Lanjut yaa....
“Gila ya mantu lo, Mo.”
“Apaan sih?”
“Itu tuh.. Lihat, sekel amat yak.. Semook. Hehehe”
Komo hanya bisa menatap bengong bagian belakang tubuh menantunya yang sedang sibuk di depan kulkas di dapur. Dikarenakan dari ruang tamu ke dapur tidak ada dinding pemisah mereka jadi bisa memperhatikan diam-diam sosok cantik yang berdiri sambil sesekali membungkuk hingga menunggingkan pantat. Melihat perempuan itu pikiran Komo makin bergerak cepat.
Pak Jagat si Ketua RT berkumis tebal macam Hiter tapi bermata sipit kembali berbisik dengan logat Betawinya. “Lu kenapa sih, Mo? Dari tadi diem aje.”
“Gue lagi berpikir,” Komo menjawab dengan logat Jawa berusaha keJakarta-Jakarta’an. Hubungan mereka memang sangat akrab seperti adik kakak sehingga menghasilkan gaya obrolan seperti anak muda.
“Gue ingin melakukan yang dulu pernah terjadi.”
“Maksudnya apa ya, Mo? Bahasa lu kaya buku.”
Terdengar suara berisik saat telor dijatuhkan ke dalam teflon berminyak yang panas. Suara itu sedikit mengagetkan mereka yang berbisik-bisik sambil sesekali mengawasi Lona yang sedang memasak sarapan di dapur. Saat itu jam 9 pagi dan Komo mulai menceritakan kejadian 2 bulan yang lalu. Jagat, yang lebih muda 9 tahun itu hanya bisa ternganga.
“Gila lu ndroo. Gimana caranya dia bisa bertekuk lutut kaya gitu, Mo?”
“Gue juga ga ngerti, Gat. Yang gue tahu gue cuma coba mengambil kesempatan dan itu terbalaskan tanpa diduga-duga. Gue juga kaget waktu itu. Tapi yaaa.. gue terusin.”
“Iyaa, lu terusin sampe keluar yaa. Haha. Lu beruntung, Moo.”
“Dan gue ingin beruntung lagi, Gat.”
“Tapi kok kaya ga terjadi apa-apa yaa di antara kalian?”
“Yaah sebenarnya kami saling menjaga jarak. Jadinya kaku.”
Mereka terdiam beberapa detik. Bau masakan tercium harum sekali di sekitar mereka. Sepertinya nasi goreng. Mereka saling bertatapan dan memandang gelas kopi yang isinya tinggal setengah di meja di depan. Jagat berusaha mencairkan suasana. “Harum banget yaa ini. Pasti body-nya juga harum banget, Moo,” katanya geleng-geleng.
“Pasti lah, Gat..” Komo mengiyakan. Lalu melihat sobatnya memperhatikan menantunya sambil berdecak kagum. Komo mencoba bertanya pelan, mendekatkan kepalanya. “Lo mau juga ga merasakan keberuntungan itu?”
Jagat langsung menolehkan wajahnya. Terlalu cepat sehingga menabrak jidat Komo yang keriput.
“Aduuuuh.. Ssshhhs...” Mereka meringis kesakitan. Lona, yang menyadari itu dari dapur, sekarang memperhatikan mereka berdua memegangi jidat masing-masing. Lona heran melihat mereka berbisik-bisik. Tampaknya ada sesuatu yang sedang direncanakan. Atau apakah mereka sedang membicarakan dirinya?
“Lu ngomong apa sih, Mo? Lu udah gila ya?”
“Dengar yaa, Gat. Gue tahu lo sering ngeliatin menantu gue. Dengan mata nanar. Mupeng. Lu pasti ga nolak kan kalo ada kesempatan bisa nikmatin tubuh menantu gue?”
Jagat cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambal menjauh dari Komo.
“Emang lu ga bisa apa, ngelakuin sendiri? Itu kan istri anak lu, Pak Komooo.”
Komo menunduk. Dia tampak berpikir keras. Bukan berpikir ingin membatalkan rencana tapi bagaimana dia bisa merayu sahabatnya ini. Karena rencananya adalah rencana besar yang mebutuhkah bantuan. Tidak mungkin dia menjalankannya sendirian. Tidak mau dia disebut pemerkosa seorang diri. Siapa pun yang merasa Lona, istri putranya itu adalah dewi yang turun dari surga dan ingin memilikinya, maka dia harus terlibat.
“Mari bapak-bapak, dimakan dulu sarapannya.”
Tiba-tiba sosok yang dari tadi berkutat di dapur itu menampakkan diri di depan mereka; tepatnya di samping kanan meja kopi ruang tamu, di dekat Pak Jagat. Dia menaruh 2 piring nasi goreng di meja. Badannya membungkuk dan bagian belahan dadanya, daging empuk yang saling menghimpit itu, ikut menampakkan dirinya pula karena lingkar dada bajunya yang rendah. Tanpa disadari Lona, dia telah membuat mertua dan tamu mertuanya itu melongo sampai dia berjalan kembali ke dapur.
Jagat memalingkan pandangan dari pantat Lona yang bergoyang-goyang dan menatap tajam si Komo keladi.
“Ayo! Apa rencana lu?”
********