Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA My Fiery Fireworks (Lidya M. Djuhandar of JKT48 Fanfixxx) [TAMAT]

Bimabet
cerita yang sangat menyentuh.

kalo udah sampe Jogja jangan lupa diupdate ceritanya.
 
Yaa Gan update an nya engga ada ekse nya...
Ultah hrsnya pesta seks Gan, digangbang sama semua tamu undangan... :D
 
Yaa Gan update an nya engga ada ekse nya...
Ultah hrsnya pesta seks Gan, digangbang sama semua tamu undangan... :D

Nuliso dewe bro, ben puas. Mosok jaluk dimasake terus, kolo2 masak dewe ngono lho. Ini peringatan terakhir. Anda sopan, kami segan.

Ini cerita ane gan, ane yang ngatur jalan cerita. Kalo ente ngasih saran soal penulisan bakal ane terima dg senang hati. Kalo alur cerita itu udah ranah ane sbg penulis. So, just seat back, relax and jerk off until you can't do it anymore.
 
Ganteng ga yaaaa :x
Wah tiateran yg vvarokah ya.. Cerita spesial-nya 3real5me, untung ga ada senophobia dari beliau kemaren hh
Ditunggu di bilik rindu tuh hehe~
 
Ini perasaan ane doang atau POV-nya emang beda sama part2 sebelumnya hu? Atau emang sengaja dibikin agak keluar alur hu? CMIIW :panlok2:
 
Ganteng ga yaaaa :x
Wah tiateran yg vvarokah ya.. Cerita spesial-nya 3real5me, untung ga ada senophobia dari beliau kemaren hh
Ditunggu di bilik rindu tuh hehe~

Ntar aja lah, duit dah abis haha

Ini perasaan ane doang atau POV-nya emang beda sama part2 sebelumnya hu? Atau emang sengaja dibikin agak keluar alur hu? CMIIW :panlok2:

Emang terpisah dari cerita... Ya bisa dibilang itu sudut pandang Leon di dunia nyata hahaha
 
Mungkin pada belum tahu kalo update terakhir ini Live Report si TS waktu ultah Lidya kemarin. Jadi beneran nyata emang terjadi. Update yang terbaru aja lho ya, kalo yang sebelum2nya sih hanya TS yang tahu. Hahaha... :D
 
Mungkin pada belum tahu kalo update terakhir ini Live Report si TS waktu ultah Lidya kemarin. Jadi beneran nyata emang terjadi. Update yang terbaru aja lho ya, kalo yang sebelum2nya sih hanya TS yang tahu. Hahaha... :D

Nah kurang lebihnya gini lah hihi
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
sorry baru reply, itu sisipan sebenarnya kalo masuk ke cerita sebagai lanjutan bakal bagus lho....cuma perlu perubahan dikit karena Leon versi Real dan Dan Versi Cerita punya perbedaan sudut pandang. satu fans...satu stage manager...lalu setelah itu baru deh mate kamu kasih twist ke para readers disini kalo itu kejadian nyata hahaha....jangan diwarning ya ini bukan mendekte alur lho...ini imajinasiku wae :p

Hahah ku blm bisa bikin twist kayak jenengan. Cerita ini endingnya udah kepikiran mau kayak gimana. Yang mungkin ada yg udah bakal tau gimana krn saking cheesynya. Tinggal 2 part lagi + 1 special chapter.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
PART 4 : HAZE.


Mesin meraung keras kala ku injak pedal gas dalam-dalam. Begitu tergesa-gesa aku memacu mobilku untuk segera sampai di rumah. Sebegitu tidak sabarnya kah aku untuk segera menelanjangi Lidya di ranjang empuk ku dan menikmati tiap inci tubuhnya? Hingga hampir saja aku menerobos lampu merah di tengah padatnya lalu lintas ibu kota. Untung saja aku sigap menghentikan laju mobilku.

“Sabar, sayang... aku nggak kemana-mana kok” ucap Lidya. Kemudian aku menarik tubuh Lidya dan menyergap bibir tipisnya. “Mmmmhhhaaahh.... hhhmmmm” Lidya terkejut dengan perlakuanku. Aku mencumbunya dengan penuh gairah. Lidah kami bertaut satu sama lain. Aku tidak mempedulikan di mana kami sedang bercumbu. Aku sudah tidak peduli apakah para pengendara lain melihat kami berciuman penuh nafsu di dalam mobil yang menggunakan kaca film yang tidak terlalu gelap ini. “Tiiiin... tiiiiin!” bunyi klakson bersahutan di belakang kami. Rupanya lampu lalu lintas telah berubah menjadi warna hijau dan terpaksa kami menghentikan aksi kami. “Woooi! Ijo tuh! Kalo ngentot cari kamar dulu sono!” Teriak salah satu pengendara sambil berlalu. Ini juga lagi mau ngamar, nyet! Umpatku dalam hati. Lidya sementara Cuma terkekeh geli.

Tak lama, aku sudah sampai di rumahku. Buru-buru aku membuka pintu rumahku dan mempersilahkan Lidya untuk masuk terlebih dahulu. Baru saja aku mengunci pintu, tiba-tiba Lidya membalikkan tubuhku lalu mendorongku ke pintu. “Brak!” cukup keras ia mendorongku. Sekejap ia menarik belakang kepalaku mengarah kan bibirku pada bibirnya. “Uuuhhhmmm... Mmmmhh... Ahhhmmm....” desahan memenuhi kami ruang tamuku. Tubuh Lidya ku rapatkan dengan pelukan yang erat. Ku dorong Lidya ke arah tembok samping lalu menggengam pergelangan tangannya. Bibir kami masih saling mencumbu. Dadaku makin terasa panas. Udara terasa tipis. Mungkin Lidya merasakan hal yang sama denganku.

Ku lepas ciumanku dan mengarahkan bibirku pada leher tegasnya yang putih itu. Ku hirup sambil sesekali ku kecup permukaannya. “Ahhhh... geli sayanghhhh” respons Lidya saat aku mulai mengeksplorasi lehernya. Ku serobot kembali bibirnya dan menekan kepalanya agar lidahku lebih dalam bermain dalam rongga mulutnya. Ludahnya bagai mata air pegunungan alami. Segar... sensasi tersebut mulai melemahkan logikaku. Tidak ada malaikat yang berbisik dalam otakku, hanya ada iblis yang terus menerus menggodaku untuk lebih bernafsu. Lidya sudah kewalahan dengan ciumanku. Kuraba semua permukaan tubuhnya yang masih dibalut baju yang ia kenakan. Tidak satu jengkal pun terlewat. “Hmmmm... yeaaah... Auuuhh” desah Lidya ketika aku mulai meremas lembut payudaranya. Aku kembali merapatkan tubuhnya dan mengangkat satu kakinya. Ku raba pahanya yang masih terbalut celana jeans berbahan tipis itu. “Ahhhh!” Lidya memekik karena terkejut aku ketika tiba-tiba aku menggendongnya. Penisku yang menegang keras sedari tadi menempel pada selangkangannya. “Iiiiih... nakal ya kamu” protes Lidya. Ia tersenyum dan mengecup tipis bibirku. Ia pun mengalungkan tangannya di leherku agar tidak terjatuh, sementara aku mulai berjalan ke arah kamarku sambil tetap menggendong Lidya. “Berat juga ya kamu hehehe” ujarku terkekeh dan disambut ekspresi cemberut Lidya yang menggemaskan. “Jahat, berarti aku gendut dong... udah ah, turunin aku” Lidya mulai memberontak namun tenaganya tidak cukup kuat melepaskan gendonganku ini. Entah memang benar-benar tidak kuat atau berpura-pura saja.

-o00o-


“Braaaak!”

Pintu kamarku berdebam kencang setelah ku tutup dengan tendangan karena aku masih kerepotan menggendong Lidya. Kemudian ku jatuhkan tubuhku ke atas ranjangku. Kami saling memandang. Nafas Lidya terasa sangat berat, aku yang berada di atasnya pun demikian.

“Aku sayang kamu, Lid” ucapku

“Aku lebih sayang kamu, mas” balasnya.

Dan kembali bibir kami menyatu. Lebih liar dari sebelumnya kami bercumbu. Lidah kami tak bosan saling membelit. Ludah kami tak terasa menjemukan untuk tertukar. Mengisi rongga mulut kami. Ciumanku mengarah pada lehernya yang tak sedikit basah karena keringat. Parfum beraroma berry nan menyegarkan yang bercampur dengan keringat itu mengisi rongga dadaku, mengirimkan sinyal pada reseptor di otakku, yang kemudian diteruskan pada semua sel syarafku tanpa terkecuali. Aroma memabukkan dan makin menggelapkan kesadaranku. Mengaburkan norma yang diajarkan oleh 10 Perintah Agamaku. Semua berganti nafsu. Nafsu duniawi sesaat yang nikmatnya tak bisa didefinisikan dengan kata maupun ilmu pasti.

Lidya berusaha melepaskan kaos hitam polosku, aku pun melepaskan ciumanku sementara untuk membantu melepaskan. Sungguh pakaian ini sangat mengganggu. Lidya melemparkannya ke sembarang arah lalu aku kembali menikmati bibirnya yang dengan sadar dan tanpa paksaan melayani semua jurus cumbuan yang aku ketahui di luar kepala. Tanganku tidak tinggal diam. Ku sisipkan ke dalam kaosnya dan mencari buah dadanya yang mungkin menjadi impian liar para fans-nya. Sesekali aku mengelus permukaan perutnya yang rata namun kencang akibat latihan fisiknya selama 5 tahun terkahir. Dan akhirnya aku menemukan benda kenyal yang masih ditutupi oleh bra. “Mmmmmh...” Hanya itu yang ia ucapkan ketika dengan lembut aku memainkan kedua payudaranya. Ku tarik sedikit cup bra-nya dan memainkan putingnya dengan telunjukku.

Merasa tidak ingin kalah, Lidya tiba-tiba mendorongku ke samping lalu menduduki selangkanganku. Penisku yang sedari tadi sudah mengeras dan terhimpit celana jeansku, semakin tertekan karena Lidya. Rasanya sungguh tersiksa.

“Hhhh... Hhhh... Sekarang giliran aku, mas...” kata Lidya sedikit terengah-engah.

Ia melepaskan kemeja flanel luarannya. Disusul kaosnya yang perlahan tapi pasti terangkat. Ku nikmati momen demi momen proses ia melepas kaosnya. Permukaan perutnya yang rata mulai terlihat. Kulit putihnya membuat liurku hampir menetes. Ingin sekali aku menjilatinya sampai Lidya kegelian. Payudara yang masih tertutup bra itupun mulai terlihat. Ia nampak kerepotan saat akan melepas leher kaos yang tertahan di kepalanya yang akhirnya terlepas. Rambut panjangnya pun tergerai dengan indah menutupi sebagian dadanya lalu mengesampingkannya.

“Ahhhhh...” aku memekik akibat kecupannya di putingku. Aku menahan geli ketika ia mulai mengarahkan jilatannya ke arah leherku. Hembusan nafasnya terasa menyapu permukaan kulitku yang basah karena jilatannya. “Ahmmmppphhhh... emmmpphhhh” desahanku tertahan saat ia dengan bergairah mencium bibirku. Kembali lidah kami membelit di dalam rongga mulut kami. Sesekali ia meraba tubuhku yang masih bertelanjang dada mengarah ke arah penisku. Remasan lembutnya di atas penisku semakin membuatku terbakar nafsu. Aku tidak mau kalah. Aku pun menyerang daerah dadanya yang sensitif. Kujilati permukaan payudaranya dan mengigitnya lembut, meninggalkan jejak merah tipis “Auuuuh... jangan dicupang sayanghhhmmppphhh” protes Lidya tertahan karena aku kembali menyerang bibirnya. Ia pun melingkarkan kakinya di pinggangku. Ia meremas rambutku tanda ia mulai merasakan gelegak nafsu dalam dirinya. Aku pun melepas kait bra-nya dan terlihat kedua payudara kencangnya yang semakin membuat nafsuku naik.

Ku sedot puting merah mudanya sambil ku mainkan lidahku. Sementara tangan kiriku sibuk meremas sisi kanan payudaranya. “Mmmmhhh... Iyaaaah sayanggghh... mainkan sesukamu... Aku milikmuhhhh... Ahhhhh” desahan Lidya makin panas ketika seranganku mulai intens. Lidya pun makin merapatkan tubuhku dalam pelukannya. “Uhhhmmmpp... Lid... Jangan kenceng-kenceng... mmmmeluknyaaah” ucapku yang hampir kehabisan nafas di dadanya.

“Ahhh... Maaf, sayang. Enak sih rasanya” balas Lidya beralasan

“Kan nggak lucu kalo ada headline koran lampu merah judulnya SEORANG PEMUDA GANTENG NYUSU SAMA IDOL IBU KOTA, IDOLNYA KEENAKAN, EH LAKINYA METONG DEH...” ujarku

“Hih! Nggak lucu ah” dengus Lidya. Dan aku hanya tertawa.

“Mas, aku pengen posisi 69” ajak Lidya. Aku pun mengangguk tanda menyetujui ajakannya. Tanpa pikir panjang, kami telah sama-sama melepaskan semua pakaian yang tersisa di tubuh kami. Melemparkannya ke sembarang arah tanpa mempedulikan sekitar. Yang kami pedulikan hanya saling mencurahkan rasa sayang kami melalui hasrat seksual berdasarkan cinta.


Aku berbaring di ranjang dengan penis yang sudah mengacung, sementara Lidya sedang memposisikan vaginanya di depan wajahku. Sungguh pemandangan yang makin membuatku bernafsu. Bibir vagina yang terlihat lembab, merah merekah dengan bulu kemaluan yang terpelihara dengan baik. Tanpa waktu lama aku menyapukan lidah di belahan vagina Lidya. “Mmmmhhh iyaaaah, mas... terusss... begituuuhhh... Ahmmmppp...” Erang Lidya yang selanjutnya mengulum penisku yang sudah keras dan tegak. Sapuan lidah Lidya membuatku makin menggila. Lembab dan basah. “Glokkkhh... Glokkkhh... Uhhhuukk... mmmahhh” Lidya terbatuk setelah ia mencoba memaju mundurkan kepalanya lebih dalam saat mengoral penisku. Ujung penisku terasa menyentuh tenggorokannya. Sungguh sensasi yang tidak bisa dihindarkan. Membuatku semakin khilaf memainkan vagina Lidya yang sudah banjir. Lidahku tak bosan-bosan menyentil klitoris Lidya sambil kedua jariku bermain di lubangnya. Sesekali aku menyedot cairan yang diproduksi vaginanya sebagai pelumas. Rasanya gurih dan aku tidak jijik sama sekali. Wangi sabun kewanitaan juga tercium di hidungku. Tanda bahwa Lidya sungguh merawat aset yang dimilikinya. Bukan hanya untukku tapi juga untuk kesehatannya juga.

“Ahhh.... masss... terus mas... aku mau keluar.... ahhhhmppphhh” rengek Lidya yang akan segera menjemput klimaksnya. Ia pun tidak melepas genggamannya pada penisku dan tetap mengocoknya. “Oh massss... Ohhhh... iyaaaah... nggghhhhh... arrrrrghhhhh!!!!” tubuh Lidya mengejang-ngejang. Aku tak bisa menghindar dari semburan cairan kelaminnya. She’s squirt all over my face. Damn!.

“Ahhh... Maaf mas, aku nggak tahan” Ucapnya bersalah sambil merangkak ke arahku susah payah hanya untuk mengeringkan wajahku. “Eh, udah-udah nggak apa-apa, kamu istirahat dulu aja” sambil merebut tisu yang ia gunakan untuk melap wajahku. Aku berikan kesempatan untuknya beristirahat sambil aku menurunkan tensi nafsuku sambil memperhatikannya yang masih terengah-engah dan sedikit mengejang pasca orgasme-nya. Hampir saja aku kalah duluan darinya. Ah, sebenarnya hubungan seks adalah prinsip memberi dan menerima. Bukan soal menang atau kalah. Seks adalah kerja sama antar pasangan untuk saling memberikan kenikmatan dan kasih sayang satu sama lain. Simbiosis mutualisme.

Setelah Lidya sudah bisa menguasai dirinya, aku mulai memposisikan diriku di atasnya. Memainkan ujung penisku di pintu vaginanya yang sangat basah. “May, I?” tanyaku meminta izin yang dibalas dengan anggukan lemah. Tatapannya sayu. Terlihat sedikit titik keringat di keningnya. Ku usap keningnya sambil merapikan poninya yang mengganggu mata indahnya.

Perlahan aku memajukan pinggulku, mendorong penisku memasuki liang senggamanya. “Mmmmhhh...” desah Lidya. Matanya tertutup menikmati penisku yang pelan memasuki rahimnya. “Nggghhh”erangku tertahan ketika ujung penisku sudah menyentuh ujung rahimnya. Ku beri kesempatan Lidya untuk beradaptasi dengan benda tumpul yang bersarang pada liang vaginanya itu. Dinding vagina Lidya berkontraksi tanda ia telah beradaptasi dengan penisku. “Sayanghhhh... ayo digoyang...” manja Lidya. Aku yang berada di atasnya hanya tersenyum dan mengangguk. Aku menggoyang pinggulku perlahan tanda kegiatan seksualku di mulai. Lidya mulai merasakan nikmatnya dalam posisi missionaris. “Ehhhmmmpphhh... Ahhhh....” Aku memaju mundurkan penisku sambil mencium dan mengenyot payudara Lidya. Desahan tak tertahankan pun keluar dari bibir Lidya. “Plak! Plak! Plak! Plak!” Bunyi tumbukan selangkangan kami pun menggema mengisi senyap kamarku. “Emmmmhhh... faster, baby... kencengin lagi sayanghhh” pinta Lidya dengan suara alto-nya yang makin membuatku terpacu untuk menaikkan tempo. Kakinya melingkar di pinggangku, Pelukannya makin erat, tanda ia sangat bernafsu. “Nggghhhh iya sayang” ujarku menurut. Bagaikan Kerbau yang dicucuk hidungnya, aku menaikan tempo permainanku.

“Oughhh yeah, baby... Enak banget sayangghhh... Jangan berhenti.... ahhhh” racau Lidya . Setelah kurang lebih 15 menit aku menggenjot Lidya, tiba-tiba ia menahan pinggangku.

“Kenapa? Hhh... hhh...” tanyaku kebingungan

“Aku mau di atas, sayanghhh” pinta Lidya dengan kesusahan.

-o00o-


Lantas aku membaringkan tubuhku. Keringat mulai membasahi tubuh kami. Kini Lidya berada di atas tubuhku. Posisi Woman on Top. Posisi favoritnya kala bercinta. Perlahan ia mulai menggoyangkan pinggulnya. “Ohhhh, yes baby...” aku hanya mendesah sekenanya karena saking enaknya. Tempo goyangannya pun mulai meningkat, tak hanya memutar namun juga maju mundur. Siksaan yang terlalu nikmat dunia akhirat. “Ugghh yeah... enak sayang?” tanya Lidya di saat ia memaju mundurkan pinggulnya. Aku hanya mengangguk sambil meremas payudaranya. Lidya pun mulai terbakar oleh nafsu. Goyangan lembutnya berubah menjadi hentakan. Dengan menopangkan tangannya pada dadaku, ia berkali menghujamkan pantatnya ke selangkanganku. “Plak! Plak! Plak” bunyi tumbukan selangkan kami mengiringi teriakan Lidya. “Ahhhnnn... ahhhn... ahhhhh... ugghhh” desahannya pun terputus-putus sesuai tempo hujamannya. Aku pun menambah kenikmatannya dengan menaik turunkan pinggangku seirama. Inilah yang kumaksud dengan konsep memberi dan menerima.

“Ugghhh sayang, aku mau keluar lagihhhh... yeah... yeah... ughhh... mmmmarghhhh!” pekik Lidya sambil mengejan-ngejan mengeluarkan cairan orgasmenya yang tak tertahankan. Tubuhnya melenting ke belakang dan ku tahan agar tak terjatuh. Ku biarkan ia menikmati orgasmenya yang menderanya.

Dengan penis tertancap ku miringkan tubuhnya. Aku mulai memposisikan tubuhku di belakangnya. Sedikit ku angkat kaki kirinya dan mulai memompa vaginanya. Orang bilang posisi sendok atau spooning.

“Ough sayangghhh... keep it harder please” ujar Lidya keenakan.

Dengan susah payah, aku tingkatkan tempo genjotanku. Konstan namun pasti. “Ugghhh” sesekali aku mengerang dalam posisi ini yang cukup membuatku kepayahan.

Dan sepertinya memang aku akan segera menjemput puncak orgasmeku. Kembali aku memposisikan diriku dengan gaya misionaris. Dan kembali memompa Lidya dengan tenagaku yang tersisa.

“Nghhhh... sayanghhh, aa-kkuuu... mmmaaah... mau keluarggghh” pinta ku pada Lidya. “Keluarinnn bareng sayanghhh... tahan sedikit.... arghhh.... ahhh... cum inside me please... ough” ucap Lidya.

“Nggak sayanghhh... akuhhh nggakh... mmauhhh ambil resiko” protesku di tengah kenikmatan ini. Namun, Lidya merespon dengan melingkarkan kaki jenjangnya itu pada pinggangku dan mengeratkan pelukannya. “It’s okay... ughhh... honey, keluarin aja... ahhhh...”. Ucapan Lidya di telingaku itu makin mendekatkanku pada puncak kenikmatanku. Oh, shit... I think I’m gonna explode right now!

“Arghhh... sayangghhh,,, aku... aku... nghhhhargghhhhh!”

“Oughhhhh massss!”

*Crot! Crot! Crot!*

Kami telah sampai pada puncak kenikmatan masing-masing. “Nggghh! Nghhhh! Fuck! Ahhhh... shit...” erangku sambil terus mengejat-ngejat. Mengeluarkan sperma calon-calon penerusku tanpa dosa. Rasa bersalah muncul tiba-tiba karena aku dengan seenaknya memenuhi vagina Lidya dengan cairan kental berwarna putih bak susu kental manis.

“Uggghh mas... Eghhh... hhhh... hhhh” Lidya pun mendesah dengan tubuhnya masih bergetar akibat orgasmenya. Rambutnya pun berantakan, keringat telah membasahi tubuhnya, nafasnya tak beraturan. Payudaranya menempel lekat di dadaku. Bisa kurasakan detak jantung kami berdetak satu tempo. Sebuah penyatuan yang luar biasa. Aku pun ambruk di atas Lidya. Deru nafas Lidya terdengar bagai simfoni indah di telingaku. Tangannya mengelus punggungku yang basah karena keringat. Dengan telaten ia memanjakanku dengan tetap mengelus rambutku. Betapa nyaman ku rasakan saat ini. Beberapa saat kemudian aku mulai bangkit dari atas tubuhnya. Perlahan aku mencabut penisku yang mulai melemas. “Ughhhh” Lidya melenguh sesaat penisku tercabut. Pelan cairan spermaku mulai menetes dari liang vaginanya yang memerah dan lembab.

Aku berbaring di samping Lidya. Disusul Lidya yang merangsek masuk ke tubuhku. “Tenang aja mas, aku udah minum pil KB pagi ini. Anak kita masih harus sabar menunggu untuk di lahirkan untuk beberapa tahun lagi hehehe” canda Lidya. Aku hanya bisa tersenyum kecut dengan kelakuan Lidya. Ku rapatkan tubuhku dan memeluk Lidya. Ia nampak nyaman dalam pelukanku. Beberapa saat kemudian, aku pun memejamkan mata. Dan hanya gelap temanku saat ini. Setidaknya untuk beberapa jam ke depan.

-o00o-


Pukul 20.30, aku terbangun dari tidur nyenyakku pasca bercinta dengan Lidya untuk kesekian kalinya. Tubuhku sangat berat untuk digerakkan. Lidya masih menggelayut manja.

“Dik... Bangun, dik... Udah malam. Udah saatnya aku anter kamu pulang” bisikku sambil menepuk lengan Lidya.

“Mmmmhhh... Iya, mas... ughhhh” balas Lidya dengan malasnya. Ia sepertinya tak kalah kelelahan karenaku yang membuatnya orgasme beberapa kali tadi. Kami pun segera memunguti pakaian kami masing-masing yang berserakan di lantai kamarku. Namun, saat Lidya akan mengambil pakaiannya...

“Surat apa ini, mas?” ucap Lidya datar.

Deg! Jantungku sepertinya berhenti beberapa mikro detik setelah Lidya bertanya. Buru-buru aku merebut amplop surat pemberitahuan beasiswaku itu “Kemarikan, Lid... itu surat nggak penting! Sini...” ucapku panik. Bodoh, di saat seperti ini aku malah panik. Tentunya dengan sikapku ini, Lidya semakin curiga dan menahan ku untuk merebut surat yang ia genggam itu.

“Nggak, bilang dulu surat apa ini?” ucap Lidya menahan emosi dan kecurigaannya

“Bukan apa-apa, Lid. Udah sini” aku masih berkeras merebut surat itu darinya.

“Diam!” teriaknya sedikit mendorongku. Entah kenapa aku melemah saat ia menyentakku dan membuatku terkejut.

Ia mengeluarkan selembar kertas dari amplop yang telah ku robek saat menerimanya. Aku menyesal tidak menyimpannya dengan baik dan aku pun tidak menyangka bahwa Lidya akan mengetahuinya dengan cara seperti ini. Di hari ulang tahunnya.

Ia mulai membaca isi surat itu. Tubuhnya mulai bergetar menahan emosi. Tangannya mulai meremas salah satu sisi kertas surat itu. Hingga akhirnya kertas itu ia lumat dalam genggaman tangannya dan melemparkannya tepat di wajahku.

“Plak!” sebuah tamparan mendarat mulus di pipi kiriku. Aku tidak berani menatap Lidya. “Plak!” sekali lagi tamparan mendarat di pipi sebelah kananku. Dan kali ini sangat telak. “Lihat aku!” hardik Lidya yang mau tidak mau membuatku melihat matanya yang mulai berkaca-kaca. Ia masih menahan emosinya. Tangannya mulai mengayun namun dengan sigap aku menahan pergelangan tangannya. Namun, tangan kirinya yang tidak kutahan kembali menyerang. Kali ini bukan tamparan namun pukulan ke arah dadaku bertubi-tubi. “Kenapa kamu nggak bilang, hah? Kenapa kamu mau meninggalkan aku di saat aku sudah nyaman sama kamu? Kamu bener-bener jahat!” Emosi Lidya meledak. “Tenang Lidya, tenang! Dengerin penjelasan aku dulu...” ujarku menenangkan. Tangis Lidya pun pecah, ia masih tetap memukuliku. “Enggak! kamu udah bohong!” racau Lidya. Aku pun memeluk erat tubuh telanjangnya.

“Lepasin!” ia masih terus memukuliku dan memberontak

“Nggak Lid, aku nggak mau lepasin! dengerin aku dulu”

Tangis Lidya semakin tak terbendung, ia sangat histeris.

“Maaf, Lid... bukan maksud aku mau bohongin kamu. Tapi aku nunggu saat yang tepat buat bilang ke kamu” aku mulai berbicara mengutarakan maksudku. Lidya masih tetap memberontak.

“Lepasin, Mas! Aku udah nggak mau denger penjelasan kamu. Mau kamu bilang sekarang atau nanti, aku udah nggak peduli, kamu udah melanggar janji yang kamu buat sendiri!” ujarnya sesengukkan. Semakin ia memberontak, semakin aku mengeratkan pelukanku. Dan usahaku sepertinya berhasil. Tangisnya mulai mereda, pukulannya ke dadaku berangsur melemah, hanya tersisa isakan tangis Lidya. Lidya sangat hancur. Begitu juga diriku.

Kami terduduk di samping ranjang. Aku masih terus menenangkan Lidya. Cukup lama kami terdiam dengan Lidya dalam pelukanku.

“Maaf, aku cuma nggak mau bikin kamu kecewa. Aku udah terlalu sayang sama kamu. Dan aku nggak mau bikin kamu tersiksa begini. Aku melakukannya untuk mengejar impianku” aku mulai mengutarakan maksudku. “Impian untuk hidup yang lebih baik... dan impian itu juga akan aku wujudkan bersama kamu. Aku minta pengertianmu sekali saja” kataku mengiba.

“Percuma, mas... semua udah terlambat” ujarnya lemah.

“Lid, aku mohon...”

“Aku cuma mau pulang. Sekarang” tegasnya.

“Huft...” aku Cuma bisa menghela nafas. Yang aku tahu apa bila wanita sedang emosi, lelaki harus mengalah. Dan aku pun menyetujui pemikiran itu. “Baiklah, kalo itu mau kamu” ucapku lemah. “Nggak usah, aku bisa sendiri” ketus Lidya sembari memunguti pakaiannya.

Setelah kami berpakaian dan membersihkan diri, aku bersiap mengantar Lidya pulang. Di perjalanan kami hanya saling terdiam. Menatap ke jalan dengan pikiran kami masing-masing, kegundahan, kegelisahan dan kekecewaan kami. Memang, cepat atau lambat, “kebohonganku” ini akan segera diketahui Lidya. Tapi bukan seperti ini. Hingar bingar hari kemerdekaan negaraku pun terasa hambar. Dan aku merasa jahat telah merusak hari ulang tahun Lidya hari ini.

Selang beberapa saat, aku telah sampai di rumah Lidya. Aku sengaja mengantar Lidya sampai aku yakin ia masuk ke dalam rumah utuh tanpa luka satupun... Kecuali hatinya yang telah aku hancurkan. Jahat, bukan?

“Wahini, anak-anak ayah sudah pul...”

“Permisi, yah... aku mau langsung ke kamar. Lidya capek” sergah Lidya menghentikan sambutan hangat Ayah Lidya. Iya, Lidya capek secara fisik dan mentalnya. Olehku... Leon Sudiro Wira Atmadja.

“Permisi, pak... saya pulang dul...”

“Tunggu, Leon... Bapak mau bicara empat mata sama kamu” potong Ayah Lidya tegas yang membuatku tegang.

Sepertinya aku akan menjadi santap malam Ayah Lidya yang lezat...

 
Part 4 sudah di update. Selamat menikmati, dan maaf kalo dramanya agak cheesy. Mendadak langsung ilang moodnya. Mungkin krn ane total di adegan exe-nya. Cuma 4 jam doang kok ngetiknya haha. Jangan lupa Like-nya ya gaes hehe
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd