Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bimabet
Klo emang akan ada sequelnya, mungkin, tokohnya bisa dibuat seperti kinan di awal cerita kali gan... Humiliation n eksibisionisnya kental kerasa
Yang di part mananya gan yang mantap humiliationnya?
 
Dear suhu @Jaya Suporno kok ane cari yang versi mistis ga ada ya? Ane ketinggalan niyh.. Br nemu trit ini... Dan langsung terkesima trus langsung baca marathon dri awal... Wkwkwkwk
 
Yang di part mananya gan yang mantap humiliationnya?
Bagian kinan terpaksa harus jalan telanjang krn pakaian n motor nya hilang, dikejar2 kakek gila 😁😁 top banget gan.... Sama bagian kinan dikerjain sama anak2 bengal....
 
Fragmen 17
Pencarian Terakhir
(version ultimate – fix – no edit)





Laki-laki ini bajingan, Leo bisa menaksirnya dalam sekali lihat. Leher dan lengan yang dipenuhi bekas tato. Aroma parfum murahan. Lagak flamboyan seorang playboy kampung. Agak menyesal juga ia meminta orang ini menemani adiknya berjalan-jalan seharian. Naluri seorang kakak membuatnya memindai perlahan pejantan lain dalam kawanan yang mengancam posisinya sebagai alfa, dan yang paling bodoh adalah ia membiarkan Siska berjalan-jalan bersama orang itu.

Adiknya menghilang. Bukan berarti Leo tidak mencari sama sekali. Sesuai perjanjian, seharusnya anak-anak itu pulang selambat-lambatnya pukul dua belas malam. Leo sudah siap menyambar dengan omelan, tapi hingga pukul 00.15 yang ditunggu-tunggu belum juga muncul di gerbang Hotel.

Pertengah 90-an, dan waktu itu ponsel belum jamak digunakan. nyaris mustahil bagi Leo untuk menghubungi sang adik. Berkali-kali Leo berbicara dengan resepsionis, meminta disambungkan dengan pihak agen wisata, tapi mobil yang digunakan Badeng bahkan belum kembali ke pool!

Akhirnya, ketika arloji di tangannya menyentuh pukul 2 dini hari, Leo kehilangan kesabaran, "saya akan lapor polisi!" dengusnya sambil menggebrak meja resepsionis.

Ditemani manajemen Hotel, Leo melapor ke Polsek Sukawati. Dan Birokrasi, kau tahu, terlalu berbelit-belit. Mereka hanya menganggap anak-anak muda itu kemalaman klubing di Legian dan bakal kembali besok pagi dalam keadaan teler karena terlalu banyak menenggak tequilla. Hari sudah terlalu malam, dan akan sedikit merepotkan untuk melakukan pencarian.

"Lagipula, cuma ada petugas piket, ya ini kami berdua, Mas," Pak Pulisi itu memberi permak luman.

Harus menunggu matahari terbit hingga pihak berwajib menyisir jalan-jalan dari dan menuju Kintamani, tempat mereka mengatakan akan bepergian kemarin. Bukan perkara mudah, karena setidaknya ada tiga jalur utama dan belasan jalan-jalan desa yang saling terhubung dengan kawasan wisata kaldera itu, tapi setidaknya, menggunakan pengaruh ayah Leo di Jakarta, pihak berwajib berkenan juga mengerahkan anggotanya untuk menyisiri jalan raya dan juga semua fasilitas kesehatan di sekitar itu.

Adalah bapak Inspektur Satu Jaya Sutrisna, komandan yang memimpin operasi pencarian. Jam 10 lewat, mobil yang digunakan Badeng ditemukan di lerengng gunung di sebelah Utara yang menghubungkan tempat itu dengan kabupaten Buleleng, namun tak ada tanda-tanda jejak manusia. Penculikan? Perampokan? Leo sudah mulai panik ketika radio panggil sang komandan berbunyi.

Badeng ditemukan, di sebuah Puskesmas kecil yang tak jauh dari tempat itu. Diperban dan digips pada pergelangan tangan. Tapi Leo tidak peduli, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mencengkeram kerah baju pemuda itu.

"Bajingan! Di mana Siska!!!"

Badeng meringis, wajahnya penuh dengan bekas luka lecet. "Bung, tenang dulu... saya jelaskan."

Seorang Mantri dan Petugas Polisi menenangkan Leo, dan Badeng mulai menjelaskan duduk perkara.

Mobil mereka mogok dalam perjalanan pulang. Badeng menitipkan Siska dan Kinan di desa kecil yang tak jauh dari situ, sementara ia hendak mengabari pihak Hotel untuk meminta bantuan.

"Tapi, tiyang yang kurang hati-hati. Karena kabut yang terlalu tebal. Tiyang jatuh ke dalam jurang."

Untungnya manusia laknat itu belum mati. Badeng baru ditemukan oleh petani keesokan harinya, dan baru sadarkan diri tak lama sebelum Leo tiba.

"Tenang, adik bung, nona Siska dan nona Kinan dalam keadaan aman," Badeng meringis ketika Leo melepaskan cengkeramannya.

Leo mendengus geram, merapikan kancing kemejanya. "Kalau ada apa-apa dengan adikku, kau akan menyesal."

Badeng memilih tak menanggapi.

Radio panggil pak komandan berbunyi, Wayan, anak tertua Bapak Bendesa yang dikirim ke Gianyar Kota dan memberi tahu bahwa Kinan dan Siska ada di desa mereka.

"Nah. Tiyang juga bilang apa, bung," dengus Badeng kesal.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Maka berangkatlah mereka menuju desa itu. Badeng, sebagai rasa tanggungjawab juga ikut serta. Lengan kirinya di-gips, dan ada luka jahit di dahinya, tapi itu tak menghalangi pemuda itu untuk melompat ke atas bak belakang mobil patroli. Tiga orang petugas bersma seekor anjing pelacak sudah ada di atas, dan Badeng memberikan petunjuk arah.

"Nah, di sini tiyang titipkan dua nona itu," Badeng menunjuk kepada sebuah desa kuno di kaki gunung.

Ada rumah-rumah sederhana berdinding tanah liat dan warga yang terheran-heran melihat kedatangan Leo bersama aparat di desa mereka.

Bapak Bendesa keluar menyambut dan mengatakan bahwa Kinan dan Siska sedang berjalan-jalan di sekitar desa, dan sementara menunggu sebaiknya mereka beristirahat sambil menikmati suguhan kopi hangat dan gorengan Singkong. Bapak-bapak Polisi yang belum makan dari pagi, tentu dengan senang hati menanggapi, tapi tidak Leo.

Leo tidak bisa menyembunyikan rasa kurang suka di wajahnya. Penerbangan mereka pukul tujuh malam nanti. Kalau sampai mereka ketinggalan pesawat gara-gara ini, dia akan dengan senang hati mengomeli Siska dan Kinan. Cerobohnya anak itu, omel Leo, bagaimana ia bisa meninggalkan dompet dan barang bawaan Barang-barang Siska tersimpan rapi di kamar tamu di paviliun tamu. Leo langsung mengenali pakaian yang dikenakan tadi pagi diangin-anginkan pada sebuah tiang kayu. Termasuk sepasang pakaian dalam milik adiknya.

Leo mengernyit. Perasaannya tidak enak.

"Tadi dipinjami pakaian oleh anak saya," Ibu Bendesa menjelaskan, tapi itu tidak cukup menenteramkan hati Leo.

Adiknya berkeliaran tanpa kancut.

"Tiyang temani cari?" tawar Badeng.

Leo mengangguk buntu, tak memiliki pilihan lain selain menerima tawaran Badeng.

Maka dua orang berjalan menyisir jalan-jalan desa. Desa itu tak seberapa luas, hanya terdiri dari empat blok rumah yang tersusun rapi mengikuti empat barah mata angin. Badeng berperan sebagai penerjemah, menanyai beberapa warga yang kebetulan berpapasan.

"Oh, tiyang lihat dua orang mbok-mbok itu berjalan ke arah sana," seorang anak menunjuk ke arah tapal batas yang mengarah ke gunung.

Perasaan Leo semakin tidak enak. Pemuda itu mempercepat langkah.

Hanya ada hamparan pohon cengkeh di depan, dan sebuah bangunan berdinding dobol tanpa atap.

"SISKA!!!!" Leo berteriak dengan seluruh udara yang ada di paru-parunya.

Tak terdengar jawaban.

"KINAAAAN!" Badeng ikut menjerit.

Perkebunan Cengkeh itu meluas hingga lereng gunung, dan sepanjang mata memandang dua orang itu tidak melihat siapapun selain batang-batang kayu.

Badeng dan leo menyisir tapal batas desa tanpa hasil. Hingga akhirnya Inspektur Jaya, memutuskan menggunakan anjing pelacak.

Aroma tubuh Siska dan Kinan, lagi-lagi, mengarahkan mereka pada perekebunan cengkeh di belakang desa. Kali ini indera penciuman anjing pelacak itu mengendus ke arah satu-satunya bangunan di tempat itu.

Intuisi barangkali, tapi ada sesuatu yang membuat Leo tergerak ikut memeriksa.Mata Leo bergerak mengedar. Rumah kecil barangkali tak sampai 3x5 meter lebar. Dinding-dindingnya yang terbuat dari bata merah sudah dobol di sana sini, dan atapnya sudah lama rubuh oleh jamur dan kelembaan. Gentong-gentong pecah terlihat di sana-sini. Bekas pengolahan deresan nira yang difermentasi menjadi arak.

Leo melangkah hati-hati, menghindari pecahan genteng yang ada di sana-sana. Anjing pelacak itu mengendus setiap ceruk dan lekukan sebelum mennyalak pada tumpukan ranting yang sepertinya menggunduk tak wajar pada sebuah cerukan.

Perasaannya semakin tidak enak.

Tumpukan kayu itu diungkap.

"Asu buntung!" desis Leo,

Pakaian adiknya.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Gemuruh besar terdengar di langit yang mulai menggelap.

"Kau tahu tentang hal ini, kan?!" Leo menuding ke arah Leo.

Badeng mengangkat bahu.

"BANGSAT!"

Hantaman keras mendarat di wajah Badeng dan membuat Badeng meringis.

Inspektur Jaya bersama anak buahnya segera melerai.

"Sudah kuduga ada yang salah dengan anak itu," geram Leo.

Polisi-polisi itu hanya berpandangan, dan Leo tidak tahu harus menjelaskan dari mana.

Inspektur Jaya berkoordinasi dengan Bapak Bendesa. Jalur pendakian itu mengarah ke Pura Kuno di puncak, ada beberapa desa kecil yang masyarakatnya masih berladang di lereng-lerengnya. Lagipula dua orang itu tidak membawa perbekalan, bahkan pakaian, seharusnya mereka tak pergi jauh. Tapi, itu justru yang membuat Leo khawatir.

Saat ini adiknya berkeliaran telanjang bulat di tengah hutan bersama orang tak dikenal. Bagaimana kalau ia berpasasan dengan orang jahat? Bagaimana kalau adiknya disakiti? Dan ini semua gara-gara eksibisionis jalang bernama Kinan itu. Leo menggeram geram. Geram kepada Siska. Geram kepada Kinan. Geram kepada dirinya sendiri karena sudah membiarkan hal itu terjadi.

Tiket pulang ke Jakarta diikhlaskannya sudah, dan Leo bahkan tidak tahu harus menjelaskan apa kepada ayahnya nanti, tapi first thing first. Adiknya harus ditemukan.

Inspektur Jaya memimpin satu kelompok kecil tim pencari, tim-tim lain yang sedang disiapkan di Mabes akan menyusul jika dua orang itu tidak ditemukan hingga sore hari. Bapak Bendesa dan Badeng ikut serta sebagai wujud tanggungjawab, menyusuri jalan setapak dengan tebing curam di kiri-kanannya. Pohon-pohon tinggi menjulang di sana-sini, angker, dengan tajuk-tajuknya yang mulai diliputi kabut tebal.

"Tiyang sarankan, kita harus segera kembali," kata Bapak Bendesa khawatir.

"Bapak silahkan kembali, tapi saya akan tetap mencari adik saya!" tegas Leo.

"Bukan begitu, nak. Tapi... tanah ini menyimpan rahasia gelap... sudah banyak korban jatuh karena bermain-main dengan alam dan kegelapan...."

Leo mendengus meremehkan.

"Tiyang serius. Tapi siapapun yang memasuki hutan larangan, pasti akan terkena kutukan! Sudah banyak pendaki yang menghilang karena berkeliaran terlalu jauh ke dalam hutan."

Gerimis tipis mulai terlihat, dan Leo mempercepat langkah, mereka diburu waktu, Siska harus ditemukan sebelum cuaca berubah tak bersahabat. Tapi kau tahu, cuaca di gunung tidak pernah bisa diprediksi, belum ada sepuluh langkah, tiba-tiba langit bergemuruh diikuti dengan tetes-tetes air yang perlahan semakin rapat. Hujan datang dari arah puncak, membuat aliran air dari lereng-lerengnya mengubah jalan setapak itu menjadi sungai deras.

Inspektur Jaya menimbang-nimbang bersama bapak Bendesa, jalur ini memang bisa jadi berbahaya jika cuaca buruk. Leo berkeras melanjutkan, tapi keadaan alam tidak memungkinkan, lalu ketika kabut tebal benar-benar menghalangi jarak pandang, mereka tak punya pilihan lain selain kembali ke desa di kaki gunung.

"BANGSAT!" umpat Leo geram.

Adiknya masih ada di luar dan harus terjebak semalam lagi, telanjang, dan tanpa satupun pakaian yang melekat di tubuh.

Malam ini apapun bisa terjadi.

Apapun.
 
Fragmen 18
Telanjang Selamanya
(version ultimate – fix – no edit)


Siska mendapati dirinya terbangun di sebuah tanah lapang, telanjang, dan satu-satunya benda yang menempel di kulitnya adalah pasung kayu yang melingkar berat di leher. Rantai besi besar terhubung dengan sebuah tugu batu besar di tengahnya, terbuat dari satu bongkahan utuh yang sepertinya memang digunakan sebagai tempat hukuman.

Tirap dari daun kelapa disangga empat tiang kayu seadanya, berongga dan meneteskan titik-titik hujan di atas tubuhnya. Warga desa cukup baik hati untuk menyalakan sebuah unggunan api sebagai pendiangan. Baranya menyisa nyala kemerahan yang bergemeretak sesekali menebarkan panas yang radian ke sekujur kulit Siska yang telanjang.

Warna ungu di ufuk timur pertanda matahari mulai mendekat ke cakrawala. Jam 4 dini hari? Jam 5 pagi? Siska tak tahu pasti. Remaja malang itu menggeliat bangkit. Berbaring di tanah keras membuat sekujur otot-ototnya terasa sakit di sana sini. Beruntung, suhu udara yang berada 15 derajat dari titik beku membuat nyamuk dan kepinding lebih memilih mencari mangsa di dataran rendah sana.

Siska mengibas setengah wajahnya yang berdebu, diseret dalam keadaan basah kuyup membuat setengah tubuh molek remaja ibukota itu diliputi oleh lumpur yang mengering. Matanya belek’an, rambut pendeknya acak-acakan, kalau begini rasanya ia mirip dengan pengidap gangguan jiwa beneran!

Menyadari ketelanjangannya, Siska refleks menekuk lutut dan memeluk pahanya erat-erat, bergelung seperti trenggiling dan meringkuk di dinding batu. Tiga orang bapak-bapak bertugas jaga merokok klobot tak jauh dari mereka, tersenyum cabul begitu menyadari sang tawanan yang terbangun. Siska menekap dadanya rapat-rapat, menutupi bagian-bagian tubuh yang disukai lelaki.

Sementara Kinan tampak lebih pasrah menerima nasibnya. Anak itu hanya duduk berselonjor di dinding batu besar tanpa berusaha menutupi bagian-bagian intim tubuhnya sama sekali. Kulit Kinan belepotan lumpur, rambutnya acak-acakan, tatapannya kosong dan jatuh pada garis imajiner antara langit dan cakrawala.

“Kinan, aku takut.”

“Jangan khawatir, Leo dan Badeng pasti akan mencari kita, kita tidak mungkin tidak ditemukan,” ia terdiam sesaat, “kecuali jika kau memang menginginkan yang sebaliknya….”

“Siapa bilang? Aku ingin pulang, Kinan….”

“Bukankah ini yang kau inginkan? Melarikan diri dari kehidupanmu? Telanjang bulat selamanya?”

Siska merinding, setengah karena jerih membayangkan nasibnya kelak, setengahnya lagi karena ada sisi gelap dalam dirinya yang menyambut gembira pikiran-pikiran gila itu.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Desa itu terletak di lereng gunung dan dikurung tebing dan jurang. Pohon-pohon pinus berukuran raksasa menjulang di antara atap-atap rumbia bak benteng pertahanan alami yang menutup diri dari dunia luar. Kabut tebal masih terlihat, dan matahari yang merangkak dari cakrawala mewujudkan diri sebagai bola merah darah yang mengintip dari balik gumpalan awan.

Satu persatu warga desa terpencil itu bangkit dari pembaringan dan menyalakan perapian. Terdengar suara lumpang yang ditumbuk di sana-sini bersama siluet-siluet bermunculan ke jalanan yang sunyi.

Mereka sepertinya bekerja sebagai buruh tani di desa-desa di selatan. Beberapa lagi menjual hasil bumi umbi-umbian dan beternak babi. Prianya hanya menggunakan cawat untuk menutupi area kehormatan, sementara ibu-ibu dan remaja wanita tidak lebih telanjang dari mereka dengan bagian dada yang dibiarkan terbuka..

Bentuk tulang wajah yang agak berbeda dengan wajah orang Bali kebanyakan, membuat Kinan mengira bahwa mereka adalah suku yang seharusnya sudah lama punah. Gelombang migrasi pertama dari ras Protomelayu di Nusantara, suku-suku pedalaman yang lebih dulu ada ketimbang orang-orang Bali Aga. Mungkin bisa disamakan dengan Orang Rimba di Sumatera atau suku Polahi di Sulawesi.

Sama seperti yang dilihat Siska pertama kali, warga desa itu cenderung pemalu. Kebanyakan memilih menghindari kontak mata dengan Kinan dan Siska, karena kau tahu, mereka percaya bahwa penyakit Jiwa diakibatkan oleh roh-roh jahat, dan tertular tulah dari dua orang itu adalah hal terakhir yang mereka inginkan.

Tiga orang bapak-bapak petugas ronda digantikan dengan dua orang yang lebih muda, remaja, mungkin seumuran dengan mereka, datang membawa ubi rebus yang ditaruh di dalam dua buah tempurung kelapa, salah seorang menyuruh mereka makan, tapi Siska terlalu tidak berselera bahkan untuk merasa lapar.

Siska bergeming dalam kondisinya sejak subuh tadi. Bergelung seperti trenggiling dan memeluk erat-erat kedua lututnya. Sementara, Kinan, tampak lebih pasrah menerima nasibnya. Anak itu hanya bersila dan bersandar di dinding batu, membiarkan sepasang payudara montok dan daerah rimbun di pangkal pahanya menjadi santapan mata remaja desa itu. Kinan malah balas tersenyum, bertukar pandangan dengan remaja-remaja itu seolah mengundang mereka untuk menjamahi tubuh telanjangnya lebih jauh.

Api unggun itu akhirnya padam bersama matahari yang terbit sempurna, dan alun-alun kecil itu mulai disarati dengan warga desa. Kekurangan hiburan mau tak mau membuat penduduk menjadikan sepasang wanita yang dirantai telanjang di alun-alun itu menjadi tontonan. Tubuh Kinan yang sekal dan montok, juga tubuh Siska yang langsing dan tak ditumbuhi bulu sama sekali membuat keduanya langsung dianggap sebagai atraksi hewan di kebun binatang.

Sekelompok kanak-kanak berjoget-joget mengejek. Beberapa ibu-ibu menumbuk ubi kering di lumpang tak jauh dari mereka. Sementara beberapa lagi menganyam sesaji di bale-bale sambil bergosip pagi tentang sepasang gadis yang tertangkap sedang berbuat mesum. Bapak-bapak sudah tak terlihat, tapi seorang kakek tampak di kejauhan, mengunyah tembakau sambil duduk di-balai-balai.

Rasa malu membuat perut Siska menjadi mulas. Ditambah lagi udara dingin dan bertelanjang bulat semalaman membuat kandung kemih dan usus besar Siska sarat dengan isi.

Ugh! Duduk Siska mulai tidak tenang akibat desakan alam!

Kinan yang mulai kehilangan kewarasan sama sekali tak memikirkan kepantasan. Aliran keruh yang menggenang di bawah pantatnya menunjukkan bahwa anak itu sudah mengompol sejak tadi, tapi Siska, huuuh, wajahnya semakin bersemu, bagaimana ia bisa melakukan kegiatan paling pribadi ini di bawah tatapan mata banyak orang!

“Saya mau ke WC!” keluh Siska dengan wajah merah padam menahan malu.

Dua orang remaja yang ditugasi menjaganya hanya berpandangan-pandangan.

“Lepaskan dulu! Saya mau berak!” teriak Siska lagi, dengan rasa malu yang berlipat.

Meju?

Siska mengangguk cepat.

Anak itu, mungkin sebaya Siska berjalan mendekat. Tangannya menarik pada rantai besar di leher Siska.

“Eh? Kamu mau apa?”

Mai! (sini),” ia menyentak kasar.

“Jangan!” Siska mulai panik

Siska bergeming dan berusaha bertahan pada posisinya, tapi pemuda berotot pejal itu pun berkeras. Dengan sekuat tenaga ia menyeret Siska, hingga anak itu menggeragap jatuh dan merangkak-rangkak di atas tanah.

Rantai di balok besar di lehernya tak memberinya banyak pilihan. Hardikan dan sentakan kasar berkali-kali di lehernya memaksa Siska mengikuti majikan barunya, merangkak bugil dengan telapak dan lutut layaknya seekor anjing. Siska meringis, menahan sakit dan dipermalukan.

Ada sebuah selokan kering tak jauh dari batu besar tempat mereka dipasung. Remaja desa itu menunjuk kasar ke dalamnya.

“Tuh!”

“Di sini?” Siska melongo tak percaya.

“Di sini!” tegas si pemuda.

“Masa saya di suruh berak di sini!” protes Siska keras.

Tapi pemuda itu tak ambil peduli dan melengos kembali ke pos jaganya.

Siska bersungut-sungut, ingin protes, tapi perutnya pun sudah melilit-lilit!

Aduh gimana, nih? Keningnya dipenuhi dengan keringat dingin, dan mati-matian Siska menahan perutnya yang semakin mulas, tapi ketika tuntutan rasa berak itu tidak bisa tertahan lagi, ia kehabisan pilihan.

Dorongan dari usus besar mendesak untuk dikeluarkan. Keringat dingin di wajahnya bertambah deras, dan tubuhnya yang telanjang menggigil ketika merasakan akan ada yang keluar dari dalam ususnya.

Akhirnya dalam keadaannya yang paling hina, Siska menyerah kepada rasa malu. Remaja cantik itu akhirnya berjongkok di pinggiran selokan kering, menanggalkan segala harkat dan martabat. Di bawah tatapan warga desa, Siska mengejankan otot-otot kegelnya kuat-kuat. Memejam dengan wajah merah padam, dicekam rasa terhina dan menjijikkan.

Urinnya yang telah lama ditahan yang merembes pertama, menyembur deras dari uretra membasahi paha dan betis.

Sekujur tubuh Siska menggigil merasakan semburan hangat di selangkangannya.

“Jangan lihat… saya sedang… e’ek… hiks…." rengek Siska dengan air mata berurai. Bibirnya meraung pilu waktu pahanya mulai dilelehi urin yang mulai merembes dari belahan pantat. Feses-nya menyusul keluar dalam gumpalan lembut. Menjulur dari lubang anus dan melingkar di tumitnya. Desa mendadak sunyi dan yang terdengar hanyalah suara-suara memalukan dari lubang pembuangannya. “Jangan lihaaaaaaat….. uunnnh..... nnggghh.....eeeeeeH.” Siska mengerang lirih, tak pernah menduga akan melakukan hal menjijikkan ini di depan umum!!!

Wajah Siska merah padam akibat persenyawaan mematikan antara antara rasa malu dan terhina. sekujur tubuhnya serasa kaku. Lalu, ketika gumpalan feses terakhir terjatuh, tangisnya pecah sejadi-jadinya.

Siska bahkan tidak sempat untuk terisak lebih lama, karena rantai lehernya yang disentak kasar membuat ia harus menuruti perintah sang majikan. Bagaikan seekor binatang peliharaan, anak seorang pengusaha terkenal itu merangkak telanjang dengan lutut dan telapaknya. Tiga orang petugas ronda sudah menyiapkan air mandi dalam tiga gentong besar, dan langsung diguyurkan tanpa permisi.

Siska dan Kinan langsung megap-megap, tapi anak-anak itu tak hendak berhenti, diguyurkannya air dingin itu lagi dan lagi. Seorang Ibu gendut meremaskan ampas kelapa dan jeruk nipis untuk mengeramasi tawanan mereka. Dnegan menggunakan sabut kepala, rambut Siska digosok. Seluruh tubuh Siska disikat tak terkecuali: ketiak, pundak, dan lubang anusnya yang diceboki. Siska hanya merasakan ujung telunjuk ibu-ibu itu yang menusuk masuk membersihkan lubang pembuangannya. Lagi… Dan lagi….

Siska mengerang ketakutan, dicekam rasa hina dan dipermalukan, tapi tidak Kinan, remaja manis itu sepertinya dengan senang hati membiarkan setiap lubang dan relungnya dimasuki. Merangkak di atas keempat tungkai, remaja montok itu hanya menggeliat manja ketika ketiak dan payudaranya digosok kasar dengan sabut kelapa, hingga buih-buih licin mengilat di atas kulitnya yang telanjang.

Siska memejam putus asa, dan ia hanya berharap mentalnya bisa bertahan, setidaknya, hingga Leo tiba….

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

“Lihat? Mereka tidak berlaku terlalu buruk kepada kita,” Kinan tersenyum santai, berusaha mengambil sisi baik dari apa yang terjadi kepada mereka, “setidaknya mereka akan memberi kita makan dan memandikan kita tiap hari.”

Kulit dan rambutnya wangi santan dan jeruk nipis, dan Kinan duduk santai menghabiskan singkong rebus sambil bersila cuek saja ditontoni sekumpulan remaja-remaja tanggung. Bersila di depan mereka, Kinan agaknya senang-senang saja buah dadanya yang montok dipandangi. Rambutnya masih basah, dan kulitnya lembab segar. Ampas kelapa dan perasan jeruk membuat tubuh remaja berdarah ningrat itu menunjukan pesona sebenarnya.

Sementara Siska kembali meringkuk dan memeluk pahanya yang menekuk. Wajahnya dibenamkan dalam-dalam pada lutut. Tangisannya sedari pagi masih bersisa isakan yang terdengar sesekali. Demi Tuhan, seumur hidupnya belum pernah ia dipermalukan seperti ini!

“Rasa malu, Siska, berasal dari keterikatan. Kehormatan keluarga, strata sosial, segala kenikmatan hidup yang kau nikmati sampai detik ini. Dan ketika kau berhasil melepaskan diri dari semua itu, lihatlah, kau bahkan tak akan kehilangan apa-apalagi, karena kau tidak membawa apa-apa lagi di badanmu.”

Sinar matahari yang meninggi jatuh dari ketinggian, dan pagi berlalu tanpa kejadian berarti. Setelah memandikan dua ekor ‘ternak’ itu, para warga kembali dengan aktivitas mereka. Kalau saja ia tidak memikirkan keadaannya yang telanjang bulat, Siska pasti akan merasa kebosanan, karena nyaris tidak ada lagi yang bisa dilakukan!

Siska kesal sendiri karena Kinan sepertinya menikmati betul situasi ini! Lihat saja, Kinan malah dengan santai tidur-tiduran di bawah terik matahari layaknya wisatawan asing yang berjemur di pantai Kuta. Telungkup di atas lapangan batu, remaja bertubuh montok itu membiarkan bongkahan pantatnya menjadi tontonan. Sementara sepasang bongkahan kenyal di dadanya tergencet indah di antara ketiaknya yang telungkup. Wajah Kinan bertumpu pada kedua lengan yang dijadikan bantalan. Berhari-hari berkeliaran tanpa pakaian membuat rona-rona tan kecoklatan mulai menghiasai kulitnya yang eksotis! Huaaah, gua yang liburan, kok Kinan yang seksi, sih! Batin Siska Keki.

Lapangan batu seluas 20x20 meter itu agaknya memang digunakan sebagai tempat hukuman. Batu utuh raksasa sebesar rumah dipasangi belasan cincin-cincin besi di sana-sini yang sepertinya memang digunakan untuk untuk menawan tahanan di masa lalu. Di sekelilingnya adalah parit kecil yang kini sudah kering dan dipenuhi lumut dan jelatang.

Pohon-pohon pinus tinggi mengelilingi di sana-sini. Terlihat beberapa ekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di cabang-cabangnya. Beberapa terlihat penasaran dengan keberadaan sepasang makhluk tak berbusana itu dan merangkak mendekat.

“Sini!” lambai Kinan sambil menyodorkan sisa-sisa singkong kukus miliknya yang segera disambar oleh seekor kera kecil, seekor lagi merangkak menyusul berebut remah-remah makanan di tangan Kinan yang hanya terkikik-kikik menemukan mainan baru. Remaja telanjang itu membiarkan rambutnya dijambak-jambak dan puting susunya dimainkan oleh seekor bayi moyet yang bergelantungan lucu pada buah dadanya yang montok.

Sekelompok remaja terenyum geli melihat tingkah mereka.

Sementara Siska menggembungkan pipi, kesal sendiri melihat Kinan yang bisa sesantai itu.

“Siska! Kamu nggak makan?” Kinan menoleh lucu.

“Nggak selera!”

“Kalau enggak makan, jatah makananmu aku kasih mereka! Hehehe.”

“Eh, Jangan!” sambar Kinan bersungut-sungut, tak ingin berbagi jatah ransumnya kepada para primata.

Karena meskipun gengsi, sebenarnya perut Siska sudah jerit-jerit minta diisi!

Lalu sambil menahan malu, Siska akhirnya menghabiskan singkong kukus yang kini telah dingin.

Balok seberat 3 kg itu lama-lama membuat Siska pegal juga. Rasa pasrah membuat Siska merendahkan kedua kakinya, berselonjor dan bersandar pada dinding batu seperti yang dilakukan Kinan seharian ini. Pahanya pegal karena meringkuk seharian dan ia luruskan. Sebagai ganti lengan kirinya kini tersilang di depan dada untuk menutupi puting susunya.

Beranjak siang, desa itu berubah lenggang. Orang-orang dewasa sudah tidak terlihat, ibu-ibu dan bapak-bapak turun ke desa-desa di kaki gunung untuk berdagang atau menjadi buruh tani. Sementara para remaja putri seusia mereka duduk di bale-bale dan menganyam daun kelapa sebagai alas sesaji. Hanya bersisa satu dua warga berusia sepuh yang menyaksikan tontonan, selebihnya memilih beraktivitas demi mengisi periuk nasi.

Pikirannya sedang mengawang ketika seekor monyet yang sedang bermain bersama Kinan mengincar potongan singkong di tangannya. Siska baru menyadari itu ketika primata berekor panjang itu melesat dari sudut buta.

“Kyaaaaaah!!!!” Siska memekik histeris, monyet sial itu bergerandul tepat di lehernya.

Tangan Siska melambai-lambai ketakutan sehingga alpa menutupi dada dan vagina.

Seorang remaja pria tergopoh mendekat menembakkan kerikil dari ketapel kecil. Membuat si monyet sial meringis kesakitan sebelum kabur ke arah hutan.

“Kakak tidak apa-apa?” remaja itu berkata dalam bahasa Indonesia.

“Huh! Monyet itu! Kurangajar betul! Orang lagi enak-enak makan… diganggu!”

“Mereka hanya menginginkan makanan kakak.”

Ia mengeluarkan satu sisir pisang dan melemparkannya jauh-jauh.

Sekumpulan monyet ekor panjang bergerak mengerubung.

“Sebenarnya mereka jinak. Jinak sekali malah. Tapi kalau kakak ketakutan, mereka juga akan merasa terancam.”

Remaja itu, barangkali sebaya Kinan dan Siska, berjongkok di depan Siska. Kulitnya hitam legam, dan hanya ditutupi secarik cawat kain yang membalut daerah pangkal paha.

Ada beberapa detik ketika Siska baru menyadari ketelanjangannya, hingga kedua tangannya kembali menyilang di depan dada.

“Terima kasih,” sahut Siska pendek sambil membuang muka.

Sekumpulan remaja sebaya mereka, putra dan putri, yang awalnya hanya mengintip dari kejauhan akhirnya mendekat dari sebuah balai komunal tak jauh dari mereka.

Dua orang remaja putri datang membawa kendi tanah liat. Makan siang diletakkan di atas hamparan daun pisang. Nasi dingin yang bercampur kuah santan dan urap daun singkong yang diaduk-aduk seperti makanan sisa. Siska agak tak berselera, tapi kali ini rasanya ia tak memiliki banyak pilihan. Dengan wajah ditekuk dua orang gadis telanjang makan berhadap-hadapan, Kinan tak ambil peduli untuk menutupi bagian-bagian tubuhnya, tapi Siska masih ingin menjaga sedikit harga diri. Siska bersimpuh, tangan kirinya tersilang di depan dada, sementara tangan kanannya menyuap rikuh.

“Saya Soka, ini teman-teman saya, Suli, I Bracuk, dan Ning.”

Remaja-remaja di kampung itu kesemuanya berkulit legam dan berwajah sederhana. Tubuhnya dibalut secarik kain mori yang diwarnai dengan pewarna alam, dililitkan di pangkal paha sebagai cawat bagi para pemuda. Sementara remaja putrinya bagian pinggul ke bawah dibalut kain dengan buah dada yang dibiarkan terbuka. Kira-kira sebaya dengan Siska dan Kinan.

“Mohon maaf kalau membuat kakak tidak nyaman, tapi sebenarnya dari pagi kami ingin sekali berkenalan. Hanya saja kareka Kakek Tetua mengatakan kakak berdua terkena kutukan sehingga harus dijauhi.”

“Kami tidak terkena kutukan apapun!” potong Siska cepat.

“Saya tahu. Makanya saya penasaran sekali kenapa sampai-sampai orang yang terlihat normal seperti kakak berkeliaran telanjang bulat di tengah hutan.”

“Karena sebenarnya kami berdua adalah bidadari dari Kahyangan!” potong Kinan

“Kinan, jangan bicara sembarangan!” protes Siska.

“Benar. Dan selendang kami dicuri orang, sehingga kami tidak bisa kembali!”

“Kinan, hentikan! Nanti mereka benar-benar mengira kita orang gila!”

Kinan hanya tergelak-gelak menghindari cubitan Siska.

I Bracuk, salah seorang dari mereka, rupanya menganggap serius ucapan Kinan.

“Oh, pantas cantik sekali, rupanya bidadari, toh! Kakak Bidadari tidak haus? Saya bawakan minuman, mau?” seloroh I Bracuk menggombal.

Kinan mengangguk cepat.

Lalu dengan wajah berbinar-binar remaja berwajah polos itu membawakan tuak manis yang dikemas dalam tabung bambu, fermentasi nira yang belum distilasi menjadi arak. Rasanya seperti air tape! batin Kinan ketika ujung lidahnya merasakan cairan manis itu.

I Bracuk berjongkok di dekat Kinan, sedikit basa-basi menanyakan bagaimana rasanya. Ia membual bahwa minuman itu adalah buatannya sendiri. Sepertinya anak itu sejak pagi sudah menyiapkan bahan pembicaraan untuk mengajak sepasang gadis telanjang itu berkenalan!

Kinan tentu saja dengan bersemangat menanggapi.

Soka adalah yang paling tampan dan paling cerdas di antara keempatnya, kulitnya hitam terbakar matahari, tapi terbiasa mendaki gunung tiap hari memahat otot-ototnya dalam kerat-kerat yang jantan. Sementara rekannya, I Bracuk berwajah lebih sederhana, berbadan gempal dan hanya mengikut kemana rekannya pergi.

Dua orang remaja putri, Ning dan Suli sepertinya sepasang sahabat. Ning bertubuh montok agak gemuk dengan wajah bundar, sementara Suli bertubuh mungil yang mengingatkanmu kepada perawakan anak SMP, dua-duanya mengenakan kain dengan bagian dada yang dibiarkan terbuka.

Keempat remaja duduk antusias mengelilingi dua orang gadis kota yang dipasung di batu besar. Air muka pemuda-pemuda desa yang polos itu yang tak bisa menyembukan kekaguman. Ada kesima di mata mereka, ketertarikan yang tak sepenuhnya birahi. Rasa penasaran seorang balita pada kebaruan, atau kenakalan-kenakalan masa muda yang tak selalu bisa kau salahkan!

“Kakak biasa bertelanjang seperti ini?” tanya I Bracuk, penasaran.

“Di tempat saya, para bidadari tidak ada yang berpakaian. Laki-laki, perempuan, semuanya bebas berjalan-jalan tanpa harus memakai baju,” seloroh Kinan.

“Telanjang bulat? Tidak ada terangsang melihat bidadari seseksi kakak?”

“Tentu, dan di surga kami bercinta setiap hari, dengan laki-laki, dengan sesama perempuan….”

“Kakak Bidadari pernah bercinta?” matanya membeliak antusias.

“Oh, jelas, malah kakak yang satu ini ketagihan kelamin laki-laki!”

“Kinan!” bentak Siska, wajahnya bersemu.

Ning dan Suli juga menunduk sambil mengulum senyum mendengar kata-kata vulgar Kinan.

Melihat empat sekawan itu akrab dengan dua orang bidadari telanjang, satu persatu remaja ─putra dan putri─ mulai berani menggabungkan diri dalam pembicaraan. Seorang remaja bertubuh besar menyeret satu karung goni besar berisi durian dan dengan sigap memecahnya. Indera penciuman Siska segera diserbu dengan aroma sedap yang membuat air liurnya menetes. Benar saja, Siska segera membeliak sedap begitu merasakan satu kali gigitan. Daging durian itu benar-benar tebal dan kenyal, dengan rasa manis bercampur sepat yang segera lumer di mulutmu!

Kinan yang bersila segera berebutan dengan anak-anak desa itu sambil tergelak-gelak dan bercanda dengan bahasa Bali, tak peduli lagi kalau dadanya bergantung lepas dan rambut lebat di pangkal pahanya terpampang bebas.

Remaja-remaja itu, terlepas dari segala apapun prasangka yang ada di kepala mereka, benar-benar polos! Mereka bergantian menanyai Kinan dan Siska terutama dengan kehidupan di ibukota sana. Kinan berjongkok santai seolah-olah ia berpakaian saja, sementara Siska berusaha tampil sopan dengan masih menutupi bagian-bagian pribadi tubuhnya dengan tangan.

Bersimpuh, tangan kiri Siska tersilang di depan dada, sementara tangan kanan menyuap durian, sehingga bagian pangkal paha yang tak berbulu kini dibiarkan tak tertutupi.

Ning dan Suli berkasak-kusuk sebentar, melirik malu-malu.

“Kenapa punya kakak tak ada bulunya?” tanya Ning, polos.

“Karena saya cukur,” sahut Siska dengan wajah bersemu.

“Hah? Dengan apa?”

“Dengan pisau cukur!”

“Tidak sakit?”

“Nanti waktu tumbuh lagi rasanya pasti agak gatal, makanya setiap selesai menstruasi pasti saya rapikan bulu-bulunya.”

“Kenapa begitu?”

“Karena lebih higienis, dan agar tidak ada bakteri dan jamur-jamur yang berkembang biak.”

“Ha?”

Lagi, Siska harus menjelaskan, Air muka polos mereka, sekali lagi membuat Siska merasa nyaman sekaligus erotis di saat yang sama.

Siska yang semakin rileks tak lagi menutupi daerah di pangkal pahanya, tanpa sadar kedua tangannya yang tadinya menutupi daerah selangkangan kini kini menopang santai berat tubuhnya, sehingga sehingga seluruh bagian depan tubuhnya kini tak lagi berhalang terutama dua bukit kenyal yang ranum dan menantang.

Remaja-remaja desa itu berebutan mengajak Siska berbincang-bincang tentang apa saja, dan Siska hanya tersenyum semaki santai tanpa lagi menutupi area-area penting tubuhnya, antara benaran rileks ataukah malah menikmati betul tatapan mereka pada sepasang putingnya yang mengeras total >_<

Mereka hanya bertukar-tukar cerita saja, sambil melontarkan candaan-candaan yang menjurus, tapi berada dalam telanjang bulat di antara orang-orang berpakaian, benar-benar membuat Siska terangsang!

Remaja-remaja itu (putri maupun putra) berjongkok tepat di depan paha Siska, memperhatikan lekat-lekat gundukan tembem mulus yang sama sekali tidak ditumbuhi rambut, hanya segaris tipis warna pink yang menunjukkan posisi labianya yang masih perawan.

Soka dan I Bracuk kasak-kusuk dan saling senggol seolah ingin menyuruh temannya yang memulai duluan.

“Kakak bidadari. Boleh saya lihat ‘itunya’ kakak?” tanya yang bertubuh gempal.

“Apanya?”

“Punyanya kakak!”

Ning menegur rekannya. “Hei, kamu itu cabul sekali!”

“Yah, saya kan tidak berkata kepada kamu, kenapa kamu ikut campur!”

“Karena kamu tidak sopan kepada anak perempuan!”

“Heh, kakak ini sudah seharian tidak memakai baju. Jangan bicara tentang sopan satun lagi kepada kakak bidadari yang di kahyangan sudah terbiasa telanjang!”

Wajah Siska seperti ditampar oleh bara api mendengar kata-kata yang polos namun terdengar melecehkan itu. Siska merasa marah sekaligus malu, malu pada dirinya sendiri karena ada sesuatu dalam dirinya yang menyambut bahagia permintaan itu, seolah sudah lama ia menunggu-nunggunya hal ini diminta!

“Boleh ya, kak?” I Bracuk mengerjap polos.

“Tapi cuma lihat saja, ya! Saya jangan diapa-apakan!” Siska melotot judes.

I Bracuk mengangguk gugup.

Wajah Siska dipenuhi dengan rona-rona merah muda, antara malu, penasaran, tapi juga erotis sekali mendengar permintaan itu!

Jantungnya berdetak dalam denyut yang ia tak suka. Mendadak desa itu terasa sunyi dan Siska tidak lagi bisa mendengar suara batinnya sendiri, dan Siska tak ingin mengakui bahwa bahwa betapa sejak awal ia sebenarnya ingin sekali memamerkan tubuh kepada anak-anak itu!

Siska menarik napas panjang, sebelum menanggalkan semua rasa malu dan harga diri. Lalu dengan tubuh gemetar Siska merendahkan posisinya, sambil membuka pahanya lebar-lebar. Tubuhnya mencondong ke belakang dan ditumpu oleh sepasang siku, membuat sepasang dadanya yang mungil membusung sempurna.

Lalu dalam gerakan yang amat perlahan, tanpa harus meninggalkan kesan bak wanita murahan, sepasang paha Siska merentang membuka, setengah menekuk, ─membentuk pose M─, sehingga seluruh bagian teban tubuhnya kini tersaji indah.

Remaja-remaja desa itu membeliak polos. Seumur-umur belum pernah mereka melihat tubuh wanita blasteran. Kromosom kaukasia membolehkan kuli Siska berwarna putih bersih dengan freckle di sana-sini, dan kini agak menggelap karena petualangan telanjangnya. Rajin melakukan perawatan lulur membuat permukaannya nyaris mulus. Otot-ototnya lean terbentuk atletis tanpa tambahan lemak akibat rutinitasnya berenang tiap hari. Mereka bisa melihat pundak dan otot trisep Siska yang pejal. Juga otot-otot perutnya yang bergerinjal membentuk enam buah kotak. Pinggangnya yang mengecil meliuk dalam pada pinggul, memberikan aksentuasi feminin di atas tubuh liat itu. Otot-otot pantat yang padat dan sekal terlihat begitu menggoda di belakang sana, ditopang oleh sepasang paha padat yang tinggi jenjang layaknya seorang peragawati.

Tak seperti milik kinan yang bermangkuk-C, buah dada Siska mungil dan imut sekali, tak seberapa besar tapi membusung padat dengan puting susunya yang mengacung tegang kemerahan. Wajah Siska seketika bersemu, malu, tapi berdebar-debar juga karena tak menyangka bahwa memandangi tubuhnya sampai seperti itu!

“Kenapa?”

“Putingnya berwarna merah muda?”

“Puting saya memang dari dulu seperti ini warnanya.”

“Kenapa? Punya saya warna cokelat!” seorang remaja putri menyodorkan susunya yang montok.

“Karena kakek saya orang luar.”

“Seperti bule-bule di Ubud sana?”

Siska mengangguk.

“Tapi susu kakak bagus,” puji Suli, tulus.

“Yang benar?”

Dada Siska semakin membusung seolah sengaja membiarkan buah dadanya yang mungil menantang pandangan anak-anak itu yang membeliak penuh kekaguman. Muncul rasa bangga mendapati tatapan pemuda-pemudi gunung itu pada tubuhnya yang tak berhalang. Perasaannya campur aduk antara antara senang, malu, dan berdebar-debar erotis, sehingga tanpa sadar kewanitaannya mulai meproduksi lebih banyak cairan.

“Masa?” Siska tersenyum (pura-pura) polos, menopang sepasang bongkahan mungil dadanya dengan kedua tangan. “Punya saya kan kecil begini di bilang bagus?”

“Benar!” Remaja-remaja putri itu menyahut kompak. “Punya kakak memang tidak besar, tapi bagus sekali! Terutama puting susunya!”

“Puting seperti ini?” wajah Siska semakin bersemu, tangannya kini mencubit sebentuk benda kenyal berwarna merah hati yang menggunduk lucu bagai buah ceri dengan jari-jarinya.

Jakun para pemuda turun, naik, dan pandangan mereka beralih menuju bagian indah di pangkal paha. Ceruk kesuburan itu nyaris tak berbulu, hanya segunduk bongkahan tembem dengan segaris labia warna merah muda di tengah-tengahnya, basah dan merekahkan sekuntum bunga segar yang berdenyut-denyut dan sebentuk bintang kecil merah muda di bawahnya.

Terdengar suara decak kekaguman. “Wah, bahkan punya kakak bawahnya berwarna ptih dan mulus!” puji Ning sungguh-sungguh.

Sekujur tubuhnya merinding, menyadari bahwa saat ini dirinya tak telanjang bulat, dan belasan remaja berjongkok di depan bagian tubuhnya yang paling privat!

Siska yang sudah naik birahinya hanya mampu memejam pasrah ketika sepasang gundukan tembem kewanitaannya terekspos utuh bersama lubang anus mungil berwarna merah muda lucu di bawahnya.

Remaja-remaja desa itu bergiliran mengintipi bagian paling rahasia milik remaja itu dari jarak dekat. Jantung Siska seperti hendak meledak rasanya menyaksikan remaja-remaja remaja sebayanya ─laki-laki maupun perempuan─ berjongkok hanya sejengkal dari pangkal paha. Ia bahkan bisa merasakan embusan napas mereka yang hangat menerpa daerah pubisnya yang tak berbulu!

Siska memejam gugup. Antara malu, grogi, tapi bergairah sekali dipandangi seperti itu! Siska benar-benar terangsang, jantungnya berdetak kencang membawa berliter-liter darah menuju pembuluh-pembuluh darah di sekitar vagina yang berdilatasi dan membuat bibir-bibir hangat itu terasa semakin kenyal dan berkedut-kedut nikmat!

“Kenapa basah, kak?” tanya Ning dengan pipi tersipu. “Kakak terangsang?’

Siska mengangguk dengan wajah bersemu menahan malu.

“Terangsang kenapa?”

“Kakak terangsang… karena kalian pandangi… seperti itu….”

“Berarti kakak suka dipandangi seperti ini? Dalam keadaan telanjang bulat seperti ini?”

Siska mengangguk lagi. Rona-rona merah muda terlihat semakin jelas.

“Makanya… saya terangsang sekali…” desah Siska putus asa.

“Ah…” wajah Ning ikut bersemu.

“Kalian…. suka melihat saya telanjang…?”

Remaja-remaja desa itu kompak mengangguk. Melihat wajah-wajah mengharap remaja-remaja desa itu, juga para remaja putri yang menunduk malu-lalu justru membuat dadanya berdesir indah.

Ya Tuhan, apa yang aku lakukan, batin Siska dengan wajah merah padam, tapi saat ini hati nurani tak lagi memiliki signifikansi karena tangannya seperti memiliki keinginan sendiri, bergerak pelan dan menguak kedua labia dengan jari-jari sehingga seisi liang liat yang berdenyut-denyut itu terlihat jelas.

Wajah para remaja putri ikut bersemu melihat adegan vulgar itu. Remaja-remaja putri mulai tak tenang duduknya, sementara yang putra mulai memperbaiki letak kain cawatnya.

Siska gemetar, karena diam-diam ia menikmati setiap momen ia melacurkan diri, lalu ketika tangannya semakin jauh menguak, Siska tersentak.

Hardikan keras dari seorang Ibu-ibu membubarkan kerumunan yang mulai tak terkendali itu. Tangannya melambaikan sapu lidi membuat para remaja itu melarikan diri ke segala penjuru.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Siska lekas beringsut dan memeluk pahanya rapat-rapat, tubuhnya belum selesai gemetar, gentar terhadap jalan pikirannya sendiri.

“Kinan, aku tak bisa lagi berada tempat ini!” desah Siska putus asa.

“Kenapa? Bukankah ini adalah fantasi terpuncak seorang eksibisionis? Aku bisa melihat dengan mata kepalaku sendiri, kau benar-benar menikmati memamerkan selangkanganmu kepada mereka, Siska. Anak-anak itu mungkin seumur hidupnya tidak pernah melihat pornografi. And here we are. Dua bintang porno yang dirantai telanjang. Desa ini adalah panggung yang kita impi-impikan selama ini, dan kita adalah pemeran utamanaya,”

“Justru itu!” sambar Siska dengan wajah bersemu. “Aku justru khawatir… kalau terlalu lama di tempat ini… aku… bisa ketagihan!”

Kinan tertawa.

“Ketagihan menjadi budak seks warga ini selamanya?”

“Kinan, hentikan!”

Kinan tergelak riang duduk mengangkang dan memamerkan organ-organ intimnya kepada para remaja yang melirik dari kejauhan. Seperti undangan untuk menikmati tubuhnya tengah malam nanti.

“Kalau seandainya pun Leo tiba di sini, katakan kepada mereka, kalau aku ingin tetap berada di tempat ini.”

“Terserah kau Kinan, tapi aku harus segera pergi dari tempat ini!”

“Kenapa? Kau tidak merasa terangsang telanjang selamanya di tempat ini?”

“Justru itu! Aku benar-benar terangsang sampai-sampai aku jadi takut kepada diriku sendiri! Lagipula, bagimana kamu bisa tenang-tenang saja dengan semua ini?! Apa kau tak terangsang, Kinan?!”

That’s my secret, darling.” Kinan tersenyum. “I’m always horny.”

Tak ada tanda-tanda Leo bakal datang hari itu, hingga sore ia menunggu, tapi yang datang dari arah gerbang hanyalah kaum dewasa yang pulang dari selatan.

Kalau dipikir-pikir sudah lebih dari duapuluh empat jam Siska tidak mengenakan pakaian sama sekali, Kinan mungkin lebih itu. Semakin lama ia berada dalam kondisi tanpa busana, semakin terbiasa ia, dan semakin alpa ia menutupi bagian-bagian penting tubuhnya. Pasung balok kayu di lehernya itu terasa berat, dan Siska memilih berbaring telentang, memandangi langit yang beranjak senja. Sepasang tangannya berada di sisi tubuh tak lagi berupaya menghalangi bagian-bagian privat tubuhnya dari pandangan warga desa yang berlalu lalang, setelah apa yang terjadi seharian ini, rasanya sia-sia saja ia menutupi ketelanjangannya, tapi Siska sudah tidak peduli, ia hanya berbaring di situ dan membiarkan tubuh telanjangnya dipandangi sepuas hati, karena toh, orang-orang itu telah melihat semuanya.

Karena kau tahu, rasa malu berasal dari harga diri. Ketika kau memilih menanggalkan semua harkat dan harga diri, tak ada lagi yang tersisa darimu selain seperangkat kulit dan daging, dan di sinilah ia.

Siska bergidik ngeri dengan jalan pikirannya sendiri, ngeri ke mana petualangan birahi ini akan mengarah. Mengerikan betapa ia menikmati berada dalam kondisi tanpa busana. Inikah yang dirasakan Kinan?

Matahari menghilang di balik batang-batang pepohonan, dan kali ini Siska harus membuang jauh-jauh kemungkinan Leo akan datang hari ini.

Sandyakala tampak sebagai kabut jingga di kejauhan, hari beranjak senja, dan orang-orang dewasa berdatangan entah dari mana. Siska dan Kinan sudah dimandikan, dan giginya digosok dengan sirih dan pinang.

Para penduduk berkumpul di balai desa, anehnya, Kinan sama sekali tidak melihat mereka melakukan Puja Tri Sandya atau menghaturkan canang seperti keluarga Bali-nya! Penghayat Aliran kepercayaan, Kinan menyimpulkan. Sisa-sisa Animisme Pra-Hindu yang masih tinggal di pelosok gunung. Kinan hanya mendengar nama Hyang Manunggal, Tuhan Kuno yang disembah masyarakat nusantara sebelum kedatangan agama Hindu-Budha.

Seorang utusan berjalan mendekat.

Bapak-bapak paruh baya, berbicara dalam bahasa Bali kasar. Beliau berkata bahwa Kakek Tetua menyuruh mereka menghadap. Soka yang bertugas ronda melepas rantai yang terikat pada cincin besi batu besar.

Kasar, dua orang tawanan itu digiring telanjang menuju sebuah balai pertemuan.

Nyala api obor menerangi dua tubuh telanjang yang dirantai. Para tetua dan bapak-bapak melakukan rapat, parum, di balai-balai. Belasan tetua adat dan bapak-bapak sudah bersila membentuk lingkaran, dan sorot mata segera mengarah sepasang remaja telanjang itu. Rasa gentar membuat Siska menyilangkan dua tangan menutupi kemalualn.

Kakek Tetua berdehem dan berkata bahwa sia-sia saja pura-pura malu setelah apa yang mereka lakukan.

Siska dan Kinan diperintahkan berjongkok di tengah lingkaran layaknya seorang pesakitan yang dihakimi.

“Kalian tahu, gara-gara kalian melakukan tindakan mesum di Hutan Larangan, desa kami leteh (kotor secara spiritual), dan untuk membersihkannya diperlukan upacara Mecaru dengan sesaji mahal.”

Desa ini desa miskin tentu saja, jangan bandingkan dengan desa-desa di Bali selatan yang memperoleh remah-remah dolar dari sektor pariwisata, posisinya yang berada di lereng gunung terjal tak memberikan apapun selain apa yang disediakan oleh alam.

“S-saya a-akan bertanggung-jawab!” potong Siska. “Kalau memang itu permasalahannya, saya yang akan menanggung. Keluarga saya ada di Jakarta, ayah saya yang akan menanggung semua biaya upacaranya! Kalau tidak percaya, datang saja ke desa di kaki gunung,” Siska menyebut nama desa Ibu Bendesa..

“Ini bukan hanya masalah uang!” bentak Kakek Tetua.

Pria tua berambut putih itu berkata lagi apa benar mereka bersedia bertanggung jawab untuk menyediakan caru?

“Kami akan bertanggung jawab!” tegas Siska

“Benarkah, anak bersedia menanggungnya?” Kakek Tetua bertanya untuk terakhir kalinya.

Siska mengangguk lagi.

“Kalau begitu anak berdua harus menjalani hukuman.”

“Eh? Jadi kami tidak akan dilepaskan?”

“Tidak sebelum kalian berdua menjalani hukum pasung,” tegas Kakek Tetua.

“Eh?!”

“Selama 12 Purnama anak akan berada di tempat ini anak tidak diperbolehkan mengenakan pakaian…”

“Lho… kooooook… kami disuruh bugil?!”

“Selama itu pula… kalian akan menjadi budak kami…. kalian lebih rendah dari Sudra…. kalian adalah Paria yang derajatnya tidak lebih tinggi dari hewan… dan hewan… tidak memerlukan pakaian, bukan?” ia bertitah.

Lututnya terasa lemas mendengar kata-kata Kakek Tetua. Budak, perut Siska mendadak mulas membayangkan seperti apa nasibnya selama satu tahun ke depan. Telanjang bulat dan diperlakukan tak lebih dari hewan peliharaan. Separuh dirinya gentar, tapi separuhnya lagi berdebar-debar menanti pelecehan yang akan dilakukan orang-orang kasar itu kepadanya.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

“Karena semua orang yang menjalani hukuman pasung wajib meninggalkan apa yang melekat pada mereka, kehormatan, derajat, termasuk… pakaian,” jelas Soka.

“Tenang saja, kak. Kalau tidak dihitung-hitung, 12 Purnama itu bukan waktu yang lama,” Ning mencoba menghibur.

“Betul, selama kakak di sini, kami akan selalu menemani agar kakak tidak kesepian,” Suli menambahi.

Soka dan Bracuk yang ditugasi sebagai petugas ronda menyalakan api unggun.

Hujan yang turun deras selepas Maghrib membuat warga desa tidur lebih awal. Hujan turun sempurna, membungkus desa kecil di lereng gunung itu dengan kabut tebal. Para kaum tua memilih berdiang dalam rumah.

Dua perempuan telanjang itu bersandar di dinding batu, sama-sama menatap nanar ke arah warga desa yang kasak-kusuk melirik ke arah mereka, hukuman Pasung dan status mereka sebagai budak sudah tersebat ke seantero desa. Kali ini Siska bahkan tidak lagi berpikiran menutupi bagian-bagian penting tubuhnya. Tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi selama 12 bulan ke depan.

Seorang lagi remaja bergabung, disusul satu-dua lagi, hingga akhirnya lengkap semua kawanan orang berada di tempat itu mengelilingi yang menebarkan panas dan cahaya jingga. Seorang membawakan sepiring singkong rebus yang masih hangat, sementara seorang lagi membawa segentong penuh Arak Bali yang diminum bergiliran.

Siska menenggak banyak-banyak minuman keras itu sehingga konsentrasi etil-alkhohol dalam darah mengambil alir rasa malu. karena telanjang bulat di antara orang-orang yang berpakaian ini membuatnya merasa benar-benar erotis!

Orang-orang dewasa sudah lelap dalam pembaringan masing-masing memberikan tempat dan waktu bagi sedikit kenakalan-kenakalan anak muda.

Kali ini Siska duduk bersila tak lagi melindungi bagian-bagian privat tubuhnya. Bara api menyala jingga dan memberikan iluminasi erotis bagi lekuk dan liku tubuh telanjang yang sudah demikian mendamba. Sepasang puncak dada berwarna merah hati yang mengeras sempurna.

Mereka hanya bertukar-tukar cerita saja. Awalnya mereka masih sopan, menanyakan asal usul Kinan dan Siska, kenapa mereka berkeliaran telanjang bulat, hanya obrolan-obrolan remaja yang biasa kau temui di kampung-kampung. Hingga akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu mulai menjurus.

“Kakak tidak malu berkeliaran telanjang bulat ke tengah hutan seperti itu? Kakak tidak takut diperkosa?” tanya seorang pemuda.

“Kalau sama-sama menikmati… kan… namanya bukan pemerkosaan hehehe,” kekeh Kinan polos.

“Ah, kakak ini benar-benar nakal seperti anak kota! Pasti sudah sai (sering) mekatuk (bersetubuh), ya?” sambar I Bracuk.

“Ih, kamu nakal ah Bracuk, tanya-tanya itu…” Kinan mengangguk lucu. “Tapi Kinan dan Siska jangan diperkosa yaaaaaa…..”

“Tidak, kak… kami kan anak-anak baik… tapi kalau kakak tidak berkeberatan, kami semua rela bergadang dan menemani kakak sampai pagi,” kekek Bracuk sambil menyodorkan tabung bambu berisi arak Bali.

Kinan, lagi-lagi mengangguk manja. Meneguk minuman itu dengan slebor sehingga menetes-netes di atas dadanya yang montok.

Jakun I Bracuk bergerak turun naik. Bracuk yang sudah sedikit mabuk semakin berani memepet duduk Kinan, dan remaja montok itu hanya merespon dengan kekehan manja, Kinan menggeliat memberontak, pura-pura tentu saja, karena tepukan manja di dada bidang si bapak seperti tak sungguh-sungguh melakukan penolakan. Ketimbang berbaring di atas lantai keras. Otot-otot jantan lelaki gunung ini membuat Kinan rela bermanja-manja di sana sampai pagi!

“Bracuk, kau ini… uh… nakal sekali!” keluh Kinan manja.

“Habisnya kakak cantik sekali!”

“Lalu kenapa memangnya kalau kami cantik? Kalian sudah tidak sabar ingin menyentuh tubuh budak kalian?” tantang Kinan.

Remaja-remaja itu ─putra dan putri─ mengangguk cepat.

Titik-titik hujan jatuh di atas tubuhnya yang telanjang, Jantung Siska berdebar kencang, tubuhnya menegang mengantisipasi. Seorang remaja putri hanya penasaran mengusap pundak dan lehernya, sementara seorang lagi menyentuh punggung Siska yang telanjang. Mereka terkikik-kikik, mengagumi kelembutan kulit Siska.

“Kenapa lembut sekali?” pukau mereka terkagum-kagum mengusapi lengan dan jemari Siska yang lembut seperti marshmellow.

“Boleh saya pegang dadanya?” seorang lagi berkata.

Kinan dan Siska mengangguk tersipu. “Kenapa tidak, kami kan sekarang peliharaan kalian….”

Beberapa remaja putra bergiliran menyentuh buah dada dua orang itu. Tidak dengan birahi melainkan rasa ingin tahu. Hanya belaian-belaian lembut mengitari putingnya. Beberapa penasaran dengan tekstur benda kenyal itu dan memain-mainkannya gemas bagai mendapat mainan baru, dan beberapa lagi menari-narik bagian puting hingga mulur, memuaskan rasa penasaran mereka pada bagian erotis tubuh wanita itu.

Siska menggigit bibir bawahnya, tak sudi kalau erangan itu sampai keluar dari bibirnya, tapi sentuhan orang asing pada bagian tubuh Siska yang paling pribadi itu mau tak mau membuat sang remaja meremang hebat!

Siska menggelinjang geli.

Menyadari itu seorang remaja pria tersenyum polos.

“Kakak suka dibeginikan?”

Siska mengangguk. Wajahnya bersemu.

Anak itu jadi semakin bersemangat meremas-remas gumpalan daging putih itu yang tampak semakin mengkal dalam jepitan jari-jarinya. Puting Siska yang mungil dan merah muda tak luput dari pilinan-pilinan nakal sehingga membuat rintihan-rintihan tertahan tak kuasa keluar dari bibir Siska.

Anak-anak itu membimbing Kinan dan Siska merangkak di atas lutut dan telapak. Memberikan ruang leluasa bagi mereka untuk mengeksplorasi tubuh telanjang sepasang bidadari. Bergiliran, satu persatu dari mereka menyentuh bagian-bagian tubuh Siska dan Kinan. Pundak, punggung, pinggul, sehingga tak satupun bagian tubuh Siska yang luput. Bongkahan pantat Siska dikuak dan satu persatu mereka melakukan inspeksi bergiliran pada lorong lembab yang membukakan diri untuk dijelajahi.

Siska menahan napas, berusaha menahan dadanya yang rasanya hendak meledak. Dengan jelas ia merasakan napas-napas yang mendengus, mengembus di bagian tubuhnya yang paling privat. Suli, seorang remaja desa yang berwajah cukup cantik berlutut di belakang Siska. Tangannya menguak belahan pantat Siska, pelan, lalu dengan ujung jari dibelainya lubang anus siska. Pelan saja, tapi jari-jari feminin Suli yang memasuki tubuhnya dari lubang yang paling menjijikkan membuat tubuh Siska menegang dicekam rasa malu dan geli.

Siku-sikunya mendadak terlalu lemah untuk menumpu, sehingga dari posisinya yang merangkak, wajahnya kini menempel di tanah dan pantatnya semakin menungging, seolah-olah ia mengharapkan ‘sesuatu yang lebih’ dari sentuhan-sentuhan itu.

Jari Suli bergerak membuka lepitan sepasang lepitan bibir dan mengungkap tonjolan daging yang sudah menegang di baliknya. Dengan kedua jarinya ia menjepit benda berbentuk kacang itu, lalu dengan ujung telunjuk tangan satunya ia mengurut, membelai, memutar, mendaki tangga demi tangga menuju puncak birahi yang kian dekat menuju ambang.

Ning yang montok berjongkok di samping kepala dan membelai wajah Siska basah. Sementara dua orang remaja pria meremas-remas payudara mungilnya. Siska gemetar. Dicabuli di bawah tatapan belasan orang itu melipatgandakan baik waktu paruh maupun intensitas orgasmenya. Sekujur tubuhnya menggeliat-geliat dalam rona-rona erotis dan bulir-bulir keringat yang mengilat menggairahkan. Kepalanya terdongak nikmat, mata Siska memejam rapat, dan bibir sensualnya termegap-megap ketika puncak kenikmatan itu tiba tanpa suara, hanya otot-otot yang mengejang dan napasnya yang terputus-putus sebagai kulminasi.

Engahan lega menghembus dari bersamaan dengan menyemburnya cairan kenikmatan dari dalam ceruk rapatnya. Siska mengejang untuk terakhir kali sebelum tubuhnya terkulai lemah di atas tanah. Lalu ketika lutut dan sikunya tak lagi memiliki kekuatan untuk menumpu, tak ada lagi yang tersisa dari Siska, seorang remaja terpelajar yang berasal dari keluarga terhormat. Akal, budi, dan nurani sudah lama pergi, dan yang berkuasa kini hanyalah indung telurnya yang menuntut kopulasi.

Mata Siska mengerejap lemah, dari sela-sela kelopaknya dan kaki-kaki para remaja yang berdiri ia melihat Kinan yang menungging nikmat, digagagahi dari belakang oleh Soka sambil meremas-remas bokongnya yang montok. Kinan hanya melengguh-lengguh dengan bibir penuh, karena mulutnya disumpal oleh batang kejantanan I Bracuk yang demikian bersemangat menjambak dan memperkosa kepala Kinan. Air liurnya menentes-netes di dagu karena ujung tumpul itu menohok hingga pangkal tenggorokan. Sementara di sekelilingnya para pemuda yang belum mendapat giliran meracap sendiri-sendiri dan memandikan tubuh gadis montok itu dengan cairan putih kental.

Ya Tuhan, inilah dia, dada Siska berdesir, karena ia tahu bahwa ia juga akan mengalami nasib yang sama. Perasaannya campur aduk antara takut kehilangan keperawanan, tapi juga penasaran bagaimana rasanya bersetubuh membuat Siska merasa erotis sekali, liang senggamanya yang berdenyut-denyut dan mengeluarkan aliran pelicin seolah memberi tahu bahwa rahimnya juga ingin dibuahi.

Bagaikan seorang hamba sahaya, Siska berlutut di bawah paha para remaja yang mengelilingnya ─laki-laki dan perempuan. Remaja ibukota menciumi pangkal paha Ning dan Sari yang dirimbuni dengan rambut tebal, sebelum beralih mengulum batang keras milik seorang pemuda. Telanjang bulat dengan leher dirantai membuat remaja ibukota itu menyerahkan harga dirinya dalam submisi total.

Titik-titik hujan jatuh dari celah-celah tirap menitik di atas kulit Siska yang berembun, rasa gatal pada vaginanya terasa semakin menggila, dan lorong-lorong liang senggamanya terasa panas dan berkedut-kedut menuntut kepuasan yang setara. Labianya merekah, menyediakan diri untuk disetubuhi, dan cairan pelicin pun sudah meleleh deras memberi jalan masuk.

Ning dan Suli yang sudah telanjang bulat membimbing Siska menaiki tubuh seorang pemuda, demi Tuhan, Siska bahkan tidak ingat siapa namanya. Pikirannya teralalu mengabut dan yang ada di benaknya hanyalah dorongan-dorongan erotis belaka. Siska hanya merasakan benda keras yang berdenyut-denyut panas di pangkal pahanya yang lembab. Menggesek, bergerinjal, mencari jalan masuk pada labianya yang membanjir. Bibir Siska yang sensual menggengah nikmat, mengeluarkan desahan-desahan sensual ketika ujung tumpul mulai memenuhi tubuhnya. Tangannya berpegangan pada perut jantan yang dipenuhi dengan kerat-kerat otot six-pack, memberikan tumpuan bagi pinggul ranumnya yang menggoyang memburu kenikmatan badani.

Siska menggeliat tegang. Nikmat, geli sekali rasanya ketika batang penis itu mulai membelah himpitan rapat kewanitaannya yang perawan. Ya Lord, Ya Lord, bibir Siska termegap menahan nikmat, batang tebal itu terasa sesak memenuhi tubuhnya!

“Aaaaaaah!” Rintihan lirih terdengar ketika ujung tumpul itu terbenam sepenuhnya. Siska bahkan tak ingat di titik mana selaput daranya koyak. Karena yang terasa hanyalah rasa nikmat yang demikian menggila, meraja, membuat pinggulnya bergerak menandak, menghentak, dan memburu setiap detil kenikmatan dari batang berurat yang menggeseki dinding-dinding basah lorong senggamanya.

Hujan turun makin deras. Hawa dingin dan akal budi tak lagi berkuasa, karena yang ada hanyalah kabut panas yang mengembus dari mulut-mulut kaum muda yang saling memagut. Lalu kabut membungkus semakin rapat. Menyembunyikan belasan tubuh-tubuh telanjang yang saling pagut, saling bergelut, larut dalam pesta orgy marginal remaja-remaja desa yang menjelajah jauh ke dalam lorong-lorong karnal….

Gemuruh panjang terdengar bersama hujan deras yang kedap suara. Terdengar erangan tertahan, ketika satu persatu remaja desa itu dan menumpahkan benih kental di dalam vagina, wajah, dan dadanya yang mungil. Siska mengerang, mengejang, menggelinjang bersamaan dalam sebuah orkestrasi birahi yang bergerak menuju puncak….

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Keperawanannya hilang, dan Siska bahkan tidak tahu siapa nama pemuda yang merenggut kegadisannya, karena setidaknya ada lima lelaki dan tiga gadis yang menggilirnya malam tadi. Kepalanya terasa kosong, tapi kewanitaannya masih berkedut-kedut menginginkan lagi kenikmatan yang dirasakannya tadi. Inikah yang dirasakan Kinan selama ini? Nuraninya berontak, tapi bagian paling jujur tubuhnya yang menyambut bahagia menunjukkan bahwa ia akan dengan senang hati berada di tempat ini selamanya.

“Akhirnya kau kehilangan keperawanan? Kau menyesal, Siska?”

Siska tidak menjawab.

Ibunya selalu mewanti-wanti, jagalah baik-baik milikmu yang paling berharga. Karena selaput dara adalah mahkota, satu-satunya segel kehormatan yang dimiliki oleh wanita. Merusak segel kemasan sama artinya membuat dirinya tak lebih dari seonggok barang bekas pakai, kata ibunya mewanti-wanti, ─tak berharga.

Waktu itu Siska terlalu kecil untuk bisa menggugat betapa tidak adilnya pola pikir itu. Bagaimana bisa wanita disamakan dengan barang dagangan?

Sementara pria, bagaikan Arjuna yang Jatmika, semakin banyak laki-laki pengalaman semakin jago. Dan di kutub satunya, wanita─ nah, semakin banyak cowok yang ditiduri, maka cewek itu bisa dibilang lonte. Semakin bertambahnya usia, semakin Siska menyadari bahwa ada nilai-nilai yang timpang. Nilai-nilai yang memungkinkan seorang laki-laki petualang cinta yang berulang kali menjebol selaput dara calon istri orang, tapi masih boleh mengharapkan istri yang masih untuh selaput daranya. Karena, hey, siapa yang tidak ingin memiliki istri wanita soleha?

Dan kali ini, Siska menyerahkan keperawanannya kepada pemuda tak dikenal.

“Jujur…. Mungkin aku menyesal, Kinan… menyesal karena tidak bisa melakukannya bersama Leo,” jawab Siska, jujur.

Tawa Kinan pecah berderai. “Dasaaaaaar adik inceeeest….”

“Biar, wek… yang penting sama-sama cinta, hehehehe…..” kekek Siska santai sambil memainkan kakinya di atas permukaan air.

Kinan dan Siska duduk di sebuah sungai di dasar jurang, Ning, Suli, dan Soka ditugasi memandikan mereka malah asyik memadu kasih di bawah air terjun.

“Kau tak takut, calon suamimu nanti menganggapmu tidak suci?”

“Kinan, dengarkan aku, kalau ada orang yang mempermasalahkan itu maka orang itu tak layak menjadi pendamping hidupku. Aku tak butuh Mas-mas berpikiran cupet yang menginikan kesucian tapi menagih poligami.”

Kinan terdiam, seolah kata-kata Siska mengenai bagian terdalam dari dirinya.

“Kenapa?” Siska menoleh, menyadari ada jeda tak wajar dari lawan bicaranya.

“Entahlah… kau… berubah,” desis Kinan sambil menghindari kontak mata dengan Siska.

“Hidup, adalah satu petualangan besar, kau yang mengajari aku itu. Kita memulainya dari satu petak awal, status quo di mana kau adalah seorang gadis kecil dalam istana yang serba aman. Lalu kau memasuki Terra Incognita, Ranah Tak Dikenal, menjelajahi dunia yang baru, petualangan-petualangan yang baru, dan kau Kinan, adalah orang yang membukakan pintu itu kepadaku. Dan ketika kembali ke rumah, kita tak akan lagi sama, pengalaman akan membuat kita tak bisa memandang dunia sebagaimana kita melangkah dulu.”

Lagi. Kata-kata Siska menyentuh bagian terdalam Kinan. Sesuatu yang ia sembunyikan dan pernah ia utarakan.

“Pulang, ya…” desau Kinan. “Kau masih ingin pulang, Siska?”

“Kau tak sungguh-sungguh ingin selamanya berada di tempat ini kan, Kinan?” tanya Siska khawatir.

“Kau dengar sendiri, Kakek Tetua mengatakan bahwa kita akan ditawan tanpa pakaian selama 12 Purnama.”

“Tapi aku yakin, Badeng dengan Bapak Bendesa pasti bisa melakukan sesuatu! Ayahku, dan Keluarga Kakekmu yang orang Bali pasti bisa mengusahakan apa saja untuk membatalkan hukuman ini!”

“Tentu. Bali bukan pulau yang besar. Tidak mungkin mereka tidak menemukan kita. Semua tinggal perkara waktu,” dengus Kinan acuh tak acuh, seperti tak sungguh-sungguh ingin ditemukan.

Siska menghela napas berat. Benar. Saat ini Leo pasti sudah mengerahkan tim SAR, tapi gunung ini pun terlalu luas dengan banyak percabangan.

Leo akan murka, sudah pasti, begitu juga ayahnya di Jakarta. Kejadian ini akan menjadi skandal yang memalukan keluarga mereka yang terhormat. Siska tidak bisa membayangkan jika namanya dipajang besar-besar di halaman depan surat kabar! Anak bungsu keluarga terpandang ketahuan melakukan hal yang senonoh, mau ditaruh di mana wajah kakeknya yang mantan anggota DPR? Keluarganya tak akan ambil peduli sekalipun ia mati di tempat ini.

“Kau benar-benar tak ingin pulang, Kinan?”

“Aku? Keperawananku hilang di usiaku yang ke-12. Dan kau tahu Siska? Apa yang dilakukan ayahku ketika tahu anak gadisnya diperkosa? Ia memukuliku dan mengatakan aku aib bagi keluarga.”

“Ya Tuhan!” Siska terngangga tak percaya.

Perkosaan, terlebih di umur sedini itu tidak mungkin tidak meninggalkan trauma, dan yang paling mengerikan adalah Kinan mengatakan itu seolah tak merasakan apapun.

“Dan mereka mengatakan, ‘suruh siapa berpakaian mengundang?’ hehehe…”

“Kinan….”

“Emang salah aku kali ya, jadi anak cabul banget… suka telanjang…” Kinan mengekeh santai.

“Kinan, hentikan…”

“Tidak apa-apa… memang sudah layak kok orang seperti aku itu diperkosa. Ibuku sendiri yang bilang.”

“Kinan!”

Suara Siska menyentak Kinan, tangan Siska yang menggenggam erat pada pergelangan tangan.

“Sampai kapan kau mau menghukum diri seperti ini, Kinan?” sepasang mata Siska menatap tajam.

Kinan memalingkan wajahnya. “Kau tidak akan mengerti.”

“Aku mengerti. Kau merasa bersalah, kau merasa tak berharga, tidak layak sebagai wanita, itu semua gara-gara manusia berotak degil yang mengatakan pemerkosaan terjadi karena salah korbannya!!!”

“Aku tidak trauma! Siapa bilang aku trauma!!!”

“Kinan… aku tahu… karena luka itu pasti ada… sejauh apapun kau mengubur dalam alam bawah sadar… dia akan selalu menjadi hantu masa lalu yang tak kau sadari….,” Siska berbicara pelan, seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

“Kau kan dari keluarga bahagia, kau tak akan pernah mengerti apa yang kualami,” cibir Kinan sinis.

“Dan aku berkali-kali mencoba bunuh diri…,” ujar Siska lirih.

Kemudian hening.

Siska menunjukkan bekas sayatan di pergelangan tangan kanan dan kiri.

“Sekarang kau tahu kenapa Leo begitu protektif kepadaku.”

“Bodoh.”

“Dan itu yang mereka katakan kepadaku ketika aku mencoba mengakhiri hidup. Berkali-kali.”

Kinan tersenyum getir. “Kita adalah anak-anak yang bermasalah.”

“Sangat bermasalah,” Siska menyambut dengan kegetiran yang sama.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Pikiran Siska masih mengawang ketika I Bracuk tergopoh-gopoh dari arah desa.

Tersengal-sengal remaja bertubuh gempal itu menyampaikan pesan dari Kakek Tetua, katanya, mereka agar jangan dulu kembali ke desa!

Ada apa? tanya Siska panik.

“Itu….,” kata I Bracuk ragu.

Setelah tujuh hari, Polisi dan Tim Sar akhirnya tiba di tempat itu. Kinan dan Siska mengamati dari kejauhan di balik pepohonan Leo, Badeng, dan Bapak Bendesa terlihat berjalan di antara pepohonan, tapi anehnya mereka seperti tidak melihat setapak kecil yang mengarah ke desa itu.

Jarak mereka terpaut jurang yang cukup jauh, tapi sebuah teriakan minta tolong sudah lebih dari cukup untuk memberitahu Leo dan Bapak-bapak Polisi itu bahwa mereka ada di tempat ini, telanjang bulat, dan menungggu untuk diselamatkan.

Bracuk menunggu tegang, tangannya bersiaga di sebilah keris di pinggangnya yang dititipkan Kakek Tetua, beliau mengizinkan pemuda bertubuh gempal itu melakukan ‘cara apapun’ kalau Kinan dan Siska mencoba melarikan diri.

Siska menggigit bibir, meremas tangannya erat-erat.

“Kalau kau mau, sekaranglah saatnya, Siska,” desis Kinan. “Tapi katakan pada Leo dan Badeng, aku akan berada di tempat ini.”

Sekujur tubuh Siska menegang, dan ia menarik napas panjang.

Bracuk siap menghunus keris.

“Kakak… saya mohon jangan lakukan itu… Hukum Pasung bukanlah sesuatu yang bisa dibatalkan… kalau kalian pergi sebelum 12 Purnama, desa kami bisa terkena kutukan!” kata Bracuk sungguh-sungguh.

Polisi dan Tim Sar mencari ke dalam dalam gunung tapi tak menemukan secuilpun petunjuk mengenai keberadaan Kinan dan Siska. Hingga akhirnya mereka memutuskan kembali ke kaki gunung.

Siska menarik napas. Ini adalah kesempatan terakhir.

“Bracuk, kau berkata, kalau kami pergi… desamu akan terkena musibah?”

Bracuk mengangguk gugup. “B-betul…

“Dan kami hanya perlu selama dua belas bulan berada di tempat ini… tanpa pakaian?”

Bracuk mengangguk lagi.

“Baiklah… kalau itu yang kalian inginkan… aku, Siska… bersedia menjadi budak bagi warga desa ini….” bisik Siska, nyaris tak bersuara.

“Kenapa tiba-tiba?” Kinan menaikan alisnya.

“Kau tahu Kinan, dari dulu aku ingin mati… menghilang selamanya dari muka bumi…” Siska terdiam. “Sekarang aku tahu…. mungkin memang di tempat inilah seharusnya aku ‘mati’…”

“Kau ingin menghilang…” desis Kinan.

“Hanya untuk ‘terlahir kembali’.…”

Kinan tersenyum. “12 bulan?”

“12 Bulan… tanpa pakaian…,” tegas Siska.

Leo menghilang di ujung lembah, dan tangan Siska melambai dari kejauhan, seperti berucap selamat tinggal kepada sang kakak.

Tapi Siska tahu pasti, ini adalah jalan yang ia pilih sendiri, tidak oleh bujukan Kinan ataupun kenginan ayahnya. Pasung di lehernya, juga kehidupan lamanya di Jakarta sama-sama menjanjikan satu hal:

Kurungan.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Dimulailah kehidupan Kinan dan Siska sebagai budak. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Siska tak ingat lagi berapa lama ia ditawan, mungkin ia dianggap hilang, atau sudah dianggap mati, entahlah, karena rasanya kedua orangtuanya pun tak akan terlalu peduli kalau ia mati di tempati ini.

Selama setahun mereka tidak akan diperbolehkan mengenakan pakaian sehelaipun kecuali kekang kayu di telinga. Selama itu pula Kinan dan Siska diperlakukan layaknya binatang peliharaan.

Telanjang bulat selama setahun membuat Kinan dan Siska kehilangan rasa manusiawi. Dipandangi dalam keadaan tak berbusana selalu berhasil membangkitkan birahinya, dan makin lama Siska kehilangan martabat sebagai manusia, dan tak selamanya mereka bisa mengendalikan diri, keduanya adalah budak, properti bersama, itu artinya para penduduk bisa ‘memakai’ mereka sepuas hati. Untungnya, jamu yang dibuatkan oleh Ibu-ibu membuat kandungan mereka steril untuk sementara waktu, dan jika tamu bulanan mereka tiba sabut kelapa basah siap untuk menggantikan pembalut.

Setiap hari Kinan dan Siska diberi makanan sisa dan dimandikan layaknya hewan peliharaan. Arak bercampur infusa jamur tahi sapi yang dicekoki dari waktu ke waktu mengubah sepasang remaja itu jinak bagaikan seekor budak belian. Siska bahkan tak lagi mencoba m elarikan diri meski rantai di lehernya dilepas. Pasung kayu yang melingkar di leher sudah cukup menandakan statusnya sebagai tawanan.

Setiap hari, Siska dan Kinan membantu penduduk desa berladang atau atau mencari rumput untuk makanan ternak, semua dilakukannya dengan bertelanjang bulat. Di hari lain mereka diperintahkan para Ibu-ibu mengusung keranjang berat berisi terong dan mentimun, turun ke desa-desa di kaki gunung. Mereka turun dari sisi utara sepertinya, karena mereka tak menjumpai desa Ibu Bendesa melainkan sebuah kota kecamatan. Sama seperti suku Badui di Jawa barat, penduduk desa itu tidak mau menaiki kendaraan, mereka berjalan kaki jauh ke Utara, melewati jalan-jalan protokol, dan bermalam beberapa kali, dan Siska menjalani itu tanpa sehelaipun benang yang melekat di tubuh

Sampai di Singaraja, Ibu kota Kabupaten di Utara. Ada sebuah alun-alun besar dengan pohon beringin raksasa. Pasar tradisional digelar di bawahnya, di mana pedagang-pedangan dari gunung membawa hasil bumi untuk dijual setiap hari pasaran.

Peradaban, batin Siska, menyadari ia sudah demikian berjarak dari semua itu, seperti ia berada di waktu yang sama sekali berbeda, seolah ia berada di tahun 60-an!

Mobil-mobil lalu lalang, suara knalpot motor di sana-sini, dan ia berdiri di antara semua itu tanpa apapun selain pakaian kelahiran. Satu tahun mereka menghilang, mungkin mereka sudah dianggap mati dan Polisi sudah menghentikan pencarian.

Kehadiran Kinan dan Siska yang telanjang bulat langsung saja menarik perhatian, dengan segera mereka menjadi buah bibir orang-orang yang menatap mereka dengan tatapan menyedihkan. Tawanan, jelas Bu Mang, tertawan dalam hukum adat kuno karena berbuat tidak senonoh, jelas wanita bertubuh subur itu.

Para Ibu-ibu desa bersama Ning dan Suli berjualan, sementara Kinan dan Siska tidak diizinkan duduk di tempat teduh, oleh majikannya dua perempuan telanjang itu diperintahkan berdiri di bawah terik matahari.

Kakinya yang telanjang segera dibakar oleh tanah yang terasa membara, dan terik matahari memanggang kepala, peluh mulai eras berlelehan, dan kulit mereka yang kini kecoklatan mulai dipenuhi dengan lelehan keringat yang mengilat seksi, membangkitkan kesadaran mengenai betapa erotisnya keadaan mereka.

Berada di tengah pasar yang ramai tanpa mengenakan sehelai benangpun terang saja membuat klitoris keduanya berkedut-kedut nikmat. Cairan pelicin menetes deras hingga melelehi paha dan mereka harus berusaha sekuat tenaga untuk tetap berdiri. Telanjang bulat di tengah keramaian itu benar-benar membuat mereka ingin menyentuh diri sendiri.

Untungnya majikan mereka cukup baik hati, diam-diam Ning memberikan Kinan dan Siska sebentuk terong dan ketimun yang tidak terjual.

Terlepas dari pakaian dan akal budi. Sepasang remaja bugil itu tidak malu-malu lagi untuk masturbasi di tengah pasar yang ramai sambil ditontoni banyak orang. Bagaikan seekor anjing, Kinan dan Siska merangkak-rangkak telanjang bulat, tangannya bergerak mengocok sayuran berbentuk lonjong keluar masuk kelamin mereka yang sudah dibanjiri lendir, mengeluarkan suara berkecipak basah setiapkal i batang keras itu masuk keluar. Tatapan iba pejalan kaki yang melihat mereka bagaikan pengidap gangguan jiwa justru membuat kenikmatan di liang senggama mereka berlipat-lipat!

“Papa…. mama…. lihatlah anakmu ini…. aaaaah….. Siskaaaa…. jadiiii anjiiiiingh…. kyaaaaaah!!!!.” rintih Siska ketika cairan squirt-nya menyemprot deras seperti keran hydrant. Bibirnya megap-megap dan meneteskan air liur dan matanya berubah putih ketika tubuh telanjangnya kejang-kejang orgasme di pinggir jalan.

Kinan menyusul tak lama kemudian. Agak lama keduanya menungging di sebuah perempatan dengan terong dan timun yang tertancap di selangkangan. Sampai sentakan rantai dari sang majikan membuat dua orang budak itu harus kembali ke desa misterius di lereng pegunungan.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Penghinaan demi penghinaan. Pelecehan demi pelecehan dialami dua orang gadis itu. Sebagai budak, mereka harus kerja paksa menjadi kurir pengantar barang jalan kaki dari desa ke desa, membantu kuli bangunan membangun rumah warga, keadaan mereka yang telanjang bulat membuat Kinan dan Siska dicabuli oleh buruh-buruh bangunan dari Jawa!

Pernah mengenyam pendidikan membuat Kinan dan Siska diperintahkan menjadi guru sekolah kaki-kaki gunung, dan Siska dan Kinan harus mengajari murid-murid tanpa sehelai pun pakaian di atas tubuhnya. Suit-suit melecehkan dari para murid ketika mereka berdiri di depan kelas, membuat kewanitaan keduanya tak henti-hentinya orgasme hanya dengan dipandangi saja.

Kinan dan Siska semakin binal dan lacur, jamu anti hamil yang diminumkan tiap hari berperngaruh pada hormon mereka sehingga puting payudara semakin sensitif dan mengeluarkan air susu (dan mereka diperintahkan menyusui bayi), kulit kemaluannya semakin sensitif dan klitorisnya nya semakin besar dan sangat sensitif seperti penis bayi yang ereksi, bahkan jika dirangsang bisa tegang dan bergetar. Lubang vaginanya juga sangat sensitif berkedut kencang dan gampang squirt.

Mereka menjadi menjadi binatang peliharaan warga, tidur di luar dan menjadi budak seks bagi siapapun yang menginginkan, karena status mereka adalah budak, properti warga desa yang boleh dipergunakan sesuka hati..

Siska hanya menurut ketika tubuh telanjangnya dibimbing berdiri menghadap batu raksasa yang menjadi tempat hukuman. Belasan cincin besi yang terpancang di dinding besarnya seolah menjadi saksi bagaimana keduanya dicabuli selama setahun terakhir ini. Dada Siska berdesir ketika pergelang kedua pergelangan tangannya diikat dengan tali sabut kelapa dan digantung tinggi-tinggi pada sebuah cincin besi yang berada di atas kepala.

Tinggi, sehingga Siska terpaksa berjinjit.

Pergelangan kakinya diikat. Bracuk memasang sumpal sabut kelapa di mulut Siska, dan Soka menutup matanya dengan sehelai selendang, membuat Siska berada dalam posisi submisif yang paripurna. Keempat pergelangan diikat bak hewan buruan. Mulutnya disumpal sehingga tidak bisa meminta pertolongan, dan Siska bahkan tak bisa melihat apapaun. Ia terenggah kesakitan. Berada dalam posisi rentan dan tak berdaya justru memicu aliran deras dari dalam rahimnya. Pepek mereka digelitiki dengan bulu ayam sebagai pemanasan.

“Mmmmmh…. mmmmhhhhh….,” Siska menggelit kegelian, karena bulu-bulu lembut itu menggelitik tepat di ketiak, tapi matanya yang ditutup membuat Siska sama sekali tidak tahu siapa yang melakukannya.

Tubuh Siska yang telanjang menggeliat-geliat seksi dalam ikatan, membuat orang yang mengerjainya bertambah semangat. Lehernya digelitiki, punggung, semua titik-titik erogen tubuhnya digelitiki tanpa terkecuali, membuat Siska menggerang mohon ampun. “Mmmmmh…hudhaaaaaah… huuuudhaaaaaaah…..” bibirnya yang dibekap hanya bisa mengeluarkan suara lengguhan-lengguhan tersiksa bersama air liur yang menetes dan air kecing mengucur deras dari lubang memeknya.

Lubang anus Siska dimasuki oleh jari licin yang membalurkan minyak ke sekujur otot-otot pembuangan. Remaja ibukota itu mengejang kegelian, karena anus adalah asalah satu titik sensitifnya, lalu ketika seluruh lubang pembuangan Siska sudah licin sempurna, seorang pria berpenis pendek dan gemuk mulai mempenetrasi si seksi dari lubang anal, membuat Siska megap-megap antara sakit dan keenakan.

“Huuuuuuuughhhhh….. Siskaaaaaaah…. khooooohh diiiii-anaaaaaaaaaaalh…..” Siska merengek manja, tapi yang terdengar hanyalah lengguhan dan air liurnya yang menetes-netes. Tubuhnya yang langsing menggeliat-geliat dalam pelukan bapak-bapak yang berbulu lebat. Sementara dua orang remaja meciumi payudara dan ketiaknya, membuat Siska semakin keenakan dianal.

“Huuuuuf… hhhhhuff… hhhhhuh… entotinh booool siskaaaaaah…. entotinh boool siskaaaaaah….” Pinggul Siska mulai menggelinjang menikmati, menggeol-geol menyambut sodokan batang kejantanan pada lupang anusnya. Kedua susunya yang mungil diremas-remas, dan putingnya dipilin-pilin, membuat Siska semakin kelojotan keenakan, lalu ketika seorang lagi mulai menggobel-gobel belahan ampenya, Siska tak tahan lagi.

Tubuhnya yang langsing segera kejang-gejang orgasme, dibarengi semburan cairan squirt dari lubang memeknya yang mengucur deras seperti kencing kuda.

“MMMMMH…. MMMMMHHHH MMMMMH!!!!!!!” lengguhan nikmat Siska terdengar membahana.

“CROT! CROT! CROT!!!” tak lama si bapak gendut pun berejakulasi di lubang anus Siska yang melar dan meneteskan cairan peju kental dari dalamnya.

Siska tak bisa lega berlama-lama, karena di belakangnya sudah mengular antrian para warga desa yang ingin menikmati tubuh sepasang betina itu.

Suara Kinan yang sedang disetubuhi terdengar di sebelahnya. Tubuh montok Kinan menggelinjang-gelinjang manja dibopong tubuh kekar Bracuk. Sepasang pahanya tertekuk ke atas dan bersandar di bahu pejal lelaki berkulit hitam itu. Susunya yang mengkal berguncang-guncang kenyal digenjot dengan brutal dan diremas-remas sesekali, dan bibirnya yang ranum dilumat habis oleh bibir hitam yang bau. Kinan hanya mendesah-desah menikmati. Belahan tembemnya yang menyemburkan cairan squirt berkali-kali menunjukkan bahwa ia akan dengan senang hati menjadi budak mereka untuk selamanya.

Antrian warga yang ingin menikmati tubuh kedua budak semakin panjang, dan mereka tahu bahwa itu tidak akan berakhir dengan satu orgasme saja.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Setiap malam, selama herhari-hari Kinan dan Siska dijadikan boneka seks, sehingga setiap pagi Ning dan Suli membersihkan tubuh mereka dari ceceran sperma, tapi di pagi hari, giliran ibu-ibu yang memaksa dua orag gadis itu untuk menjilati itil mereka yang bau terasi.

Tak terasa malam berganti malam, dan hingga perputaran bulan mengilingi bumi membawa mereka pada Purnama terakhir, itu artinya tak lama lagi hukuman mereka akan segera berakhir.

Sejak pagi desa itu dipenuhi dengan suka cita. Hewan ternak di sembelih, dan dari masing-masing rumah mengepul asap dan terdengar suara daging dicacah, seolah sedang ada hajatan besar.

Bapak-bapak membuat lawar (daging babi mentah yang dicacah bersama darah, kelapa, dan rempah-rempah, sementara ibu-ibu membuat sesaji dari buah-buahan dan hasil bumi yang ditumpuk tinggi.

Akan ada festival besar malam ini, Siska dan Kinan sudah tahu apa. Setelah hampir setahun menjalani hukuman, besok pagi mereka akan dilepaskan, dan malam ini adalah puncak perayaan dari Hukuman Pasung itu. Desa akan mengadalan upacara Pembersihan untuk membersihkan Semesta Kecil dan Semesta Besar yang telah dikotori oleh tindakan Kinan dan Siska.

Menyadari bahwa waktu mereka tidak akan lama lagi di tempat ini tak hanya Kinan dan Siska, para warga desa pun merasa kehilangan, karena selama satu tahun itu keduanya telah membaur bersama warga dan menjadi peliharaan kesayangan mereka semua.

“Tak terasa sudah setahun, ya….” kata Siska mengawang.

“Satu tahun dan kita mungkin sudah dianggap mati, kau pikir masih bisa pulang, Siska?”

“Entahlah. Satu tahun dan kita tidak menyelesaikan sekolah, telanjang bulat dan mejadi budak seks bagi suku di pedalaman….,” desau Siska, ceruk rapatnya membasah teringat kehidupannya sebagai hewan peliharaan.

Pasung kayu dan rantai di lehernya ini, mungkin ia akan merindukan itu semua, termasuk Soka, Bracuk, Ning, dan Suli, keempat sekawan yang kini sudah menjadi sahabat bagi mereka.

“Kalau sudah kembali jangan lupa main-main ke sini lagi ya, kak,” kata Ning pelan. “Tidak sebagai tawanan, tapi sebagai saudara kami berdua, mau ya?”

“Tentu, tapi menjadi tawanan lagi pun aku bersedia, hehe… iya nggak, Siska?”

Siska tercengir kaku, entah kenapa di saat-saat terakhir ia justru menginkan menjadi tawanan selamanya.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Kabut tebal membungkus desa misterius di lereng gunung itu ketika matahari akhirnya membenamkan diri di Peraduan. Sandyakala, dan bulan purnama muncul terlalu dini sebagai bundaran pucat di langit barat. Pohon-pohon tinggi terlihat murung. Tidak seperti hari-hari biasanya, malam ini desa itu dihisai dengan ratusan obor, dan para warga menyambut mereka dengan dengan sukacita.

“Jangan pura-pura, kak…. kakak pasti akan merindukan desa ini…” kata Ning sambil membersihkan tubuh Kinan dan Siska untuk terakhir kalinya, kali ini dengan air yang sudah dibubuhi kembang

Ning dan Suli juga sudah telanjang bulat, memandikan Siska dan Kinan dengan telaten. Lembut dan penuh perhatian, remaja-remaja putri itu menggosok leher Siska dan pundaknya yang bersalut lengketan ampas persetubuhan selama seharian ini.

Aroma santan dan jeruk nipis segera menyerbu indera penciuman, dan kulit Siska yang telanjang segera diliputi buih licin yang mengilat. Siska bisa merasakan tangan-tangan pejal khas orang gunung yang mengusap telaten pada ketiak, pundak, juga sepasang bongkahan mungil dadanya.

Ning membalurkan ampas kelapa bercampur jeruk nipis itu disekujur gumpalan kenyal dada Siska. Lalu dalam gerakan meremas diuleninya buah dada Siska. Siska agak menggelinjang ketika jari-jari itu akhirnya tiba di bagian-bagian privat tubuhnya, sehingga puncak dadanya yang berwarna merah hati itu mengeras indah.

Tangan itu kasar tapi begitu telaten dalam menggosok, sehingga tak satupun bagian tubuh Siska yang luput. Termasuk sepasang bongkahan pantat ranum Siska di bawah sana yang diceboki dari lengketan-lengketan kotoran; anus, dan belahan tembem kewanitaan dan gumpalan daging kecil yang mencuat dari antaranya.

Teli kakak terlalu besar, sama seperti kaka Kinan itu. Pantas saja nafsunya besar sampai telanjang di tempat umum,” Ning tersenyum lucu dan mengunyel-ngunyel gemas benda kenyal berbentuk kacang itu.

“Aduh…. aduh…. geli… jangan… ahhhh… aaaaah!!!” crrt… crrtt… crrtttt…. Siska kejang-kejang orgasme.

“Nah benar, kan? Baru saja saya urut sebentar, kakak sudah sampai…. hehehe… enak, kak?”

Siska mengangguk dengan wajah bersemu, dan pantatnya semakin menungging seperti menginginkan sentuhan yang lebih dari Ning.

“Ih, dasar kakak cabul, hehehe…” Ning menepak pantat Siska yang telanjang. “Sudah, ditahan dulu, nanti malam bakalan lebih nikmat!”

Tubuh Kinan dan Siska dikeringkan dengan kain kasar, lalu lalu dibaluri campuran minyak kelapa bunga dan rempah-rempah yang membuat kulitnya terasa hangat. Suli yang juga sudah telanjang bulat membaluri tubuh Kinan tanpa terkecuali. Relung-relung tubuhnya yang paling privat dijamah oleh jari-jari licin itu yang mencebok di belahan pantatnya, dan Kinan pun mengalami orgasmenya yang nikmat, tapi lagi-lagi, Suli hanya berkata bahwa Kinan harus bersabar, karena ritual nanti malam tak akan terlupakan, setidaknya, sebelum mereka kembali ke peradaban.

Seluruh rambut-rambut ditubuh Kinan dan Siska dicukur habis, sehingga ketiak dan vagina mereka mulus tanpa bulu, mengkilap erotis oleh lapisan minyak cendana. Telanjang bulat selama satu tahun penuh membuat kulit keduanya menggelap eksotis layaknya gadis-gadis seksi dari suku-suku pedalaman. Rambut Siska sudah memanjang sepundak, dan Kinan sepunggung, digelung oleh Ning dan Suli dengan tusuk konde. Wajahnya dibedaki, alis mata mereka ditebalkan dengan arang, dan bibir mereka dimerahkan dengan sirih dan pinang.

Minus pakaian, keduanya sudah tampak bagai calon pengantin!

Pasung kayu di leher mereka dilepaskan, Soka dan Bracuk sudah menanti dengan pakaian kebesaran, cawat kumal yang biasa mereka kenakan kini berganti dengan kain putih tak berjahit yang dililitkan di bawah pusar. Kakek Tetua, Bu Mang, Trio Bapak-bapak semua mengenakan busana yang sama berdiri di sepanjang jalan dengan obor di tangan.

Tubuh Kinan dan Siska lalu dimasukkan kedalam kurungan babi. Lalu digotong ramai-ramai ke tengah hutan. Jantung Siska dan Kinan berdebar kencang mengira-ngira apa yang akan dilakukan orang-orang ini kepadanya, sampai-sampai kewanitaan mereka membasah dan air kencing menetes deras dari belahan pantatnya.

Nyala obor itu semakin jauh berjalan memasuki hutan yang kian lebat. Jalan semakin menanjak, dan malam semakin menua, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah lapangan dengan rumput-rumput tinggi di dalamnya. Siska mengenali kolam air panas yang dulu sempat didatanginya. Sebuah Pohon Beringin raksasa tampak menaungi. Dahan-dahannya yang kekar tampak sebagai siluet mengerikan di antara awan dan sinar bulan. Pekuburan, Siska langsung tahu dari candi di sudut gelap yang dipenuhi dengan arca-arca berwajah seram.

Siska dan Kinan diturunkan dari kurungan babi, sepasang remaja telanjang itu melangkah gemetar sambil berpegangan tangan melewati penduduk yang membentuk lingkaran. Soka dan Bracuk membimbing keduanya menaiki sebuah altar batu dan membaringkan remaja itu di atasnya dalam posisi telentang.

Keempat pergelangan tangan Kinan dan Siska diikat dengan tali dari sabut kelapa di empat sudutnya, membentuk huruf x dengan selangkangan yang terbuka lebar. Jantung Siska mulai berdebar lebih cepat menyadari ada yang tidak beres.

Kakek Tetua membaca mantra-mantra di depan dupa dan sesaji yang bertumpuk-tumpuk. Wahai Hyang Manunggal, termalah caru (kurban) kami, ia berkata. Sebelum menyembah dan turun dari altar.

Jantung Siska terasa berhenti, ternyata ini yang dimaksud oleh warga desa! Mereka tidak diperbolehkan memakai pakaian selama setahun penuh hanya untuk ditumbalkan di bulan ke 12!

Siska gemetar oleh rasa takut, altar batu berlumut terasa dingin di punggungnya, dan langit malam yang gelap terlihat seperti jubah hitam dewa kematian. Ia bahkan tak memiliki kekuatan untuk melawan, ajal yang berada di ambang pintu membuat sekujur tubuhnya takluk pada keinginan untuk dibuahi. Rahimnya menghangat, dan dari liang senggamanya justru meleleh cairan pelicin menyadari hidupnya tak lama lagi.

Rambutnya dijambak hingga kepalanya terdongak, lalu seorang bapak mencekoki Siska dengan tabung bambu. Arak Bali bercampur rendaman jamur tahi sapi (Panaeolus cintulus). Siska tersedak sekali, dan indera perasanya segera diserbu rasa pedas. Setelah itu mulut keduanya disumpal dengan batang kayu yang diikat ke belakang kepala.

Terdengar mantra-mantra purba, dan satu persatu warga desaitu menyentuhkan tangan di atas tubuh mereka yang telanjang, seperti hendak mengucap perpisahan, termasuk Ning dan Suli. Siska bisa merasakan tangan mereka yang mengusap lembut pada pundak.

“Selamat tinggal, Kak,” bisik Ning. “Kami tidak akan melupakan kakak juga 12 bulan penuh kenikmatan yang kita alami.”

“Hammmmmmh!!!” Siska berusaha memberontak, tapi tangannya yang terikat membentuk huruf x tak memberikan ruang untuk melarikan diri.

“Jangan takut, awalnya kakak akan merasa sakit, tapi lama-lama kakak tidak akan merasakan apapun selain kenikmatan yang sejati.”

Suli mengusap kening Siska, mengecupkan ciuman perpisahan untuk yang terakhir kali. “Terima kasih, kak… terima kasih telah bersedia menjadi Caru (kurban) bagi upacara kami… kematian kakak tidak akan sia-sia…. semoga Atma kakak kembali bersatu dengan Yang Satu.”

Dua Sosok yang mengaakan topeng kayu bercaling, keluar dari dalam hutan, Perempuan, Nenek-nenek Keduanya berpayudara sudah turun. Keduanya telanjang bulat dengan tubuh diwarnai yang satu berwarna putih, dan yang satu berwarna hitam, keduanya berjingkat-jingkat, dan melompat dengan satu kaki, terkikik-kikik mengelilingi tubuh Kinan dan Siska satu kali.

Tangan kiri mereka memegang kain putih yang ditutupkan di wajah Kinan dan Siska, dan di tangan kanan mereka memegang batangan tumpul sebesar lengan yang sudah diliputi oleh minyak pelicin, kedua nenek itu mulai menggerayangi tubuh calon tumbal. Memainkan puting susu Siska sambil meremas-remasnya, membuat Siska dicekam perasaan takut dan terangsang sekaligus!

Siska bahkan tak bisa memberontak, keempat pergelangannya yang dikunci, dan bibirnya yang dibekap membuat anak itu hanya bisa mengeluarkan raungan-raungan pilu antara takut dan erotis!

Tangan-tangan kasar berkuku panjang itu mulai bergerak membelai belahan memeknya yang mulus, membelai labia Siska yang sudah membasah. Membayangkan bahwa dirinya akan ditumbalkan justru membuat klitoris Siska mencuat besar dari belahannya yang rapat. Jari-jari si nenek itu mulai memijat pelan gumpalan daging kecil sebesar kacang, merangsang bagian tubuh Siska yang paling sensitif sehingga lebih deras lagi.

“UUUUUUNGHHHH…. UGGGHHHH!!!!” tubuh Siska mulai mengejang menuju orgasme, namun ketika sedikit lagi ia mencapai klimaks, si nenek menghentikan gerakannya.

Siska masih megap-megap dalam belenggu ketika tanpa menunggu jeda nenek telanjang itu mempenetrasi belahan rapatnya dengan dildo kayu berdiameter 10 cm.

Berkali-kali Siska dan Kinan dibuat hampir orgasme, sehingga lama-kelamaan tubuh Siska dan Kinan hanya bisa menggeliat pasrah, menerima takdirnya….

Seorang pendeta memanjatkan doa kematian sebelum meninggalkan mereka terikat di pekuburan.

Hening, dan penduduk desa sudah jauh pergi. Di sekeliling mereka hanya ada bekas-bekas pembakaran mayat, dengan kata lain mereka ditinggalkan di tempat ini untuk mati.

Anehnya, Siska dan Kinan justru merasa erotis berada dalam kondisi seperti ini, membayangkan dari dalam kegelapan akan merayap sesosok Leak yang menyantap organ dalam mereka hidup-hidup justru membangkitkan fantas-fantasi masokhis yang membuat dada mereka berdesir indah. Putingnya menegang hebat, dan kelaminnya terasa panas sekali. Siska mulai mendengar suara-suara ganjil, arak bali dan jamur tahi sapi itu mulai memberikan efek psikotropika, membuat napas Siska semakin memburu dan tubuhnya menggeliat binal.

Terdengar suara erangan erotis dari bibir Kinan, tubuhnya yang montok juga mulai menggeliat-geliat gelisah seolah sedang dicumbui oleh sesuatu yang tak terlihat. Siska merasakan dari ujung-ujung jarinya merayap makhluk-makhluk berukuran kecil, serangga, semut atau apapun itu, ia hanya merasakan sekujur tubuhnya kini dirayapi oleh ratusan, ribuan serangga haus darah yang membuatnya menggelinjang geli ketika mereka mulai merambati bagian-bagian tubuhnya yang sensitif.

Siska mengerang nikmat, mengira itu hanyalah halusinasi. Tapi ternyata Kinan tidak lebih baik kondisinya. Tubuhnya yang telanjang mulai dipenuhi oleh semut-semut merah, membuat remaja bertubuh montok itu menjerit kesakitan kulitnya yang putih digerogoti oleh serangga-serangga pemakan daging yang tertarik dengan aroma harum minyak cendana yang diurapi ke tubuh mereka.

Makhluk-makhluk jahanam itu mulai mengigiti permukaan kulit mulus Siska, membuat anak itu terengah ketika kulitnya dicekam rasa sakit yang sama, tapi batang kayu yang menyumpal di lehernya tak memberi kesempatan baginya untuk meminta pertolongan. Tubuh telanjang remaja montok itu hanya menggeliat kesakitan ketika ribuan serangga itu menghujamkan capit-capitnya yang berbisa pada kulitnya. Kerongkongan Siska mengeluarkan erangan sekarat seekor hewan yang berada dalam sakaratul maut. Otot-otot pinggulnya kejang-kejang dan dari dalam vagina dan anusnya menyemburkan segala isi kandung kemih dan isi perut.

Lalu ketika tak ada sejengkalpun dari kulit Siska yang tidak merasakan rasa sakit, ia mulai merasakan kebas, racun bisa yang mulai bereaksi dengan ujung saraf rasa sakit justru membuat kulitnya kini dilanda geli yang teramat, nikmat yang bercampur secara mengerikan dengan rasa sakit ketika tubuhmu digerogoti hidup-hidup oleh jutaan makhluk pemakan daging. Fantasi masokhis itu justru membuat Siska mengerang nikmat, pinggulnya mulai menggelinjang erotis menikmati setiap rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Putingnya menegang hebat, menyambut ribuan capit mikron yang mengigiti puncak-pucak dadanya. Siska merintih nikmat, erotis sekali rasanya melihat tubuhnya dimakan sedikit demi sedikit itu. Vaginanya semakin deras mengalirkan cairan pelicin, dan tubuhnya mulai kejang-kejang didera sensasi pendakian menuju puncak birahi. Lalu ketika sepasang puting itu dilumat habis dan menyisakan rongga kerowok yang mengalirkan darah segar, Siska orgasme. Hidungnya mendengus-dengus binal, dan dari lubang kencingnya menyemrot cairan squirt banyak sekali. Rasa sakit ternyata berbanding lurus dengan rasa nikmat, dan menghadirkan gelombang orgasme yang datang dalam deret eksponensial.

Aroma kewanitaan yang asam mengundang ribuan serangga itu berkerumun ke pangkal paha Siska, dan remaja manis itu seketika menggelinjang nikmat ketika semut-semut itu mulai mendaratkan gigitan di alat vitanya. Ratusan capit buas yang menggerogoti labianya justru membuat sekujur tubuh Siska mengejang penuh ekstase dan bibir bibirnya mengeluarkan rintihan-rintihan erotis bak sedang disetubuhi. Klitorisnya menegang dan menjadi bulan-bulanan ratusan serangga pemakan daging, menimbulkan persenyawaan mematikan antara rasa sakit dan kenikmatan. Tubuh jenjang Siska kejang-kejang hebat, ketika lagi-lagi orgasmenya menghantam. Matanya membeliak nikmat sehingga tinggal putih, dan air liur menetes deras dari bibirnya yang terbuka. Siska merintih kesakitan bersamaan dengan semburan indah cairan orgasmik yang menyembur lebih deras dari sebelumnya.

Terdengar erangan yang sama dari sampingnya. Siska melirik kearah Kinan, remaja montok itu sudah kejang-kejang sekarat, matanya sudah menghilang dimakan ribuan semut oleh semut, dan hidungnya kini sudah tak berbentuk, hanya rongga kosong yang dipenuhi dengan jutaan serangga yang menggeliat dan memakan isi perut dari dalam anus, hingga usus, lambung, hati, sehingga dari bibirnya yang termegap mulai keluar darah segar. “Mama…. mama… mama….” isakan tangis Kinan masih terdengar sebelum suara itu berhenti untuk terakhir kalinya dan dari dalam mulutnya keluar ribuan ekor semut merah.

Melihat Kinan tewas meregang nyawa justru membuat Siska terangsang. Lalu pandangannya beralih pada sepasang payudaranya sendiri yang dulunya indah kini sudah habis tak bersisa dimakan serangga pemakan daging, meninggalkan tulang-tulang rusuk terbungkus otot yang mengembang-mengempis seiring tubuhnya yang sekarat. Paha dan lengan Siska sudah lebih dulu habis menyisakan tulang dan daging tercabik. Darah segar menggenang di tanah dari pembuluh-pembuluh darahnya yang terbuka, membuat kepala Siska semakin dicekam oleh rasa sekarat, ribuan semut mengerubung di wajah Siska yang cantik, masuk dari mulut, hidung, dan telinga dan memenuhi rongga kepala. Kepalanya terasa ringan, dan yang tersisa hanyalah rasa nikmat belaka….

Siska mendesah.

“Aaaaaah….. aaaaah….. mamaaaaa…. anakmuuuu…. dijadikan… tumbalh aaaah…. hhhhh… hh… h… h….” Tubuhnya yang hanya tinggal sepenggal badan menggeliat pelan, menyemburkan cairan orgasmik untuk terakhir kalinya.

Senyum sayu yang mengembang di bibirnya seolah memberitahu bahwa ia sama sekali tak menyesali akhir hidupnya, sebelum rongga besar terbuka pada abdomen dan menunjukkan isi perut yang sudah dipenuhi semut-semut pemakan daging.

Senyum sayu yang mengembang di bibirnya seolah memberitahu bahwa ia sama sekali tak menyesali akhir hidupnya…

Kematian adalah hal yang paling menakutkan, dan kehidupan adalah kemelekatan yang paling berbahaya. Karena kanya dengan melepaskan, kamu tidak akan pernah kehilangan. Hanya dengan menerima kematian, kamu bisa mendapatkan keabadian, suara itu terdengar membisik di kedalaman batin, langsung kepada ruh…

Siska mengejang terakhir kali ketika ruhnya terceerabut dari tubuh…. Tak ada Tuhan, Tak ada Hamba, yang ada hanyalah kehampaan yang bernyawa…

Kehancuran melekat pada semua materi tanpa terkecuali, dan jasad hanyalah cangkang kosong yang tak lagi berarti…. Semut-semut itu menghabiskan segala apa yang tersisa dari jasad Siska dan Kinan, hingga yang tertinggal hanyalah tulang belulang di atas altar….

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Kau tahu, waktu, berjalan dengan segala relativitasnya. Setahun yang terjadi pada Kinan dan Siska, tak selalu berjalan dalam kecepatan yang sama bagi Badeng dan Leo…..

Kembali ke satu tahun yang lalu ketika ketika Leo, Badeng, Bapak Bendesa, dan satu regu SAR yang dipimpin Inspektur Jaya sampai di tempat itu, tapi berbeda dengan apa yang disaksikan Kinan kemarin, tak ada apapun selain gerbang desa yang telah runtuh. Di antara pepohonan itu hanya ada sisa-sisa atap rumah dan puing-puing kayu. Sebuah tugu batu dan lapangan kecil terlihat ditumbuhi semak-semak tebal.

Leo hendak mencari ke jalan setapak yang mengarah menuju puncak, tapi dicegah oleh Bapak Bendesa.

“Tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada desa, tidak ada apapun. Hanya Candi Kuno ayang sudah ditinggalkan” Bapak Bendesa bergidik ngeri.”

“Lalu? Kenapa tempat ini ditinggalkan?”

“Karena kepercayaan yang tidak lazim, dan dituduh menculik warga desa kami untuk dijadikan tumbal. Seluruh penduduk desa ini ditumpas dalam tragedi tahun 1966. Entah arwah mereka penasaran atau bagaimana, tapi siapapun yang memasuki tempat ini… tidak akan kembali.”

Anjing pelacak menyalak menuju jalan setapak menuju puncak. Inspektur Jaya bersama Tim SAR berkeras menuju arah itu.

Bapak Bendesa tidak memiliki pilihan lain. Pria paruh baya berpakaian putih-putih itu menghaturkan sesaji di sebuah altar kecil dan menyalakan sebatang dupa. Matanya memejam khidmat dan bibirnya berkomat kamit membaca mantera, meminta perlindungan Dewata, sekaligus meminta izin untuk memasuki Hutan Larangan.

Bapak Bendesa mengangguk sebagai persetujuan, tapi mereka hanya punya waktu hingga matahari terbenam.

Dipimpin oleh Inspektur Jaya, aparat gabungan Polisi dan Tim SAR menyisir lereng gunung itu. Benar yang dikatakan Bapak Bendesa, tidak ada apa-apa di tempat itu selain puing-puing candi aliran Bhairava yang berada di sebuah lapangan kecil dinaungi pohon berngin raksasa.

Anjing pelacak menyalak semakin keras, mengarah ke sebuah altar batu, dan perasaan Leo semakin tidak enak.

Rumput-rumput ilalang itu sudah tumbuh demikian tinggi diselingi semak berduri, tapi Leo dan Badeng nekat menerabas tumbuhan berduri itu dengan tangan telanjang.

“KINAAAAAAAAN!!!!!” jerit Badeng.

“SISKAAAAAAA!!!!!” Leo menjerit ke arah lain.

Langkah mereka semakin memburu, hingga akhirnya tampak di depan mata keduanya sebuah altar batu.

Kaki Leo gemetar mendaki undakan yang sudah ditumbuhi lumut itu. Matanya membelalak nanar mendapati di atasnya terbaring dua kerangka manusia. Kering dan sudah lapuk dimakan usia, menandakan keduanya sudah lama mati. Tidak, tidak mungkin itu Kinan dan Siska! batin Leo memungkiri, adiknya baru 7 hari menghilang, dan kedua kerangka itu seolah sudah berada di tempat itu setidaknya selama 40 tahun.

Adiknya masih hidup! Leo mencoba menghibur diri tapi tangannya yang gemetar, dan matanya yang medadak berkaca membuat ada firasat buruk yang menggelayut.

“SISKAAAAAA!!!! SAYA TAHU KAMU ADA DI SANA!!!!! SISKAAAAAAA!!!!!!”, tapi sampai habis semua udara yang ada di paru-parunya tak terdengar jawaban selain suara monyet-monyet ekor panjang yang bergelantungan di dahan-dahan.

Inspektur Jaya angkat tangan, anak buahnya sudah menyusur hingga puncak dan jurang-jurang, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan dua orang itu, seolah Siska dan Kinan lenyap ke dalam alam lain.

Hingga akhirnya habis terpakai semua tenaganya, Leo ambruk terduduk di bawah pohon beringin raksasa. Rasa tegang dan begadang semalaman membuat tubuhnya berada di ambang daya tahan. Bibirnya gemetar. Amarahnya berganti dengan kesedihan. Raungan itu kini terdengar pilu dan menyakitkan.

Sebagai upaya terakhir, Bapak Bendesa bersila di depan altar, menghaturkan canang sederhana dan menyalakan dupa, lalu matanya memejam, berdoa kepada Hyang Betari, kiranya dua orang ini melakukan kesalahan, beliau berkenan memaafkan, tapi hingga doanya ditutup tak ada jawaban. Beliau hanya menoleh sedih ke arah sepasang rangka manusia itu lalu berkata kepada Leo. “Ikhlaskan…”

Adiknya sudah tiada.

Mendengar itu Leo menerjang murka ke arah Badeng.

“BANGSAT!!!! INI SEMUA SALAHMU!!! “KALAU KAU TIDAK MENYESATKAN ADIKKU, SISKA TIDAK AKAN MATI!!!!” hantaman tinju bersarang ke wajah Badeng yang tak siap sedia.

Pemuda itu segera tersungkur jatuh di bawah akar beringin raksasa.

Tendangan menyusul melesat ke tulang rusuk Badeng yang masih meringis kesakitan, diikuti hujaman tinju berkali-kali ke wajah Badeng yang tidak melakukan perlawanan.

Rasa bersalah membuat pemuda itu menerima pukulan demi pukulan Leo sampai Inspektur Jaya dan Bapak Bendesa melerai.

Dengan wajah remuk, Badeng terkapar di bawah pohon beringin, matanya menatap nanar ke arah dahan-dahan besar yang tersaput daun tebal.

Kinan… desau Badeng lemah... Maafkan saya…

Matanya mengerejap lemah, ketika samar-samar ia menangkap sesuatu yang tersembunyi di balik daun-daun tebal.

“OI!” Badeng seketika melompat bangkit. “MEREKA DI ATAS!!!”

Leo dan Inspektur Jaya sontak melihat ke arah yang ditunjuk Badeng. Benar, walau tersamar, terlihat sepasang sosok manusia terbaring dan saling memeluk di sebuah dahan besar. Beberapa monyet ekor panjang tampak prihatin mengusap-usap kening mereka.

Anak buah Inspektur Jaya dibantu tim SAR memanjat sigap ke atas pohon beringin. Tubuh telanjang Siska dan Kinan diturunkan dengan tandu. Tubuh Siska dan Kinan yang telanjang diliputi embun segar, merona merah muda dan terengah akibat orgasme sepanjang malam. Mata keduanya menatap nanar, dan dari mulutnya yang terbuka masih menetes air liur. Otot-otot pinggulnya yang berkedut-kedut menandakan bahwa kelaminnya masih dilanda kenikmatan akibat ritual itu.

Seorang paramedis mengecek tanda vital dan memasang selang infus. Mata Siska mengerejap lemah, sekuat tenaga berusaha untuk sadarkan diri, tapi ia bahkan tidak mampu untuk menggerakkan badannya. Siska hanya merasakan tubuhnya yang telanjang dibopong ke atas tandu, tapi sayup-sayup ia melihat wajah kakaknya yang berkaca-kaca.

“Leo…?” Siska berkata lirih.

Rahang Leo mengeras.

“Maafkan… saya…” Siska mengusap air mata di pipi Leo. “Gara-gara saya… papa dan mama pasti marah….”

“Diam, tak usah kau pikirkan mereka. Kalau mereka marah, aku yang akan baku hantam dengan orang itu,” dengus Leo.

Tangisan Siska pecah, dan berguncang dalam pelukan Leo. Matanya panas tapi anehnya kepalanya terasa ringan, seolah sebuah beban besar sudah diangkat dari dalam dirinya. Seolah ritual itu adalah katarsis yang membebaskannya dari segala trauma yang membuatnya menjadi seperti ini.

Siska hanya merasakan tubuhnya yang telanjang digotong dengan tandu menuruni lereng gunung…. antara sadar dan tak sadar… perlahan-lahan ia melihat bayangan puluhan warga desa yang berbaris di sepanjang jalan setapak, Soka, Bracuk, dan Kakek Tetua… mengusapi tubuhnya yang telanjang… mengucapkan selamat tinggal…. menyambutnya yang sudah terlahir baru… dan belum pernah seumur hidupnya… Siska merasa sehidup itu…

Terima kasih… bisik Siska mengucap selamat tinggal….

Kinan dan Siska dievakuasi menuju kaki gunung, dan Bapak Bendesa bersama Badeng menghaturkan sesaji untuk sepasang tengkorak misterius.

“Lalu dua tengkorak ini?” tanya Badeng.

“Entahlah, yang pasti tengkorak ini perlu diupacarai, tapi itu akan kami atur nanti,” pungkas Bapak Bendesa.

Badeng mengangguk sebelum membalikkan badan.

Dari sudut mata Badeng melihat kelebatan sepasang wanita telanjang yang melambai dari kejauhan.

Ning dan Suli yang terbaring beku di atas altar.

Badeng bergidik ngeri dan mempercepat langkah kaki.

Meninggalkan sebuah desa yang tak pernah ada.
 
Terakhir diubah:
Woooww.. Ada apdet 😍.

Bacanya ntar ah setelah beres nyimak Liverpool.

Makasiihh Oom Jay 🍺!
 
Epilog
Bebas


30 September 1999

Hanyalah denting genta dan suara mantra yang terdengar di antara sesaji yang bertumpuk-tumpuk. Selain itu hanya hening, hening bersama wajah-wajah yang memejam khusyuk. Bapak Bendesa, bersama Inspektur Jaya, dan seorang Pendeta memimpin upacara. Sementara beberapa petugas Inafis dibantu warga desa mengeluarkan satu persatu tulang belulang yang berselimut tanah dan lumut.

Badeng berada di situ, di antara kerangka-kerangka manusia yang dikeluarkan dari sebuah kuburan massal di lereng gunung. Rezim Militer yang berganti membuat kebohongan itu terkuak satu persatu, termasuk pembersihan etnis sebuah suku pedalaman yang dianggap berkeyakinan menyimpang.

Seorang pendeta berbaju putih menghaturkan sesaji besar dalam upacara Pecaruan untuk mensucikan arwah para korban genosida. Suara mantram. Aroma dupa. Denting bajra yang mengiringi perjalanan Atman menuju kehidupan berikutnya.

Bahaya tak selalu datang dari sisi Sekala, tapi juga bisa Niskala. Maka, jangan sekali-kali kau berbuat tak senonoh di gunung, Badeng selalu memegang kata-kata itu. Puncak gunung yang suci adalah tempat ber-stana-nya para Dewata, dan dalam lebatnya hutan bersemayam para Butakala, dan kau tak perlu tahu makhluk apa saja yang mendiami jurang-jurang curam nan gelap.

__________________________

Pecaruan, Mecaru = Upacara untuk menjaga keharmonisan dengan alam, penyucian Butakala dan segala kotoran yang ada, serta sebagai pengharapan segalakeburukan tidak dialami lagi pada masa mendatang

Bajra = genta emas kecil untuk upacara

Atman = roh

Sekala = dunia material

Niskala = dunia gaib

Wongsamar = sebangsa makhluk yang tak tampak

______________________________

Empat tahun berlalu, tapi masih menjadi misteri bagi Badeng tentang apa yang terjadi kepada Kinan dan Siska waktu itu. Apakah mereka disembunyikan oleh Wongsamar? Ataukah hanya halusinasi karena kelelahan dan hipotermia? Adalah keganjilan, karena keduanya sama-sama mengaku diperbudak selama 12 Purnama oleh suku pedalaman. Mimpi yang sama. Halusinasi yang sama pula. Bagaimana bisa?

Naskleng! Pengen ndas cang’e!” umpat Badeng sambil mengacak-acak rambut.

______________________________

Sialan! Pusing kepalaku!

_______________________________

Badeng hanya tamat SMA, tapi dari tamu-tamunya yang cendikia, Badeng mengetahui bahwa ada kalanya pendaki tersesat di dunia yang tak kasat. Orang Bali mereka menyebutnya dimangsa oleh Kala, Sang Dewa Waktu. Orang-orang yang lancang memasuki teritori Hyang Kala akan menghilang selamanya dalam pusaran waktu.

Sama seperti para pendaki yang menghilang di lereng Lawu, kemungkinan paling logis adalah Siska dan Kinan tak sengaja memasuki jembatan Einstein-Rosen, lubang cacing yang menghubungkan dunia ini dengan ‘dunia satunya’, atau katakanlah, ‘alur waktu yang satunya’, di mana tujuh hari di dunia ini sama artinya dengan satu tahun di dunia sana, dan itupun, kalau kau tak ingin menyingkirkan campur tangan ghaib untuk menghukum dua orang itu.

Karena, kau tahu, semesta selalu memiliki rencana.

Kasus hilangnya wisatawan yang dipandunya empat tahun lalu membuat Badeng kehilangan pekerjaan tentu saja, tapi jangan sebut ia Sang Pejantan Alfa kalau menyerah pada takdir Dewata.

Menganggur sebentar, Badeng diterima kerja di kapal Pesiar. Sebulan saja ia berlayar, sebab dari tante-tante perlente yang ditidurinya di kapal pesiar, Badeng mendapat rekomendasi pekerjaan di sebuah resor di Agde, kota kecil di tepi laut Mediterania.

Badeng tersenyum kecil, sama sekali tak mengira akan kembali ke tempat ini lagi. Lembah-lembah sungai itu selalu tampak familiar. Hangat dengan sawah-sawah bertingkat yang dipenuhi menghampar bagaikan beludru. Badeng menghentikan mobilnya di sebuah jalan tanah. Tempat itu tak jauh berubah. Ada sebuah setapak kecil yang mengarah pada sebuah sungai berarus deras, tempatnya memandu arung jeram dulu, tempatnya pertama kali melihat bidadarinya yang kehilangan selendang.

Hidup, adalah satu petualangan besar. Kau memulainya dari satu petak awal, status quo di mana kau adalah seorang bocah kecil dalam istana yang serba aman.

Lalu kau melangkah keluar dari zona nyaman, memasuki Terra Incognita, dunia yang tak diketahui, menjelajahi lembaran-lembaran peta dunia yang baru, petualangan-petualangan yang baru.

Dan ketika suatu saat kau kembali ke rumah, kau tak akan lagi sama, pengalaman akan membuatmu tak bisa memandang dunia sebagaimana engkau melangkah dulu, karena setelah semua itu, kau, bukan lagi orang yang sama.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Juli 1995

Kinan kembali ke rumah setelah berhari-hari menghilang. Kedua orangtuanya murka tentu saja, kau tak perlu heran kalau nama baik keluarga lebih penting dari nyawa anaknya, dan Kinan terlalu letih untuk peduli.

Seharusnya ia merindukan ini semua. Seharusnya ia menginginkan itu semua. Tapi setelah satu tahun tidur di tanah keras tanpa pakaian sehelaipun, rasa empuk dari bantal itu, justru membuatnya merasa tak nyaman!

Kinan beringsut ke lantai, lalu tersenyum sendiri menyadari betapa punggungnya kini menjadi lebih familiar dengan tekstur keras ketimbang permukaan empuk kasur pegas. Siska merentangkan tangan lebar-lebar, berusaha meresapi rasa dingin lantai marmer itu dengan telapak-telapaknya, dingin, membuat Kinan ingin menghayati semua itu dengan seluruh pori-pori.

Tangannya seperti memiliki keinginan sendiri, bergerak melepasi kancing demi kancing blouse putih semi transparan, tubuhnya terasa panas, dan entah kenapa, pakaian di tubuhnya ini terasa terlalu menganggu, dan kutang itu, huh! Betapa buah dadanya kini membenci seperangkat kait dan kawat dirasa membelenggu!

Dalam satu gerakan cepat bra berwarna hitam dengan renda merah hati itu menyusul terlempar ke sudut ruang, bersama rok panjang, dan celana dalam lycra semi transparan. Wajah Kinan perlahan merona, menyadari bahwa tubuhnya yang montok tak ditutup apapun selain pakaian kelahiran. Anehnya, Kinan justru merasa lega.

Belasan tahun berlalu, tapi Kinan belum juga bisa menjawab pertanyaan itu. Kenapa ada nilai-nilai yang menempatkan ketelanjangan pada konteksnya, kenapa ada nilai lain yang menganggapnya tabu. Bahwa dunia tidak bisa hanya dipandang dalam dua warna; hitam-putih, benar-salah, halal-haram.

"Kenapa ndak pakai baju?" (Kinan terkenang lagi percakapan dengan sang ibu)

"Ya, namanya saja mandi, pasti ndak pakai baju"

"Tapi apa mereka ndak malu bertelanjang di depan banyak orang? Ramai-ramai seperti itu? Bagaimana rasanya mandi di sungai, bu?"

Ibunya tak langsung menjawab. Pandangannya mengawang sejenak, sebelum akhirnya beliau berkata:

"Bebas..."

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

24 Desember 1999

“TUHAN YESUS!” suara Leo terdengar syok dari arah pintu. “Siska! Apa yang kau lakukan?!”

Siska terlonjak bangkit, sama sekali tak menduga kakaknya akan muncul dari pintu.

“Kau itu, kenapa membiarkan pintunya tak dikunci?!”

Siska hanya tercengir, tanpa berusaha menutupi ketelanjangannya.

“Ini kan kamarku! Lagipula kau yang salah, masuk tanpa mengetuk!”

“Bagaimana kalau bukan bukan aku yang masuk?”

“Lalu memang kenapa kalau orang lain yang masuk?”

“Bagaimana kalau kau diperkosa?!”

“Kan ada kau yang melindungiku, Leo?” Siska mengerling jenaka.

Leo menghela napas putus asa, sampai kapanpun ia tak akan menang berdebat melawan adiknya.

Siska meregangkan badan, lalu kembali aktif pada seperangkat komputer lipat di meja sambil menyesap kopi sesekali, dan Siska melakukan semua itu di depan Leo seolah-olah ia berpakaian lengkap!

“Setidaknya tutupilah tubuhmu!” dengus Leo yang mulai bersemu wajahnya.

Siska tercengir di balik kacamatanya. “Kau tahu, Leo. Ternyata inpirasiku hanya bisa datang ketika aku sedang telanjang bulat.”

Tangan Siska bergerak cepat di atas tuts komputer, mengetik baris demi baris kalimat di atas MS Word 95.

“Alasan palsu. Bilang saja kau menikmati bertelanjang di depanku!”

“Kau? Pemuda yang tak laku-laku? Hah? Jangan gede rasa, kau! Siapa juga yang menikmati telanjang di depanmu!” wajah Siska kini juga agak bersemu.

“Buktinya kau tidak pernah memakai baju di depanku!”

“Aku memang tidak pernah memakai baju ketika di apartemen, tapi itu bukan berarti aku menyukai bertelanjang di depanmu!” sengit Siska.

“Tapi bagaimanapun juga aku kan tetap laki-laki!”

“Kenapa memang?!” Siska berdiri menantang. Membiarkan buah dada dan pangkal pahanya yang tak berbulu terpampang di depan mata kakaknya.

Wajah Leo makin bersemu, mati-matian ia menjaga kontak mata dengan tubuh adiknya yang kini telah dewasa, dan dadanya yang berisi implan itu, sialan! dada adiknya terasa semakin menggoda!

Siska mengerling jahil. “Jangan bilang kalau ternyata diam-diam kau berhasrat kepada tubuh adik kandungmu sendiri, Leo?”

Wajah Leo seketika berubah panas.

Siska tergelak puas.

“Aku nudis, Leo. Suka tidak suka. Mau tidak mau. Ini adalah aku yang sekarang,” pungkas Siska, nadanya menegas.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Usaha keluarganya bangkrut dihantam Krisis Moneter tahun 1997, dan setelah Orde Baru jatuh dihantam reformasi tahun 1998, sang ayah ikut terjerat kasus korupsi BLBI. Departement Store milik keluarga besarnya di Jakarta habis dijarah dalam kerusuhan rasial. Kakeknya yang anggota DPR mangkat, dan ibu tirinya depresi berat.

Mungkin hanya Siska yang tidak peduli dengan semua itu, karena ia tahu, bahwa segala kebendaan dan harta duniawi hanyalah kesementaraan yang bisa diambil sewaktu-waktu. Petualangan itu yang mengajari itu. Setahun berada dalam kondisi yang lebih rendah dari hewan membuat Siska mengetahui bahwa selalu ada yang lebih buruk dari hidupnya.

Siska telah merasakan kematian, dan itu membuatnya bisa menghargai betapa indah kehidupan.

Beasiswa yang diperolehnya dari sebuah yayasan membolehkan Siska lepas dari kungkungan keluarga, kuliah seni Perancis, dan menjalani kehidupan seperti apa yang dinginkannya selama ini. Keluarganya bahkan tak berhak melarang, karena kini Siska samasekali tak menyentuh sepeserpun harta ayahnya, meski harus memulai semuanya dari nol.

Adalah Naked Adventure, novel petualangan dalam bahasa Inggris yang ditulisnya satu tahun lalu dan terinspirasi dari perbudakannya waktu itu, dan hey, siapa yang mengira cerita stensilan dewasa itu bisa laku terjual di benua Eropa! Penerbit menuntutnya menulis sekuel, Naked Adventure II yang sedang ditulisnya ini,(Siska membayangkan akan menulis cerita dengan latar dokter cantik yang diperbudak oleh suku pedalaman di pulau tropis di Samudra Pasifik!) tapi kita simpan itu untuk nanti, karena setidaknya royalti kini bisa membuatnya tidak terlalu bergantung dari honor model telanjang yang tidak seberapa.

Leo menghela napas berat, menatap mata Siska yang kini balik menantang tajam. Adik kecilnya itu sudah berubah kini.

“Kau berubah.”

“Dan kau tetap menjadi orang yang membosankan, Leo,” dengus Siska sambil memperbaiki letak kacamata. “Kau datang jauh-jauh dari Indonesia hanya untuk menceramahiku? Kupikir kau datang ke sini untuk merayakan tahun Baru!”

Leo tersenyum.

Leo duduk di samping Siska yang bersila menghadap perapian. Di luar salju malam natal turun bersama Paris yang berubah putih oleh kabut. Gemertak bara membaurkan panas api kepada tubuh keduanya.

“Tapi aku senang kau bisa mencapai cita-citamu. Dan aku yakin Mama juga… seandainya ia masih ada.”

Siska ikut tersenyum.

“Kau sendiri? Leo Si Budak Korporat. Bagaimana rasanya meniti karir dari nol tanpa koneksi orang tua?”

“Bulan depan aku dipindahkan ke cabang Paris.”

“Oh, ya?” Siska membeliak antusias, “Kau tinggal di apartemenku saja! ya? ya? ya?”

“Aku tak mau merepotkan.”

“Tidak apa-apa, aku yakin cewekku tidak akan keberatan.”

“Eh?” Leo membelalak tak percaya, “Kau berpacaran dengan Kinan, Siska?”

Wajah Siska terangkat. “Bukan. Tapi kenapa kau bertanya seperti itu, Leo?”

“Kau masih berhubungan dengan Kinan?!” cecar Leo

“Kau tak suka aku berteman dengan Kinan?”

“Tak usahlah kau berurusan lagi dengan dia,” dengus Leo. “Lihat sendiri akibatnya! Kau pernah hampir mati gara-gara dijerumuskan oleh anak itu.”

“Aku memang salah waktu itu karena terlalu mempercayainya!”

“Dan sejak awal aku sudah menduga ada yang salah dengan anak itu!”

Siska terdiam, menatap balik kakaknya.

“Kinan memang tidak normal sejak awal. Dia diperkosa di umurnya yang keduabelas, kau tahu, Leo?!”

Leo tak menjawab.

“Korban perkosaan memiliki cara pikir yang rusak setelah dilecehkan, dia akan selalu mengganggap dirinya tak berharga. Keluarga yang seharusnya mendukung, malah menyalahkan Kinan karena menganggapnya sebagai aib keluarga!”

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Selalu ada yang lebih malang dari dirimu, Siska berkata, kepada dirinya sendiri.

Kinan. Ah, Siska menghela napas berat, setelah sekian lama kenapa ia teringat lagi nasib sahabatnya itu.

Seperti janji yang telah dibuat, sepulangnya ia ke Jakarta berkali-kali Siska mengirim surat untuk berkorespondensi, tapi hingga bertahun-tahun Kinan tak pernah balik menyurati. Berkali-kali, tapi tak pernah ada jawaban. Hingga akhirnya ketika lulus sekolah, Siska berani bertandang ke rumah Kinan, tapi tak ada siapapun. Sahabatnya telah pidah tanpa pemberitahuan.

Dari Badeng yang menyuratinya kemudian, Siska baru tahu, kalau Kinan sudah lama dibuang oleh keluarganya.

Siska tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dalam surat itu Badeng mengatakan kejiwaan Kinan yang sakit sejak awal bertambah parah akibat penyekapan oleh suku gaib itu. Badeng sedang menengok Pekak Gedang di Sanatorium tak sengaja bertemu dengannya.

Dalam suratnya Badeng bercerita, setelah kejadian itu Kinan semakin binal dan lacur, telanjang bulat dan menjadi budak seks membuat Kinan seperti ketagihan untuk dilecehkan, dan mulai tidak bisa mengenakan pakaian. Puting payudara semakin sensitif, kulit kemaluannya klitorisnya nya semakin besar dan sangat peka terhadap rangsangan, sehingga anak itu bisa orgasme hanya dengan sedikit sentuhan.

Kinan masih bisa bertahan setahun hingga acara kelulusan, hingga ketika ia kembali dipukuli akibat ketahuan tidur tanpa busana, Kinan meledak. Ia melepaskan pakaian saat konvoi kelulusan, setelah sebelumnya membiarkan anak-anak cowok menggilirnya satu persatu di ruang kelas.

Ayahnya mengira si bungsu ketempelan jin penunggu gunung dan mengundang Ustaz untuk meruqyah Kinan, ibunya mengirim Kinan ke Psikiater, Budhe-nya mengundang orang pintar, lalu ketika semua usaha gagal, dan Kinan ditangkap polisi karena telanjang di tempat umum, keluarganya menyerah.

Kinan dimasukkan ke dalam Padepokan Spiritual di lereng gunung, sanatorium asri yang dikelilingi hamparan bunga krisan, tempat Pekak Gedang juga dirawat, kalau kau masih ingat.

─dan di situlah Badeng menemukan Kinan setelah sekian lama:

Kinan dipasung di balik jeruji kayu, telanjang bulat, dan menandak-nandak birahi di atas sebuah dildo kayu yang disiapkan untuknya.

Kinan menatap nanar ke arah Badeng, nyaris tak mengenali, hanya sepasang mata di mana Badeng seolah bisa melihat seorang gadis kecil yang terpenjara di alam bawah sadar.

Tapi saya diperkosa, isak Kinan kecil.

Tak ada anak yang diperkosa berkali-kali! Kau tidak diperkosa! Kau menikmati!!! jerit ayahnya murka, sebelum menghantamkan tinju demi tinju.

Kinan kecil hanya bisa menangis dalam diam.

Ada yang hancur tapi tak bersuara.

Ada yang perlahan mati, bersama dirinya yang lama.

─dan sejak hari itu, Kinan tak pernah lagi sama.

31 Desember 1999

Empat tahun lebih tidak mengenakan pakaian sama sekali telah menggelapkan kulit Kinan menjadi tan kecoklatan yang eksotis. Lapisan lemak-lemak tubuhnya terbakar, menyisakan seperangkat tubuh sekal yang padat dengan sepasang buah dada yang montok dan kenyal. Rambut ikalnya yang memanjang sepunggung, digelung indah di kepala, mengungkap lehernya yang jenjang mulus.

Kinan berjalan percaya diri, di antara keramaian dan pejalan kaki. Di kirinya adalah resor mewah, dan di sebelah kanan adalah hamparan pasir dan gelombang biru, dan Kinan melenggang di antara semua itu tanpa pakaian ataupun alas kaki.

Dari jalan-jalan yang dikeraskan dengan batu-batu Kinan berjalan melewati deretan resto dan toko-toko cinderamata, bangunan-bangunan dengan fasad bergaya Mediterania yang memiliki jendela-jendela melengkung dan dinding-dinding dilapisi tanah liat.

Cahaya lampu jalan tampak remang dari tiang-tiang kehijauan yang berukir jatuh di atas tubuhnya yang tak berhalang. Dari Café dengan payung-payung hijau terdengar musik Bossanova yang dimainkan empat orang pemusik bergitar akustik dan bass betot. Sementara aroma ikan hering yang dibakar dengan bumbu zaitun tercium menguar dari deretan resto yang berjajar di pinggir pantai. Di kejauhan kau bisa melihat deretan lampu-lampu dan siluet layar yacht yang ditambat di dermaga kayu.

Sebuah Bar dengan dekorasi merah-kuning-hijau dan daun ***** memutar musik Reggae, beberapa turis berpakaian minim berjoget menandak-nandak, larut dalam pengaruh alkohol dan amfetamin. Lalu lalang wisatawan yang mengenakan celana bunga-bunga dan kaus kutang berjalan di atas pedestrian, bersama skuter Vespa yang terlihat sesekali.

Dan Kinan berjalan di antara semua keramaian itu. Telanjang, bulat, tanpa sehelai benangpun sebagai penutup aurat. Pandangannya tegak menantang, menikmati tatapan para pejalan kaki pada bagian-bagian intim tubuhnya. Kinan selalu menyukai ini, sensasi dimata putingnya mengeras dan klitorisnya ereksi penuh ketika dipandangi dalam kondisi tanpa busana. Dorongan erotis yang selalu berhasil membuat liang senggamanya berkedut-kedut dan membasah menuntut disetubuhi. Kinan sempat tergoda untuk menyentuh dirinya sendiri, mengangkang, di tengah alun-alun ramai itu, lalu masturbasi di antara para wisatawan, mungkin ia akan digilir oleh turis-turis kulit hitam dari Nigeria, sebelum diangkut oleh aparat hanya untuk diperkosa dalam penjara sambil diinterogasi.

Buah dadanya yang semakin montok berguncang indah. Vaginanya yang dicukur bersih mengkilap basah, bahkan jika kau jeli memperhatikan, kau akan melihat lelehan segar lendir kenikmatan di sepanjang paha dan betisnya yang kini sekal padat oleh otot-otot liat.

“Kau melupakan ini!” suara seorang pria terdengar di belakang Kinan. Tangannya bergerak mengulur, meyodorkan sebuah kalung kulit dengan rantai, kalung anjing.

“Guk! Guk!” Kinan menjulurkan lidahnya sambil menyalak jenaka.

“Kau harus mengenakan ini, kalau tidak aku khawatir kau akan menggila dan menyetubuhi pejantan tak dikenal!” selorohnya.

Kinan tersenyum ikhlas lehernya di pasangi kalung anjing, sementara Badeng yang berpakaian lengkap berjalan di belakangnya layaknya seorang majikan yang mengajak peliharaannya berjalan-jalan.

Ada sebuah Pasar Malam di sebuah alun-alun kecil di pinggir pantai, lengkap dengan tenda-tenda putih berbentuk kerucut berisi berbagai macam dagangan. Terdengar suara musik Polka yang mengalun dari badut yang mamainkan akordion di samping seorang penyembur api. Juga asap kanabis yang mengepul dari stand hash brownies seorang Belanda.

Badeng membelikan Kinan gula-gula kapas.

“Hubungan kita ini abnormal,” kata Kinan, sambil membiarkan Badeng menggandeng tangannya.

“Aku tahu, tapi akupun tidak mencari hubungan yang normal.”

“Badeng, aku gila. Kau tak harus mengeluarkanku dari Rumah Sakit Jiwa itu!”

“Lalu kenapa? Dulu sekali aku sudah pernah bilang, Kamu bisa jadi peliharaanku kalau mau, dan kamu tidak perlu mengenakan baju lagi, telanjang bulat untuk selamanya.”

“Kau tidak jijik denganku? Aku hiperseks!”

“Maka aku adalah Dewa Seks! Kau tahu Kinan? Sebenarnya ayahku adalah Dewa Zeus, dan aku diturunkan ke Bumi untuk menjadi pemuas nafsu para wanita. Kinan, aku adalah Penjantan Alfa-mu. Cuma aku yang berhak membuatmu ȯrgȧsme berkali-kali. Dengan cara apapun yang kau inginkan,” tegas Badeng.

Mata Kinan agak berkaca.

Come,” Badeng menggandeng tangan Kinan. “Kalian berjanji akan bertemu di sini, kan?”

Di kejauhan mulai menyala kembang api mewarnai langit. Suara alunan musik tedengar makin rancak dari panggung besar pertanda malam pergantian tahun bergerak menuju puncak.

Tiga orang gadis Jepang memainkan musik Surf Rock di atas banggung, telanjang bulat, hanya dengan bando berbentuk telinga kucing, sementara di bawahnya ratusan orang menandak-nandak tanpa busana atau hanya dengan body paint, bersiap merayakan malam pergantian tahun di di Cap D’Agde, resor nudis, di kota kecil di Perancis Selatan, tempat Kinan dan Badeng tinggal selama 3 tahun terakhir.

Samar-samar barangkali, tapi Kinan mengenali Siska berjalan santai di antara para wistawan, tubuhnya jug tak ditutupi apapun. Hanya sepasang sandal jepit, tas selempang kecil, dan kacamata yang ada di atas tubuhnya yang semakin seksi.

“Siska, kau yakin ini legal?!” tanya Leo takut-takut.

“Ini Cap d’ Agde, Ibukota para kaum Nudis! Siapapun boleh bertelanjang di kota ini!” Siska melambai ke arah Kinan yang menghambur ke arahnya.

Siska berteriak merdeka, menggabungkan diri ke dalam ratusan manusia tanpa busana yang berlonjak-lonja merayakan kebebasan.

Ledakan kembang api membentuk ribuan garis-garis cahaya di udara. Dunia menuju abad baru, dan sama seperti semesta yang senantiasa bergerak menuju kebaruan, kau tak akan pernah lagi sama.

“Kinan?” Siska melirik jahil. “And congratulation for the wedding.”

Kinan tersenyum dan menggenggam tangan Badeng erat.

Di jari mereka berdua melingkar cincin.

Tapi Kinan tak keberatan kalau seumur hidup harus menjadi peliharaan…..

….dari orang yang paling dicintainya.
.



T H E • E N D
Naked Adventure
25 April 2017 – 29 Februari 2020




<Ending Credit Rolls..>

Kala mana, Jeritan khilaf manusia
Membersihkan, Seriak salah dirinya
Bebas mereka rayap bersama
Jika semua layak punah
Biar semua layak punah
Menelan surya
Mewujudkan suka, darimu
Mulai kini, Tak ada salah di dunia
Terpancarkan, muslihat kita yang hina
Bebas kita merayap bersama
Biar semua layak punah
(SORE - BEBAS)


.

.

.

.

Diperlukan tiga tahun dari 15 April 2017 s/d 29 Februari 2020 untuk menyelesaikan cerita ini, 80.000 kata, bahkan lebih.

Kinanti adalah karakter fiksi saya yang tercipta di tahun 2013, dalam cerita “Gara-gara Usus Buntu.”, dan dia terus terlahir dalam Kinan-Kinan yang lain yang brada dalam banyak cerita, tapi memiliki ciri yang sama: montok, manis, eksibisionis, dan berlatar di tahun 90-an.

Kinanti versi Naked Adventure tercipta gara-gara saya tidak sengaja membaca hentai karangan Takahiro Awataka tentang cewek yang diperbudak oleh makhluk halus. Visi awalsaya tentang Naked Adventure adalah saya ingin membuat cerita petualangan eksibisionis tapi dengan diksi yang premium. Di mana dari awal sampai akhir tokoh utamanya tidak mengenakan pakaian sama sekali, di akhir cerita, Kinan tersasar ke waktu yang lain, diperbudak, dan ditumbalkan.

Itu visi awalnya, but shit happens, tokoh Siska muncul, dan ternyata banyak yang nagih plot Siska-Leo, (btw, Siska dan Leo ini Tribute buat novel-film Badai Pasti Berlalu), dan saya harus menulis cerita tentang Siska dan Leo yang membuat cerita agak berputar, dan cerita jadi tersendat-sendat di pertengahan, dan cerita jadi dibagi menjadi dua segmen. Segmen 1 dengan Kinan sebagai tokoh utama, dan Segmen 2 dengan Siska sebagai tokoh utama.

Akhirnya saya kembali mendapatkan visi di awal tahun 2020, dan hasilnya adalah 14.000 kata tambahan yang mengembalikan semangat Naked Adventure kepada visi awalnya

Terimakasih banyak teruntuk semua yang membantu tercipta karya ini.

Special Thx to:

Bramloser

Ulrich (ane WA tiap hari suhu yang satu ini)

flavusbanana (suhu ini yang punya usul Kinan dan Siska digigit semut sampai mati

Sevenstrings (ane tanya-tanyain soal Bali)

Happosai (yang ini juga)

Rorolillith (ini kasih ide Gore)

Andre Diaz

Hellondre

Aryosh (kasih ane pencerahan buat finale-nya)

Speeza

Faithia

Semua yang sudah secara pribadi ane repotin buat cari endingannya

Buat yang udah kasih ane ideyang ane copasin buat versi ultimate

COC2015

Sukatelanjang

miu

Daizhiro

dancoktenan

begundal-bansel

dalemer

steyrweyn

tuannobody

anjing penurut

fleurmirage

Siider

Buat semuaaaaaa yang udah bantuin ane pilih ending:

Buat yang pilih ending mistis


killernee

anjingpenurut

bramloser

begundal-bansel

Rorolillith

Nabironx

Sukatelanjang

Evangelini

Mwu_1a_f1aga pilotnya Perfect Strike Gundam

bagolmania

dalemer

Daizhiro

Dan yang pilir realis:

Superfly

PascalisJr

Jojoonathan

titimalaki

lovjav

dancoktenan

acejuga

sakata001

Terutuk semua yang udah ikutin cerita ini dari tahun 2017 sampe tamat di tahun 2020
Buat kalian yang udah ikutin cerita ini dari awal, salut untuk kalian semua!

Salam sange!
 
Terakhir diubah:
11K kata 👏...
yoi, lama banget dah ngetik cerita ini... alhamdulillah tamat
Duh aduh ngeri2 sedap bacanya.. Khasnya suhu mah gini, makasih updatenya, dan ditunggu kelanjutannya
Khas Gore ya gan, lajutannya tinggal epilog neh gan
naked adventure rasa semayam :Peace:
benernya mau digabungin jadi satu neh cerita-cerita ini
Waduh desa wong samar ternyata, serem dan gore nih
yoi gan desa wongsamar hehehe
Panjang dan bikin deg2an ceritanya

Makasih apdetannya suhu
sama-sama gan, makasih udah baca juga cerita ane ini
Wow...plot yang baru...hehe..makasih suhu
begitulah hu....
Ketika aku mengetahui TS tegang dengan cerita gore di trit sebelah , ternyata dibikin juga ke cerita Kinan. Tidak menyangka konten berdarah di cerita ini seberani itu. Bahkan, lebih bagus daripada Semayam. Hihihi.

Tidak mungkin ketika ada pembaca yang panas dingin baca cerita gore, dia ingin membuatnya juga dengan ciri khas gaya penulisannya sendiri. Ketika sebuah tulisan itu mampu membangkitkan imajinasi, tulisan itu berhasil menjadi pemantik. Hihihi

Ditunggu kelanjutannya.
Makasih, Sis… emang akhir2 ini saya lagi hobby BDSM dan Gore :pandajahat:
hehehe…
makasih udah komen yaaa
makasih juga udah bantuin ane…..
wih ada mistis2nya
yoi gan, namanya juga berbuat mesum di gunung
wooooww otak saya sampe pusing bingung antara sange sama mikir plot ceritanya
bravo suhu
begitulah gan, ternyata mereka hilang di desa siluman
kisah yang melegenda itu akhirnya tamat, namun rasa yang terkandung di dalamnya akan abadi selamanya


terimakasih suhu, atas karyanya yang luar biasa, apresiasi tertinggi dari saya :beer::beer::n1:
amin lah, moga-moga cerita ini jadi cerita legen
dah dari tahun 2017 neh ngetiknya gak tamat2
:beer::beer::beer: terimakasih suhu
ma sama gan, makasih juga udah ikutin cerita ane ini
Gila huuu lanjut ya hu
Naked Adventure II gan, setingnya di pulau terpencil
Masih berharap kinan dilecehkan 😍
mau dilecehkan gimana lagi neh
Menantikan kelanjutannya dengan setia
tinggal epilognya ini ane lagi mikir gimana namatinnya
luar biasa ceritanya
thx gan….
Magnificent! Hampir kecewa dua tokohnya di bikin tumbal Bhairava. Sampai Leo se drama itu. Tapi fyuuuhh..jos gandos. Ora umum!
heheha, pengen dibikin mati beneran sih, tapi tar sia-sia plotnya.....
Dan ternyata Kinan dan Siska tetap hidup untuk telanjang selamanya.. nice touch for the end.. Trims buat cerita legend-nya suhu.. tetap dinantikan epilog dan Adventure ke-2 nanti.. hehe..
telanjang selamanya ini yang bingung, gimana nyambunginnnya gan…
btw, makasih buat apresiasinya…. semoga cerita ini bisa jadi lejenselamanya
Baca dlu deh
ditunggu Alkomenu-nya gan
wau ternyata ada dua versi?
yoi, ane lagi bingung pilih yang mana
epilognya bakal ada dua versi juga om?
kayanya sih cuma satu gan….
tarmalem ane aplod dah
Sebenarnya entah itu realis atau mistis sama aja toh di ending tokoh tetep ditemukan hidup , terkecuali ada adegan dimana sang tokoh mati , karena tidak mati maka cerita ini bisa dilanjut dengan alur berbeda atau mengikuti alur sebelum nya
begitu ya gan
iya sih dua tokohnya sama-sama hidup hehehe...
tar deh ane bikin epilognya tar malem
Luar biasa ceritanya suhu, IQ cetek ane mah ga bisa nebak jalan ceritanya, tp bersyukur karena jd sangat menikmati kejutan2 dlm ceritanya :ampun::tepuktangan:
makasih apresiasnya ya gan....
makasih udah baca dan ikutin cerita ini sampe tamat
hehehe :pandapeace:
Hanya bisa bilang... Wooooow...
Imajinasi Om Jay emang outstanding....

Tak disangka, mereka akan ditumbalkan apa lagi lahir baru. Sesuatu yang jauh dri perkiraanku.

Teruslah berkarya dan sehat selalu
:ampun:
terima kasih kepada yang memberi wangsit gan hehehehe

begitulah ditumbalkan dan terlahir baru....

makasih ya gan dah baca cerita ane.....
Wow... Update yg luar biasahhh......

Thanks Suhu....
hehehe... sip lah kalau suka...
makasih juga ya gan atas wangsit2nya hehehehe
Edan. Ini gila banget, ini sudah level dewa.
Ga tau apa nama genre-nya, tapi baca cerita ini serasa baca manga Junji Ito.
Naughty, erotic, crazy, thrilling, scary, out of the box, yet stunningly mesmerizing.
Di luar jangkauan fantasi otak saya yang simpel ini.
Ceritanya mengalir lancar dengan kosakata dan deskripsi bak dewa.
Ngeri-ngeri sedap, tapi ga pengen berhenti malah berasa pengen skidipapap.

Ga bisa ngasih saran apapun, karena rasanya fantasi Master Jay jauh lebih dahsyat.

Salute to you, Dear Master. The best.
hehehehe,,, banyak dapat wangsit gaib, bikin plotnya juga diskusi sama temen-temen ane, dan kosakata cari wangsit dimana2...
makasih udah suka sama cerita ane gan...
kalau demen sadisme keknya bakalan suka dah....
wah
circling back to the start ya
agak berat ini sepertinya untuk bisa dimengerti
sebentar harus baca ulang cerita di bagian awal biar bisa paham lagi ini
yoi, pake filosofi "cerita berakhir di tempat ia dimulai"
Twistnya tak terduga
:ampun: makasih gan
 
YANG PILIH MISTIS
mantab banget suhu plotnya. Pas banget dengan latar settingnya (bali+pedesaan+gunung+hutan).

bahkan menurut ane bakal jadi sedikit mengeherankan kalau gak ada mistis2 nya sama sekali.

Ditumggu lanjutannya suhu.
berarti mistiknya mashoook ya gan….
sebenarnya sudah ada clue-nya di akhir episode 12 kalau berbuat tidak sopan di gunung bisa mengundang malapetaka
hai kinan dan siska,,, sini gabung sama kita (aku&istri) kita berdua juga submission kok, bagaimana kalau kita berempat menyerahkan hidup kita ke bedeng, karena hanya bedenglah yg tau fantasi kita & punya tempat rahasia untuk kita menghaba kepadanya selamanya,,,

1bulan setelah petualangan terakhir di bali, mereka berdua telah kembali ke ortu masing2 & menjalani kehidupan seperti biasanya.
wa kinan; lagi apa sis?
wa siska; lagi luluran, kalau elu?
wa kinan; lagi mempertimbangkan komen ajakan di kisah kita yg di tulis di web semprot
wa sika; kasih link nya dong?
wa kinan; link send
wa siska; kamu ikut/tidak aku aku tetap mengikuti ajakan anjing_penurut
wa siska; oke besok kita berangkat bareng ya? jgn lupa tinggalkan surat perpisahan untuk ortu
wa siska; siap bosku hahahaha
mantap epilognya, bisa itu dipake
tar ane bikin dulu lah nie epilog
Spertinya aku lebih suka versi yg pertama, unsur ghoibnya bikin ceritanya lebih berkesan... (Walau sama2 ada adegan extreme)
Sebelum baca updatenya, aku pikir ceritanya gimana kok ada unsur2 ghoib segala, tp setelah membaca.... gilaaa aku suka banget! Luar biasa!
makasi ya suhu ane sudah dibantuin, begitulah… dikasih unsur ghaib supaya make sense adegan gore-nya hehehe
Kalo mistis tapi yang logis gimana hu :D ?

Misalnya ada bapak-bapak kesurupan hantu cabul "emang ada hantu cabul ?"

:bata::bata::bata:, kesurupan yang aneh-aneh bukannya minta kopi item sama roko cerutu, malah minta celana dalam bekas perawan.

"Ini mah gak logis"
bisa sih digabung gan,,,,, realis x mistis
tar ane post dah
Bikin 2 versi yang berbeda seperti yang sudah kutulis. Versi mati dan versi hidup. Pusing ngetik bikin ceritanya ya wajar.

Penasaran pembaca suka versi mistis atau realita, mengapa tidak dibikin polling?

Menurutku dua versi itu bagus. Kesan cerita mistis dan desa ghaib dengan tumbal itu mengingatkatku tentang game Fatal Frame 3. Dua-duanya menceritakan bahwa di akhir cerita tokohnya masih hidup. Bagian ekstrim itu adalah bagian yang kusuka.
sudah dibikin dua persi hehehe
tapi nanti bikin epilognya yang bingung
udah dibikin poling nih lagi rekap hasilnya

makasih ya suhu sudah dibantuin....

ane juga lagi demen gore soalnya hehehehe

btw, itu ide gore-nya dari flavusbanana aka pak gedang
Kalo di film...
Ini pastilah pergantian scene yang cepat... sehingga membelokkan asumsi yang tadinya pasti beranggapan bahwa ini terjadi pada tempat yang sama...

Saya lebih suka yang mistis kalo di cerita ini... karena dalam hal.yang mistis semua ketidakmungkinan menjadi sah sah saja....

Dari Title nya saja sudah menunjukkan arah ke sana...
yhaaaa.... begitu....ternyata Siska dibawa ke dunia ghaib....
sip lah, note buat tim mistis hehehe
Utk plot.... ide perbedaan waktu sudah bagus...
Didunia lain 1 tahun, di dunia manusia baru 1 hari...

Utk plot Leo gagal menyelamatkan Siska, harus dibuat sedikit mistis... tiba2 Siska dan Kinan hilang mendadak secara misterius..

Ternyata mereka dibawa oleh Soka, Bracuk, Ning, Suli ke tempat tinggal mereka diatas gunung..

Saya lebih suka kalo cerita akhirnya lbh ke realistis dgn sedikit paksaan utk telanjang terus selamanya.. dan akhirnya mereka menikmati impian mereka..

Mungkin mereka bisa dibawa ke pulau tersembunyi tak berpenghuni yg seluruh masyarakat nya primitif dan tak berpakaian semua, dan disana mereka menjadi budak seks selama2 nya..

Demikian ide saya suhu...

Hehe.. Thanks
thx gan, usul agan ane pake buat versi ultimate-nya yang di post tar malem

mengenai pulau primitif… tar ane pake buat plot Naked Adventure II

Versi mistis asik dan nga perlu di tambahin lagi karena udah cocok untuk berhenti disitu.

Kalo versi Realisnya lebih asik "Ritual" yang dilakukan itu sebenarnya cuma ada di alam bawah sadar mereka karena pengaruh ramuan tradisional yang digunakan. Hanya untuk membuka hasrat terdalam Siska dan Kinan.

Jadi akhirnya Siska yang cuma ikut ikutan saja bisa pulang dan mendapat kebebasan nya kembali, sedangkan Kinan tetap tinggal untuk medapatkan apa yang ia inginkan :)
betul, kalau versi realis, ritual itu hanya pengaruh raman tradisional, tapi beda epilog nanti di time skipnya
Mistis time skip seminggu
Realis time skip setahun
Kynya lbh manteb yg mistis.
Yg realis diakhirnya ad campuran mistis ato untold mystery jg hahaha
tar deh ane gabung gan...
Kalau ane suka yang realistis hu. Kalau yg mistis agak gimana gitu endingnya
agak gimana, gimana gan?
Yang mistisnya mantep suhu jay, pas sama plotnya, kalau yanh realisnya jujur agak kuranh sreg masuknya, ane lebih suka yanh mistis hehe, lain kali gimana kalau ada unsur mistis lagi, misalnya pesugihan tuyul, tapi tuyulnya minta syarat harus diajak jalan bugil sama wanita yanh nyari pesugihan, dan setiap jj permintaannya aneh2 haha
wah ini kok jadi ke tuyul :pandaketawa:
buat next project saja itu gan nanti yang tuyul
Keknya versi mistis lebih bagus. Twist dgn unsur magis sangat nusantara.
begitu ya gan
pas sama latarnya Bali ya

=====================================
YANG PILIH REALIS
Agak aneh kalo tiba2 jadi cerita mistis hu. Mending ketemu penduduk lokal atau pas ditemuin SAR mereka eksib Dan rela diapa2in sbg tanda terima kasih.
waduh mendadak jadi jalan2 ke forsup nih jadinya nanti hu :D
kalo nubi sih saran bener emang di cari2an dan yang mungkin bisa sedikit ngegoda pembaca kasih klise2 adegan sebenarnya mereka hampir ketemu deket banget tapi kaga jadi :D
hihihihi
pasti dah kesalip2an mulu itu mungkin bisa buat lebih unik petualangannya :D
hmm kalo kaga salah dan kalo memang setting desa banget yang terpencil bisa hu kasih ketemu sama wilayah yang bestiality itu lumrah hihihi :D
kali aja tokohnya pada ga mau pulang padahal orang2 pada nyari2in
udah bener cari rumahnya udah ke rumahnya tempat mereka sembunyi malah kaga ketemu :D
hihihihi
atau kasih main2 kucing2an si tokoh malah jadi sembunyi2an dari si sodaranya karena udah kepalang ketagihan pemuasan nafsu yang ga wajar :D
hahahaha
:D:D:D
anyway tetep balik ke pujangganya, kalo karya suhu JS mah kaga bakal ngecewain :beer::beer::beer:
Nah ini cari-carian juga bisa dipake idenya, makasih ya gan….
bisa lah itu dipake
mantap
Hahahahaa..

Ane suka yg ini, karena 'naiknya' begitu pelan dan halus. Jadi lebih berasa 😆..
kalau digabung enak kali ya gan...
bikin yg naiknya pelan kek versi realis
tapi endingnya mistis

Hebat cerita2 suhu @Jaya Suporno ... Tapi kalo ane yg hina ini boleh milih sih, ane lebih suka versi Realis. :beer:

Alasannya :

1. Ini tentang cewek2 yg suka eksib (& exe tentunya)
2. Dari awal2 cerita ini pun tidak ada unsur2 mistis ya

Semoga maklum adanya :ampun:
tidak apa-apa hu, ane bikin mistis karena supaya make sense adegan gore-nya....

gitu....

dan ada naikdi tensi leo yang cari-cariin adiknya dan Siska disangka mati
Sudah sesuai ini dengan niat awal bahwa part 2 ini adalah exploring Siska. IMHO, memasukkan unsur mistis di salah satu bagian cerita (apalagi di akhir), menurut ane juga sebentuk deus ex-machina. Kesulitan penulis menemukan plot yang tepat sebenarnya menurut saya adalah sebentuk ironi, karena semua plot sudah dihabiskan untuk Kinan di part 1, akhirnya hanya tersisa plot mistis agar sekuelnya tidak menjadi sekedar Naked Adventure part 1 tapi pemerannya Siska. Good job overall bruh, I wish you could bring the same detail for Kirana and Kinanti
sebenernya ada clue tentang plot mistis di Episode 12 tentang “jangan berbuat mesum di gunung” :pandajahat:
terus di Episode 14 (tabu) juga ada :pandajahat:
btw, betul, paruh kedua ini tentang Siska, dan plot Siska ini sebenarnya tidak direncanakan, seharusnya dari adegan Kinan digilir anjing dan anak-anak desa (Lennon, Gobel, dan Celeng)
Kinan, dipasung dan ditumbalkan, gitu….
Tapi cerita ini kan ditulis lama sekali dari tahun 2017, mungkin waktu itu kesaktian ane belum cukup mumpuni buat bikin adegan penumbalannya…. jadi muter-muter dulu dah di plot siska….
btw, makasih juga atas apresiasinya ya gan….
Kirana dan Kinanti mah tetep2 aja naskahnya gan, besok ane apdet dah

Lebih menarik tanpa ghoib. Setelah kejadian itu mereka semakin binal dan lacur, karena puting payudara semakin sensitif dan mengeluarkan air susu, kulit pepek semakin sensitif dan itil nya semakin besar dan sangat sensitif seperti penis bayi yang ereksi, bahkan jika dirangsang bisa tegang dan bergetar. Lubang vaginanya juga sangat sensitif berkedut kencang dan gampang squirt. Itu alasan mereka jadi boneka sex anak-anak desa, dirangsang dengan bulu ayam, sayuran dan hewan.
kenapa antum terobsesi dengan bulu ayam?
:pandaketawa:
Versi realis, soalnya aku lihat dari ending yang mana 2 orang itu secara langsung itu semacam halusinasi yang mungkin berefek kedepannya
betul, ada halusinigennya kalau versi realis
versi realis ajalah hu
ane gak begitu demen yg ghoib ghoib
ditampung gan
 
Akhirnya tamat...terima kasih TS
Ending yang sempurna
Hehe...long live nudist :ampun:
 
Makasih, Sis… emang akhir2 ini saya lagi hobby BDSM dan Gore :pandajahat:
hehehe…
makasih udah komen yaaa
makasih juga udah bantuin ane…..

Yup, sudah kuduga. Begitu juga denganku, hanya saja imajinasi BDSM dalam otakku tidak mau diikat aturan (main seni tali menali, jepit titik sensitif pakai jemuran, netesin lilin mencair yang panas, main pecut pecutan, dll), akhirnya kebablasan nusuk jarum dan main sayat sayatan sampai putus. Jadilah cerita Gore dan snuff akut.

Bantuin? Ah jadi malu. Aku gak bantu apa-apa, hanya mengembalikan jalan cerita dan memberi semangat untuk tidak mendengar permintaan pembaca yang aneh aneh dan dapat menggoyahkan penulis untuk melanjutkan tulisannya. Eh, ketikannya.

sudah dibikin dua persi hehehe
tapi nanti bikin epilognya yang bingung
udah dibikin poling nih lagi rekap hasilnya

makasih ya suhu sudah dibantuin....

ane juga lagi demen gore soalnya hehehehe

btw, itu ide gore-nya dari flavusbanana aka pak gedang

Ya. Dua versinya ada gorenya. Walaupun hanya beberapa paragraf, dalam otakku bisa banyak paragraf. Seolah-olah serangga pemakan daging itu memakan 2 tumbal dengan cara slow motion. Mulai dari menghabiskan lapisan terluar kulit, lemak, otot, lalu organ organ dalamnya yang ada di dalam Ventral Cavity. Mereka hilir mudik membawa gumpalan daging berukuran kecil keluar masuk dari lubang yang dibuatnya sendiri, tidak hanya pada 7 lubang alami manusia. Hihihi

Lumayan banyak tulisannya ya. Belasan ribu kata dan totalnya puluhan ribu. Sedikit lagi bisa ratusan ribu kata. Woow!!! Gak kebayang gimana ngetiknya. Kalau perkiraan kecepatan ngetiknya 1 jam samadengan 1k kata, jadi om JS (Joe Satriani, eh Jaya Suporno) sudah menghabiskan waktu 80 jam plus plus. Belum lagi waktu untuk mengedit dan baca ulang. Woow!!!

Oh. Tapi unik juga ya ngasih ide gore. Berani banget masukin gore yang dari awal cerita Kinan ini tidak ada unsur gorenya. Teringat sama ceritaku sendiri yang membuat alternate version.

Kalau demen cerita gore, kira kira berani nggak meramaikan "tag gore" di forum ini? Setahuku trit dengan tag gore masih sedikit. Biarpun begitu, Aku masih ada stok cerita gore yang belum dirilis. Masih sedikit dan belum selesai, kurang lebih sepanjang update Fragmen 18 cerita ini. Rilisnya nunggu yang sebelah tamat dulu. Kalau mau pe em aja, gak tau bisa bikin kejang kejang atau nggak.

Anyway, terimakasih atas suguhan ceritanya.
 
Bimabet
Selamat dan terima kasih suhu sudah memberikan cerita yg bermutu seperti ini, semoga selalu diberi kesehatan dan inspirasi untuk terus berkarya. SALAM SANGE
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd