Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Up up up.. baru tau kalo cerita diblog cewek eksib tuh dri sini ceritanya
 
Om jaay ditunggu update nya kinan
Kisah inan ini bgs bgt, mengalir halus.
Dapat bgt feelnya, sayang mampet ide.
Tokoh kinan nya bs halus bgt, bener2 beda dr tokoh2 lain yg binal.
wkwkwkwkwk...
Maap ya suhu malah komen buat cerita lain.
:pandapeace:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Belum update juga :D

TSnya modar kalii :D
hehehe, maapin ane gan :ampun: hampir dua bulan laptop ane masuk rumah sakit... nih laptop udah bener, langsung ane apdet... beda sama apdetan yang biasanya cuma 1500-2000-an kata, khusus buat agan2 yang nungguin apdetan ane, ane kasih kompensasi apdetan 7000 :hore:

jangan lupa dikomen yaaaaa... buat temen2 yang lain juga... yang udah nungguin lama... ditunggu komennya :hore:
 
Bimabet
Fragmen 5
RenjanaBirahi




_____________________________

Cerita ini hanya fiktif belaka dan ditujukan untuk kepentingan hiburan semata. Cerita ini ditulis tanpa maksud untuk mendiskreditkan agama, suku, atau kepercayaan apapun. Kesamaan nama, tempat, dan kejadian adalah kebetulan semata. Penulis tidak bertanggung jawab atas adanya perbedaan penafsiran mengenai tulisan ini.

_____________________________

Deru air. Desah nafas yang memburu. Perlahan-lahan gendang telinga Kinan mulai mampu menangkapi frekuensi suara lain di luar getar jantungnya sendiri. Sepasang mata Kinan berkerejap lemah, berusaha memunguti satu-persatu kepingan akal sehatnya yang berhamburan dihantam godam birahi. Langit senja kini hanya bersisa lembayung jingga keruh yang membayang di atas riak air. Dan dengung suara burung dara yang melayang rendah di cakrawala pertanda bahwa tak lama lagi Sang Surya akan kembali ke peraduannya.

Kinan mendapati dirinya berada dalam himpitan tubuh telanjang seorang pemuda desa. Dari lubang anusnya masih menggumpal cairan putih kental yang meleleh jatuh hingga belahan tembem kewanitaannya. Kilapan segar peju kenikmatan tampak bermanik-manik menghiasi bongkahan pantat dan paha mulus Kinan yang ditimpa sinar matahari senja.

Sampai saat-saat terakhir, Gede masih berupaya keras mempenetrasi liang kawin Kinan, menggesek-gesekkan selangkangannya di belahan pantat montok sang gadis dengan brutal, sebelum akhirnya sadar bahwa birahinya harus tunduk pada reaksi fisiologis tubuhnya sendiri. Batang pusaka yang tadinya berdiri tegak perkasa kini menjelma tidak lebih besar dari sebatang pisang susu yang tak memiliki daya apapun selain mengkerut sia-sia di sela-sela bongkahan pantat gadis montok itu.

Sungguh, Kinan pun tak tahu harus bagaimana cara menghadapi situasi yang serba canggung ini. Kinan bahkan tak tahu bagaimana cara menghadapi reaksi yang berkecamuk dalam dirinya sendiri. Rasa marah, jengah, malu, sekaligus juga gairah yang saling bersenyawa justru menyemburatkan rona-rona erotis di pipi chubby gadis berwajah manis itu. Cumbuan tanpa orgasme yang diberikan Gede tak menyisakan apapun bagi Kinan selain liang senggama yang masih berkedut-kedut menuntut kenikmatan yang mutual.

Remaja berdada sintal itu menggeliat pelan, melepaskan diri dari himpitan tubuh Gede yang agaknya belum sadar betul dari badai orgasmenya. Lalu tanpa tambahan sepatah katapun, Kinan beringsut masuk ke dalam aliran sungai. Merendam tubuhnya hingga sebatas dada dan membasuh benih-benih kental yang berceceran di atas pantat sekalnya.

Ini sudah kelewatan, batin Kinan. Bagaimana bisa ia membiarkan seorang pemuda desa yang baru satu jam dikenalnya berejakulasi di dalam lubang pembuangannya? Bagaimana kalau benih Gede tak sengaja meleleh masuk ke dalam rahimnya? Bagaimana kalau dirinya hamil?!

“Aduh, adik... pepek-nya kakak kamu apain sampai belepotan begini...? kalau kakak sampai hamil gimana?” gerutu Kinan sambil berjongkok menceboki selangkangan. Benih kental berwarna putih lengket belum mau terlepas dari helaian rambut pubisnya meski sudah dibasuh berkali-kali.

“Kak… saya… saya benaran kelepasan... saya jangan dilaporkan sama Pak Kelian, ya…,” Gede berkata panik, sama sekali oblivious dengan kegundahan sang gadis.

“Hu-uh... Kamu itu! Orang lagi enak-enak mandi juga!” omel Kinan pura-pura.

Gadis manis itu menggembungkan pipinya yang lucu. Antara menyesal, sebal, tapi juga diikuti sedikit rona-rona bahagia yang terlihat jelas dari sepasang bibir yang tak bisa menahan senyum melihat ekspresi Gede yang sepertinya benar-benar merasa bersalah.

Penuh penyesalan, Gede menyusul masuk ke dalam arus sungai, membilas ujung kulup yang lengket oleh pejunya sendiri. Diliriknya Kinan sekali. Gadis itu hanya terdiam. Gede juga ikut diam. Hingga yang terdengar hanyalah arus sungai dan bunyi kumbang cicada yang mengiringi datangnya sandyakala.


●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●​


Lama keduanya saling mendiamkan. Sama-sama rikuh dengan apa yang terjadi barusan. Sampai akhirnya samar-samar Kinan bisa mendengar suara Gede yang menyikat seragam di batu besar tak jauh dari tempatnya berendam.

Kinan menggigil sebentar. Ujung-ujung jarinya berubah keriput akibat konsentrasi air yang bertumpuk-tumpuk di kulit ari. Kalau dipikir-pikir hampir seharian ini ia bermain air! Hu-uh, gigi-geligi Kinan bergemeletuk. Kedua lengannya kini bersedekap erat di depan dada untuk meratakan panas di tubuhnya yang mulai dilanda hipotermia.

Pulang dan kembali berpakaian adalah satu-satunya hal yang ada di pikiran Kinan saat ini. Tapi bagaimana cara Kinan menjelaskan ketelanjangannya? Gede pasti akan langsung curiga jika Kinan berjalan ke arah hutan sambil bertelanjang bulat.

Kinan mendengus sebal. Melirik ke arah Gede yang sepertinya belum memiliki tanda-tanda bakal menyelesaikan acara mandinya dalam waktu dekat. Huh, dasar anak mesum! Gerutu Kinan dalam hati.

“Heh, anak kecil... kamu nggak udahan mandinya?” hardik Kinan mengintimidasi, tanpa menyadari bahwa logatnya terdengar agak ‘kota’ di telinga.

“Kakak sendiri kok belum suud mandi? Sudah masuk angin begitu....”

“Ini juga sudah mau selesai, kamu duluan saja,” jawab Kinan berdusta.

“Ya sudah, ini saya juga mau pulang. Tapi kalau kakak mau, biar saya antar saja sekalian.”

Ndak usah, saya bisa pulang sendiri,” tepis Kinan cepat. “Lagipula rumah saudara saya jauh.”

“Jauh di mana? Biar saya antar dengan sepeda.”

“Rumah saudara tempat saya menginap... uh... di....” Kinan menyebut nama desa tempatnya memarkir motor pagi tadi.

“Wah, jauh benar! Kalau malam jalan di sekitar sana ndak aman… banyak ada kuli-kuli galian C yang suka mengganggu anak gadis... Paling dekat memang lewat jalan setapak di hutan yang di belakang sana! Tapi kalau malam tenget!” Gede menunjuk ke arah sungai kecil yang dilalui Kinan tadi siang.

Gede benar. Dibutuhkan setidaknya 2 jam trekking melewati hutan belantara untuk sampai ke tempat ini, dan mungkin bisa lebih lama jika mengingat saat ini perutnya yang mulai keroncongan. Sementara saat ini tak seberapa lama lagi matahari sudah akan terbenam. Kemalaman di tengah hutan belantara adalah hal yang paling ingin dihindari Kinan. Nekat melewati rutenya tadi siang berarti menyerahkan diri pada roh-roh purba yang mendiami kegelapan ketika matahari terbenam dan sinar kosmik berada pada sisinya yang paling negatif.

Jika dipikir-pikir, maka menerima tawaran Gede untuk mengantarnya pulang adalah pilihan yang paling masuk akal bagi Kinan. Tapi tetap saja, bagaimana cara Kinan menjelaskan ketelanjangannya?

Kinan terdiam sesaat ketika otaknya mulai mensintesis sebuah rencana brilian.

_______________________________________

|Suud = Selesai |
|Tenget =
Wingit |
_______________________________________


Gede mengenakan kain cawatnya lalu merapikan lagi tumpukan cuciannya di dalam tas keresek. “Bagaimana, kak... jadi ndak...?

Ndak usah… biar saya pulang sendiri saja….” tolak Kinan sok tidak butuh.

“Ya sudah, saya pulang duluan,” Gede mengangkat bahu, melengos acuh tak acuh.

“Eh? Masa saya ditinggal di sini sendirian?” Kinan melotot protes.

“Makanya kalau gitu sini ikut,” tegas Gede.

Kinan memberengut lucu, lalu bangkit dari dalam air dan melenggang kesal tanpa berusaha menutupi aurat-auratnya lagi.

Kejantanan Gede sedikit bereaksi ketika menyaksikan Kinan yang berjalan ke arah hutan tanpa mengenakan pakaian sehelaipun. Dalam posisi membelakangi, Gede bisa melihat punggung mulus dan pantat bahenol Kinan yang masih dipenuhi bulir-bulir air yang mengkilat berkilauan. Gundukan tembem di bawah lubang pantat Kinan mengintip sekilas ke dalam mata Gede ketika remaja bertubuh sintal itu membungkuk-bungkuk ‘mencari’ pakaian yang memang tidak pernah dibawanya!

Kinan menarik nafas panjang sebelum memulai sandiwaranya.

“Aduuuuh... di mana ya? Perasaan tadi saya taruh di sini, deh!” ucap Kinan bersandiwara. Sengaja gadis itu mengeraskan volume bicara agar Gede menoleh ke arahnya.

“Kenapa, kak?” sahut Gede merespon.

“Baju saya. Tadi saya taruh di sini, tapi sekarang ndak ada!” jawab Kinan beralibi.

“Eh? Yang benar?”

“Iya! Pasti kamu yang sembunyikan, ya!”

“Bukan, kak! Masa saya?!”

Prihatin, Gede ikut berpartisipasi mencari tapi kemanapun ia melemparkan pandangan tak selembarpun ia bisa menemukan sesuatu yang bisa disebut sebagai penutup tubuh kecuali sepasang sandal gunung yang diletakkan Kinan di dalam ceruk batu.

“Tadi kakak lihat ada turis-turis lewat sini?” Gede menoleh ke arah Kinan yang masih mencari-cari dalam keadaan telanjang bulat.

“Eh? Tadi memang mereka sempat ikut mandi di sini, sih....”

“Aduh, Dewa Ratu!” Gede menepok jidatnya.

“K-kenapa m-memangnya? Kamu jangan bikin takut saya, dong!”

Maap ya, kak... Dari awal sebenarnya saya memang sudah khawatir waktu melihat kakak mandi sendirian di tempat ini....”

Gede lalu menjelaskan bahwa tempat ini dulunya memang dijadikan tempat pemandian oleh warga. Tapi semenjak ada perusahaan rafting di hulu sana, tempat ini jadi ramai sekali. Sejak itu turis-turis lewat sini sering mengganggu warga desa yang sedang mandi. Makanya sekarang sudah tidak ada yang mau lagi mandi di tempat ini.

“Tahun lalu malah ada bajang dari desa sebelah yang bajunya dicuri sama turis-turis kurang ajar!” kata Gede sungguh-sungguh.

“Aduh, Dewa! Apa salah saya sehingga baju saya dicuri orang?!” Kinan meratap dengan sangat meyakinkan.

Sepanjang hidupnya, Kinan tak seberapa sering berbohong. Namun kali ini saja barangkali, Kinan menunjukkan kepiawaiannya dalam seni peran yang melibatkan sedikit sandiwara dan tangis pura-pura yang tak kalah heboh dari akting Lulu Tobing di layar kaca! Dan untungnya, sang pemuda percaya begitu saja!


●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●​


_______________________________________

|Melalung legot = telanjang bulat |
|Sante gen = santai saja |
|Bajang = remaja |
_______________________________________

“Tenang, kak... tenang....” ujar Gede yang (agaknya) mulai termakan sandiwara Kinan.

“Tenang gimana... nanti saya pulang pakai apa...? melalung legot?”

Gede menggaruk-garuk kepalanya. “Begini, kak.... kakak pakai saja kain saya ini....” kata Gede lalu menyodorkan kain cawatnya hingga telanjang bulat.

“Terus kamu?”

Gede tercengir kecil. “Sante gen, kak... saya pulang polos begini juga ndak apa-apa...”

“Eh? Yang benar?”

“Bercanda, kak.... hehehe... ini saya masih ada celana olah raga...” gede menunjukkan tas kresek hitam berisi cucian pakaian seragam sekolah yang sedari tadi diabaikan Kinan.

“Nah," Gede mengangsurkan secarik kain mori bermotif batik. Kumal dan tak sampai sehasta lebar. Ragu-ragu Kinan menerimanya berikut selendang batik yang berfungsi sebagai ikat pinggang.

“Kok kecil sekali?” protes Kinan begitu melihat ukuran kain yang bukan main kecilnya.

“Ya iya, kak. Soalnya itu kain untuk laki-laki.” Gede menjelaskan bahwa kain itu biasa dikenakan kaum laki-laki di desa itu. Jika digunakan untuk metajen atau ke pasar kain itu biasanya dibiarkan digerai sampai lutut, namun jika digunakan bekerja ke sawah bisa dilipat di bagian selangkangan hingga meyerupai cawat.

_______________________________________

|Metajen = adu ayam |
_______________________________________

Kinan hanya mampu memberengut kikuk. Karena jika kain itu digunakan untuk menutup bagian atas tubuhnya, maka gerumbulan rambut pubis di bawah perutnya akan bebas terpampang. Sebaliknya, jika bagian daerah pangkal paha yang mendapat prioritas, sudah pasti aurat yang terekspos akan turun sampai batas aerola, bahkan puting-putingnya! Hu-uh! Gimana, nih? runtuk Kinan sekali lagi, sembari terus memperbaiki posisi kain kecil yang seperti setengah hati saja ditugasi menutup tubuh montoknya!

“Ehm!” Gede berdehem dengan wajah agak bersemu, lalu memberi isyarat agar Kinan melilitkan kain itu di bawah pinggulnya.

Kinan membelalak dengan wajah tak percaya, karena meski pinggul sampai lututnya tertutup, sudah pasti nanti sepasang pepaya bangkoknya yang bakalan terpampang kemana-mana!

“Eh, Yang bener saja, dong! Kalau kaya gini makainya, kan... jadinya... nyonyo kakak....”

“Yah, mau gimana lagi, kak... lagipula di sini desanya terpencil... dadong-dadong di sini juga banyak yang pulang manjus sambil telanjang dada....”

“Idih! Masa saya disamain sama dadong-dadong!”

_______________________________________

|Nyonyo = Payudara |
|Dadong = Nenek |
|Manjus = Mandi |
_______________________________________

Gede tercengir tanpa merasa bersalah. Kinan membalas dengan senyum manyun di atas wajahnya yang lucu.

“Sini, kak... biar saya bantu....” Polos, Gede mendekat untuk membantu Kinan mengenakan satu-satunya penutup aurat di atas tubuhnya yang telanjang.

“Eh? Kamu mau apa? Ndak... ndak usah... saya... bisa... aah... ahhh... aaaah!” sahut Kinan gelagapan, karena sedetik kemudian dada bidang remaja desa itu tahu-tahu saja sudah berada depat di depan wajahnya.

Tempo detak jantung Kinan berubah menjadi cresendo ketika gadis manis itu mendapati dirinya kini berada dalam pelukan Gede. Aroma maskulin yang dipenuhi partikel-partikel feromon segera menghambur memenuhi paru-paru Kinan. Tangan Gede melingkar menjangkau jauh ke belakang pinggul hingga payudara kenyalnya terhenyak di atas dada bidang sang pemuda yang sama-sama telanjang.

“Kamu... ah! mau... ngapain...?”

“Sebentar, kak! Jangan bergerak dulu!”

“Akhhhh...” Kinan mendesah pelan ketika tangan Gede melingkar untuk mengeratkan simpul terakhir di pingggulnya.

“Nah, kalau begini, kan bagus... daripada melalung legot... hehehe....”

“Yang benar saja kamu?! Masa kakak disuruh pulang telanjang dada begini?!” repet Kinan cepat dengan logat ‘kota’ dan melupakan personanya sebagai gadis desa.

Wajah Kinan merah padam menyadari dirinya yang setengah telanjang. Kain batik itu hanya mampu membebat pinggang hingga betis bak rok sepan ketat sementara bagian atas tubuhnya bergelantungan indah, layaknya lukisan-lukisan gadis Bali tempo dulu milik sang kakek.

“Benar... percaya sama saya... kadang-kadang saya lihat bajang-bajang yang dari gunung masih ada yang seperti ini... nah, sandal kakak dimasukin tas kresek aja, biar ndak ditanya macem-macem nanti sama warga, hehe....”

“T-tapi...”

“Yuk, kak... sebentar lagi sandyakala, ndak baik lama-lama di tempat ini,” pungkas Gede lalu menarik tangan Kinan yang terseok-seok mengikutinya.

____________________________________________

|Sandyakala = Maghrib |
____________________________________________


●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●​


Dibimbing Gede, Kinan menaiki tangga batu di dekat situ. Semak-semak pakis haji dan daun paku segera menyambutnya. Pisang dan keladi menyusul menampakkan diri, seiring langkah kaki Kinan yang bergerak menyusuri jalan setapak tanah yang mengarah menuju sepetak tegalan yang ditanami ketela pohon. Seorang petani tua tampak mengikat setumpuk umbi dengan sabut kelapa. Gede mengangguk sopan. Kinan refleks menunduk sambil menekap dadanya rapat-rapat.

“Kenapa, kak?” tanya Gede polos.

Ndak... ndak apa-apa...,” tepis Kinan dengan wajah bersemu, entah kenapa.

Tanpa meneruskan percakapan, keduanya lalu berbelok di ujung setapak, menuruni undakan kecil dan menyeberangi selokan sempit yang dipisahkan dengan jembatan dari batang kelapa. Areal persawahan yang bertingkat-tingkat segera menggantikan rumpun-rumpun daun ketela. Segerombolan buruk pipit pulang ke sarang, diikuti gumpalan-gumpalan awan keemasan yang segera masuk ke dalam lapang pandang.

“Nah, desa saudaranya kakak di sebelah sana....” Gede menunjuk ke arah ufuk timur yang mulai redup.

Kinan tersenyum lega ketika mengenali Pura desa di kejauhan yang dilaluinya pagi tadi.

Ada segerumbul pohon nyiur yang membatasi hamparan persawahan dengan cakrawala. Dari tempatnya berdiri, Kinan harus melewati pematang tanah yang membelah petak-petak sawah dengan rumpun-rumpun padi yang menguning. Beberapa ibu-ibu tampak berjalan beriringan menyusuri setapak tanah lempung sambil mengusung keranjang bambu berisi cucian. Punggung membusung tegak. Langkah-langkah anggun melenggang. Ufuk barat yang berwarna jingga menampakkan siluet magis gadis-gadis pulau selatan yang menjadi buah bibir para petualang dari seberang benua.

Berhati-hati, Kinan menyusuri pematang licin dengan kakinya yang telanjang. Terkadang gadis bertubuh sintal itu sedikit tergelincir ke dalam kubangan lumpur akibat konsistensi tanah lempung yang tak seberapa padat. Berjalan di atas pematang sekecil ini ternyata memerlukan usaha ekstra untuk menjaga keseimbangan, dan Kinan dipaksa memilih antara dua pilihan: menggunakan kedua lengan untuk menyeimbangkan tubuh, atau menggunakannya untuk menutupi sepasang buah dadanya yang terbuka.

Beberapa kali bukit dada Kinan menggelantung tak terlindungi ketika anak itu melintasi pematang keparat yang licinnya bukan main. Beberapa kali pula petani-petani yang hendak pulang dari sawah mencuri lirik ke arah payudara montok seorang gadis muda yang melenggang sambil bertelanjang dada.

Pipi bundar Kinan berubah merona. Berbeda jauh dengan mandi di pinggir saluran irigasi. Kali ini dirinya dipaksa melewati pematang sawah dengan petani-petani di kiri kanan hanya mengenakan sehelai kain tipis yang menutup tubuh telanjangnya. Bahan murahan ditambah bulir-bulir air yang membasahi serat kain yang tak seberapa tebal membuat bongkahan pantat Kinan tercetak jelas bagi siapapun yang sudi menyempatkan diri untuk melirik.

Mare suud manjus, Gek?” tanya seorang petani bercaping bambu yang sedang menambal talud irigasi sawah dengan tanah lempung, tersenyum-senyum ke arah Kinan yang hanya mampu tersipu sambil melindungi kedua aerolanya dari pandangan-pandangan yang entah kenapa dirasanya terlalu menelanjangi.

Ng-nggih...,” jawab Kinan dengan wajah bersemu.

_______________________________________

|Mare suud manjus, gek? = baru selesai mandi, dik? |
|Nggih =
Iya |
|Mindon =
Sepupu jauh |
______________________________________

“Adik dari kampung mana? Kok saya ndak pernah lihat adik sebelumnya?”

“Eh...? S-saya... dari... gunung... sana...,” sahut Kinan dalam bahasa Bali.

“Gunung? Gunung mana? Heheh....”

Sekilas, Kinan menyadari ekor mata lawan bicaranya yang seperti tak mau berpisah dari belahan dada montok yang semakin menyembul saking eratnya dekapan tangannya sendiri.

“Ini mindon saya dari keluarga ibuk! dari Munti Gunung sana...,” potong Gede cepat, lalu segera menarik lengan Kinan menjauh untuk menghindari interogasi lebih lanjut.

Sampai di ujung pematang, Gede menunjuk ke arah sebuah sepeda kumbang yang disadarkan di bawah pohon nyiur. Di sebelahnya adalah jalan tanah selebar 3 meter dengan parit irigasi di kiri-kanan.

“Nah, dari sini sudah dekat... tinggal mengikuti jalan ini saja, di ujung sana sudah desanya kakak....”

“Oooh....”

“Yuk, kak....”

“Eh, i-iya....”

“Ini sepeda warisan dari Pekak saya...,” jelas Gede tanpa ditanya. Sebelah tangannya mengulur ke arah Kinan yang susah payah naik ke atas boncengan sepeda tua buatan Hindia Belanda yang cukup tinggi itu.

“Hati-hati, kak! Boncengannya tinggi!”

“I-iya....” Pipi Kinan agak tersipu ketika kainnya tersingkap sampai paha, namun cepat-cepat dirapikannya kembali.

“Sudah enak duduknya?”

“Hu-uh...” jawab Kinan sambil menunduk malu.

“Pegangan, kak! Awas jatuh, badan kakak kan gemuk, hehe...” kata Gede ringan sebelum mengayuh pedal sepedanya.

“Ih, kamu ini!” Kinan memberengut lucu sambil mendaratkan cubitan ringan yang disambut gelak tawa sang pemuda.


●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●​


Tak seberapa lama, sepasang insan itu sudah melaju pelan di bawah langit senja yang membentuk kubah berwarna jingga keunguan. Matahari yang berada tepat di horizon membiaskan cahaya keemasan pada lanskap menakjubkan di depan mata Kinan. Sawah-sawah bertingkat menghampar sejauh mata memandang. Burung-burung bangau terbang rendah di antara pucuk-pucuk nyiur. Beberapa petani-petani melenggang di jalan tanah sambil mengayun-ayunkan cangkulnya. Beberapa merendam diri di parit irigasi di kiri-kanan jalan, telanjang bulat dan menikmati keindahan alam marcapada apa adanya.

Kinan tersenyum kecil. Untuk sesaat anak itu merasa tengah berada dalam ruang dan waktu yang sama sekali berbeda. Tanpa sadar, tangan Kinan melingkar semakin erat di pinggang Gede sambil mengenang petualangannya yang luar biasa. Bertahun-tahun Kinan memimpikan hari ini, telanjang di luar ruang dan memamerkan tubuhnya pada banyak orang. Dan apa yang dialaminya hari ini telah menjawab lebih dari semua ekspektasi sang gadis eksibisionis. Senyum Kinan semakin melebar, dan Kinan bahkan tak lagi berupaya melindungi sepasang payudara montoknya yang berguncang-guncang mengikuti kontur jalan yang tidak beraspal.

Angin dingin bertiup dari lereng gunung Batur di utara, menembus kain mori tipis yang membungkus tubuh telanjang Kinan. Serat-serat kain yang tak seberapa tebal membuat Kinan tak ubahnya seperti sedang bertelanjang bulat. Kinan bahkan bisa merasakan embusan angin yang berputar-putar membelai rambut pubisnya! Kinan menarik nafas panjang, berusaha meredam gairahnya yang kembali bangkit ketika menyadari tatapan-tatapan mata yang seolah ingin melahap payudaranya bulat-bulat.

Kehadiran Kinan di tempat itu tentu saja menarik perhatian. Memang jamak ditemui wanita bertelanjang dada di pulau Dewata, tapi itupun di abad lalu. Saat ini mungkin cuma nenek-nenek bersusu kendur dan bocah bau kencur saja yang masih terlihat berjalan-jalan tanpa penutup dada.

Dan kali ini, di dekade terakhir abad ke-20, melintas seorang remaja manis bertubuh subur dengan kulit kuning langsat yang hanya mengenakan secarik kain tipis untuk membalut tubuh telanjangnya. Duduk di boncengan sepeda kumbang tanpa berusaha sedikitpun menutupi sepasang payudaranya yang indah. Alis tebal. Mata bulat besar. Rambut ikal lebat yang digulung ke atas bak keturunan bangsawan. Dengan sekali lihat pun orang-orang tahu, Kinan bukan seorang sudra yang berasal dari desa itu.

Woh! Nyen, ne? Kurenan ci’e?” seorang anak bertubuh bongsor yang sedang memandikan seekor sapi langsung melotot begitu melihat Gede muncul sambil membonceng cewek cakep.

S-sing... ah... mindon raga, ne!” sahut Gede berbohong.

Uluk-uluk, ci! Dadi ben cai ngelah mindon jegeg care kene?”

Seken! Raga sing uluk-uluk, sing!

Hahahahaha! Gebuh bungut ci, nok!”

______________________________________

|Woh! Nyen, ne? Kurenan ci’e! = Wah! Siapa ini? Pacarmu? |

|S-sing... ah... mindon raga, ne! =
Bukan! Sepupu saya, nih! |

|Uluk-uluk, ci! Dadi ben cai ngelah mindon jegeg care kene? =
Bohong saja kamu! Kok bisa kamu punya sepupu jauh cantik seperti ini? |

|Seken! Raga sing uluk-uluk, sing! =
Benar! Saya tidak bohong! |

|Gebuh bungut ci, nok! =
Membual saja mulutmu! |
_______________________________________


“Eh, ini kan kakak cantik yang tadi pagi!” seorang lagi menimpali, dan segera disambut sorak-sorai teman-temannya yang lain yang sedang mengiring itik pulang ke kandang.

“Wah iya, benar! Ini kakak yang tadi kencing sembarangan itu!” suara bocah-bocah itu lalu terdengar saling meluncur tanpa jeda.

“Kak! Baju kakak ke mana? Kok dari pagi melalung saja!?” seseorang berteriak kurang ajar.

“Baju saya ketinggalan di Kahyangan!” jawab Kinan sekenanya.

“Hahahaha! Wah, ternyata bidadari, toh! Pantas saja cantik!” anak-anak itu tergelak-gelak sambil berusaha mensejajari laju sepeda Gede yang malah menambah kecepatannya.

“Huuu... kalian ini, kecil-kecil sudah pandai menggombal!” kata Kinan sambil momonyongkan bibirnya yang lucu, meski dalam hati senang juga dirinya dibilang cantik!

Sehari-hari Kinan hanyalah murid SMA yang sama sekali tak pernah menonjol di sekolah, namun kali ini dirinya mendapat puji-pujian dari anak-anak yang tak bosan-bosan memandangi setiap lekuk-lekuk tubuh telanjangnya yang hanya dibalut sehelai tipis kain batik. Kinan tersenyum lebar, senangnya luar biasa!

“Hei! Jangan lari-larian! Nanti jatuh!” seru Kinan agak panik melihat anak-anak itu yang kini saling berlarian mengejar laju sepeda.

“Biar, kak! Kapan lagi dapat ketemu sama bidadari!”

Kinan seketika tertawa lepas, membalas tatapan-tatapan cabul mereka dengan senyuman manis di atas pipinya yang berlesung. Sengaja dibusungkannya sepasang buah dadanya agar memberi lebih banyak lagi kesempatan bagi anak-anak itu untuk menikmati tajuk-tajuk cokelat mudanya yang berdiri menantang.

“Kak! Kakak cantik! Kenalan dong, kak! Nama kakak siapa?”

“Kan sudah dibilangin saya bidadari!” jerit Kinan sambil tertawa-tawa. Anak-anak itu tertawa menimpali meski terdengar tersengal karena Gede yang sepertinya tidak berniat menurunkan kecepatan kayuhnya.

Sepeda kumbang dengan rangka baja murni itu melaju kencang di atas jalan tanah yang tanah diikuti beberapa remaja tanggung yang saling kejar-mengejar. Sadel sepeda bergetar sesekali mengikuti kontur jalan swadaya yang dipenuhi dengan batu kali. Kinan mempererat pegangannya di pinggang Gede, jeruji sepeda menggilas bongkahan-bongkahan kerikil besar hingga membuat sepeda tua itu bergoncang semakin keras.

Tunduk pada hukum fisika, boncengan besi yang diduduki Kinan tentu saja meneruskan getaran pada tulang pelvis, dan tulang pelvis meneruskan lagi energi mekanis itu kedua tulang paha dan segala organ intim yang ada di antaranya.

Kinan menggigit bibir bawahnya demi menahan rasa geli yang semakin menggila. Semakin kencang Gede mengayuh sepeda semakin tersiksa klitorisnya akibat didera getaran yang lebih dahsyat dari vibrator!

Kinan merintih pelan sambil meremas pundak Gede kuat-kuat. “Hati-hati, dik!”

“Siap, kak! Maaf! Hahaha! Di sini jalannya memang ndak rata. Sabar kak, sebentar lagi kita sampai...” Gede menoleh ke arah anak-anak yang mulai kehabisan nafas. “Mereka itu teman-teman sekolah saya, kak! Biarkan saja, sebentar lagi saja mereka menyerah, hahaha....”

“Uuuuh.... tapi, kan...” Kinan memberengut dan berusaha memperbaiki posisi duduknya, tapi organ intim berbentuk kacang itu malah semakin membesar dan menebarkan kenikmatan setiap kali sepeda Gede melindas batu.

Sepanjang adegan kejar-kejaran itu, kewanitaan Kinan tak henti-hentinya meremang. Entah karena karena getaran bilah-bilah besi pada klitorisnya, ataukah kenyataan bahwa dirinya sedang menjadi objek pelecehan verbal dari anak-anak badung yang berulangkali melontarkan kata-kata cabul pada dirinya.

“Kak! Kakak cantik makan apa kok nyonyo-nya bisa besar begitu?”

“Kak... melalung lagi dong, kaya tadi pagi! Ahahahaha!”

_______________________________________

|Nyonyo = Payudara |
|Melalung = Telanjang |
|Pepek Mebulu = memek yang berbulu |
|Ngenceh = Kencing |
_______________________________________

Wajah Kinan terasa panas. Semakin kurang ajar kata-kata anak-anak itu melecehkannya, semakin deras pula Kinan merasakan kehangatan yang mengalir dari celah sempit di antara dua pahanya. Setengah diri Kinan merasa dipermalukan, tapi setengahnya lagi terangsang luar biasa! Hingga akhirnya jarak mereka terpaut cukup jauh, barulah Kinan menyadari bahwa kainnya sedari tadi berkibar-kibar dan tersingkap sampai paha kirinya. Wah, pantas saja anak-anak itu girang! Kinan membatin birahi.

Lalu dengan pipi yang dipenuhi rona-rona merah muda karena malu-malu birahi, remaja setengah telanjang itu sengaja membuka pahanya agak lebar sehingga menampakkan lebih banyak lagi tungkainya yang mulus pada mereka. Kinan bisa melihat wajah-wajah desa yang terlongo-longo ketika area berbulu di pangkal pahanya berkelebat sekilas. Sebentar saja, karena Kinan segera menutup kedua tungkai sambil menjulurkan lidah dengan jenaka pada penontonnya yang membeliak tak percaya sebelum akhirnya satu-persatu menyerah akibat kehabisan nafas.

“Daaaah kakak cantik!!! Kapan-kapan main ke sini lagi!” jerit mereka sambil melambaikan tangan ke arah Kinan yang mulai menghilang dari jarak pandang.

Kinan tertawa lepas, balas melambai sebelum akhirnya suara mereka tak terdengar lagi ditelan suara angin sore yang menderu di telinga.


●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●​


“Begitulah, kak... harap maklum,” kata Gede agak terengah karena mengayuh sepeda. “Namanya juga anak desa... jarang-jarang lihat cewek cantik....”

“Hihihihi... lagian teman-teman kamu lucu-lucu banget, loh...,” jawab Kinan ringan tanpa menyadari logat ‘kota’-nya muncul kembali.

“Hehehe.... tapi begitulah... mulutnya ndak bisa direm semua gara-gara kebanyakan baca cerita stensilan! Hahaha!” Gede terkekeh-kekeh, lalu memperlambat laju sepedanya karena jalan yang mulai menurun.

“Cerita stensilan? Apaan itu?” tanya Kinan berlagak polos.

“Ah, masa kakak ndak tahu?”

“Benaran! Saya ndak tahu.... kalau bagus nanti saya mau cari.”

“Jangan, kak! Itu cerita isinya ndak bener...,” jawab Gede gelagapan.

Ndak bener gimana? Saya ndak ngerti....”

“Ya, gitu... kak... sama seperti cerita pendek... tapi isinya.... tentang....”

“Tentang apa, hayoh?” bisik Kinan dengan nada sarat godaan.

“Tentang... orang mekatuk!” Gede menjawab dengan wajah merah padam.

“Ish! Ish! Kecil-kecil sudah baca yang jorok-jorok! Hayoh! Kamu juga pasti sering baca, yah....”

Ndak sering, kok! Benar! Teman saya ada yang kakaknya punya koleksi cerita-cerita porno... biasa cari di Badung... kadang-kadang di Terminal Ubung atau Batubulan ada yang jual, tapi ndak mesti, soalnya biasanya sering di razia Tibum. Kalau ada yang punya koleksi biasanya pulang dari sawah kami baca bareng-bareng!”

“Memang kamu ndak punya pacar?”

Gede menggeleng.

“Bohong.”

“Benar!”

“Ganteng-ganteng begini?”

“Ganteng? Saya ganteng? Ahahaha kakak gebuh... hahaha!”

“OMG... Kamu itu aneh banget sih jadi orang. Pantas belum punya pacar,” tawa Kinan terdengar berderai. Hingga tanpa sadar kehilangannya personanya sebagai gadis desa nan lugu.

Sepanjang jalan itu pula Kinan yang kembali menjadi dirinya tak bisa berhenti berceloteh tentang betapa bahagianya ia hari ini. Tentang betapa berterima kasihnya ia pada Gede yang menyelamatkannya dari rasa malu. Tapi semakin Kinan berkicau tentang tentang keluarga Bali ibunya, tentang lukisan kakeknya, tentang keinginannya yang akhirnya terlaksana, semakin Gede bisa menangkap jati diri gadis setengah telanjang yang membonceng di belakangnya ini.

_____________________________________________

|Tibum = Ketertiban Umum, sama seperti Satpol PP tapi di era orde baru|
|Gebuh =
tipu-tipu, bohong, membual |
_____________________________________________

Hingga tak terasa setengah perjalanan sudah. Pokok-pokok kelapa yang tadinya hanya terlihat sebagai garis tipis di cakrawala kini terlihat semakin dekat. Dan ketika melewati balai desa dengan sepasang patung singa di gerbang depannya, Kinan semakin yakin bahwa tempatnya memarkir motor sudah tidak jauh lagi.

Sepeda Gede memasuki areal kebun pisang yang sunyi, hanya satu-dua petani bersepeda saja yang melintasi tempat ini barangkali yang menjadi penghuni jalan. Gede menarik tuas di dekat ban depan, tak lama lampu depan bertenaga dinamo menyala menerangi pandangan yang mulai temaram.

“Di sini enak, ya... masyakatnya masih polos...,” gumam Kinan tiba-tiba.

“Begitulah, kak...”

“Kalau di kota, di mana lagi nyari masyarakat bisa manjus di sungai....”

Gede terdiam sebentar. “Kakak... kakak sebenarnya bukan orang sini... kan?”

“Eh? Kenapa tanya begitu?” Jantung Kinan berdebar agak cepat mendengar pertanyaan Gede yang terasa sedikit memojokkan.

Ndak tahu, Perasaan saya yang bilang begitu,” sahut Gede. “Cara kakak berbicara. Wajah kakak yang ndak seperti gadis desa kebanyakan. Saya tadinya sempat mengira kakak orang Puri, tapi ndak mungkin juga rasanya anggota keluarga Puri mandi sampai ke pelosok seperti ini.”

“Bukan, kok! Saya ini memang....”

Ndak usah bohong lagi, kak... kalau memang ndak mau cerita ya ndak apa-apa... saya juga ndak bakalan memaksa...,” tegas Gede.

Kinan hanya mampu terdiam. Sementara sepeda mereka bergerak melewati jalanan tanan yang makin sepi. Langit mulai dipadamkan dan menampakkan bulan yang terbit lebih dini bersama nyala kunang-kunang gemerlapan di kejauhan.

“Saya cuma ndak ngerti, kenapa orang kota yang sudah punya kamar mandi bagus malah kepengin mandi telanjang di sungai. Apa kakak ndak malu? Telanjang bulat di depan saya. Telanjang dada di depan orang-orang desa?”

_____________________________________________

|Melalung = Telanjang|
_____________________________________________


“Malu, sih...,” jawab Kinan jujur. “Tapi....”

“Tapi...?”

Kinan menarik nafas panjang, mengumpulkan kekuatan terakhirnya sebelum akhirnya berkata, “Gede... Kamu tadi suka nggak melihat saya melalung?”

“Lho! Kok kakak malah nanya begitu?”

“Jawab saja....nggak apa-apa... kakak nggak bakalan marah, kok...” bisik Kinan lembut.

“I-iya... S-suka, sih...,” jawab Gede dengan wajah memerah.

“Nah.... Kalau saya... justru suka... dilihat orang waktu sedang telanjang bulat...,” jelas Kinan dengan pipi yang sama bersemunya.

“Eh? Saya ndak ngerti?” sahut Gede polos. “Soalnya perasaan kalau saya melalung biasa saja.”

“Itulah yang saya bilang, dik. Saya iri sama orang desa yang masih bisa polos mandi di sungai seperti kamu. Saya nggak bisa jadi seperti kalian. Dari kecil saya nggak pernah bisa memandang ketelanjang sepolos kalian. Dari kecil saya sudah diajarkan kalau telanjang bulat itu hal yang membuat malu. Saya diajarkan untuk malu terhadap tubuh saya sendiri. Makanya waktu sudah besar... saya justru senang... kalau... ada orang yang melihat saya telanjang.... saya suka kalau ada orang yang memuji tubuh saya...,” jawab Kinan yang diikuti aliran hangat dari bagian tubuhnya yang paling jujur. “Makanya... tadi saya senaaaaang sekali waktu kamu bilang saya cantik... kamu bilang saya seksi....”

“Oh... begitu, ya... hehe.... habis kakak memang benaran cantik, kok..,” Gede agak gemetar mendapati bibir Kinan yang mendarat pada tengkuknya. “Benaran kakak suka dilihat telanjang? Pantas tadi sepertinya menikmati sekali mandinya, hehe...”

“Ish, kamu ini,” Kinan menepuk paha Gede dengan pipi tersipu. ”Tapi kamu juga suka, kan....,” bisik Kinan di telinga Gede, hingga dengan jelas sang pemuda bisa membaui nafas Kinan yang harum.

Gede mengangguk gugup, tangan Kinan yang tadinya melingkar di pinggang mendadak dirasanya lebih turun dari posisi yang seharusnya.

“Eh? Yah... begitu deh, kak... hehehe....” jawab Gede serba salah, tapi dari tonjolan keras yang mulai terbentuk di balik celana olahraga sang pemuda, Kinan tahu anak tersebut berkata sejujurnya.

Kinan menyentuh punggung Gede yang telanjang dan dipenuhi bulir-bulir keringat, dihirupnya dalam-dalam odor maskulin tubuh pemuda itu. Sehingga tanpa sadar sepasang tangan Kinan yang dari tadi melingkar di perut Gede kini tak lagi kukuh berpegangan, namun mulai mengusap setiap permukaan guratan-guratan otot six pack sang pemuda. Entah kenapa, bayangan perlakuan tak senonoh yang dilakukan Gede padanya tadi sore kembali berkilas berkali-kali. Tubuh kekar yang melejang-lejang menindihnya.... Benih kental yang menyembur di antara belahan pantatnya... Juga belahan kewanitaannya yang dilelehi cairan putih kental....

Oom Burhan, guru renangnya sudah lebih dahulu mencicipi apem si gadis eksibisionis di usianya yang ke-12. Menyeramkan dan tak seberapa nikmat karena perkosaan yang hanya dinikmati sepihak. Sore tadi hampir saja Kinan berkesempatan menikmati persetubuhan seperti yang diidam-idamkan sejak lama, sayangnya....

Kinan menggeleng kuat-kuat, berusaha mengusir bayangan mental tentang dirinya yang menggeliat erotis dalam pelukan Gede. Tapi semakin kuat Kinan berusaha, semakin deras kehangatan yang membanjir dari rahimnya.


●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●​


“Kak... kakak kok diam saja? Ini kak... sudah sampai di desanya... saya kemana lagi sekarang?”

“Oh? Eh? I-iya... parkir di sana saja....”

Gede memarkir sepedanya di dekat bendungan irigasi. Dari tempat ini, Kinan masih harus berjalan 20 meter lagi menuju sungai kecil tempatnya meletakkan pakaian. Matahari sudah terbenam sempurna dan warna ungu kehitaman kini menerangi langit malam yang mulai dipenuhi dengan serakan bintang. Melangkah hati-hati, Gede mengikuti langkah kaki Kinan menuruni undakan bendungan sampai talud beton di bawahnya.

“Gede... makasih, yah... kalau nggak ada kamu pasti saya sudah berjalan telanjang bulat sampai ke sini....” Kinan berkata pelan, berusaha menutupi renjana birahi dalam nada suaranya.

“Hehehe... sama-sama kak... tapi bukannya kakak suka yang seperti itu, ya? Telanjang bulat dilihatin sama orang banyak.”

“Ih, kamu itu!” Kinan mencubit Gede dengan wajah tersipu. “Saya enggak sampai sebegitunya juga, kali....”

“Hehehehe...,” Gede menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, sama sekali tak sadar dengan hasrat tak terbendung indung telur Kinan yang sedang ingin dibuahi.

“Nah, baju saya ada di sana. Ini kain kamu saya kembalikan,” ujar Kinan. Tangannya bergerak gemetar melepas selendang batik yang digunakan sebagai ikat pinggang.

Ndak! Ndak usah, kak! Bawa saja, kak!” cegah Gede kaget yang melihat Kinan hendak melepaskan penutup tubuhnya, tetapi Kinan hanya tersenyum sayu dan membiarkan cahaya bintang dan bulan redup memberikan iluminasi bagi sepasang buah dadanya yang telanjang. Dalam keremangan, puncak dada Kinan menegang dan membentuk siluet tegak menantang, tersamar di antara cahaya keunguan yang meliputi lembah sungai kecil itu. Riak air berkilauan indah. Kunang-kunang terbang rendah, berpijar-pijar di sekeliling tubuh telanjang Kinan yang hanya ditutupi sehelai tipis kain.

Kinan tersenyum manis dan membasuh kakinya yang penuh lumpur di dalam permukaan air yang berdesir menyambutnya. “Kamu tahu, kan.... Habis ini saya pulang ke rumah. Besar kemungkinannya saya nggak bakal balik lagi ke sini... saya nggak bakalan bisa mengembalikan kain ini... saya juga nggak bakalan bisa...,” Kinan terdiam sesaat, sepasang matanya memberi isyarat Gede untuk mendekat.

Bagai kerbau dicocok hidungnya, Gede menurut saja ketika Kinan menuntun tangannya menuju semak-semak pisang yang terlindung dari cahaya. Kinan mengambil tempat di talud beton yang terlindungi oleh semak-semak pisang, duduk tegang lalu menarik nafas dalam-dalam. “Kakak kasih kamu hadiah...,Tapi kamu harus janji... nggak boleh bilang sama siapa-siapa....” ” bisik Kinan agak bergetar oleh gairahnya.

Gemetar, Kinan menaikkan kain batiknya hingga pangkal paha yang segera disambut jakun Gede yang bergerak naik turun saat sepasang paha sintal itu mulai tersibak pelan-pelan layaknya tirai panggung pertunjukan. Pelan. Perlahan. Menuju ceruk misterius di bagian pangkal yang tak diketahui cahaya.

Rona wajah Kinan berubah merah padam akibat birahi dan rasa malu pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa gadis manis yang sehari-hari pendiam itu mampu melakukan hal rendahan seperti ini? Di pedesaan antah barantah, Kinan dengan vulgarnya memamerkan bagian terahasianya bada seorang pemuda asing bak seorang penari telanjang. Kinan merasa kotor, tapi pada saat yang sama... bergairah....

“Kalau kamu mau....kamu boleh, kok... melihat.. pepek-nya kakak sekali lagi,...” ujar Kinan di antara berbisik dan mendesah.

Gede mengangguk gugup sambil berkali-kali menelan ludah ketika akhirnya bagian terahasia di pangkal paha Kinan terpampang indah di depan matanya; Gundukan tembem dengan rekahan rapat berwarna pink yang sudah terkilapi sempurna oleh cairannya sendiri. Kinan tersenyum sayu mengusap rambut pubisnya, mengangkat kain batiknya lebih tinggi lagi sehingga tubuh montoknya kini seolah-olah hanya hanya dibalut seutas selendang yang melingkar di pinggang.

Lalu dengan telunjuk dan jemari tengah, Kinan menguak sepasang labianya, memperlihatkan lebih banyak lagi liang senggama yang sudah dipenuhi kilauan bening cairan cinta yang meleleh hingga lubang anus. Sekujur tubuh Kinan seketika gemetar hebat menyadari seorang anak di bawah umur saat ini sedang melihat dirinya dalam kondisi paling memalukan. “Ssssssssh..... ooooooh......” Sambil mendesah, Kinan mengusap biji kelentitnya yang sudah membengkak maksimal sambil sebelah tangannya mulai meremas dan membelai salah satu bukit sintal dadanya.

Lesung pipi tersungging di sudut bibir Kinan menyaksikan benda di balik celana pendek Gede mulai menggunduk. Dengan ekspresi menggoda, sengaja dicubitnya putik-putik ranum dadanya, dipilinnya sekali sembari memberikan senyumnya yang paling mengundang ke arah sang pemuda. “Kalau... kamu... mau ngocok... boleh kok...,” desau Kinan parau.

Tanpa perlu diperintah dua kali Gede melepas celana pendeknya, dan batang kejantanan yang tak berkhatan itu segera mengacung tegak tepat di depan mata Kinan. Gemetar, Gede menyingkap kulit kulupnya hingga menampakkan kepala kejantanan berwarna cokelat muda dan menggenggam mantap batangan cokelat yang dipenuhi urat-urat kebiruan. “Kak... badan kakak itu... seksi sekali... ooh... oooh...” ceracau cabul Gede kembali terdengar meningkahi remasan dan kocokan brutal di kejantantannya. Telanjang bulat, remaja kekar itu mengocok-ngocok kejantanannya dalam posisi berdiri mengangkangi Kinan yang berjongkok masturbasi di bawahnya.

Jari Kinan yang tadinya hanya memijat-mijat klitoris kini mulai bergerak aktif membelai belahan labia bak sedang bermain seluncur di antara lembah indah yang berkilauan. Naik. Turun. Mengusap perlahan dan penuh perasaan. Sebelum menelusup kedalam liang lembap yang telah diliputi lendir licin itu. Gemetar, Kinan merasakan setiap centi jari telunjuk yang menguak himpitan rapat liang kewanitaannya. Gesekan buku-buku jari pada dinding-dinding liang senggama yang dipenuhi ujung-ujung syaraf kenikmatan membuat sekujur tubuh montok Kinan gemetaran menahan nikmat setiap kali ujung-ujung jarinya membelai gumpalan g-spot yang berkerat-kerat di dekat tulang pelvisnya.

Di bawah bayang-bayang pohon pisang, tubuh montok Kinan mengejang dan menggelinjang diempas badai kenikmatan yang datang bak gelombang yang gulung-gemulung. Kenyataan bahwa dirinya sedang telanjang bulat dan masturbasi di depan seorang pemuda yang baru saja dikenalnya justru membuat kenikmatan yang mendera selangkangannya bertambah ratusan kali lipat.

_____________________________________________

|Sesepin celak = Hisapin kontol|
|Song Jit =
Lubang pantat |
_____________________________________________

“Aduuuuh.... badan kakak seksi sekali... nyonyo kakak.... bibir kakak... aaaah.... bikin saya kepengen disesep aja... ssssssh... kak... Sesepin celak saya, kak... mau ya...,” bisik Gede mengharap sambil menyodorkan kejantanannya ke pipi Kinan.

Wajah Kinan seketika berubah merah padam mendengar permintaan kurang ajar itu, tapi sedetik kemudian batangan tak bersunat itu sudah berada di dalam genggaman tangannya. Agak ragu sebenarnya, sebelum akhirnya Kinan mendaratkan kecupan ringan di kepala kejantanan yang berwarna cokelat kemerahan.

Asin. Kinan memejam lucu. Lalu diciumnya lagi, dan lagi, sehingga seluruh permukaan kepala jamur diliputi oleh kilapan saliva Kinan yang membentuk seutas benang tipis di antara bibirnya yang sensual.

Lidah Kinan bergerak mengambil peran, menjilati lubang kencing lalu bergerak naik turun di sepanjang batang sebelum melahap utuh ujung bulat kejantanan Gede. Lalu dengan dengan bibir penuh, Kinan melumat habis kejantanan Gede dari ujung hingga pangkal dengan diakhiri kuluman gemas di buah zakar sang pemuda.

Lengguhan pelan terdengar dari tenggorokan. Lidah Kinan menggelitik selangkangan dan bahkan lubang anal Gede berkali-kali. Sang perjaka merinding hebat melihat wajah imut Kinan yang tengah menciumi bagian paling menjijikkan tubuhnya. “Eeeeeeh? Jangan Kak!! Jijik! Song jit saya jangan dijilat!!!!!” Gede memprotes tak berdaya, tapi agaknya sia-sia belaka karena jari kelingking Gede segera mengambil alih peranan: mengusap dan menggelitik lubang pembuangan mungil yang segera kembang-kempis memberikan reaksi.

“Nggak apa, dik.. yang penting kamu suka....,” desah Kinan manis, diciumnya tajuk kejantanan Gede lalu tanpa ragu-ragu dilumatnya utuh dari ujung kepala hingga pangkal batangan otot sepanjang 16 cm itu. “Hmmmmmphh... hhhhmmmpppph...” Kinan pun melengguh-lengguh dengan mulut penuh. Sesekali air liurnya menetes keluar dari sela-sela bibir ketika batangan keras itu terdorong hingga ujung kerongkongan.

Selama ini Gede hanya bisa membayangkan adegan ini dari kisah-kisah erotis yang bisa dibacanya, tapi saat ini seorang remaja montok sedang berlutut di antara kedua pahanya dan tanpa ragu-ragu menelan hampir sekujur batang kejantanannya. Sepasang mata bundar Kinan yang menatapnya lucu. Senyum Kinan yang dikulum itu. Juga wajah manis yang tetap menggemaskan meski dengan mulut dipenuhi batang kontol. Hati Gede meleleh seketika. Diusap-usapnya kening Kinan, dibelai-belainya rambut ikal sang bidadari yang tengah bergerak maju-mundur di antara kedua kakinya, hingga tanpa sadar pinggulnya ikut bergerak menyambut seolah ingin menyetubuhi kepala Kinan. Geli. Ngilu. Dan Gede tidak bisa lagi menahan ngilu yang dirasanya semakin menggila dan menuntut untuk diledakkan.

“Kak... saya... saya... saya... m-m-mau... mmmhhhh....” Gede termegap-megap tak berdaya, kelenjar prostatnya berkedut-kedut hebat pertanda hendak memuntahkan kandungannya. Dengan sigap, Kinan meremas kuat-kuat batang kejantanan Gede yang mulai berkedut-kedut, membatalkan reaksi ejakulasi yang sudah berada di ambang pintu. Penuh kasih, Kinan mengecup ujung kejantanan Gede sekali lalu menjilat habis semua cairan precum yang menitik dari ujung lubang kencing.

Suara jangkrik mulai terdengar menggantikan cicada. Dan langit malam mulai membentuk kubah ungu sempurna ketika Kinan membuka satu-satunya penutup tubuhnya; sehelai kain batik yang melingkar di pinggang dan menggelarnya di tanah. Telanjang bulat, remaja bertubuh montok itu berbaring pasrah di atasnya. Bulir-bulir keringat tampak membasahi bongkahan payudara dan perut yang dipenuhi lapisan lemak tipis yang menggemaskan. Rona-rona kemerahan yang memenuhi sekujur tubuh sintal Kinan menunjukkan betapa hebatnya renjana birahi yang dialami gadis berusia 18 tahun itu. Dengan gemetar, Kinan menyingkap lipatan bagian terahasianya. Kilapan indah cairan cinta yang meleleh dari dalam rahim Kinan menunjukkan betapa liang senggamanya kini telah siap dibuahi.

Gede mengatur nafasnya yang tersengal. Rasa lemas yang mengambil kendali otot-ototnya membuat Gede jatuh berlutut di antar dua paha Kinan yang bergerak membuka. Dan ketika melihat senyuman sendu tapi sekaligus mengharap itu, Gede tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak menciumi wajah manis Kinan yang merona dan dipenuhi bulir-bulir keringat.

“Aduuuuh.... kakak ini makin cantik kalau seperti ini... mau yah, kak... katukin saya...,” bisik Gede parau sambil menggesek-gesekkan selangkangannya di perut bawah Kinan. Dengan birahi di ubun-ubun, diciuminya wajah Kinan, kening, mata, hingga bibir penuh sang gadis montok yang segera dipagutnya tanpa ampun.

________________________________________

|mekatuk = ngentot ; ML|
_____________________________________

Kinan mendesah penuh gairah, mendapati seorang remaja yang tengah dimabuk birahi kini tengah menindih sambil menciumi wajahnya. Berkali-kali Gede mencoba melesakkan senjata pusakanya ke dalam liang kawin betinanya, tapi berkali-kali pula sang pejantan yang belum berpengalaman itu meleset dari sasaran. Kejantanan perjaka itu hanya mampu bermain peluncuran di lembah licin Kinan yang dibanjiri cairan cinta.

“Hnnnnghhh....” Kinan termegap-megap tanpa suara, kepala kejantanan Gede menggesek-gesek klitorisnya tanpa ada tanda-tanda bakal mengawinininya segera. “Masukin... dik.... masukin ajaaaaah... entotin kakak....” Di hadapan seorang pemuda yang belum sehari dikenalnya itu, Kinan berlaku layaknya lonte yang mengiba-iba untuk disetubuhi. Kinan mendesah, merintih, mengeluarkan erangan-erangan erotis yang selama ini hanya pernah didengarnya dari film biru milik sang kakak. Tangannya menjangkau ke bawah selangkangan, gemetaran dan berusaha mengarahkan batang kejantanan Gede pada belahan memeknya yang sudah menjerit-jerit minta dikawini.

Gede mendesau parau ketika ujung kejantanannya akhirnya terbenam dalam kubangan lendir hangat di mulut bibir apem Kinan. “U-udah.... p-pas.... kah? Haaah... hhh...hhh....”

Sang betina mengangguk gugup karena merasakan himpitan rapat bagian terahasianya mulai dibelah oleh benda asing yang kebingungan mencari jalan masuk. “Auuuuuuh... auuuuuunnghhh... Adik... pelan-pelan, diiiik! Pelan-pelaaaaanhhh... hhhngghhh... aaaaahhhh!!!” pinta Kinan tergagap-gagap. Sepasang mata bundar Kinan memejam penuh kenikmatan ketika bibir memeknya disesaki oleh ujung tumpul kejantanan Gede. “Hnnnnghh... sssssh... sssshhhhh” Kinan menarik nafas dalam-dalam, membuka pahanya semakin lebar dan bersiap menerima penetrasi kejantanan Gede secara paripurna ketika tiba-tiba dirasanya tubuh berotot Gede mengejang beberapa kali disusul sensasi hangat yang membanjiri selangkangannya.

“Kaaaaak.... kaaaaaak!!!! Sayaaaa.... mauuuuuuu.... mun.... craaaaat.....”

“Eh? Eh? J-jangan dulu!” Kinan menggeleng-geleng panik karena tahu-tahu saja benih Gede sudah menghambur tumpah di atas belahan labianya.

“Aauuuuh... saya... sayaaaaa... uuuuuuunggghhh!!!” lengguh Gede sambil menggelepar hebat dalam pelukan Kinan. Punggung Gede melengkung-lengkung menahan nikmat, lalu manandak dan menghenyakkan kuat-kuat batang kejantanannya pada bibir memek Kinan hingga semprotan terakhir benihnya tak lagi menetes. Terengah-enggah, Gede mengatur nafasnya yang tersenggal sambil membenamkan wajahnya di leher Kinan. Ledakan kenikmatan membuat Gede mengawang sejenak di atas tubuh telanjang Kinan sebelum akhirnya ia berkata pelan, “maaf, kak... saya....”

“Nggak... apa-apa....,” bisik Kinan datar, berusaha menyembunyikan nada kecewa dalam kalimatnya. Diusapnya rambut rambut ikal Gede yang terbenam di pundaknya. Dikecupnya kening Gede sekali. “Nggak apa...,” bisik Kinan lagi, memungkiri kedutan-kedutan bibir kewanitaannya yang masih mengharapkan puncak kenikmatan yang lagi-lagi gagal diraihnya.

Seolah bisa mengerti apa yang diinginkan tubuh Kinan, Gede mengecup lembut pundak Kinan, leher, hingga bergerak turun ke atas bongkahan sintal dadanya. Sebelah tangan Gede meremas gemas payudara kiri Kinan memilin tajuknya di sela-sela jari, sementara bibirnya sibuk mengulum tajuk Kinan yang lain. Digigitnya lembut lalu dihisapnya kuat-kuat puncak dada Kinan sehingga membuat gadis itu semakin kehilangan akal.

Kinan bahkan tak tahu lagi kata-kata vulgar apa saja yang keluar dari bibirnya. Karena yang berdaulat kini hanyalah birahi hewani semata, yang menggelegak, membuncah, dan menuntut haknya untuk dientaskan. Dan Kinan hanya mampu mengerang ketika dirasakannya bibir Gede semakin turun dan menghilang di balik hutan rimbun di pangkal pahanya. Selanjutnya Kinan tak ingat betul selain tubuhnya yang menggeliat hebat. Dihempas. Dientaskan oleh gelombang kenikmatan yang hadir laksana luruhan pyroclastic gunung berapi. Panas. Menghempas. Kemudian yang diingat kinan adalah langit yang berwarna ungu redup lalu semakin redup dan menghilang seiring kelopak matanya yang tertutup. Kemudian yang terdengar adalah sunyi. Sunyi, hingga detak jantungpun tak terdengar lagi.


●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●​


Malam telah gelap sempurna ketika dengusan nafas sepasang insan itu tak lagi terdengar, tenggelam dalam deru air bendungan dan nyanyian katak yang berkumandang menggantikan. Derik jangkrik terdengar sesekali, diselingi suara burung celepuk yang mendiami pohon-pohon besar di pinggir desa. Cahaya bulan di langit timur memendarkan cahaya keperakan pada sungai kecil dan sepasang bayangan yang merendam tubuh telanjang mereka pasca menuntaskan renjana birahi masing-masing.

Keduanya sempat membersihkan keringat yang melekat dan ampas-ampas persetubuhan di dalam aliran sungai kecil tempat Kinan mandi pagi tadi sebelum akhirnya saling berpamitan. Kinan mengecup Gede di bibir dengan lembut, dan berharap keduanya bisa bertemu untuk yang kedua kali tanpa harus mengenakan topeng seperti hari ini.

Kinan tersenyum melambai. Gede balas melambai sebelum akhirnya cahaya lampu sepeda kumbangnya menghilang meninggalkan Kinan tanpa sehelaipun penutup tubuh selain sepasang alas kaki. Hanya dibutuhkan berjalan kaki selama 5 menyusuri pinggiran sungai ke tempatnya menyembunyikan tas dan pakaian. Ada ceruk batu di situ. Di bawah pohon pisang dan semak keladi yang dirasa Kinan cukup tersembunyi untuk meletakkan tas ransel dari bahan kanvasnya. Berpakaian, pulang, dan makan malam adalah satu-satunya yang ada di pikiran Kinan kini. Petualangan telanjangnya hari ini sudah terlampau fantastis bahkan dari fantasi terliarnya selama ini. Hingga tanpa sadar, Kinan tersenyum-senyum sendiri teringat orgasme bertingkatnya barusan.

Bulan bersinar temaram, tapi cukup benderang untuk menerangi tempat Kinan meletakkan barang bawaannya tadi pagi. Mata Kinan bergerak mencari. Tangan Kinan bergerak menyibak rumpun-rumpun keladi yang menggesek-gesek kulit telanjangnya. Hari semakin malam dan Kinan mencari dan terus mencari. Tapi kemanapun Kinan melangkahkan kaki, tak sedikitpun ia menemukan apa yang dicarinya.

Tas ransel dan pakaian Kinan sudah lenyap tak berbekas.



To Be Continude
:baca:
 
Terakhir diubah:

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd