- Daftar
- 25 Mar 2011
- Post
- 981
- Like diterima
- 144
Ketika kamu tidak kuat menahan beban perasaan yang kamu tanggung sendiri, menangis adalah cara terbaik untuk melepaskan beban itu. Meringkuk dan memeluk lutut serta menangis. Hanya itu yang aku lakukan. Namun aku masih merasa beban tersebut masih terasa menyiksa. Dada ini rasanya sesak dengan apa yang terjadi hari ini. Sebenarnya aku bisa saja melepas Leon untuk menuntut ilmu keluar negeri, namun aku tidak sanggup jika berjauhan dengannya. Aku. Tidak. Sanggup. Di saat aku masih asyik dengan segala kegalauanku, seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Lid...” panggilnya seseorang dengan suara yang sangat ku hafal. Aku masih tetap tidak bergerak dari posisi awal.
“Lidya, sayang...” kembali ia memanggilku. Masih tidak ku gubris.
“Hufffft... Deee~” Panggil Leon dengan panggilan kesayanganku. Semakin tidak ku tanggapi, semakin besar pula aku tidak ingin melepasnya. Rasa cintaku pada Leon akhirnya menang. Segera aku bangkit dan menuju pintu.
“Aku pulang dulu, sudah larut. Aku minta maaf atas segala ke-egoisanku. Maafkan aku atas kebohongan yang aku lakukan. Aku harap kamu mau memaafkan aku” ucap Leon dari balik pintu. Ingin sekali aku membuka pintu yang membatasi kami ini. Ingin rasanya aku membuka pintu lalu menghambur pada tubuh Leon dan memeluknya erat dan memohon agar ia membatalkan niatnya untuk pergi ke Boston. Namun, aku membiarkan egoku ini menang dan tidak melakukannya. Yang aku lakukan hanya menempelkan tangan kiriku pada pintu seolah sedang menyentuh tangan Leon langsung dan berharap ia melakukannya juga. Aku menangis sejadi-jadinya. Menutup mulutku dengan tangan agar ia tidak tahu betapa aku sangat hancur.
Terdengar langkah kaki Leon yang akan menjauhi kamarku. Pelan-pelan aku membuka pintu sedikit dan melongok. Leon mulai menyusuri tangga untuk segera turun. Ingin mulut ini memanggil namanya namun suara ini tertahan oleh amarah yang mendidihkan darahku. Tubuh ini ingin memeluk Leon tapi ego ini terlalu kuat untuk mengejarnya. Dan aku hanya bisa mematung di balik pintu ini. Kaki ini serasa tidak sanggup menopang segala kesedihanku hingga aku terduduk.
Aku tahu akan terasa hangat jika kamu di sini. Aku merasa aman jika kamu berada di sampingku. Tangan ini tak sanggup tanpa genggamanmu yang mengisi di antara sela jemariku jika berjauhan. Maafkan aku Leon, namun aku tidak bisa menjadi aku yang kamu mau saat ini.
Aku ingin melupakan perasaan ini sejenak. Mungkin dengan mendengarkan musik dapat sedikit membantu. Begitu pemikiranku. Aku mulai mencari-cari ponselku di dalam tas, setelah aku menemukannya, aku langsung membuka aplikasi iTunes, tak lupa memasang earphone lalu memutar acak lagu-lagu yang tersimpan dalam ponselku ini.
“Bu... Ibu...” panggil sayup si pemilik suara yang aku kenal baik sambil menggoyangkan tubuhku. Sontak mataku yang tengah terpejam sembari menikmati lagu dari iPod ini langsung terbelalak.
“Ibu ngapain tidur di sini? Lho, itu kan...”
“Eh ayah... hehehe” sahutku salah tingkah yang tertangkap basah tengah mengacak-acak kotak rahasia milik suamiku ini, Leon. “Ini... Uhmmm, tadi jatuh waktu beresin kotak-kotak yang nggak kamu kembalikan pada tempatnya. Terus aku kepo deh...”
“Itu kan rahasia, bu. Kenapa dibuka-buka?”
“Kan ga sengaja, Salah sendiri kenapa berantakin gudang?” ujarku membela diri “Tapi aku seneng kok kamu menyimpan benda-benda ini. Aku jadi ingat masa-masa kita dulu, yah” sambungku sambil mengelus pipinya yang ditumbuhi jambang nan terawat itu.
“Duh, ibu... aku kan jadi malu”
“Kenapa harus malu? Kita udah jadi suami istri begini kenapa malu?”
Giliran Leon yang sekarang salah tingkah. Terlihat dari raut wajahnya yang memerah dan menggaruk-garuk belakang kepalanya. Aku yakin kepalanya tidak gatal saat ini.
“Duduk sini, yah... aku mau ajak kamu mengenang masa lalu kita” Kataku sambil menarik tanggannya untuk duduk disebelahku. Dengan terpaksa ia menuruti mauku.
“Masih ingat nggak waktu kita makan sama-sama team K3 sama teteh Melody?”
“Waktu habis show ulang tahun ke-21 kamu itu bukan? Hari terakhir aku kerja jadi stage manager ya?”
“Nah, itu! Bener banget. Dan kamu tahu kenapa aku bisa nyusul kamu ke bandara dan...”
“Tunggu... jangan-jangan?”
“Hahahaha... Jadi begini ceritanya...” Dan kemudian aku mulai bercerita.
Sudah hampir sebulan aku tidak menghubungi Leon. Aku hanya membaca semua chat yang Leon kirimkan. Dan ia masih tetap sabar menghadapi sikap dinginku padanya. Ia sangat sabar meski chatnya tak berbalas. Minimal sekali atau dua kali ia mengirimkan pesan dalam sehari. Entah mengingatkan untuk tidak lupa makan, mengucapkan selamat tidur atau meminta maaf dan mengungkapkan kerinduannya. Namun, di dalam sudut hatiku yang kelam ini masih ada rasa iba padanya. Jujur aku sangat rindu padanya. Sebuah ironi untuk gadis yang sok kuat.
Sampai pada akhirnya hari terakhir Leon bertugas sebagai stage manager sekaligus hari pertamaku kembali aktif sebagai member Team K3. Bukan hanya sekedar “comeback”, namun sekaligus perayaan ulang tahunku yang ke-21 atau biasa disebut seitansai. Meskipun aku sudah berbulan-bulan tidak berkegiatan sebagai member Team K3, aku tidak membutuhkan banyak penyesuaian. Aku sudah hafal di luar kepala baik koreografi saat bersama group atau unit. Segala usahaku telah membuat muscle memory-ku membuatku cepat beradaptasi.
Karena hari ini adalah hari istimewa bagiku, aku dipercaya untuk menjadi center pada show ini. Sebuah beban namun sekaligus kesempatanku untuk membuktikan bahwa aku dapat mengemban tugas untuk memimpin teman-temanku. Sesekali aku memperhatikan Leon yang tengah serius melakukan tugasnya sebagai koordinator panggung. Dengan cekatan ia memastikan semua elemen pendukung pertunjukkan malam ini tidak ada yang kurang sama sekali. Kekagumanku ini membuat hati kecilku memantikan kembang api cintaku pada Leon. Sayangnya kembang api itu hanya meletup lemah karena awan mendung kekecewaanku pada Leon yang tetap akan meninggalkanku.
Di tengah-tengah aku menghafal blocking, Viny menghentikan sementara semua kesibukan persiapan show malam ini. Ia ingin kami memberikan penghormatan terakhir pada Leon. Aku memang sedikit enggan melakukannya karena aku masih sangat kecewa pada Leon. Dan aku mau tidak mau ikut bergabung dengan teman-temanku lainnya.
Fast forward, pertunjukkan malam itu berjalan sukses, Dan aku juga sukses bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena sekali lagi aku diberi kesempatan untuk merayakan “belated birthday show” bersama fansku. Namun aku sedih mengingat kebahagiaanku akan pergi meninggalkanku. Aku sedikit tidak bisa mengendalikan emosi ketika aku harus berbicara tentang perasaanku saat ulang tahun. Dan sepertinya aku terlalu dalam mengucapkannya. Mungkin Leon mengerti apa ucapanku soal keengananku pada orang yang aku sayang itu akan akan pergi.
Tetapi kecanggungan juga terjadi saat makan malam bersama dengan seluruh team K3 dan staff. Tidak terkecuali Leon. Aku sukses dibuat makin salah tingkah ketika Teh Melody menyuruhku untuk sedikit berpidato disela makan malam. Begitu juga Leon yng juga makin membuatku kikuk. Rasanya tidak nyaman. Ingin aku berteleportasi ke tempat yang tidak ada siapa pun saat itu juga dan melupakan kejadian ini semua.
“Lidya, I really need to talk with you” sebuah chat dari Leon masuk ke handphoneku. Aku tidak mengindahkannya. Hanya ku baca dan kembali ku kunci handphoneku.
“Aku mohon, untuk terakhir kalinya” kembali Leon mengirimkan pesan pendek. Kali ini aku sangat muak dengannya. Cukup lama aku memutuskan untuk mebalasnya atau tidak. Kepalaku menyuruh untuk tetap tidak membalasnya, tetapi hatiku masih lebih kuat. Aku pun membalasnya dengan kalimat ketus “Okay, make it quick”. Aku berkilah hanya ingin tahu apa yang ingin dia bicarakan. Jika itu bisa membuatnya tidak menggangguku lagi, kenapa tidak.
“Ketemu di P3, di tempat biasa” balasnya. Tak lama setelah Leon berpamitan dengan yang lain, aku segera menyusul Leon.
Lift membawaku turun menuju basement. Lantai demi lantai aku lalui. Pikiranku tak henti-hentinya bertanya apa yang ingin dibicarakan Leon hingga aku sampai di basement P3 mall ini. Aku berjalan perlahan menuju tempta kami biasa bertemu setelah show atau kegiatan hingga larut malam. Dan aku segera menyadari bahwa tidak akan ada lagi kami bertemu di sini untuk kedepannya. Tempat di mana aku memeluknya sejenak melepas segala penat kegiatanku sebagai seorang idol. Hanya di depan Leon aku bisa melepas segala topeng bernama “profesionalisme” menjadi gadis manja terkadang ceroboh ini.
Tak lama aku menemukannya sedang bersandar di salah satu tiang beton, memutar-mutar handphonenya sembari mengisap rokok mild kegemarannya yang sangat aku benci. Yang ku tahu ia sudah berhenti merokok, tapi kenapa dia merokok lagi? Ah, aku juga tidak peduli. Sepertinya Leon sudah menyadari kedatanganku. Ia menoleh ke arahku seraya membuang rokoknya yang sepertinya baru ia sulut. Ia sedikit gugup sambil mengibas-ngibaskan tangannya guna menghilangkan kepulan asap rokok yang ia hembuskan.
“Hufft... Mau ngomong apa? Cepetan!” ujarku sinis.
“Lid...” panggilnya yang berusaha memegang tanganku. Namun segera ku tepis. Aku tidak mau sentuhan lembutnya membuatku makin teringat dengan waktu-waktu menyenangkan bersamanya.
“Apa sih? Katanya mau ngomong” ucapku seraya memalingkan pandanganku ke arah lain.
“Okay, maaf... aku cuma ingin memperbaiki hubungan kita sebelum aku berangkat”
“Hubungan apa? Kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi sejak kamu bohongi aku”
“Lid, please... jangan begitu. Baiklah, kalau memang kita tidak ada hubungan apa-apa, kita masih bisa berteman. Aku mohon, setidaknya aku bisa menjalani 3 tahunku di sana tanpa rasa bersalah” Leon masih bersikeras memohon, namun aku masih tetap angkuh. Rasa kecewaku padanya membuat hatiku terluka, dengan ia memohon seperti ini, makin membuat luka itu menganga. Namun, hati kecilku tidak ingin semua berakhir begitu saja.
Aku tidak ingin hanya berhubungan sebagai teman saja, setelah apa yang kita lakukan selama ini. Sumpah, saat ini aku sangat bingung dengan diriku sendiri. Tuhan, jika Engkau berkenan, cabut nyawaku sekarang juga! Aku tidak sanggup memikul beban ini sendirian!.
“Tapi... aku nggak bisa berteman saja dengan kamu...” ucapku spontan dengan lirih. Eh, bicara apa aku ini. Aku melihat raut muka penuh tanya dari paras menenangkan Leon. Sial, kayaknya dia denger apa yang aku ucapin. Sungguh, kegalauanku ini membuat otak dan hati tidak berkoordinasi dengan baik. Apakah ini yang dinamakan cinta?
“Aku sebenernya masih...” aku tidak melanjutkan ucapanku. Sudah diujung lidah namun tenggorokanku serasa tercekat.
“Aku... nggak... ah udah pergi sana!”
Dan keangkuhanku memenangkan gejolak pertempuran hatiku. Aku menghardik Leon dan mendorongnya. Namun tangan Leon kalah sigap dengan diriku yang ingin berbalik meninggalkan Leon. Ia menarikku ke arah tubuhnya dan memelukku dengan erat. Pelukkan ini... sebuah pelukan yang amat aku senangi. Pelukan dari orang yang paling aku sayang. Tapi, pelukan ini juga membuatku semakin mengingat aku tidak bisa merasakan tangan Leon melingkar di tubuhku. Dan itu rasanya menyakitkan!.
“Aku masih sayang kamu. Dan aku tahu perasaan kamu juga sama denganku. Aku minta maaf belum bisa jadi yang terbaik buat kamu. Tapi aku mohon... beri kesempatan aku sekali lagi. Kesempatan untuk memperbaiki semua. Aku janji, 3 tahun lagi aku akan kembali lagi buat kamu”. Leon mengiba padaku yang membuat aku tidak bisa lagi membendung tangisku. “Tapi aku nggak bisa... aku nggak bisa...!” aku menangis sejadi-jadinya. Aku meremas kaos Leon lalu memukul-mukul dadanya sebagai tanda penolakan. Semakin erat ia memeluk, semakin hancur aku dibuatnya. Tolong, Leon. Mengertilah!.
“Maaf...” Ujar Leon lirih
“Maaf jika caraku untuk membahagiakan kamu salah” kembali ia meneruskan kalimatnya. Pelukannya pun seketika mengendur.
“Jika memang itu sudah keputusan kamu... aku akan terima itu. Sekali lagi aku minta maaf” Dan Leon berbalik berjalan meninggalkanku. Aku hanya mematung menatap punggungnya yang perlahan menjauhiku. Tiba-tiba aku merasakan ada yang akan meledak dalam dadaku...
“PERGI SANA! AKU NGGAK BUTUH KAMU! AKU HARAP NGGAK KENAL KAMU DARI AWAL!”
Teriakku sekuat tenaga hingga membuat suaraku memantul ke segala penjuru parkir basement. Namun Leon tidak bergeming dan ia masih terus berjalan meninggalkanku seolah ia tidak peduli dengan keadaanku sekarang. Aku sudah tidak peduli dengan semua ini. Aku pun berlari sekuat tenaga, meninggalkan kepingan-kepingan kenangan yang berserak di belakangku menuju lift. Yang aku butuhkan saat ini hanya ingin segera pulang dan melupakan kejadian tadi.
Lift membawaku melewati lantai demi lantai menuju lobby utama. Dan selama itulah aku meratapi segala kekecewaan dan penyesalan yang terjadi padaku. Isak tangisku menggema dalam kubus kecil ini. Mungkin dinding lift ini pun merasa kasihan melihat diriku yang sedang hancur ini. Aku berjalan dengan tergesa-gesa sesaat pintu lift terbuka, tak lupa menyeka air mata yang membasahi pipiku. Aku melewati beberapa fans yang masih setia menunggu oshi-nya pulang melewati pintu keluar drop-off. Beberapa di antaranya menyapaku. Tentunya aku membalasnya dengan melemparkan senyum tulusku meski terlihat palsu, aku tidak peduli apakah mereka melihat mataku yang sembab ini.
Aku menyusuri turunan yang mengarah pada gerbang keluar mall. Aku sendiri tidak tahu akan pulang menumpang apa karena aku tidak memesan taksi online. Nanti saja jika aku sudah cukup tenang, pikirku saat itu. Pikiranku terlalu sibuk mengutuk sikapku terhadap Leon. Aku pun tidak peduli dengan diriku yang sedang berjalan menyusuri trotoar di jam yang hampir menunjukkan tengah malam. Aku tidak peduli jika ada seseorang yang tiba-tiba menggodaku atau menculikku sekalipun. Yang aku pedulikan hanya Leon. Aku mau Leon. Itu saja.
Di saat aku berjalan, tiba-tiba ada sebuah mobil Honda Brio berwarna Putih membunyikan klakson dan berhenti disampingku. Perlahan sang pengendara mobil itu menurunkan kaca jendelanya.
“Lidya, ngapain kamu jalan sendirian di trotoar tengah malem gini? Ayo sini masuk.” ucap sang pengendara menawariku tumpangan. Sepertinya aku mengenal suara pengendara tersebut...
“Teh Imel?”
“Kamu dari mana malam-malam gini jalan di trotoar kayak anak ilang? Aku kira kamu tadi udah balik duluan abis makan malam tadi.” ujar teh Imel yang tengah fokus menyetir mobilnya. Ya, aku kini sudah berada di dalam mobil Teh Imel alias Melody Nurramdhani Laksani. Seorang member dan GM theater juga legenda di JKT48 yang sangat aku hormati. Aku sebenarnya sudah menolak ajakannya untuk mengantarkanku pulang. Yang aku tahu, jalan arah pulang kami tidak searah. Namun, Teh Imel tetap memaksaku sehingga aku merasa tidak enak jika menolaknya.
Tak perlu aku menceritakan segala perjuangan dan pencapaiannya saat ini. Sudah banyak keringat dan air mata terjatuh untuk membuka jalan bagi member-member junior sepertiku ini. Aku sangat berterima kasih padanya, dan apa bila ada member yang tidak menghormatinya, mungkin aku akan yang maju terlebih dahulu untuk memberi pelajaran. Yang aku dengar ada beberapa member junior di bawahku yang bersikap kurang ajar pada Teh Imel, hingga membuatnya menangis saat sesi kampanye senbatsu sousenkyo yang juga disiarkan lewat Instagram Live pada akun resmi JKT48. Emosiku mencapai titik didihnya saat itu. Ingin rasanya aku sumpal mulut member itu dengan sepatu Nike Air Max-ku.
“Eh... Enggak apa-apa, kok teh... Cuma pengen cari angin aja, tadi ketemu sama temen dulu makanya nggak langsung balik.” Ucapannya membuatku terhenyak dari pikiranku yang mengawang. Aku berbohong. Padahal aku ketemu sama Leon tadi... ah, tuh kan jadi ingat lagi kan. Huft.
“Lho, Lidya... Kamu abis nangis?.” Sergah Teh Imel sambil berusaha meraih tissue pada dashboard dan ingin mengusapkannya pada pipiku. Sial, aku sendiri tidak sadar jika tangisku menetes di pipi. “Kenapa? Cerita sama aku. Siapa tahu aku bisa bantu.” Tawarnya.
“Enggak teh, ini Cuma kelilipan aja kok...”
“Jangan bohong, Uhmmm... Leon kan?” tebak Teh Imel singkat, namun tepat menghujam jantungku. Sial, dari mana dia tahu?.
“Eng-enggak teh, bukan... serius aku Cuma kelilipan aja” ujarku tergagap berusaha meyakinkannya.
“Lidya... Lidya...” Teh Imel menggelengkan kepalanya sambil tersenyum dengan pandangan lekat pada jalanan di depan kami. “Kamu itu enggak berbakat untuk berbohong, aku udah tahu semuanya kok” kata Teh Imel yang makin membuatku merasa semakin salah tingkah.
“Te-teh tahu dari mana?”
“Kamu kira aku enggak punya mata di setiap team? Ingat, Lidya. Aku kan General Manajer Theater. Apa yang terjadi di dalam theater, aku pasti tahu...”
Dan aku hanya bisa dan tertunduk malu mendengar perkataan Teteh barusan.
“Terus tadi juga kalian berdua agak aneh, kayak bukan biasanya gitu. Gimana ya? Kayak canggung gitu. Kenapa emang?” Ah, ternyata Teteh sadar dengan sikap kami.
“Enggak ada apa-apa teh, kita berteman biasa aja kok...” Kembali aku berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi. “Berteman? Yakin?” selidik Teh Imel sekaligus menggodaku.
Aku mengangguk demi meyakinkan Teh Imel.
“Hahaha... Udah jujur aja deh. Kamu pacaran kan sama Leon? Kamu ini ya, nakal!”
Aku makin menunduk. Rasanya ingin merobek mukaku dan membuangnya melalui jendela mobil. Malu banget!.
“Iya, teh... aku pacaran sama Leon”.
“Nah, gitu kek dari tadi. Pake bohong segala. Terus teh kenapa kamu nangis gini? Marahan sama Leon? Sampe jalan di trotoar sendirian. Nggak takut diculik? Hiii amit-amit!” kata Teh Imel disusul mengetuk-ngetuk dashboard beberapa kali.
“Gimana ya teh, di satu sisi aku dukung banget Leon kuliah di Amerika. Tapi aku enggak bisa kalau enggak dekat sama dia. Buat aku, Leon udah kayak separuh nyawa aku. Dan waktu dia jauh, rasanya aku kayak enggak punya kekuatan buat jalanin hidup. Maaf, teh. Mungkin kedengarannya kayak lebay, tapi jujur itu yang aku rasain sekarang... dan...”
“Dan kenapa, Lidi?”
“A-aku... aku... udah putus sama Leon”
Kemudian Teh Imel menepikan mobilnya di bahu jalan. “Hah, kok bisa?” Teh Imel menatapku dengan dahi yang mengerenyit. “Yang sabar ya...” hiburnya seraya mengusap kepalaku lembut “... Sebenarnya aku tahu ini salah, tapi bukannya sejak kamu sama Leon jadi makin semangat ya di JKT48? Aku enggak sekali dua kali lihat kamu perform lho. Kalau kamu udah enggak sama Leon, apa kamu bisa sesemangat seperti biasanya?”
“Enggak tahu teh, aku bingung... Jujur, aku enggak bisa kalau jauh dengannya. Apa lagi aku harus berhubungan jarak jauh. Aku enggak bisa kalau cuma berteman aja sama dia, itu jauh lebih menyakitkan... lebih baik aku enggak kenal dia sebelumnya kalau akhirnya kayak gini.”
Kami diam untuk beberapa saat.
“Kalau udah begini, rasanya aku ingin ngajuin kelulusan sama management, teh...”
“Hmmm... Kamu sayang banget ya sama Leon?”
“Iya teh, sayang... sayaaang banget. Bahkan lebih sayang dari diri aku sendiri. Dia kebahagiaan aku, teh” jawabku dengan nada yang meninggi dan terisak.
“Kalau sayang, pasti kamu mau dia bahagia bukan?”
“Pastinya...”
“Kalau kebahagiaan Leon itu kamu, gimana?”
Jawaban singkat Teh Imel membuatku terdiam. Lidahku kelu hingga tidak bisa menjawab pertanyaan Teh Imel. Kepalaku mendadak kosong dan hatiku tersayat seketika.
“Dan kalau kamu memang yakin putus sama Leon, mana yang lebih menyakitkan. Mengingatnya atau melupakannya?”.
Ah, Teh Melo... kata-katamu semakin membuatku kacau. Tidak mudah melupakan Leon, terlalu banyak kenangan manis yang membuatku selalu aku ingat. Tapi, kejadian tadi juga tidak bisa aku lupakan begitu saja. Setiap aku mengingatnya, akan terasa sangat menyakitkan. Tidak mudah untuk mengingat atau melupakannya.
“Lidya, kamu sadar enggak kalau Leon sudah berkorban buat kamu? Berusaha untuk tidak menunjukkan rasa sayangnya terang-terangan di depan umum. Itu enggak mudah lho. Apa lagi ini juga menyangkut karir kamu...” ujar Teh Imel dengan senyum manisnya. “Aku yakin Leon ingin kamu bahagia juga. Mungkin dengan cara ia meraih impiannya bersekolah di luar negeri, ia bisa membahagiakan kamu kelak di masa depan. Kalau Leon mendukung impian kamu di sini, mengapa kamu enggak mendukung Leon meraih impiannya juga?”
Kata-kata Teh Imel semakin membuatku merasa sangat bersalah pada Leon. Membuatku ingin memutar waktu kembali dan memperbaiki semuanya. Maafkan aku, Leon.
“Teh... tapi semuanya udah terlambat...”
“Enggak ada kata terlambat kalau kamu mau berusaha untuk memperbaikinya, oke?. Jangan hanya karena kamu sedang labil, kamu membuang kesempatan bagus di depan sana.... Hhhhh... Sebenarnya aku sangat ingin membuat semua member berkesempatan untuk bersinar...” Teh Imel memotong perkataannya.
“Maksud Teh Imel?” aku masih bingung mencerna maksud Teh Imel sebenarnya.
“Jalan kamu masih panjang, Lidya. Kamu jangan sampai menyia-nyiakan kesempatan yang menanti untuk kamu raih suatu saat nanti. Ini waktu yang tepat untuk kamu memperbaiki diri. Buat semua orang yang mendukung kamu saat ini bangga. Termasuk Leon tentunya.”. Aku menatap mata Teh Imel ketika meyimak perkataannya. Ada sedikit air mata menggenang di sana. Teteh...
“Aku udah di sini selama bertahun-tahu... mungkin udah saatnya aku kasih kesempatan buat adik-adik aku yang lucu ini untuk dapat sorot lampu yang begitu terang di panggung” kata Teh Imel dengan mencubit pipiku dengan gemas. “Aduh teh... aduh sakit!” aku Cuma bisa mengaduh.
Sambil mengelus pipiku yang perih karena dicubit Teh Imel, aku meberanikan diri untuk bertanya “Teh, apa teteh mau...”
“Ya, lihat aja nantilah ya... Eh, aku nyalain radio ya sambil kita terusin perjalan ke rumah kamu” Teh Imel memotong pertanyaanku. Ia sedikit mengucek matanya lalu mengutak-atik channel radio dari tape mobilnya. Dari sikap dan pernyataannya, sepertinya aku tahu apa maksud tersirat Teh Imel tadi.
“... Selamat malam buat lo yang masih setia atau baru aja gabung di Xtra FM Jakarta, gimana ada yang masih di kantor lembur kerjaan? Atau ada yang masih di perjalanan balik ke rumah? Okay, masih ada 2 jam lagi gue nemenin lo semua dengan lagu-lagu favorit kalian. Yang mau request, masih kita tunggu nih di line call kita atau mention aja di akun twit**ter kita. Oke deh, next up ada lagu spesial buat kalian semua yang... mungkin malam ini lagi kepikiran sama gebetan atau pacar kalian yang... ya, sedang jauh atau sedang marahan, bisa mendukung suasana kegalauan kalian. One song for you from Adele, it’s called Daydreamer. Masih bersama gue Andara Permana di Late Night Chillin’ Xtra FM Jakarta, the only extraordinary radio station in Jakarta, sampai jam 2 nanti. Enjoy!” Dan Adele pun mulai bernyanyi sesaat setelah si announcer berbicara, Teh Imel pun sudah berkonsentrasi menghadap ke jalan yang cukup lengang, membawa mobil yang kami tumpangi menuju rumahku.
Sambil menatap jalanan di depanku, aku mulai mencerna satu persatu lirik yang dilantunkan Adele. Entah mengapa memang lagu ini serasa cocok dengan keadaanku dan Leon. Leon memang pecinta sejati. Ia bisa menhapus masa laluku seketika meski aku baru saja mengenalnya.
Ah, Leon. Kamu memang membuatku terkesima. Cara berjalanmu saja bisa membuatku kagum. Ia memang sangat susah untuk ditaklukkan, namun akan sangat mudah menyayangi jika sudah didapatkan. Ia seketika bisa mengubah duniaku hanya dengan genggaman tangannya.
Aku tahu ia sangat pendiam, namun aku selalu rindu dengan kejutan-kejutan sederhana yang ia buat. Aku tidak berkeberatan untuk menunggunya meski untuk selamanya... Ah, tunggu. Seharusnya aku seperti itu sekarang... sayangnya aku terlalu memanjakan egoku. Aku seharusnya lebih bisa bersabar...
Ah, betapa kesederhanaanya sungguh menenggelamkanku ke dalam palung cintanya. Tatapan mata yang membuatku meleleh seketika, Hoodie Paramore yang ia pinjamkan saat hujan kala itu tak hanya menghangatkan tubuhku, namun juga hatiku yang telah lama membeku dan sayangnya kini perlahan mulai mendingin. Aku juga mulai kedinginan tanpa hangat peluknya. Leon, di mana kamu sekarang? Aku butuh kamu sekarang. Aku tahu jika aku butuh kamu, secepat mungkin kamu akan mendatangi aku. Apa kah kamu masih Leon yang aku kenal itu, sayang? Aku mau kamu jangan berubah ya? Aku masih ingin kamu yang aku kenal.
Kata-kata tidak akan cukup untuk menggambarkan kesempurnaan rasa sayang Leon padaku. Tapi, aku hanya bisa berharap akan itu semua. Harapan hanyalah harapan karena aku merasa semua sudah terlambat bagiku.
Entahlah, tapi aku merasa yakin akan ada keajaiban datang. Aku merasa semuanya akan kembali seperti semula. Aku yakin Leon akan berada di depanku lalu memelukku. Bibir ini akan mengecup lembut bibirnya. Namun aku tidak akan pernah tahu kapan keajaiban itu ada. Lagu tetap mengalun, mobil berjalan dengan kecepatan konstan, semua bayang Leon seperti terproyeksi di antara berkas cahaya lampu kota. Hingga tanpa sadar mataku terpejam dengan sendirinya.
“Lid...” panggilnya seseorang dengan suara yang sangat ku hafal. Aku masih tetap tidak bergerak dari posisi awal.
“Lidya, sayang...” kembali ia memanggilku. Masih tidak ku gubris.
“Hufffft... Deee~” Panggil Leon dengan panggilan kesayanganku. Semakin tidak ku tanggapi, semakin besar pula aku tidak ingin melepasnya. Rasa cintaku pada Leon akhirnya menang. Segera aku bangkit dan menuju pintu.
“Aku pulang dulu, sudah larut. Aku minta maaf atas segala ke-egoisanku. Maafkan aku atas kebohongan yang aku lakukan. Aku harap kamu mau memaafkan aku” ucap Leon dari balik pintu. Ingin sekali aku membuka pintu yang membatasi kami ini. Ingin rasanya aku membuka pintu lalu menghambur pada tubuh Leon dan memeluknya erat dan memohon agar ia membatalkan niatnya untuk pergi ke Boston. Namun, aku membiarkan egoku ini menang dan tidak melakukannya. Yang aku lakukan hanya menempelkan tangan kiriku pada pintu seolah sedang menyentuh tangan Leon langsung dan berharap ia melakukannya juga. Aku menangis sejadi-jadinya. Menutup mulutku dengan tangan agar ia tidak tahu betapa aku sangat hancur.
Terdengar langkah kaki Leon yang akan menjauhi kamarku. Pelan-pelan aku membuka pintu sedikit dan melongok. Leon mulai menyusuri tangga untuk segera turun. Ingin mulut ini memanggil namanya namun suara ini tertahan oleh amarah yang mendidihkan darahku. Tubuh ini ingin memeluk Leon tapi ego ini terlalu kuat untuk mengejarnya. Dan aku hanya bisa mematung di balik pintu ini. Kaki ini serasa tidak sanggup menopang segala kesedihanku hingga aku terduduk.
Aku tahu akan terasa hangat jika kamu di sini. Aku merasa aman jika kamu berada di sampingku. Tangan ini tak sanggup tanpa genggamanmu yang mengisi di antara sela jemariku jika berjauhan. Maafkan aku Leon, namun aku tidak bisa menjadi aku yang kamu mau saat ini.
Aku ingin melupakan perasaan ini sejenak. Mungkin dengan mendengarkan musik dapat sedikit membantu. Begitu pemikiranku. Aku mulai mencari-cari ponselku di dalam tas, setelah aku menemukannya, aku langsung membuka aplikasi iTunes, tak lupa memasang earphone lalu memutar acak lagu-lagu yang tersimpan dalam ponselku ini.
“Living by myself
Paranoid as hell
There’s nothing I can do
Yesterday’s tomorrow
My dreams are never true
But somehow...
I keep on loving you”
Nampaknya aku salah menuruti keinginanku. Lagu Phony Ppl. – somehow. Ini langsung terputar tidak sengaja. Lirik demi lirik yang dilantunkan membuatku semakin hancur. Ya, saat ini aku takut kehilangan Leon. Namun aku tidak bisa apa-apa. I hate him right now... but somehow, I keep on loving him. Aku memejamkan mata, menikmati lagu yang terus menampar diriku. Sesekali aku terisak sambil memeluk boneka beruang kesayanganku... yang sayangnya adalah pemberian dari Leon... semakin lagu itu mengalun, semakin erat aku memeluk boneka itu hingga akhirnya aku terlelap...Paranoid as hell
There’s nothing I can do
Yesterday’s tomorrow
My dreams are never true
But somehow...
I keep on loving you”
“Bu... Ibu...” panggil sayup si pemilik suara yang aku kenal baik sambil menggoyangkan tubuhku. Sontak mataku yang tengah terpejam sembari menikmati lagu dari iPod ini langsung terbelalak.
“Ibu ngapain tidur di sini? Lho, itu kan...”
“Eh ayah... hehehe” sahutku salah tingkah yang tertangkap basah tengah mengacak-acak kotak rahasia milik suamiku ini, Leon. “Ini... Uhmmm, tadi jatuh waktu beresin kotak-kotak yang nggak kamu kembalikan pada tempatnya. Terus aku kepo deh...”
“Itu kan rahasia, bu. Kenapa dibuka-buka?”
“Kan ga sengaja, Salah sendiri kenapa berantakin gudang?” ujarku membela diri “Tapi aku seneng kok kamu menyimpan benda-benda ini. Aku jadi ingat masa-masa kita dulu, yah” sambungku sambil mengelus pipinya yang ditumbuhi jambang nan terawat itu.
“Duh, ibu... aku kan jadi malu”
“Kenapa harus malu? Kita udah jadi suami istri begini kenapa malu?”
Giliran Leon yang sekarang salah tingkah. Terlihat dari raut wajahnya yang memerah dan menggaruk-garuk belakang kepalanya. Aku yakin kepalanya tidak gatal saat ini.
“Duduk sini, yah... aku mau ajak kamu mengenang masa lalu kita” Kataku sambil menarik tanggannya untuk duduk disebelahku. Dengan terpaksa ia menuruti mauku.
“Masih ingat nggak waktu kita makan sama-sama team K3 sama teteh Melody?”
“Waktu habis show ulang tahun ke-21 kamu itu bukan? Hari terakhir aku kerja jadi stage manager ya?”
“Nah, itu! Bener banget. Dan kamu tahu kenapa aku bisa nyusul kamu ke bandara dan...”
“Tunggu... jangan-jangan?”
“Hahahaha... Jadi begini ceritanya...” Dan kemudian aku mulai bercerita.
Sudah hampir sebulan aku tidak menghubungi Leon. Aku hanya membaca semua chat yang Leon kirimkan. Dan ia masih tetap sabar menghadapi sikap dinginku padanya. Ia sangat sabar meski chatnya tak berbalas. Minimal sekali atau dua kali ia mengirimkan pesan dalam sehari. Entah mengingatkan untuk tidak lupa makan, mengucapkan selamat tidur atau meminta maaf dan mengungkapkan kerinduannya. Namun, di dalam sudut hatiku yang kelam ini masih ada rasa iba padanya. Jujur aku sangat rindu padanya. Sebuah ironi untuk gadis yang sok kuat.
Sampai pada akhirnya hari terakhir Leon bertugas sebagai stage manager sekaligus hari pertamaku kembali aktif sebagai member Team K3. Bukan hanya sekedar “comeback”, namun sekaligus perayaan ulang tahunku yang ke-21 atau biasa disebut seitansai. Meskipun aku sudah berbulan-bulan tidak berkegiatan sebagai member Team K3, aku tidak membutuhkan banyak penyesuaian. Aku sudah hafal di luar kepala baik koreografi saat bersama group atau unit. Segala usahaku telah membuat muscle memory-ku membuatku cepat beradaptasi.
Karena hari ini adalah hari istimewa bagiku, aku dipercaya untuk menjadi center pada show ini. Sebuah beban namun sekaligus kesempatanku untuk membuktikan bahwa aku dapat mengemban tugas untuk memimpin teman-temanku. Sesekali aku memperhatikan Leon yang tengah serius melakukan tugasnya sebagai koordinator panggung. Dengan cekatan ia memastikan semua elemen pendukung pertunjukkan malam ini tidak ada yang kurang sama sekali. Kekagumanku ini membuat hati kecilku memantikan kembang api cintaku pada Leon. Sayangnya kembang api itu hanya meletup lemah karena awan mendung kekecewaanku pada Leon yang tetap akan meninggalkanku.
Di tengah-tengah aku menghafal blocking, Viny menghentikan sementara semua kesibukan persiapan show malam ini. Ia ingin kami memberikan penghormatan terakhir pada Leon. Aku memang sedikit enggan melakukannya karena aku masih sangat kecewa pada Leon. Dan aku mau tidak mau ikut bergabung dengan teman-temanku lainnya.
Fast forward, pertunjukkan malam itu berjalan sukses, Dan aku juga sukses bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena sekali lagi aku diberi kesempatan untuk merayakan “belated birthday show” bersama fansku. Namun aku sedih mengingat kebahagiaanku akan pergi meninggalkanku. Aku sedikit tidak bisa mengendalikan emosi ketika aku harus berbicara tentang perasaanku saat ulang tahun. Dan sepertinya aku terlalu dalam mengucapkannya. Mungkin Leon mengerti apa ucapanku soal keengananku pada orang yang aku sayang itu akan akan pergi.
Tetapi kecanggungan juga terjadi saat makan malam bersama dengan seluruh team K3 dan staff. Tidak terkecuali Leon. Aku sukses dibuat makin salah tingkah ketika Teh Melody menyuruhku untuk sedikit berpidato disela makan malam. Begitu juga Leon yng juga makin membuatku kikuk. Rasanya tidak nyaman. Ingin aku berteleportasi ke tempat yang tidak ada siapa pun saat itu juga dan melupakan kejadian ini semua.
“Lidya, I really need to talk with you” sebuah chat dari Leon masuk ke handphoneku. Aku tidak mengindahkannya. Hanya ku baca dan kembali ku kunci handphoneku.
“Aku mohon, untuk terakhir kalinya” kembali Leon mengirimkan pesan pendek. Kali ini aku sangat muak dengannya. Cukup lama aku memutuskan untuk mebalasnya atau tidak. Kepalaku menyuruh untuk tetap tidak membalasnya, tetapi hatiku masih lebih kuat. Aku pun membalasnya dengan kalimat ketus “Okay, make it quick”. Aku berkilah hanya ingin tahu apa yang ingin dia bicarakan. Jika itu bisa membuatnya tidak menggangguku lagi, kenapa tidak.
“Ketemu di P3, di tempat biasa” balasnya. Tak lama setelah Leon berpamitan dengan yang lain, aku segera menyusul Leon.
Lift membawaku turun menuju basement. Lantai demi lantai aku lalui. Pikiranku tak henti-hentinya bertanya apa yang ingin dibicarakan Leon hingga aku sampai di basement P3 mall ini. Aku berjalan perlahan menuju tempta kami biasa bertemu setelah show atau kegiatan hingga larut malam. Dan aku segera menyadari bahwa tidak akan ada lagi kami bertemu di sini untuk kedepannya. Tempat di mana aku memeluknya sejenak melepas segala penat kegiatanku sebagai seorang idol. Hanya di depan Leon aku bisa melepas segala topeng bernama “profesionalisme” menjadi gadis manja terkadang ceroboh ini.
Tak lama aku menemukannya sedang bersandar di salah satu tiang beton, memutar-mutar handphonenya sembari mengisap rokok mild kegemarannya yang sangat aku benci. Yang ku tahu ia sudah berhenti merokok, tapi kenapa dia merokok lagi? Ah, aku juga tidak peduli. Sepertinya Leon sudah menyadari kedatanganku. Ia menoleh ke arahku seraya membuang rokoknya yang sepertinya baru ia sulut. Ia sedikit gugup sambil mengibas-ngibaskan tangannya guna menghilangkan kepulan asap rokok yang ia hembuskan.
“Hufft... Mau ngomong apa? Cepetan!” ujarku sinis.
“Lid...” panggilnya yang berusaha memegang tanganku. Namun segera ku tepis. Aku tidak mau sentuhan lembutnya membuatku makin teringat dengan waktu-waktu menyenangkan bersamanya.
“Apa sih? Katanya mau ngomong” ucapku seraya memalingkan pandanganku ke arah lain.
“Okay, maaf... aku cuma ingin memperbaiki hubungan kita sebelum aku berangkat”
“Hubungan apa? Kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi sejak kamu bohongi aku”
“Lid, please... jangan begitu. Baiklah, kalau memang kita tidak ada hubungan apa-apa, kita masih bisa berteman. Aku mohon, setidaknya aku bisa menjalani 3 tahunku di sana tanpa rasa bersalah” Leon masih bersikeras memohon, namun aku masih tetap angkuh. Rasa kecewaku padanya membuat hatiku terluka, dengan ia memohon seperti ini, makin membuat luka itu menganga. Namun, hati kecilku tidak ingin semua berakhir begitu saja.
Aku tidak ingin hanya berhubungan sebagai teman saja, setelah apa yang kita lakukan selama ini. Sumpah, saat ini aku sangat bingung dengan diriku sendiri. Tuhan, jika Engkau berkenan, cabut nyawaku sekarang juga! Aku tidak sanggup memikul beban ini sendirian!.
“Tapi... aku nggak bisa berteman saja dengan kamu...” ucapku spontan dengan lirih. Eh, bicara apa aku ini. Aku melihat raut muka penuh tanya dari paras menenangkan Leon. Sial, kayaknya dia denger apa yang aku ucapin. Sungguh, kegalauanku ini membuat otak dan hati tidak berkoordinasi dengan baik. Apakah ini yang dinamakan cinta?
“Aku sebenernya masih...” aku tidak melanjutkan ucapanku. Sudah diujung lidah namun tenggorokanku serasa tercekat.
“Aku... nggak... ah udah pergi sana!”
Dan keangkuhanku memenangkan gejolak pertempuran hatiku. Aku menghardik Leon dan mendorongnya. Namun tangan Leon kalah sigap dengan diriku yang ingin berbalik meninggalkan Leon. Ia menarikku ke arah tubuhnya dan memelukku dengan erat. Pelukkan ini... sebuah pelukan yang amat aku senangi. Pelukan dari orang yang paling aku sayang. Tapi, pelukan ini juga membuatku semakin mengingat aku tidak bisa merasakan tangan Leon melingkar di tubuhku. Dan itu rasanya menyakitkan!.
“Aku masih sayang kamu. Dan aku tahu perasaan kamu juga sama denganku. Aku minta maaf belum bisa jadi yang terbaik buat kamu. Tapi aku mohon... beri kesempatan aku sekali lagi. Kesempatan untuk memperbaiki semua. Aku janji, 3 tahun lagi aku akan kembali lagi buat kamu”. Leon mengiba padaku yang membuat aku tidak bisa lagi membendung tangisku. “Tapi aku nggak bisa... aku nggak bisa...!” aku menangis sejadi-jadinya. Aku meremas kaos Leon lalu memukul-mukul dadanya sebagai tanda penolakan. Semakin erat ia memeluk, semakin hancur aku dibuatnya. Tolong, Leon. Mengertilah!.
“Maaf...” Ujar Leon lirih
“Maaf jika caraku untuk membahagiakan kamu salah” kembali ia meneruskan kalimatnya. Pelukannya pun seketika mengendur.
“Jika memang itu sudah keputusan kamu... aku akan terima itu. Sekali lagi aku minta maaf” Dan Leon berbalik berjalan meninggalkanku. Aku hanya mematung menatap punggungnya yang perlahan menjauhiku. Tiba-tiba aku merasakan ada yang akan meledak dalam dadaku...
“PERGI SANA! AKU NGGAK BUTUH KAMU! AKU HARAP NGGAK KENAL KAMU DARI AWAL!”
Teriakku sekuat tenaga hingga membuat suaraku memantul ke segala penjuru parkir basement. Namun Leon tidak bergeming dan ia masih terus berjalan meninggalkanku seolah ia tidak peduli dengan keadaanku sekarang. Aku sudah tidak peduli dengan semua ini. Aku pun berlari sekuat tenaga, meninggalkan kepingan-kepingan kenangan yang berserak di belakangku menuju lift. Yang aku butuhkan saat ini hanya ingin segera pulang dan melupakan kejadian tadi.
Lift membawaku melewati lantai demi lantai menuju lobby utama. Dan selama itulah aku meratapi segala kekecewaan dan penyesalan yang terjadi padaku. Isak tangisku menggema dalam kubus kecil ini. Mungkin dinding lift ini pun merasa kasihan melihat diriku yang sedang hancur ini. Aku berjalan dengan tergesa-gesa sesaat pintu lift terbuka, tak lupa menyeka air mata yang membasahi pipiku. Aku melewati beberapa fans yang masih setia menunggu oshi-nya pulang melewati pintu keluar drop-off. Beberapa di antaranya menyapaku. Tentunya aku membalasnya dengan melemparkan senyum tulusku meski terlihat palsu, aku tidak peduli apakah mereka melihat mataku yang sembab ini.
Aku menyusuri turunan yang mengarah pada gerbang keluar mall. Aku sendiri tidak tahu akan pulang menumpang apa karena aku tidak memesan taksi online. Nanti saja jika aku sudah cukup tenang, pikirku saat itu. Pikiranku terlalu sibuk mengutuk sikapku terhadap Leon. Aku pun tidak peduli dengan diriku yang sedang berjalan menyusuri trotoar di jam yang hampir menunjukkan tengah malam. Aku tidak peduli jika ada seseorang yang tiba-tiba menggodaku atau menculikku sekalipun. Yang aku pedulikan hanya Leon. Aku mau Leon. Itu saja.
Di saat aku berjalan, tiba-tiba ada sebuah mobil Honda Brio berwarna Putih membunyikan klakson dan berhenti disampingku. Perlahan sang pengendara mobil itu menurunkan kaca jendelanya.
“Lidya, ngapain kamu jalan sendirian di trotoar tengah malem gini? Ayo sini masuk.” ucap sang pengendara menawariku tumpangan. Sepertinya aku mengenal suara pengendara tersebut...
“Teh Imel?”
“Kamu dari mana malam-malam gini jalan di trotoar kayak anak ilang? Aku kira kamu tadi udah balik duluan abis makan malam tadi.” ujar teh Imel yang tengah fokus menyetir mobilnya. Ya, aku kini sudah berada di dalam mobil Teh Imel alias Melody Nurramdhani Laksani. Seorang member dan GM theater juga legenda di JKT48 yang sangat aku hormati. Aku sebenarnya sudah menolak ajakannya untuk mengantarkanku pulang. Yang aku tahu, jalan arah pulang kami tidak searah. Namun, Teh Imel tetap memaksaku sehingga aku merasa tidak enak jika menolaknya.
Tak perlu aku menceritakan segala perjuangan dan pencapaiannya saat ini. Sudah banyak keringat dan air mata terjatuh untuk membuka jalan bagi member-member junior sepertiku ini. Aku sangat berterima kasih padanya, dan apa bila ada member yang tidak menghormatinya, mungkin aku akan yang maju terlebih dahulu untuk memberi pelajaran. Yang aku dengar ada beberapa member junior di bawahku yang bersikap kurang ajar pada Teh Imel, hingga membuatnya menangis saat sesi kampanye senbatsu sousenkyo yang juga disiarkan lewat Instagram Live pada akun resmi JKT48. Emosiku mencapai titik didihnya saat itu. Ingin rasanya aku sumpal mulut member itu dengan sepatu Nike Air Max-ku.
“Eh... Enggak apa-apa, kok teh... Cuma pengen cari angin aja, tadi ketemu sama temen dulu makanya nggak langsung balik.” Ucapannya membuatku terhenyak dari pikiranku yang mengawang. Aku berbohong. Padahal aku ketemu sama Leon tadi... ah, tuh kan jadi ingat lagi kan. Huft.
“Lho, Lidya... Kamu abis nangis?.” Sergah Teh Imel sambil berusaha meraih tissue pada dashboard dan ingin mengusapkannya pada pipiku. Sial, aku sendiri tidak sadar jika tangisku menetes di pipi. “Kenapa? Cerita sama aku. Siapa tahu aku bisa bantu.” Tawarnya.
“Enggak teh, ini Cuma kelilipan aja kok...”
“Jangan bohong, Uhmmm... Leon kan?” tebak Teh Imel singkat, namun tepat menghujam jantungku. Sial, dari mana dia tahu?.
“Eng-enggak teh, bukan... serius aku Cuma kelilipan aja” ujarku tergagap berusaha meyakinkannya.
“Lidya... Lidya...” Teh Imel menggelengkan kepalanya sambil tersenyum dengan pandangan lekat pada jalanan di depan kami. “Kamu itu enggak berbakat untuk berbohong, aku udah tahu semuanya kok” kata Teh Imel yang makin membuatku merasa semakin salah tingkah.
“Te-teh tahu dari mana?”
“Kamu kira aku enggak punya mata di setiap team? Ingat, Lidya. Aku kan General Manajer Theater. Apa yang terjadi di dalam theater, aku pasti tahu...”
Dan aku hanya bisa dan tertunduk malu mendengar perkataan Teteh barusan.
“Terus tadi juga kalian berdua agak aneh, kayak bukan biasanya gitu. Gimana ya? Kayak canggung gitu. Kenapa emang?” Ah, ternyata Teteh sadar dengan sikap kami.
“Enggak ada apa-apa teh, kita berteman biasa aja kok...” Kembali aku berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi. “Berteman? Yakin?” selidik Teh Imel sekaligus menggodaku.
Aku mengangguk demi meyakinkan Teh Imel.
“Hahaha... Udah jujur aja deh. Kamu pacaran kan sama Leon? Kamu ini ya, nakal!”
Aku makin menunduk. Rasanya ingin merobek mukaku dan membuangnya melalui jendela mobil. Malu banget!.
“Iya, teh... aku pacaran sama Leon”.
“Nah, gitu kek dari tadi. Pake bohong segala. Terus teh kenapa kamu nangis gini? Marahan sama Leon? Sampe jalan di trotoar sendirian. Nggak takut diculik? Hiii amit-amit!” kata Teh Imel disusul mengetuk-ngetuk dashboard beberapa kali.
“Gimana ya teh, di satu sisi aku dukung banget Leon kuliah di Amerika. Tapi aku enggak bisa kalau enggak dekat sama dia. Buat aku, Leon udah kayak separuh nyawa aku. Dan waktu dia jauh, rasanya aku kayak enggak punya kekuatan buat jalanin hidup. Maaf, teh. Mungkin kedengarannya kayak lebay, tapi jujur itu yang aku rasain sekarang... dan...”
“Dan kenapa, Lidi?”
“A-aku... aku... udah putus sama Leon”
Kemudian Teh Imel menepikan mobilnya di bahu jalan. “Hah, kok bisa?” Teh Imel menatapku dengan dahi yang mengerenyit. “Yang sabar ya...” hiburnya seraya mengusap kepalaku lembut “... Sebenarnya aku tahu ini salah, tapi bukannya sejak kamu sama Leon jadi makin semangat ya di JKT48? Aku enggak sekali dua kali lihat kamu perform lho. Kalau kamu udah enggak sama Leon, apa kamu bisa sesemangat seperti biasanya?”
“Enggak tahu teh, aku bingung... Jujur, aku enggak bisa kalau jauh dengannya. Apa lagi aku harus berhubungan jarak jauh. Aku enggak bisa kalau cuma berteman aja sama dia, itu jauh lebih menyakitkan... lebih baik aku enggak kenal dia sebelumnya kalau akhirnya kayak gini.”
Kami diam untuk beberapa saat.
“Kalau udah begini, rasanya aku ingin ngajuin kelulusan sama management, teh...”
“Hmmm... Kamu sayang banget ya sama Leon?”
“Iya teh, sayang... sayaaang banget. Bahkan lebih sayang dari diri aku sendiri. Dia kebahagiaan aku, teh” jawabku dengan nada yang meninggi dan terisak.
“Kalau sayang, pasti kamu mau dia bahagia bukan?”
“Pastinya...”
“Kalau kebahagiaan Leon itu kamu, gimana?”
Jawaban singkat Teh Imel membuatku terdiam. Lidahku kelu hingga tidak bisa menjawab pertanyaan Teh Imel. Kepalaku mendadak kosong dan hatiku tersayat seketika.
“Dan kalau kamu memang yakin putus sama Leon, mana yang lebih menyakitkan. Mengingatnya atau melupakannya?”.
Ah, Teh Melo... kata-katamu semakin membuatku kacau. Tidak mudah melupakan Leon, terlalu banyak kenangan manis yang membuatku selalu aku ingat. Tapi, kejadian tadi juga tidak bisa aku lupakan begitu saja. Setiap aku mengingatnya, akan terasa sangat menyakitkan. Tidak mudah untuk mengingat atau melupakannya.
“Lidya, kamu sadar enggak kalau Leon sudah berkorban buat kamu? Berusaha untuk tidak menunjukkan rasa sayangnya terang-terangan di depan umum. Itu enggak mudah lho. Apa lagi ini juga menyangkut karir kamu...” ujar Teh Imel dengan senyum manisnya. “Aku yakin Leon ingin kamu bahagia juga. Mungkin dengan cara ia meraih impiannya bersekolah di luar negeri, ia bisa membahagiakan kamu kelak di masa depan. Kalau Leon mendukung impian kamu di sini, mengapa kamu enggak mendukung Leon meraih impiannya juga?”
Kata-kata Teh Imel semakin membuatku merasa sangat bersalah pada Leon. Membuatku ingin memutar waktu kembali dan memperbaiki semuanya. Maafkan aku, Leon.
“Teh... tapi semuanya udah terlambat...”
“Enggak ada kata terlambat kalau kamu mau berusaha untuk memperbaikinya, oke?. Jangan hanya karena kamu sedang labil, kamu membuang kesempatan bagus di depan sana.... Hhhhh... Sebenarnya aku sangat ingin membuat semua member berkesempatan untuk bersinar...” Teh Imel memotong perkataannya.
“Maksud Teh Imel?” aku masih bingung mencerna maksud Teh Imel sebenarnya.
“Jalan kamu masih panjang, Lidya. Kamu jangan sampai menyia-nyiakan kesempatan yang menanti untuk kamu raih suatu saat nanti. Ini waktu yang tepat untuk kamu memperbaiki diri. Buat semua orang yang mendukung kamu saat ini bangga. Termasuk Leon tentunya.”. Aku menatap mata Teh Imel ketika meyimak perkataannya. Ada sedikit air mata menggenang di sana. Teteh...
“Aku udah di sini selama bertahun-tahu... mungkin udah saatnya aku kasih kesempatan buat adik-adik aku yang lucu ini untuk dapat sorot lampu yang begitu terang di panggung” kata Teh Imel dengan mencubit pipiku dengan gemas. “Aduh teh... aduh sakit!” aku Cuma bisa mengaduh.
Sambil mengelus pipiku yang perih karena dicubit Teh Imel, aku meberanikan diri untuk bertanya “Teh, apa teteh mau...”
“Ya, lihat aja nantilah ya... Eh, aku nyalain radio ya sambil kita terusin perjalan ke rumah kamu” Teh Imel memotong pertanyaanku. Ia sedikit mengucek matanya lalu mengutak-atik channel radio dari tape mobilnya. Dari sikap dan pernyataannya, sepertinya aku tahu apa maksud tersirat Teh Imel tadi.
“... Selamat malam buat lo yang masih setia atau baru aja gabung di Xtra FM Jakarta, gimana ada yang masih di kantor lembur kerjaan? Atau ada yang masih di perjalanan balik ke rumah? Okay, masih ada 2 jam lagi gue nemenin lo semua dengan lagu-lagu favorit kalian. Yang mau request, masih kita tunggu nih di line call kita atau mention aja di akun twit**ter kita. Oke deh, next up ada lagu spesial buat kalian semua yang... mungkin malam ini lagi kepikiran sama gebetan atau pacar kalian yang... ya, sedang jauh atau sedang marahan, bisa mendukung suasana kegalauan kalian. One song for you from Adele, it’s called Daydreamer. Masih bersama gue Andara Permana di Late Night Chillin’ Xtra FM Jakarta, the only extraordinary radio station in Jakarta, sampai jam 2 nanti. Enjoy!” Dan Adele pun mulai bernyanyi sesaat setelah si announcer berbicara, Teh Imel pun sudah berkonsentrasi menghadap ke jalan yang cukup lengang, membawa mobil yang kami tumpangi menuju rumahku.
Daydreamer
Sitting on the sea
Soaking up the sun
He is a real lover
Of making up the past
And feeling up his girl
Like he's never felt her figure before
Sitting on the sea
Soaking up the sun
He is a real lover
Of making up the past
And feeling up his girl
Like he's never felt her figure before
Sambil menatap jalanan di depanku, aku mulai mencerna satu persatu lirik yang dilantunkan Adele. Entah mengapa memang lagu ini serasa cocok dengan keadaanku dan Leon. Leon memang pecinta sejati. Ia bisa menhapus masa laluku seketika meski aku baru saja mengenalnya.
A jaw dropper
Looks good when he walks
Is the subject of their talk
He would be hard to chase
But good to catch
And he could change the world
With his hands behind his back, oh
Looks good when he walks
Is the subject of their talk
He would be hard to chase
But good to catch
And he could change the world
With his hands behind his back, oh
Ah, Leon. Kamu memang membuatku terkesima. Cara berjalanmu saja bisa membuatku kagum. Ia memang sangat susah untuk ditaklukkan, namun akan sangat mudah menyayangi jika sudah didapatkan. Ia seketika bisa mengubah duniaku hanya dengan genggaman tangannya.
You can find him sitting on your doorstep
Waiting for a surprise
And he will feel like he's been there for hours
And you can tell that he'll be there for life
Waiting for a surprise
And he will feel like he's been there for hours
And you can tell that he'll be there for life
Aku tahu ia sangat pendiam, namun aku selalu rindu dengan kejutan-kejutan sederhana yang ia buat. Aku tidak berkeberatan untuk menunggunya meski untuk selamanya... Ah, tunggu. Seharusnya aku seperti itu sekarang... sayangnya aku terlalu memanjakan egoku. Aku seharusnya lebih bisa bersabar...
Daydreamer
With eyes that make you melt
He lends his coat for shelter
Plus he's there for you
When he shouldn't be
But he stays all the same
Waits for you
Then sees you through
With eyes that make you melt
He lends his coat for shelter
Plus he's there for you
When he shouldn't be
But he stays all the same
Waits for you
Then sees you through
Ah, betapa kesederhanaanya sungguh menenggelamkanku ke dalam palung cintanya. Tatapan mata yang membuatku meleleh seketika, Hoodie Paramore yang ia pinjamkan saat hujan kala itu tak hanya menghangatkan tubuhku, namun juga hatiku yang telah lama membeku dan sayangnya kini perlahan mulai mendingin. Aku juga mulai kedinginan tanpa hangat peluknya. Leon, di mana kamu sekarang? Aku butuh kamu sekarang. Aku tahu jika aku butuh kamu, secepat mungkin kamu akan mendatangi aku. Apa kah kamu masih Leon yang aku kenal itu, sayang? Aku mau kamu jangan berubah ya? Aku masih ingin kamu yang aku kenal.
There's no way I could describe him
What I've said is just what I'm hoping for
What I've said is just what I'm hoping for
Kata-kata tidak akan cukup untuk menggambarkan kesempurnaan rasa sayang Leon padaku. Tapi, aku hanya bisa berharap akan itu semua. Harapan hanyalah harapan karena aku merasa semua sudah terlambat bagiku.
But I will find him sitting on my doorstep
Waiting for a surprise
And he will feel like he's been there for hours
And I can tell that he'll be there for life
And I can tell that he'll be there for life
Waiting for a surprise
And he will feel like he's been there for hours
And I can tell that he'll be there for life
And I can tell that he'll be there for life
Entahlah, tapi aku merasa yakin akan ada keajaiban datang. Aku merasa semuanya akan kembali seperti semula. Aku yakin Leon akan berada di depanku lalu memelukku. Bibir ini akan mengecup lembut bibirnya. Namun aku tidak akan pernah tahu kapan keajaiban itu ada. Lagu tetap mengalun, mobil berjalan dengan kecepatan konstan, semua bayang Leon seperti terproyeksi di antara berkas cahaya lampu kota. Hingga tanpa sadar mataku terpejam dengan sendirinya.
Terakhir diubah: