Episode 5
Perspektif
Sebagian kalangan meyakini bahwa manusia semungil itu ditempatkan di sudut semesta hanya untuk menjadi sebuah debu galaksi. Meski begitu, banyak juga yang yakin manusia punya satu keistimewaan yang gaib. Keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk bernyawa mana pun. Ilmu fisika sekali pun belum nememukan makna dibalik munculnya makhluk berakal dan berhati di tepian triliyunan bintang di semesta, di tempat yang tidak mengenal atas dan bawah.
Banyak orang mulai berpikir tentang konsep nyawa. Seperti halnya dari mana nyawa berasal, belum ada yang paham secara sains di mana letaknya nyawa di dalam tubuh dan ke mana dia pergi setelah jasad tidak lagi bertahan hidup. Di tempat lain, seseorang juga pasti tengah berpikir bagaimana satu nyawa bisa dihitung sebagai satu nyawa. Seperti misalnya
Paramecium yang hanya hidup sebagai sel tunggal, dibanding manusia yang disusun milyaran sel dengan fungsi berbeda, di mana sel-sel itu bergantian hidup dan mati.
Itulah batas yang sepertinya belum bisa ditembus oleh sains, tapi telah diberitahu oleh kitab-kitab suci. Kemudian itu diyakini oleh setiap orang yang masih mengakui bahwa dia punya sesuatu untuk disembah.
Sayangnya, tidak semua manusia bisa berpikir luas. Maka dia tidak berpikir jauh ke arah mana-mana. Kalau mau berpikir begitu pun, nantinya justru jadi gila. Kegilaan yang dahsyat.
“Nando,
kenapo suka masuk hutan? Letih
nian, ini.” Keluh Novia.
Peluhnya Novia sudah membanjir. Bahkan, sudah berceplak di bahu yang menopang kedua gantungan tasnya. Di dagunya, sudah berkali-kali keringat menetes jatuh ke tanah.
“Tak perlu lah mengeluh.” Jawabku.
Itulah yang kumaksud akal dan hati. Dari dua hal itu, muncul sifat manusia yang berbeda-beda. Yang ingin kukatakan adalah... Novia sangat menyebalkan.
Aku harus menjaga Novia supaya tidak tertinggal rombongan, makanya sekarang kami berdua berada di urutan jalan paling belakang. Bapak di posisi paling depan sedang menebas rotan-rotan yang menghalangi jalan. Keempat Kakak-kakak di belakangnya sedang sibuk mencari sampel target penelitian.
Kecuali Kak Fadil, dia bilang kalau mencari reptil lebih mudah saat malam. Siang ini, sambil menuju lokasi membuat tenda, dia lebih sering membantu Kak Najwa dan Kak Le mengambil sampel talas dan menggali sarang semut. Di belakangnya lagi, Kak Karya asik sendiri mengambil banyak gambar habitat, bunga, dan hewan apapun.
Kak Karya sendiri tidak sedang repot, tapi tidak juga banyak membantu temannya. Katanya, kantong semar mudah dibedakan dengan tanaman lain dan jumlahnya tidak banyak. Jadi, dia akan sibuk hanya pada waktu-waktu tertentu. Dalam kata lain, sekarang tidak sibuk sama sekali.
“Mereka
indak letih, ya?” Novia melihat jauh ke depan.
“Pasti
lah biaso” Jawabku.
Orang-orang yang berpengalaman masuk dan keluar hutan seperti kakak-kakak itu, pasti badannya sudah terbiasa. Paru-paru mereka pasti lebih besar dari paru-paru mahasiswa kebanyakan. Lihat juga pakaian mereka, sudah tidak peduli dengan gaya sama sekali. Berbanding terbalik dengan kemarin.
Novia banyak berhenti setiap beberapa langkah. Air minumnya sudah hampir habis, pertanda dia akan sering meminta botol minum milikku. Padahal, aku sudah memperingatkan supaya berhemat air. Perjalanan masih panjang.
“Nando.” Panggil Kak Karya.
“Iya?”
“Kamu tau kah ini bunga apa namanya?” Dia menyodorkan kameranya.
Aku menggeleng. Satu dekade aku berkeliling ladang milik orang-orang dusun, terkadang juga berani sendiri masuk rimba, belum pernah aku melihat bunga seperti itu. Bentuk dan ukurannya tidak sama sekali menarik, bahkan cenderung kecil, hanya seukuran kuku kelingking mungkin, dan warnanya juga putih polos begitu.
“Gak ada nama lokalnya?” Kak Karya bertanya lagi.
“Coba tanya bapak.” Jawabku.
“Katanya gak tau juga.”
Waw. Bapak pun tidak tau. Lalu, bunga apa itu?
“Ini anggrek sih, tapi saya belum pernah lihat. Kaya
Didymoplexis.” Kak Karya bertutur.
“Anggrek
apo tadi
namonyo?” Dahiku mengernyit penasaran.
Lebih tepatnya, itu benarkah anggrek? Sekecil itu? Sangat berbeda dari yang sering kulihat dari buku. Anggrek di buku-buku bentuknya besar dan cantik. Atau setidaknya terlihat besar di buku itu. Atau mungkin aku sempat terlewat satu hingga dua bacaan dari buku-bukunya bapak.
“Ih,
apo itu?” Novia menimpali.
Dia baru melihat gambar dari kamera Kak Karya.
“Anggrek.” Kak Karya antusias.
“
Indak mungkin.” Balas Novia.
Itulah dia, perspektif. Setiap apa yang ada di kepala orang bisa berbeda-beda, biasanya diiringi pengalaman hidup. Anggrek buat Novia pasti bentuknya hanya seperti apa yang ditayangkan di televisi atau majalah. Beda dengan apa yang ada di pikiran Kak Karya. Beda juga dengan pikiranku.
Perbedaan menonjolnya, aku tidak sok tau karena aku tau memang masih harus banyak belajar. Lain dengan Novia yang merasa lebih tau daripada seorang ahli tumbuhan di hadapannya. Hebat sekali perempuan satu ini.
“Sini lihat...” Kak Karya mengajak kami ke luar jalur.
Di balik rumpun rotan, dia menunjukkan bentuk asli anggrek yang ada di kameranya tadi. Ukuran aslinya bahkan lebih kecil daripada di gambar. Apalagi tumbuhan ini muncul seperti tusuk gigi dari atas tanah. Hanya ada satu bunga, dan yasudah begitu saja. Tanpa daun sama sekali.
“Lihat lagi yang itu...” Kak Karya menunjuk ke dua arah lain.
Arah pertama, masih di atas tanah. Tumbuhan itu berbunga nan indah dan punya daun bercorak hijau muda-gelap. Bentuk bunganya seperti kantong cerutu di film-film koboi. Arah kedua, tumbuhan itu mungkin ada di ketinggian dua meter di atas kepalaku. Di situ, banyak daunnya menempel di percabangan batang pohon. Bunga-bunga kecilnya muncul memanjang dari antara daun-daun tersebut.
“Semua ini anggrek. Yang mirip cerutu ini genusnya
Paphiopedilum, yang di pohon itu
Eria.” Kak Karya menjelaskan beserta semua ciri-ciri tumbuhannya.
Luar biasa! Semakin masuk jauh ke dalam hutan, nyatanya masih sedikit yang aku tahu selama ini. Kukira aku sudah mengenal banyak, tapi ternyata belum sama sekali. Contohnya tadi adalah nama-nama anggrek yang disebutkan Kak Karya. Aku menjadi malu sebagai tuan rumah karena tidak mengetahui isi rumahnya sendiri.
Dan aku tak yakin Novia bisa paham dengan penjelasan Kak Karya.
---
Perspektif seseorang biasanya tampak ketika banyak berbicara dan bertukar pendapat. Perspektif seorang yang berkeyakinan tomat itu buah, misalnya, akan berbeda dengan yang berkeyakinan tomat itu sayur. Pada akhirnya, pendapat tersebut bermuara pada penyajian kebenaran masing-masing pihak.
Permusuhan bisa muncul kalau proses tukar pikiran menjadi debat kusir. Harusnya tukar pikiran itu, ya tukar pikiran. Untuk menambah wawasan. Karena, merubah seseorang harusnya bukanlah kuasa satu orang.
Sama halnya dengan Novia, merubah perspektifnya soal bentuk anggrek tadi butuh waktu dari pagi sampai sore. Kak Karya pun butuh bantuan aku dan bapak supaya idenya bisa diterima.
Menjelang malam, kami membuat tenda di bagian tanah yang rata, di puncak bukit yang dinamai tanah hitam akibat tanahnya memang hitam. Dinamai olehku sendiri hari ini karena belum ada namanya. Dua tenda didirikan, satu untuk laki-laki dan satu lagi untuk perempuan.
“Kak, aku mau lihat semutnya.” Kataku ke Kak Le.
“Ini.”
Kak Le menyodorkan tabung-tabung fial. Tabung itu mirip botol obat plastik tanpa leher, lalu tutupnya dilubangi dan disumbat dengan kapas. Satu tabung diisi satu sampai tiga semut oleh Kak Le, dan itu ada lima tabung fial.
Hari ini sangat menyenangkan buat Kak Le karena dia menemukan 5 jenis semut berbeda. Tapi, Kak Le bilang kalau dia masih kurang puas karena bulan ini tidak ada badai, artinya semut-semut ratu tidak dalam fase terbang untuk kawin.
Kak Le asik bercerita. Dia mengatakan kalau semut dewasa betina dan jantan pada fase kawinnya masih punya sayap dan bisa beterbangan ke sana ke mari. Kemudian, ketika betina selesai dibuahi, sayapnya rontok dan bersamaan para jantan akan mati. Setelah itu, semut betina mencari tempat gelap untuk memulai koloni baru.
“Jadi, belum dapat ratunya, kak?” Tanyaku.
“Kayanya gak akan.”
“Lantas?” Tanyaku lagi.
“Gapapa, udah bisa diidentifikasi kok. Penelitianku cuma keanekaragaman aja.”
Setelah itu bapak ikut berbicara setelah selesai memasak air panas. Bapak mulai becerita tentang ilmu yang dia dapat bersama om berewok selama 8 tahun tinggal di Jawa. Tapi, yang paling kami semua ingin tahu adalah riwayat penelitian di hutan ini.
Bapak bilang, bukit-bukit di sini kurang diminati peneliti dibanding lokasi Gunung Singgalang. Statusnya yang ada di luar wilayah konservasi menjadi faktor penyebab mundurnya orang-orang dari jauh untuk melakukan penelitian. Anggapan mereka, bukit ini datanya akan sama saja dengan Gunung Singgalang, bahkan lebih sedikit.
“Padahal, hutan ini
indak pernah dikunjungi.” Kata bapak.
“Terakhir dikunjungi kapan, pak?” Kak Karya bertanya.
“Terakhir, ya rombongan Pak Deni itu tahun 2000.”
Rombongan om berewok adalah satu-satunya rombongan yang datang ke sini. Itu pun setelah om berewok mengenal bapak dan banyak cerita ditukar di antara mereka. Hasilnya, om berewok dan tim menemukan dua spesies lumut baru, dua spesies paku-pakuan baru, dan satu jenis laba-laba baru.
Obrolan bapak selesai. Waktunya kami memasak untuk makan malam. Tugasku memasang kompor dan gas tabungnya. Tugas bapak mengambil air tambahan dari sumber air kecil, kira-kira 10 meter dari tenda kami berdiri. Yang lainnya, mulai beristirahat atau sibuk sendiri.
Kak Najwa menjadi yang paling repot karena mendapat banyak sampel. Sudah bertumpuk-tumpuk koran berisi tumbuhan talas yang diambilnya dari siang. Kali ini dia harus mengguyurnya dengan alkohol dan dibungkus rapat supaya awet dibawa sampai ke kampusnya lagi.
Kak Le sedang menyelipkan tetesan madu ke dalam tabung semutnya. Kak Fadil ikut bapak ke mata air. Sedangkan, Kak Karya belum mendapatkan sampelnya, jadi dia asik berkeliling tenda untuk mencari target foto baru dari kalangan hewan-hewan malam.
Sekarang Kak Karya juga punya buntut, Novia.
“Nov, jangan jauh-jauh.” Kataku.
Kenapa pula aku harus mengingatkan.
Malam kemudian makin menggelap. Sudah waktunya Kak Fadil mencari target penelitiannya. Ular, kadal, dan kodok jenis apa pun menjadi targetnya malam ini. Kalau bertemu satu atau dua saja sudah hebat, katanya.
Orang-orang yang menemani Kak Fadil adalah bapak, Kak Karya, dan Novia. Maka, aku harus ditinggal di tenda bersama para kakak perempuan karena memang harus ada laki-lakinya. Aturan dasarnya begitu. Laki-laki tugas alamiahnya besar, kata bapak. Tidak bisa disepelekan.
Kami bertiga, aku, Kak Najwa, dan Kak Le sekarang hanya duduk-duduk di depan tenda, di atas alas terpal, di depan bara api yang tidak terlalu besar. Kami berkumpul bertiga mengisi waktu sampai rombongan reptil kembali dari tugas. Lampu-lampu senter menyala dari kening masing-masing sebagai penerang sederhana. Dan malam ini sangat dingin.
“Nando, kamu tau talas?” Kak Najwa membuka obrolan.
“Tau, orang dusun suka cari di pinggir sungai untuk gulai.” Kataku.
“Haha. Itu
Colocasia esculenta, cuma satu jenis. Talas itu ada banyak.”
Aku mengangguk paham. Kak Najwa kemudian menyodorkan kamera berwarna peraknya, tidak sebagus kamera milik Kak Karya, tapi masih berguna. Di gambarnya itu, Berbagai bentuk daun talas ditunjukkan. Belum lagi bentuk bunga-bunganya yang bermacam-macam, bahkan ada yang seperti bunga bangkai.
“Ini bunga bangkai, kan?” Tanyaku.
“Iya, tapi bukan
gigantea yang besar itu ya.” Sahutnya.
Aku tau bunga bangkai juga termasuk talas-talasan karena pernah dijelaskan di salah satu buku punya bapak. Tapi aku baru tau bahwa banyak juga jenis dari bunga bangkai. Ilmu baru bertubi-tubi masuk ke kepalaku sepanjang hari ini.
“Pelan-pelan, pelan-pelan...” Sayup terdengar suara bapak dari kegelapan.
“Wa, Le, buka tendanya!” Kak Fadil muncul paling depan.
Mereka sudah kembali dari mencari ular? Sebentar sekali.
Aku hanya bisa melihat siluet gerombolan pencari reptil karena lampu senter dari kening-kening mereka menghalangi pandangan. Sampai beberapa langkah kemudian, aku barulah kaget dengan kejadiannya. Novia dipapah oleh Kak Karya sepanjang jalan. Dia setengah sadar, kulitnya berkeringat hingga membanjiri bajunya, padahal hawa malam ini sangat dingin.
“Kenapa, Dil?” Tanya Kak Najwa ke Kak Fadil.
Kak Fadil menggeleng. Dia tidak tau penyebabnya, atau dia tidak tau solusinya?
“Ya, Kenapa? Digigit ular?” Kak Najwa beralih ke Kak Karya.
“Bukan.. huft.. huft...” Kak Karya sibuk mencari-cari nafasnya.
Seberapa jauh tadi mereka berjalan? Kak Karya sendiriankah yang memapah Novia? Pasti sangat lelah memapah orang sambil berjalan naik dan turun di bukit sini.
“Gak mungkin ada ular di sekitar sini.” Kak Fadil baru bicara.
“Terus apa?” Kak Najwa masih bertanya.
"Gak tau."
Kak Fadil kehabisan kata. Apalagi Kak Karya. Sementara yang lain kebingungan dengan perihal yang terjadi sekarang.
“Nando...” Bapak memanggilku.
Bapak mengetukkan jari telunjuk ke keningnya sendiri. Itu pertanda khas kalau-kalau kemampuanku dibutuhkan. Aku mengangguk setuju. Bapak langsung menyiapkan ruang agar aku bisa berbaring di dekat Novia. Tenda harus dikosongkan kalau begitu.
Aku akan masuk kepala Novia lagi setelah sekian lama...
Kusentuh kepala Novia...
Aku berkelana lagi, dari dalam tenda, ke ruang putih, lalu tiba-tiba kembali mendadak gelap. Aku bisa melihat aku, bapak, Kak Fadil, dan semua kakak-kakak lainnya. Ini adalah momen ketika tim pencari reptil akan berangkat meninggalkan tenda.
Aku ikuti pasukan reptil itu berjalan dalam kegelapan. Cahaya yang ada hanya berasal dari kening-kening mereka. Tapi, aku berbeda, kakiku terasa ringan melewati kegelapan hutan. Kupahami karena ini hanya ada dalam kepala Novia saja.
“Dil, kayanya sepi ya yang lo cari.” Kak Karya bicara.
“Berharap aja ketemu satu.” Jawab Kak Fadil.
Formasi barisan sama seperti siang tadi. Bapak paling depan, diikuti Kak Fadil, lalu Novia, terakhir Kak Karya. Perjalanan tim itu terasa lebih lambat karena jangkauan pengelihatan dan juga faktor ada Novia. Kak Karya seringkali harus berhenti supaya Novia tetap di urutan ketiga.
Tapi apa mau dikata, amatir tetaplah amatir. Novia makin lama makin tertinggal dari Bapak dan Kak Fadil. Padahal, kurasa Bapak dan Kak Fadil sudah berjalan sama lambatnya karena sedang mencari objek. Kepala mereka bahkan tetap terus menoleh ke mana-mana.
“Novia, jangan kejauhan ya.” Kak Karya kepada Novia.
“Iya, kak.” Balas perempuan itu.
Tiba-tiba langkah Novia terhenti. Kepalanya menunduk tak bergerak, bahkan lama-lama dia menutup mata dengan kedua tangan. Kudekati dia untuk memahami apa yang terjadi.
Novia mendadak ringkih meminta kembali ke tenda. Dia menggeleng sambil merengek tak karuan. Kak Karya yang tak paham apa yang terjadi justru kebingungan. Sedetik kemudian, Kak Karya memanggil lantang dua orang terdepan supaya kembali.
“Duh, Novia kenapa ini?” Kak Karya kebingungan.
Kulihat bapak masih menoleh ke arah mana-mana.
“Eh, eh...” Kak Karya panik.
Badan Novia terkulai ke arah Kak Karya. Perempuan itu menjadi beban tambahan selain kamera besar yang digenggam tangan kanan Kak Karya. Kak Fadil langsung mengambil keputusan untuk kembali ke tenda. Sementara itu, bapak juga setuju, tapi matanya kini hanya fokus ke satu titik. Ke arahku.
Bapak melihat aku?
Ini adalah isi kepala Novia. Aku tak percaya ada orang lain yang bisa melihat wujudku. Begitu pun titah Niken saat aku bertahun-tahun belajar darinya. Hanya seorang pemimpi sadar yang juga bisa melihat penjelajah mimpi. Maka, kusimpulkan bapak bukan melihatku. Kupalingkan badan 180 derajat untuk mencari apa yang dilihat bapak. Di sanalah aku melihat... itu.
“HAAAAAA!!” Aku terlonjak dari tidurku.
Aku bangun dari tidur sadar. Keringatku membanjir. Apa yang kulihat tadi itu baru kali ini kulihat. Mengagetkan! Mengerikan!
“Nando, tenang, tenang.” Kak Le memanggil.
Kak Le menyodorkan air minum untukku. Setelah itu, aku langsung melihat bapak. Apa yang dilihat olehku barusan, pasti juga dilihat bapak sebelumnya. Itu... bukan sembarangan. Bentuknya sama seperti cerita orang-orang dusun yang sering kudengar. Tapi aku lupa namanya.
Bapak tidak berkata-kata. Matanya menyiratkan pikiran yang penuh. Tak pernah kulihat bapak sejenuh itu seumur hidup. Aku yakin ini masalah serius, entah yang barusan itu nyata atau tak kasat mata.
“Gimana? Novia kenapa?” Kak Karya bertanya.
“Pak...” Aku meminta persetujuan bapak.
Menurutku, kami harus pulang segera. Kalau itu nyata, maka berbahaya untuk semuanya. Kalau itu bukan nyata, juga sama berbahayanya, apalagi buat yang sudah melihatnya sendiri. Tidak ada jaminan pula kalau kakak-kakak ini belum melihat itu.
Aku dan bapak telah bertahun-tahun mengelilingi hutan di sini. Harus kuakui belum semua sudut kujelajahi, tapi sudah cukup membuatku tau bahwa makhluk itu baru buatku. Sebelumnya, tidak pernah aku melihat yang seperti itu, jejaknya pun tidak. Lain halnya saat aku melihat jejak tapir atau harimau.
“Malam ini kita sudahi. Semuanya istirahat ke dalam tenda.” Kata bapak dalam logat minangnya.
“Aku tenangkan Novia dulu.” Kataku.
Aku yakin, meski terapi yang kulakukan hanya sementara, Novia akan bisa tidur lebih nyenyak setelah kuselesaikan tugas mimpi sadar. Aku bisa menutup ingatannya tentang kejadian barusan menggunakan ingatan-ingatan yang bagus.
Aku hanya membutuhkan waktu untuk menjelajah ingatan Novia. Aku harus mencari ingatan indahnya yang tertanam dalam bagian otak yang disebut
hippocampus. Aku butuh kenangan spesifik supaya bisa menstimulasi pelepasan hormon serotonin dan relaksasin dalam tubuh perempuan ini. Jadi, kini aku berbaring lagi dan kembali menyentuh kepala Novia kedua kalinya.
Kugali ingatan Novia, tapi rupanya kesialan menimpaku. Keberuntungan buat Novia sebenarnya, karena mudah sekali kutemukan. Kulihat kenangan-kenangan bagus itu ada pada saat diriku asik sendiri membaca buku saat tak ada guru, saat dilempar gulungan kertas, saat aku mengamati ikan yang timbul-hilang di sungai, hingga saat aku terpatuk ular 9 tahun lalu.
Dari situ, aku akhirnya bisa memastikan Novia memang memerhatikan aku selama ini.
Dari situ, aku yakin aku yang tak bisa tidur malam ini.
---
Perspektif seseorang akan selalu diuji dalam pertukaran pendapat. Mana yang lebih benar, mana yang lebih kuat dipertahankan, atau mana yang lebih terbuka menerima perspektif baru.
Kak Fadil bilang kami harus keluar hutan pagi ini.
Kak Karya bilang waktu penelitian mereka terbatas.
Kak Najwa bilang lebih baik membagi tim.
Kak Le bilang harus satu suara.
Aku dan bapak hanya mendengarkan. Padahal, aku yakin bapak sudah punya ide lain lagi. Tapi bapak sabar untuk menunggu diskusi internal itu selesai. Sedangkan aku masih disuruh menjaga Novia sampai dia bangun dari tidurnya.
“Maaf, Pak, jadi gimana ya baiknya?” Tanya Kak Fadil.
Akhirnya mereka bertanya.
“Pak Deni menitipkan kalian sama saya. Jadi, saya harus jaga kalian baik-baik.” Jawab bapak.
Kak Fadil langsung menoleh ke Kak Karya dengan bentuk muka dominan.
“...Tapi saya juga paham waktu kalian di sini tidak lama. Karya benar, yang masih butuh di sini, tetap di sini. Yang sudah selesai bisa ikut turun hari ini.” Kata bapak.
Kali ini giliran Kak Karya yang menyombongkan diri kepada Kak Fadil. Ini memang keputusan yang kontroversi. Tapi perlu diambil, karena penelitian kakak-kakak itu juga berkejaran dengan waktu. Bapak bilang, bekal makanan masih cukup untuk sampai turun besok siang. Jadwal tak perlu diatur ulang.
Apa yang terjadi semalam bisa dilupakan. Kalau butuh hilang ingatan sementara, bapak bisa mengandalkan aku untuk menolong. Di situlah titik di mana kakak-kakak ini mengenaliku aku sebagai dukun kampung muda. Entah bagaimana persepsinya, tapi mereka nampaknya merasa lebih aman daripada tadi.
“Saya antar Novia turun hari ini. Kalau masih sempat, sore nanti saya kemari lagi.” Lanjut bapak.
Kalau bapak sudah bilang begitu, artinya akulah yang harus jadi penunjuk jalan. Artinya, aku yang harus pegang parang, aku yang harus kena duri rotan pertama kali, dan aku yang harus bertugas macam-macam. Aku harus berjalan paling depan sepanjang hari.
Setelah kalimat terakhir dari bapak itu, semuanya sepakat. Selanjutnya, Novia terbangun dan rencana hari ini diteruskan. Bapak membawa pulang Novia. Kak Najwa kembali mengoleksi sampel talas, Kak Le membongkar sarang semut sepanjang hari, Kak Fadil menemukan kadal pertamanya, dan Kak Karya kuantar ke lereng-lereng dan puncak-puncak kecil untuk menemukan kantong semar.
Malam harinya, kesunyian melanda. Aku sendirian menemani Kak Fadil menjelajah di sekitar tenda dan mata air untuk mencari apa yang dibutuhkannya. Tak ada ular, tapi pada akhirnya kami menemukan dua ekor
Rachophorus.
Sebelum waktunya istirahat, kakak-kakak ini meminta ditutup rasa takutnya. Mulai dari Kak Karya, Kak Najwa, Kak Fadil, lalu Kak Le.
“Kak Le yang terakhir...” Kataku.
“Gak usah, aku gak apa-apa.” Katanya.
Aku menangguk. Lalu, kami semua beristirahat setelah bara api unggun dimatikan.
BERSAMBUNG