Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA My Fiery Fireworks (Lidya M. Djuhandar of JKT48 Fanfixxx) [TAMAT]

Bimabet
Baru dapet 10 halaman. Semalem udah dapet mood menulis seperti biasanya. Sepertinya akan saya pecah jd beberapa part.

Mungkin akan terasa membosankan di awal. Semoga weekend bisa saya post 2 atau 3 part lbh dulu. Thx you yang masih mau nyimak sampai saat ini.

Semangat bro.. siap ditunggu buat karya selanjutnya hehehe..
 
Mengenang Senang (Lidya's Sidestory Pt. 1)


“Ayaaaaah! Ini kenapa pintu gudang ga ditutup!” seru ku pada suamiku. Suamiku ini memang sering lupa membereskan apa yang sudah tertata rapi. “Habis cari apa sih? Kardus-kardus nggak dibalikin lagi ditempatnya” protesku lagi. Terkadang aku kesal dengan kebiasaan suamiku ini, tapi mau bagaimana pun, aku sangat menyayanginya. Kebahagiaanku. Leon Sudiro Wira Atmadja.

“Maaf, bu! Tadi aku cari CD Maliq d’essentials. Udah biarin aja, nanti aku beresin lagi” seru suamiku dari tengah ruang keluarga.

Dengan setengah hati, aku mulai membereskan apa yang telah dilakukan suamiku ini. “Huuuft... mana berat banget lagi” aku mendengus setelah susah payah mengangkat kardus kembali ke tempat semestinya.

Braaak! Aku tak sengaja menjatuhkan sebuah kotak kaleng biskuit. “Eh, apa nih?” aku mengambil kotak itu. Ada tulisan “Precious Vault” ditulis dengan tangan. “Kenapa bu?! Apa itu yang jatuh? Udah dibilang biarin aja di situ” suamiku berseru. “Nggak apa-apa, udah awasin Leoni dulu, aku mau beresin gudang dulu” kataku beralasan.

Kembali aku mengamati kotak itu. Ku guncang-guncang untuk mengetahui apa ada isinya atau tidak. Dan ternyata memang berisi sesuatu. Ku putuskan untuk mengetahui apa isi kotak itu. Hmmmpffft... susah juga nih bukanya. Sekali lagi aku berusaha membuka dengan tenaga yang lebih. Ya! Akhirnya berhasil juga... Lho, ini kan... ini... kok Mas Leon dapat ini juga... Kemudian aku menarik kursi kecil agar lebih santai membongkar isi kotak tersebut.

Aku tidak menyangka Mas Leon menyimpan barang-barang ini. Ku ambil beberapa lembar photopack diriku saat masih menjadi idol dengan kostum kebesaranku, satu demi satu kenangan terbayang saat lembar demi lembar photopack itu aku perhatikan. Ah, aku masih kurus saat itu hahaha. Saat ini masih kurus juga sih, no... aku tidak mau dianggap gemukan. Aku lebih senang menganggapnya agak berisi. Lalu aku mengambil potongan-potongan tiket film yang telah kami tonton saat berkencan dulu. Ih, film ini... Film badut itu... sungguh aku benci film horror namun Mas Leon memaksaku untuk menontonnya. Dan sepanjang film aku kebanyakan menutup mata, menyusupkan wajahku di pundak Mas Leon dan berteriak, bahkan saat karakter badut itu belum muncul. Setelah film selesai, mataku sembab karena menangis, sementara Mas Leon hanya tertawa. Hih, untung di dia aku peluk-peluk karena takut... tapi aku suka sih peluk Mas Leon, badannya agak gemuk berisi. Emeeesh!.

Hmmm, sungguh sebuah skenario yang tidak aku sangka kini aku bisa hidup bersama matahariku yang bernama Leon. Sebuah skenario yang entah siapa penulisnya sehingga aku bertemu dengannya. Kalau aku tahu, aku mungkin sudah sangat berterima kasih padanya telah menuliskan skenario terbaik dalam episode-episode hidupku sekarang.

-o00o-

Masih terekam jelas ingatanku pertama kali aku bertemu dengan Leon. Seorang yang aku kenal bekerja sebagai Stage Director JKT48. Namun semua berubah ketika bertubi-tubi masalah datang padaku. Mempersiapkan tugas akhir kuliah, magang, membagi waktuku sebagai idol dan puncaknya ketika pacarku saat itu tiba-tiba meninggalkanku... setelah apa yang kita lalui bersama... perjuanganku untuk bertahan sampai aku membohongi fans-ku... setelah aku menyerahkan apa yang seharusnya aku jaga untuk yang aku anggap pantas sebagai pasanganku seumur hidup.

Menyesal? Sangat.

Dan semua itu membuatku depresi. Terlebih aku adalah orang yang lebih suka memendam masalah dibanding membagikannya pada orang lain. Aku tidak mau membuat orang lain repot karenanya. Dan saat teman-temanku bertanya “Ada apa, Lidya? Kok murung?” aku hanya bisa membalas “Nggak apa-apa kok” dengan senyum yang tipis terkembang. Ya, memang wajahku ini memang terkesan galak dan murung. Tak sedikit yang takut mendekatiku atau menyapaku ketika aku sedang asyik dengan pikiranku sendiri. Kata mereka kayak Serigala mau nerkam. Sebegitu menyeramkan ya aku di mata kalian? Padahal dalam diriku, aku hanyalah gadis yang rapuh. Dan saat itu, Leon datang.

Memanggil namaku dengan ragu “Uhmm... L-Lid... Lidya”. Aku pun menoleh ke arahnya. Aku cepat-cepat menghapus tangisanku meskipun tak bisa menyembunyikan sembabnya kelopak mataku dan berkata “Eh, nggak apa-apa kok kak, Cuma kelilipan” dan tersenyum padanya. Merasa tidak puas dengan jawabanku, kembali ia meyakinkan dirinya “Bener? Yakin nggak apa?” dan mengingatkanku bahwa beberapa jam lagi aku akan tampil.

Dan entah kekuatan dari mana, aku memanggilnya kembali. Aku meracau saat itu. Mengeluarkan semua isi hatiku kepada orang yang belum aku kenal dekat. Memuntahkan segala beban pikiran yang aku simpan sendiri. Kacau. Aku sangat kacau saat itu.

Namun, hangat suaranya saat memberikan motivasi-motivasi membuatku merasa tenang. Ia kembali mengingatkan tujuan dan harapanku bergabung dengan idol group ini. Aku yang makin tidak bisa mengendalikan emosiku, tanpa ragu aku segera memeluknya dan mungkin membuatnya sedikit terkejut. Tangisku mulai tak terbendung. Membenamkan wajahku ke arah dadanya dan merapatkan pelukanku. Wangi tubuhnya bagaikan morfin yang mengalir dalam darah dan memberikanku kenyamanan. Usapan lembutnya di rambutku makin membuatku merasa tenang. Perlahan aku mengendurkan pelukanku dan tersadar bahwa air mataku telah membasahi kaos hitamnya.

Aku panik. Segera aku mengeluarkan tissue dan ia pun menolaknya. Oh iya, buat apa juga aku keringin pakai tissue, duh bodoh! Aku mengutuk diriku sendiri sambil memukul-mukul kepalaku. Selalu seperti ini kalau aku berbuat salah. Dan panggilan dari sensei-ku memecahkan suasana kikuk barusan. Aku mengucapkan terima kasih dan senyum kakunya terkembang setelahnya.

Aku kembali teringat saat bagianku tampil membawakan unit “Ame no Pianists”. Dengan penghayatan penuh aku tampil untuk fans-ku dan terlebih Leon yang mengawasi jalannya pertunjukan. Namun performaku saat itu aku tujukan pada Leon. Aku hayati setiap detail koreografi yang aku ingat. Mata Leon tak lepas memperhatikanku. Aku terus terfokus pada Leon. Ia nampak sangat canggung, terwakili dari tatapannya. Sedikit aku berimprovisasi dengan koreografi dengan menunjuknya. Ya, kamu adalah target sasaran panah asmaraku. Tepukan riuh menghantarku ke belakang panggung.

Aku menghela nafas dalam dan bertanya-tanya... Apa kah aku jatuh cinta?

-o00o-

Masih jelas dalam ingatanku malam yang hampir saja membuatku lebih jatuh ke dalam kesedihan. Malam ketika aku dikelilingi oleh sekelompok fans dengan muka penuh kemesuman. Aku tidak ingin menyebut mereka “wota”, mereka lebih pantas disebut dengan sebutan maniak!. Aku sangat ketakutan saat salah satu dari mereka mulai menggodaku. Saat itu aku tidak tahu mengapa aku memilih menunggu taksi online di halte dari pada di lobby. Ah, ini gara-gara ayah mendadak nggak bisa jemput.

“Lho, di sini rupanya? Kirain tadi di lobby, soalnya tadi orang tua kamu titip pesan buat nganterin kamu pulang, mereka nggak bisa jemput karena radiator mobilnya bermasalah dan kamu katanya nunggu di lobby”

Suara itu... Ya, aku mengenal suara itu. Suara dari seseorang yang terakhir aku pikirkan untuk menyelamatkanku dari para maniak ini. Suara dari seorang pria biasa saja bernama Leon. Salah seorang dari maniak ini seperti tidak terima dengan kehadirannya namun ditahan oleh temannya. Tak lama, mereka pun meninggalkan kami berdua.

“Kamu nggak apa-apa?”

Ia memastikan keadaanku. Secepat kilat aku memegang tangannya, aku sangat berterima kasih padanya. Meskipun alasannya menyelamatkanku dengan sedikit berbohong. Namun aku merasa lega entah mengapa. Dan ia mendadak menawarkan dirinya untuk mengantarkanku pulang. Demi memastikanku pulang dengan aman alasannya. Aku bingung saat itu... ah, bukan bingung. Gugup lebih tepatnya. “Emang kakak tahu rumah aku” kataku menyelidik sedikit dengan nada menggoda. Lalu aku menyebutkan alamat rumahku. “Speaking of the devil, rumah kamu dan rumahku tidak terlalu jauh jaraknya” Hmmm... apakah semesta sedang bercanda dengan aku? Tanpa pikir panjang aku menyetujuinya.

Kami mengobrol di tengah perjalanan untuk mencairkan suasana. Aku semakin nyaman memeluk pinggangnya. Dan seingatku, Leon hampir menabrak seekor Kucing. Ia menekan rem motornya dalam-dalam setelah aku berteriak. Hal itu membuat tubuhku merapat padanya, pelukanku makin mengerat dan hatiku makin tidak karuan ketika ia berkata “kamu nggak apa-apa?” dan menatap mataku. Sungguh tatapan teduhnya membuat jantungku berdegup kencang. Wajahku terasa panas tiba-tiba. Cepat-cepat aku memikirkan cara untuk segera mengakhiri suasana kikuk ini... Ah, kucing itu!.

Segera aku berlari ke arah kucing malang itu, aku menggendongnya ke tempat yang lebih aman. “Uuuh... sayang, kamu nggak apa-apa kan?” aku mengajak kucing itu seolah ia mengerti bahasaku. Sungguh aku merasa sangat kasihan dengan kucing itu, mengingatkanku dengan Coco, kucing peliharaanku di rumah. “Nah, hati-hati ya kucing manis” kataku setelah merasa cukup aman, lalu aku mengelus kepala Kucing itu dan meninggalkannya. “Yuk kita lanjut lagi” ajakku yang langsung Leon turuti.

Sepanjang sisa perjalanan, aku tidak canggung memeluk pinggangnya. Hangat tubuhnya, wangi parfumnya... Hingga tanpa sadar aku mengucapkan...

“Nyaman...” Ya, aku nyaman berada di dekat Leon. Meski sebelumnya aku hanya mengenalnya sambil lalu, tapi mengapa aku sudah merasa dekat dengannya ya?

“Eh, apa Lid?” Sial, dia dengar ya? Ah... gimana ini?

“Ah nggak kak, cuma takut jatuh aja” kataku sambil melihat ke arah lain. Bodoh, kenapa aku jadi salah tingkah begini. Sekelebat aku melihat Leon tersenyum mempertlihatkan barisan gigi putihnya yang rapi bak model iklan pasta gigi. Ihhhh... makin gemas aku dibuatnya.

Tidak lama setelah itu, kami sudah sampai di depan gerbang rumahku. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih pada penyelamat malamku ini.

“Thank you so much, kak. Nggak kebayang deh kalo aku pulang sendirian tadi” ucapku. “No problem, kebetulan aja tadi lewat” balas Leon

Sebenarnya aku tidak ingin malam itu berakhir begitu saja. Aku harus meminta kontaknya pikirku. Penuh keraguan, aku pun memberanikan diri “Uhm, kak... boleh minta kontak ga?”.

“Hah, buat apaan?” Leon terheran

“Ya... siapa tahu aku butuh delivery order kalo lagi lapar heheh” kataku dengan sedikit geli. Sebuah alasan yang tidak masuk akal tetapi menurutku cukup ampuh. Dan memang terbukti. Leon mengambil ponsel keluaran Apple terkini yang aku sodorkan padanya dan mulai mengetikkan kontaknya. Tak lama setelah itu, ia berpamitan kepadaku. Perlahan motornya menjauh dari tempatku berdiri saat ini. Serasa tak ingin beranjak sampai ia berbelok ke kiri di tikungan.

Setelah aku membersihkan diri, aku cepat-cepat meraih ponselku, mencari kontak Leon di daftar pertemanan baru lalu mengetikan kata-kata...

“Hai, kang ojek” Ketikku setengah bercanda

“Hai, om cantik” Ah dia bales

“Ihhh jahat!” aku membalasnya dengan menyisipkan emoji marah.

“Kok belum tidur?”

“Masih belum ngantuk, kamu sendiri?”

“Udah ngantuk, tapi masih harus nyelesein tugas UAS dulu, tinggal dikit kok”

“Oh, ya udah gih buruan beresin tugasnya”

“Siaaaap!”

Hmmm... segini aja? Ayo dong bales lagi... aku cukup senewen dibuatnya. Dengan sadar aku mengetikkan kata-kata di kolom chat...

“Selamat bobo, mimpi indah ya...” ditutup dengan emoji cium dan hati berwarna merah. Eh... barusan aku ngapain sih? Ku baca kembali chatku tadi... Ih, kok aku agresif banget ya? Ah, bodo amat!. Aku sepertinya mulai menyukai Leon.

-o00o-

Kalau diingat kembali, rasanya pertemuan kami cukup sederhana. Hubungan kami pun mengalir begitu saja. Aku dan Leon mempunyai banyak kesamaan terlebih dari selera musik. Bagiku, ia mempunya wawasan musik yang cukup luas. Mungkin hanya ada 2 tipe musik yang ia sukai, yang enak didengar dan enak sekali di dengar. Tak hanya itu saja, sifat-sifat perhatiannya juga membuatku makin jatuh hati. Ya, meskipun dia sedikit tidak peka.

Namun puncaknya adalah saat aku memaksanya untuk mengantarku pulang dan berakhir dengan hujan mendadak yang datang di tengah perjalanan. Kami pun terpaksa menepi di halte sembari menunggu hujan reda. Aku merasa kedinginan akibat hujan yang menerpa kami. Dengan sigap, Leon memakaikan jaket hoodie Paramore-nya dan mendekapku. Perlakuannya padaku inilah yang makin membuatku jatuh hati. Nafasku berat, yang jelas wajahku sangat panas dan mungkin sudah merona kala itu. Oh, Leon...

“Kayaknya kalo harus langsung ke rumah kamu kejauhan, dari pada kamu makin kedinginan, mampir ke rumah aku sampai hujan reda ya?”

Katanya saat itu. Dan aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. Entah mengapa aku mengiyakan tawarannya. Aku seperti dihipnotis oleh kesederhanaan dan ceplas-ceplosnya. Tak lama kami menerjang hujan, sampailah kami di rumah Leon.

Rumahnya cukup rapi bagi seorang laki-laki. Mungkin didikan orang tua yang membuatnya bisa seperti sekarang ini. Tak lama, Leon membawakan t-shirt Motorhead dan celana untukku. Ya, celana perempuan. “Lid, nih ganti baju dulu, kalau mau mandi, pakai kamar mandi di pojok, kamu bisa pakai mesin cuci aku buat ngeringin baju kamu” begitu katanya. Dan memang celana perempuan itu milik kakak iparnya yang sekarang mengikuti suaminya berdinas di Jogja. Aku pun mengiyakan penawarannya.

Sembari menanti pakaianku mengering di mesin cuci, otakku terus menerus memikirkan sesuatu yang seharusnya terlalu cepat untuk diungkapkan. Batinku berkecamuk antara kepercayaan fans dan perasaan sayangku yang mendadak tumbuh ini. Ya, aku mencintai Leon sejak kejadian itu. Apa aku harus nembak dia sekarang juga? Pertanyaan itu yang terus berputar di kepalaku.

“Lid, minum teh dulu gih, tuh udah di meja” suara Leon mengejutkanku

“Eh, Iya, kak nanti aku ke sana” jawabku canggung

“Kamu udah ngabarin orang tua kamu belum?”

“Udah, kok. Tadi pas kakak di kamar aku telepon Ayahku , aku bilang masih nunggu hujan reda di kosan Kak Yona” begitulah alasanku, meski sedikit berbohong

“Syukurlah kalo begitu. Biar orang tua kamu nggak khawatir jam segini kok anak gadisnya belum pulang, tapi jangan sering bohongin orang tua, dosa lho. Oke, aku tunggu di meja makan ya?”

Ya, ini saatnya. Aku harus mengungkapkannya. Sekarang atau tidak sama sekali. Tapi... bagaimana mengatakannya? Lidahku kelu seketika. Ah, masa bodoh!

Saat Leon akan berbalik, buru-buru aku menarik lengannya. Maksudku untuk menghentikan langkahnya... Eh, lho... kok dia jatuh ke arahku... eh, jangan...

Dan... bibir kami saling bertemu tanpa sengaja. Hey, bukan ini maksud aku... ah, bagaimana ini. Mata kami terbelalak. “Eh maaf Lid, aku... a-aku... ng-nggak sengaja... Maaf... maaf banget” Seru Leon dengan mengarahkan pandangan ke arah lain. Kecanggungan ini membuatku menjadi berani melakukan sesuatu yang lebih dari kebiasaanku. Ku pegang kedua pipinya, wajahnya terlihat bersemu merah, perlahan ku tarik dirinya ke arahku, jantungku mulai berdegup lebih kencang, nafasku mulai berat dan kembali bibir kami bertemu.

Bukan ciuman biasa. Ciuman agresif atas dasar rasa cintaku padanya. Aku merapatkan tubuhnya padaku. Ku genggam tangan kanannya dan melingkarkan tangan kanannya di pinggangku. Ih, kenapa aku yang jadi nafsu begini ya? Sedang Leon sangat pasif. Ide nakal pun terlintas, ku remas penisnya dengan kencang. Hal itu membuat Leon mengerang dan terpaksa membuka mulutnya. Tanpa pikir panjang, lidahku mulai meraba rongga mulutnya, mencari lidahnya dan segera menautkannya.

Aku makin terbawa suasana. Suara desahan dan cecapan bibir kami menggema di ruangan kecil ini. Aku pun mengarahkan tangannya pada aset berhargaku. Payudaraku. Aku rela jika dia yang menjamahku. Ya, tubuhku hanya untuk Leon. Ditengah makin panasnya suasana, tiba-tiba...

“DHUAAAARRRR!”

Gelegar petir menghentikan gelegak nafsu kami. Sepertinya Zeus iri dengan apa yang kami lakukan sehingga ia melempar salah satu petirnya. Dan suasana penuh nafsu perlahan berganti menjadi suasana penuh kecanggungan.

“Sorry, Lid... a-aku...” sesal Leon dan ia pun pergi meninggalkan aku yang mematung dan bertanya “Tadi aku ngapain sih? Nggak gini harusnya”. Suara-suara penyesalan bermunculan dalam kepalaku. Mengalahkan bunyi mesin pengering dan derai hujan lebat di luar menghantam bumi.

-o00o-

Penyesalanku masih terus berputar-putar. Walau aku sangat menikmati ciuman panas tadi, namun rasa bersalahku masih terlalu kuat. Aku yang sedari tadi hanya menatap cangkir teh yang kini telah mendingin, sambil merenungi kebodohanku. Dasar, bodoh! Bodoh! Bodoh!. Tak henti-hentinya aku terus mengutuk diriku sendiri. Ditengah kesibukannku mengutuk diri sendiri, terdengar suara kenop pintu terputar. Leon keluar dari salah satu kamar lalu menghampiriku dan duduk di sebelahku.

“Kak...” “Lid...” ujar kami bersamaan. Dan kembali hening.

“Uhmmm... sepertinya hujannya makin deras dan sepertinya lama redanya... lebih baik kamu menginap dulu di sini, kamu bisa pakai kamarku. Biar aku duduk di sofa depan TV” ungkap Leon. Aku masih terdiam tidak menanggapi tawarannya. Pikiranku masih mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. “Maaf soal yang tadi...” aku meminta maaf tanpa menatapnya. Aku terlalu takut untuk melakukan itu.

“Aku yang seharusnya minta maaf, aku terbawa suasana, sebagai laki-laki, aku sudah kurang ajar terhadap kamu”

“Lupakan aja, kak. Akunya juga yang salah” balasku memberanikan diri menatap matanya dalam-dalam. Ia nampak gugup. Ia salah tingkah. Akunya makin sayang hahaha. “Kamu sudah kasih kabar ke orang tuamu?” Tanya Leon yang ku balas dengan anggukan yang meyakinkannya. Lalu Leon mengantarkan ku ke kamarnya. Sebuah kamar yang terhitung cukup rapi untuk seseorang pemuda yang tinggal sendiri. Kamar itu penuh dengan poster-poster band yang di pigura, koleksi musik dari CD, kaset hingga piringan hitam tersusun rapi di beberapa rak. Aku sendiri sudah merasa nyaman walau baru beberapa detik di sini.

“Oke, selamat tidur, Lid...” ucapannya tidak ku tanggapi dan cepat-cepat ku tutup pintu kamarnya. Aku yang bersandar di pintu masih memutar penyesalan yang aku lakukan tadi. “Selamat tidur juga, kak... semoga mimpi indah” kataku dibalik pintu yang ku buka sedikit. Leon hanya hanya menengok dan tersenyum simpul.

Hujan masih mengguyur dengan angkuhnya. Dan aku masih belum bisa tidur. Tiba-tiba aku mendengar suara pintu yang dibuka dengan hati-hati. Aku pun berpura-pura sudah terlelap. Ku rasakan selimut mulai melapisi tubuhku. Aku merasa jemari seseorang sedang merapikan rambutku yang terurai menutupi wajahku...

“Sepertinya aku mulai menyayangimu”

Begitu kata orang itu yang aku yakini adalah Leon. Aku melonjak kegirangan dalam kepura-puraanku. Ya, aku hanya pura-pura tidur tapi perasaanku pada Leon itu nyata. Bukan sebuah kepura-puraan.

“Aku juga mulai sayang kamu, kak” bisikku lirih sesaat ia menutup pintu.

Hmmm... setelah aku ingat-ingat, rasanya seperti baru kemarin saja kejadian di malam itu. Hmmm... ada apa lagi ya di dalam kotak rahasia Leon ini... Eh, photopack ini... Ini kan Photopack waktu aku jadi undergirls “Hikaeme I Love You!”. Ah, kejadian itu...

-o00o-


Aku ingat saat itu aku sedang duduk berdua di halaman belakang basecamp kami bersama Kak Yona... Ah, aku jadi kangen Kak Yona deh. Aku saat itu sedang mencurahkan segala kegundahanku karena Leon.

“Kak...” panggilku memulai sesi curhatku

“Hmmm... apa?” balas Kak Yona tanpa menatapku. Ia sibuk dengan ponsel-nya, jemarinya lincah mengetik huruf demi huruf pada seseorang. Entah siapa itu. Dari ekspresinya, senyumnya yang terkembang, ia sedang berkomunikasi dengan orang yang sangat berarti.

“Iiiih... dengerin gue dulu!” aku merajuk dan melempar bantal sofa di sebelahku.

“Heh! Apa-apan sih lempar-lempar, ganggu aja sih lu!” ketusnya lalu melempar balik bantal itu namun berhasil ku hindari.

“Gue mau curhat...”

“Curhat apa?, kalo nggak penting nggak usah deh, gue lagi sibuk” lagi –lagi ia masih ketus padaku

“Dengerin dulu!” seruku yang kemudian merebut handphone-nya dan ku sembunyikan di belakang punggungku.

“Eh, rese lo ya, sini balikin handphone gue!” umpatnya sambil berusaha menggapai handphonenya. Aku sempat beberapa detik bergulat dengan Kak Yona yang bersikukuh meminta handphone-nya kembali

“Gue balikin, tapi dengerin gue dulu, penting!”

“Aduuuh... iya deh terserah lo, buruan!” Kak Yona akhirnya menyerah dengan muka masamnya. “Kak, kayaknya gue jatuh cinta deh...” ujarku mantab.

“Hah? Serius lo? Ga salah?” tanya Kak Yona terheran dengan ucapanku. “Sama siapa?” sambungnya seraya mendekat padaku.

“Uhmmm... itu... gue malu kak”

“Hadeuuuh lama deh, gue tinggal nih, mana hape gue sini!” Kak Yona bangkit dari duduknya. Buru-buru aku menahannya “Iiiih... dengerin dulu, iya-iya... Dia... Leon kak“

“Apa? Si Leon? Stage manager kita? Lo sehat kan?” heran Kak Yona sambil menyentuh keningku. “Apaan sih, gue sehat kali... Mungkin buat lo aneh, tapi gue berasa nyaman kalo dekat sama dia” kilahku

“Lid, dia itu staff lho, profesional dikitlah. Oke, lo tahu gue kan? Gue nggak akan macarin temen kerja sendiri. Bahaya buat karir lo juga”

“Tapi kita nggak bisa mengendalikan sama siapa kita jatuh cinta kan?”

“Hmmm... iya juga sih” Kak Yona mengangguk sambil menopang dangunya dengan satu tangannya.

“Jadi, gimana... ?” Kata Kak Yona ingin tahu

“Ya gitu deh kak Yon, gue bingung banget. Di satu sisi gue nggak mau bikin fans kecewa tapi gue juga nggak bisa bohongin perasaan kalo gue suka sama Kak Leon!”

“Terserah lo sih, Lid. Gue Cuma bisa dukung segala keputusan yang terbaik menurut lo. Kalo lo mau tetap ikutin aturan, itu bagus. Tapi kalo lo mau perjuangin cinta lo, silahkan. Tapi dengan catatan lo harus main rapi. Kan lo tahu dulu gue kenapa sampai “di-skors”?” urai KakYona.

“Kalo lo udah yakin, ungkapin aja perasaan lo, ga usah lama-lama. 2017 udah nggak zaman laki-laki nembak duluan. Perempuan juga harus aktif. Percuma RA Kartini nulis surat ke Belanda buat memperjuangkan kesetaraan gender” Hmmm... Ada benarnya juga kata-kata Kak Yona.

“Atau kalo lo ragu sama perasaan dia, lo jebak aja hahaha”

“Heh? Jebak gimana maksud lo?”

“Aduh, Lidya ku sayang... gue becanda kali. Serius amat” gemas Kak Yona seraya menoyor jidatku pelan. Tapi, menjebak Leon? Bagaimana caranya?

“Ahhhhh... dasar cowok gemesin! Bikin gue ga jelas aja!” Kesalku

“Tapi sayang kan?” Goda Kak Yona dengan alis kananya sedikit terangkat dengan sedikit menyeringai. “

Detik itu juga, Leon keluar dari dalam ruangan. Seketika aku salah tingkah dibuatnya. Padahal ia berdiri 2 meter di depanku, tapi aku merasa tidak karuan saat itu.

“Panjang umur, baru juga diobrolin, orangnya datang” celetuk Yona.

“Apaansih, nenek tuwir!” Aku mendengus sekaligus menyikut lengannya.

“Lho, ada Yona sama Lidya, udah selesai foto-fotonya?” Leon berbasa basisambil menghembuskan asap rokok. Huh, aku benci perokok. Tapi di sisi lain, aku sayang dia. Eh, tunggu dulu... sepertinya aku tahu bagaimana cara menjebak Leon“Udah dari tadi, udah ganti baju juga nih kita” jawab Yona.

“Ada apa, Lid? Kok lihat aku kayak lihat musuh aja?” ujar Leon saat aku menatapnya dengan rasa amarah yang sebenarnya bukan dari hatiku.

“Kenapa sih kamu ngerokok? nggak sehat” sergahku penuh penekanan.

“Oh, iseng aja...” jawabku singkat.

“Dasar laki-laki nggak peka, mati aja lo sana” balasku sok kesal. Aku pun bangkit berdiri lalu memasuki ruangan di mana tasku berada. Sembari aku memesan jasa taksi online. Beruntung saat itu ada yang menerima orderku. Dengan tergesa-gesa aku keluar menuju pintu pagar. Belum sampai pintu pagar, tanganku digenggam oleh Leon. Cukup kuat, namun tidak sampai menyakitiku.

“Ih, apaan sih lepas!” seruku mencoba memberontak. “Tunggu dulu, kamu ini kenapa sih, marah-marah ga jelas, Oke... kalau aku salah, aku minta maaf sama kamu, tapi jelasin dulu kenapa kamu marah kayak gini?” Leon berseru tak kalah tegas.

“Bodo...”

“Lid, jangan kayak anak kecil lah”.

“Kamu mau tahu apa yang bikin aku kesel?” tanyaku penuh amarah kepura-puraan.

“Iya, terus? Apa yang bikin kamu ngambek nggak jelas gini?” balas Leon

“Pertama karena kamu merokok...”

“Yang kedua?”

“Yang kedua kamu kenapa jaga jarak sama aku sekarang, puas? Sekarang lepasin tangan aku, mobil online aku udah nunggu di depan” ujarku berusaha menepis genggaman tangannya pada lenganku.

“Oh, satu lagi... karena aku sayang kamu” dan aku tak menyangka aku mengeluarkan kata-kata itu. Tanpa berlama-lama, aku segera menuju mobil online-ku yang telah menunggu dan beberapa kali membunyikan klaksonku. “Mbak Lidya ya?” Sapa sang supir. “Iya pak, jalan sekarang” pintaku pada sang supir dan mobil pun berjalan perlahan. Leon berkali-kali mengetuk jendela mobil meminta penjelasan dariku. “Mbak, perlu saya berhenti? sepertinya teman mbak mau bicara” ujar sang supir. “Nggak usah pak, jalan terus aja” ujarku datar.

Di sisi lain, aku merasa kasihan dengan Leon yang tidak menyerah mengejar mobil ini. Maafkan aku, sayang. Aku harus melakukan ini. Demi aku dan kamu menjadi kita. Selamanya.

End of Part 1.
 
Terakhir diubah:
Mengenang Senang (Lidya's Sidestory pt. 2)


Tiba juga di rumahku, dan kini aku terbaring di atas ranjang empukku, berkali-kali aku memeriksa handphone-ku, tidak ada tanda-tanda Leon menghubungiku. Detik berganti menit hingga hitungan jam. Tetap belum ada respon dari tindakanku tadi. “Iiiih... kenapa sih nggak ada respon, dasar laki-laki!” aku gusar sendiri jadinya.

“Ting!”

Sebuah notifikasi chat muncul. “Aku ke rumah kamu sekarang”. Kalimat singkat, padat dan jelas. Yes! Ia sudah terperangkap jebakan cintaku. Aku harus bersiap-siap menyambut calon kekasihku.

Selang 30 menit, kurang lebihnya, bunyi bel berdenting dari depan rumah. Hmmm... cepat sekali dia. Aku pun bergegas menyambut Leon. Namun tidak dengan sambutan hangat. Tidak sia-sia aku belajar ekspresi selama aku menjadi member JKT48. Aku bisa menjadi apa saja dalam sekejap. Dan kini aku menatapnya tajam dari jarak beberapa meter. Ia namapak gusar dari balik pagar rumahku.

“Mau ngapain lo?” ketusku dengan ekspresi malas-malasan.

“Aku pengen ngomong sesuatu sama kamu” ujar Leon mengiba. Aku hanya bisa tertawa dalam hati melihat raut wajahnya. Terlihat lucu untukku

“Kayaknya ga ada yang perlu diomongin deh, semua udah jelas” balasku tak kalah ketusnya.

“Lid, please...” ia memohon lagi. “biarin aku masuk dan menjelaskan sesuatu”.

Aku pun sedikit memutar bola mataku dan membuka gerbang. Mempersilahkan pangeranku ini masuk.

Detik demi detik berlalu dalam diam. Aku masih bertahan dalam akting muramku. Leon masih menunduk karena rasa segannya padaku. “Aku minta maaf, Lid. Bukan maksud aku mau menjauhi kamu...” akhirnya Leon membuka pembicaraan. “Aku hanya bersikap profesional, aku tidak mau memanfaatkan keadaan...” aku menyimaknya dengan tatapan sinisku yang terkenal jahat. Kata teman-temanku sih begitu. Tak jarang teman-temanku segan bercanda denganku ketika aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Padahal aku baik hati dan lucu ini tidak bermaksud seperti itu.

“Aku tidak mau membahayakan karir kamu, aku tidak mau mengkhianati kepercayaan semua orang yang sudah percaya dan mendukung kamu”

“Tapi...” Tapi apa Leon?

“Aku...” Iya, sayang....

“Aku... tidak bisa membohongi perasaan aku kalau...” Kalau apa? Iya bilang aja

“Aku suka kam...” aku memotong ucapannya dengan mengatupkan bibirnya dengan telunjukku. “Sssssst... nggak usah kamu terusin, dan jawabanku adalah iya”

Bagaikan Serigala, aku menerjang tubuhnya dan mencumbu bibirnya dengan ganas. Ya, ampun. Kenapa aku bisa begini ya? Kami bercumbu sangat panas. Aku berada diatas tubuh bidangnya dan mengunci lehernya dengan pelukanku. Sesekali Leon memberontak. “Ahhmmp... Lid, nggak begini caranya... mmpphhh” gumam Leon di sela percumbuan kami. Aku pun menghentikan ciumanku dan mengunci kedua pergelangan tangan Leon di atas kepalanya.

“Kak, aku bisa aja teriak minta tolong sekarang juga dan mengundang tetangga untuk masuk ke sini. Dengan posisi seperti ini, aku yakin mereka akan menganggap kakak sebagai pemerkosa, kakak mau?” ancamku dengan senyuman menyeringai. Sepertinya aku sudah menguasai permainan dan Leon sudah tidak bisa berkutik lagi. “Dan satu lagi... aku sebenarnya nggak marah kok, aku Cuma pura-pura marah biar kakak datang ke sini. Awalnya aku ragu karena orang yang aku sayangi ini kan kurang peka sama dedek luvchu ini” ujarku sambil memasang ekspresi sedih namun menggemaskan. Leon makin terpana ku buat.

“Tapi, akhirnya kamu datang juga, jadi... shall we continue?”

Tiba-tiba ia mendorongku, membuatku sedikit terkejut dan sekarang keadaan berbalik. “Baiklah, kalau itu mau kamu.” Ujar Leon seolah menantang “Hmmm... kakak nakal ya” balasku sambil mencolek hidung bangirnya itu. Dan kami pun melanjutkan percumbuan kami. Lebih panas, lebih membara dan lebih bernafsu. Aku kegelian saat hembusan nafasnya menyapu leherku. “Ahhh... geli kak... mmpphh... jangan dicupangin... nggghh!” desahku yang makin membuatnya bernafsu.

“Meooong!” suara itu menghentikan percumbuan kami. Rupanya Coco, kucing kesayanganku. Dan kami tersadar bahwa pintu rumah terbuka lebar sekali. “Kita pindah kamar aja yuk” ajakku manja. Tak lupa aku mengunci pintu terlebih dahulu. Lalu aku menggandeng tangan Leon menuju kamarku... Dan sisanya adalah kenangan manis untuk kami berdua.

Entah berapa kali aku mencapai klimaks oleh Leon. It was a wild night I’ve ever had. Dan ia sempat panik ketika tiba-tiba bangun pada pukul 3 pagi. Ia mengira keluargaku sudah pulang ke rumah. Padahal keluargaku semua sedang pergi keluar kota.

“Lengan kamu kekar, aku nyaman meluknya” celetukku sambil sesekali aku memainkan jemariku di dada bidangnya. Menghirup sisa wangi parfum yang bercampur dengan peluhnya semalam, bagaikan candu yang memabukkanku.

“Apa sih, pegel nih kamu peluk terus” protes Leon

“Ahhhh... nggak mau, bentar lagi aku masih mau meluk” rengekku ketika Leon ingin menarik lengannya.

“Kamu ini, manja banget...”

“Biarin, salah sendiri bikin sayang”

“Kamu ini, bentar dulu... pegel banget ini” Aku pun melepas pelukanku. Aku menekuk bibirku tanda tidak berkenannya diriku, namun ternyata ia malah merangkul tubuhku untuk lebih mendekat pada tubuhnya. Kini aku bersandar pada dada bidangnya. Aku bisa mendengar helaan nafas lembutnya bahkan degup jantungnya. Lengan kekarnya melingkar di pundakku. Oh, rasanya sungguh nyaman. Sesekali ia mengusap pundakku, mencium rambutku. Bagaimana bisa aku tidak mencintai orang seperti Leon? Hanya orang bodoh yang tidak mau kenyamanan seperti yang aku dapat kala itu.

Kami bercengkerama selama beberapa jam hingga kami tertidur dengan sendirinya.

-o00o-
Aku terbangun dengan sendirinya karena dingin AC yang menyentuh tubuh telanjangku. Rupanya matahari sudah bersinar terang di luar dan berkas sinarnya memasuki kamarku lewat sela-sela gorden. Aku mendapati Leon sedang duduk di tepi ranjangku. Segera aku menghampirinya dan melingkarkan sebelah tanganku untuk memeluk perut rata-nya. ”Sayang, mandi dulu ya? Aku mau nyiapin sarapan dulu buat kamu” perintahku yang disusul dengan kecupan lembutku di pundaknya. Leon pun mengangguk dan tersenyum memaerkan barisan gigi rapinya yang makin membuatku semakin jatuh hati.

“Handuknya ada di rak kamar mandi ya, yang wangi, jangan swalayan juga” godaku.

“Iya bawel!” dengusnya yang disusul oleh gelak tawaku.

Dengan hanya mengenakan kemeja abu-abu oversized, aku menuju dapur untuk memasak sarapan untuk kami berdua. Hmmm... kalau dipikir-pikir, aku sudah selayaknya istri buat Leon. Ahhh... semoga menjadi kenyataan suatu hari nanti.

Aku memeriksa bahan-bahan yang ada di lemari pendingin. Hanya ada sedikit bahan rupanya. Hanya satu pack sosis dan beberapa butir telur saja. Nasi Goreng mungkin adalah pilihan tepat dan paling cepat. Segera aku menyiapkan segala bahan untuk diracik.

Selang beberapa lama, Nasi Goreng dan Telur dadar tersaji di meja makan. Tak lupa aku menyeduh kopi hitam tanpa gula. Aku tahu kesukaan Leon karena kebiasaannya baik di Teather atau event luar kota selalu memesan kopi hitam tanpa gula yang ku ketahui belum lama ini.

Rupanya Leon telah duduk di meja makan tanpa sepengetahuanku. Ia sudah nampak rapi dengan rambut undercut kelimisnya meski menggunakan kaos dan jeans saja. “Mas, di minum dulu nih kopinya, tanpa gula kan?” tawarku pada Leon yang nampak heran ketika aku menyisipkan sebutan “Mas”.

“Mas? Kesambet setan pohon asem mana kamu?”

“Pengen aja, itung-itung belajar jadi istri berbakti, ya semoga suamiku kelak... itu kamu hahaha” Apa-apaan aku ini, bisa-bisanya berkata seperti itu. Ah, namanya juga jatuh cinta. Logika semasuk akal apapun akan dibolak-balik.

“Eh... nggak usah Lid, aku bisa sendiri kok” sergah Leon melarangku yang berinisiatif mengambilkan Nasi Goreng untuknya. Ia masih berkeras untuk mengambil sendiri namun tetap ku cegah... Duh, istri idaman banget nggak sih gue pagi-pagi udah melayani orang yang terkasih... begitulah pikiranku saat itu.

“Cukup?”

“Ah, iya lid... cukup, nggak usah banyak-banyak. Aku nggak biasa sarapan dengan porsi banyak”

Leon kemudian menyendok Nasi Goreng special buatanku. Jantungku sedikit terpacu, takut masakanku tidak enak. Bisa dibilang aku di rumah jarang sekali memasak. Paling juga Mie Instant saat lapar tengah malam melanda.

“Gimana? Enak nggak mas?” Tanyaku penuh rasa penasaran. Ia hanya mengacungkan jempol. Ah, syukurlah masakanku sukses juga meski sederhana. Ia sangat lahap menghabiskan Nasi Goreng di piringnya. Aku hanya memperhatikan Leon terus menerus hingga tanpa sadar aku senyum padanya dan di balas oleh senyum manisnya.

Tidak butuh waktu lama, seporsi Nasi Goreng telah ia habiskan tanpa tersisa.

Setelah sesi sarapan yang menyenangkan tadi, kami kini sudah berada di depan pintu rumahku. Menghantar Leon untuk berkegiatan hari ini“Lid, aku pamit dulu ya...” ucapnya singkat. “Iya mas, hati-hati ya di jalan, yang semangat kerjanya...” balasku yang tak lupa memberi senyuman terbaikku.

Saat ia akan menuju motornya, tanganku menarik Leon dan memeluknya dengan erat. Erat sekali seakan aku tidak ingin dia pergi sekarang. Aku masih ingin berlama-lama dengannya. Aku sangat membutuhkannya. Aku sangat ingin bergantung dengannya.

“Jangan pernah jauh dari aku, mas... Adek butuh Mas disamping adek, Adek butuh Mas buat semangat adek menjalani hidup” Ungkapku penuh keyakinan. Ia pun membalas pelukanku tak kalah eratnya, namun lembut “Iya, adek... Mas akan selalu ada buat kamu. Mas nggak akan biarin adek sendirian, Mas... janji” ucapannya membuatku makin terbuai. Wangi parfum white musk-nya yang lembut memenuhi rongga pernafasanku. Aku nyaman. Nyaman sekali.

Aku menengadahkan kepalaku, memejamkan mataku dan “Cuuup!”. Bibir kami saling bertemu. Sebuah ciuman tulus yang makin meyakinkanku untuk terus bahagia dengannya. Namun, aku merasa ada pergolakan batin saat itu juga. Aku sadar bahwa aku adalah seorang idol yang berjanji untuk tidak memiliki seorang kasih. Tapi, aku seorang wanit yang ingin dicintai tulus oleh orang yang aku sayang. Leon terlalu sempurna untuk aku lewatkan begitu saja. Aku tahu ini sangat berisiko, tapi aku akan menjalaninya. Terserah apa yang akan terjadi di tengah perjalanan ini. Aku tidak tahu dan tidak ingin mengetahuinya. Aku bahagia dengannya. Aku cinta Leon. Itu saja, Tidak kurang, tidak lebih.

Ciuman pagi itu terpaksa aku akhiri meski sangat berat. Leon telah bersiap memacu motornya. “Bye, Lid” ujarnya seraya melambaikan tangannya dan ku balas dengan senyuman.


-o00o-


Hmmm... kalau dipikir-pikir, hidupku makin lebih bergairah setelah bercinta pertama kali. Aku makin semangat menjalani kegiatan. Aku jadi punya motivasi untuk imbangi akademik dan karirku. Sama seperti lirik Shonichi yang masih ku hafal sampai saat ini “Imbangi sekolah beserta latihan...”. Dan kami bercinta setiap kali kami ada kesempatan.

“Ahhhmmm.... Ayo, Mas.... kita nggak punya banyak waktu” desahku

“Ughmmm... Ahhh... Lid, kamu yakin di sini? Gila kamu, kalo ketahuan gimmmmmhhh...” Ku potong ucapannya dengan bibirku. Saat ini aku dan Leon sedang berada di salah satu bilik toilet di lantai F7. Yang sering disebut “Toilet Legendaris”. Aku pun tak tahu alasannya apa, aku mendengarnya dari pembicaraan para fans yang entah sengaja atau tidak duduk di meja tempatku dan teman-temanku biasa makan di foodcourt. Dan aku juga tidak tahu alasanku bisa senekat itu melakukan sex kilat di toilet. Terlebih ini adalah toilet pria, gila bukan? Sepertinya Leon telah membangkitkan sisi liar dalam diriku. “Ugghhh.... makanya cepetan jangan lama-lama” rengekku manja.

Tak lama, ia pun membuka kancing jeans dan mengeluarkan penisnya yang sudah menegang. Tidak ada waktu untuk menelanjangi diri kami masing-masing. “Ahhhh... Lid, iya di situ... Arghhhmmmp!” Leon menutup mulutnya untuk mengurang lenguhannya akibat oralku. “Hmmmmpp.... slurrrp... Hoeeeekhhh... Ahhh” suara-suara menggairahkan yang muncul akibat teknik oral deepthroat yang ku pelajari dari film-film porno yang ku download sendiri atau mengcopy dari teman sesama member atau kuliah, menggema di toilet ini. Hey, aku juga manusia yang butuh pelampiasan saat aku sendiri bukan?. Liurku berleleran, membasahi penis Leon, cukup untuk melumasi vaginaku yang belum cukup basah.

“Masukin sekarang, sayang” ujarku dengan nafas yang berat. “K-kamu yakin, Lid? Aku takut kamu kesakitan... Ahhhh” kembali perkataan Leon terpotong karena kerajinan tanganku yaitu mengocok lembut penisnya. “It’s okay honey, I can handle it” ujarku meyakinkan. Aku pun duduk pada kloset dan segera menyibakkan dress berbahan loosy dan menanggalkan celana dalamku. Leon perlahan menggesekan penisnya di mulut vaginaku, menyisir lendir vaginaku untuk memperlancar penetrasi. Ah... Leon, sayang... di saat seperti ini, kamu masih mengutamakanku. Bagaimana aku tidak mau jauh dari kamu jika selalu kamu perlakukan selembut ini?

“Uhhhmmmp!” desahku tertahan saat penis Leon memasuki organ vitalku sedikit demi sedikit. “Ughhh... mentok banget sayang” bisiknya setelah berhasil memasukkan penisnya, Terasa sangat penuh. “Ayo, sayang... jangan lama-lama... aku udah nggak tahaaannnhhh” kembali aku mendesah. Leon yang tiba-tiba mengayunkan pinggulnya membuatku terkejut.

“Iihh... nakal, mulai nggak bilang-bilang!” sungutku.

“Awhhh.... sakit sayanghhh” pekik Leon yang ku cubit perutnya.

“Iyahhh... terus sayanghhh, lebih cepet lagiiihhh... iyahhh, begitu... ougghhhh! Mmmph” terpaksa aku menahan desahanku dengan tanganku karena takut ada orang yang curiga. Quickie di tempat seperti ini makin membuat adrenalinku naik, nafsuku sudah tidak terbendung lagi. Aku mulai menggerakan pinggulku seirama dengan ayunan Leon.

“Ehhhmmmppphh... yeah, baby...” desah Leon tepat di telingaku. Hembusan nafasnya terasa di leherku. Ia mengecup leherku yang makin membuatku makin rapat memeluknya. Leon meremas lembut payudaraku yang masih terbungkus pakaian lengkap. Membuat gairahku makin tinggi.

“Plak! Plak! Plak!”

Bunyi tumbukan selangkangan kami makin menggema. Aku sudah tidak peduli dengan sekitar. Masa bodoh dengan siapa yang ada di luar. Apa yang terjadi terjadilah.

“Oughhhhmphhh! Mmmmmyeahhmmm” lenguhku di antara cumbuan liar Leon. Lidah kami menari-nari, ludah kami saling bertukar, sungguh kenikmatan yang tidak bisa diungkapan dengan kata-kata. Leon pun semakin cepat mengayunkan pinggulnya. Aku makin merasa akan mencapai puncak.

“Ughhh sayang, terus sayanggghhh... aku mau nyampe” bisikku lirih tepat di telinganya.

“Iyaghhh... aku... a-aku juga mauhhh... ough!”

“Iya terus, lebih cepathhhh sayanghhh!” dan akhirnya...

“Wah parah lo hahaha... oshi sendiri lo mesumin!”

Gelak tawa tersebut membuat kegiatan laknatku dengan Leon berhenti. Mati! Kenapa harus di saat seperti ini? “Ssssst... kamu diam, sayang. Tenang” bisik Leon yang kini tengah menutup mulutku dengan telapak tangannya. Aku yang tengah panik sekaligus merasa tanggung karena batal orgasme hanya bisa menatap mata teduh Leon dan mengangguk. Penis Leon pun masih tertancap pada vaginaku. Sungguh posisi yang tidak mengenakkan. Ih cepetan pergi kek! Nanggung nih ah!

“Yaelah, namanya juga laki, bro. Wajarlah kalo mesum. Apa lagi Lidya beuhhh... cantik bener sekarang haha” tukas salah satu orang yang rupanya adalah fansku sendiri. Saat itu juga, aku merasa kehilangan nafsuku sekaligus merasa bersalah. Tapi aku sendiri tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Pandanganku pun mengarah pada Leon yang sepertinya sangat tidak nyaman dengan suasana ini, terlebih ucapan fansku tadi. Namun ia tetap tersenyum untuk menenangkanku. Cukup lama mereka berada di toilet. Dan aku tidak ingin tahu apa yang mereka lakukan di sini.

“Dah yuk, cepetan udah laper gue. Temen-temen udah nunggu di Mas Poer noh. Barusan gue di-line pada nyariin kita”

“Yaudah yuk...”

Dan perlahan suara langkah kaki pun menghilang.

“Sudah aman sayang, yuk kita lanjut lagi” kataku dan langsung menyambar bibir Leon. “Mmmhhh... Sayang...” sergah Leon yang mendorong pelan tubuhku.

“Kenapa sayang? Ayo kamu juga mau keluar kan?” kataku sambil menggoyang pinggulku.

“Mmmhh maaf sayang, kayaknya kita harus pergidari sini... aku takut semakin lama kita di sini, kita bakal ketahuan, aku nggak mau kenapa-kenapa sama kamu”

“Then I’ll do it quickly!” seruku mendorong Leon dan meraih penisnya yang masih berdiri tegak. Sekuat tenaga aku mengoral Leon. “Argggghhh pelan-pelan lid!” protesnya. “Plophhh! Nggak ada pelan-pelan, kita harus tuntasin di sini” tegasku. Aku makin bersemangat mengoral Leon sambil jemariku memainkan klitorisku. Aku pun terheran mengapa aku sangat bernafsu saat ini.

“Awhhh... Lid, aku m-mau... mau... nggghhhh aarrgh!”

“Mmmmphhh! Nghhhhhh!”

Kami melenguh bersamaan. Kami orgasme bersama-sama. Aku pun berlutut menahan kenikmatan puncak ini dengan penis Leon yang masih terkulum di ujung bibirku.

“Ploppph! Glek!... Mmmmah!” Aku menelan sperma Leon yang terasa gurih.

“Hhhhh... hhhhh... Sorry Lid”

“Mmmhhh... nggak apa-apa... aku senang kalo kamu juga senang”

“Thank you Lidhhh... yuk kita pergi dari sini, Aku yang keluar duluan buat lihat keadaan. Nanti aku chat kalo sudah aman” saran Leon dan aku menyetujuinya. Setelah kami membereskan diri kami masing-masing, Leon pun perlahan keluar dari bilik Toilet.

“Ting!” sebuah notifikasi chat muncul

“Aman, cepetan!” tulis Leon, aku pun tidak membuang waktu untuk segera meninggalkan “Toilet Legendaris” ini. Hmmm, nampaknya beralasan juga jika toilet F7 ini disebut “Toilet Legendaris” karena ada idol yang melakukan quickie di sini hahaha.

Setelah bertemu Leon di depan pintu masuk toilet, aku menatap matanya dan tersenyum. “Terima kasih buat malam ini” Ia hanya mengangguk pelan, tak lupa senyum menawannya. Kami pun berpisah berlawanan arah agar tidak ada kecurigaan. Huft... What a night to remember.

End of Part 2.
 
Terakhir diubah:
Ya, akhirnya update juga. Selamat menikmati. Maaf kalo kurang dari segi penulisan dan segala macamnya:hore:
 
Hhahahahhh toilet legendaris hhhahheh
Cakep mas~
Ldy jahat y. Untung lucu. Btw Ldy di Candy gimana yhaa
 
Wah ternyata ada update baru toh.. mantap suhu.. ditunggu lanjutannya
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Hhahahahhh toilet legendaris hhhahheh
Cakep mas~
Ldy jahat y. Untung lucu. Btw Ldy di Candy gimana yhaa

Ga gimana2... Karena memang sudah sepatutnya dia luvchu

akhirnya update juga

Akhirnya ya... Dengan segala kemagerannya...

Wah ternyata ada update baru toh.. mantap suhu.. ditunggu lanjutannya

Makasih udah mau mampir gan hehehe

toliet legendaris di bahas lagi, jadi inget yang hehe hehe...

Opo iki?

yasssh yg dikangenin nongol lagi.. Ntab nih mbaklid memorinya;)

Terima kasih, semoga memuaskan

Toilet legendaris ya hahahahaha....

Terima kasih atas toilet legendarisnya hahaha

nice.............

Asemik ngono thok ki
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Lihat update story Ldy, lagi nganterin seseorang yang mau belajar ke US....

SEMUA YANG DICERITAKAN DI SINI ADALAH FIKSI BELAKA. BILA TERJADI KESAMAAN LATAR, TEMPAT DAN KEJADIAN, ITU MERUPAKAN HAL YANG TIDAK DISENGAJA
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd