Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY neoKORTEKS

Episode 14
Racun Petrikor


Gina

Petrikor adalah candu. Tidak terkecuali untuk semua manusia. Konon, harum ini ditemukan tahun 1960an. Petrikor awalnya berasal dari metobolisme sekunder berupa minyak dari tumbuhan, ia lalu turun ke tanah sebagai penahan perkecambahan biji di waktu yang tak tepat. Di tanah, minyak itu menyatu dengan komponen tanah dan bercampur dengan bakteri beraneka ragam.

Dari satu fungsi, kemudian punya fungsi lainnya. Petrikor dicari-cari manusia manakala hujan. Minyak tadi, ketika bertemu jatuhnya air hujan, terhempas ke udara menjadi aeorosol. Analoginya serupa dengan obat nyamuk cair. Tersebar di udara dalam bentuk bulir, tapi tidak kasat mata.

Petrikor hari ini menjadi candu banyak mahasiswa, dilihat dari terpakunya mereka di atas kaki masing-masing. Hujan jadi pengantarnya. Lalu, aku termasuk dalam orang-orang yang terpaku itu.

Sekarang sudah hampir pertengahan Desember. Dua minggu lagi pun tahun baru. Satu minggu lagi tiba waktunya libur semester. Wajar kalau banyak hujan.

“Pulang, nggak?” Suci agak teriak di sebelah kiriku.

Dia teriak karena suaranya yang biasa pasti kalah dengan suara hantaman hujan ke permukaan benda-benda.

Kemudian, aku menengok ke atas mengintip langit yang terhalang genteng. Aku agak terganggu juga karena melihat genteng itu kualitas bagus. Tapi, fokusku kembali setelah menangkap bahwa hari mulai gelap. Mungkin tiga detik lagi sudah dilanda adzan maghrib. Sayangnya, banyak mahasiswa yang masih terjebak di koridor, takut dikeroyok hujan.

Suci termasuk satu dari perempuan yang menjamur di angkatanku. Tapi aku tidak dekat dengan dia. Tidak perlu jadi dekat karena tidak ada yang penting antara aku dengan Suci. Satu daerah asal, bukan. Satu kelompok tugas, bukan. Satu kelas, juga bukan.

“Masih deras.” Kataku ke Suci.
“Gue duluan ya, Do.” Kata perempuan berkerudung seadanya itu.

Aku tersenyum tipis ke muka Suci. Maksudku padanya, itu penuh basa-basi.

“Bye.” Suci lalu meloncat-loncat di antara becekan.

Aku melihat di parkiran sana ada mobil Yoshi. Mobil itu pun sedang berjalan keluar, berarti Yoshi sudah ada di dalam mobil itu. Aku mengawang sedikit, kalau Ada Yoshi, pasti ada Yuli dan Gina juga. Tapi, cukup aku membayangkan sampai situ saja.

Aku sudah mundur dari pertemanan dengan tiga serangkai itu. Keputusan ini aku ambil setelah tugas akhir presentasi kelompok yang mengikat kami tuntas. Setelahnya, aku mengurangi intensitasku bermain dengan mereka.

Aku mengurangi intensitasku dengan Gina lebih tepatnya. Tapi, karena Gina selalu melekat dengan Yoshi dan Yuli. Jadi, ya, tiga-tiganya.

“Yoshi udah balik ya?” Suara perempuan lain terdengar mendekatiku.

Bukan Suci lagi pastinya. Kutebak Gina.

Memang Gina.

Kenapa Gina ada di sini? Harusnya dia di mobil Yoshi, kan?

Berpikir cepat, aku mengangguk sedikit. Sedikit itulah jawabanku. Lalu aku pergi dari barisan mahasiswa penunggu hujan, menantang guyuran air alam itu yang masih membatasi jarak pandang. Basah banyak tidak apa-apa. Nanti di gedung lain bisa berteduh. Nanti di kamar kost bisa ganti baju.

Aku menggerutu dengan bibir berkecap sambil ditetesi hujan. Dosa waktu itu tidak bisa diulangi lagi. Aku sudah berkhianat dengan banyak orang. Dengan Novia, apalagi.

“Enggak boleh begini."

Pertemanan wanita bertiga itu lebih labil dari yang aku duga. Gina punya kegelisahan yang hebat. Yuli punya rasa penasaran yang tinggi untuk berbuat dosa, Yoshi, meski tampak paling sehat akal, dia punya rahasia juga yang aku tidak bisa tahan lagi.

Percuma. Hanya dengan kepalaku saja tidak akan menyelesaikan masalah. Mungkin sedikit soal Gina, bisa. Tapi tidak semuanya.

“Enggak boleh begini."

---


Novia
Di kamar kost. Aku sudah berbaring tanpa ada kegiatan. Hanya ada handphone, tanpa ada televisi. Tidak usah belajar untuk UAS juga karena besok hari Sabtu.

Pesan beruntun dari Gina sudah menumpuk. Tapi, tidak perlu ada yang kubalas.

Ini waktunya menumpahkan rindu lewat telepon. Pertama, kepada bapak.

“Halo, Pak.” Salamku.
“Halo Nando. Sudah pulang jam segini?” Tanya bapak.
“Sudah, Pak.”

Aku, kemudian, bertanya banyak kepada bapak. Soal ladang, soal Mak Etek, soal pintu rimba, dan soal macam-macam. Aku cerita juga tentang tumbuhan-tumbuhan yang aku pelajari secara otodidak selama sebulan ke belakang.

Ada tumbuhan yang belakangan banyak sekali berbunga saat datang musim hujan. Sebaliknya, ada lagi tumbuhan yang nampaknya hilang saat musim hujan. Pohon-pohon buah juga tiba-tiba banyak berbunga saat musim hujan.

“Apa itu?” Tanya bapak.
“Yang mana?” Tanyaku balik.
“Pohon buah.”
“Yang lengkap bicaranya, kenapa, Pak.” Kataku.

Aku menjelaskan lagi. Pohon buah yang kumaksud adalah rambutan. Lalu, bapak tertawa. Aku dibilangnya dangkal dan luput dari hal sepele itu.

“Di sini juga ada rambutan. Kau lewat kah pelajari itu dulu? Rambutan itu memang berbunga saat masuk musim hujan. Panen buahnya nanti, 3 bulan kemudian. Bisa Desember atau Januari harusnya.” Kata bapak.

Aku berpikir. Aku harus.

“Tapi di sini November baru berbunga, Pak.” Aku membantah.
“Nah, itulah. Kau tahu pemanasan global, idak?”
“Tau lah, Pak.” Aku tak mau kalah pintar.

Aku tahu. Aku paham. Aku bahkan percaya pemanasan global itu nyata. Pemanasan global merubah pola musim sampai menjadi ambang bahaya. Yang aku tahu, bahkan dampaknya sampai merubah siklus perbungaan karena merubah periode musim. Membunuh banyak amfibi karena menurunkan kelembaban udara.

Dan ini baru sedikit. Belum lagi yang lain-lain.

Anwar pernah bilang, dia menggebu waktu itu, masih ada orang-orang yang tidak percaya kalau pemanasan global itu nyata. Atau sepertinya mereka tidak mau percaya. Biasanya, Anwar menghakimi, yang seperti itu berasal dari pengusaha industri besar karena tidak mau disalahkan.

Dari cerita Anwar, bahkan ada juga kanal televisi internasional berbayar yang menyangkal perubahan iklim nyata. Dia bilang kalau contohnya adalah apa namanya itu. Sebenarnya, aku malah tidak tahu nama-nama televisi berbayar sebelum Anwar cerita.

“TV besar itu, tapi bodoh.” Kata Anwar waktu itu.

Di kelas kalau tidak salah.

“Yasudah, kau istirahat lah.”

Bapak menyelesaikan bincang-bincang seru. Cukup seru sampai lupa waktu. Itulah ciri orang cerdik pandai, bapakku sendiri.

Orang kedua, siapa lagi yang diantre kalau bukan Novia. Sudah tiga minggu lebih kami hanya saling berkabar lewat pesan. Itu pun tidak sering karena banyak memakan pulsa nantinya.

Aku harusnya meluangkan waktu untuk Novia lebih banyak. Tapi apa daya mahasiswa, UAS menyita waktu benar-benar. Begitu juga Novia dengan kuliahnya di sana. Kami wajiblah sama-sama mengerti.

“Halo.” Kataku, berhasil lebih dulu.
“Halo.” Novia menyahut.

Barangkali Novia lupa dengan suaraku. Maka, aku tancap suara ketika terdengar bunyi gemertak dari speaker handphone. Sama seperti pelari sprint yang sudah refleksnya berlari ketika letupan pistol dibunyikan.

Suara perempuan itu masih lembut seperti saat kami SMA dulu. Pita suaranya kurasa tidak tambah menebal satu milimeterpun. Demi apapun, aku jadi ingin cepat pulang tahun baru ini.

“Kau apa kabar?” Tanyaku.
Rancak, lah.”

Jarang Novia bicara kata seperti itu. Jarang sekali. Tapi, kuanggap biasa saja sebagai adaptasi dia kampus. Sama sepertiku yang sudah terbiasa bicara kata panggilan ‘gue’ dan ‘elo’ dengan kawan-kawan di sini. Bukan masalah besar.

Kutanya tentang ceritanya di kampus. Novia bilang kalau dia sangat senang bertemu teman-teman baru. Jurusannya punya kebiasaan galak tentang masa bimbingan, tapi itu bukan kendala. Sama seperti aku di sini yang ternyata senang ada teman baru. Awalnya.

Kemudian, giliranku membicarakan tentang kawan-kawanku sebagai tanggapan yang sama tentang topik yang sama, Sayangnya, Novia punya nada bicara yang berubah. Berbeda dengan keantusiasannya yang tadi dia bangga-bangga. Kuharap bukan, tapi aku punya rasa kalau dia tidak senang.

Apalagi dia sudah tahu aku punya kawan-kawan yang kebanyakan wanita.

Masalahnya buatku juga adalah kawan-kawanku banyak yang wanita. Mereka berbahaya buatku setelah mengenal lebih dalam. Untuk itulah aku sebenarnya ingin cerita, karena Novia juga wanita, karena Novialah kesayanganku.

“Enak ya kawan-kawan di sana banyak perempuan. Siapa itu yang namanya... Gina, ya?”

Novia malah menjadi menjengkelkan.

“Nov, dengar dulu. Justru masalahnya karena itu.” Kataku memotong.
“Mau cerita apa?”

Novia ketus. Kupikir masih biasa juga, karena mungkin dia sedang mau datang bulan. Maka, aku yang harus menahan nada suara supaya tidak lama-lama semakin tinggi. Dua-duanya. Aku haruslah banyak belajar bersabar dari setiap hari.

“Aku tak tahan, lah. Gina ini punya masalah, tapi tak ada solusi. Solusi dia justru bikin masalah baru. Habis itu, aku sendiri yang harus selesaikan masalahnya. Kuhantam juga mantan pacar dia itu jadinya.”

Ceritaku dimulai dengan panjang lebar.

“Hantam gimano?” Novia terbawa.
“Apa lagi...”

Aku kemudian menghela nafas.

“Kamu berantam?” Tanya Novia, dia sepertinya agak panik.
“Bukan.” Aku masih rendah.
“Ah, itu.”

Novia paham maksudku. Kuceritakan tentang kisah menghantam laki-laki bernama Alvin di basement apartemen Gina. Tengah malam, saat itu aku pura-pura bertabrakan tidak sengaja. Kami saling lihat, kemudian kupaksa kami sama-sama terkapar tidur di lantai seperti orang epilepsi. Itu terjadi setelah kupegang jidatnya. Mudah, karena ini kemampuan yang baru saja selesai aku kendalikan atas bimbingan Dokter Syarief.

Saat itu, kuakses banyak-banyak ingatan di mana saja laki-laki ini punya rahasia yang diapakai untuk mengancam Gina. Tidak sulit, justru kudapat juga serasah ingatan-ingatan dia dengan banyak perempuan. Amunisi besar untuk melawan balik.

Akhirnya, akses handphone, laptop, email, dan segala macam bentuk penyimpanan yang dia punya sudah terbongkar. Kemudian, dengan kemampuan tambahan lainnya, mimpi ke dalam mimpi, kutekuk alam bawah sadarnya untuk kulecehkan balik.

Mukanya, kuingat sekali, pucat kebingungan sedang di mana. Itu karena kulempar dia ke bentang alam tepi tebing Gunung Singgalang. Matanya melebar ketakutan saat menatap curam ke dalam lembah yang jauh di bawah.

“Lo berani lagi ke Gina, lo jatuh dari sini! Gue punya akses ke semua media sosial elo. Email, instagram, kunci handphone, password semua sama. Ya, kan, hah?! Angka 4 di depan -----laporin post ini ke mod----- A, bla bla bla.”

Tak pernah aku semarah itu. Inilah perwujudan akumulasi akibat kegilaan Gina.

“Ampun, ampun!” Dia merengek.

Dia tidak tahu ini mimpi. Bagi Alvin, ini semua sama nyatanya seperti ini dia sedang berlomba menuju puncak birahi. Dengan Johanne, dengan Mei, dengan Salsabila, dengan siapa saja perempuan yang aku mendadak kenal nama mereka. Lambat, cepat, sadis, di atas, di bawah, di samping, berdiri, duduk, di kamar, di kamar mandi, di mobil, di dalam kelas. Sudah seperti bintang film porno.

Ujung-ujung syaraf sensoriknya memberi stimulasi yang sama ketika terhembus angin dingin. Kulitnya meremang dan rambut-rambut halus itu tegak. Pasti hormon adrenalinnya juga diproduksi lebih banyak, menyebabkan detak jantung menjadi semakin banyak per menit.

Akulah raja, yang punya kendali dalam kepala Alvin.

“Lo akan hapus semua video dan gambar-gambar itu, atau lo mati sekarang juga!”
“Oke.. o..ke..”

Sebagai penyempurna. Kubentuk badanku sebesar yang mungkin manusia bisa, untuk menunjukkan superioritas. Otot besar dan beberapa pukulan. Dijamin akan terkenang selamanya meski berasal dari mimpi. Mukaku juga akan jadi seram buat dia setelah ini.

Begitulah kami berdua akhirnya bangun. Alvin mandi keringat, padahal lantai lantai basement malam itu dingin luar biasa. Hebatnya lagi, tidur kejut yang terjadi barusan tidak lebih dari dua menit.

“Hapus.” kataku saat itu.
“I.. Iya.. Seben..tar...”

Nada bicara rendah tanpa ekspresi. Kombinasi yang menyeramkan setelah Alvin memiliki ingatan kelam itu sekarang nampak nyata. Bahkan, Laki-laki ini tak punya lagi tenaga untuk menjaga handphonenya sendiri stabil di genggaman. Eksperimenku berhasil. Terima kasihlah kepada Dokter Syarief.

“Begitulah ceritanya Gina bisa lepas dari Alvin.” Ceritaku selesai.
“Terus, harganya?”
“Aku dan Gina tidak main sama-sama lagi.”

Itulah harga yang harus dibayar. Mungkin konyol karena Gina harusnya aku jaga terus. Tapi, sebaliknya. Gina akan lebih nyaman kalau aku menjauh. Ada hubungannya dengan kejadian malam-malam saat aku tidur itu.

Tentu tidak kuceritakan masalah yang aku alami dengan Gina. Tentang dia yang mabuk dan mengulum kemaluanku saat aku tidur. Pasti Novia akan marah besar dan ingin memutuskan hubungan kami.

Cerita aku hentikan di bagian Gina sudah terlepas dengan nyaman dari jeratan Alvin. Tidak ada lagi pemerasan dan ancaman. Gina bebas. Harganya adalah pertemanan. Titik.

“Bukan. Harganya adalah kamu lihat Gina telanjang.” Tiba-tiba Novia bilang begitu.

Itulah kata-kata yang tajam seperti deretan gigi sanca kembang. Gigi ular genus Phyton itu berbentuk kait. Susunannya seragam sehingga kalau digigit lalu memaksa ditarik justru hanya membuat kaitan semakin dalam.

Aku tidak bisa membantah apa-apa. Sedikit kata apapun merupakan bumerang. Ingat juga kalau bisa jadi Novia sedang mau datang bulan. Wanitalah yang menang lagi.

“Kamu bisa lihat Johanne telanjang. Mei telanjang. Salsabila telanjang.” Novia merambah tajam kata-katanya.
“Bukan begitu..”

Maksud hati ingin berbagi beban, nyatanya justru muncul masalah baru dengan Novia.

“Berapa banyak lagi perempuan yang kamu lihat? Oh, jangan-jangan semuanya, ya? Katanya kebanyakan teman-teman kamu perempuan. Enak ya, setiap hari.”

Novia punya amunisi yang banyak. Kualitas tembakannya sangat akurat menyerang kemampuanku. Aku tidak mampu lagi mengelak karena Novia pun tahu persis apa-apa yang bisa aku lakukan dengan semua ini.

“Perempuan kota pasti cantik-cantik, seksi-seksi. Puas kamu begitu?”
“Novia...”
“Berapa kali sange sehari?!”

Sudah. Ini bukan Novia yang aku kenal. Dia tidak pernah punya kosakata seperti itu, atau setidaknya tidak pernah mengeluarkan kosakata semacam begitu.

“Udah. Kita selesai bicara malam ini. Selamat malam.” Aku marah.
“Nando! tun..”

Betapa berubahnya Novia. Dia harusnya tahu aku tidak pernah semesum begitu. Dia harusnya tahu aku sudah terbiasa melihat macam-macam sejak menjadi ‘penolong’ di dusun sendiri. Mengapa dia begitu curiga justru hanya pada saat ini.

Apa Novia seperti itu karena rindu? Apa Novia begitu karena memang marah? Apa Novia begitu karena bosan? Apa Novia begitu karena... ada orang lain?

Malam ini berakhir tidak seperti yang kuinginkan. Kamarku kembali hening, namun bukan sembarang hening. Detik jam rasanya menjadi sumber bising yang mengganggu. Setelah kejadian Novia barusan, gelisahku tak karuan.

Aku ingin pulang.

---


Niken

Pagi-pagi sekali, petrikor kembali meracuniku. Di luar ternyata sedang hujan lebat-lebatnya. Jendela memberi visual padaku bahwa cahaya pagi ini sangat sendu. Seolah langit memberi tanda kalau alas tidur itu lebih baik daripada bangku lipat di kelas.

Tok. Tok.

Saat itu juga pintu kamar kost diketuk orang lain. Kutebak ini bapak kost. Tapi tidak pada waktunya. Urusan apalagi, padahal uang kost telah kubayar empat hari lalu.

Kubuka pintu, lalu yang kudapati adalah Niken. Dia mengenakan baju yang serba biasa. Cukup rapi jika untuk pergi kuliah. Tidak cukup cantik untuk menjadi sosialita. Hanya celananya yang sedikit kena hujan karena ada payung ungu tergantung tangan kiri Niken.

“Kamu kenapa?” Kalimat pertama Niken.
“Kenapa apa?”

Tanpa diundang, Niken masuk ke kamarku. Berantakan, tapi mau bagaimana.

“Semalam aku datang. Kamu gak sadar.” Kata Niken.
“Masa? Jam berapa?” Aku jadi tidak enak.
“Bukan ke sini. Tapi ke sini.”

Ke sini yang pertama, Niken menujuk kostku. Ke sini yang kedua, Niken menunjuk kepalaku. Rupa-rupanya adalah kiasan. Aku malas berpikir.

Dari kata-kata Niken, ada penggambaran begitu gelisahnya aku semalam sampai tidak tahu Niken berkunjung. Ditambah lagi, Niken tidak menyapaku. Dia hanya mengamati layar mimpiku di mana aku sedang berperan menjadi pengemis di pinggir jalan besar, di pinggir kali, di jembatan penyebarangan.

Bertahun-tahun, aku jarang punya mimpi bermain peran menjadi orang susah. Orang sederhana, sering. Tapi bukan orang susah.

“Kamu gelisah, ya, kan?”

Aku tidak menjawab karena mataku juga masih setengah terbuka.

“Ada tawaran dari bapak. Januari mau penelitian ke Banggai. Kamu diajak.”
“Yang bener?” Mataku langsung terbuka.

Niken terkejut melihat perubahan mata kantuk menjadi mata melotot. Dia tertawa besar dulu sebelum melanjutkan. Belum lagi ada tambahan kata-kata ledekan yang membuatku menunggu lama informasi selanjutnya.

“Hari Senin berangkat. Tanggal empat belas. Dua minggu di sana.”

Lalu, Banggai?

Atau pulang?

BERSAMBUNG
 
Cerita master ini banyak filosofi yg banyak org awam gk tau arti nya. Tapi good job bwt master udah mendatangkan hal2/kiasan2 yg baru buat nubi yg awam ini.
 
Akankah Nando menjadi manusia penyendiri yang asyik dengan dunianya sendiri dan acuh terhadap lingkungan nya ...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd