balasnya seraya tersipu malu, kemudian ia mencubit pinggangku.

“Tapi enak ‘kan?” Tanyaku yang dibalas Hajah Nengsih dengan suatu anggukan kecil. Aku meminta Hajah Nengsih untuk menggoyangkan pinggulnya. Hajah Nengsih langsung mengimbangi gerakanku yang naik turun dengan goyangan memutar pada pinggangnya. “Suka kontolku ya bu?” Tanyaku lagi. Hajah Nengsih hanya tersenyum.

Batang kejantananku terasa seperti diremas-remas. Masih diperbanyak lagi dengan jepitan liang senggamanya yang kelihatannya punya kekuatan magis untuk menyedot meluluh-lantakkan otot-otot kejantananku. “Enak sekali goyangannya.” Batinku dalam hati. “Ooocchh...!” Aku mengerang panjang. Rasanya begitu nikmat.

Aku kemudian menciptakan jarak dengan dadanya, dengan bertumpu pada kedua tanganku. Dengan demikian aku semakin bebas dan leluasa guna mengeluar-masukkan batang kejantananku ke dalam liang senggama Hajah Nengsih. Aku menyimak dengan cermat kejantananku yang timbul tenggelam sangat lincah di sana. Dengan posisi seperti ini aku merasa begitu jantan. Hajah Nengsih semakin melebarkan kedua pahanya, sedangkan tangannya melingkar erat di pinggangku. Gerakan naik turunku semakin cepat mengimbangi goyangan pinggul Hajah Nengsih yang semakin tidak terkendali.

“Bu... Enak banget...” Ucapku keenakan.

“Aku juga Mas...” Jawabnya agak malu-malu.

Hajah Nengsih mengerang-erang kenikmatan. Berulang kali mulutnya menerbitkan kata-kata, “aduh..occhh..” yang dikeluarkan terputus-putus. Aku menikmati liang senggama Hajah Nengsih semakin berdenyut sebagai pertanda Hajah Nengsih akan menjangkau puncak pendakiannya. Aku pun merasakan hal yang sama dengannya. Namun aku berupaya bertahan dengan menahan nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya pelan-pelan, untuk menurunkan daya rangsangan yang aku alami. Aku tidak ingin segera menyudahi permainan ini dengan tergesa-gesa. Aku mempercepat goyanganku saat aku menyadari Hajah Nengsih nyaris mencapai orgasmenya. Aku meremas payudaranya kuat-kuat, sambil mulutku menghisap dan menggigiti puting susu Hajah Nengsih.

“Oooooccchh... Maaaassss.....” Jerit Hajah Nengsih panjang. Aku menenggelamkan batang kejantananku kuat-kuat ke liang senggamanya sampai mencapai dasar rongga yang terdalam. Tanpa ampun, Hajah Nengsih mendapatkan kesenangan yang sempurna.

Tubuhnya melengkung estetis dan untuk beberapa saat lamanya tubuhnya mengejang-ngejang. Kepalaku ditarik kuat-kuat sampai terbenam di salah satu dua bukit payudaranya. Pada ketika tubuhnya menghentak-hentak, ternyata aku merasa tidak mampu lagi untuk bertahan lebih lama.

“Buuuu... Aaakuu... Keluaaaarr... Oooocchh... Aaaacchh...” Aku menggeram.

Aku hendak menarik batang kejantananku dari dalam liang senggamanya. Namun Hajah Nengsih masih ingin tetap menikmati orgasmenya, sampai-sampai tubuhku serasa dikunci oleh kakinya yang melingkar di pinggangku. Saat tersebut juga aku merasa nyaris saja memuntahkan cairan hangat dari ujung kejantananku. Aku menikmati tubuhku laksana layang-layang putus yang melayang terbang, tidak berbobot. Akhirnya aku tidak sempat menarik batang kejantananku lagi, sebab secara spontan Hajah Nengsih pun menarik pantatku kuat ke tubuhnya, berulang kali.

Mulutku yang sedang di belahan dada Hajah Nengsih menghisap kuat kulit putihnya, sehingga membekas merah di sana. Telapak tanganku mencengkram buah dada Hajah Nengsih. Aku meraup semuanya, sehingga Hajah Nengsih merasa agak kesakitan. Aku tak peduli lagi. Hingga akhirnya...

“Seerrr... Croot... Croot... Croot... Croot...” Spermaku muncrat mengairi lubang surganya. Aku menikmatinya dengan perasaan yang tiada duanya, diperkuat dengan goyangan pinggul Hajah Nengsih ketika aku merasakan klimaks. Tubuhku akhirnya lunglai tak berdaya di atas tubuh Hajah Nengsih. Batang kejantananku masih tertancap di dalam liang kesenangan Hajah Nengsih. Hajah Nengsih mengusap-usap punggungku.

“Kamu luar biasa, mas.” Lirih Hajah Nengsih.

“Ibu juga sangat luar biasa.” Balasku.

“Selama ini aku gak pernah puas sama bapak, mas. Selain itu, bapak terlalu sering dengan istri mudanya. Jadi, aku kesepian.” Ucapnya terdengar seperti pengakuan dan pembenaran.

“Gak apa-apa. Jangan dipikirkan. Sekarang kan ada aku.” Kataku sembil mengecup bibirnya sekilas.

“Terima kasih, mas ... Mas Azka sudah ngertiin aku.” Ucapnya lagi sambil tersenyum.

“Apakah ibu mau lagi?” Tanyaku yang merasa kejantananku kembali siap bertempur.

“Ich ... Kok keras lagi?” Pekik Hajah Nengsih terkejut bercampur senang.

“Karena ibu menggairahkan.” Kataku.

Perlahan-lahan aku lumat bibirnya dengan penuh kelembutan sampai wanita di bawahku tergugah kembali gairah wanita cantik kesepian ini. Akhirnya kami terus mengejar kenikmatan demi kenikmatan. Desahan dan erangan yang keras menjadi suatu harmoni indah dalam nikmat. Deru nafas yang terus memburu, peluh yang bercucuran, dan gerakan seks tinggi menjadi aksesoris dalam tercapainya puncak kenikmatan yang kami cari.

Entah bagaimana menjelaskannya. Tubuh kami yang penuh akan peluh ini bergetar seolah tengah menari. Penisku yang menegang dan mengeras bergesekan dengan dinding vagina Hajah Nengsih yang hangat. Begitu erat, begitu hangat, dan begitu nikmat. Apalagi ketika ujung penisku menghentak dengan tidak pelan mengenai titik manis Hajah Nengsih di dalam vaginanya. Jika saja kami bisa menceritakannya, rasanya bagaikan tersengat listrik yang begitu nikmat menjalar hingga ke seluruh syaraf tubuh kami. Kami terus larut dalam permainan seks yang penuh akan gairah, hasrat, dan birahi, hingga malam menjelang subuh.

.....
.....
.....


Aku terus menguap sepanjang hari ini. Rasa kantukku seakan masih bergelantungan di kelopak mataku. Pertempuranku dengan Hajah Nengsih semalam membuatku merasa lelah yang terasa hingga detik ini. Namun aku sangat puas karena telah membuat Hajah Nengsih kewalahan oleh keganasanku di ranjang. Aku telah memberi Hajah Nengsih orgasme besar berkali-kali. Aku sangat yakin apa yang telah kuberikan tak akan pernah ia lupakan.

Tiba-tiba rasa kantukku seakan menguap entah kemana ketika pintu ruangan kerjaku terbuka dan menampakkan seorang wanita yang selama ini tidak pernah menyukaiku. Cantik memang, akan tetapi juga mengerikan, karena sepasang matanya mencorong. Wajah yang cantik itu sungguh-sungguh seperti wajah seorang siluman tulen. Nama wanita di hadapanku adalah Purwanti. Dia ibunda Windi.

“Bu ... Silahkan ...” Aku langsung menyapanya sambil berdiri. Aku juga mempersilahkan wanita itu duduk di kursi depan meja kerjaku. Dengan langkah angkuhnya, dia pun masuk lalu duduk di kursi yang aku tunjuk. Matanya tidak mau menatapku dan wajahnya melukiskan seolah aku ini seperti musuhnya yang paling menyebalkan.

“Ada yang bisa saya bantu?” Kataku lagi.

“Buatkan aku surat pengantar untuk pengajuan kredit ke bank!” Katanya sangat jutek.

“Ibu membawa syarat-syaratnya?” Aku masih berkata ramah bahkan sambil memberinya senyum.

“Nih!” Ibunda Windi melemparkan begitu saja map karton berwarna biru ke atas mejaku.

Aku menghela nafas melihat sikapnya yang tak sopan dan tak menghormati aku sebagai Sekdes. Bagaimana pun dia sedang membutuhkanku, seharusnya minimal dia memperlihatkan kesopanan di hadapanku. Sambil merasakan hatiku yang lumayan jengkel, aku memeriksa kelengkapan syarat-syarat untuk membuat surat keterangan pengajuan kredit bank. Setelahnya, aku meletakan map katon biru itu di atas meja.

“Syarat ibu kurang dua. KTP suami dan surat persetujuan suami.” Kataku.

“Jangan mempersulit urusanku! Aku tahu itu tidak perlu!” Dia membentakku, cukup membuatku terkejut.

“Saya tidak mempersulit, bu ... Tetapi KTP suami dan surat persetujuan suami adalah syarat mutlak yang harus ada. Percuma saya memberikan surat pengantar, toh nanti di bank akan ditolak juga.” Aku coba memberinya penjelasan dengan lemah lembut.

“Dasar Sekdes tidak berguna!” Dia membentak lagi sembari mengambil kasar map biru miliknya. Kemudian dia berlalu begitu saja.

“Ibu bisa mendapatkan pinjaman tanpa harus membuat persyaratan.” Kataku yang sukses langkahnya terhenti.

Purwanti, ibunda Windi, membalikkan badan tetapi masih dengan wajah menyebalkan, “Pinjaman apa itu?” Suaranya juga masih terdengar ketus.

“Kalau ibu mau duduk dulu dan tenang, aku akan memberitahu ibu.” Kataku.

“Kau jangan coba-coba membodohiku! Paling kau mau menawariku rentenir. Kalau ke rentenir, aku juga bisa sendiri!” Katanya dengan suara yang bisa membuat orang naik pitam seketika. Namun aku tetap sabar.

“Bukan rentenir. Bahkan tidak berbunga dan cicilannya sebebas-bebasnya sesuai kemampuan ibu bisa membayar.” Kataku dan tiba-tiba rona mukanya agak bercayaha, tidak terlalu kusam seperti sebelumnya.

“Benarkah?” Suaranya pun agak melunak. Ibunda Windi ini lantas kembali dan duduk di kursinya semula.

“Benar ... Ibu butuh uang berapa?” Tanyaku sambil tersenyum.

“Lima puluh juta.” Jawabnya menegang lagi.

“Baiklah. Sekitar jam lima sore, saya antar uangnya ke rumah ibu.” Kataku.

“Oh ... Jangan ke rumah! Kita bertemu di luar saja.” Pintanya.

“Kalau begitu ... Tentukan tempatnya sama ibu.” Aku terus berujar dengan lemah lembut.

“Aku ambil di rumahmu.” Kini Purwanti berkata pelan.

“Oh ... Itu lebih bagus.” Responku senang.

“Baiklah. Jam lima sore aku akan ke rumahmu.” Katanya sembari bangkit dan berjalan ke arah pintu keluar. Namun saat di ambang pintu wanita itu berbalik lalu menganggukan kepala dan berkata, “Terima kasih.” Kemudian dia keluar ruanganku.

Tentu saja hal tadi merupakan keajaiban dunia bagiku. Seumur mengenalnya baru kali ini aku diperlakukan lumayan ramah. Senang adalah kata yang menggambarkan hatiku saat ini, karena telah melemahkan kekerasan hatinya. Aku berharap ini adalah langkah awal agar dia bisa berperilaku baik padaku. Bukan apa-apa, aku ingin seluruh penduduk di dunia ini tidak ada yang membenciku.

Kulihat jam di lengan kiriku, ternyata sudah jam empat sore. Waktunya aku keluar dari gedung kantor desa dan kembali ke rumah. Seperti yang sudah-sudah, jarak tempuh kantor desa ke rumah tidak lebih dari 20 menit. Aku langsung saja mandi dan mengganti pakaian. Kali ini aku memakai pakaian yang terbaik. Setelah itu, aku mengambil lima gepok uang rupiah berwarna merah dari dalam tas yang kusimpan dalam lemari. Aku simpan lima gepok uang itu di amplop besar berwarna coklat. Kemudian aku keluar dari kamar dan bergabung dengan kakek yang sedang ngopi dan merokok.

“Pembangunan jalan di RW 12 baru dimulai.” Kataku pada kakek.

“Bagus. Kapan selesainya?” Tanya kakek.

“Kira-kira dua minggu.” Jawabku lalu membakar rokok putih kesukaanku.

“Kok lama?” Kakek sampai mencorong karena keheranan.

“Aku putuskan jalan dibeton, tidak diaspal karena daerah itu selalu tergenang air dan saluran airnya kecil.” Jawabku.

“Hhhmm ... Kalau uang almarhum Pak Rusdi sudah kamu kembalikan?” Tanya kakek.

“Masih ada padaku, kek ... Nanti kalau keadaan sudah membaik, aku akan mengembalikannya ke Bu Rusdi.” Jawabku.

Kakek beberapa kali menanyakan pembangunan desa karena memang aku adalah perencana sekaligus penanggung jawab proyek pembangunan di desaku. Tampak kakek cukup puas dengan kinerjaku, terbukti tak pernah menyalahkan dengan apa yang telah aku kerjakan selama ini. Tiba-tiba terdengar suara mesin motor matic di halamanku. Setelah kulihat ternyata Purwanti, ibunda Windi, sudah tiba di rumahku. Segera saja aku mempersilahkannya masuk dan bersalaman dengan kakek. Wanita itu pun duduk, sementara kakek meninggalkan ruang depan pergi entah kemana.

“Ini uangnya, sebanyak 50 juta.” Kataku sambil mendorong amplop coklat ke depannya.

“Terima kasih. Bagaimana aku membayar cicilannya?” Tanya Purwanti dengan raut wajah berseri-seri.

“Ibu tidak perlu mengembalikannya. Itu biat ibu. Uang itu adalah punyaku. Jangan salah paham, bu. Aku memberikan uang itu bermaksud agar ibu mau baik padaku. Selama ini aku cukup tersiksa karena sikap ibu yang kurang baik padaku. Satu lagi bu, saya memberikan ini bukan untuk menyogok ibu agar aku bisa mendapatkan Windi. Tidak! Aku benar-benar tidak ingin mengganggu keutuhan rumah tangganya. Ini kulakukan semata-mata agar kita tidak seperti bermusuhan lagi.” Jelasku cukup panjang.

“Ka..kamu ...” Dari raut mukanya terlihat jelas kalau Purwanti kaget dan bingung.

“Bagaimana bu? Apakah ibu mau menerima tawaranku?” Tanyaku sembari mengulurkan tangan untuk berjabatan tangan.

Dia tertegun, matanya terbuka lebar, mulutnya sedikit menganga. Tetapi tak lama Purwanti menggapai tanganku dan menjabat tanganku, “Ka..kamu ... Baik sekali ...” Ucapnya lirih dengan mata sangat sendu. Aku mengangguk dan tersenyum sebagai tanda kalau aku sangat bahagia.

“Aku senang dan bahagia. Akhirnya aku mendapat kebaikan dari ibu. Betapa indahnya hari ini ketika kebaikan menyentuhku. Terima kasih bu.” Kataku seraya menggenggam erat tangannya.

“Aku yang harus berterima kasih karena kamu sudah menolongku. Dan maafkan semua perlakuan buruk yang telah aku berikan kepadamu.” Katanya begitu lembut.

“Lupakan saja bu ... Aku tidak pernah merasa sakit hati. Yang penting sekarang tidak ada lagi rasa tidak suka di antara kita.” Kataku dan dijawab dengan senyuman dan anggukan kepalanya.

Kami pun ngobrol sampai sekitar lima menitan. Setelah itu, Purwanti pamit pulang. Aku mengantarkan Purwanti hingga motor matic-nya. Tak lama, Purwanti pun melaju meninggalkan halaman rumahku. Aku pun berjalan ke dapur namun kakek tidak ada di sana. Akhirnya aku menemukan kakek sedang memeriksa tanaman sayurnya di ladang belakang rumah. Kali ini aku tidak ingin menghampiri kakek, aku memilih untuk masuk ke dalam kamar dan ngobrol dengan Pet. Aku ambil botol air mineral tempat Pet tinggal lalu meletakkannya di atas meja.

“Jika aku bebas nanti. Apa permintaanmu yang terbesar?” Tiba-tiba Pet bersuara sebelum aku bertanya.

“Hhhmm ... Aku ingin kau cabut kekuatan yang ada di tubuhku.” Kataku mantap penuh keyakinan.

“Kau memang makhluk langka. Sementara makhluk-makhluk lain sejagat raya menginginkan kekuatan supaya hidupnya lebih mudah, kamu malah ingin membuang kekuatanmu yang berarti kau menghendaki hidup susah.” Ungkap Pet.

“Aku tidak menghendaki hidup susah. Aku juga ingin hidupku mudah. Tetapi, apa yang aku miliki ini segalanya menjadi sangat mudah. Hanya dengan menghayal, apa yang kuinginkan terwujud. Tidak ada perjuangan, tidak ada tantangan. Bagiku itu bukan cara hidup manusia yang sesungguhnya. Aku hanya ingin hidup menjalani tantangan dengan perjuangan. Hidup akan lebih berwarna kalau aku menjalani hidup dengan menyelesaikan tantangan-tantangan untuk mencapai kesuksesan.” Jelasku.

“Berarti kau suka tantangan.” Pet menyimpulkan.

“Bagiku hakekat hidup adalah ada tantangan dan problem. Hidup di zona nyaman hanya akan menjadikanku pribadi yang kurang berkembang. Aku percaya tantangan akan memicu terjadinya perubahan yang baik dalam diriku.” Jelasku lagi.

“Baiklah, setelah aku bebas nanti akan aku cabut kekuatanmu, sehingga kau menjadi manusia normal lagi. Tetapi itu bukan permintaan. Katakan, apa permintaan terbesarmu saat aku bebas nanti?” Pet mengulangi pertanyaannya.

“Aku tidak meminta apa-apa darimu, Pet. Aku sudah sangat senang jika kau bebas dan pergi dengan damai.” Jawabku.

“Kau memang mahkluk terlangka. Tapi aku sangat kagum padamu.” Pujinya yang membuatku terkekeh pelan.

“Jangan terlalu memujiku Pet. Nanti aku jadi lupa diri.” Candaku.

Pet menjelaskan bahwa kebebasan dirinya hanya tinggal menunggu waktu saja. Tehoa yang terkumpul telah mencukupi baginya untuk membuat kunci energi yang bisa membongkar meteor yang mengurungnya. Aku sangat senang mendengar penuturan Pet tersebut, namuan di saat yang bersamaan aku juga merasa sedih karena aku akan kehilangan sahabat. Sebenarnya, perpisahan dengan Pet merupakan hal yang tidak aku harapkan, pasti akan terasa sedih dan menyakitkan. Tetapi aku sadar, perpisahan adalah sebuah keniscayaan dalam hidup. Tidak ada kebersamaan yang abadi. Bumi selalu berputar; pagi selalu hadir sebagai titik pisah antara malam dan siang. Seperti air yang selalu mengalir ke bawah, perpisahan adalah alami. Meninggalkan dan ditinggalkan selalu menjadi bagian hidup anak manusia. Sebab, kelak setiap orang pasti akan meninggalkanku atau justru aku yang akan meninggalkan mereka.
Bersambung

Chapter 15 di halaman 95 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd