Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY neoKORTEKS

Bimabet
Thx updatenya om

Perasaan cinta Nando keknya bukan dari hati tetapi karena pengaruh makhluk ITU nih...
 
Halo, selamat sore dan selamat membaca ya..


Gile.... berasa baca supernova, luar biasa gan, semoga lancar d8tunggu updatenya

Karya-karya yang seperti itu memang panutan hehe.



Sorry OOT... mulustrasi di unnamed inhumans kok hilang, Hu?
Mau maraton weekend ini... :ampun:

Iya, saya juga baru lihat nih. mau dikerjain ulang, tapi mager ya sebanyak itu hehehe.
 
keren suhuuuu
maraton dari pejwan egk brasaaaa saking serunyaaaa
wkwkwkwkkk
mantaaaaab...lanjutken huuu



tp masih penasaran hu sama kata-kata "anta gadih iko" :/
hehehe
 
Gua bacanya mundur ni wkwkwk.... abis baca ini baru kemaren taman inhuman 1 sekarang masuk inhuman 2..... ini NIKEN yang sama kah???
 
keren suhuuuu
maraton dari pejwan egk brasaaaa saking serunyaaaa
wkwkwkwkkk
mantaaaaab...lanjutken huuu



tp masih penasaran hu sama kata-kata "anta gadih iko" :/
hehehe

makasih lho, saya saya pikir pembaca cerita ini segmented banget.

Btw, hmmm.. apa yaa anta gadih iko? wkwkwkwk



Gua bacanya mundur ni wkwkwk.... abis baca ini baru kemaren taman inhuman 1 sekarang masuk inhuman 2..... ini NIKEN yang sama kah???

yap niken yang sama. jadi ini semacam spin off gitu lah ya.
 
Terima kasih update nya suhu... Lanjutkan karya nya dan tetap semangat
 
Lanjutkan suhu..... Kayak ada hubungannya sama cerita inhuman ya hu?
 
Episode 10
Habituasi


Migrasi adalah bagian sejak awal mula adanya kehidupan. Makhluk-makhluk prasejarah sudah menunjukkan perilaku itu melalui perpindahannya dari air ke darat demi mendapatkan sumber daya. Kawanan zebra, wildebeast, antelop, sampai burung-burung predator tiap musimnya bermigrasi untuk mencari makan yang cukup.

Adam, katanya turun di India. Lalu ia harus berpindah-pindah dahulu hingga akhirnya bisa bertemu lagi dengan sang tulang rusuk.

Masyarakat Nusantara juga tak lepas dari aksi migrasi sejak dahulu kala. Mereka berlayar jauh ke Madagaskar di barat dan Kepualauan Pasifik di timur hingga menciptakan peradaban di sana. Orang-orang Jawa berpindah ke Suriname karena menjadi budak di ladang tebu.

Aku pun harus berpindah pulau demi secercah ilmu pengetahuan.

Siapa yang langsung nyaman dengan perpindahan. Aku dan kebanyakan orang pasti menyimpan banyak rasa khawatir. Biasanya kekhawatiran itu benar adanya.

“Oke, minggu depan kita kuis ya.” Kata dosen.
“Terima kasih, Pak.” Kata seorang mahasiswa yang duduk paling depan.

Nama kawan-kawan di sini belum semuanya kuhafal. Jadilah, aku bingung harus bicara dengan siapa.

Itu karena aku jarang hadir selama orientasi mahasiswa sebulan lalu. Dari banyak rangkaian, paling banyak aku datang mungkin hanya 3 atau 4 kali. Menjelang pekan terakhir orientasi, makanya banyak chat dan panggilan bertubi-tubi dari kawan-kawan angkatan. Mereka meminta supaya aku ikut rangkaian acara. Tapi mau bagaimana lagi, itu bukan prioritasku.

Banyak keperluan yang lebih penting untuk kulakukan di luar acara kuliah. Sebutlah, membeli barang-barang untuk di kamar kos, pergi ke deretan rak buku di perpustakaan, dan seminggu dua kali datang konsultasi dengan dokter rekomendasi Niken.

“Gue harus rutin ke dokter, nih. Kalo gue jatuh epilepsi waktu acara jalan, gimana?” Itu alasanku yang diulang-ulang.

Aku tidak bohong. Aku, kan, memang punya riwayat epilepsi dan dokter rekomendasi Niken punya gelar di bidang spesialis syaraf dan gangguan tidur. Ada surat izin dokternya dan resmi pula.

“Tugas kelompok kalian jangan lupa.” Kata dosen itu lagi.
“Iya, Pak.” Sahut mahasiswa.

Kuliah makin sibuk dan makin sibuk pula kegiatan tugas menugas. Kali ini datanglah juga perkelompokkan, wilayah yang aku takutkan sebagai anak rantau. Maka, begitu kelas hampir bubar, aku sibuk mencari rekan tugas kelompok.

Di sinilah kelemahanku bebuah menjadi bencana. Aku sulit mencari kawan akrab.

“Halo, siapa namanya?” Kataku ke seseorang.
“Hendra.” Katanya.
“Nando. Udah punya temen kelompok belum?”

Aku berharap dia belum punya teman sekelompok. Sulit sekali mencari kawan sekarang ini.

“Waduh maaf ya, udah pas berempat nih kita.” Kata dia, menunjuk tiga kawannya yang lain di sebelah kiri dan depan.
“Oke, gak apa-apa.” sahutku.

Aku mencari lagi kawan yang lain. Kali ini kepada mereka yang sibuk beramai-ramai. Ada satu laki-laki dan enam perempuan yang belum beranjak dari kursi mereka. Kudatangilah dengan harapan yang terpupuk.

“Sorry, ada kelompok yang masih kurang orang gak ya?” Tanyaku.
“Bentar ya, gue tanya.” Kata perempuan berjilbab kotak.

Mereka berbisik-bisik sebentar. Sementara, aku menunggu sambil berdiri menghadap.

“Ada nih, si...” Sahut satu laki-laki.
“Eh, udah pas tau. Tadi Ami baru gabung.” potong perempuan lainnya.

Mulutku membentuk huruf O. Yasudah, dua kelompok mereka sudah pas jumlahnya. Kucari yang lain lagi, tapi nanti.

Ada kekhawatiranku yang cukup tinggi tentang konsep pertemanan di sini. Orang-orang perantauan hampir tidak dapat tempat dalam kalangan orang-orang lokal. Kecuali bagi mereka yang punya banyak waktu untuk menjadi pusat perhatian. Aku bukan salah satunya.

Mataku melirik lagi ke sudut-sudut kelas. Sayangnya, sisa kawan-kawan yang lain sudah bubar sehingga kelas hampir kosong. Maka, habislah kesempatanku mencari pertolongan untuk sore ini. Apa bisa dikata, nanti kusampaikan lewat chat di grup angkatan. Sekarang aku harus ke taman besar karena sepuluh menit lagi ada janji dengan Niken.

Tidak baik kalau telat dalam waktu pertemuan. Jadwal Niken pasti padat dengan kesibukannya sebagai calon dokter muda bangsa. Apalagi, ini janji yang aku buat sendiri.

Begitu aku hendak keluar kelas, saat di depan pintu, kudengar suara bisik-bisik kelompok sepermainan yang kutinggalkan barusan.

“Ami bukannya sama yang lain tadi ya?”
“Iya, gue bohong kok. Lagian ngapain satu kelompok sama Nando sih. Udah gak punya laptop, gak kenal kita-kita juga, ntar numpang nama doang.” Kata perempuan yang menolakku tadi.

Sudah jelas makin berat sekali perjuanganku ke depan di kota ini.

---

“Ah.” Itu suara Niken.
“Aku gak habis pikir.” Balasku
“Sebentar.”

Niken lagi-lagi menjadi opsi pelarianku dari beratnya hidup di tanah yang asing. Tidak benar-benar nyaman aku menjalani hidup di sini. Banyak kegiatan yang tidak biasa aku amati. Gadget-gadget dan laptop bertebaran di kelas, sementara pengajar asik sendiri menjelaskan materi menggunakan layar besar.

Di luar kelas, di masa ospek, di masa kegilaan rekan-rekan sebaya atas lembaga dan kepanitiaan baru, aku hanya mengamati mereka tanpa ikut campur. Mereka bilang aku apatis, itu juga karena aku bingung harus berbuat apa. Satu-satunya kegiatan yang bisa membuatku bisa berbaur hanya melalui imajinasi.

“Serius.” Aku mengeluh.

Aku kembali menyeruput kopi mahal yang dibelikan Niken. Di balik kaca, orang-orang di sana kulihat berlalu lalang, saling silang satu sama lain, namun bersikap tidak peduli. Niken sedikit-sedikit juga sibuk dengan elektroniknya. Kukira dia juga tidak mendengarkan aku dari tadi.

“Eh, maaf ya, tadi temen ngabarin ada tugas baru. Jadi, gimana tadi?”
“Liat kepalaku sendiri bisa, kan.” Aku malas mengulang.
“Bukan begitu dong cara main kita.”

Cara main yang harus bagaimana lagi. Orang-orang di sini sangat banyak, tapi minim sekali interaksi. Orang-orang di sini sangat berpunya, tapi minim sekali yang berhemat. Dunia yang aku pijak sekarang sangat berbeda dengan yang kujalani di dusun.

Karena kesulitanku untuk berbaur itu, aku punya banyak waktu luang mengamati orang-orang. Kadang jadi ada rasa penasaran ingin mengetahui isi kepala mereka. Tapi, seperti kata Niken, aku tidak boleh terlalu peduli dengan urusan pribadi orang lain.

“Gini Nando, dari dulu kan kamu jarang punya kawan. Sekarang gak ada bedanya dong.”

Kata Niken itu logis juga. Sambil masih sibuk dengan handphonenya, Niken memberikan nasihat-nasihat. Aku mulai harus lumrah dengan sikap orang-orang yang seperti ini. Di mana mereka bicara dengan manusia, tapi wajah mereka selalu lurus terpaku ke depan layar elektronik.

“Beda dong.” Aku membela diri.
“Apanya?”
“Sekarang aku butuh orang-orang ini. Kalo nggak, rusak kuliahku nanti.”

Seperti halnya Batman, dia juga butuh Robin walau seluruh hidupnya dihabiskan sendirian. Aku pun butuh kawan baru di tempat ini. Hanya saja, caranya untuk menjangkau mereka yang terlampau sulit.

Lalu, mendadak Niken membereskan tasnya dengan keburu-buruan. Es kopi di gelas plastik pun tak habis diseruputnya. Lalu, dengan intonasi yang cepat. Dia minta izin pergi meninggalkanku karena prioritas yang lain.

“Aku ada kelas pengganti. Nanti ngobrol lagi ya.” Lalu Niken pergi.

Mau bagaimana lagi. Itu lah hidup Niken yang ditemani kejenuhan kuliahnya. Demi cita-cita menjadi orang berguna di komunitas masyarakat. Sekarang aku sendirian lagi. Lalu harus apa lagi.

Kubuka handphoneku, lalu aku buka kolom chat angkatan, tentang pertanyaan siapa-siapa yang masih punya kekurangan anggota kelompok. Selanjutnya, kumasukkan lagi handphone ke saku. Kulihat sekeliling, banyak orang, tapi aku sendirian.

---

Orang bilang mencari kenalan seperti mencari uang. Mencari teman seperti mencari emas. Mencari sahabat seperti mencari intan. Ketiganya sama-sama berharga. Ketiganya sama-sama sulit untuk didapatkan.

Hingga malam ini, tidak ada tanggapan tentang kebutuhanku mencari kelompok.

Aku sedang bermalas-malas di kamar kost. Ada lemari besar di sudut terjauh dari pintu. Itu aset pemilik kost yang sudah ada sejak aku memilih kamar ini. Di sebelahnya, satu lemari susun bersama dengan cermin. Kasurku sendiri tidak beranjang, terebah di belakang pintu.

Sisa barang yang kini hampir memenuhi sudut aku beli dengan uang sisa beasiswa. Ada sapu, pel, ember, kipas angin, guling, tikar, handuk, tas, ransel, dan macam-macam baju polo serta kemeja. Habislah tabunganku sampai satu semester ke depan, tersisa uang makan. uang kos, dan uang kuota.

Kalau ada yang bertanya, kenapa aku tidak tinggal di asrama anak-anak perantauan. Itu karena aku tidak punya kendaraan pribadi, apalagi asrama jauh dari mana-mana. Aku beruntung menemukan total harga kos yang terjangkau di tengah-tengah kemewahan kota, meski, ya fasilitasnya sederhana. Seperti kapal nelayan dibandingkan speedboat pribadi.

Sepi di sini. Rasanya sangat hampa saat menjalani malam. Meski di jalanan masih berisik dengan motor-motor yang melintas, riuh dan gemah anak-anak kos sudah lenyap satu jam lalu. Hanya beratnya kelopak mata yang bisa membantu menyebrangi setiap tanggal di kalender.

Tapi, saat ini, kelopak mataku masih seringan debu.

Drrtt... Drrtt...

Ada bapak menelepon.

“Malam, Pak.” Sapaku.
“Belum tidur kau?” Tanya bapak.

Seperti beberapa malam sebelumnya, bapak rutin menanyakan kabar dan kesehatanku. Bapak khawatir pastinya, tapi aku terlalu tidak tega mengabarkan keluh kesahku. Jadi, aku hanya mengabarkan arah angin hari ini dan perkedel enak tadi pagi dan jadwal kelas dan anjing liar dan pohon-pohon hias di pinggir jalan.

“Makin aneh kau bercerita, lah.” Ledek bapak.
“Cuma itu yang Nando lihat hari ini.”
“Teman-teman kau gimana?”

Mulutku terbungkam sebentar. Kalimat apa yang bisa tidak merusak suasana hati bapak.

“Baik semua pak. Oh, besok ada kuis juga.” Aku mengalihkan.
“Yasudah belajar kau.”
“Iya, Pak.” Aku setuju.
“Bapak tutup lah ya. Jangan tidur malam-malam.”

Akhirnya telepon ditutup pada catatan waktu lima menit lebih dua puluh tiga detik. Aku lolos hari ini. Tapi tidak tahu kalau besok-besok. Yang aku tahu, tidak akan bisa menyembunyikan ini lama-lama. Bapak lambat laun pasti tahu juga kalau aku punya masalah dalam mencari kawan.

Kebetulan handphone masih di tangan. Aku sebaiknya kabari Novia tentang simpanan rinduku. Beberapa hal harus kubicarakan juga, termasuk kegelisahan dan kesulitan mencari kawan di sini.

Lalu, aku cukup senang Novia mendengarkan. Aku lebih senang lagi mendengarkan kecapan ludah dan lidahnya yang bercampur grasak grusuk sinyal. Lebih dari cukup untuk mengobati kepekatan isi kepala hari ini.

Setelah itu, aku ingat satu pesan Novia yang dititipkan dari datuak.

“Oh iya, titipan bapakku masih disimpan, kan? Ditanyakan kemarin.” Tanya Novia.
“Masih, masih.”

Aku membuka dompet cepat-cepat. Titipan kantung berisi kertas yang sudah menguning ini untung masih ada. Sudah lama terselip di salah satu celah di balik KTP. Kupikir lebih aman di sana karena tidak tampak sedikit pun dari luar. Terkait fungsinya, paling-paling hanya jimat tak bermakna.

Lalu, obrolan kami harus ditutup dengan kalimat cinta sebelum tidur.

---

Aku membuka mata mengetahui fakta bahwa belum ada satu pun balasan tentang kelompok yang masih kurang anggota. Pesanku bahkan tenggelam dengan informasi-informasi lainnya perihal kuliah umum, kompetisi, rapat, sampai lomba-lomba untuk mahasiswa baru dan jurusan.

Maka, sekarang aku ulang pesanku sampai ada yang sadar kalau aku terlewatkan. Sampai pada akhirnya ketua angkatan yang angkat bicara membantu masalah personal ini. Berapa menit kemudian, ada seseorang yang mengabariku pesan secara pribadi.

“Nando, kelompok gue kurang satu nih.” Dia seorang tanpa nama dan tanpa foto.
“Maaf, ini siapa ya?” Balasku.

Dia mengetik...

“Yoshi.”

Oh, Yoshi. Perempuan sepertinya. Aku harus mengingat keras satu perempuan bernama Yoshi yang ada di antara hampir seratus mahasiswa di angkatanku sendiri. Harusnya aku pernah membaca nama itu di daftar absen.

Yoshi yang... yang... Yasudah, aku menyerah. Tanya saja.

“Yoshi yang mana ya?”
“Yah. Makanya ikut ospeknya rajin dong.” Dia meledek.

Yoshi mengetik lagi...

“Yoshi yang kurus sipit. Inget?”
“Oh, yang itu...”
“Iya yang cina. Bilang aja sih haha.”

Maksudnya tadi aku mau bilang yang putih tinggi. Atau juga yang suka bawa tas mirip ibu-ibu ketika belanja ke Mall. Tapi interpretasi dia beda rupanya.

Kusimpan dulu nomor Yoshi dalam daftar kontak. Ini sungguh perkembangan yang bagus aku punya satu orang teman baru setelah sebulan tersepi dalam keramaian.

Aku kemudian bertanya sekali lagi tentang ketersediaan kapasitas anggota kelompoknya. Beruntung kali ini benar-benar ada yang menerimaku. Satu slot kosong itu harus kumanfaatkan baik-baik. Maka, aku lontarkan janji hebat bahwa aku akan megerjakan porsi tugas dengan sebaik-sebaiknya.

Yoshi adalah ketua kelompok. Selain dia, dua orang lainnya adalah Yuli dan Gina. Semuanya belum pernah aku ajak berbicara, bahkan lupa bentukannya. Sampai di titik ini, rupanya aku menyadari bahwa ternyata masih sejauh itu aku punya jarak dengan teman-teman satu angkatan.

Usai kelas kalkulus, Yoshi menghampiriku. Kami berdua menyingkir dari deretan bangku berlipat meja, lalu berjalan pelan ke luar kelas. Hari ini angkatan kami bisa agak santai karena sekarang hanya tersisa istirahat siang dan tidak ada kelas lagi. Tapi aku masih berburu waktu.


Yoshi

“Yoshi, tugasnya gue kirim lewat email nanti sore ya.” Balasku.

Aku memang harus buru-buru. Ketiadaan laptop harus membuatku rutin berkunjung ke jejeran komputer dan koneksi internet gratis di perpustakaan. Lucunya, sebulan lebih di sana membuatku lebih mengenali Bu Wati dan Pak Setyo penjaga perpustakaan dibanding kawan-kawan angkatan.

Kalau Yoshi sekarang bertanya, aku bisa beritahu kalau Bu Wati dan Pak Setyo bukan suami istri. Mereka berdua pun sudah punya anak masing-masing dua ekor. Aku bahkan hampir bisa menghafal rutinitas beliau-beliau di jam tertentu. Biasanya, Bu Wati datang dengan sebungkus penuh gorengan dan teh manis panas. Jam sepuluh, Pak Setyo selalu tak tahan harus ke toilet karena kedinginan di ruangan.

Satu-satunya penghambat aku untuk benar-benar menjadi intim dengan Bu Wati dan Pak Setyo adalah karena jadwalku datang ke sini tidak teratur.

“Ya kalo tugas harus dikumpulin lah. Tapi ntar malem aja, sekalian dirapihin bareng-bareng ya.”

Aku mengernyit. Bu Wati dan Pak Setyo pamit dari dalam imajinasiku.

“Malam ya?” Tanyaku.
“Kenapa? Takut dicariin mama?” Kata Yoshi.

Aku tahu betul itu pertanyaan bermakna sarkasme. Sedikit-sedikit aku mulai belajar perihal gaya bicara orang-orang kota. Kasar betul. Setidaknya banyak umpatan tak penting yang sering kudengar dari mulut sebagian besar manusia di sini.

Meski begitu, masih ada sekelompok orang yang masih bisa menyimpan kata-kata kasarnya di balik lidah. Mereka itu berasal dari kumpulan yang memakai jilbab lebar dan celana bahan di balik rok bahan. Tapi mereka justru lebih jauh lagi untuk bisa diajak bersosialisasi. Kalau di kelas, mereka biasanya duduk di ujung kiri atau kanan dan membentuk lingkarannya sendiri.

“Gue anak rantau. Siapa yang mau nyari.” Aku tertawa tipis, mengikuti gaya bicara Yoshi.
“Mantap. Nanti nugas di aparnya Gina ya.”

Aku diam mencerna.

“Alat pemadam api ringan?”
“Apartemen, Dodol.”
“Ya.. bercanda sedikit lah.” Balasku.
“Yang di seberang kampus ya. Gedung 2.” Yoshi serius lagi.

Pelan-pelan Yoshi mulai berjalan ke arah yang berbeda denganku. Percakapan ini hampir berakhir secara alami. Memang harusnya begitu.

“Eh, Jam berapa nanti?” Aku memanggil lagi.
“Tujuh. Udah dulu ya, Daah!” Yoshi menghilang ke balik tembok.

Ah, sialnya aku baru ingat jadwalku setelah Yoshi pergi. Hari ini hari Kamis. Sekarang jadwal konsultasi rutinku dengan dokter spesialis gangguan tidur. Apa boleh buat, tugas kuliah lebih prioritas. Jadi, aku membatalkan konsultasi malam ini melalui chat kepada sang dokter.

Aku sekarang berjalan dengan terburu-buru. Makan siang bahkan aku lewati atas alasan tugas maha besar. Kalau aku bisa mengerjakan tugas dua jam. Maka, kewajiban itu bisa tuntas sebelum jam 3 sore. Setelah itu, ada waktu empat jam lagi sebelum aku harus pergi ke apartemen milik Gina.

Bertemu Niken mungkin menjadi isian waktu luang yang bagus.

“Nando!”

Ada yang memanggil lagi. Suara ini bukan suaranya Yoshi. Jadi, aku tolah-toleh mencari sumber suara.

“Nando, sini!”

Asal suara itu dari bangku semen permanen di satu sudut rumput-rumputan. Di sana sedang berkumpul orang-orang yang sekiranya bertanggung jawab atas angkatan kami. Ada ketua angkatan juga di sana, Beni, yang tadi pagi turut bersuara membantuku mencarikan kelompok.

“Kemari lah, bray.” Kata sang ketua angkatan.
“Kok bray. Uda dong, kan Nando anak Padang itu.” Kata laki-laki yang lain.
“Kenapa nih ramai-ramai?” Itu caraku menyapa balik.

Itu yang berkumpul siapa saja namanya ya? Sial, aku sepertinya perlu tambahan pelajaran supaya bisa mengenali kawan-kawan selain ketua angkatan. Ditambah aku baru kenal pula Yoshi sejak tadi pagi.

Di tengah-tengah lingkaran yang mereka buat. Ada secarik kertas yang tercorat-coret dengan banyak kata dan urutan nomor. Kutebak mereka sedang ada kegiatan super penting dan harus segera didata pesertanya.

“Bisa main voli gak?” Tanya Beni.
“Ngg... gak yakin sih.” Aku membalas ragu.

Aku jarang olahraga selain lari pagi. Aku pun ragu bisa bermain olahraga yang lain lagi.

“Kurang orang nih. Ayo deh, ikut ikut aja ya.” Beni membujuk.
“Duh, kalo olahraga gue cuma lari doang paling, Ben. Ntar kalah gimana.” Kataku.
“Gak apa-apa, lah.”

Dari lubuk hati terdalam, aku tetap ragu. Tapi akan sangat tidak enak kalau menolak. Beni sudah membantuku tadi pagi, setidaknya aku harus membalas hal baik juga padanya. Tapi harus bukan dengan olahraga. Harus dengan hal lain.

“Ada yang lain gak? Main gitar gitu?” Kataku.
“Kalo band tadi udah ada gengnya Anwar.” Balas Beni, sambil menunjuk orang yang kutebak Anwar.

Beni bingung. Kawan-kawan yang lain tidak kalah bingungnya. Aku pun tak tega, tapi mau bagaimana. Aku jarang bermain permainan bola bola besar.

“Eh, kan yang kategori solo atau duet ada, Bego.” Kata kawan laki-laki yang lain.
“OH IYAAA!” Beni sumringah.

Kemudian, Beni memeriksa lagi kekosongan jatah di bagian menyanyi solo atau duet. Di sana benar-benar kosong. Malah tadinya, menurut Beni sendiri, kelompok sepermainannya Anwar yang terpaksa menyanyi di dua kategori. Beruntung ada aku, katanya, jadi bisa bagi-bagi porsi.

Aku disangsikan bisa menyanyi, sebenarnya. Tapi kebetulan ada gitar yang sedang dibawa-bawa Anwar untuk pergaulan mereka. Aku akhirnya berani bermain sedikit di kunci dasar dengan petikan yang melenting.

"Ppa ya.. Oh, ini, Pulanglah Uda." Kataku pelan, untuk diri sendiri.

Apalagi kalau bukan lagu daerah yang aku nyanyikan, lagipula itu paling terkenal sejak tahun 90an. Mulai dari nada-nada rendah di intro, kulewatkan nada tinggi bait pertama supaya ekskalasinya bagus. Sebentar sku serasa kembali ke dusun saat memejamkan mata. Semua orang masih membiarkanku mendendangkan lirik yang tidak mereka mengerti. Semoga saja nadaku nyaman untuk koklea orang-orang.

MALANGNYO BADAN, CINTO DIGANTUANG INDAK BATALIII~~

Teriakanku tak kalah melirih ketika akhir reff.

“Wah gila sih!!” Respon siapa itu.
“Udah, Do. Udah. Fix lah ya!” Respon yang lain lagi.
"Gak mau kena spoiler, ah, gue." Candaan yang lain lagi.

Aku tawarkan dulu kepada mereka untuk bernyanyi lagu populer. Tapi tidak usah, katanya. Salah satu dari kawanan mereka itu bilang cengkokku khas orang Sumatra, tapi bukan batak. Tidak ada hubungan antara cengkok khas dengan tawaranku menyanyikan lagu populer, memang, tapi biar lah kalau mereka kagum.

Aku hanya mengiyakan. Bukan aku juga yang menilai indah tidaknya suatu suara. Menyanyi buatku sejak dulu hanya untuk mengisi waktu luang di kala malas membaca buku dan masuk hutan.

“Gue tulis nih ya.. Naan-Doo..” Beni menulis di kertas.

Dengan hadirnya diriku dalam perlombaan antar jurusan, lepaslah sedikit kekhawatiran mereka soal partisipasi angkatan. Di akhir perbincangan, aku memberanikan diri mengenal ulang nama semua laki-laki di lingkaran ini.

Ada Beni sudah aku kenal. Ada Anwar pemilik gitar. Ada Hendra pernah kutanya kemarin di kelas. Sisanya mengenalkan diri sebagai, Zakaria, Dedi, Hari, dan Agus. Beberapa di antara mereka sepertinya punya nama panggilan yang lain. Termasuk Hendra yang kalau tidak salah menjadi Eda. Lebih konyol lagi buatku saat Zakaria dipanggil menjadi Jamet.

Usai berkenalan, waktunya aku melanjutkan keburu-buruanku menuju zona komputer gratis.

“Do, jangan lupa mulai latihan jam 4 ntar ya!” Beni teriak saat aku sudah jauh.

Jam empat kalau tidak salah aku memang punya waktu kosong. Berarti tidak jadi meminta bertemu dengan Niken hari ini.

“Oke!” Aku mengangkat jari jempol tinggi-tinggi.

BERSAMBUNG
 
Thx updatenya om

Woo... Ketemu Eda dan Jamet akhirnya...
Ketemu Hari juga gak?
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd