Episode 2
Ular Apa?
2 0 0 2
Membaca adalah jendela dunia. Itu kata pepatah lama. Kamu bisa melihat segala isi dunia, bumi, semesta, galaksi lain, dimensi lain, dan apapun yang lain dari membaca. Sayangnya, aku sudah terlanjur suka membaca buku tanpa perlu dinasehati pepatah seperti itu.
Buku pertamaku adalah buku bergambar untuk anak-anak. Kisah-kisah yang bersangkutan dengan agama itulah yang wajib dibaca anak-anak dusun kami. Setelah dibaca, lalu dilaporkan ke
datuak di surau selepas maghrib. Ada rapor yang perlu ditandai setelahnya.
Ketertarikanku soal membaca makin menyeruak ketika bapak mulai mengizinkan aku membuka-buka lemari buku miliknya. Kata bapak, itulah buku-buku pemberian om berewok selama bapak merantau ke Jawa sekian belas tahun lalu. Buku-buku bapak tidak banyak gambar dan lebih banyak tulisan, jadi aku tertantang untuk bisa membaca.
Waktu itu ada buku besar dengan sampul berwarna mayoritas biru. Judulnya Kepulauan Nusantara. Penulisnya tertulis besar-besar bernama Alfred Russel Wallace. Itulah titik pertamaku mau bisa membaca.
“Yakin kau mau belajar membaca sekarang?” Bapak bergurau.
“Yakin!” Jawabku mantap.
Sejak itu, bapak suka pulang lebih awal dari ladang atau dari mana. Semua demi mengajariku membaca dan menulis sebelum waktunya matahari turun lagi ke arah barat. Seperi kemarin-kemarin.
Sampai suatu hari, bapak pergi di hari minggu untuk ke balai. Kemudian, bapak kembali bersama tiga poster yang akhirnya tertempel di dinding rumah, di dekat televisi. Ada satu poster alfabet, satu poster bahasa arab, dan satu lagi poster nama sayur-sayuran.
Dua bulan kurang, katanya, aku sudah mahir mengeja huruf. Sebulan kemudian, sudah lewat pula masa mengejaku. Tepat di bulan saat aku didaftarkan sekolah dasar, aku bisa membaca dan menulis lancar sekali. Aku menjadi perhatian satu orang dusun sekaligus menjadi bahan iri mereka untuk anak-anaknya.
Wali kelas saat itu juga bangga. Tapi lambat laun beliau sepertinya kerepotan. Aku terus meminta buku-buku bacaan yang harusnya dibaca anak kelas empat. Kegembiraan menyertaiku setelah bisa membaca. Banyak hal untukku mengisi waktu luang saat kawan-kawan masih menulis huruf A besar dan kecil sebanyak satu halaman.
---
Tidak banyak yang tau, kecuali bapak, bahwa aku memerhatikan poster sayur-mayur dengan seksama setiap harinya. Bersama buku-buku dari kelas empat itu, aku semakin penasaran dengan yang namanya ilmu pengetahuan alam.
Lama-lama aku merasa tidak cukup dengan tulisan. Maka, hampir setiap hari aku pergi ke ladang hingga ke pintu rimba. Kadang, aku juga berani menerobos hujan kalau sedang tidak ada angin kencang.
“Hoi, Nando!
Hendak kamano??!” Ada suara memanggil.
Aku menoleh ke sumber suara yang serak itu. Beliau yang memanggil rupanya
datuak, sang kepala dusun. Kepala
datuak menyembul dari jendela rumah panjang miliknya. Sebagian rumahnya itu sudah direnovasi menjadi semen dan sebagian lagi masih berupa kayu.
Di bawah rumah beliau banyak sekali ayam. Beliau itu memang suka menjual ayam di balai, maka uangnya selalu banyak untuk memberi jajan anaknya yang enam orang. Padahal umurnya terlalu tua untuk punya anak yang mayoritas masih sekolah.
Anak pertamanya sering kupanggil
Uda Mirza.
Uda Mirza satu-satunya anak
datuak yang sudah merantau ke Bukittinggi. Itulah satu-satunya kota besar yang menjadi tujuan merantau umat dusun kami. Tidak menyeberang ke Jawa, bahkan tidak pindah
nagari, karena sebagian besar orang masih punya saudara di sana. Jadi, tidak perlu takut kelaparan ketika tidak punya uang.
Anak terakhir
datuak itu satu kelas denganku. Novia panggilannya. Sama juga seperti anak-anak yang lain, dia dilarang untuk sering-sering main denganku. Anjuran itu pasti disuruh ibunya, atau bapaknya, atau kedua-duanya.
“
Ka ladang!” Aku teriak dari jalan.
Tak perlu malu untuk teriak, karena sebenarnya kami bukan teriak. Beginilah budaya kami orang-orang pulau Sumatra, kata beberapa orang tua yang kucuri dengar. Tapi untuk yang satu ini aku sengaja berteriak karena tidak mau lama-lama terhenti oleh
datuak.
Bapak kepala dusun yang satu itu sudah sering menyapaku sejak pulang dari Jawa tahun lalu. Tapi aneh rasanya. Aku punya perasaan tidak enak dari perilaku orang-orang dusun setelah dari Jawa itu.
Lalu, kuabaikan
datuak.
Di ladang, aku selalu mengingat-ingat apa yang kupelajari dari poster sayur. Selain itu, ada juga informasi yang aku peroleh dari buku-buku sekolah. Maka, kucari tumbuhan-tumbuhan mana saja yang bentuknya sama seperti di semua gambar. Aku menggali tanah untuk melihat seperti apa bentuk kentang yang masih ditumbuhi daun-daun. Aku membongkar kembang kol untuk mencari tau kenapa kembang kol tidak seperti kembang lainnya.
Pada hari lain, aku belajar tentang hewan-hewan. Burung, cacing, capung, sampai tupai. Semuanya aku cari supaya bisa melihat bentuk asli mereka. Tapi nyatanya yang satu ini sulit, karena mereka cepat kabur segera setelah kedipan pertama. Kecuali cacing, tapi cacing membosankan.
Butuh berhari-hari buatku untuk bisa membedakan jenis kupu-kupu dari warna-warna sayapnya yang mirip. Butuh satu minggu lebih untuk terbiasa membedakan warna bulu burung yang sedang terbang di atas kepala. Bahkan, butuh hampir satu bulan untuk mencari sarang seekor bajing.
“Nando! Nak!” Itu suara
datuak lagi.
Aku sedang mengamati bajing yang sedang makan buah ketika kepala dusun datang menghampiri sambil berteriak-teriak. Alhasil, bajing itu lari ke pucuk-pucuk pohon paling atas. Dia melompat dari satu pohon ke pohon yang lain hingga akhirnya menghilang dari pandanganku.
Aku menggerutu. Kenapa
datuak ke sini. Apa urusannya.
“Yaaah.
Apo pulo Datuak ni. Lari lah bajing tu, ha.”
Aku kesal, jadi kusalahkan kepala dusun tua itu karena menganggu pengamatanku semau-maunya. Tapi, karena
datuak orang tua, beliau langsung memarahi balik diriku dengan alasan macam-macam. Awalnya, aku dimarahi akibat pulang sekolah langsung pergi main tanpa ganti baju. Tadi, berubah alasan lagi karena aku berada di depan pintu rimba sendirian.
Aku sudah sering sendirian di pintu rimba. Bahkan aku pernah satu kali masuk ke dalam hutan sana saat kawan-kawan bapak pergi berkunjung. Kalau dibandingkan, memangnya
datuak sudah sebanyak apa masuk ke dalam hutan. Aku yakin beliau masih kalah sering menjelajah dibanding bapak.
“Pulang!” Bentak
datuak.
Itulah tipikal orang tua. Kalau orang tua sudah marah, apa bisa dikata. Sebaiknya memang aku menyudahi jelajah hari ini.
Sesampainya di rumah, terjadi debat antara
datuak dan bapak. Seorang kepala dusun dan orang cerdik pandai beradu mulut. Ini pertama kalinya pula aku melihat bapak tidak mau berdamai setelah tiga atau empat kalimat.
“Tau anak
wa’ang main ke pintu rimba hampir setiap hari, tapi
idak dilarang. Orang tua macam
apo,
wa’ang, ha?!” Hardik
datuak
Bapak jadi ikut marah karena dibilang tidak becus mendidik anak.
“Nando itu anak
awak!
Awak paham
caronyo!” Bapak membela diri.
“Lalu, Nando kena sakit ayan itu karena
wa’ang pandai
mandidik?!”
Ayan. Epilepsi.
Bapak pernah bilang bahwa epilepsi yang kualami di tanah Jawa itu di luar dugaan. Kata Mak Etek pun, tidak ada riwayat penyakit epilepsi sejak aku lahir. Penyakit itu murni muncul sekali-sekalinya hanya saat di Kebun Raya Bogor tahun lalu. Selanjutnya, aku sehat-sehat saja.
Siapa yang tau juga penyakit epilepsi bisa terjadi bersama-sama terhadap aku dan Niken. Lagipula antara bapak dan om berewok tidak ada yang mempermasalahkan kejadian waktu itu. Sayangnya, kabar apapun pastilah jadi heboh ketika masuk dusun.
“Nando sehat sampai sekarang!
Idak ado masalah!” Bela bapak lagi.
“
Wa’ang harus tau, itu penyakit dari penunggu pohon! Datangnya dari iblis!” Bentak
datuak.
Aku diam menelan bulat-bulat banyak kalimat
datuak yang masuk ke dalam telinga. Selain kata iblis barusan, semua kata-kata
datuak berisi penghinaan kepada bapak, seorang cerdik pandai. Padahal, bapaklah orang pertama dari dusun yang berani merantau ke Jawa. Bapaklah yang kembali pulang ke dusun membawa pengetahuan dan perubahan bagi dusun supaya adatnya mau terbuka dengan dunia luar.
“
Datuak memang tidak suka dengan bapak, Nando.
Idak usah didengarkan.” Mak Etek berbisik.
Aku menoleh sebentar.
“Lain kali kalau hendak pergi ke luar, minta temani Mak Etek atau bapak.” Begitu pesan Mak Etek.
Perdebatan hari itu akhirnya berakhir karena suara panggilan istri sang
datuak. Sepertinya sang istri malu karena kelakuan pemimpin dusun. Itu tampak dari kedua kulit pipinya yang turun pertanda murung. Apalagi, di luar rumah semakin banyak orang yang berkumpul.
Aku masih tidak terima dengan cercaan
datuak kepada bapak. Sampai malam, masih banyak kata-katanya yang tak mau hilang dari dalam kepalaku. Sampai-sampai, aku tak selera untuk membaca buku seperti biasanya.
Malam itu pulalah aku putuskan untuk tidak menyukai
datuak. Semua yang berhubungan dengan bapak tua itu tidak boleh aku tanggapi sebagai bentuk protes. Lagipula aku sudah biasa hidup tanpa kawan. Novia bukan pula kawanku.
---
Hari-hari berikutnya, aku tetap pergi ke pintu rimba. Tapi, kali ini selalu ditemani bapak, atau kadang aku lari sendirian akibat rasa penasaran yang tak bisa ditahan. Saat sendirian itu, aku lebih memilih ambil jalan memutar melewati ladang cabai Mak Tuo Sulo di dekat sungai. Itu supaya aku tidak melewati rumah sang kepala dusun.
Awalnya, aku cukup khawatir karena ternyata Novia suka bermain masak-masakan dengan kawan-kawannya di sana, di atas batu
gadang. Aku sempat curiga dia akan melapor kepada orang tuanya yang berujung perdebatan orang tua kami lagi. Tapi, seiring berjalannya hari, kehawatiranku tak berguna.
Sampai pada hari Minggu waktu itu.
Aku mengabaikan acara televisi pagi-pagi yang harusnya diminati setiap anak-anak. Kartun itu memang lucu, menghibur, tapi buatku tidak menambah wawasan sama sekali. Tapi, bapak sedang mencuci dan Mak Etek sedang belanja ke balai. Jadi aku kembali pergi ke pintu rimba sendirian.
Targetku di pintu rimba hari ini adalah mencari telur burung mandar.
Aku lewat ladang cabai Mak Tuo lagi. Seperti dugaan, ada Novia di sana, tapi sendirian. Aku melihatnya, dan dia melihatku. Mungkin teman-temannya masih asik menonton kartun di tivi tabung mereka masing-masing.
Andai saja bapakku tidak berani berpesan kepada pemerintah daerah sini, bisa jadi dusun kami belum dialiri listrik.
Datuak pun mana terpikir untuk hal semacam itu. Aku yakin di kepalanya hanya dipenuhi beternak ayam kampung dan hal-hal mistis lainnya.
Aku biarkan Novia sendirian. Menyapanya pun tidak. Ini kulakukan karena prinsipku yang sudah tak mau berurusan dengan
datuak dan semua sanak saudaranya. Serta juga karena teman sepermainan yang berlawanan jenis sangat tidak wajar di dusun.
Lepas dari ladang cabai, aku terus menyusuri jalur setapak yang semakin padat semaknya. Jalan setapaknya hampir tidak terlihat karena rumput makin tumbuh tinggi di tengah-tengah. Kupu-kupu sedang banyak beterbangan di atas bunga-bunga yang warnanya merah itu karena semalam sudah hujan.
“Nandooo! Tungguuu!” Ada suara anak perempuan dari belakangku.
Itu suara Novia, aku kenal suara beratnya. Suaranya hampir seperti Mak Tuo yang hobinya merokok itu, tapi suara Novia tidak serak kalau didengar.
Kuperhatikan ke jalan setapak arah aku datang tadi. Dari balik semak rapat muncul lah dia, bocah perempuan bernama Novia. Kenapa pula dia harus mengikutiku?
“
Kenapo ikut awak? Pulang lah!” Aku kesal.
“Ikut.” Dia meminta.
“Pulang!” Kataku lagi, makin kesal.
“
Awak ikut lah. Atau
awak laporkan ke bapak.”
Bapak dan anak sama saja. Sama licik dan berbahaya mulutnya.
Terpaksa aku ajak Novia ikut denganku. Petualanganku di pintu rimba hari ini harus kubatasi jadinya. Kalau dia kena semak gatal, akulah juga yang repot nantinya. Apalagi kalau sampai bertemu ular.
“Cari
apo kau sendirian
ni?” Novia sudah mulai bawel.
“Berisik.” Balasku singkat.
“Mau
awak laporkan bapak?”
Pantek! Kalau saja aku tidak harus menjaganya. Kutinggalkan Novia sendiri di sini.
Kujelaskanlah hal-hal yang kupelajari di hutan, tentang kentang, kembang kol, kupu-kupu, burung, hingga bajing. Segala sesuatu yang menakutkan untuk dialami anak umur enam tahun juga kuceritakan supaya Novia takut. Supaya Novia mau pulang cepat-cepat.
“Kenapa
idak main dengan kawan-kawan?” Novia malah bertanya terus.
Pikirlah sendiri kenapa aku tidak main dengan mereka, dengan kamu. Itu kataku dalam hati.
“Kau kenapa
idak main dengan kawan-kawan?” Kutanya balik.
“Asik dengan kartun
lah mereka
tu.”
Benar, kan. Kartun.
Pintu rimba sudah dekat. Tapi, sesaat waktu berjalan, aku melihat ada semak yang bergoyang dengan cara tidak wajar di sebelah kiriku. Ada gerakannya yang memanjang dan lama. Sayangnya, aku tidak bisa melihat apa penyebabnya meski jarakku dan semak itu sangat dekat. Maka, kuhentikan langkahku dan Novia untuk mencari tau apa itu.
Aku yakin ini bukan bunglon, karena tidak ada bunglon yang nampak. Bukan juga...
“IH! IH!” Novia teriak.
Itu dia! Akhirnya aku melihat makhluk itu. Matanya kuning dengan garis hitam yang mendatar. Tubuhnya panjang, kecil, dan hijau, bergerak lambat di antara batang-batang semak dan daunnya. Itu ular. Itu ular... apa namanya?
“IH!! NANDOO, AYO PULANG!” Novia mulai ngeri sendiri.
Hasratku seketika bercabang. Di satu sisi aku gembira Novia minta pulang. Tapi hati nuraniku berkata untuk mengamati makhluk itu lebih teliti. Sepertinya ular yang satu ini tidak berbahaya karena dia kecil. Ukuran badannya hanya sebesar jari telunjukku.
Aku memilih dengan sangat instan untuk tidak mengabulkan permintan Novia. Lebih aman kusuruh dia ke belakangku. Lalu, aku bisa dengan mudah menangkap ular itu. Inilah ular pertama yang akan kutangkap dengan tangan sendiri.
“Hati-hati...” Novia ketakutan.
Aku pernah membaca di bukunya bapak, kalau menangkap ular, peganglah kepalanya. Selain piton dengan ukuran kepala sebesar telapak tangan, maka dia tidak akan bisa memakan manusia.
Ular itu sadar dengan keberadaan kami, lalu dia bergerak menjauh dengan lambat. Aku bisa mengikutinya ke semak yang makin rapat. Sebelum kehilangan, kutarik badannya ular itu supaya mendekat. Supaya aku bisa melihat kepala dan matanya lagi. Lalu, kini kepalaku dan luar itu berhadap-hadapan. Inilah dia, leher ular itu membentuk huruf S pertanda ingin menyerang. Aku sepenuhnya siap dengan tangan kananku.
Kudorong tanganku ke depan...
“NANDO!!” Novia teriak.
Aku kaget gara-gara Novia. akibatnya tanganku meleset dari kepala ular itu. Seketika pangkal jari jempolku digigitnya. Sakitnya seperti ditusuk beberapa jarum pentul bersamaan. Perih. Untungnya hanya gigitan yang sebentar sampai ular itu lepas lagi.
Kali ini kubiarkan ular itu pergi supaya aku bisa melihat tanganku yang mengeluarkan darah. Aku tidak menangis. Hebat. Cuma, Novia dari tadi masih panik.
“Itu berdarah! Ayo pulang Nando!”
Apa yang harus kulakukan? Ayo ingat-ingat buku bapak... Tadi ular itu tidak membelit saat aku digigit. Berarti.. itu ular berbisa?
Tenang, aku ini bukan anak cengeng. Apa lagi yang aku pernah baca dari buku-buku bapak? Gigitan ular? Apakah berbahaya? Berbahaya? Aku bisa mati kalau begitu?
“Nando! Ayo pulang!” Itu suara Novia yang aku abaikan.
Novia mulai menarik-narik tanganku untuk cepat pergi dari tempat ini. Tapi, badanku rasanya jadi panas... Pandanganku memutih... Aduh, ini sudah lama, jangan lagi...
---
Tempat putih ini. Sudah setahun aku tidak di sini sejak aku serangan epilepsi tahun lalu. Itu pun hanya sebentar.
Tempat ini antah berantah. Rasanya asing sekali meski sudah pernah kukunjungi satu kali. Kulihat badanku. Aku kembali jadi orang dewasa dan telanjang. Maka, aku panik seperti pertama kalinya aku di sini. Pelan-pelan kucoba supaya bisa berpikir benar.
Dimana ada baju untuk bisa kupakai? Dulu ada orang lain di sini. Seorang perempuan besar, perempuan dewasa. Siapa dia? Di mana dia? Apa yang kupikirkan? Apakah mencari baju atau mencari perempuan duluan?
Tempat antah berantah ini pelan-pelan jadi berwarna. Warna hijau muncul pertama kali, dominan dan buram. Lebih penting lagi, aku sekarang mendadak mengenakan pakaian serba putih. Kemeja tak bermotif, celana panjang, sepatu pantofel formal, semuanya putih diantara warna latar hijau buram dan dominan.
“Kau kenal Nando, kah?” Ada suara menggema.
“
Idak. Ibu
awak melarang main dengan dia.” Balasan suara yang lain.
Aku berbalik badan. Kini tempat antah berantah sepenuhnya berubah. Warna hijau tadi sudah menjadi warna macam-macam. Aku kenal tempat ini. Ini ladang cabai yang sering menjadi jalan pintasku untuk ke pintu rimba.
Kenapa aku di sini? Siapa itu beramai-ramai? Itu anak perempuan semua? Aku sepertinya agak kenal? Mungkinkah? Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku menapak mendekati mereka. Kuharap mereka bisa melihatku. Tapi sayangnya tidak. Percakapan mereka terus saja berlanjut.
Dari dekat, keempat gadis kecil itu akhirnya kukenali semua, karena mereka adalah teman sekelasku, termasuk Novia di antaranya. Mereka asik bermain masak-masak di atas batu
gadang. Rerumputan, air, dan daun-daun lainnya dicampur jadi satu hingga hancur. Berpura-puralah campuran daun yang mereka hancurkan itu menjadi sajian yang enak.
Pertanyaan terus bertambah dalam kepalaku tanpa terpenuhi jawabannya. Kenapa mereka masih kecil sementara aku sudah besar? Kenapa aku sudah kembali di sini? Bukannya tadi aku bersama Novia di dekat pintu rimba?
“Kau suka Nando, kan.” Ledek teman-teman Novia.
“
Indak.” Bantah Novia.
“
Iyo.” Balas mereka.
“
Indak!”
Novia suka padaku? Pada diriku yang kecil dan tak punya kawan itu? Tapi dia terus menolak kalau dibilang suka padaku, kan.
Tunggu, itu hanya obrolan kosong anak kecil. Lupakan saja kalau begitu.
“Nando.” Ada suara lain.
Aku berpaling ke arah lain. Tiba-tiba muncul sesosok perempuan yang sama dewasanya denganku dari kekosongan udara. Dia berjalan dengan langkahnya yang tegas di atas rerumputan pinggir ladang. Perempuan itu mendatangiku.
Dia juga bisa melihatku layaknya aku orang normal. Tapi, lihat itu, pakaiannya berwarna-warna dengan motif yang menarik. Bajunya bagus, celananya bagus. Sepertinya itu model pakaian orang kota, bukan pakaian orang-orang dusun.
“Kita pernah ketemu, ya kan?” Katanya.
Aku sibuk mencerna informasi yang masuk secara beruntun. Gaya bicara perempuan dewasa ini sangat sopan. Sangat... Dewasa.
“Aku udah cari kamu dua tahun ini.” Katanya lagi.
“Kenapa bisa...”
“Kita sempat pegangan tangan sebelum difoto. Setelah itu kita bangun di puskesmas dekat rumah.”
Oh, Tuhan, dia... Niken? Dia betulan Niken? Niken anaknya om berewok?
Niken kan tinggalnya di Bogor. Jauh sekali dari sini...
Aku menoleh ke belakang, ada Novia kecil dan teman-temannya sedang bermain masak-masak. Aku menoleh kembali ke depan, ada Niken yang sudah sama besarnya denganku, sudah sama-sama dewasa. Padahal harusnya kami berdua juga masih kecil, kan?
“Tahun berapa sekarang??!” Aku panik!
“Harusnya bukan itu yang kamu tanya.” Balas Niken.
“Apa...”
“Aku akan ajarin kamu. Fantasi yang terjadi dalam kepala kamu.” Jawab Niken lagi.
Niken sudah ada tepat di depan wajahku. Jari telunjuknya seketika menyentil keningku bersamaan saat dia menunjukkan lokasi kami sekarang. Di kepalaku, begitu?
Niken dewasa lantas menyentuh badanku dengan badannya. Sebuah dekapan erat seorang lawan jenis sedang menimpa diriku. Bukan Mak Etek yang memelukku, dan bukan siapa-siapa juga dalam anggota keluarga bapak.
Astaga.
Niken
BERSAMBUNG