Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA My Fiery Fireworks (Lidya M. Djuhandar of JKT48 Fanfixxx) [TAMAT]

Bimabet
Mengenang Senang (Lidya's Sidestory Pt. 5)


Ketika kamu tidak kuat menahan beban perasaan yang kamu tanggung sendiri, menangis adalah cara terbaik untuk melepaskan beban itu. Meringkuk dan memeluk lutut serta menangis. Hanya itu yang aku lakukan. Namun aku masih merasa beban tersebut masih terasa menyiksa. Dada ini rasanya sesak dengan apa yang terjadi hari ini. Sebenarnya aku bisa saja melepas Leon untuk menuntut ilmu keluar negeri, namun aku tidak sanggup jika berjauhan dengannya. Aku. Tidak. Sanggup. Di saat aku masih asyik dengan segala kegalauanku, seseorang mengetuk pintu kamarku.


“Lid...” panggilnya seseorang dengan suara yang sangat ku hafal. Aku masih tetap tidak bergerak dari posisi awal.

“Lidya, sayang...” kembali ia memanggilku. Masih tidak ku gubris.

“Hufffft... Deee~” Panggil Leon dengan panggilan kesayanganku. Semakin tidak ku tanggapi, semakin besar pula aku tidak ingin melepasnya. Rasa cintaku pada Leon akhirnya menang. Segera aku bangkit dan menuju pintu.

“Aku pulang dulu, sudah larut. Aku minta maaf atas segala ke-egoisanku. Maafkan aku atas kebohongan yang aku lakukan. Aku harap kamu mau memaafkan aku” ucap Leon dari balik pintu. Ingin sekali aku membuka pintu yang membatasi kami ini. Ingin rasanya aku membuka pintu lalu menghambur pada tubuh Leon dan memeluknya erat dan memohon agar ia membatalkan niatnya untuk pergi ke Boston. Namun, aku membiarkan egoku ini menang dan tidak melakukannya. Yang aku lakukan hanya menempelkan tangan kiriku pada pintu seolah sedang menyentuh tangan Leon langsung dan berharap ia melakukannya juga. Aku menangis sejadi-jadinya. Menutup mulutku dengan tangan agar ia tidak tahu betapa aku sangat hancur.

Terdengar langkah kaki Leon yang akan menjauhi kamarku. Pelan-pelan aku membuka pintu sedikit dan melongok. Leon mulai menyusuri tangga untuk segera turun. Ingin mulut ini memanggil namanya namun suara ini tertahan oleh amarah yang mendidihkan darahku. Tubuh ini ingin memeluk Leon tapi ego ini terlalu kuat untuk mengejarnya. Dan aku hanya bisa mematung di balik pintu ini. Kaki ini serasa tidak sanggup menopang segala kesedihanku hingga aku terduduk.

Aku tahu akan terasa hangat jika kamu di sini. Aku merasa aman jika kamu berada di sampingku. Tangan ini tak sanggup tanpa genggamanmu yang mengisi di antara sela jemariku jika berjauhan. Maafkan aku Leon, namun aku tidak bisa menjadi aku yang kamu mau saat ini.

Aku ingin melupakan perasaan ini sejenak. Mungkin dengan mendengarkan musik dapat sedikit membantu. Begitu pemikiranku. Aku mulai mencari-cari ponselku di dalam tas, setelah aku menemukannya, aku langsung membuka aplikasi iTunes, tak lupa memasang earphone lalu memutar acak lagu-lagu yang tersimpan dalam ponselku ini.


“Living by myself

Paranoid as hell

There’s nothing I can do

Yesterday’s tomorrow

My dreams are never true

But somehow...

I keep on loving you”
Nampaknya aku salah menuruti keinginanku. Lagu Phony Ppl. – somehow. Ini langsung terputar tidak sengaja. Lirik demi lirik yang dilantunkan membuatku semakin hancur. Ya, saat ini aku takut kehilangan Leon. Namun aku tidak bisa apa-apa. I hate him right now... but somehow, I keep on loving him. Aku memejamkan mata, menikmati lagu yang terus menampar diriku. Sesekali aku terisak sambil memeluk boneka beruang kesayanganku... yang sayangnya adalah pemberian dari Leon... semakin lagu itu mengalun, semakin erat aku memeluk boneka itu hingga akhirnya aku terlelap...

-o00o-


“Bu... Ibu...” panggil sayup si pemilik suara yang aku kenal baik sambil menggoyangkan tubuhku. Sontak mataku yang tengah terpejam sembari menikmati lagu dari iPod ini langsung terbelalak.

“Ibu ngapain tidur di sini? Lho, itu kan...”

“Eh ayah... hehehe” sahutku salah tingkah yang tertangkap basah tengah mengacak-acak kotak rahasia milik suamiku ini, Leon. “Ini... Uhmmm, tadi jatuh waktu beresin kotak-kotak yang nggak kamu kembalikan pada tempatnya. Terus aku kepo deh...”

“Itu kan rahasia, bu. Kenapa dibuka-buka?”

“Kan ga sengaja, Salah sendiri kenapa berantakin gudang?” ujarku membela diri “Tapi aku seneng kok kamu menyimpan benda-benda ini. Aku jadi ingat masa-masa kita dulu, yah” sambungku sambil mengelus pipinya yang ditumbuhi jambang nan terawat itu.

“Duh, ibu... aku kan jadi malu”

“Kenapa harus malu? Kita udah jadi suami istri begini kenapa malu?”

Giliran Leon yang sekarang salah tingkah. Terlihat dari raut wajahnya yang memerah dan menggaruk-garuk belakang kepalanya. Aku yakin kepalanya tidak gatal saat ini.

“Duduk sini, yah... aku mau ajak kamu mengenang masa lalu kita” Kataku sambil menarik tanggannya untuk duduk disebelahku. Dengan terpaksa ia menuruti mauku.

“Masih ingat nggak waktu kita makan sama-sama team K3 sama teteh Melody?”

“Waktu habis show ulang tahun ke-21 kamu itu bukan? Hari terakhir aku kerja jadi stage manager ya?”

“Nah, itu! Bener banget. Dan kamu tahu kenapa aku bisa nyusul kamu ke bandara dan...”

“Tunggu... jangan-jangan?”

“Hahahaha... Jadi begini ceritanya...” Dan kemudian aku mulai bercerita.

-o00o-


Sudah hampir sebulan aku tidak menghubungi Leon. Aku hanya membaca semua chat yang Leon kirimkan. Dan ia masih tetap sabar menghadapi sikap dinginku padanya. Ia sangat sabar meski chatnya tak berbalas. Minimal sekali atau dua kali ia mengirimkan pesan dalam sehari. Entah mengingatkan untuk tidak lupa makan, mengucapkan selamat tidur atau meminta maaf dan mengungkapkan kerinduannya. Namun, di dalam sudut hatiku yang kelam ini masih ada rasa iba padanya. Jujur aku sangat rindu padanya. Sebuah ironi untuk gadis yang sok kuat.

Sampai pada akhirnya hari terakhir Leon bertugas sebagai stage manager sekaligus hari pertamaku kembali aktif sebagai member Team K3. Bukan hanya sekedar “comeback”, namun sekaligus perayaan ulang tahunku yang ke-21 atau biasa disebut seitansai. Meskipun aku sudah berbulan-bulan tidak berkegiatan sebagai member Team K3, aku tidak membutuhkan banyak penyesuaian. Aku sudah hafal di luar kepala baik koreografi saat bersama group atau unit. Segala usahaku telah membuat muscle memory-ku membuatku cepat beradaptasi.

Karena hari ini adalah hari istimewa bagiku, aku dipercaya untuk menjadi center pada show ini. Sebuah beban namun sekaligus kesempatanku untuk membuktikan bahwa aku dapat mengemban tugas untuk memimpin teman-temanku. Sesekali aku memperhatikan Leon yang tengah serius melakukan tugasnya sebagai koordinator panggung. Dengan cekatan ia memastikan semua elemen pendukung pertunjukkan malam ini tidak ada yang kurang sama sekali. Kekagumanku ini membuat hati kecilku memantikan kembang api cintaku pada Leon. Sayangnya kembang api itu hanya meletup lemah karena awan mendung kekecewaanku pada Leon yang tetap akan meninggalkanku.

Di tengah-tengah aku menghafal blocking, Viny menghentikan sementara semua kesibukan persiapan show malam ini. Ia ingin kami memberikan penghormatan terakhir pada Leon. Aku memang sedikit enggan melakukannya karena aku masih sangat kecewa pada Leon. Dan aku mau tidak mau ikut bergabung dengan teman-temanku lainnya.

Fast forward, pertunjukkan malam itu berjalan sukses, Dan aku juga sukses bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena sekali lagi aku diberi kesempatan untuk merayakan “belated birthday show” bersama fansku. Namun aku sedih mengingat kebahagiaanku akan pergi meninggalkanku. Aku sedikit tidak bisa mengendalikan emosi ketika aku harus berbicara tentang perasaanku saat ulang tahun. Dan sepertinya aku terlalu dalam mengucapkannya. Mungkin Leon mengerti apa ucapanku soal keengananku pada orang yang aku sayang itu akan akan pergi.

Tetapi kecanggungan juga terjadi saat makan malam bersama dengan seluruh team K3 dan staff. Tidak terkecuali Leon. Aku sukses dibuat makin salah tingkah ketika Teh Melody menyuruhku untuk sedikit berpidato disela makan malam. Begitu juga Leon yng juga makin membuatku kikuk. Rasanya tidak nyaman. Ingin aku berteleportasi ke tempat yang tidak ada siapa pun saat itu juga dan melupakan kejadian ini semua.

“Lidya, I really need to talk with you” sebuah chat dari Leon masuk ke handphoneku. Aku tidak mengindahkannya. Hanya ku baca dan kembali ku kunci handphoneku.

“Aku mohon, untuk terakhir kalinya” kembali Leon mengirimkan pesan pendek. Kali ini aku sangat muak dengannya. Cukup lama aku memutuskan untuk mebalasnya atau tidak. Kepalaku menyuruh untuk tetap tidak membalasnya, tetapi hatiku masih lebih kuat. Aku pun membalasnya dengan kalimat ketus “Okay, make it quick”. Aku berkilah hanya ingin tahu apa yang ingin dia bicarakan. Jika itu bisa membuatnya tidak menggangguku lagi, kenapa tidak.

“Ketemu di P3, di tempat biasa” balasnya. Tak lama setelah Leon berpamitan dengan yang lain, aku segera menyusul Leon.

Lift membawaku turun menuju basement. Lantai demi lantai aku lalui. Pikiranku tak henti-hentinya bertanya apa yang ingin dibicarakan Leon hingga aku sampai di basement P3 mall ini. Aku berjalan perlahan menuju tempta kami biasa bertemu setelah show atau kegiatan hingga larut malam. Dan aku segera menyadari bahwa tidak akan ada lagi kami bertemu di sini untuk kedepannya. Tempat di mana aku memeluknya sejenak melepas segala penat kegiatanku sebagai seorang idol. Hanya di depan Leon aku bisa melepas segala topeng bernama “profesionalisme” menjadi gadis manja terkadang ceroboh ini.

Tak lama aku menemukannya sedang bersandar di salah satu tiang beton, memutar-mutar handphonenya sembari mengisap rokok mild kegemarannya yang sangat aku benci. Yang ku tahu ia sudah berhenti merokok, tapi kenapa dia merokok lagi? Ah, aku juga tidak peduli. Sepertinya Leon sudah menyadari kedatanganku. Ia menoleh ke arahku seraya membuang rokoknya yang sepertinya baru ia sulut. Ia sedikit gugup sambil mengibas-ngibaskan tangannya guna menghilangkan kepulan asap rokok yang ia hembuskan.

“Hufft... Mau ngomong apa? Cepetan!” ujarku sinis.

“Lid...” panggilnya yang berusaha memegang tanganku. Namun segera ku tepis. Aku tidak mau sentuhan lembutnya membuatku makin teringat dengan waktu-waktu menyenangkan bersamanya.

“Apa sih? Katanya mau ngomong” ucapku seraya memalingkan pandanganku ke arah lain.

“Okay, maaf... aku cuma ingin memperbaiki hubungan kita sebelum aku berangkat”

“Hubungan apa? Kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi sejak kamu bohongi aku”

“Lid, please... jangan begitu. Baiklah, kalau memang kita tidak ada hubungan apa-apa, kita masih bisa berteman. Aku mohon, setidaknya aku bisa menjalani 3 tahunku di sana tanpa rasa bersalah” Leon masih bersikeras memohon, namun aku masih tetap angkuh. Rasa kecewaku padanya membuat hatiku terluka, dengan ia memohon seperti ini, makin membuat luka itu menganga. Namun, hati kecilku tidak ingin semua berakhir begitu saja.

Aku tidak ingin hanya berhubungan sebagai teman saja, setelah apa yang kita lakukan selama ini. Sumpah, saat ini aku sangat bingung dengan diriku sendiri. Tuhan, jika Engkau berkenan, cabut nyawaku sekarang juga! Aku tidak sanggup memikul beban ini sendirian!.

“Tapi... aku nggak bisa berteman saja dengan kamu...” ucapku spontan dengan lirih. Eh, bicara apa aku ini. Aku melihat raut muka penuh tanya dari paras menenangkan Leon. Sial, kayaknya dia denger apa yang aku ucapin. Sungguh, kegalauanku ini membuat otak dan hati tidak berkoordinasi dengan baik. Apakah ini yang dinamakan cinta?

“Aku sebenernya masih...” aku tidak melanjutkan ucapanku. Sudah diujung lidah namun tenggorokanku serasa tercekat.

“Aku... nggak... ah udah pergi sana!”

Dan keangkuhanku memenangkan gejolak pertempuran hatiku. Aku menghardik Leon dan mendorongnya. Namun tangan Leon kalah sigap dengan diriku yang ingin berbalik meninggalkan Leon. Ia menarikku ke arah tubuhnya dan memelukku dengan erat. Pelukkan ini... sebuah pelukan yang amat aku senangi. Pelukan dari orang yang paling aku sayang. Tapi, pelukan ini juga membuatku semakin mengingat aku tidak bisa merasakan tangan Leon melingkar di tubuhku. Dan itu rasanya menyakitkan!.

“Aku masih sayang kamu. Dan aku tahu perasaan kamu juga sama denganku. Aku minta maaf belum bisa jadi yang terbaik buat kamu. Tapi aku mohon... beri kesempatan aku sekali lagi. Kesempatan untuk memperbaiki semua. Aku janji, 3 tahun lagi aku akan kembali lagi buat kamu”. Leon mengiba padaku yang membuat aku tidak bisa lagi membendung tangisku. “Tapi aku nggak bisa... aku nggak bisa...!” aku menangis sejadi-jadinya. Aku meremas kaos Leon lalu memukul-mukul dadanya sebagai tanda penolakan. Semakin erat ia memeluk, semakin hancur aku dibuatnya. Tolong, Leon. Mengertilah!.

“Maaf...” Ujar Leon lirih

“Maaf jika caraku untuk membahagiakan kamu salah” kembali ia meneruskan kalimatnya. Pelukannya pun seketika mengendur.

“Jika memang itu sudah keputusan kamu... aku akan terima itu. Sekali lagi aku minta maaf” Dan Leon berbalik berjalan meninggalkanku. Aku hanya mematung menatap punggungnya yang perlahan menjauhiku. Tiba-tiba aku merasakan ada yang akan meledak dalam dadaku...

“PERGI SANA! AKU NGGAK BUTUH KAMU! AKU HARAP NGGAK KENAL KAMU DARI AWAL!”

Teriakku sekuat tenaga hingga membuat suaraku memantul ke segala penjuru parkir basement. Namun Leon tidak bergeming dan ia masih terus berjalan meninggalkanku seolah ia tidak peduli dengan keadaanku sekarang. Aku sudah tidak peduli dengan semua ini. Aku pun berlari sekuat tenaga, meninggalkan kepingan-kepingan kenangan yang berserak di belakangku menuju lift. Yang aku butuhkan saat ini hanya ingin segera pulang dan melupakan kejadian tadi.

Lift membawaku melewati lantai demi lantai menuju lobby utama. Dan selama itulah aku meratapi segala kekecewaan dan penyesalan yang terjadi padaku. Isak tangisku menggema dalam kubus kecil ini. Mungkin dinding lift ini pun merasa kasihan melihat diriku yang sedang hancur ini. Aku berjalan dengan tergesa-gesa sesaat pintu lift terbuka, tak lupa menyeka air mata yang membasahi pipiku. Aku melewati beberapa fans yang masih setia menunggu oshi-nya pulang melewati pintu keluar drop-off. Beberapa di antaranya menyapaku. Tentunya aku membalasnya dengan melemparkan senyum tulusku meski terlihat palsu, aku tidak peduli apakah mereka melihat mataku yang sembab ini.

Aku menyusuri turunan yang mengarah pada gerbang keluar mall. Aku sendiri tidak tahu akan pulang menumpang apa karena aku tidak memesan taksi online. Nanti saja jika aku sudah cukup tenang, pikirku saat itu. Pikiranku terlalu sibuk mengutuk sikapku terhadap Leon. Aku pun tidak peduli dengan diriku yang sedang berjalan menyusuri trotoar di jam yang hampir menunjukkan tengah malam. Aku tidak peduli jika ada seseorang yang tiba-tiba menggodaku atau menculikku sekalipun. Yang aku pedulikan hanya Leon. Aku mau Leon. Itu saja.

Di saat aku berjalan, tiba-tiba ada sebuah mobil Honda Brio berwarna Putih membunyikan klakson dan berhenti disampingku. Perlahan sang pengendara mobil itu menurunkan kaca jendelanya.

“Lidya, ngapain kamu jalan sendirian di trotoar tengah malem gini? Ayo sini masuk.” ucap sang pengendara menawariku tumpangan. Sepertinya aku mengenal suara pengendara tersebut...

“Teh Imel?”

-o00o-


“Kamu dari mana malam-malam gini jalan di trotoar kayak anak ilang? Aku kira kamu tadi udah balik duluan abis makan malam tadi.” ujar teh Imel yang tengah fokus menyetir mobilnya. Ya, aku kini sudah berada di dalam mobil Teh Imel alias Melody Nurramdhani Laksani. Seorang member dan GM theater juga legenda di JKT48 yang sangat aku hormati. Aku sebenarnya sudah menolak ajakannya untuk mengantarkanku pulang. Yang aku tahu, jalan arah pulang kami tidak searah. Namun, Teh Imel tetap memaksaku sehingga aku merasa tidak enak jika menolaknya.

Tak perlu aku menceritakan segala perjuangan dan pencapaiannya saat ini. Sudah banyak keringat dan air mata terjatuh untuk membuka jalan bagi member-member junior sepertiku ini. Aku sangat berterima kasih padanya, dan apa bila ada member yang tidak menghormatinya, mungkin aku akan yang maju terlebih dahulu untuk memberi pelajaran. Yang aku dengar ada beberapa member junior di bawahku yang bersikap kurang ajar pada Teh Imel, hingga membuatnya menangis saat sesi kampanye senbatsu sousenkyo yang juga disiarkan lewat Instagram Live pada akun resmi JKT48. Emosiku mencapai titik didihnya saat itu. Ingin rasanya aku sumpal mulut member itu dengan sepatu Nike Air Max-ku.

“Eh... Enggak apa-apa, kok teh... Cuma pengen cari angin aja, tadi ketemu sama temen dulu makanya nggak langsung balik.” Ucapannya membuatku terhenyak dari pikiranku yang mengawang. Aku berbohong. Padahal aku ketemu sama Leon tadi... ah, tuh kan jadi ingat lagi kan. Huft.

“Lho, Lidya... Kamu abis nangis?.” Sergah Teh Imel sambil berusaha meraih tissue pada dashboard dan ingin mengusapkannya pada pipiku. Sial, aku sendiri tidak sadar jika tangisku menetes di pipi. “Kenapa? Cerita sama aku. Siapa tahu aku bisa bantu.” Tawarnya.

“Enggak teh, ini Cuma kelilipan aja kok...”

“Jangan bohong, Uhmmm... Leon kan?” tebak Teh Imel singkat, namun tepat menghujam jantungku. Sial, dari mana dia tahu?.

“Eng-enggak teh, bukan... serius aku Cuma kelilipan aja” ujarku tergagap berusaha meyakinkannya.

“Lidya... Lidya...” Teh Imel menggelengkan kepalanya sambil tersenyum dengan pandangan lekat pada jalanan di depan kami. “Kamu itu enggak berbakat untuk berbohong, aku udah tahu semuanya kok” kata Teh Imel yang makin membuatku merasa semakin salah tingkah.

“Te-teh tahu dari mana?”

“Kamu kira aku enggak punya mata di setiap team? Ingat, Lidya. Aku kan General Manajer Theater. Apa yang terjadi di dalam theater, aku pasti tahu...”

Dan aku hanya bisa dan tertunduk malu mendengar perkataan Teteh barusan.

“Terus tadi juga kalian berdua agak aneh, kayak bukan biasanya gitu. Gimana ya? Kayak canggung gitu. Kenapa emang?” Ah, ternyata Teteh sadar dengan sikap kami.

“Enggak ada apa-apa teh, kita berteman biasa aja kok...” Kembali aku berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi. “Berteman? Yakin?” selidik Teh Imel sekaligus menggodaku.

Aku mengangguk demi meyakinkan Teh Imel.

“Hahaha... Udah jujur aja deh. Kamu pacaran kan sama Leon? Kamu ini ya, nakal!”

Aku makin menunduk. Rasanya ingin merobek mukaku dan membuangnya melalui jendela mobil. Malu banget!.

“Iya, teh... aku pacaran sama Leon”.

“Nah, gitu kek dari tadi. Pake bohong segala. Terus teh kenapa kamu nangis gini? Marahan sama Leon? Sampe jalan di trotoar sendirian. Nggak takut diculik? Hiii amit-amit!” kata Teh Imel disusul mengetuk-ngetuk dashboard beberapa kali.

“Gimana ya teh, di satu sisi aku dukung banget Leon kuliah di Amerika. Tapi aku enggak bisa kalau enggak dekat sama dia. Buat aku, Leon udah kayak separuh nyawa aku. Dan waktu dia jauh, rasanya aku kayak enggak punya kekuatan buat jalanin hidup. Maaf, teh. Mungkin kedengarannya kayak lebay, tapi jujur itu yang aku rasain sekarang... dan...”

“Dan kenapa, Lidi?”

“A-aku... aku... udah putus sama Leon”

Kemudian Teh Imel menepikan mobilnya di bahu jalan. “Hah, kok bisa?” Teh Imel menatapku dengan dahi yang mengerenyit. “Yang sabar ya...” hiburnya seraya mengusap kepalaku lembut “... Sebenarnya aku tahu ini salah, tapi bukannya sejak kamu sama Leon jadi makin semangat ya di JKT48? Aku enggak sekali dua kali lihat kamu perform lho. Kalau kamu udah enggak sama Leon, apa kamu bisa sesemangat seperti biasanya?”

“Enggak tahu teh, aku bingung... Jujur, aku enggak bisa kalau jauh dengannya. Apa lagi aku harus berhubungan jarak jauh. Aku enggak bisa kalau cuma berteman aja sama dia, itu jauh lebih menyakitkan... lebih baik aku enggak kenal dia sebelumnya kalau akhirnya kayak gini.”

Kami diam untuk beberapa saat.

“Kalau udah begini, rasanya aku ingin ngajuin kelulusan sama management, teh...”

“Hmmm... Kamu sayang banget ya sama Leon?”

“Iya teh, sayang... sayaaang banget. Bahkan lebih sayang dari diri aku sendiri. Dia kebahagiaan aku, teh” jawabku dengan nada yang meninggi dan terisak.

“Kalau sayang, pasti kamu mau dia bahagia bukan?”

“Pastinya...”

“Kalau kebahagiaan Leon itu kamu, gimana?”

Jawaban singkat Teh Imel membuatku terdiam. Lidahku kelu hingga tidak bisa menjawab pertanyaan Teh Imel. Kepalaku mendadak kosong dan hatiku tersayat seketika.

“Dan kalau kamu memang yakin putus sama Leon, mana yang lebih menyakitkan. Mengingatnya atau melupakannya?”.

Ah, Teh Melo... kata-katamu semakin membuatku kacau. Tidak mudah melupakan Leon, terlalu banyak kenangan manis yang membuatku selalu aku ingat. Tapi, kejadian tadi juga tidak bisa aku lupakan begitu saja. Setiap aku mengingatnya, akan terasa sangat menyakitkan. Tidak mudah untuk mengingat atau melupakannya.

“Lidya, kamu sadar enggak kalau Leon sudah berkorban buat kamu? Berusaha untuk tidak menunjukkan rasa sayangnya terang-terangan di depan umum. Itu enggak mudah lho. Apa lagi ini juga menyangkut karir kamu...” ujar Teh Imel dengan senyum manisnya. “Aku yakin Leon ingin kamu bahagia juga. Mungkin dengan cara ia meraih impiannya bersekolah di luar negeri, ia bisa membahagiakan kamu kelak di masa depan. Kalau Leon mendukung impian kamu di sini, mengapa kamu enggak mendukung Leon meraih impiannya juga?”

Kata-kata Teh Imel semakin membuatku merasa sangat bersalah pada Leon. Membuatku ingin memutar waktu kembali dan memperbaiki semuanya. Maafkan aku, Leon.

“Teh... tapi semuanya udah terlambat...”

“Enggak ada kata terlambat kalau kamu mau berusaha untuk memperbaikinya, oke?. Jangan hanya karena kamu sedang labil, kamu membuang kesempatan bagus di depan sana.... Hhhhh... Sebenarnya aku sangat ingin membuat semua member berkesempatan untuk bersinar...” Teh Imel memotong perkataannya.

“Maksud Teh Imel?” aku masih bingung mencerna maksud Teh Imel sebenarnya.

“Jalan kamu masih panjang, Lidya. Kamu jangan sampai menyia-nyiakan kesempatan yang menanti untuk kamu raih suatu saat nanti. Ini waktu yang tepat untuk kamu memperbaiki diri. Buat semua orang yang mendukung kamu saat ini bangga. Termasuk Leon tentunya.”. Aku menatap mata Teh Imel ketika meyimak perkataannya. Ada sedikit air mata menggenang di sana. Teteh...

“Aku udah di sini selama bertahun-tahu... mungkin udah saatnya aku kasih kesempatan buat adik-adik aku yang lucu ini untuk dapat sorot lampu yang begitu terang di panggung” kata Teh Imel dengan mencubit pipiku dengan gemas. “Aduh teh... aduh sakit!” aku Cuma bisa mengaduh.

Sambil mengelus pipiku yang perih karena dicubit Teh Imel, aku meberanikan diri untuk bertanya “Teh, apa teteh mau...”

“Ya, lihat aja nantilah ya... Eh, aku nyalain radio ya sambil kita terusin perjalan ke rumah kamu” Teh Imel memotong pertanyaanku. Ia sedikit mengucek matanya lalu mengutak-atik channel radio dari tape mobilnya. Dari sikap dan pernyataannya, sepertinya aku tahu apa maksud tersirat Teh Imel tadi.

“... Selamat malam buat lo yang masih setia atau baru aja gabung di Xtra FM Jakarta, gimana ada yang masih di kantor lembur kerjaan? Atau ada yang masih di perjalanan balik ke rumah? Okay, masih ada 2 jam lagi gue nemenin lo semua dengan lagu-lagu favorit kalian. Yang mau request, masih kita tunggu nih di line call kita atau mention aja di akun twit**ter kita. Oke deh, next up ada lagu spesial buat kalian semua yang... mungkin malam ini lagi kepikiran sama gebetan atau pacar kalian yang... ya, sedang jauh atau sedang marahan, bisa mendukung suasana kegalauan kalian. One song for you from Adele, it’s called Daydreamer. Masih bersama gue Andara Permana di Late Night Chillin’ Xtra FM Jakarta, the only extraordinary radio station in Jakarta, sampai jam 2 nanti. Enjoy!” Dan Adele pun mulai bernyanyi sesaat setelah si announcer berbicara, Teh Imel pun sudah berkonsentrasi menghadap ke jalan yang cukup lengang, membawa mobil yang kami tumpangi menuju rumahku.


Daydreamer

Sitting on the sea

Soaking up the sun

He is a real lover

Of making up the past

And feeling up his girl

Like he's never felt her figure before

Sambil menatap jalanan di depanku, aku mulai mencerna satu persatu lirik yang dilantunkan Adele. Entah mengapa memang lagu ini serasa cocok dengan keadaanku dan Leon. Leon memang pecinta sejati. Ia bisa menhapus masa laluku seketika meski aku baru saja mengenalnya.

A jaw dropper

Looks good when he walks

Is the subject of their talk

He would be hard to chase

But good to catch

And he could change the world

With his hands behind his back, oh

Ah, Leon. Kamu memang membuatku terkesima. Cara berjalanmu saja bisa membuatku kagum. Ia memang sangat susah untuk ditaklukkan, namun akan sangat mudah menyayangi jika sudah didapatkan. Ia seketika bisa mengubah duniaku hanya dengan genggaman tangannya.

You can find him sitting on your doorstep

Waiting for a surprise

And he will feel like he's been there for hours

And you can tell that he'll be there for life

Aku tahu ia sangat pendiam, namun aku selalu rindu dengan kejutan-kejutan sederhana yang ia buat. Aku tidak berkeberatan untuk menunggunya meski untuk selamanya... Ah, tunggu. Seharusnya aku seperti itu sekarang... sayangnya aku terlalu memanjakan egoku. Aku seharusnya lebih bisa bersabar...

Daydreamer

With eyes that make you melt

He lends his coat for shelter

Plus he's there for you

When he shouldn't be

But he stays all the same

Waits for you

Then sees you through

Ah, betapa kesederhanaanya sungguh menenggelamkanku ke dalam palung cintanya. Tatapan mata yang membuatku meleleh seketika, Hoodie Paramore yang ia pinjamkan saat hujan kala itu tak hanya menghangatkan tubuhku, namun juga hatiku yang telah lama membeku dan sayangnya kini perlahan mulai mendingin. Aku juga mulai kedinginan tanpa hangat peluknya. Leon, di mana kamu sekarang? Aku butuh kamu sekarang. Aku tahu jika aku butuh kamu, secepat mungkin kamu akan mendatangi aku. Apa kah kamu masih Leon yang aku kenal itu, sayang? Aku mau kamu jangan berubah ya? Aku masih ingin kamu yang aku kenal.

There's no way I could describe him

What I've said is just what I'm hoping for

Kata-kata tidak akan cukup untuk menggambarkan kesempurnaan rasa sayang Leon padaku. Tapi, aku hanya bisa berharap akan itu semua. Harapan hanyalah harapan karena aku merasa semua sudah terlambat bagiku.

But I will find him sitting on my doorstep

Waiting for a surprise

And he will feel like he's been there for hours

And I can tell that he'll be there for life

And I can tell that he'll be there for life

Entahlah, tapi aku merasa yakin akan ada keajaiban datang. Aku merasa semuanya akan kembali seperti semula. Aku yakin Leon akan berada di depanku lalu memelukku. Bibir ini akan mengecup lembut bibirnya. Namun aku tidak akan pernah tahu kapan keajaiban itu ada. Lagu tetap mengalun, mobil berjalan dengan kecepatan konstan, semua bayang Leon seperti terproyeksi di antara berkas cahaya lampu kota. Hingga tanpa sadar mataku terpejam dengan sendirinya.

 
Terakhir diubah:


“Hey... Lidya cantik... Hey... ayo bangun, udah sampai nih” suara mungil terdengar di telingaku, diiringi dengan elusan lembut di pipiku.

“Eh... udah sampai ya... ah, maaf teh aku ketiduran” sesalku yang sangat merasa tidak enak pada Teh Imel. Ya, aku sudah sampai di rumah kediamanku. Teh Imel memang sudah tahu sebelumnya di mana rumahku. Beberapa kali aku ditawari untuk pulang bersama Teh Imel ketika menjemput adiknya yang juga satu team denganku, Frieska Anastasia Laksani atau biasa ku sebut Mpries sehabis berkegiatan dengan JKT48 atau jadwal pertunjukan rutin Team K3.

“Ah, santai aja, sayangku... Aku bisa maklumin kok. Kamu capek abis perform dan ditambah lagi masalah kamu sama Leon” balas Teh Imel yang walau sudah berkegiatan seharian masih tetap melemparkan senyum menawannya. Aku tahu bahwa ia sangat lelah namun berusaha tetap ramah dengan banyak orang. Sangat profesional. Berbeda denganku yang straight to the point dan kadang mengekspresikan ketidaksukaanku ketika mood swinging-ku kambuh.

“Teh, makasih buat tumpangannya... dan... nasehat teteh tadi”

“Iya, sayang... aku seneng kok kalo bisa bantu kamu. Yah, semoga semuanya akan membaik ya secara perlahan” ujar Teh Imel seraya memajukan tubuhnya dan memperlihatkan gestut ingin memeluku. Aku pun tak tinggal diam, aku langsung merengkuh tubuhnya yang mungil itu.

“Makasih teh... hiks...”

“Iya sayang, sabar ya... udah ih jangan nangis gitu, ah...” omelnya sembari mengusap punggungku. Aku merasakan sifat mengayomi Teh Imel yang sebenarnya sangat aku butuhkan saat ini dari seorang Leon.

Aku pun mengendurkan pelukan dan diikuti oleh Teh Imel. Aku pun turun dari mobil. “Lid, maaf ya aku nggak bisa nganter ke dalam, enggak enak sama Ayah Ibu kamu. Enggak apa-apa kan?” ujar Teh Imel mendadak dari mobil ketika aku akan menutup pintu mobil. “Iya, enggak apa-apa teh. Sekali lagi terima kasih teh” balasku.

“Ah, santai sama kamu mah. Okay, aku pulang ya... Dah Lidyaaa!”

Aku pun membalasnya dengan lambaian tangan setelah menutup pintu mobil dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan daerah rumahku. Rumah sudah dalam keadaan redup sesampainya tadi. Mungkin ayah, ibu dan adik-adikku telah terlelap. Untung saja aku selalu membawa kunci cadangan. Saat aku membuka pintu, rupanya ayahku masih belum tidur. Ia sedang sibuk mengganti channel TV, mungkin mencari-cari acara televisi yang menarik hati beliau.

“Eh, Lidya... baru pulang. Naik apa tadi?” tanya ayahku ingin tahu.

“Dianter sama Teh Imel, yah. Papasan tadi di Lobby” jawabku sekenannya. Padahal aku bertemu dengan Teh Imel di trotoar dan jaraknya dari mall sudah cukup jauh.

“Oh, Melody, kenapa enggak disuruh mampir aja? padahal itu ada martabak manis. Si Adek beli tadi waktu pulang les”

“Takut kemaleman katanya, yah... Aku langsung ke kamar ya. Mau langsung tidur”

“Oh ya udah... eh, tunggu, kok kamu kayak abis nangis, ada apa, sini kita ngobrol-ngobrol dulu?”

“Ah... enggak apa-apa yah, udah ya aku langsung ke kamar” aku panik seketika ayahku berkata seperti itu. Salahku yang ceroboh tidak merapikan diri dulu sebelum masuk rumah. Aku pun cepat-cepat masuk menuju kamarku dan segera mengunci pintu. Aku sudah terlalu malas untuk mengganti baju, ku lemparkan tas ke atas kasur dengan sembarangan, ku lepas sepatuku dan akhirnya aku menjatuhkan diri ke kasur empukku.

Pandanganku hanya luru menatap langit-langit. Tubuhku memang di sini, tetapi pikiranku melayang pada kejadian beberapa jam lalu. Ketika aku meneriakkan kata-kata yang membuatku menyesal. Seharusnya aku memberikan kesempatan pada Leon. Tapi kenapa aku bisa sebodoh itu?. Ku raih tas yang tadi ku lemparkan, letaknya tak jauh dari tanganku sehingga aku bisa meraihnya tanpa susah payah. Aku cari handphone-ku dan berharap ada pesan dari Leon. Namun nihil. Tidak ada satu pesan pun masuk dari dia. Hanya beberapa notifikasi dari beberapa teman kampusku dan group chat Team K3. Aku biarkan saja begitu.

Dan aku terpaku pada wallpaper handphoneku. Sebuah foto kebersamaanku dengan Leon saat kencan di kebun binatang beberapa waktu lalu. Sebuah foto yang manis sekaligus menyakitkan karena aku sudah tidak bersamanya. Di tengah aku sedang menyesali keputusanku hari ini, seseorang mengetuk pintu kamarku.

“Lidya...” Suara berat khas laki-laki paruh menyusul selepas ketukan itu.

“Lidya, buka pintunya, nak... ayah mau bicara sebentar”

Dengan malas aku bangkit dan menyeka air mataku. Aku tidak peduli sesembab apa mataku ini, yang penting aku terlihat kuat di mata ayahku. Ayahku tersenyum saat aku membuka pintu kamarku.

“Boleh ayah masuk?” ayahku meminta persetujuanku yang ku tanggapi dengan anggukan dan mempersilahkannya masuk. “Duduk sini sebelah ayah” ucap ayahku yang telah duduk di tepi tempat tidurku. Aku melangkah gontai dan duduk di sebelah beliau. Menaikkan kedua kakiku dan memeluk lututku.

“Kamu lagi marahan sama Leon, nak?” tanya ayahku ingin tahu. Aku tidak menjawabnya, hanya menatap lurus ke lantai kamarku.

Kami berdua terdiam.

“Ayah...” aku memecahkan keheningan kami.

“Ya?”

“Emang salah ya kalau aku mau bahagia?”

“Hah? Mana ada kebahagiaan yang salah?”

“Meskipun itu harus menghentikan langkah seseorang untuk mengejar impiannya?”

Pertanyaanku itu membuat ayahku sedikit terhenyak.

“Hmmm... Leon sudah cerita semuanya ke ayah. Ayah mengerti jika berjauhan dengan orang yang kita sayang itu sangat menyiksa. Ayah merasakannya ketika harus meninggalkan ibu, kamu dan adik kamu saat beberapa minggu tugas keluar kota. Tapi, kalianlah motivasi ayah. Kalian kekuatan ayah untuk bekerja lebih giat.” Ujar ayahku. “Leon punya alasan kuat kenapa ia ingin belajar di luar negeri. Bukan karena titel semata. Tapi alasan itu...” Ayahku memotong ucapannya.

“Kamu. Kamu, nak. Leon Cuma ingin memberikan kamu yang terbaik. Leon ingin lebih meningkatkan bakat yang telah ia miliki selama ini dengan kuliah di luar negeri. Agar ia bisa profesional dan dihargai lebih lagi oleh banyak orang. Dan dia juga ingin membanggakan diri kamu atas usaha dia. Kamu nggak seneng kalau pacar kamu punya gelar sarjana luar negeri?”

“Kalau gelar sarjana nggak bikin aku bahagia, buat apa keluar negeri?” ketusku pada ucapan ayahku.”

“Hahahaha... sekarang gini. Sekarang ayah tanya. Apakah kamu tahu pendapat fans kamu selama ini di luar sana atas usaha dan pencapaian kamu selama beberapa tahun ini? Ayah yakin mereka sangat bangga dengan segala usaha dan perkembangan kamu selama ini.” Dan aku tidak menyadari akan hal itu. Kata-kata ayahku ini seketika menghancurkan egoku yang sekeras batu karang ini. Aku melupakan hal yang terpenting dalam hidupku 5 tahun terakhir ini. Semua fans yang tidak lelah mendukungku sampai saat ini. Baik saat aku berada di atas atau di bawah. “Kamu tahu nggak, rekan kerja ayah di kantor suka bicarain kamu... wah putri pak Djuhandar keren ya bisa masuk acara TV, anak saya sampai bilang mau ikut audisi JKT48 lho pak. Saat itu, ada rasa bangga dalam diri ayah sama kamu yang bisa menyentuh hidup seseorang untuk punya mimpi dan mewujudkannya”

Aku kemudian memeluk ayahku dan beliau pun membalas pelukanku.

“Tapi, ayah... aku udah salah memilih langkah... aku udah menyia-nyiakan Leon, yah... semua terlambat”

“Sssssst... Enggak ada kata terlambat, nak...” Ucapan itu kembali terdengar di telingaku. Ucapan yang sama dari Teh Imel kini diucapkan kembali oleh ayahku sendiri. “Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Kamu masih bisa memperbaiki semua, asal kamu mau berusaha. Kamu mau berusaha kan? Seperti Leon ingin berusaha membahagiakan kamu?”

“Ayaaaaaah...” rengekku semakin menenggelamkan diri dalam pelukan ayah. Ayah pun memelukku seperti saat aku masih kecil. Ia seperti menimangku, mengelusk punggungku dan membuatku nyaman. Ya, aku sangat manja jika bersama ayah. Dan memang ada benarnya jika jatuh cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya sendiri. Yes, he’s my first love after all. I admit it. Perasaan ini hanya bisa aku temukan dalam diri Leon. Aku merasa nyaman dan aman jika bersama dirinya.

“Yah...”

“Ya, nak... ?”

“Kira-kira kalau aku nikah sama Leon, ayah setuju enggak?”

“Justru ayah yang mau nanya, kamu mau nikah enggak sama Leon?”

“Mauuuu... Tapi aku sama dia kan “berbeda” yah... emang ayah merestui?”

“Ayah yakin kalau cinta seharusnya menyatukan segala perbedaan, bukan malah memisahkan dua insan yang seharusnya ditakdirkan untuk bersatu” bijak ayahku.

“Jadi, ayah setuju kalau aku sama Leon?”

“Berusahalah, kejar cintamu sampai ke mana pun” jawab ayahku diplomatis. Meski jawabannya terkesan menggantung, aku tahu apa maksudnya.

“Terima kasih, ayah!” aku mencium pipi ayahku dan memeluknya. Ia pun membalas senyumanku. “Udah mau jam 2, kamu tidur gih” pinta ayahku dan aku pun menurutinya. Aku melepas pelukanku dan segera membaringkan tubuhku di tempat tidurku. Ayah membantuku memakaikanku selimut. “AC-nya segini cukup?” Tanya ayahku saat menentukan temperatur pendingin ruangan di kamarku.

“Cukup, yah...”

“Okay, selamat tidur, Lidya” Ucap ayahku seraya mengecup dahiku.

“Selamat tidur juga, ayah...” balasku. Dan ayah pun tersenyum dan berjalan meninggalkan kamarku. Aku pun mencoba memejamkan mata, berusaha untuk segera tidur... Semoga aku bertemu Leon meski di dalam mimpi saja.... Tidak, aku tidak mau hanya di dalam mimpi saja, aku harus bertemu Leon di kenyataan.

-o00o-


Hoahmmm... sayangnya semalam aku tidak memimpikan Leon. Aku tidak bisa tidur sama sekali. Otakku terlalu sibuk memikirkan bahwa hari ini adalah hari keberangkatan Leon ke Amerika. Dan itu sangat menyiksaku!. Aku harus bertemu Leon sekarang juga, tapi bagaimana caranya?.

Kak Yona!

Ya, Kak Yona. Aku yakin dia punya solusi tentang kegalauanku ini. Segera aku meraih handphoneku. Lho, di mana ya? sial, lagi butuh malah hilang... duh, nyelip di mana sih, ah! Ini dia, ternyata nyelip di selimut. Segera aku mencari kontak Kak Yona. Y... O... Nah ini dia!. Aku segera menekan ikon free call di layar chatku. Nada sambung terdengar cukup lama. Hih! Lama banget sih ngangkat telponnya, angkat dong ih!.

“Hmmmmh... h-halooh...”

“Lama banget sih ngangkatnya?”

“AHHH!” Lho, Kak Yona kenapa ya? kok teriak gitu?

“Kak Yona? Kak Yona nggak apa kan?”

“Mmmh... N-nggak apa-ap-ahh... Ini kaki aku kepentok meja... AWH!... Ada apa sih pagi-pagi nelpon, ganggu aja deh.... mmh! Ada apa?” protes Kak Yona.

“Leon, Kak... gue mau ketemu dia... Gue mau minta maaf dan aku mau balikan lagi sama dia, tapi aku enggak tahu harus ngapain, aku mau minta saran gitu...”

“Sssssh... bentar berhenti dulu...” Kak Yona seperti berbisik pada seseorang, hmmm mencurigakan. “Kak, beneran lo enggak apa-apa?”

“Mmmmh.... gue nggak apa-apaaah... Tadi kenapa, Oh Leon ya? Gue tunggu di Siega Coffee, jam 10. Jangan telat! Okay... ahhh!” Jawabnya dengan desahan!. Jangan-jangan... Wah, ini sih fix..

“Kak, lo lagi having sex ya!?” tembakku lantang.

“UDAH TAU NANYA! GANGGU AJA LO! MMMHHH” Jawabnya agak berteriak.

“Wah parah lo, gila! Nggak nyangka gue ternyata lo begini ya hahahaha!”

“Sendirinya? Mmhh... Lo pikir gue enggak tahu... Oh... lo ngapain aja sama Leon? Ugh!”

Wait, Kak Yona tahu dari mana? “Kok lo tahu?” tanyaku.

“Lo ngapain di toilet F7 waktu itu... ahhh... pelannh sayang!” balas Kak Yona dengan desahan yang sexy, terdengar juga bunyi seperti tamparan pada kulit berulang-ulang dan sangat keras. Liar juga kedengarannya.

“Eh itu...”

“Berisik, ahhhh! Pokoknya jam 10, Siega Coffee, jangan telat! Ganggu gue lagi enak lu.... ahhhhmp!”

Panggilanku terputus. Ternyata Kak Yona enggak jauh beda ya sama aku. Duh, karena Kak Yona tadi, aku jadi kangen disentuh oleh Leon. Duh, mana udah basah lagi. Aku harus bertemu Leon sekarang. Aku harus selesaikan semuanya!

-o00o-


Taksi online membawaku ke suatu kawasan di selatan Jakarta. Seperti biasa, jalanan ibu kota tak lepas dari yang namanya kemacetan. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, menjadi sabar itu hampir tidak bisa dilakukan. Aku salah satunya. Mencoba sabar ketika kamu tahu jika seseorang yang kamu sayangi akan pergi jauh, sedang kamu sendiri memberinya kesan buruk. Dan waktu kian menipis. Being wrong never felt so right.

Sial, aku terlambat 1 jam.

Begitu umpatku ketika sudah sampai pada pelataran parkir sebuah kompleks ruko. Tak lupa aku memberikan rating bintang 5 pada driver taksi online yang sudah cukup sabar mendengarkan kebawelanku karena kemacetan tadi. Dengan tergesa-gesa, aku menuju sebuah kedai kopi bergaya minimalis dengan papan nama Siega Coffee. Aku bisa melihat Kak Yona sedang membaca majalah di sudut paling dalam kedai kopi ini, dari ekspresi wajahnya, sepertinya ia agak kesal.

“Kak Yonaaaaaa...!” Aku setengah berteriak lalu menghambur ke arahnya lalu memeluknya.

“Iiiih... apaan deh! Jam berapa nih? Gue bilang kan jam 10?” ujarnya ketus.

“Iya, sorry. Tadi macet banget...”

“Macet jangan jadiin alasan. Basi tahu nggak... Udah, langsung aja ke intinya. Ada apa sama Leon?”

“Enggak pesen min...”

“Udah gue pesenin, udah cepet cerita” Kak Yona memotong ucapanku. Hih, kenapa sih ini Kak Yona ketus banget.

“Jadi gini, lo tahu kan kalo Leon mau pergi ke Amerika malem ini. Dan kemarin gue berantem sama dia. Di situ gue merasa sangat bersalag banget. Gue nyesel, Kak. Gue Cuma mau ketemu dia sekali aja buat memperbaiki semuanya. Tapi gue enggak tahu musti ngapain. Tolongin gue dong Kak Yon...” aku memohon seperti anak kecil yang merengek ingin dibelikan balon.

“Ya lo susul aja ke bandara, kelar kan?” ketus Kak Yona.

“Hih, kok lo nyebelin sih sekarang?” balasku tak kalah nyolot.

“Eh... ini teh aya naon pada berantem gini? Nih Coffee Latte. Ngopi dulu biar engak edan” tiba-tiba seseorang laki-laki beraksen Sunda menengahi pertengkaran yang hampir kami mulai. “Eh, Yon... ini teh siapa?” laki-laki itu bertanya ingin tahu. “Kabogohan jeung Leon, temen kamu” jawab Kak Yona.

“Oooh! Ini Lidya yang idol-idol itu? Ah, kenalin aku Angga” Oh, namanya Angga. Laki-laki itu menyodorkan tangannya mengajakku untuk berjabat tangan dan ku sambut dengan hangat “Iya, Kang... Aku Lidya” balasku.

“Heh! Jangan lama-lama salamannya. Siram kopi nih!” ancam Kak Yona setelah menepuk tangan Kang Angga.

“Hehe... maap atuh neng. Suka kebawa suasana kalo sama yang bening nu geulis gini.”

“Macem-macem ku baledog bata siah!”

Entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengan mereka berdua. Dari gestur dan sikap mereka, sepertinya mereka punya hubungan. Dan... sepertinya aku pernah lihat Kang Angga, tapi di mana ya...

“Woi! Malah ngelamun. Katanya mau dikasih solusi” teriakan Kak Yona mengagetkanku seketika. “Eh, iya-iya... abisnya lo juga sih yang mulai. Udah... apa nih solusinya?” tanyaku penuh ketidak sabaran.

“Jadi gini, Lid... nanti aku kan nganter Leon ke Bandara. Nah, kamu sama Yona ikutin mobil aku. Eh, bukan mobil aing sih, mobilna Leon...”

“Hih! Serius ah, A’” sergah Kak Yona memperingatkan Kang Angga. Tunggu, A’? kak Yona manggil dia Aa’?

“Eh iya, iya... Sampai bandara, nanti kamu masuk juga, nah nanti kamu cari tuh Leon di ruang tunggu” Kata Kang Angga panjang lebar yang sayangnya kurang bisa aku pahami.

“Tunggu... tunggu... terus gimana gue harus nyari coba?” ujarku memprotes rencana Kang Angga.

“Nih...” serobot Kak Yona seraya menyerahkan sebuah amplop.

“Ini apa Kak Yon?”

“Buka aja...” Jawab Kak Yona singkat sembari memainkan handphonenya.

Ku buka amplop itu dan aku terkejut akan isi amplop tersebut. “Ini... tiket ke Jakarta-Jogja PP? Maksudnya?” aku masih bingung akan rencana mereka berdua. “Mending lo kontak calon mertua lo, nginep di sana barang 2 -3 hari. Itung-itung lo liburan dari kesibukan lo” ah, benar juga kata Kak Yona. “Dengan tiket itu, lo bisa ketemu Leon di bandara” sambungnya lagi. “Tunggu, tapi kan gue enggak bawa paka...”

“Nih...” Kak Yona dengan santai menggeser koper besar dengan tetap menatap handphonenya. “Ini isinya baju-baju gue, udah gue pilihin yang seukuran lo semua, lo bawa deh, tapi jangan lupa lo laundry ya kalo udah balik?” potongnyanya sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Hal itu membuatku merasa sangat lega.

“Eh... eh, apaan sih lepas!” protes Kak Yona saat tiba-tiba ku peluk. “Makasih banget Kak Yonaaaaa!” pelukanku makin erat ke tubuh Kak Yona. “Duh, ikutan peluk-peluk” ujar Kang Angga spontan dengan kedua tangan terbuka seperti orang ingin memeluk. “Nih peluk!” balas Kak Yona kesal mengacungkan kepal. “Eh, Kak... kayaknya gue udah pernah lihat Kang Angga, deh, tapi di mana gitu...” ucapku yang dibalas dengan alis kanan naik sebelah. Aku kembali mengingat satu per satu di otakku sampai akhirnya... “Ah, iya! Waktu itu kita makan Taichan di Senayan. Setahu gue itu Kang Angga itu kan “Aa’-nya” Kin...”

“Sssst! Jangan sebut nama itu. Sekarang dia udah punya gue hehehe...” untuk kesekian kalinya Kak Yona memotong perkataanku. Ia menggelayut manja di tangan Kang Angga dengan senyum penuh kemenangan. Lalu sebuah pertanyaan melintas di kepalaku “Berarti... yang di telpon tadi pagi, Kak Yona sama...”

“Ya sama si dekil satu ini nih, siapa lagi?” jawabnya sembari menyentil hidung Kang Angga “Huuu dasar lo... pagi-pagi lagi enak digangguin” lanjutnya lagi. Aku pun sukses dibuat menganga oleh fakta yang baru aku ketahui dari mereka.

“Atuhlah gimana ya, lagi tidur enak-enak tiba-tiba ada yang geli-geli gitu. Mau nggak mau ya...”

“Stop! Kang, berhenti. Gue enggak kuat denger lanjutannya” aku langsung memotong perkataannya. Aku tidak mau otakku membayangkan tubuh sexy Kak Yona, sahabatku sendiri melakukan... Ah, enggak bisa!. Padahal aku juga sering melakukannya Leon. Eh, ngomong-ngomong soal Leon...

“Kang Angga mau nganter Leon jam berapa?”

“Harusnya, jam segini sih. Ya udah aku ke tempat Leon dulu naik Ojek Online”

“Lho kok pake Ojek Online kang? Tanyaku kebingungan.

“Iya, Leon Minta nganter pake mobil klasiknya itu. Sekalian titip katanya. Kayaknya mending kamu berangkat ke Bandara sekarang juga sama Yona. Nanti kita kabar-kabaran aja posisi terakhir di mana, Okay?” Jelas Kang Angga dan disusul oleh anggukan kepalaku.

“Ya udah yuk kita berangkat, ati-ati ya A’... cup!” ucap Kak Yona seraya mengecup bibir Kang Angga. Duh, kenapa pemandangan ini serasa menyiksaku ya. Melihatnya pun serasa mereka selayaknya pasangan suami istri.

Dan kami pun segera bergegas menuju bandara. Semoga jalanan sedang bersahabat dengan kami. Aku ingin segera memeluk Leon dan mengecup bibirnya. Tunggu aku di sana!.

-o00o-


Setelah hampir 2 jam kami menempuh perjalanan, sampailah kami di kawasan Bandara Soekarno-Hatta. Kak Yona sengaja memarkirkan mobil Terios-nya di dekat Terminal T3 yang sangat megah itu. Kami sedang menunggu kabar dari Kang Angga yang sama sekali belum ada kabarnya di dalam mobil. Kak Yona masih berkutat dengan handphonenya. Ia sedang sibuk menyelesaikan game handphone yang sedang trendy di Indonesia. Semacam game perang-perangan gitulah apalah itu yang ada legend-legendnya. Aku tidak tertarik dan tidak peduli. Yang aku pedulikan hanya Leon saat ini.

“Duh, Kang Angga lama banget sih enggak ada kabarnya?”

“Ya, udah sih santai. Masih lama ini flight-nya Leon” seloroh Kak Yona yang sedang fokus pada game.

“Tapi gue senewen jadinya” Kak Yona masih tidak mempedulikan keluhanku.

Tiba-tiba ada panggilan masuk ke handphone Kak Yona. Ia pun segera menerima panggilan itu. “Ya, halo A’... Oh udah masuk ya... Okay... Okay... Yuk sekarang, Lid” perintah Kak Yona yang segera ku turuti. Aku pun segera menurunkan koper yang ku letakkan di kursi paling belakang mobil dibantu oleh Kak Yona.

“Kak, makasih ya buat bantuannya, kalau enggak ada Kak Yona, entah gimana aku sekarang” kataku sambil menggenggam kedua tangan Kak Yona. “Sama-sama, Lid... Kebahagiaan itu harus diperjuangkan, Lid. Udah gih, buruan masuk, cari Mas Leon sampai ketemu. Awas kalau enggak, gue musuhin lo sampai tujuh turunan” balas Kak Yona setengah mengancam.

“Ih gitu banget sih sama temen sendiri? Sekali lagi makasih ya, Kak... sampaikan terima kasih juga buat Kang Angga ya?”

“Iya, pasti disampaikan” dan aku pun segera memeluk Kak Yona. Tanpa sadar aku sedikit menitikkan air mata. setelah berpelukan, aku segera menarik koper meninggalkan Kak Yona. Baru beberapa langkah berjalan, Kak Yona tiba-tiba memanggilku.

“Eh, Lid tunggu! Gue kelupaan kasih tahu sesuatu” teriak Kak Yona setengah berlari menuju ke arah ku berdiri.

“Ada apa lagi, Kak?”

“Gue mau kasih tahu sesuatu, barangkali lo mau kasih sesuatu yang “enak” buat Leon sebelum dia berangkat”

“Heh? Maksudnya?”

“Halah, kayak enggak tahu aja maksud gue” ujarnya yang sepertinya aku tahu kemana arah pembicaraan ini. “Nanti lo cari toilet yang kayak gambar di sini, bentar gue kirim ke Line lo...” kata Kak Yona sambil mengutak-atik handphonenya. “Udah gue kirim”. Aku langsung memeriksa chat yang dikirimkan padaku.

“Oh, di sini. Emang aman, kak?”

“Aman, okay... gue tinggal ya. Salam buat Leon!”. Aku mengangguk dan segera bergegas menuju pintu masuk bandara.

Selang beberapa menit dan melewati pemeriksaan keamanan bandara, langsung saja aku mencari di mana keberadaan Leon. Tidak mudah mencari seorang Leon di antara ribuan calon penumpang pesawat di sini. Kemungkinannya sangat kecil mengingat luasnya area T3. Tapi aku tidak akan menyerah. Demi rasa sayangku pada Leon.

Cukup lama aku mencari-cari keberadaan Leon. Kemauanku adalah satu-satunya kekuatan yang aku miliki saat ini. Leon, kamu di mana? Beri aku tanda-tanda keberadaanmu di sini. Aku menengok ke segala arah, mataku dengan awas menyisir semua sudut ruangan dan berharap segera menemukan keberadaanya.

Hingga akhirnya aku menemukan sosok yang aku cari. Leon. Ya, Leon Sudiro Wira Atmadja. Tidak salah lagi. Ia tepat berada sekitar 50 meter dari jarakku berdiri saat ini. Ia menenteng sebuah gelas kopi dan akan segera menduduki kursi tunggu yang kosong. Ketika aku aku ingin menghampirinya, handphoneku bergetar. Sebuah chat dari Leon.

“Thanks for everything. Maafkan aku dan semua janji yang tidak bisa aku tepati. Aku harap kamu bahagia terus. Dengan atau tanpa aku. Kamu harus bahagia. Mungkin kamu nggak akan mau lihat aku lagi, tapi aku akan terus bisa melihat kamu dari kejauhan. Seperti kembang api di langit malam saat tahun baru.”

Aku sedih membacanya. Semua kenangan manis bersamanya terputar kembali. Aku tidak ingin memutar kembali kenangan buruk yang terjadi antara aku dan Leon. Aku ingin kembali dan membuat kenangan baru bersamanya. Aku ingin bahagia bersamanya selamanya. Dan yang paling terpenting, aku ingin menjadi alasan bagi Leon untuk pulang.

Aku pun segera membalas chat Leon. “Kamu akan terus melihatku, tidak dari kejauhan” Ia belum menyadari keberadaanku tepat di belakangnya. Kembali aku mengetikkan chat padanya. “Lihat ke belakang” Leon sedikit ragu untuk melihat ke belakang. Leon, ayo jangan ragu. Aku benar-benar ada di sini.

Hingga akhirnya, ia melihat keberadaanku di sini. Ia nampak terkejut dengan kehadiranku di sini. Nyata, bukan bayangan semata yang hilang terkena cahaya. Kopi yang ia pegang pun terlepas dari genggamannya.

Leon berlari ke arahku. Aku pun begitu. Ia melewati kerumunan orang yang berlalu lalang. Aku pun iya. Tak sengaja menyenggol orang-orang di depan hingga keluar makian. Aku pun juga. Kami tidak peduli!.

Dan akhirnya tubuh kami saling bertemu, merengkuh setiap lekuk tubuh masing-masing dan membungkusnya dengan sebuah pelukan. Semua rindu terbayar, segala emosi tercurah, apapun kesalahan kami telah kami tanggalkan. Leon nyata dipelukakanku. Ya, ini Leon yang aku kenal. Aroma tubuhnya yang selalu aku hafal dan sangat aku rindukan.

“Aku minta maaf, mas. Aku memang bodoh. Aku terlalu menuruti emosiku” ungkapku penuh penyesalan dan derai air mata.

“Nggak, Lid. Kamu nggak salah. Keadaan yang membuat kita begini. Tapi aku bersyukur kamu ada di sini. Aku jadi sempurna kembali. Ada kamu di sini yang kembali mengisi separuh aku yang hilang”

“Aku juga senang, mas. Aku masih beruntung nggak kehilangan kamu untuk selamanya”. Leon pun perlahan mendekatkan wajahnya padaku seperti hendak menciumku...

“Ssssst... jangan di sini, ikut aku” dan aku mengajaknya ke tempat yang Kak Yona tunjukkan padaku. Dan kami pun melepas segala nafsu, rindu dan cinta yang telah kami tahan karena ego masing-masing. Dalam sebuah bilik toilet.

Kok enggak elit ya rasanya. Ah, tapi sudahlah. Namanya juga kangen. Dan kepepet. Hehehe.


Say the word and I'll be racin' back to you...

To Be Continued.
 
Terakhir diubah:
Hai, maaf ya sangat terlambat updatenya. Semoga suka dengan update kali ini. Oh, iya yang berharap sex scene, maaf banget belum bisa gue tulis. Gue pengen nyimpen sex scene-nya menjelang akhir special chapter ini. Masih mau nunggu kan? Semoga masih ya haha.

Oke, saatnya saya bobo dulu.
 
panjang juga updatenya, lumayan bacaan sebelum bobo.

makin seru aja nih dramanya, udah gitu teh Mel bijak banget buat bantu nyelesain masalahnya Lidya.

btw cerita Yona sama Aa Angga mirip sama cerita di SF cerbung
 
well. ternyata Phony PPL asik juga hahaha.... Personally, genre model begini-lah yang selalu gue dengerin sehari-hari.

Widiw mampir lagi ke sini ternyata. Mayan kalo buat galau dan ngawang. Band underrated tapi skillful, padahal personelnya semha rapper (berdasar sumber2 yg gue baca). Itu juga gue taunya gara2 ada member girlband korea posting liriknya di Instagram. Pas gue cek eh enak juga ternyata. Cek juga yang That's Why Iii Love The Moon.

panjang juga updatenya, lumayan bacaan sebelum bobo.

makin seru aja nih dramanya, udah gitu teh Mel bijak banget buat bantu nyelesain masalahnya Lidya.

btw cerita Yona sama Aa Angga mirip sama cerita di SF cerbung

Aslinya bakal lebih panjang lagi. Cuma krn udah deadline dan udah keburu subuh, gue cut jd 2 part.

Cerita dari @BHDB ya? Gue emang minjem karakter beliau sih hahah

nice kak, selalu excited buat next chapter heheh

Thank you udah mau mampir.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Si anj .... Angga yona terciduk :( aib mas aib :ha:


Gue quote yg ini deh :

“Lidya, kamu sadar enggak kalau Leon sudah berkorban buat kamu? Berusaha untuk tidak menunjukkan rasa sayangnya terang-terangan di depan umum. Itu enggak mudah lho. Apa lagi ini juga menyangkut karir kamu.

Kasihan angga , eh leon
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Nangis gw bacanya mana sambil nyetel lagu melow lagi

Ahaha, terima kasih udah mampir. Thanks to my gloomy mood.

Si anj .... Angga yona terciduk :( aib mas aib :ha:


Gue quote yg ini deh :

“Lidya, kamu sadar enggak kalau Leon sudah berkorban buat kamu? Berusaha untuk tidak menunjukkan rasa sayangnya terang-terangan di depan umum. Itu enggak mudah lho. Apa lagi ini juga menyangkut karir kamu.

Kasihan angga , eh leon

Hmmm... Lebih sakit ini sih :

"Mending jadi fans biasa nonton mereka perform pas cantik2nya, drpd pacarnya yang tiap mau ngedate pake masker terus"

sama kang...tumben om insyafcoli bisa melukiskan kata2 begini hahaha *canda om

Makanya galau biar bisa bikin kata2 itu hahah
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
lama lama gw baca POV Lidya, kayanya gw bisa jatuh cinta beneran sama Leon nih, begitu sempurna banget deskripsi Leon di mata Lidya, pengen nangis :(
 
Pada jatuh cinta sama Leon, gw yang jagain Lidya aja deh. Kasian jadi sendirian.
 
Guess who's back from the dead? Nuhun bosku @BHDB atas bantuannya.

------

lama lama gw baca POV Lidya, kayanya gw bisa jatuh cinta beneran sama Leon nih, begitu sempurna banget deskripsi Leon di mata Lidya, pengen nangis :(

Aku juga falin in lop ke leon , fix kita rival mas :kangen:

Waduh? Entahlah ga sadar juga. Mungkin alam bawah sadar gue yang ngegambarin sosok Leon itu sempurna di mata si Lidya ini. Mungkin itu alter ego gue yang tertekan kali ya.
 
Nice Drama.

Gw sangat suka ini.

Sex scene gak penting ada juga buat saya pribadi.

Nice Nice banget. Gw jadi terinspirasi bikin cerita drama seperti ini.

Tks Suhu atas ceritanya
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd