Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY neoKORTEKS

Akhirnya lanjut suhu sehat selalu dan lancar terus semua urusannya. Izin lanjut baca :beer:
 
Episode 5
Perspektif



Novia



Kak Najwa


Kak Le

Sebagian kalangan meyakini bahwa manusia semungil itu ditempatkan di sudut semesta hanya untuk menjadi sebuah debu galaksi. Meski begitu, banyak juga yang yakin manusia punya satu keistimewaan yang gaib. Keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk bernyawa mana pun. Ilmu fisika sekali pun belum nememukan makna dibalik munculnya makhluk berakal dan berhati di tepian triliyunan bintang di semesta, di tempat yang tidak mengenal atas dan bawah.

Banyak orang mulai berpikir tentang konsep nyawa. Seperti halnya dari mana nyawa berasal, belum ada yang paham secara sains di mana letaknya nyawa di dalam tubuh dan ke mana dia pergi setelah jasad tidak lagi bertahan hidup. Di tempat lain, seseorang juga pasti tengah berpikir bagaimana satu nyawa bisa dihitung sebagai satu nyawa. Seperti misalnya Paramecium yang hanya hidup sebagai sel tunggal, dibanding manusia yang disusun milyaran sel dengan fungsi berbeda, di mana sel-sel itu bergantian hidup dan mati.

Itulah batas yang sepertinya belum bisa ditembus oleh sains, tapi telah diberitahu oleh kitab-kitab suci. Kemudian itu diyakini oleh setiap orang yang masih mengakui bahwa dia punya sesuatu untuk disembah.

Sayangnya, tidak semua manusia bisa berpikir luas. Maka dia tidak berpikir jauh ke arah mana-mana. Kalau mau berpikir begitu pun, nantinya justru jadi gila. Kegilaan yang dahsyat.

“Nando, kenapo suka masuk hutan? Letih nian, ini.” Keluh Novia.

Peluhnya Novia sudah membanjir. Bahkan, sudah berceplak di bahu yang menopang kedua gantungan tasnya. Di dagunya, sudah berkali-kali keringat menetes jatuh ke tanah.

“Tak perlu lah mengeluh.” Jawabku.

Itulah yang kumaksud akal dan hati. Dari dua hal itu, muncul sifat manusia yang berbeda-beda. Yang ingin kukatakan adalah... Novia sangat menyebalkan.

Aku harus menjaga Novia supaya tidak tertinggal rombongan, makanya sekarang kami berdua berada di urutan jalan paling belakang. Bapak di posisi paling depan sedang menebas rotan-rotan yang menghalangi jalan. Keempat Kakak-kakak di belakangnya sedang sibuk mencari sampel target penelitian.

Kecuali Kak Fadil, dia bilang kalau mencari reptil lebih mudah saat malam. Siang ini, sambil menuju lokasi membuat tenda, dia lebih sering membantu Kak Najwa dan Kak Le mengambil sampel talas dan menggali sarang semut. Di belakangnya lagi, Kak Karya asik sendiri mengambil banyak gambar habitat, bunga, dan hewan apapun.

Kak Karya sendiri tidak sedang repot, tapi tidak juga banyak membantu temannya. Katanya, kantong semar mudah dibedakan dengan tanaman lain dan jumlahnya tidak banyak. Jadi, dia akan sibuk hanya pada waktu-waktu tertentu. Dalam kata lain, sekarang tidak sibuk sama sekali.

“Mereka indak letih, ya?” Novia melihat jauh ke depan.
“Pasti lah biaso” Jawabku.

Orang-orang yang berpengalaman masuk dan keluar hutan seperti kakak-kakak itu, pasti badannya sudah terbiasa. Paru-paru mereka pasti lebih besar dari paru-paru mahasiswa kebanyakan. Lihat juga pakaian mereka, sudah tidak peduli dengan gaya sama sekali. Berbanding terbalik dengan kemarin.

Novia banyak berhenti setiap beberapa langkah. Air minumnya sudah hampir habis, pertanda dia akan sering meminta botol minum milikku. Padahal, aku sudah memperingatkan supaya berhemat air. Perjalanan masih panjang.

“Nando.” Panggil Kak Karya.
“Iya?”
“Kamu tau kah ini bunga apa namanya?” Dia menyodorkan kameranya.

Aku menggeleng. Satu dekade aku berkeliling ladang milik orang-orang dusun, terkadang juga berani sendiri masuk rimba, belum pernah aku melihat bunga seperti itu. Bentuk dan ukurannya tidak sama sekali menarik, bahkan cenderung kecil, hanya seukuran kuku kelingking mungkin, dan warnanya juga putih polos begitu.

“Gak ada nama lokalnya?” Kak Karya bertanya lagi.
“Coba tanya bapak.” Jawabku.
“Katanya gak tau juga.”

Waw. Bapak pun tidak tau. Lalu, bunga apa itu?

“Ini anggrek sih, tapi saya belum pernah lihat. Kaya Didymoplexis.” Kak Karya bertutur.
“Anggrek apo tadi namonyo?” Dahiku mengernyit penasaran.

Lebih tepatnya, itu benarkah anggrek? Sekecil itu? Sangat berbeda dari yang sering kulihat dari buku. Anggrek di buku-buku bentuknya besar dan cantik. Atau setidaknya terlihat besar di buku itu. Atau mungkin aku sempat terlewat satu hingga dua bacaan dari buku-bukunya bapak.

“Ih, apo itu?” Novia menimpali.

Dia baru melihat gambar dari kamera Kak Karya.

“Anggrek.” Kak Karya antusias.
Indak mungkin.” Balas Novia.

Itulah dia, perspektif. Setiap apa yang ada di kepala orang bisa berbeda-beda, biasanya diiringi pengalaman hidup. Anggrek buat Novia pasti bentuknya hanya seperti apa yang ditayangkan di televisi atau majalah. Beda dengan apa yang ada di pikiran Kak Karya. Beda juga dengan pikiranku.

Perbedaan menonjolnya, aku tidak sok tau karena aku tau memang masih harus banyak belajar. Lain dengan Novia yang merasa lebih tau daripada seorang ahli tumbuhan di hadapannya. Hebat sekali perempuan satu ini.

“Sini lihat...” Kak Karya mengajak kami ke luar jalur.

Di balik rumpun rotan, dia menunjukkan bentuk asli anggrek yang ada di kameranya tadi. Ukuran aslinya bahkan lebih kecil daripada di gambar. Apalagi tumbuhan ini muncul seperti tusuk gigi dari atas tanah. Hanya ada satu bunga, dan yasudah begitu saja. Tanpa daun sama sekali.

“Lihat lagi yang itu...” Kak Karya menunjuk ke dua arah lain.

Arah pertama, masih di atas tanah. Tumbuhan itu berbunga nan indah dan punya daun bercorak hijau muda-gelap. Bentuk bunganya seperti kantong cerutu di film-film koboi. Arah kedua, tumbuhan itu mungkin ada di ketinggian dua meter di atas kepalaku. Di situ, banyak daunnya menempel di percabangan batang pohon. Bunga-bunga kecilnya muncul memanjang dari antara daun-daun tersebut.

“Semua ini anggrek. Yang mirip cerutu ini genusnya Paphiopedilum, yang di pohon itu Eria.” Kak Karya menjelaskan beserta semua ciri-ciri tumbuhannya.

Luar biasa! Semakin masuk jauh ke dalam hutan, nyatanya masih sedikit yang aku tahu selama ini. Kukira aku sudah mengenal banyak, tapi ternyata belum sama sekali. Contohnya tadi adalah nama-nama anggrek yang disebutkan Kak Karya. Aku menjadi malu sebagai tuan rumah karena tidak mengetahui isi rumahnya sendiri.

Dan aku tak yakin Novia bisa paham dengan penjelasan Kak Karya.

---

Perspektif seseorang biasanya tampak ketika banyak berbicara dan bertukar pendapat. Perspektif seorang yang berkeyakinan tomat itu buah, misalnya, akan berbeda dengan yang berkeyakinan tomat itu sayur. Pada akhirnya, pendapat tersebut bermuara pada penyajian kebenaran masing-masing pihak.

Permusuhan bisa muncul kalau proses tukar pikiran menjadi debat kusir. Harusnya tukar pikiran itu, ya tukar pikiran. Untuk menambah wawasan. Karena, merubah seseorang harusnya bukanlah kuasa satu orang.

Sama halnya dengan Novia, merubah perspektifnya soal bentuk anggrek tadi butuh waktu dari pagi sampai sore. Kak Karya pun butuh bantuan aku dan bapak supaya idenya bisa diterima.

Menjelang malam, kami membuat tenda di bagian tanah yang rata, di puncak bukit yang dinamai tanah hitam akibat tanahnya memang hitam. Dinamai olehku sendiri hari ini karena belum ada namanya. Dua tenda didirikan, satu untuk laki-laki dan satu lagi untuk perempuan.

“Kak, aku mau lihat semutnya.” Kataku ke Kak Le.
“Ini.”

Kak Le menyodorkan tabung-tabung fial. Tabung itu mirip botol obat plastik tanpa leher, lalu tutupnya dilubangi dan disumbat dengan kapas. Satu tabung diisi satu sampai tiga semut oleh Kak Le, dan itu ada lima tabung fial.

Hari ini sangat menyenangkan buat Kak Le karena dia menemukan 5 jenis semut berbeda. Tapi, Kak Le bilang kalau dia masih kurang puas karena bulan ini tidak ada badai, artinya semut-semut ratu tidak dalam fase terbang untuk kawin.

Kak Le asik bercerita. Dia mengatakan kalau semut dewasa betina dan jantan pada fase kawinnya masih punya sayap dan bisa beterbangan ke sana ke mari. Kemudian, ketika betina selesai dibuahi, sayapnya rontok dan bersamaan para jantan akan mati. Setelah itu, semut betina mencari tempat gelap untuk memulai koloni baru.

“Jadi, belum dapat ratunya, kak?” Tanyaku.
“Kayanya gak akan.”
“Lantas?” Tanyaku lagi.
“Gapapa, udah bisa diidentifikasi kok. Penelitianku cuma keanekaragaman aja.”

Setelah itu bapak ikut berbicara setelah selesai memasak air panas. Bapak mulai becerita tentang ilmu yang dia dapat bersama om berewok selama 8 tahun tinggal di Jawa. Tapi, yang paling kami semua ingin tahu adalah riwayat penelitian di hutan ini.

Bapak bilang, bukit-bukit di sini kurang diminati peneliti dibanding lokasi Gunung Singgalang. Statusnya yang ada di luar wilayah konservasi menjadi faktor penyebab mundurnya orang-orang dari jauh untuk melakukan penelitian. Anggapan mereka, bukit ini datanya akan sama saja dengan Gunung Singgalang, bahkan lebih sedikit.

“Padahal, hutan ini indak pernah dikunjungi.” Kata bapak.
“Terakhir dikunjungi kapan, pak?” Kak Karya bertanya.
“Terakhir, ya rombongan Pak Deni itu tahun 2000.”

Rombongan om berewok adalah satu-satunya rombongan yang datang ke sini. Itu pun setelah om berewok mengenal bapak dan banyak cerita ditukar di antara mereka. Hasilnya, om berewok dan tim menemukan dua spesies lumut baru, dua spesies paku-pakuan baru, dan satu jenis laba-laba baru.

Obrolan bapak selesai. Waktunya kami memasak untuk makan malam. Tugasku memasang kompor dan gas tabungnya. Tugas bapak mengambil air tambahan dari sumber air kecil, kira-kira 10 meter dari tenda kami berdiri. Yang lainnya, mulai beristirahat atau sibuk sendiri.

Kak Najwa menjadi yang paling repot karena mendapat banyak sampel. Sudah bertumpuk-tumpuk koran berisi tumbuhan talas yang diambilnya dari siang. Kali ini dia harus mengguyurnya dengan alkohol dan dibungkus rapat supaya awet dibawa sampai ke kampusnya lagi.

Kak Le sedang menyelipkan tetesan madu ke dalam tabung semutnya. Kak Fadil ikut bapak ke mata air. Sedangkan, Kak Karya belum mendapatkan sampelnya, jadi dia asik berkeliling tenda untuk mencari target foto baru dari kalangan hewan-hewan malam.

Sekarang Kak Karya juga punya buntut, Novia.

“Nov, jangan jauh-jauh.” Kataku.

Kenapa pula aku harus mengingatkan.

Malam kemudian makin menggelap. Sudah waktunya Kak Fadil mencari target penelitiannya. Ular, kadal, dan kodok jenis apa pun menjadi targetnya malam ini. Kalau bertemu satu atau dua saja sudah hebat, katanya.

Orang-orang yang menemani Kak Fadil adalah bapak, Kak Karya, dan Novia. Maka, aku harus ditinggal di tenda bersama para kakak perempuan karena memang harus ada laki-lakinya. Aturan dasarnya begitu. Laki-laki tugas alamiahnya besar, kata bapak. Tidak bisa disepelekan.

Kami bertiga, aku, Kak Najwa, dan Kak Le sekarang hanya duduk-duduk di depan tenda, di atas alas terpal, di depan bara api yang tidak terlalu besar. Kami berkumpul bertiga mengisi waktu sampai rombongan reptil kembali dari tugas. Lampu-lampu senter menyala dari kening masing-masing sebagai penerang sederhana. Dan malam ini sangat dingin.

“Nando, kamu tau talas?” Kak Najwa membuka obrolan.
“Tau, orang dusun suka cari di pinggir sungai untuk gulai.” Kataku.
“Haha. Itu Colocasia esculenta, cuma satu jenis. Talas itu ada banyak.”

Aku mengangguk paham. Kak Najwa kemudian menyodorkan kamera berwarna peraknya, tidak sebagus kamera milik Kak Karya, tapi masih berguna. Di gambarnya itu, Berbagai bentuk daun talas ditunjukkan. Belum lagi bentuk bunga-bunganya yang bermacam-macam, bahkan ada yang seperti bunga bangkai.

“Ini bunga bangkai, kan?” Tanyaku.
“Iya, tapi bukan gigantea yang besar itu ya.” Sahutnya.

Aku tau bunga bangkai juga termasuk talas-talasan karena pernah dijelaskan di salah satu buku punya bapak. Tapi aku baru tau bahwa banyak juga jenis dari bunga bangkai. Ilmu baru bertubi-tubi masuk ke kepalaku sepanjang hari ini.

“Pelan-pelan, pelan-pelan...” Sayup terdengar suara bapak dari kegelapan.
“Wa, Le, buka tendanya!” Kak Fadil muncul paling depan.

Mereka sudah kembali dari mencari ular? Sebentar sekali.

Aku hanya bisa melihat siluet gerombolan pencari reptil karena lampu senter dari kening-kening mereka menghalangi pandangan. Sampai beberapa langkah kemudian, aku barulah kaget dengan kejadiannya. Novia dipapah oleh Kak Karya sepanjang jalan. Dia setengah sadar, kulitnya berkeringat hingga membanjiri bajunya, padahal hawa malam ini sangat dingin.

“Kenapa, Dil?” Tanya Kak Najwa ke Kak Fadil.

Kak Fadil menggeleng. Dia tidak tau penyebabnya, atau dia tidak tau solusinya?

“Ya, Kenapa? Digigit ular?” Kak Najwa beralih ke Kak Karya.
“Bukan.. huft.. huft...” Kak Karya sibuk mencari-cari nafasnya.

Seberapa jauh tadi mereka berjalan? Kak Karya sendiriankah yang memapah Novia? Pasti sangat lelah memapah orang sambil berjalan naik dan turun di bukit sini.

“Gak mungkin ada ular di sekitar sini.” Kak Fadil baru bicara.
“Terus apa?” Kak Najwa masih bertanya.
"Gak tau."

Kak Fadil kehabisan kata. Apalagi Kak Karya. Sementara yang lain kebingungan dengan perihal yang terjadi sekarang.

“Nando...” Bapak memanggilku.

Bapak mengetukkan jari telunjuk ke keningnya sendiri. Itu pertanda khas kalau-kalau kemampuanku dibutuhkan. Aku mengangguk setuju. Bapak langsung menyiapkan ruang agar aku bisa berbaring di dekat Novia. Tenda harus dikosongkan kalau begitu.

Aku akan masuk kepala Novia lagi setelah sekian lama...

Kusentuh kepala Novia...

Aku berkelana lagi, dari dalam tenda, ke ruang putih, lalu tiba-tiba kembali mendadak gelap. Aku bisa melihat aku, bapak, Kak Fadil, dan semua kakak-kakak lainnya. Ini adalah momen ketika tim pencari reptil akan berangkat meninggalkan tenda.

Aku ikuti pasukan reptil itu berjalan dalam kegelapan. Cahaya yang ada hanya berasal dari kening-kening mereka. Tapi, aku berbeda, kakiku terasa ringan melewati kegelapan hutan. Kupahami karena ini hanya ada dalam kepala Novia saja.

“Dil, kayanya sepi ya yang lo cari.” Kak Karya bicara.
“Berharap aja ketemu satu.” Jawab Kak Fadil.

Formasi barisan sama seperti siang tadi. Bapak paling depan, diikuti Kak Fadil, lalu Novia, terakhir Kak Karya. Perjalanan tim itu terasa lebih lambat karena jangkauan pengelihatan dan juga faktor ada Novia. Kak Karya seringkali harus berhenti supaya Novia tetap di urutan ketiga.

Tapi apa mau dikata, amatir tetaplah amatir. Novia makin lama makin tertinggal dari Bapak dan Kak Fadil. Padahal, kurasa Bapak dan Kak Fadil sudah berjalan sama lambatnya karena sedang mencari objek. Kepala mereka bahkan tetap terus menoleh ke mana-mana.

“Novia, jangan kejauhan ya.” Kak Karya kepada Novia.
“Iya, kak.” Balas perempuan itu.

Tiba-tiba langkah Novia terhenti. Kepalanya menunduk tak bergerak, bahkan lama-lama dia menutup mata dengan kedua tangan. Kudekati dia untuk memahami apa yang terjadi.

Novia mendadak ringkih meminta kembali ke tenda. Dia menggeleng sambil merengek tak karuan. Kak Karya yang tak paham apa yang terjadi justru kebingungan. Sedetik kemudian, Kak Karya memanggil lantang dua orang terdepan supaya kembali.

“Duh, Novia kenapa ini?” Kak Karya kebingungan.

Kulihat bapak masih menoleh ke arah mana-mana.

“Eh, eh...” Kak Karya panik.

Badan Novia terkulai ke arah Kak Karya. Perempuan itu menjadi beban tambahan selain kamera besar yang digenggam tangan kanan Kak Karya. Kak Fadil langsung mengambil keputusan untuk kembali ke tenda. Sementara itu, bapak juga setuju, tapi matanya kini hanya fokus ke satu titik. Ke arahku.

Bapak melihat aku?

Ini adalah isi kepala Novia. Aku tak percaya ada orang lain yang bisa melihat wujudku. Begitu pun titah Niken saat aku bertahun-tahun belajar darinya. Hanya seorang pemimpi sadar yang juga bisa melihat penjelajah mimpi. Maka, kusimpulkan bapak bukan melihatku. Kupalingkan badan 180 derajat untuk mencari apa yang dilihat bapak. Di sanalah aku melihat... itu.

“HAAAAAA!!” Aku terlonjak dari tidurku.

Aku bangun dari tidur sadar. Keringatku membanjir. Apa yang kulihat tadi itu baru kali ini kulihat. Mengagetkan! Mengerikan!

“Nando, tenang, tenang.” Kak Le memanggil.

Kak Le menyodorkan air minum untukku. Setelah itu, aku langsung melihat bapak. Apa yang dilihat olehku barusan, pasti juga dilihat bapak sebelumnya. Itu... bukan sembarangan. Bentuknya sama seperti cerita orang-orang dusun yang sering kudengar. Tapi aku lupa namanya.

Bapak tidak berkata-kata. Matanya menyiratkan pikiran yang penuh. Tak pernah kulihat bapak sejenuh itu seumur hidup. Aku yakin ini masalah serius, entah yang barusan itu nyata atau tak kasat mata.

“Gimana? Novia kenapa?” Kak Karya bertanya.
“Pak...” Aku meminta persetujuan bapak.

Menurutku, kami harus pulang segera. Kalau itu nyata, maka berbahaya untuk semuanya. Kalau itu bukan nyata, juga sama berbahayanya, apalagi buat yang sudah melihatnya sendiri. Tidak ada jaminan pula kalau kakak-kakak ini belum melihat itu.

Aku dan bapak telah bertahun-tahun mengelilingi hutan di sini. Harus kuakui belum semua sudut kujelajahi, tapi sudah cukup membuatku tau bahwa makhluk itu baru buatku. Sebelumnya, tidak pernah aku melihat yang seperti itu, jejaknya pun tidak. Lain halnya saat aku melihat jejak tapir atau harimau.

“Malam ini kita sudahi. Semuanya istirahat ke dalam tenda.” Kata bapak dalam logat minangnya.
“Aku tenangkan Novia dulu.” Kataku.

Aku yakin, meski terapi yang kulakukan hanya sementara, Novia akan bisa tidur lebih nyenyak setelah kuselesaikan tugas mimpi sadar. Aku bisa menutup ingatannya tentang kejadian barusan menggunakan ingatan-ingatan yang bagus.

Aku hanya membutuhkan waktu untuk menjelajah ingatan Novia. Aku harus mencari ingatan indahnya yang tertanam dalam bagian otak yang disebut hippocampus. Aku butuh kenangan spesifik supaya bisa menstimulasi pelepasan hormon serotonin dan relaksasin dalam tubuh perempuan ini. Jadi, kini aku berbaring lagi dan kembali menyentuh kepala Novia kedua kalinya.

Kugali ingatan Novia, tapi rupanya kesialan menimpaku. Keberuntungan buat Novia sebenarnya, karena mudah sekali kutemukan. Kulihat kenangan-kenangan bagus itu ada pada saat diriku asik sendiri membaca buku saat tak ada guru, saat dilempar gulungan kertas, saat aku mengamati ikan yang timbul-hilang di sungai, hingga saat aku terpatuk ular 9 tahun lalu.

Dari situ, aku akhirnya bisa memastikan Novia memang memerhatikan aku selama ini.

Dari situ, aku yakin aku yang tak bisa tidur malam ini.

---

Perspektif seseorang akan selalu diuji dalam pertukaran pendapat. Mana yang lebih benar, mana yang lebih kuat dipertahankan, atau mana yang lebih terbuka menerima perspektif baru.

Kak Fadil bilang kami harus keluar hutan pagi ini.

Kak Karya bilang waktu penelitian mereka terbatas.

Kak Najwa bilang lebih baik membagi tim.

Kak Le bilang harus satu suara.

Aku dan bapak hanya mendengarkan. Padahal, aku yakin bapak sudah punya ide lain lagi. Tapi bapak sabar untuk menunggu diskusi internal itu selesai. Sedangkan aku masih disuruh menjaga Novia sampai dia bangun dari tidurnya.

“Maaf, Pak, jadi gimana ya baiknya?” Tanya Kak Fadil.

Akhirnya mereka bertanya.

“Pak Deni menitipkan kalian sama saya. Jadi, saya harus jaga kalian baik-baik.” Jawab bapak.

Kak Fadil langsung menoleh ke Kak Karya dengan bentuk muka dominan.

“...Tapi saya juga paham waktu kalian di sini tidak lama. Karya benar, yang masih butuh di sini, tetap di sini. Yang sudah selesai bisa ikut turun hari ini.” Kata bapak.

Kali ini giliran Kak Karya yang menyombongkan diri kepada Kak Fadil. Ini memang keputusan yang kontroversi. Tapi perlu diambil, karena penelitian kakak-kakak itu juga berkejaran dengan waktu. Bapak bilang, bekal makanan masih cukup untuk sampai turun besok siang. Jadwal tak perlu diatur ulang.

Apa yang terjadi semalam bisa dilupakan. Kalau butuh hilang ingatan sementara, bapak bisa mengandalkan aku untuk menolong. Di situlah titik di mana kakak-kakak ini mengenaliku aku sebagai dukun kampung muda. Entah bagaimana persepsinya, tapi mereka nampaknya merasa lebih aman daripada tadi.

“Saya antar Novia turun hari ini. Kalau masih sempat, sore nanti saya kemari lagi.” Lanjut bapak.

Kalau bapak sudah bilang begitu, artinya akulah yang harus jadi penunjuk jalan. Artinya, aku yang harus pegang parang, aku yang harus kena duri rotan pertama kali, dan aku yang harus bertugas macam-macam. Aku harus berjalan paling depan sepanjang hari.

Setelah kalimat terakhir dari bapak itu, semuanya sepakat. Selanjutnya, Novia terbangun dan rencana hari ini diteruskan. Bapak membawa pulang Novia. Kak Najwa kembali mengoleksi sampel talas, Kak Le membongkar sarang semut sepanjang hari, Kak Fadil menemukan kadal pertamanya, dan Kak Karya kuantar ke lereng-lereng dan puncak-puncak kecil untuk menemukan kantong semar.

Malam harinya, kesunyian melanda. Aku sendirian menemani Kak Fadil menjelajah di sekitar tenda dan mata air untuk mencari apa yang dibutuhkannya. Tak ada ular, tapi pada akhirnya kami menemukan dua ekor Rachophorus.

Sebelum waktunya istirahat, kakak-kakak ini meminta ditutup rasa takutnya. Mulai dari Kak Karya, Kak Najwa, Kak Fadil, lalu Kak Le.

“Kak Le yang terakhir...” Kataku.
“Gak usah, aku gak apa-apa.” Katanya.

Aku menangguk. Lalu, kami semua beristirahat setelah bara api unggun dimatikan.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Thx updatenya om

Sosok yang dilihat Nando dan ayahnya apa? :bingung:
Mungkinkah akan terungkap di update selanjutnya?
 
nah mulai tambah dalem nih ceritanya.. Makhluk apa sih ya yg diliat Nando & Bapak??
gua setuju kalo Novia nyebelin btw, tapi kayaknya dia pegang simpul konflik ya?
 
Apakah yang dilihat novia?
Apa mungkin badak :Peace:
Bikin penasaran aja suhu
 
:baca: masih bingung ini mau kemana !!
tapi kayaknya emang alurnya matang banget..
 
Episode 6
Teralih



Kak Najwa


Kak Le

Matahari, secara kasat mata, dia memancarkan spektrum gelombang cahaya tampak berwarna putih, atau kuning. Setidaknya begitu kata orang-orang kebanyakan. Atau di kala pagi atau sore, jingga menjadi warna dominan. Andai mereka mau paham, warna putih itu nyatanya gabungan banyak panjang gelombang dari cahaya yang tampak. Cahaya yang terlihat mempunyai warna.

Pelangi itulah perwujudan macam-macam cahaya tampak yang menyusun sinar putih matahari. Warna-warna tunggalnya berasal dari panjang gelombang yang berbeda. Gelombang itu diterima oleh mata, diproses oleh bagian okulus di otak, lalu pada akhirnya diterjemahkan sebagai realitas warna merah, jingga, kuning, hijau, nila, dan ungu.

Pikiranku sudah lelah sampai-sampai lebih senang melihat jingga dan pelangi, serta berkhayal tentang sains spektrum warna.

Ada pelangi yang menemani langkah kami keluar dari pintu rimba, sore ini. Langit yang tadinya hanya tampak gelap dari dalam hutan mendadak berubah sedikit terang. Tumbuhan-tumbuhan besar menghilang, terganti dengan semak dan tanaman ladang. Harum petrikor semerbak berasal dari tanah yang bertemu air hujan. Konon di kota-kota besar seperti New York dan Paris, harum-harum seperti ini sudah berhasil disintesis menjadi aroma dalam parfum. Tapi di sini aku puas mencium harum alaminya.

“Hujannya kenapa harus hari ini deh.” Kak Le menggerutu.

Hujan adalah penting bagi penelitian Kak Le. Besoknya pasti berbagai serangga akan keluar dari tanah untuk menghangatkan diri atau memasuki fase kawin, termasuk semut. Sayangnya, besok adalah waktu yang dialokasikan mereka untuk istirahat.

“Tinggal tulis aja sih masalah kondisi cuacanya di skripsi lo.” Kak Karya menimpali.
“Gak segampang itu.” Kak Le kesal.

Aku cukup mendengarkan mereka dari urutan jalan paling depan. Di belakangku, Kak Fadil tidak banyak bicara. Mungkin dia ingin menyimpan tenaga untuk besok karena masih harus sibuk. Jadwal dia besok seorang diri adalah untuk menjelajahi dusun seharian, dari pagi sampai tengah malam. Itu semua untuk mencari herpetofauna.

Kak Najwa sudah kelelahan karena sampel bawaannya bertambah dua kali lipat. Bertumpuk-tumpuk koran ditambah guyuran alkohol 70% terisi dalam plastik-plastik besar. Para lelaki, termasuk aku, ikut menjadi kuli angkut untuk membantu Kak Najwa.

Selepas dari pintu rimba, masih butuh dua puluh menit lagi bagi kami untuk berjalan ditemani sore yang jingga. Pada akhirnya, kami sampai di rumah tepat saat menjelang gelap. Urutan mandi pun langsung ditentukan oleh mereka berempat. Sementara itu, aku mencari keberadaan bapak yang tidak jadi naik ke hutan lagi kemarin sore.

“Mak Etek, bapak kamano?” Aku ke dapur.
“Seharian di rumah datuak. Panggil lah sana.” Balas Mak Etek.

Bapak biasanya tidak pernah mau berlama-lama di rumah datuak. Kalau hari ini sampai seharian di rumah datuak, pasti ada hubungannya dengan kejadian Novia. Mungkin bisa menjawab juga kenapa bapak tidak kembali lagi kemarin.

Tapi sebaiknya aku ke sana hanya untuk melapor bahwa kami telah pulang.

Bapak ikut kembali ke rumah setelah aku menghampirinya. Di rumah, Mak Etek telah siap sedia dengan makan malam, air minum hangat, dan pisang goreng. Kakak-kakak masih sibuk dengan kerapihan mereka usai mandi.

“Pak, Novia...” Kataku.
“Nanti bapak ceritakan kalau mereka sudah pulang.” Bapak memotong.

Jawaban bapak itu justru membuat rasa penasaranku semakin meninggi.

Meski lelah, mataku tidak bisa terpejam hingga tengah malam. Aku masih membayangkan makhluk apa itu yang aku lihat kemarin. Aku yakin Novia dan bapak juga melihatnya waktu itu. Ada hal yang harusnya aku tau dan aku cari tahu. Sendiri.

Mungkin ada kaitannya kenapa bapak berlama-lama di rumah datuak hari ini dan tidak kembali menyusul kami di sore kemarin. Jangan-jangan, ada hubungannya juga kenapa bapak mengizinkan amatir seperti Novia ikut naik ke hutan.

Pikiran abstrak tengah malam membuat aku jadi berprasangka macam-macam. Harusnya aku sudah tidur supaya badanku bisa istirahat.

Apa aku harus memasuki kepala bapak supaya tau macam-macam? Tapi aku tidak tega.

Apa aku harus menjelajah hutan itu sekali lagi dengan kemampuan tidur sadarku? Tapi itu melelahkan dan hanya mampu kulakukan dalam waktu sebentar.

Aku mencari alternatif lain. Aku kemudian bangkit dari tempat tidur, lalu membuka-buka lemari di kamar untuk mencari catatan penting yang terlewatkan. Hewan-hewan endemik Sumatra, mamalia Asia, laporan om berewok waktu penelitian ke sini. Semua buku dan naskah harus kubongkar dan kubaca ulang.

Menjelang subuh, aku tidak menemukan apa-apa. Yang kudapat hanyalah kantuk. Jadi, kuputuskan untuk tidur saja. Besok dilanjutkan lagi.

---

Mimpi biasanya terjadi sekian menit terakhir di akhir masa tidur.

Kata Niken, yang disampaikan ulang berdasarkan penjelasan dokter spesialisnya, mimpi terjadi pada fase tidur ringan saat tubuh mempersiapkan diri untuk bangun. Semua saraf motorik lumpuh untuk memberikan ruang bagi korteks otak agar bisa berimajinasi. Konsepnya sama seperti pemanasan sebelum olahraga inti.

Aku sebenarnya agak bingung dengan penjelasan mengenai konsep itu. Otak harusnya tidak pernah beristirahat karena dia wajib mengatur semua organ-organ penting seperti jantung, paru-paru, lambung, pankreas, usus dua belas jari, usus halus, usus besar, anus, sampai organ kelamin.

Aku banyak lupa apa lagi kata-kata Niken. Termasuk kejadian pagi ini. Aku heran karena sepanjang tidur tidak mengalami mimpi apa-apa. Aku bahkan setengah linglung sampai saat keluar dari kamar.

Kak Fadil dan Kak Karya sudah tidak ada di rumah. Mereka ditemani bapak berkeliling ke ladang-ladang dan sawah-sawah. Kak Le juga hilang digiring anak-anak dusun ke depan surau. Mak Etek pun sedang di pasar. Di rumah, otomatis hanya ada Kak Najwa yang sibuk merapikan sampel-sampelnya.

“Kak.” Sapaku.
“Nando.” Sahut Kak Najwa.

Aku beranjak cuci muka, mandi, dan mengambil air minum. Kemudian, aku kembali ke tempat Kak Najwa untuk menemaninya. Untuk membantu juga kalau diperlukan.

“Do, aku penasaran.”

Kak Najwa bicara sambil tanganya sibuk melipat-lipat koran. Sesekali dia memeriksa lagi tumbuhan keringnya. Serpihan-serpihan tumbuhan yang rontok dia sisihkan ke dalam amplop kecil. Kak Najwa lalu menoleh ke arahku. Dia mengetukkan jari telunjuk ke keningnya sendiri, persis seperti yang bapak lakukan malam itu.

“Aku tidur nyenyak banget lho.” Katanya.
“Syukur kalau begitu, Kak.” Jawabku.

Aku tahu dari ekspresinya. Kak Najwa tidak puas dengan respon yang aku lempar. Sama seperti orang-orang saat pertama kali mereka tahu aku bisa seperti ini.

“Kok bisa?”
“Entah, Kak. Dari kecil sudah begini.”

Tatapan Kak Najwa itu, sama seperti tatapan orang-orang yang menganggap aku ahli sihir, ahli klenik, santet, dan semuanya. Aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Itu reaksi yang wajar.

Respon orang-orang sama terheran-herannya saat ada manusia bisa terbang menggunakan baju besi dan beritanya heboh sampai di televisi nasional. Sama seperti apapun yang tampak di luar logika dan belum bisa dipahami. Hal-hal seperti itu wajar ditunjukkan orang-orang melalui sikap pertama yang cenderung seragam.

Untungnya, Kak Najwa orang cerdas. Setidaknya aku beranggapan begitu. Dia mampu menahan rasa penasarannya demi privasi dan kenyamanan orang lain. Kulihat dia meredam gejolak ekspresi di mukanya kuat-kuat.

Sekarang giliran aku yang penasaran tentang satu hal.

“Kak, kenapa Kak Le gak mau...?” Aku bingung menyelesaikan kata-kata.
“Kamu punya pertanyaan. Aku juga. Kita buat kesepakatan. Gimana?” Balas Kak Najwa.

Kak Najwa memang orang cerdas.

Aku punya rasa penasaran kenapa hanya Kak Le yang pikirannya tidak mau aku tenangkan. Aku yakin dia juga diselimuti ketakutan setelah Novia terpaksa harus dibawa keluar dari hutan. Tapi Kak Le jelas menahan dirinya sendiri. Dia lebih memilih tidur dalam gelisah ketimbang aku tenangkan.

“Kenapa, Kak?” Tanyaku.
“Le itu anak rantau, tinggal sendiri di Bogor. Dia sempat pacaran 3 tahun sama senior satu tingkat di atas kita. Aku kira mereka bakal sampai nikah, padahal hobinya sama, selera garingnya sama, organisasinya sama. Cocok banget lah.”

Aku, di masa remaja pertengahan ini, sepertinya sedikit-sedikit paham dengan kisah cinta seperti itu. Niken sempat berbagi pengalaman teman-temannya juga tentang pasangan-pasangan yang sangat terlihat cocok, tapi akhirnya berpisah juga.

Pasienku ada juga yang begitu, tahun lalu. Seorang pedagang ayam kenalan Mak Etek di pasar minta dihilangkan kenangannya akibat si pacar menikah dengan orang lain. Butuh empat jam lebih aku ada di dalam kepala dia untuk menutup kenangan yang nyata dan yang dibuat-buat. Lebih banyak pula yang dibuat-buat.

“Aku bisa sih nutup kenangan itu semua.” Aku menyeletuk.
“Kalau si Le mau. Nyatanya...” Kak Najwa menggeleng.
“Kenapa?”
“Dia takut isi kepalanya dilihat orang. Belum move on mungkin.”

Sedalam itu kah perasaan?

Mendadak kata-kata Kak Najwa membawaku melihat diri sendiri. Sedalam itu jugakah aku kepada Niken? Seberharga itu kah sampai badanku terombang-ambing saat Niken bilang dia sudah ada orang lain?

“Gantian aku nanya.” Kata Kak Najwa.

Aku mengangguk.

“Apa ya? Hmmm...”

Matanya berputar-putar ke atas. Aku yakin ini bukan pertanyaan yang penting.

“Kamu bisa apa aja sama otak kamu itu?”

Benar kan, tidak penting dan basi. Sesi tanya-jawab juga akhirnya berhenti sendiri karena Kak Najwa justru jadi curhat.

Saat siang, Para kakak lelaki dan bapak kembali dari berkeliling. Sesi pengamatan paginya sudah selesai dan akan dilanjut sesi sore dan sesi malam. Pagi ini, Kak Fadil mendapatkan 7 ekor sampel kadal dan 1 kodok yang berbeda-beda jenisnya. Sementara itu, Kak Karya sibuk memandangi hasil bidikannya sepanjang waktu.

Kak Fadil dan Kak Karya sangat senang. Keduanya mendapat apa yang mereka ingin dapat.

Kak Le baru pulang setengah jam kemudian. Mukanya tampak lelah, tapi bahagia. Bermain dengan anak-anak ternyata juga membawa Kak Le menemukan apa yang dia mau. Tiga botol fial berisi ratu-ratu semut yang berbeda jenis terpajang di tangan.

“Buset, manfaatin anak kecil.” Ledek Kak Karya.
“Enak aja, mereka sendiri yang mau bongkar sarangnya ya.” Kak Le senang.
“Mereka disogok pakai apa?”
“Sialan!”

Mereka gembira. Aku ikut gembira.

Di sela-sela itu, datuak tiba-tiba datang. Tanpa bicara, bapak sepertinya tau apa yang harus dilakukan. Mereka pergi ke rumah datuak lagi.

---

Aku pernah melihat isi kepala orang yang sedang memikirkan berpelukan, berciuman di pipi, dan berciuman di bibir. Kekolotanku sejak pertama kali melihat hal itu lama-lama hilang juga. Dunia orang dewasa memang seperti itu tampaknya.

Hari ini aku tidak ambil pusing tentang makhluk apa itu yang ada di hutan. Rasa hausku tertuju kepada pengalaman Kak Le. Aku sudah tahu sedikit isi kepala Kak Fadil, Kak Karya, dan Kak Najwa. Kakak-kakak dari tanah Jawa itu punya cerita hidup yang unik dibanding orang-orang dusun.

Orang dari tanah Jawa, berlabel mahasiswa-mahasiswa, berprestasi-prestasi, berjalan-jalan, berpacar-pacar, ber-IPK, berapat-rapat, berpanitia-panitia, berkuliah-kuliah. Ceritanya sangat berbeda-beda. Dari cetak biru yang kudapat sendiri, aku yakin aku bisa membantu Kak Le supaya hidupnya bisa bebas lagi.

Malam ini, aku harus mencuri waktu memasuki kepala Kak Le. Tentunya harus dengan bantuan, karena Kak Le tidur di kamar bersama Kak Najwa.

“Kak Najwa.” Panggilku.
“Ya?” Sahut Kak Najwa.
"Kemari."

Aku bersemangat.

Aku mengajak Kak Najwa pergi ke depan rumah setelah selesai makan malam. Itu setelah Kak Fadil, Kak Karya, dan bapak pergi lagi ke luar untuk pengamatan sesi malam. Sengaja kupilih waktu dan tempat di sini supaya tidak didengar orang lain lagi.

Kuceritakan pengalamanku menutup kenangan orang-orang di dusun dan sekitarnya yang mengalami patah hati. Kuyakinkan bahwa itu berat dan bisa membawa depresi. Kuberitahu bahwa depresi bisa mengarah pada tindakan bunuh diri tanpa tanda-tanda khusus.

Sulit memang untuk seorang anak SMA meyakinkan seorang mahasiswa tingkat akhir. Tapi di sini akulah dukunnya. Dengan penuh kesabaran, aku mampu membuat Kak Najwa paham maksudku.

“Oke, nanti malam aku kasih tanda.” Kak Najwa berbisik.
“Oke.” Aku berbisik.

Kami menoleh ke dalam rumah. Kak Le sedang bermain dengan botol-botol fial isi semutnya.

Aku menunggu sampai tengah malam sampai semua sudah tidur. Tapi, tidak dengan bapak yang tidak pulang. Bapak langsung pergi lagi setelah mengantarkan Kak Fadil dan Kak Karya kembali ke rumah.

Aku tidak penasaran dengan bapak.

Aku penasaran dengan cerita Kak Le.

Aku keluar kamar saat waktu yang ditentukan tiba. Alih-alih ke dapur untuk ambil minum, aku menuju ke depan kamar perempuan untuk menunggu tanda dari Kak Najwa. Isi dadaku rasanya ingin menyeruak ke depan.

Kemudian, pintu kamar perempuan bergeser pelan-pelan. Ada kepala Kak Najwa yang mencuat keluar. Tandanya aku sudah bisa masuk.

Kulihat Kak Le sudah tidak menggunakan jilbabnya. Ternyata rambutnya panjang bergelombang. Dalam gelapnya kamar yang hanya bercahaya dari senter handphone Kak Najwa, aku cukup kaget karena dari setengah sampai ke ujung rambutnya Kak Le tampak gradasi berwarna ungu.

Beginikah orang-orang di tanah Jawa di balik jilbab mereka?

Sejenak aku menghela nafas panjang. Aku melihat Kak Najwa, memberitahu bahwa aku sudah bisa memulai kegiatanku.

Kusentuh kening Kak Le...

Pandanganku memutih...

---

Kenangan mana yang bisa aku lihat, itu tergantung.

Aku kini sedang berada dalam fase umur 20 tahunan saat melihat bayangan dari pantulan layar televisi yang mati. Ada jenggot dan kumis tertempel di mukaku. Rambutku ikal berantakan tak tercukur. Kalau rambutku dibiarkan begitu saat sekolah, pastinya aku dicukur guru.

Pandanganku beralih-alih ke segala penjuru. Aku yakin sedang ada rumah seseorang. Aku pasti sedang di tanah Jawa dari ciri-ciri bising jalanan yang sangat mengganggu. Suara klakson-klakson dan mesin-mesin kendaraan menderu dengan jelas. Hanya sedikit-sedikit terdengar cicitan burung-burung gereja.

Terdengar suara kunci pintu rumah diputar. Aku berbalik arah dan berjalan ke pintu depan untuk melihat siapa yang datang.

Begitu pintu dibuka, satu sosok laki-laki muncul pertama kali. Dia tinggi tegap dan berkulit agak coklat. Aku yakin dia bukan orang Sumatra, dia bukan juga orang dari Indonesia timur. Kulit hitamnya pasti hasil dari kegiatan-kegiatan di luar ruangan. Di balik pakaiannya, kulitnya pasti tidak akan segelap itu.

“Sampai juga.” Kata laki-laki itu.
“Sayang, aku ke toilet dulu ya.” Kata seorang perempuan.

Perempuan itu Kak Le. Wajahnya begitu lucu dan mungil beserta tubuh kecilnya. Tapi lihat itu, mereka berciuman kilat di balik pintu yang baru ditutup.

Lalu, ada lompatan waktu sekilas. Aku langsung berada di kamar tidur. Ukurannya lebih besar dari kamarku. Ada gitar tersandar di samping lemari, cukup mengingatkanku bahwa aku sudah lama tidak bernyanyi-nyanyi lagi.

Si laki-laki melempar tasnya ke samping kasur. Sementara Kak Le dengan ikhlas melepas jilbabnya di depan cermin. Saat itu rambutnya masih hitam legam, bahkan tidak terwarna ungu sehelai pun.

“Bokap sama nyokap pulang jam berapa?” Kak Le melihat si lelaki dari cermin.
“Masih lama.”

Si lelaki menghampiri Kak Le. Dia memeluk dari belakang dan mendaratkan ciumannya tepat di tengkuk. Kak Le merespon tindakan itu melalui suara lenguhan tipis dan mata terpejam.

Sudah jelas dari awal ini bukanlah kegiatan pelecehan. Ini suka sama suka. Pertanyaannya adalah, sejak kapan mereka mulai sejauh itu? Dan akan sejauh apa lagi nantinya? Aku meyakini, dari dalam isi kepala Kak Le, di sinilah ada hal penting yang membawanya ke posisi yang disebut belum move on.

Kak Le berbalik badan. Ada sentuhan lagi di sana. Bibir bertemu bibir. Lidah bertemu lidah. Kulit bertemu kulit. Tangan bertemu buah dada. Tangan yang satunya bertemu selangkangan.

Ini langkah baru buatku. Aku terkejut sama halnya seperti dua tahun lalu melihat aksi ciuman untuk pertama kalinya. Ada yang tegang di antara kedua pahaku saat melihat Kak Le mulai tidak berpakaian.

Aku sebenarnya jijik melihat apa yang dimiliki si lelaki di antara kedua pahanya. Tapi... Lihat itu, benar kan, badan si laki-laki berwarna belang dari tangan, kaki, dan mukanya.

Fokus. Fokuslah.

Ada lidah yang makin menari-nari di sana. Si laki-laki antusias menjamah seluruh permukaan kulit sang lawan main. Tidak ada pemberontakan, melainkan pukulan-pukulan kecil yang disenangi keduanya.

Ada lidah bertemu dengan alat kelamin perempuan. Ada reaksi spontan. Ada suara-suara yang tidak familiar kudengar sebelumnya. Godaan, hinaan, permintaan, perizinan, ampunan. Semuanya terucap secara acak. Aku tidak menemukan polanya sekali pun.

“Kamu siap kan?” Tanya sang lelaki.
“Jangan...” Kak Le dan suara kecilnya.
“Kita udah satu tahun, yang.”
“Kaya biasa aja ya...” Pinta Kak Le.

Kak Le berputar, menaiki sang lelaki dengan posisi yang berlawanan. Kepalanya bertemu selangkangan. Mulutnya bertemu kelamin. Aksinya itu bahkan berjalan cukup lama. Dan, Dalam tegang, aku terus mempelajari kegiatan itu detik demi detik.

“Kok lama...” Kak Le lelah.
“Aku bilang, kan.” Jawab pasangannya.

Sang lelaki terus meyakinkan Kak Le untuk berbuat sesuatu yang lebih. Aku belum tahu itu apa, tapi aku mungkin bisa menduga-duga. Terlebih, pasti ada alasan kenapa aku harus terjebak di isi kepala kak Le yang ini.

“Kamu tau kan, aku sayang kamu.” Sang lelaki berbisik.

Kak Le mengangguk. Posisi mereka berubah lagi. Kak Le kini di bawah, membuka kedua belah kakinya untuk disusupi tubuh sang laki-laki. Akhirnya terbaca apa yang akan dilakukan oleh mereka.

Buatku, ini yang pertama kalinya melihat adegan yang sangat tabu.

Sang perempuan mengaduh kesakitan. Sang lelaki pun menenangkan. Tapi keduanya tetap sepakat untuk meneruskan apa yang sudah dimulai barusan. Lalu, setelah akhirnya terjadi apa yang diharapkan, mereka menghela nafas panjang seolah baru saja tenggelam dalam lautan.

Tapi itu belum selesai. Muncul keinginan mereka selanjutnya yang menjadi sebuah keharusan.

Ada perasaan tegang yang menjalar di sekujur tubuhku. Kelenjar keringat dan dan detak jantung bahkan terasa lebih berkerja keras daripada biasanya. Aku tahu ini ada di dalam kepala kak Le, namun justru itu yang membuatku bisa memahaminya.

Kak Le takut, tapi dia merasakannya juga sebagai sebuah hal baru. Kak Le sedih, tapi dia merasakannya juga sebagai sebuah kesenangan. Kak Le hampa, tapi dia merasakannya juga sebagai hasrat menggebu.

“Aku mau keluar...” Kata si laki-laki.
“Di luar.. di luar...”

Si laki-laki menuntaskan hasratnya di atas tubuh si perempuan yang tak lagi gadis. Aku tahu kegiatan itu karena sering kulakukan dalam kepalaku, saat mimpi basah. Serupa tapi berbeda perasaan.

Jadi, inilah kak Le.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Bimabet
pertamax dulu boleh ya

-----------------------
thanks updatenya om @Robbie Reyes
mantab soul

ini kemampuannya itu kaya liat tipi gitu ya om? tapi ditambah ngerasain emosi yg lagi dimasukkin pikirannya?

btw, ini nanti nyambung ke inhuman series ga om?
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd