Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA My Fiery Fireworks (Lidya M. Djuhandar of JKT48 Fanfixxx) [TAMAT]

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Mengenang Senang (Lidya's Sidestory Pt. 7)


“Oh, jadi itu kerjaan Yona... hahaha” Leon pun tertawa. Tawa yang sungguh menggemaskan yang tak bosan aku dengarkan. Membicarakan Kak Yona membuatku bertanya “Ngomong-ngomong aku jadi kangen Kak Yona deh... apa kabar ya dia?”.


“Kurang tahu juga sih, dia udah sibuk jadi ibu rumah tangga sambil jadi bintang tamu di beberapa acara sejak dia nikah sama Kang Angga” ucap Leon sembari mengaduk-aduk “peti harta karun-nya”. Kak Yona memang sudah menikah. Tak lama setelah ia memutuskan untuk lulus dari JKT48. Mungkin satu setengah tahun sebelum aku graduate, aku lupa tepatnya. Dan setahun kemudian ia menikah dengan kekasihnya, Kang Angga. Itu pun juga diam-diam, tahu-tahu dia mengajakku bertemu dan memberikan undangan.

Tidak tahu apa yang menyebabkan ia merahasiakan pernikahannya. Ia hanya mengundang keluarga inti dan lingkar pertemanan kami saja. Bahkan member-member JKT48 pun tidak tahu sampai akhirnya ia mengumumkan anak laki-laki semata wayangnya lewat twit**ter dan beberapa infotainment meliputnya secara eksklusif. Sejak graduate, Kak Yona memang melanjutkan karirnya sebagai entertainer, namun tidak sesibuk artis-artis pada umumnya. Ia hanya mengisi acara-acara talkshow dan serial televisi sebagai bintang tamu. Kak Yona lebih fokus menjadi ibu rumah tangga untuk keluarga kecilnya, sesuai dengan apa yang dia ceritakan saat bagian MC di teater rutin kami. Ia ingin menjadi istri dan ibu yang bisa diandalkan untuk keluarga kecilnya.

“Eh, bu... coba liat foto ini deh” kata Leon sambil menyodorkan sebuah foto kami berdua pada sebuah dermaga di Ancol. “Ah, ini di Ancol waktu kamu pulang enggak bilang-bilang dari Amerika, kan? Jahat kamu ih!” rajukku sambil mendorong Leon.

“Yah namanya juga kejutan, tapi seneng kan?”

“Enggak...”

“Lho kok enggak?”

“Iya, enggak seneng. Tapi... Seneeeng bangeeet!” ucapku manja dan merangkul suamiku tersayang ini. Ya, malam itu, malam menjelang tahun baru, aku akhirnya menemukan seseorang yang aku inginkan untuk menghabiskan sisa hidupku.

-o00o-

“aku kangen kamu...” ucapku pada sosok yang muncul di layar handphoneku. “Iya aku juga kangen, tapi aku harus stay di sini sampai bulan depan. Aku masih harus menyelesaikan project-ku sama temen kuliah aku” sesalnya dengan muka masam. Ya, dia adalah Leon. Alpha Male favorit aku. Ia telah berjanji bahwa bulan ini ia akan pulang namun tidak bisa ia lakukan. Ia mengaku tidak bisa pulang karena harus menyelesaikan proyek bersama teman kuliahnya.

Dan kenyataannya...

Ia duduk manis tersenyum padaku dari tempat biasa ia mengawasi jalannya petunjukkan teater JKT48. Bukan sebagai Stage Manager, namun sebagai tamu kehormatan. Kehormatan bagiku. Ia sukses membuatku kehilangan fokus saat menampilkan hasil latihanku selama beberapa tahun ke belakang. Aku sempat mengirimkan chat padanya, aku kesal... tapi aku senang. Dan aku mewanti-wanti agar ia tidak pergi sampai show berakhir.

Lalu malam ini, waktunya aku akan memutuskan suatu hal yang sudah aku rencanakan... Aku akan mengumumkan kelulusanku dari JKT48. Dan memang sudah tekadku untuk mengumumkan kelulusanku sebagai member JKT48 sepulangnya Leon dari Amerika. Bukan maksud aku untuk mengecewakan fans-ku, namun aku sudah cukup belajar untuk mengabdi untuk orang-orang yang sudah berkorban banyak untuk kehidupanku. Dan saatnya aku akan mengabdikan diriku pada cinta terakhirku, Leon.

Long story short, show special telah berakhir dan fans-ku mendukung keputusanku. Terbukti saat sesi hi-touch mereka menyemangati dan mengucapkan terima kasih. Mungkin tidak semuanya menerima keputusanku dan aku memakluminya. But, most of all, aku terharu dengan apa yang mereka lakukan selama ini. Dan selamanya akan menjadi kenangan manis yang akan selalu aku ingat. I’ll cherish every last moment that I’ve made with them. Especially, Leon. Dia yang menguatkanku selama ini. Dan ngomong-ngomong... aku tidak mendapati sosok Leon setelah show berakhir.

Aku buru-buru memeriksa handphoneku. Ku dapati chat Leon terpampang di layar. “Temui aku di dermaga Ancol. Aku tunggu” begitu kata Leon. Aku tidak mau membuang waktu lagi, tanpa menghapus make up dan masih memakai kaos kuning biru khas K3, aku segera bergegas menyusul Leon.

“Kak, aku pulang langsung, ya? Tolong pamitin sama temen-temen yang lain” ujarku pada managerku. “Lho, mau kemana? Bentarlah kumpul-kumpul dulu” rajuk managerku. “Enggak bisa, kak. Aku buru-buru” Balasku sambil menyerobot tasku di atas meja rias. “Oh, ya udah. Emang mau kemana?” tanya managerku kembali sekedar menegaskan.

“Aku mau mengejar cintaku, kak” sambarku seraya tersenyum dan menutup pintu merah teater.

-o00o-

Dan kini, aku senewen sendiri di kursi penumpang mobil taksi online yang aku pesan. Dari tadi aku menyuruh driver-nya untuk ngebut. Sayangnya aku terjebak macet tepat menjelang masuk kawasan Ancol. Aku terus menerus memperhatikan jam di handphoneku. Aku khawatir jika Leon menunggu lama. Aku tidak mau membuatnya menunggu lagi.

Mungkin semesta sedang mendukungku, taksi online yang aku tumpangi terbebas dari jerat simpul kemacetan orang-orang yang ingin menghabiskan malam tahun baru. Dan tak butuh lama mobil yang aku tumpangi ini sampai di dermaga Ancol.

“Ini, Mas Ongkosnya. Ambil aja kembaliannya”

“Ah, iya mbak... terima kasih. Jangan lupa rat...”

Iya... aku tahu, mas. Aku bakal kasih rating bintang 5 dengan review yang baik, tapi nanti setelah aku menemukan Leon yang aku rindukan. Entah apa perasaan driver taksi online itu setelah aku membanting pintu mobilnya dan tidak memberi kesempatan dia menyelesaikan kalimatnya. Aku tak peduli. Aku hanya peduli dengan Leon yang sedang menungguku.

Cukup lama aku menyusuri dermaga yang tersusun dari kayu yang panjang panjang terbentang. Angin berhembus cukup tenang, suara deburan ombak kecil menghantam tiang penyangga dermaga, bias cahaya gedung apartemen terpantul di permukaan air ditambah lampu-lampu penerangan seadanya membuatku kesulitan menemukan Leon. Kamu di mana sayang?. Mataku tak henti-hentinya menyapu semu sudut dermaga, berharap menemukan pria yang ingin aku temui saat ini. Leon, kamu di mana sih?.

Hatiku terus menguatkan aku “Ayo, Lidi! Kamu bisa” namun kakiku sudah lelah melangkah. Ku lihat jam yang tertera di layar handphoneku yang menunjukkan 5 menit menuju pergantian tahun. Terlintas pikiran untuk menyerah namun hatiku berkata lain. “Tuhan, jika memang dia untukku, aku berjanji untuk tidak membuatnya kecewa. Aku akan memberikan hati dan diriku seutuhnya padanya...” begitu hati kecilku berkata. Dan mataku menemukan sosok yang ingin aku peluk di ujung dermaga.

Entah mendapat kekuatan dari mana, aku mulai berlari menuju sosok itu. Dengan kekuatan itu aku pun berteriak...

“MAS LEOOOOOOON!!!!!”

Begitu juga sosok itu pun berlari ke arahku...

“LIDYAAAAA!!!!”

Benar, itu adalah Leon. Semakin kencang aku berlari padanya dan kami akhirnya berpelukan erat. Mengunci dan mengisi ruang lekuk tubuh kami, seketika kekhawatiran dan rindu seakan lepas begitu saja. Waktu pun terasa berhenti. Dunia serasa milik kami berdua. Leon menghujani kecupan di pipi, kening dan bibirku. Kalian tahu rasanya? Aku rasa kata-kata apapun di kamus tidak akan bisa menggambarkan rasa yang aku alami saat ini.

“Mas, aku kangen kamu!”

“Aku pun begitu”

“Kenapa sih ninggalin aku tadi? Kan aku suruh tunggu. Jahat!” rengekku manja sambil memukul pelan dadanya.

“Aku nggak mau merasa berdosa... disaat fans kamu bersedih kamu grad, aku malah di situ”

“Nggak, mas. Aku nggak graduate karena itu...”

“Lalu?”

“Aku memang merencanakan itu sejak 3 tahun lalu, aku mau menunjukkan bahwa aku bisa jadi seseorang yang dapat membahagiakan orang lain, memberi kesan yang baik untuk dikenang... sampai aku menemukan kebahagiaanku...” ungkapku.

“...dan kini aku telah menemukan kebahagiaanku. Kamu” sambungku kembali.

Leon kembali mengecup bibirku. Tanpa nafsu. Hanya rasa cinta yang aku rasakan. Seluruh tubuhku serasa disengat oleh listrik. Aku merasa nyaman. Semua penantianku terbayar lunas dengan kecupan dari Leon.

“Jangan nangis, aku nggak mau lihat kebahagiaan aku bersedih” kataku sambil menyeka air mata yang meleleh di pipinya. Ih, cowok kok nangis sih. “Aku nggak nangis karena sedih kok, aku nangis karena aku telah bertemu kebahagiaan aku untuk selamanya” balasnya membela diri. Tanganku tak tinggal diam mengelus rambutnya yang bergelombang dan menuju punggungnya. Wangi tubuhnya menyeruak dalam rongga dadaku. Wangi yang sangat aku hafal dan aku rindukan.

“Bentar Lid, aku punya sesuatu buat kamu” katanya seraya mengendurkan pelukannya.

“Aaaaah... nggak mau lepasin! aku masih kangen tauk!” jelas aku menolaknya. Aku masih ingin lama dipeluk olehnya. Ku peluk makin erat dan menenggelamkan wajahku pada dada bidangnya.

“Bentar aja kok, sayang”

“Bentar aja ya...”

“Iya bawel” ketusnya. Mau tidak mau aku mengendurkan pelukanya. Leon mundur selangkah menjauhiku.

“Sayang, terima kasih udah bersabar sampai saat ini. Aku sangat berterima kasih sekali... Dan aku beruntung sekali bertemu dengan kamu. Meski dengan cara yang cukup ajaib...”

“Dan malam ini aku telah menentukan pilihan...” Leon menggantungkan kalimatnya. Tiba-tiba ia berlutut di hadapanku.

“Lid...” Panggilnya

“Would you marry me?” ucapnya singkat. Empat kata, satu makna. Tak perlu waktu lama untuk aku berpikir.

“Jawabanku tetap sama, mas... Yes, I do!”

Perlahan ia memakaikan cincin di jari manis di tangan kananku. Ia tersenyum seraya bangkit dan menghadap wajahku. Dan wajah kami pelan-pelan saling mendekat, hembusan nafas kami saling berlomba. Hampir tidak ada jarak di antara bibir kami yang tinggal sedikit lagi bertemu dan...

“Dor! Dor! Dor!”

Letupan kembang api mengejutkan kami. Sinarnya sangat indah dari posisi kami saat ini. Berwarna-warni melukis langit malam ini.

“Selamat tahun baru, kembang apiku...” ucapnya

“Selamat tahun baru juga, kebahagiaanku” balasku. Tangan Leon kemudian melingkar di pinggangku. Nyaman. Hanya itu yang aku rasakan sambil menikmati pemandangan kembang api tahun baru yang meletup-letup di langit. Bias warna-warninya terpantul di atas air laut tenang permukaannya. Aku ingin seperti ini. Selamanya.

-o00o-
Siapakah wanita yang ada di cermin ini? Ia sungguh cantik. Riasan sederhana terpoles dengan anggun. Rambutnya pun tak jauh dari kesan sederhana, hanya digelung di belakang dan poni samping yang menjuntai. Ia mengenakan kebaya berwarna senada dengan kulitnya yang putih langsat dengan aksen payet berwarna hijau. Siapa dia? “Itu kamu, Lidya.” Hah, itu aku? Ya, ini memang aku. Aku sedang bersiap-siap untuk pemberkatan pernikahanku dengan calon suamiku, Leon. Setelah sekian lama kami berjuang, melewati suka dan duka, akhirnya tinggal selangkah lagi aku dan dia menjadi kita.

Kami tidak mempermasalahkan jurang perbedaan yang membentang. Kami berdua berjuang untuk menjembataninya. Meski sulit, namun akhirnya kami bisa di tahap ini. Keluarga kami pun sudah setuju dengan rencana kami yang telah direncankan sejak lama. Tetapi, untuk mendapatkan kebahagiaan, tentu saja harus ada sedikit pengorbanan. Pernikahan beda keyakinan merupakan hal yang sangat sensitif di negara ini. Meski belum ada hukum yang mengaturnya, dalam keyakinan kami masing-masing terdapat aturan tentang pernikahan lintas keyakinan ini.

Kami bisa saja menikah di luar negeri, tapi buat apa jauh-jauh ke luar negeri jika tidak bersama orang-orang terdekat yang menjadi saksi bukti cinta kami. Uhm... selain dana juga sih yang membuat kami mempertimbangkannya lagi Hahaha. Bahkan awalnya Leon pun menyanggupi. Namun untukku sudah cukup bagi Leon untuk berkorban banyak untuk aku. Sekarang giliranku yang sedikit berkorban untuk kebahagiaan kami.

Cukup lama kami melakukan “riset” kecil-kecilan tentang pernikahan beda keyakinan. Kami menemukan beberapa kota yang setidaknya “melonggarkan” aturannya, dan sebuah kebetulan kampung halaman Leon adalah salah satunya. Yogyakarta. Aku juga sempat sebulan tinggal di Yogyakarta untuk mempersiapkan segala administrasi dan segala tetek bengek tralala trililinya. Sekaligus untuk nyekar ke makam Ayah Leon. Sekedar mendoakan dan meminta restu beliau secara spiritual. Tidak mudah untuk mengurus administrasinya, bahkan kami harus menempuh jalur pengadilan demi mendapatkan rekomendasi untuk menikah. Kami tidak menyerah dan saling menguatkan. Aku anggap semuanya adalah batu kerikil dalam perjalanan hidup kami.

Semesta memang bersama dengan orang-orang yang tidak pernah menyerah. Dibantu dengan kenalan keluarga Leon yang bekerja sebagai penasihat pernikahan, akhirnya kami tinggal selangkah lagi untuk menikah. Dan hari ini adalah harinya. Aku sangat bersyukur dikelilingi oleh orang-orang baik. Tak akan pernah aku melupakan kebaikan orang-orang ini.

“Duh, calon mantu ibu cantik banget deh... Udah beres semua?” ujar seseorang memecah lamunanku. Rupanya ibu Leon sengaja meluangkan waktu untuk menengokku. “Eh Iya, tan... Eh, Ibu...” aku gelagapan karena belum terbiasa.

“Kamu ini masih aja manggil tante, bentar lagi kamu kan jadi anak aku juga ahahaha” Canda ibu Leon. “Eh, ini udah beres kan ya?” Sambungnya lagi pada sang penata rias “Iya bu, udah cantik banget. Beruntung ya Mas Leon punya calon istri yang cantiiik banget. Jawab si make up artist dengan bahasa khas ben salon. Untung hasilnya bagus, kalo jelek, aku suruh dia masuk tentara deh.

“Kalo gitu, kalian makan dulu saja. Semua udah disiapin kok. Saya mau bicara sebentar sama Lidya” bicara padaku? Apa yan mau dibicarakan ya? “Baik bu, terima kasih” Balas sang penata rias dan segera membereskan semua peralatan perangnya.

“Kamu sudah siap untuk hari ini, Lidya?”

“Sangat siap, bu. Ini hari yang sangat aku tunggu-tunggu dalam hidup aku”

“Baguslah. Ibu Cuma mau mengucapkan terima kasih karena sudah sangat menyayangi anak ibu setulus hati kamu. Melihat kegigihan kamu selama ini, ibu semakin yakin kalau kamu bisa menjadi pasangan terbaik bagi Leon”. Ucapan ibunda Leon membuatku tersipu malu.

“Yang sabar ya sama Leon, kadang anaknya suka males hahaha” candanya. “Meskipun keyakinan kalian berbeda, ibu harap perbedaan kalian akan saling melengkapi. Sebenarnya, ibu dan ayah Leon juga seperti kalian...” kata ibunda Leon sambil menyelipkan poni sampingku yang menjuntai ke belakang telingaku.

“Awalnya kami juga berbeda keyakinan. Banyak anggota keluarga kami yang tidak setuju. Namun seiring berjalannya proses, berusaha untuk meyakinkan keluarga masing-masing, akhirnya kami bersatu juga. Ditambah lahirnya Kakak Leon dan juga Leon, keluarga besar pun menerima kami dengan ikhlas.” Mendengar cerita ibunda Leon, aku makin yakin dengan keputusanku ini. Cerita singkat namun menandakan sebuah kepercayaan yang harus bisa aku pegang dan jalani.

“... Puji Tuhan, ayah Leon juga akhirnya memutuskan untuk memeluk kepercayaan yang sama dengan Ibu. Prosesnya juga lama, ibu juga tidak memaksa. Begitu juga kamu, Lidya... Melepas suatu keyakinan itu bukan karena paksaan atau juga karena pengorbanan. Keyakinan sudah seharusnya di pegang teguh. Jika memang nanti kamu mendapatkan sebuah pencerahan suatu saat, ibu harap itu dari hati kamu sendiri.”

“Terima kasih, bu... sudah percaya sama aku. Aku akan laksanakan semua kata-kata ibu barusan” jawabku seraya memeluk Ibunda Leon. “Iya, sayang... ibu percaya kamu bisa” balasnya singkat. “Kamu udah siap kan? Tamu-tamu sudah menunggu di bawah.”

Ya. Aku sudah siap. Dan pasti Leon sudah menungguku di altar pernikahan kami.

-o00o-
Pelan-pelan aku menuruni anak tangga villa yang di sewa sebagai tempat berlangsungnya pernikahan kami. Sebuah villa bergaya Art Deco yang terletak di daerah wisata Kaliurang. Suasananya sangat asri. Dikelilingi pepohonan Pinus yang menambah kesejukan Kaliurang yang terkenal dengan hawa dinginnya. Ribet juga ya pake kebaya dan kain batik begini. Mobilitas sangat terbatas untukku yang sangat atraktif di kehidupan sehari-hari. Mungkin ini sebabnya kenapa wanita-wanita Jawa pada zamannya sungguh terlihat anggun. Pelan begini jalannya.

Ditemani oleh kedua sahabatku di JKT48, Viny dan Via sebagai pendamping mempelai wanita yaitu aku, tibalah kami di ambang pintu menuju halaman belakang villa. “Udah siap, Lid? Tinggal beberapa langkah lagi menuju pelaminan lho” kata Viny meyakinku. “Huffft...” Ku hela nafas sejenak guna menenangkan degup jantungku “Harus siap, Vin. Enggak ada kata mundur lagi” tegasku. “Cieee yang mau jadi Nyonya Leon bentar lagi” celetuk Via. “Hih, apaan sih lu. Makanya cepet-cepet nikah sono, jangan joged –joged mulu” Sambarku yang dibalas dengan gelak tawa Via.

“Oke, sudah siap semuanya. Yuk, MC present mempelai wanita” perintah perempuan selaku Wedding Organizer melalui handy talkie. “Baiklah, tiba saatnya kita menyambut mempelai wanita yang kita tunggu-tunggu...” sayup suara MC terdengar dari luar villa. Aku memejamkan mata sejenak, berharap semuanya lancar tanpa halangan. “... Lidya Maulida Djuhandar!” Ini dia.

Musik romantis dari homeband kenalan Leon mengiringi langkahku di atas karpet merah yang terbentang di rerumputan hijau. Semburat lembayung jingga khas langit sore hari dan dekorasi sulur-sulur lampu yang melintang di atasku menambah kesan romantis saat itu. Ah, betapa pintarnya Leon merencanakan acara pernikahan ini. Semua tamu undangan berdiri menyambutku berjalan menuju altar. Senyum terkembang di bibir masing-masing. Tak sedikit teman-temanku saat sekolah dan kuliah dulu mengabadikan momen sekali seumur hidupku ini. Entah hanya untuk difoto atau segera diposting di social media masing-masing.

Terlihat member-member JKT48 sangat excited melihatku, tak terkecuali Teteh Melody yang tersenyum manis bersama pasangannya. Ah, Kak Yona... Ia sangat anggun dan dewasa sekali. Nampak serasi dengan Kang Angga yang sedang menggendong anak lelakinya berumur 3 bulan. Aku melihat kedua orang tuaku bersama kedua adikku tersenyum dengan lepas. Ayahku sedang merangkul ibuku. Menguatkan beliau yang tetap tersenyum meski sedikit terisak. Ibu, jangan menangis seperti itu, anakmu pasti akan bahagia bersama jodohnya. Jangan khawatir. Dan ibunda Leon pun melemparkan senyum tercantiknya. Ditemani oleh Kakak Leon beserta sang istri, sayang sekali Ayah Leon tidak ada di situ, aku yakin beliau sedang tersenyum melihat pernikahanku dengan anak lelakinya yang telah membuatku jatuh hati.

Dan akhirnya mataku pun tertuju pada sesosok laki yang berdiri di dekat altar. Leon. Ia sangat gagah mengenakan setelan jas hitam yang dipadu dengan sneakers Vans tipe Authentics kegemarannya berwarna hitam putih... Ya, sneakers Vans. Sedikit menyimpang dari tema pernikahan. Katanya biar anti mainstream. Alasan macam apa itu.

“Halo, sayang...” sapanya pelan sambil mengulurkan tangan kanannya padaku. “Halo juga, sayang...” balasku yang mengenggam tangannya. “Sayang... kamu grogi enggak?” bisiknya.”Udah dari tadi kali groginya” balasku kembali. “Semuanya akan baik-baik aja, yakin” ujarnya seraya mengeratkan genggamannya pada tanganku.

“Baik, bagaimana kedua mempelai, sudah bisa di mulai?” sela pendeta yang akan menikahkan kami memecah kegugupanku dan Leon. Ya, kami menikah dengan tata cara pernikahan menurut keyakinan Leon. Mungkin bagi beberapa orang akan menganggap ini sebuah “pengkhianatan”, namun kami tidak mempedulikannya. Kami yang menjalani kehidupan dan kami pula lah yang akan bertanggung jawab atas komitmen kamu. Sungguh aku bersyukur semuanya bisa berjalan lancar dan dipermudah hingga saat ini. Karena yang ku tahu tidak semua pendeta bahkan penghulu sekalipun mau menikahkan pasangan beda keyakinan. Dan sekali lagi aku berterima kasih pada orang-orang yang membantu kami menjadi satu dalam ikatan pernikahan.

Setelah menjalani beberapa tahapan dalam susunan tata cara pernikahan, tibalah saat di mana kami akan mengucapkan janji pernikahan. “Silahkan kedua mempelai untuk saling berhadapan dan mengucapkan janji pernikahan di hadapan Tuhan dan para hadirin yang datang di tempat ini...” ucap sang pendeta. Aku dan Leon saling berhadap-hadapan. Ku tatap dalam matanya yang berbinar. Mata yang selamanya akan menatapku setiap hari. Senyum tersungging manis di bibirnya. Senyum yang akan aku usahakan tetap di sana.

“Saudara Leon Sudiro Wira Atmadja, apakah engkau bersedia menerima wanita di hadapanmu sebagai istri dan hidup bersama di dalam ikatan perkawinan? Apakah engkau bersedia berjanji untuk setia mencintai dan mengasihi baik suka maupun duka, baik di saat mujur maupun kemalangan sampai selama-lamanya? Bagaimana jawaban anda Saudara Leon Sudiro Wira Atmadja?”

“Ya, saya bersedia” ucap Leon mantab.

“Saudari Lidya Maulida Djuhandar, apakah engkau bersedia menerima pria di hadapanmu sebagai suami dan hidup bersama di dalam ikatan perkawinan? Apakah engkau bersedia berjanji untuk setia mencintai dan mengasihi baik suka maupun duka, baik di saat mujur maupun kemalangan sampai selama-lamanya? Bagaimana jawaban anda Saudari Lidya Maulida Djuhandar?”

“Ya, saya bersedia” Jawabku singkat dan tak kalah mantab. Kami pun tersenyum setelah mengucap janji suci kami di hadapan Tuhan dan semua tamu. Selanjutnya, kami saling mengenakan cincin pada jari manis kami. Leon mengenakan cincin di jari manisku, begitu juga aku pada Leon. “Hendaknya perkawinan yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan manusia sampai maut memisahkan. Nah, silahkan kedua mempelai untuk mencium pasangannnya”

Perlahan namun pasti, bibir kami saling mendekat dan terjadilah sebuah kecupan di bibirku. Seluruh tamu pun bertepuk tangan. Akhirnya aku dan Leon resmi menjadi suami istri. Kami melepas ciuman dan berpelukan. “Aku sayang kamu, mas... terima kasih telah memilihku menjadi pasanganmu” kataku tepat di telinga Leon. “Aku lebih menyayangi kamu, Lid... Terima kasih telah menerimaku sebagai pasanganmu” ucap Leon. Di sini semua berhulu yang semoga muaranya adalah bahagia.

Berlanjut ke resepsi. Semakin malam, semakin terpancar keceriaannya. Musik dari homeband memainkan lagu-lagu bermacam genre. Beberapa di antara tamu menyumbangkan suara tanpa terkecuali member-member JKT48 yang mempunyai suara emas seperti Sisca, Rona, Nadila dan lain-lain. Kami berkeliling mengunjungi satu per satu meja tamu yang ada. Kami sengaja tidak duduk di kursi pelaminan dan sengaja mingle untuk lebih akrab dengan tamu-tamu yang ada.

“Eh ini dia pengantennya, selamat ya lur” kata seseorang dengan logat Sunda yang kental, Kang Angga. “Nuhun, kang. Udah disempetin buat dateng ke nikahan gue” Leon membalas. “Selamat ya, Lid... akhirnya ya” Kak Yona menyelamatiku yang tengah kerepotan menyuapi anak lelakinya. “Thank you, kak. Makasih lho udah dateng, lengkap lagi sama jagoan kecilnya”

“Mau gimana lagi, ini anak enggak bisa ditinggal lama-lama, ya udah deh terpaksa gue bawa, itung-itung ngenalin dia sama calon mertuanya”

“Elaaah, masih lama kali, Kak Yon. Kan belum tentu jadinya cowok apa cewek Buatnya juga entar malem hahaha”

“Hmmm... feeling gue sih jadinya cewek kalo liat manjanya lo sama si Leon”

“Amiiin!”

“Wah, mau buat apa nih entar malem? Ikutan dong, kayaknya enak” celetuk Kang Angga tiba-tiba. “Eh, ikut-ikut. Ini piring lumayan lho kalo kena kepala kamu” Ancam Kak Yona. Ah, dari dulu... mereka tidak pernah berubah. Sungguh pasangan yang ajaib.

“Leon... Lidya...” Panggil seseorang dengan suara yang aku kenal. “Ayaaaaah ibuuuu!!!” Seketika aku memeluk ayah dan ibuku. Leon pun menyusul mencium tangan ayah dan ibuku serta memeluknya sejenak. “Selamat ya nak, akhirnya kamu bertemu jodoh kamu. Mengabdilah padanya, sesibuka apa pun kamu nanti di luar sana, ketika kamu kembali ke rumah, kamu adalah istri yang wajib melayani suamimu...” begitu kata ibuku.

“Siap, ibu. Aku akan berusaha menjadi istri yang dibanggakan oleh suamiku ini” kataku sambil melingkarkan tanganku pada lengan kanannya. “Saya juga akan berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab untuk Lidya dan anak kami kelak” timpal Leon “Karena sudah menjadi kodratnya laki-laki itu berjuang. Dan aku yakin kamu bisa Leon” Ayahku tak mau kalah memberi nasihat. “Enggak nyangka ya, yah... bayi kecil kita sekarang akan punya bayi” canda ibuku bercampur sedikit haru. “Apa sih ibu...” aku pun kembali memeluk ibuku dan menguatkannya. “... Selamanya aku akan jadi bayi kecil kesayangan ibu. Aku bakal kangen ibu.” Ujarku menahan haru yang ada. “Heh, lo... jagain ayah ibu ya. Awas kalo enggak” sergahku mewanti kedua adik lelakiku. “Tenang aja, bikin keponakan yang lucu-lucu ya hahaha” canda adikku paling bungsu.

“Eh, ngomong-ngomong pengantinnya mana nih? Siapa nih yang mau lihat pengantin kita berdansa untuk pertama kali?”

“Woi, apa-apan nih? Enggak ada ya dansa-dansa” protesku pada MC memecah suasana haru dengan keluargaku. “Nah, itu dia!. Ayo kepada Leon dan Lidya yang berbahagia untuk menuju ke tengah sini. Untuk berdansa di depan para tamu”. Aku sendiri tidak tahu ada sesi dansa. “Lidya...” panggil Leon. “Shall we dance?” Leon menyodorkan tangannya. “Hah... enggak deh, aku enggak bisa dansa” aku menggeleng tanda penolakanku. ”Trust me, yuk...” Leon pun menggamit tanganku menuju ke arah MC yang berdiri di tengah-tengah.

“Sayang, aku enggak bisa...”

“Ikutin aja arahan aku, ini gampang kok” kata Leon meyakinkanku yang kemudian mengangkat tangannya seperti memberi tanda pada band pengiring untuk segera memainkan sebuah lagu.

I found a love for me

Oh darling, just dive right in and follow my lead

Well, I found a girl, beautiful and sweet

Oh, I never knew you were the someone waiting for me

'Cause we were just kids when we fell in love

Not knowing what it was

I will not give you up this time

But darling, just kiss me slow, your heart is all I own

And in your eyes, you're holding mine
Leon pun memeluk pinggangku. Membimbing tanganku ke arah pundaknya. “Ikutin gerakan aku ya...”. Aku pun mengikuti arahannya, mengikuti irama lagu Perfect milik Ed Sheeran yang beberapa kali aku dengar di setiap pernikahan yang aku hadiri. Aku sendiri tidak menyangka lagu ini akan dimainkan di pernikahanku sendiri dan mengiringi dansa pertamaku dengan Leon.

Baby, I'm dancing in the dark with you between my arms

Barefoot on the grass, listening to our favourite song

When you said you looked a mess, I whispered underneath my breath

But you heard it, darling, you look perfect tonight
Kami bergerak perlahan mengikuti irama lagu yang terasa nyaman didengarkan. Lirik-lirik puitis yang entah mengapa sangat cocok dengan suasana yang aku rasakan

“Gampang kan? Seperti inilah aku mencintai kamu. Mengalir seperti dansa yang sedang kita lakukan” ucap Leon di telingaku

“Ini semua kamu yang buat? Kamu ini ya, pinter banget bikin kejutan...” balasku seraya menyandarkan kepalaku di pundaknya.

“Kamu terlihat sempurna malam ini” puji Leon yang semakin membuat wajah ku terasa panas dan mungkin terlihat bersemu merah.

Well I found a woman, stronger than anyone I know

She shares my dreams, I hope that someday I'll share her home

I found a love, to carry more than just my secrets

To carry love, to carry children of our own

We are still kids, but we're so in love

Fighting against all odds

I know we'll be alright this time

Darling, just hold my hand

Be my girl, I'll be your man

I see my future in your eyes
Mata para tamu tertuju pada kami. Membentuk lingkaran yang mengelilingi kami. Entah kapan mereka sudah berada di situ. Romantis. Hanya itu saja yang aku rasakan saat ini. Entah mengapa aku menikmatinya, padahal sebenarnya aku tidak terlalu suka suasana ini“Akhirnya aku bisa memiliki kamu seutuhnya. Sudah sejak lama aku berharap bisa satu rumah dengan kamu, saling berbagi perasaan dan membesarkan anak-anak kita kelak” ungkap Leon ditengah dansa yang aku nikmati. “Setelah apa yang kita lewati selama ini, aku merasa beruntung karena melewatinya bersama kamu. Wanita kuat di masa depan yang aku dambakan setiap aku melihat mata kamu”

“Halah gombal kamu...” celetukku iseng dan mencolek hidung bangirnya. Aku kembali menyandarkan kepalaku. Menikmati alunan lagu yang membuai kami dalam suasana yang romantis.

Baby, I'm dancing in the dark, with you between my arms

Barefoot on the grass, listening to our favorite song

When I saw you in that dress, looking so beautiful

I don't deserve this, darling, you look perfect tonight

Baby, I'm dancing in the dark, with you between my arms

Barefoot on the grass, listening to our favorite song

I have faith in what I see

Now I know I have met an angel in person

And she looks perfect

I don't deserve this

You look perfect tonight
“Aku yakin kamu adalah bidadari yang dikirim oleh Tuhan untuk aku dalam bentuk kamu...”

“Isssh udah deh, jijik tahu hahaha”

“Rasanya kayak aku enggak layak bersama bidadari. Kamu sempurna sekali”

“Ssssst...” aku menutup mulutnya dengan telunjukku. “Jangan rusak suasana romantis ini deh. Tapi yang jelas, kamu layak buat aku dan aku telah milih kamu jadi satu-satunya orang yang akan lihat kamu ngacay tiap aku bangun pagi hahaha”

“Kampret! Untung sayang”

“Aku cinta kamu, Leon...”

“Aku lebih mencintai kamu, Lidya”

Perlahan aku menutup mata dan mendekatkan bibirku pada bibir Leon. Waktu terasa melambat seakan semuanya ada dalam adegan efek slow motion dalam film-film atau dorama-dorama romantis yang aku tonton selama ini. Serasa orang di bumi ini hanya aku dan Leon. Sebuah kecupan tulus penuh rasa sayang yang mengikat perasaan kami. Aku. Dia. Selamanya.

Dan kecupan itu tepat mengakhiri lagu yang sangat sempurna seperti judulnya. Ledakan confetti mengejutkan kami. Semua tamu bertepuk tangan. Tidak sedikit yang terharu melihat momen keromantisan kami barusan. Kami berpelukan erat tanpa mempedulikan tamu yang hadir. Ini malam kami. Malam yang tidak akan pernah aku lupakan. Begitu juga mereka yang menyaksikannya.

“Itu dia tadi dansa pertama pengantin kita. Dan sekarang tiba juga kita di puncak acara resepsi pernikahan Lidya dan Leon. Nah sudah saatnya kita untuk apa?” Tanya MC mengundang perthatian.

“LEMPAR BUKET BUNGA!!!” Teriak seseorang dengan lantang.

“Wow, sabar bang. Kebelet kawin lo” sindir sang MC menanggapi teriakan orang itu. “Oke sekarang saya minta buat Leon dan Lidya untuk naik ke atas panggung mempersiapkan diri untuk melempar buket bunga ya. Para tamu dimohon untuk maju ke depan panggung karena”. Kami mengikuti arahan MC dan menaiki panggung yang tingginya tidak lebih dari 50 centimeter. “Kepada semua tamu dimohon untuk maju ke depan panggung”. Setelah semua tamu berada di depan panggung, kami bersiap untuk melempar buket. “Siap ya... 1... 2... 3... lempar!!!” tanpa melihat ke belakang, buket bunga ku lemparkan sekuat mungkin ke arah kerumunan para tamu dan...

“Cieeee, bentar lagi giliran Kak Melody nih nyusul” Goda Saktia spontan. Ku lihat Kak Melody hanya tersipu malu. Sudah saatnya ia berumah tangga. Sudah lewat beberapa tahun sejak show terakhirnya di theater pada Maret 2018 silam namun belum ada tanda-tanda ia melepas masa lajangnya. Semoga kamu segera bahagia ya, Kak Mel.

Malam makin larut dan keriaan makin kental terasa. Aku menikmati tiap momen yang tercipta dan akan dikenang senang sampai aku tua nanti. Menua dan bahagia bersama matahariku, Leon.

 
Terakhir diubah:
Mengenang Senang (Lidya's Sidestory - END)


Dalam sebuah kamar yang tertata rapi dengan dominan warna putih. Ranjang dengan kelambu berwarna senada dengan tiang kayu kokoh. Aku dan Leon tengah duduk di tepi ranjang.

“Hai...”

“Hai juga...”

“Capek ya...”

“Iya...”

“Kok jadi grogi gini sih...”

“Padahal kita udah biasa ya kayak begini...”

Iya juga ya. Padahal kami sendiri tidak sekali dua kali berada dalam kamar tertutup. Suasana canggung mulai merasuk dalam diri kami masing-masing. Kemudian Leon menggenggam tanganku. “Sayang, anggap aja malam ini adalah saat pertama kali kita melakukannya. Hanya ada kita berdua saja. Jadi... tenang saja.” Ucap Leon seraya mengecup punggung tanganku. Leon pun mulai mendekatkan wajahnya padaku lalu menyambar bibirku. Aku sedikit tersentak. “Mmmmhhh... sebentar... Mmmhh...” aku menghentikan ciumannya di bibirku. “Kenapa, sayang?” Ku lihat raut kekecewaan di wajah Leon. “Enggak apa-apa sayang, aku bersih-bersih dulu. Kamu di sini aja. Malam masih panjang untuk kita, okay?” jelasku beralasan. “Huft... iya deh, enggak apa-apa. Aku bakal nunggu... istriku tersayang” katanya. Aku pun mengusap pipinya lembut dan mengecupnya. Kemudian aku berjalan menuju kamar mandi.

Aku menghapus riasan yang menempel pada kulitku beberapa jam ke belakang. Kemudian aku melepas gelungan rambutku dan menggerainya secara acak. Aku menatap cermin dan berkata “Tenang, Lidya... ini bukan pertama kalinya kamu melakukannya. Kamu sudah berjanji untuk membahagiakannya sampai selama-lamanya. Kamu bisa!” jujur aku tidak bisa menyembunyikan kegugupanku di malam pertama dengan status baruku sebagai istri seseorang. Namun harus aku usir jauh-jauh rasa gugup ini. Ya, kamu bisa.

Selanjutnya aku melepas kebaya dan kain batik yang aku kenakan selama acara tadi. Ku gantungkan sembarangan di hanger yang tersedia di kamar mandi. Begitu juga dengan pakaian dalamku. Ku nyalakan shower kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Segarnya air yang ku atur agar tidak terlalu dingin menyentuh tubuhku yang terekspos penuh tanpa ada penghalang apapun. Menenangkan syaraf dan perasaanku yang sudah tegang beberapa saat lalu. Segarnya aroma body foam yang kusapukan ke seluruh tubuhku semakin menyegarkan diriku. Tanpa satu sudut pun terlewat. Aku ingin Leon merasa nyaman dengan aroma kesegaran tubuhku. Tanpa berlama-lama aku segera membilas dan mengeringkan tubuhku. Tak lupa sedikit mem-blow dry rambutku yang juga basah. Ku lingkarkan handukku pada tubuhku. Ya, ini dia. Saatnya aku membuat suamiku bangga dengan diriku.

“Sayaaaang...” panggilku dengan nada manja sekeluarnya dari kamar mandi. Leon pun terkejut dari kesibukannya yang sedang memfokuskan diri pada handphonenya. Mungkin ia sedang membalas pesan-pesan ucapan selamat atas pernikahannya denganku. Aku pun mendekat ke arah ranjang perlahan. Ia sudah melepas jas hitam dan juga sepatunya. Ia melepas beberapa kancing atas kemejanya.

“Eh.. ha-hai udah beres bersih-bersihnya?” ujarnya terbata-bata.

“Lagi apa sayang?” tanyaku basa-basi

“Anu... eh... bales ucapan selamat dari temen-temen aja kok” ujarnya beralasan

“Kamu enggak mau gitu jemput istrinya gitu” godaku menantang kepekaannya. Ia hanya tersenyum membuang muka dan menggaruk-garuk kepalanya. Aku yakin ia sekarang sangat gugup dengan perlakuanku.

“Awww! Pelan-pelan sayang hahaha” aku setengah terkejut karena tiba-tiba ia bangkit dan menggendongku ke arah tepi ranjang. Kini aku berada dipangkuannya, dipeluk oleh lengan kekarnya. “Kamu kok nakal sih goda-goda aku begitu? Jangan bangunin Serigala yang lagi tidur ya?” candanya setengah mengancam. “Masa? Buktiin dong” tantangku balik sambil menyentil hidungnya.

“Ughhmm... Ahhhmm... Mmmmhhh”

Leon telah menyerbu bibirku. Mencari-cari lidah di dalam rongga mulutku dan berhasil menemukanya. Lidah kami begulat, menggeliat dan membelit satu sama lain. Kami saling meneguk liur kami masing-masing hasil dari ciuman panas kami. Aku yang makin panas dibuatnya makin menekan ciumannya, makin kuat mencecap liur yang terasa segar di kerongkonganku. Menjijikan? Tidak. Malah aku merasakan sensasi yang aneh dan makin membuatku makin terpacu untuk lebih panas lagi berciuman. Tangan Leon pun tidak tinggal diam menyentuh tubuhklu yang masih terbungkus oleh handuk.

“Mmmmh.... Mmmhhh... ough!” lenguhku saat ia meremas cukup keras payudara kiriku. Kini bibirnya telah berpindah pada leher jenjangku. Hembusan nafasnya yang tidak teratur terkadang menyapu kulitku, begitu juga lidahnya yang tak terhitung lagi ia menyapukannya ke seluruh sudut permukaan leherku yang makin membuatku melayang dan membuat logika berpikirku menjadi berhenti. Tidak ada kata benar dan salah saat ini. Yang ada hanya satu kata : Nikmat.

“Mmmmh... Harum banget sayang... uhmmmm” ucapnya sesaat ia menghirup dadaku yang tidak tertutup handuk. “Iya dong... ahhnn... biar kamu seneng sayang... ahhhh!” aku berteriak karena ia mengigit dan meninggalkan bekas merah kecil di leherku. “Aduh! Kok dijitak sih kepala aku?” protesnya karena aku menjitak kepalanya. “Jangan digigit bego! Kan malu kalo besok ketahuan sama orang” sergahku. “Salah sendiri bikin gemas hehehehe” ia terkekeh. Aku kembali menyambar bibirnya, menjelajah semua sudut rongga mulutnya dan memainkan lidahnya. Will my tongue remember the taste of his lips?. Ya, pasti... karena aku menyukainya.

Leon melepas ciumanku yang mulai tidak terkontrol. “Mmm... ahhh... hhhh... Boleh dibuka enggak handuknya?” ujarnya meminta izin. “Boleh enggak ya? Mmmm...” balasku menggoda sambil berpura-pura berpikir. “Eh... eh... geli... hahaha... geli stop... ahahahahaha!” Leon menggelitiki ku bertubi-tubi. Membuatku hampir kehilangan keseimbangan dari posisi dudukku di atas paha Leon.

“Hayooo... aku gelitikin terus nih”

“Ahaha... iya iya berhenti dulu dong ah!”

Setelah ia berhenti menggelitikiku, ia pun bersiap menarik simpul handuk yang melingkar ditubuhku, namun ku hentikan... “Kenapa lagi? Aku gelitikin lag...”

“Sssst!” seperti biasa aku menutup mulutnya dengan telunjukku jika ia mulai bawel. “Kamu diem, biar aku yang buka sendiri”. Perlahan aku buka simpul ikatan handuk ku. Ku singkap pelan-pelan handuk yang melingkar dan akhirnya payudaraku terbuka bebas. Hanya ada Leon dan dinding dingin yang menyaksikannya. Leon menelan ludah entah karena memang tenggorokannya kering atau memang dia kagum dengan asetku yang berharga ini.

“Udah dibuka kok malah dianggurin, aku tutup lagi deh kalo gitu...” kataku seraya menutup kembali namun secepat kilat tangan Leon menahannya. Tiba-tiba ia mencaplok buah dada kiriku. Mencecapnya dengan kuat seakan ingin mengeluarkan air susunya, memainkan putingku dengan ujung lidahnya serta sedikit mengigit lembut. Tangan kirinya pun lantas tak tinggal diam. Ia meremasnya lembut. Bergantian ia melakukannya pada kedua sisi gunung kembarku. Aku rasa ia sangat menyukainya. “Oughh.... iyaaah... eggghh... i-iyaa disitu... terusss... ahhh” aku hanya bisa melenguh, mendesah, menjambak rambut dan memeluknya erat akibat perlakuannya.

“Mmhhhh... sayanggghh... aku nggak bisa nafashhhh...” Leon menggumam tidak jelas karena aku menekan kepalanya erat ke arah dadaku. “Ahhhh... maaf sayanghhh... abis enak bangetthhh” belaku tidak mau disalahkan.

Tidak terima dengan perlakuanku Tiba-tiba, “Ahhhh!” Leon membalikan tubuhku ke samping kiri dan kini aku telah berada di bawah tubuhnya. Leon seketika membuka kemeja lengan panjang berwarna putihnya. Aku rasa ia mulai kegerahan dengan foreplay yang kami lakukan. Ia menduduki pahaku dan mengunci kedua pergelangan tanganku di atas kepalaku. Ia menatap mataku dalam-dalam. Tatapan teduhnya malah membuat wajahku terasa panas.

“Apa sih sayang, jangan dilihatin gitu... aku malu...” kilahku seraya membuang pandangan ke arah samping.

“Kenapa harus malu? Tidak ada yang harus ditutup-tutupi lagi. Aku dan kamu telah menjadi kita” ucapnya yang kemudian mengecup bibirku. Kecupannya mulai turun ke arah dadaku. Aku memejamkan mata seketika menikmati segala bentuk cara ia mengekspresikan nafsu seksualnya. “Ahhh... jangan disitu sayanghhh... Emmhhh geliiihhh...” Leon mengelitiki ketiakku dengan Lidahnya. Kemudian aku merasakan sapuan lidahnya turun ke arah dadaku. Kembali ia mencecap kedua putingku. Kuncian di pergelangan tanganku telah terlepas, berpindah meremas kedua payudaraku. Lenguhanku makin menggila saat remasan dan lidahnya bermain di payudaraku. Setelah puas memainkan payudaraku yang sekal, lidahnya menyapu turun ke arah pusar. Ia sedikit bermain dengan lubang pusarku yang tentu saja membuatku kembali bergidik kegelian. Meski hanya sebentar, namun sensasinya sangat luar biasa diterima oleh otakku dan direspon oleh tubuhku. Aku teringat akan pelajaran Fisika tentang Hukum Gerak Newton Ketiga : Aksi akan selalu menghasilkan reaksi. Dan Leon membuktikannya. Tunggu, kenapa aku bisa memikirkan Teori Fisika saat bercinta?.

Tanpa ku duga, lidahnya telah sampai di depan mulut vaginaku. Ia mengecup-ngecup permukaannya sesekali. Hembusan nafas sesekali terasa menyapu permukaannya. Dan ahhhh... itu sangat menyiksaku. “Ahhh sayangggh, jangan gitu...” aku mengiba karena ia mulai mempermainkan gelegak nafsuku. “Jangan apa?” Tanya Leon menggodaku. “Auhhh kamu jahat sayanggggh... ayo buruan dijilat ahhhh....” aku memohon. “Dijilat apanya sayang?” kembali Leon menggodaku dengan sesekali menyentuh paha bagian dalamku. Aku gemas dengan kelakuannya “Dijilat dong sayanghhhh memek akuuuh...” aku sudah tidak memperdulikan kata-kata yang keluar dari mulutku. I’m fuckin horny right now!

“Oh, bilang dong...”

“Ahmmmm iyahhh sayang... terussss... ahhhhh... augghhhkkk... Yeah keep it goin baby... Oh aku suka kamu mainin memek akuuuhhh... aaaah” aku mendesah tidak karuan. Racauanku sudah bisa terkontrol. Ini terlalu nikmat sayang. “Cleeep... Cleppp... cleppp” hanya itu bunyi yang aku dengar dari Leon yang berkarya di bawah sana. Too much pleasure that I have to bare now. Tidak hanya lidahnya yang bermain cekatan di klitorisku, jarinya pun ikut membantu membuatku tersiksa dengan kenikmatan ini. Leon pun memasukan jari manisnya lagi dan mulai mengocok vaginaku. Vaginaku mulai becek. Suara kecipak terdengar. Aku mulai merasa ada sensasi geli yang mulai menyebar dari dalam vaginaku ke seluruh tubuh.

“Oughhh... sayaaaanggghh... a-aku... mau keluar... akkkkk...”

“Emmmhhh keluarin sayang... ehhhmmm”

“ARRGGGHH I’M COMINGGGHHH... AAKKKKKK! AAAAAHHH! AUUUH!!! AHHHH!!”

Aku mencapai orgasme pertamaku. Aku mengerang tanpa terkontrol. Pandanganku gelap seketika. Aku mengejang-ngejang ketika mengeluarkan cairan vaginaku. Aku didera kenikmatan yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. “Hhhhh... ungghhh.... hahhh...” nafasku tersengal setelah orgasme itu. Aku hanya bisa memejamkan mata.

“Kamu istirahat dulu sayang, you did a great job” ucap Leon yang telah berbaring di sampingku. Mengusap rambutku serta mengecup keningku. Ahh... He treat me like I’m his queen. Ku rebahkan kepalaku di dada bidang Leon yang tidak terlapisi sehelai benang satu pun. Nafasnya mengalun seirama dengan detak jantungnya. Hanya nyaman yang aku rasa.

-o00o-


Nafasku mulai teratur, kesadaranku mulai kembali seperti semula setelah foreplay yang kami lakukan tadi. Untuk beberapa menit aku merasa tidak ada di kamar ini. Ku lihat Leon memejamkan matanya sambil mengelus rambutku. Posisiku yang sedari tadi bersandar pada dada Leon, membuat aroma tubuhnya seketika tercium oleh hidungku dan membuat nafsuku kembali naik. Giliranku untuk memberikannya kepuasan.

Kusentuh area selangkangannya perlahan. Ku pijat lembut dari luar celana panjang hitamnya yang masih ia kenakan. Tak hanya menyentuh selangkangannya, aku juga menciumi dada dan bermain disekitaran puting Leon. Menanggapi perlakuanku, mau tak mau Leon pun tersadar dan membuka matanya lebar-lebar.

“Ahhhh... Sayang, kamu ugh... udah siap tempur lagi?” katanya sedikit melenguh tanda ia menikmati sentuhanku. Aku hanya tersenyum dan menyambar bibirnya. Sambil tetap memijat daerah selangkangannya yang mulai tercetak menggembung. Ku belit lidah Leon dan mengeluarkan segara jurus andalanku dalam berciuman. Aku tidak mempelajarinya bahkan aku tidak pernah menonton film biru. Semua hanya berdasar naluri dan rasa sayangku untuk memuaskan suamiku ini. Biar dia tahu bahwa hanya aku yang terbaik di antara wanita-wanita di luar sana sehingga dia tidak bisa macam-macam di luar sana.

Puas mencumbu bibirnya, kuarahkan kecupanku menuju perut lalu ke selangkangannya yang terlihat menyembul dari luar celananya.

“Iiih sayang, kasihan jagoan kecil kamu kegencet gini. Mau aku bantu lemesin enggak?” godaku manja.

“Ah, sayang kamu kok jadi nakal gini sih?” bingungnya yang makin membuatku lebih bernafsu lagi untuk menggodanya. “Aku kan nakal juga karena kamu hehehe” aku mengelak beralasan. Air mukanya sangat menunjukkan kegelisahan.

“Ughhh sayang, aku jangan disiksa gini dong, please?”

“Maunya diapain, sayang?” tanyaku sambil melepas ikat pinggangnya dan melepas celana panjangnya. Menyisakan celana dalamnya saja. Hmmm... sepertinya aku menikmati caraku menyiksa suamiku ini. “Please, Lidya... jangan kayak gini caranya” Semakin ia mengiba, semakin aku ingin menggodanya lebih. Ku kecup ujung kemaluannya yang menyembul dari balik celana dalamnya. “Mmmmmh... bilang dong, sayang... kamu mau aku ngapain?” sengaja aku memanjakan nada suaraku dan menyentuh ujung kemaluan dan buah zakarnya dengan ujung telunjukku. “Arggghhh... geli sayanggghhh... Iya, tolong sepongin kontol aku sayanggghhh... please!” seru Leon penuh penderitaan.

“Nah, gitu dong!” Sekejap penisnya meloncat setelah aku menurunkan celana dalamnya. “Ih, jagoan kecilnya nakal... hampir kena muka aku, ih!” ujarku pura-pura kesal sambil menyentil pelan ujungnya. “Auuuw! Sakit sayang”. Aku hanya bisa menahan tawaku melihat reaksinya. Aku sendiri tidak tahu kalau lelaki saat kemaluannya tegang, sentilan kecil pun bisa jadi siksaan luar biasa.

“Mmmmhhhh.... ughhh... auhhhmmm... slurrrppphhh” aku mengulum penisnya tanpa basa-basi. Ku keluarkan semua kemampua oral sex-ku. Sesekali ku mainkan lidahku di ujung penisnya, mengorek lubang kencingnya dengan ujung lidahku. Sesekali ku kocok batang penisnya, kunaik turunkan genggaman mantabku pada batangnya sambil ku maju mundurkan isapanku. Liurku bagaikan pelumas yang memperlancar kocokanku. “Ahhhh... Iya sayanggg... arrrggghhh... Lidyahhh... terus begitu... enak banget sayanggghhh ough!”

Lenguhan dan ekspresi Leon membuatku makin bersemangat menjebol pertahanannya. Aku suka ekspresinya yang sangat menikmati kulumanku dan membuatku merasa Leon sudah dalam kendaliku. Ya, oral sex buatku adalah cara terbaik mengontrol laki-laki. Mungkin dalam pikiran si lelaki, jika wanitanya mau meng-oral barangnya, mereka beranggapan bahwa merekalah sang penguasa. Namun sebenarnya, si wanitalah yang memegang kendalinya. Wanita bisa saja membuat lelaki keenakan sampai kelojotan, membuatnya merasa “kena tanggung” saat merasa akan orgasme... atau mengunyahnya seperti sosis cepat saji jika ia merasa sangat kesal. Dear, our lovely men... don’t be so cocky.

“Ough... sayang, berenti, aku enggak mau kel-keluar mmmmh...” mendengar ia akan segera orgasme, aku mulai menaikkan level oralku. Aku menekan dalam-dalam penisnya masuk kerongkonganku. Makin cepat pula aku menaik turunkan kepalaku. “Stop sayanggghhh ah...” Ujar Leon sambil mengangkat kepalaku menghentikan aktivitas oralku.

“Mmmmhhh... Kenapa sayang? Enggak enak ya?” tanyaku pura-pura polos

“No, enak kok... tapi malam ini masih panjang, jadi kita nikmati saja momen-momennya” Halah, bilang aja enggak mau kalah waktu di-oral, dasar laki-laki banyak alasan. Leon pun merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Posisiku kini berada di atas tubuh Leon. Ia mencium bibirku sejenak. Meraba punggungku yang terekpos oleh udara dingin AC ruangan. “Kamu udah siap?” bisiknya lembut, menatap mataku dalam-dalam seolah menghipnotisku. “Kapan pun kamu mau, aku siap” jawabku mantab.
“Ahhh!” aku terpekik ketika Leon tiba-tiba membalik tubuhku dan membuatku berada tepat di bawahnya. Aku tersenyum sembari memegang kedua belah pipinya.

Leon kini mencengkeram kedua pergelangan tanganku dan memposisikannya di atas kepalaku. Ia menyeringai penuh keisengan lalu menggesek-gesekan ujung penisnya di antara belahan vaginaku dan menyentil klitorisku yang sedikit menonjol. “Emmmmh... kenapa enggak dimasukin sekalian sih... Ahhhh... ayo masukin... Enggghhh... Geli sayanghhhh...” Sial, Leon sengaja menggodaku dan itu berhasil membuatku gairahku makin naik. “Apanya yang dimasukin, hmmmm?” Tanya Leon retoris.

“Jangan iseng deh ahhhh... masukin cepet!”

“Jawab dulu pertanyaan aku, kamu mau apa yang dimasukin?” Tubuhku menggeliat tidak karuan. Curang, ia sengaja mencengkeram pergelangan tanganku agar aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu nakal, Leon.

“Uuuuughh... masukin sekarang sayang... mas-masukin kontol kamuuuh... ahhhh!” Dan penis Leon pun menghujam lubang vaginaku. Tubuh ku melinting seperti busur panah. Penisnya terasa memenuhi seluruh ruang yang ada dalam vaginaku. “Uhhhhmmm... ahhhhmmm” aku menggumam penuh kenikmatan saat Leon kembali mencumbuku. Ku rasa ia sengaja membuatku lebih bergairah lagi dengan mengulur waktu. Ia membiarkan penisnya tertancap, tidak segera menggoyangkan pinggulnya dan itu membuatku sangat tersiksa. Will I remember the swing of his hips? Yes, I did. Even my shadows are remember it.

“Goyangin dong sayang... jahat ih!” aku merengek. “Enggak ah, aku mau lihat kamu blingsatan kayak cacing gini hahah”. Aku yang tidak terima dengan keisengan Leon, aku pun menggerakan otot vaginaku. Gerakannya seolah memijat penis Leon di dalamnya. “Ohhh... gila! Kamu apain kontol aku? Ughhh!” Leon pun mendesah.”. Mendapat rangsangan yang ku lakukan, Leon pun menggerakan pinggulnya perlahan.

“Ooohhh... Iya... terussss... Ahhhh...” aku mendesah ketika Leon mengayunkan pinggulnya perlahan. Aku pun mengimbanginya dengan melawan arah ayunannya. “Ahhhh... enak, yanghhhh...” Lenguh Leon sambil meremas kedua buah dadaku. “Cepetin lagi yanghhh... Oh, iyaa... engghhhhh” pintaku dan Leon pun menurutinya. Bunyi kecipak vaginaku nyaring terdengar seiring naiknya kecepatan goyangan Leon. Bunyi tumbukan selangkangan kami pun tak kalah nyaringnya. Membuatku makin bersemangat mengimbangi gerakannya. Leon mendekatkan wajahnya dan menyambar bibirku dan ku sambut dengan ciuman panas dan liar. “Hmmmmhh.... ngggghhh... Eeeeemhhh!!!” desahan tertahan tak terhindarkan di sela gempuran Leon pada vaginaku. Leon memeluk tubuhku, menciumi leher jenjangku, nafasnya yang memburu menyapu belakang tengkukku. Merinding aku dibuatnya hingg tapa sadar kakiku melingkar pada pinggangnya.

Puas dengan posisi misionaris, Leon menarik tubuhku. Aku yang tengah dibuai nafsu hanya menurutinya saja. Kini aku berada di pangkuannya. “Giliran kamu sayang yang gerak” perintah Leon. Aku pun segera menggerakan tubuhku naik turun, terkadang aku memvariasikan gerakan pinggulku dengan memutar pinggulku atau memaju mundurkannya. “Ougghhh sayanggghh... kamu hebat bangethhh... ahhhh!” Puji Leon saat aku menggoyang pinggulku layaknya penari perut. Merasa tidak ingin kalah denganku, Leon pun kembali menggerakan pinggulnya. Menghujamkan penisnya naik turun dengan kecepatan konstan. “Ah... ah... ah... ah... ah... oughhhmmmhh...” racauku seirama hujaman Leon di vaginaku. Aku hanya bisa pasrah memeluk Leon. “Arggggh! Sakit sayanghhh... auwww! Jangan digigit!” Leon mengaduh saat ku gigit pundaknya, meninggkalkan bekas merah. Aku sangat gemas dibuatnya karena kenikmatan surga dunia yang aku alami.

Bosan dengan posisi ini, aku pun mendorong tubuh Leon. Tindakanku ini membuatnya cukup terkejut. Tanpa melepas penisnya di vaginaku, aku memutar arah membelakangi Leon. Orang-orang menyebutnya “reverse cowgirl”, begitu yang aku temukan pada salah satu artikel internet. Bertumpukan dada bidang Leon, tanpa aba-aba, aku mulai menggerakan tubuhku naik turun.

“Hhhhhaaah... enggghh... engggghh... engghhh” desahku sesuai irama hujamanku pada selangkangan Leon. Aku meracau tak karuan, desahan memenuhi kamar, pendingin ruangan pun serasa tidak ada gunanya. Tangan Leon pun meremas pantatku. “Plak!” Leon sesekali menampar pantat sekalku. Bukan perih yang aku rasakan melainkan sensasi aneh yang makin membuatku makin liar. Kedua tangan Leon kini telah menangkup kedua buah dadaku. Meremasnya gemas layaknya boneka squishy. Leon pun mengimbangi hentakanku dan membuat kenikmatannya makin berlipat ganda. Perlahan sensasi gatal dari dalam vaginaku menyeruak, aku merasa akan segera orgasme.

“Sayanggghhh... akuuuhhh... ahhh... akuuuhh mau keluar... mmmmhh!”

“keluarin.... ayo keluarin... hnggghhh!”

Ku hentakkan pinggulku sekeras mungkin, begitu juga Leon yang makin cepat menusukkan penisnya, dan akhirnya...

“Aku keluaaar... arggggh! Nggggh! Ngggh! Ngghhh!”

Cairan orgasmeku memancar kencang. Tubuhku mengejang tidak karuan. Aku pun ambruk di atas tubuh Leon. Ia memeluk tubuhku sambil mengelus perut rataku. Leon mencari bibirku dan mencumbunya. Aku yang masih didera kenikmatan parah setelah orgasme, hanya pasrah mengikuti liukkan lidahnya. “Masih kuat?” desisnya singkat sambil memainkan kedua payudaraku. “Bentar, yanghhh... a-aku... masih lemes... ahhhh...” aku masih mengawang akibat orgasmeku. Otak dan tubuhku masih belum bisa berkoordinasi dengan semestinya. “Nggghhh... sayanghhh... jangan digerakin dulu... memek ahhh... aku... masih ngilu nih... nggghhh” pintaku manja pada Leon yang menggerakan pinggulnya. Meski pelan, vaginaku masih sensitif dengan rangsangan apapun. Itu menyiksa.

Namun Leon tidak menuruti permintaanku. Ia mendorong tubuhku ke depan dan memposisikan diriku untuk menungging. Leon kembali mengayunkan pinggangnya perlahan. Ujung jemarinya menyentuh punggungku, membentuk garis lurus naik dan turun. Sentuhan tidak penting ini pun membuatku kegelian. Lalu ia memegang pinggangku. “Angghhhh... bentar dulu yaaaangghh... ough!” aku memekik ketika ia kembali mengayun pinggulnya. Pelan... Pelan... dan perlahan ia menaikkan tempo sodokannya. “Hnggghhh... Oughhh... terus sayanghhh... harder please... Ahhhh... iya begitu... Awhhh!” nafsuku mulai bangkit lagi. “Plak! Plak! Plak!” beberapa kali Leon menampar pantatku dan meremasnya. Aku meraung dan mendesah dengan perlakuannya ini.

“Kamu suka, sayangghh... kalau aku tampar pantat kamu?”

Plak! Kembali tamparan mendarat mulus di pantatku yang entah seperti apa rupa kulit pantatku. “Augghhh! Iya sayangggghh... Ahh...” Otakku sudah tidak bisa aku percaya lagi. Ia mengirimkan sinyal yang berlawanan dengan logika normalku. Sodokan Leon semakin cepat dengan kecepatan konstan. Aku mulai merasa akan mencapai batasku. Oh, aku akan orgasme...

“Argghhh! Aku mau keluar lagi yaaaaanghhh! Ahhhhh... Eh... sayanghhh kenapa berhenti... Ahhhh... terusin...” Leon tiba-tiba menghentikan sodokannya dan melepas penisnya dari vaginaku “Aughhhh!” aku mengerang sesaat penisnya terlepas. Aku menatap penuh kekecewaan dan Leon hanya menyeringai penuh kemenangan. Sial!. Kena tanggung.

Leon tiba-tiba menjatuhkan dirinya kesamping lalu memiringkan tubuhku. Mengangkat paha kiriku sedikit dan mengarahkan penisnya ke selangkanganku yang sudah lembab sedari tadi. Ia berusaha mencari lubang vaginaku...

“Ahhhh... iya... terusin...”

“Yakin mau diterusin?” Leon kembali menggodaku. Entah kenapa dia jadi sangat menyebalkan di saat-saat seperti ini. Mungkin ia membalas dendam perlakuanku tadi saat awal pemanasan tadi.

“Kamu kok jadi brengsek gini sih? Ayoooo... terusin lagi... gue kentang bego!” aku mengutuk Leon.

“Hehehe... salah sendiri tadi ngerjain aku. Sekarang kena sendiri kan? Enggak enak kan?”

“Ah, bodo! Terusin enggak? Atau...”

“Atau apa?”

“Ahhhh! Nyebelin ih, ayo dong terusin sodokannya?” aku memohonnya kembali, bahkan kini pantatku yang bergoyang sendiri, namun rasanya tidak nyaman dalam posisi menyendok seperti ini. Ruang gerakku menjadi terbatas.

“Gini? Engghhh...” Leon hanya sekali menghujamkan penisnya. Dan aku makin dibuatnya belingsatan.

“Jahat! Ahhhh... yang bener dong!”

Sekali lagi ia menghujamkan penisnya... Dua... Tiga... Empat... perlahan... ia mulai menaikkan tempo sodokannya...

“Hhhngghhh! Oh... yes.... Oh my God... Iya... ya... ya.... auhhh! Dalemin lagi sayanggghhh... Oughhh terus... emut terus toket akuuhhh ahhhh it feel so good! Auhhh fuck!” Racauanku kembali menggema di seluruh penjuru kamar. Leon menyedot kuat puting payudaraku yang sudah mengacung keras. Tangan kirinya menggosok klitorisku saat ia menghujamkan penisnya dalam-dalam di lubang vaginaku. Aku hanya berharap kamar di lantai 2 villa ini kedap suara.

Dan gelombang orgasmeku mulai datang. “Hhhhh... aku mau keluar sayanghhh... aku mau keluarrrr... ahhhh!!”

“Tunggu sayangghhh... hhhh... aku juga mau keluar” ujar Leon seraya bangkit. Tanpa melepas penisnya, Leon mengangkat kaki kiriku melewati kepalanya. Dan otomatis Leon sudah berada di atas tubuhku. Leon mengalungkan kedua kaki jenjangku di pundaknya. Ia mendorong tubuhnya ke arahku dan membuat tubuhku seperti terlipat.

“Hhhhhh iyaaaah... terus cepetin... lebih dalem lagi... bentar lagi aku keluar sayangggh!” pintaku yang dituruti oleh Leon. Posisi kami saat ini membuatku makin kesetanan. Penisnya terasa menyentuh bagian terdalam rahimku. Ah... ini... kenikmatan ini sangat menyiksaku. Aku sudah tidak tahan lagi!.

“Oughhhh yangghhh ah! Aku... a-akuu... Ahhhhh!”

Cret! Cret! Cret Cret! Cret!

Cairan orgasme menyembur beberapa kali. Tubuhku kaku dan mengejan-ngejan. Pandanganku mengabur. Aku mendesah tanpa suara.

“Lidyaaargghh! I’m cumming! Ahhh! Ahhhh! Nggghhh! Nggghhh! Mmmmh!”

Leon pun menyusulku. Menembakkan pejunya beberapa kali di dalam vaginaku. Rasa hangat terasa menyentuh bagian dalam vaginaku. Leon menghujamkan dalam-dalam penisnya setiap ia menembakkan pejunya dan tak pelak mebuatku terlonjak-lonjak. Ini terlalu nikmat. Dan Leon ambruk di atas tubuhku...

“Hhhh... hhhh... hhhh...” nafas kami memburu. Bagaikan habis berlomba lari jarak pendek. Keringat telah membasahi kulit kami berdua, menimbulkan rasa lengket ketika mereka bersentuhan. Aku memeluk tubuh Leon dan menyilangkan kakiku di pinggangnya. Membiarkan penisnya tertancap di vaginaku untuk beberapa saat. Aku menenangkannya yang tengah bersandar di dadaku. Ku sisir rambut lurusnya yang sudah basah karena keringat dengan jemariku. Aku mencium keningnya.

“Terima kasih sayang... hhh... That was a wild ride” Pujiku pada Leon.

“Kamu juga hebat sayang... Aku enggak pernah selelah ini...” balasnya dengan tatapan sayu. Tiba-tiba Leon ingin bangkit dari posisinya sekarang. Namun aku menahannya. “Tunggu sayangggh... Biarin aku peluk kamu sebentar lagi...” Ia tersenyum. Namun ia tidak menuruti permintaanku. “Ahhhh... pelan sayangghh” pekikku ketika penisnya terlepas. Vaginaku masih terasa sensitif setelah permainan panas tadi yang entah berapa lama kami lakukan. Cairan sperma yang bercampur dengan cairan cintaku pun mengalir dari lubang vaginaku.

Leon bergeser dan berbaring di sampingku dan mengambil selimut. Ia pun menyelimut menyelimuti tubuh kami dan merapatkan dirinya padaku. Mendekap penuh kasih sayang.

“Kamu enggak perlu meluk aku... aku yang akan meluk kamu terus. Karena aku yang sepatutnya melindungi kamu, memberi kamu kehangatan dan membuat kamu bahagia...” ucapnya seraya mengenggam tanganku, mengisi sela jemariku yang diciptakan untuknya. “Kamu enggak usah repot-repot merindukan aku, karena pasti aku akan selalu ada sama kamu. Tepat di samping kamu, dalam keadaan apapun.” Aku terharu dan hampir meneteskan air mata. Leon mengusap air mataku yang menggenang di ujung kelopak mataku. “Enggak akan ada air mata kesedihan, karena aku enggak suka kamu sedih. Okay?”. Ujarnya lalu mencium keningku. Aku pun semakin merapatkan tubuhku pada Leon. Memasrahkan segala keadaan pada waktu dan menjadi wanita yang seutuhnya mencintai Leon. Aku adalah bahagianya, dan dia adalah bahagiaku.

“Sayang...” panggilku lirih sambil menatapnya

“Iya...” responnya penuh ketulusan dan kehangatan yang menyengat relung hatiku.

“Bisa nyanyiin aku satu lagu?”

“Lagu apa?”

“Apa aja, aku mau denger kamu nyanyi sebelum aku tidur”

“Hmmmm... Okay...” Leon pun melantunkan lirik dari sebuah lagu klasik dari musisi legendaris. Hangat tubuh Leon pun membuatku nyaman. Nada yang terlantun membuaiku untuk bersiap menuju alam mimpi. Dan semoga ini bukanlah mimpi yang menghilang saat aku terbangun.

-o00o-​


Tahukah ketika kamu tiba-tiba menyadari kamu terbangun di samping orang lain yang menjadi pasanganmu selamanya setiap pagi? Melihat wajahnya saat masih terlelap dengan iler di ujung mulutnya? Rasanya aneh. Seketika kamu merasa tidak menyangka bahwa ia akan selalu ada di pagi hari setiap kamu membuka mata. Tapi rasanya bahagia. Kebahagiaan yang bisa kamu rasakan seumur hidup.

Namun kali ini berbeda. Aku terbangun di tengah malam menjelang dini hari. Waktu yang seharusnya aku masih terlelap.

“Yah, bangun!” ku goyangkan tubuh Leon.

“Ehhhhm... Kenapa sayang?”

“Perut aku rasanya mules banget nih, kayaknya udah waktunya nih...”

“Hah? Waduh... Kamu tunggu dulu. Aku siapin semuanya” Leon melompat dari kasur. Ia membuka lemari dan mengambil travel bag yang berisi perlengkapan untuk aku melahirkan dan bergegas mempersiapkan mobil untuk menuju rumah sakit.

Ya, aku sudah hamil dan akan segera melahirkan. Semua sudah dipersiapkan dengan terencana. Leon mempersiapkannya baik perlengkapan, rumah sakit di mana aku harus melahirkan dan lain sebagainya. Ia sangat siaga.

Selang beberapa lama, Leon menghampiriku yang tengah menahan mulas di perut. “Tenang ya, sayang... semuanya pasti lancar” Ia mencoba menenangkan aku yang tengah kesakitan. Leon sangat berhati-hati menuntunku menuju mobil sambil menelepon pihak rumah sakit. Berat rasanya menahan sakit dan membawa beban berat tubuhku.

“Aduh, yah! Sakit banget! Aku enggak tahan...” Aku mengerang di dalam mobil yang berjalan dengan kecepatan tinggi di tengah jalanan yang lengang. Aku merasakan ada sesuatu yang menggenang di jok mobil. “Yah, cepetan... kayaknya ketuban aku pecah” sahutku panik. Aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada anak pertamaku ini. “Tahan sedikit, sayang... bentar lagi nyampe kok” jawab Leon berusaha menenangkanku. Perutku rasanya sangat melilit, ditambah gerakan anakku yang sesekali menendang di dalam perutku. Sabar ya, nak... sebenatar lagi kamu akan lahir. Leon pun tidak bisa menyembunyikan kepanikannya melihat keadaanku sekarang. Aku juga sedikit khawatir melihatnya kerepotan saat mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi sambil menelepon orang tuaku untuk mengabarkan keadaanku saat ini.

Tak lama, sampailah kami di rumah sakit yang kami tuju. “Tunggu sebentar sayang, aku panggil perawat jaga dulu...” ucapnya sebelum ia berlari menuju resepsionis. Tak lama setelah itu, Leon telah bersama perawat yang mebawa kursi roda. Leon berhati-hati memapahku dari kursi penumpang dan membantuku duduk di kursi roda. Selanjutnya perawat membawaku ke kamar perawatan. Di kamar perawatan, dokter sedang memeriksa keadaanku yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit. Dibantu dengan seorang perawat, ia memeriksa tekanan darahku dan segala sesuatu, tak lupa menanyakan apa yang aku rasakan saat ini dan dokter pun memutuskan untuk segera melakukan proses persalinan. “Bagaimana, dok? Istri saya sudah bisa dilakukan persalinan?” tanya Leon ingin tahu. “Ya, Pak... Istri bapak harus segera melakukan persalinan. Dikarenakan air ketubannya sudah pecah, jadi harus segera dilakukan penanganan... Mbak, Lidya... Sabar sedikit ya, kami sedang menyiapkan ruang bersalin untuk anda. Jadi, saya mohon mbak untuk tenang ya... saya tinggal dulu untuk bersiap-siap” tukas sang Dokter meninggalkan kamar perawatan, diikuti oleh perawat yang membantunya tadi.

“Lidya...” Panggil seseorang dari ambang pintu tak lama berselang setelah dokter keluar.

Rupanya ibu dan ayahku yang datang. “Gimana keadaan kamu, nak?” Tanya ibuku khawatir. “Rasanya sakit banget, bu...” balasku lemah. “Tenang ya nak, semua pasti akan lancar. Ibu bakal di sini temenin kamu. Kamu yang kuat ya nak... demi anak kamu ini” kata ibuku sambil mengelus perut buncitku. “Bu, maafin aku kalau aku suka bikin ibu kesel. Sekarang aku tahu rasanya jadi ibu dulu...” sesalku saat mengingat semua kesalahanku sebelum ini. Aku tidak percaya karma, tetapi aku percaya bahwa kita suatu saat akan mendapat buah dari apa yang kita perbuat selama kita hidup. Baik sengaja atau tidak sengaja.

“Enggak apa-apa nak, ibu udah maafin semua sebelum kamu minta maaf...” Ibu memelukku. Seketika aku merasa tenang di tengah kesakitanku menjelang persalinan. “... Sekarang kamu harus berjuang, nak... Tuhan pasti kasih jalan untuk umat-Nya yang berjuang dengan segala keikhlasan” ujar ibu menyemangatiku. “Kamu bisa, sayang... Kamu calon ibu yang hebat” sahut ayahku tenang meski aku melihat raut mukanya yang tegang. Leon sedari tadi tidak bergeming dari posisi duduknya. Ia terus menggenggam tanganku. Aku menatapnya. Senyumannya membuatku makin merasa tenang dan semakin kuat menghadapi salah satu fase terbaik dalam hidupku. Menjadi seorang ibu.

“Permisi, Maaf... Ruang bersalin sudah siap. Jadi, Bu Lidya harus segera menyiapkan diri untuk proses persalinan...” Sahut perawat yang telah membawa tempat tidur dorong. Tak perlu waktu lama, dibantu oleh Leon dan ayahku memapahku ke tempat tidur dorong, untuk segera menuju ruang bersalin. “Nak, kita harus berjuang Kamu harus melihat betapa gantengnya ayah kamu.” Batinku pada buah hatiku yang tak sabar untuk segera lahir ini. Aku yakin ia merasakannya.

-o00o-


Dalam sebuah ruangan berdinding putih berhiaskan pernak-pernik khas anak-anak, dikelilingi alat-alat kedokteran yang tidak bisa dijelaskan satu per satu kegunaannya. Teriakan dan isakan tangis menggema hampir di seluruh sudut ruangan.

“Iya bu, terus dorong...” Perintah dokter memberi arahan. “Nnghhhhh! Hhhh! Aku enggak kuat... arrrghh!” aku mengerang kesakitan. Sudah hampir satu jam aku berusaha menahan sakit yang tidak bisa diterima oleh otakku. Bertaruh nyawa menjalani proses kelahiran yang sangat menyiksa ini. “Terus sayang, kamu pasti bisa, tahan sebentar ya...” Leon sedari tadi menyemangatiku, sesekali ia menyeka keringatku yang terus menerus keluar dari pori-pori kulitku. Ia setia menggenggam tanganku yang terus menerus aku remas sekuat tenaga. Kuku jemariku menancap dalam di kulit Leon karenaku. Aku sudah hampir kehabisan tenaga. Aku sangat lelah...

“Sekali lagi, bu... siap-siap mendorong setelah aba-aba saya... ambil nafas... 1... 2... 3... dorong!”

“Hnggghhh!!!” Sekuat tenaga aku mengejan. Semua dorongan aku fokuskan ke bagian bawahku.

“Kepala bayi sudah keluar, bu... satu dorongan lagi... 1... 2... 3... dorong yang kuat!”

Ku kerahkan semua tenaga yang tersisa dari diriku. Cengkeraman tanganku makin kuat pada tangan Leon. Aku merasa ada sesuatu yang keluar dari rahimku dan akhirnya...

Seorang bayi mungil telah lahir.

Aku terpejam beberapa saat. Rasanya nyawaku sudah berada di ujung tenggorokanku ketika anakku lahir. Lelah yang teramat sangat mendera tubuhku. Semua bebanku serasa diangkat begitu saja. Perasaanku campur aduk. Haru, bahagia, senang... tidak bisa aku ungkapkan. “Great job, honey... You’re doing a great job” tukas Leon setengah terisak.

Aku tidak sabar ingin melihat wajahnya untuk pertama kali. “Dok... Saya mau lihat anak saya...” Ucapku pada sang dokter. Tapi dokter tidak bergeming. “Dok... saya ingin lihat anak saya...” Dokter tampak menepuk-nepuk punggung anakku.

“Dok... Anak saya kenapa?” aku merasa ada yang aneh.

“Bu, tenang sebentar ya, dokter sedang melakukan perawatan pertama untuk anak ibu...” sahut seorang suster menenangkan. Aku tidak yakin. Aku ini ibunya. Aku yang mengandungnya selama 9 bulan. Aku lebih tahu!.

“Tolong, suster... saya mau lihat anak saya!” emosiku mulai memuncak. Aku sudah tidak peduli dengan keadaanku sekarang. Yang aku inginkan hanya anakku!. “Tenang sayang... tenang! Dokter sedang berusaha menolong. Kamu tenang” Aku tidak bisa tenang lagi ketika dokter memberi nafas buatan melalui sebuah alat yang tidak aku ketahui apa namanya. “Anak kita mas! Tolong... aku mau lihat anak kita mas!” aku berteriak sekuat yang aku bisa. Tangisku sudah bisa aku tahan. Nak, ayo... kamu pasti bisa!.

“Mbak Lidya... Kami sudah berusaha sekeras mungkin, tetapi... Tuhan berkehendak lain... saya turut berduka”

“Enggak dok... Enggak mungkin, tolong anak saya dok... saya mohon!”

Aku memberontak seketika. Namun Leon menahanku. “Mas... anak kita...” aku menangis sejadi-jadinya di pelukan Leon. Ini tidak adil... sangat tidak adil. Kebahagiaanku seharusnya lengkap dengan adanya anak kami.

“Dok, boleh saya menggendong anak saya?” Ujar Leon tiba-tiba. Dokter pun menyetujuinya. Dibantu seorang suster, Leon telah menggendong bayi kami. Ia pun mendekatkan sang bayi padaku. Seorang bayi perempuan yan mungil dan tidak berdosa. Aku memegang jemari kecilnya. Jemari yang seharusnya bisa ku genggam saat berjalan di tengah taman kota. Jemari yang seharusnya membelaiku di saat aku sudah mulai renta.


The other night dear, as I lay sleeping

I dreamed I held you in my arms

But when I awoke, dear, I was mistaken

So I bowed my head and I cried



You are my sunshine, my only sunshine

You make me happy when skies are gray

You'll never know dear, how much I love you

Please don't take my sunshine away



Lagu ini.. Lagu yang dinyanyikan Leon saat malam pertama kali. Dan ia melantunkannya kembali untuk anaknya. Lirik demi lirik ia lantunkan dengan sangat tulus. Suara rendah hangatnya yang mirip sang penyanyi, Johnny Cash.


I'll always love you and make you happy

If you will only say the same

But if you leave me and love another

You'll regret it all some day:



You are my sunshine, my only sunshine

You make me happy when skies are gray

You'll never know dear, how much I love you

Please don't take my sunshine away



“Tuhan... Jangan ambil mentariku” batinku memohon. Ia pelengkap kebahagaiaanku. Aku telah jatuh cinta sejak ia dalam rahimku. Aku teringat betapa aku sangat menjaga baik-baik dirinya dalam kandungan. Betapa aku sangat mencintainya meski setiap jam ia berpolah di dalam perutku.


You told me once, dear, you really loved me

And no one else could come between

But now you've left me and love another;

You have shattered all of my dreams:



You are my sunshine, my only sunshine

You make me happy when skies are gray

You'll never know dear, how much I love you

Please don't take my sunshine away


Tiba-tiba, sesuatu meremas telunjukku dengan lembut. Ku lihat tangan mungil itu bergerak di atas telunjuku yang terselip di bawah telapak tangannya. “Mas, teruskan bernyanyi...” tukasku. Leon yang menyadari tanda-tanda kehidupan dari anak kami, tetap meneruskan nyanyiannya.


In all my dreams, dear, you seem to leave me

When I awake my poor heart pains

So when you come back and make me happy

I'll forgive you dear, I'll take all the blame



You are my sunshine, my only sunshine

You make me happy when skies are gray

You'll never know dear, how much I love you

Please don't take my sunshine away



“Nnghhh... Oeeeek! Oeeeek!”

Tangis seorang bayi pun pecah memenuhi ruangan yang sedari tadi terasa kelabu. Sebuah keajaiban terjadi di sini. Entah dari mana keajaiban itu datang. Anak kami hidup kembali dari jeratan maut. Terdengar tidak mungkin tapi ini terjadi. Dokter dan Suster-suster yang membantu kami pun tidak percaya dengan apa yang terjadi. Perasaanku sudah tidak bisa aku gambarkan lagi.

“Mungkin dia keganggu sama suara aku kali ya makanya dia bangun” gurau Leon yang sebenarnya punya karakter suara yang layak untuk masuk dapur rekaman. “Ini, kamu yang gendong sekarang”. Leon menyerahkan anakku ke dalam gendonganku. Ku dekap lembut dirinya yang masih bingung dengan apa yang ia lihat sekarang.

“Mau kita namain siapa anak kita?” sahutku.

“Hmmm siapa ya...” Leon berpikir sejenak. “Bagaimana kalau Leonidya, gabungan dari nama kita... Leon dan Lidya? Nama lengkapnya Leonidya Putri Wira Atmadja”

“Ide bagus... Hai, Leoni. Selamat datang di dunia” ucapku pada Leoni. Dan lengkaplah sudah kebahagiaan hidupku. Aku, Leon dan Leoni.

-o00o-


“Hmmm... ternyata hidup kita berwarna juga ya. Banyak kejadian yang ajaib terjadi” Ungkap Leon. Aku mengamininya. Terlalu keajaiban yang tidak bisa dijelaskan dengan logika normal manusia. “Aku bersyukur semua halangan telah kita lewati. Dan sekarang sudah ada Leoni yang melengkapi hidup kita” tukasku. “Ehemmm... Kamu ga mau nambah satu lagi kebahagiaan kita?” sahut Leon. “Hah? Maksudnya?” aku kebingungan dengan apa yang Leon maksud. “Ya... ngasih adik buat Leoni gitu biar ada temennya hehehe” kata Leon. “Hmmmm mau enggak ya?” tiba-tiba Leon mendekap pinggangku.

“Eh!” aku terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba itu. Lalu wajah Leon perlahan mendekatiku. Aku pun pasrah mengikuti kemauannya. Lalu...

“Ayah! Ibu!”

Suara teriakan lucu Leoni membuyarkan keinginan kami. “Eh, Leoni... sini nak” Sahut Leon gelagapan meminta Leoni untuk mendekat. “Ayah, Leoni mau jalan-jalan. Leoni Bosan di rumah terus, dengerin musik terus, Leoni mau mam Es krim” rajuk Leoni. Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku ide yang cemerlang.

“Yah, bagaimana kalau kit ke fX?”

“Lho mau ngapain?”

“Aku mau mengenang senang” balasku singkat. Ya, aku ingin mengenang semua senang yang terjadi dan yang akan datang kelak dalam hidupku. Bersama kebahagiaanku.




THE END.
 
Terakhir diubah:

"Satu yang takkan hilang, mengunci di ingatan
Di hari yang 'kan lekang esok mengenang senang
Ini terjadi karena alasan"


INSYFCL Would Like to Thanks :

- My Wildest Fantasies
- @BHDB
- @racebannon
- @Sekiryuutei_OppaiDesu
And ALL Semprot Members who read my stories.

Sebulan setelah kelahiran Leoni ke bumi ini, di sebuah pusat perbelanjaan daerah Grogol, Jakarta Barat. Aku tengah menemani Lidya berbelanja keperluan untuk rumah kami dan Leoni terutama. Tapi namanya wanita, hasrat berbelanja barang-barang yang menurut mereka lucu pun tak tertahankan saat kami akan berencana kembali pulang.

“Yah, menurut kamu ini sama ini lucuan mana?” tanya Lidya yang menenteng dua buah sweatshirt keluaran brand ternama. “Terserah kamu mau yang mana, kalau perlu ambil dua-duanya deh dari pada bingung” balasku. Heran, sebenarnya apa yang dicari sih? Kegunaannya atau lucunya? Lucunya di mana? Bisa ngelawak? Kan enggak. Aku sebenarnya sudah tidak bergairah lagi berada di keramaian ini. Aku ingin segera bertemu Leoni yang sedang aku titipkan di rumah mertuaku. “Huh! Dasar laki-laki ga bisa diajak diskusi, ya udah aku cobain dulu dua-duanya. “Oke, aku tunggu di kasir ya” jawabku yang diikuti acungan jempol Lidya.

Aku pun sampai di dekat kasir, dan kebetulan ada kursi kosong di dekatnya. Ku letakkan barang belanjaan di sampingku. Pandanganku tiba-tiba tertuju pada sesosok anak laki-laki. Umurnya sekitar 4 atau 5 tahun. Ia menatapku dengan polosnya. Apa dia terpisah dari orang tuanya? Lebih baik aku tanyakan saja.

“Hai, dik... kamu ngapain di sini? Orang tua kamu mana?” Ia hanya diam tidak menjawab pertanyaanku. Aku mencari-cari keberadaan sekuriti atau siapa saja yang bisa mengantarku ke petugas yang biasa mengumumkan kehilangan barang atau anak yang terpisah dari orang tuanya. Tapi aku tidak mendapatinya. Mau aku bantu mencari? Gila aja, mall ini sangat luas, tidak mungkin aku mencarinya ke semua sudut mall.

“Papa...” Anak itu tiba-tiba berbicara. “Oh, kamu ke sini sama papa kamu?” tanyaku kembali. Ah, setidaknya aku tahu dia bersama siapa ia datang ke sini.

“Oh iya, nama kamu siapa?” ia sedikit ragu untuk menjawab pertanyaanku. “Tora..” jawabnya singkat. Hmmm... Tora. Makna namanya kurang lebih sama dengan namaku. Sepertinya aku harus membantu untuk mencari ayahnya. Dan sebelumnya aku harus mengabari Lidya terlebih dahulu.

“Hai Leon, apa kabar?” seorang wanita tiba-tiba memanggilku dari belakang. “Kamu?” aku terkejut akan keberadaannya yang muncul tiba-tiba. Di luar dugaanku ia datang kembali setelah lama tidak bertemu. “Aku baik-baik aja kok, kamu sendiri?” balasku dingin. Dan anak yang aku temui berjalan menuju wanita itu. “Mama!” ia sangat senang bertemu dengannya. “Kenalin, ini anak aku Tora... sepertinya kamu udah kenalan tadi”. Aku pun berpikir, apakah dia sengaja mempertemukan anaknya yang aku pikir tadi terpisah dari orang tuanya.

“Oh, ini anak kamu? Udah besar ya sekarang. Pangling aku sejak kamu kirim fotonya lewat twit**ter” ujarku basa-basi. “Lho, papanya kemana? Kok enggak nemenin.” Lanjutku ingin tahu. “Aku berdua aja kok... Dan... Ia juga udah ketemu papanya langsung”.

“Eh, katanya berdua, kok ketemu papanya?” Aku terheran dengan jawaban wanita itu.

“Hufftt...” Ia menghela nafas, sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu tapi rasanya berat. “Maafkan aku Leon, aku enggak cerita sebelumnya... dan mungkin ini bukan saat yang tepat untuk aku cerita...”. Aku dibuatnya bingung dengan jawaban yang ia lemparkan padaku.

“Terus, di mana papanya sekarang?”

“Papanya sekarang lagi berdiri di depan aku...”

DEG! Aku terkejut dengan perkataannya. Aku masih meraba-raba perkataannya.

“Maksud kamu? Tunggu... ini...”

“Iya, Leon... Ini anak kamu.”

Dunia seakan runtuh menimpa diriku dan menguburku hidup-hidup. Aku merasa menjadi orang yang berdosa di dunia. Aku telah membuat seorang wanita yang pernah aku cintai memendam rahasia yang selama bertahun-tahun. Lebih gilanya lagi, aku tidak tahu bahwa ia mengandung anakku. Dan dosaku yang paling besar adalah aku tidak menceritakan hubungan wanita ini pada Lidya. Sebuah hubungan yang serupa saat Lidya masih aktif sebagai member JKT48.

“Neng, aku...” Neng, panggilan sayangku padanya saat aku masih berhubungan.

“Kamu enggak perlu minta maaf, ini salahku. Aku yang tiba-tiba minta putus dan pindah ke Jepang. Dan aku rela menanggung ini semua... Karena sebenarnya aku masih sayang kamu...”

“Enggak, neng... seharusnya aku yang bertanggung jawab akan anak ini. Bukan orang lain”

“Tapi aku juga sayang orang tua aku, aku bingung saat itu dan aku memilih untuk meninggalkan semua yang udah aku raih... termasuk kamu yang tidak tahu siapa aku sebenarnya. Sampai kamu ada di situ... menjadi bagian dari grup yang membesarkan namaku...”

Sungguh aku merasa menjadi orang paling jahat.

“... Maaf, Leon. Aku harus ke Bandara sekarang. Aku tidak mau ketinggalan pesawat kembali ke Jepang... Oh, iya... selamat ya atas kelahiran putri pertama kamu... cantik seperti ibunya” Tukasnya seraya bergegas meninggalkan aku. “Neng, tunggu... tolong jelasin dulu...” aku menahan tangannya agar semua tanda tanya di kepalaku terjawab. “Udah Leon, semuanya udah jelas... aku mau minta maaf akan kesalahan aku dan aku enggak mau bikin pernikahan kamu jadi berantakan. Tolong ngertiin aku...” Ia pun menepis tanganku dan pergi begitu saja. Aku ingin mengejarnya namun tidak sanggup. Dan aku hanya bisa melihat Tora melambaikan tangannya. Menjauh menuju belokan diujung toko. Kakiku serasa mematung di lantai untuk beberapa saat.

“Yah, ngapain di sini?”

“Ah, iya sayang... udah belanjanya? Yuk bayar.” Suara Lidya mengejutkanku.

“Udah dari tadi, udah ku bayar juga. Ngapain sih? Godain cewek ya?”

“Heh, sembarangan kalau ngomong...” Aku salah tingkah dengan pertanyaan Lidya. “Oh udah dibayar ya, ya udah deh yuk kita pulang. Aku ambil belanjaan kita dulu.”. Aku bergegas mengambil belanjaanku dan segera menuju tempat mobilku terparkir di basement.

Dan selama perjalanan pulang, aku masih memikirkan kejadian tadi. “Yah, kamu kenapa sih? Kamu sakit?” kata Lidya memegang dahiku. “Enggak apa-apa kok, sayang... Cuma mikir mau makan apa abis ini” Jawabku berbohong. “Oh, kirain mikirin mantan hahaha”. Ucapan Lidya menusuk ke jantungku. Iya, aku barusan ketemu mantan aku. Dan semoga kamu enggak tahu soal itu. “Gimana kalo kita makan sushi aja, udah lama nih enggak makan sushi. Ya... ya... ya?” rajuk Lidya. “Iya sayang, apa sih yang enggak buat istri aku” ujarku basa-basi menutupi kegugupanku. Dan ku arahkan mobil menuju restoran Jepang langganan kami.

Neng, Aku berjanji akan menemui kamu dan menebus dosa yang telah aku lakukan. Maafkan aku...

Rica Leyona.


INSYFCL WILL BACK AT :

- THAT'S WHY I LOVE THE MOON -
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Finally, tepat di akhir tahun 2017, menjelang terompet tahun baru dibunyikan, izinkan saya mengucapkan terima kasih untuk semua yang telah membaca cerita pertama saya. Semoga bisa menemani suasana tahun baru kalian beberapa jam ke depan. Sekarang izinkan saya untuk undur sejenak mencari inspirasi baru untuk cerita selanjutnya dan mengerjakan project baru di RL.

See you soon.
 
Dr teaser judul next storynya, bau-baunya intronya bakal diiringi Phony ppl lagi nih.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Sweet sekali di akhir. :’)

Momen - momen ditulis secara “smooth” menikmatinya jadi tidak bingung.

Post credit yang bisa dibilang tidak di duga.

What a great story & drama.
 
Bimabet
Aduh kok jadi bayangin Lidya beberapa tahun kedepan ya.

Dan gak disangka sangka ternyata Leon "investasi" ditempat lain juga.
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd