Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY neoKORTEKS

Bimabet
Lanjutkan min buat semua teman cewek nya ketagihan sama keperkasaan nando walaupun cuma didunia fantasi
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 3
Dopamin


2 0 1 8


Erna

Ada tiga sifat naluriah makhluk hidup sejak dilahirkan, sejak menjadi kecambah, atau sejak setelah fase pembelahan biner. Naluri itu adalah untuk makan, bertahan hidup, dan bereproduksi. Semua makhluk yang hidup melakukannya tanpa terkecuali. Bedanya ada pada cara yang dilakukan masing-masing.

Amuba dan mikroorganisme lainnya mendapatkan makan berdasarkan respon kimiawi dari zat-zat yang tersebar di lingkungan. Karang di laut mendapatkan makan dari arus laut yang masuk ke pori-porinya. Tumbuhan mencari bahan dasar makanannya dari tanah, lalu dibuat sendiri dalam organel yang disebut plastida.

Percaya atau tidak, makan adalah istilah awam yang digunakan untuk bahasa Indonesia. Makhluk hidup bisa bertahan hidup secara ilmiah melalui sistem yang kompleks. Melalui ketersediaan energi dari setiap sel. Adenin trifosfat nama molekul penyedianya.

“Erna, waktunya makan.” Aku memanggil temanku itu dari kamar.

Maka, Erna pun tak menolak makan ketika unit terkecil dalam tubuhnya sudah butuh energi.

Rumah Erna sepi seperti biasanya. Pekan ini Erwan ada rapat dengan klien. Dia akan pergi ke luar kota selama lima hari. Ibunya Erna masih dalam rutinitas menjaga tokonya di mall. Jadi, ini hari-hari yang biasa juga untuk tetap merawat Erna sampai sembuh.

Menu masakanku hari ini adalah opor ayam dan capcay. Cukup untuk masakan rumahan yang menunya dituntut variatif. Penghuni rumah padahal tidak banyak-banyak.

Setelah kuberikan seporsi makanan untuknya, Erna makan dengan lahap tanpa suara. Ada karbohidrat, protein, serat, hingga kolesterol tersedia di menu makannya. Tak lupa perlu hiburan juga supaya dia tidak bosan. Maka itu tivi menyala di ruang depan.

Sementara itu, aku sibuk mencuci peralatan masak tadi di dapur.

“Nando..”

Tiba-tiba Erna sudah ada di belakangku. Kutatap dia sambil kaget. Matanya masih tidak bercahaya, tapi perempuan ini sudah bisa melihat orang sebagai objek bicara. Artinya, Erna sudah tidak sering melamun.

“Piring.” Dia menyodorkan piring kotor.
“Oke.” Jawabku.

Cepat juga tempo makan Erna.

Lucu melihat orang yang setengah sakit dan lemah tenaganya. Rasanya seperti melihat orang malas bekerja, tapi tidak bisa ditegur. Kalau ditegur justru bisa memperburuk keadaan yang telah kukontrol sendiri demi kesehatannya.

---

2 0 1 1

Ilmu filsafat dasar memberikan pemahaman bahwa Homo sapiens merupakan produk evolusi. Itu melalui konsep dasar seperti ini: Ketika makhluk tingkat rendah masih berpikir berdasarkan insting untuk melawan balik atau kabur, manusia sudah mampu berpikir untuk mengendalikan respon tersebut.

Salahkan makhluk primitif karena mereka tidak punya bagian otak yang dinamakan neokorteks. Bagian batang otak mereka lebih dominan sebagai penentu sifat dasar makhluk hidup. Otak reptil istilahnya, insting fungsinya.

Bunglon hijau liar selalu akan kabur saat kita melangkah di dekat mereka. Itu karena mereka tidak terbiasa dengan kehadiran manusia. Padahal, manusia yang lewat pun belum tentu tau ada bunglon di situ. Niat menangkap pun tidak ada.

Tapi, meski punya bagian neokorteks, kadang mamalia juga perlu insting. Itu penting supaya mereka tidak dimangsa predator, mampu menentukan kapan waktu migrasi, atau bagaimana betina harus memilih jantan unggul untuk dikawini. Insting itu masih bagian penting untuk makhluk cerdas sekali pun.

Karena itulah ada juga manusia yang langsung bertindak tanpa berpikir dulu. Mereka yang kucontohkan adalah orang-orang dusun. Dulu, mereka langsung menghindariku karena aku berbeda dan menyeramkan untuk diajak bicara. Sekarang, mereka setiap hari antri di depan rumah untuk bisa bertemu denganku.

Wa’ang lagi?” Tanya bapak.

Orang yang datang ke rumah kali ini wajahnya sudah familiar. Bapak dan semua orang pun tau lokasi rumah wanita setengah tua ini. Tempatnya ada di dekat batas antara rumah kampung dan sawah. Dia Mak Tuo Sera namanya.

Saat itu aku sedang bermain gitar di depan rumah. Itu kegiatan satu-satunya yang sering aku lakukan dikala senggang dan malas pengamatan. Konon katanya anak-anak di dusun dan di sekolah hanya mau bermain denganku karena aku bisa bergitar dan bernyanyi melirih. Lepaslah gitarku, maka mereka semua pergi menjauh.

Dan ada satu kepandaianku lainnya yang membuat mereka kembali mendekat.

“Tolong awak, lah.” Pintanya.
“Ingat, Mak. Nando bukan dukun.” Bapak bersungut-sungut.

Mak Tuo tidak pernah peduli dengan kata-kata bapak. Bahkan, kali ini telah genap sepuluh kali Mak Tuo datang ke rumah kami sejak tiga bulan ke belakang. Tidak wajar. Tapi tetap bapak dan aku turuti untuk menjaga kerukunan orang-orang dusun dengan keluargaku.

“Silahkan, Mak.” Kataku.

Mak Tuo lalu berbaring di kasur palembang yang telah berulang kali dijemur. Tak terhitung sudah berapa orang berbaring di kasur itu sejak kelakuan datuak dan intuisi gaibnya.

Kala itu, Novia menjadi saksi penyakit epilepsiku kambuh setelah tergigit ular. Berhari-hari kemudian aku berulang kali mengalami epilepsi di rumah. Setahun kemudian, tak sengaja aku melihat isi mimpi Novia saat tertidur di kelas. Dia punya masalah kecil dengan ayam jantan, kemudian aku memberi solusi padanya supaya tak usah main-main ke kandang ayam.

Akhirnya datuak tau juga.

Itulah titik balik pertama orang-orang mulai mendekatiku karena ada maunya.

Kito mulai, ya, Mak Tuo.” Aku memberi aba-aba.

Mata Mak Tuo terpejam. Tanganku memegang keningnya sebagai aksi pertama. Tidak ada jampi-jampi, tidak ada doa-doa. Karena aku memang bukan dukun.

Sedetik kemudian, pandanganku memutih. Ada jeda latar putih sebentar. Lalu, muncul pemandangan dusun. Aku berdiri di jalan setapak kecil yang dikelilingi rumput. Di hadapanku ada satu rumah larik, sebuah rumah panggung nan panjang dengan lapisan cat berwarna biru setengah selesai. Warna rumah itu menjadi khas karena hanya ada satu-satunya di dusun.

Ini rumah Mak Tuo Sera.

Aku berjalan menaiki tangga rumahnya. Lalu, di depan pintu, ada kedua anak bujang lapuk Mak Tuo yang sedang berdebat di sana. Kudengarkan mereka sebentar. Semua ucapan mereka terlontar tentang uang jajan, motor udik, dan hak waris.

Kemudian, aku masuk ke dalam rumah. Tidak banyak perabotan milik keluarga ini. Hanya jejeran foto keluarga yang separuh orangnya sudah meninggal dan dua sofa kotor yang telah sobek di mana-mana. Anak perempuan Mak Tuo satu-satunya sedang berbaring di depan tivi tabung. Dia tak pernah laku untuk dipinang pemuda dusun. Acara yang suka ditontonnya pun tidak karuan juga. Acara apapun yang mengumbar aib, termasuk acara gosip.

Ini keluarga rusak.

Biarkan. Apa yang dibutuhkan Mak Tuo itulah yang harus kucari. Uang seratus ribu yang hilang tadi malam, pintanya. Bagusnya, tidak perlu kucari sudah terlihat duluan. Uang selembar yang sudah terlipat-lipat itu ada di balik bantal kamar tidur sang wanita setengah tua.

Tiba-tiba, mendadak, terasa bahwa alur waktu berhenti. Semua benda dan makhluk hidup di tempat ini terpaku di tempatnya masing-masing. Termasuk burung gereja yang kini melayang tak bergerak di luar jendela.

Kecuali aku. Aku tetap bergerak seperti biasa.

“Minggu depan UAS?” Suara perempuan berbisik di pundakku.
“Wei! Kaget!” Aku memutar badan.

Niken selalu datang di waktu-waktu yang tidak terduga. Contohnya kali ini.

“Logat minangnya udah mulai hilang tuh ya.” Ledek dia.
“Menyesuaikan dong.” Sahutku.

Apa yang terjadi selama sepuluh tahun ke belakang nyatanya memang telah memaksa aku menyesuaikan diri, termasuk tentang konsep hidup dan logat. Aku belajar bahwa ruang bukan lagi terpisahkan jarak. Waktu bukan lagi satu garis lurus. Takdir bukan lagi hal yang bisa disalah-salahkan akibat kegagalan diri.

Termasuk epilepsi yang kuderita. Penyakit ini bukanlah sembarangan. Aku sengaja mengalami epilepsi di masa-masa sulit hanya untuk bertemu Niken di ruang fantasi. Dia yang mengajariku mengendalikan penyakit otak yang kuderita.

Nyata atau tidaknya ruang ini, tentunya sudah bukan menjadi pertanyaan sekarang. Hal terpenting adalah apakah aku cukup bugar untuk melakukan interaksi semacam ini. Waktu aku demam, contohnya, selama dua minggu aku tidak bisa bertemu Niken.

“Kenapa masih mau bantuin mereka, sih?”

Niken melangkah di atas lantai kayu yang berdenyit. Kakinya menuntun diri ke arah anak perempuan yang sedang menonton acara gosip. Seperti burung gereja, anak perempuan itu diam tidak berkedip. Acara tivi juga tidak berjalan seperti keadaan normal.

Niken mengelus pipi bocah itu yang kulitnya sawo matang. Sejenak aku bandingkan dengan pipi Niken yang putih penuh perawatan. Perbedaan yang mencolok antara kehidupan orang desa dan kota besar. Perbedaan kontras antara yang cukup berpunya dan kurang berpunya.

“Mau gimana lagi.” Kataku.
“Kan aku udah bilang, pindah lah ke Jakarta.” Niken menoleh padaku.

Bukannya aku tidak mau merantau. Tapi dusun ini adalah rumahku, tempat di mana bapak dan Mak Etek tinggal. Tempat keluargaku satu-satunya. Durhaka aku kalau meninggalkan bapak sendirian.

“Aku masih sekolah.”
“Klasik.” Niken tidak tersenyum.

Niken bersikeras kalau aku bisa lebih memiliki masa depan kalau hidup di kota besar. Selain itu, aku bisa berkonsultasi tentang masalah otakku ini dengan dokter sungguhan. Bukan hanya dengan seorang mahasiswa kedokteran semester dua. Niken saja pun belum pernah melayani pasien barang seorang.

Sepuluh tahun lebih, aku hanya berkonsultasi dan berlatih menguasai otakku ini secara otodidak bersama Niken. Sementara itu, di tempat aslinya sana, Niken sudah lebih hebat bermain dengan otaknya sendiri. Konsultasinya sejak kecil dengan dokter spesialis otak dan gangguan tidur sungguhan sangat membuahkan hasil.

Tak heran, Niken bisa bermain dengan waktu.

“Kuliahku makin padat. Kita gak bisa sering ketemu dan latihan kaya dulu.” Papar Niken.

Kata-kata Niken itu membuatku langsung seperti berada di persimpangan jalan. Pasti ujung penjelasannya akan ada pilihan-pilihan yang sulit. Seorang anak kelas 1 SMA yang tengah mengalami kerinduan saja sudah sangat sulit.

Aku tidak pernah terpikir kalau mimpi-mimpi sadarku tidak ditemani Niken lagi. Dia selama ini sangat membantuku menyelesaikan kengerian penyakit epilepsi yang berulang. Setahun aku dibawa bolak-balik ke puskesmas sampai dokter bisa meyakinkan bapak kalau aku sembuh.

Termasuk tentang kemampuan anehku ini. Bapak lah orang kedua yang tau setelah Niken, sebelum datuak.

Berlatih kemampuan otak dalam tidur pun sudah cukup buatku. Tidak ditakuti orang dusun karena penyakitan juga sudah lebih. Tidak perlu sampai bisa menghentikan waktu atau berpindah hingga masa penaklukan Konstantinopel untuk menarik hati orang banyak.

“Kali ini keluhan Mak Tuo apa?” Niken bertanya.

Hebat, kan. Niken sampai hafal kalau ini rumah Mak Tuo. Aku kadang punya pertanyaan yang tak terlontar, tentang seberapa banyak Niken kenal orang-orang dusun, terlebih kepada orang-orang yang pernah jadi pasienku.

“Lupa naruh uang.” Aku menjawab sekenanya.
“Itulah masalah kamu.” Balasnya.

Niken bilang berpanjang-panjang bahwa aku boleh satu langkah lebih dulu darinya soal melayani pasien. Tapi, pasien-pasienku tak lebih dari sekedar orang-orang tak penting. Orang kehilangan uang, kehilangan kambing, mencari petunjuk mimpi, ingin hilang ingatan, ingin melupakan mantan, ingin kaya, atau ingin punya istri lima. Katanya, tidak ada masa depan buatku di sini sebagai manusia berakal.

Berbeda dengan Niken sang calon dokter. Dia bilang, pasien yang nanti dia tangani di dunia keprofesiannya lebih punya arti. Pasiennya sakit secara medis. Bisa disembuhkan melalui metode ilmiah. Serta, kemampuannya akan selalu bertambah dan bisa membawanya ke jenjang karir yang lebih tinggi.

“Novia apa kabar?” Tanya Niken.
“Apa?” Tanyaku balik.
“Gak perlu masuk ke kepala Novia buat tau dia masih suka kamu, kali.” Senyumnya.

Aku tidak peduli dengan Novia. Sejak dulu aku punya sumpah untuk tidak dekat-dekat dengan keluarga datuak. Dulu, datuak memberikan petuah pada orang-orang untuk menjauhiku. Sakit epilepsiku datang dari iblis, kata orang tua itu. Akhirnya dia sendiri yang mendekatiku karena aku jadi sakti.

“Nanti bisa ajarin aku buat UAS, kan?”.

Aku merubah topik karena terlalu tidak suka bahan diskusi sebelumnya. Itu hanya membuatku makin tidak suka dengan orang-orang dusun. Juga dengan Novia. Lebih penting kalau aku bisa meminta Niken tetap sering bersamaku.

“Nando..” Jawabnya datar.
“Kenapa?” Alisku naik.
“Gak bisa. Sekarang aku ada orang lain.”

Aku menghela nafas. Ini pahit. Kepalaku menggeleng berulang kali sambil penuh pikir.

“Orang lain?” aku bertanya balik.
“Tau kan? Orang lain...”

Aku mencoba agar tetap waras dalam kondisi seperti ini.

“Nando, kuliahku mulai padat. Aku gak bisa sering bermain mimpi sadar bareng kamu lagi. Apalagi, sekarang aku punya orang lain yang... harus aku temani.”

Baiklah. Aku sudah tidak bisa waras.

“Oke, aku mulai capek. Kamu tau jalan pulang kan.” Kataku sembarangan.

Niken mencoba memanggilku lagi beberapa kali, tapi aku tidak bergeming atau sekali pun menatap balik padanya. Kemudian, waktu kembali berjalan seiring Niken menghilang dari balik punggungku. Artinya aku harus belajar untuk UAS sendirian.

Rumah Mak Tuo tetap lapuk seperti biasa. Kedua anak bujangnya tetap tidak patut ditiru. Tapi yang paling penting adalah uang Mak Tuo sudah ketemu. Maka, aku kembali ke dunia nyata dan memberi tau informasi ini kepada Mak Tuo.

Informasi soal uangnya saja, yang lain tak usah.


Niken

---

Sore ini berjalan lama dari kemarin-kemarin.

Aku duduk di pinggir sungai, menatap ke aliran air yang jernih dan berisik karena menghantam banyak batu-batu besar. Air sungai di sini terlalu jernih sampai-sampai bisa memantulkan warna senja dari langit. Garis jingga bercampur warna ungu turut mewarnai awan sebagai tanda hari Sabtu ini sebentar lagi selesai.

Di pinggir sungai, laba-laba air masih sibuk berputar-putar menjaga tegangan permukaannya supaya tidak tenggelam. Di langit, burung kuntul sedang beramai-ramai pulang ke sarangnya setelah seharian mencari makan. Di belakangku, muncul perempuan yang tidak kuinginkan.

Biasonyo di pintu rimba.” Novia datang.
“Terlalu sore.” Sambutku.

Ini juga sudah terlalu sore untuk berseteru dengan perempuan. Adrenalinku sedang terlalu anjlok untuk membuat badanku beranjak pergi meninggalkan Novia. Atau karena dopamin yang sedang terlalu pekat karena lama-lama menatap pemandangan indah. Jadi, kubiarkan Novia duduk di atas rumput, di sebelah kanan putri malu, di sebelah kiriku.

Novia tidak langsung banyak bicara. Itu bagus, karena jika dia bicara, bisa merusak sore hari dan kehampaan yang sedang aku alami. Harusnya dari dulu Novia begini, bukan bawel seperti di kelas.

“Tadi Mak Tuo minta tolong apa lagi?” Tanya dia.

Aku menoleh. Sepertinya berita Mak Tuo sering datang ke rumahku sudah jadi topik pokok setiap pertemuan di dusun. Tak ada kabar yang tak jadi panas di sini.

Aku tak langsung menjawab Novia. Tapi aku tergelitik untuk menyunggingkan senyum. Sebuah tawa yang tertahan karena mengangkat topik soal Mak Tuo. Ini sekaligus mengingatkan kalau tadi Niken juga sempat membahas hal yang sama.

Kemudian, aku menjawab secukupnya. Cukup supaya Novia tidak bertanya hal yang sama lagi. Lalu dia akan bertanya hal lain yang lebih beraroma basa-basi. Sebuah omong kosong yang tidak akan terkenang bahkan setelah pulang dari sini.

“siap UAS?” Tanya Novia.

Benar, kan. Basa-basi.

Aku tidak pernah takut dengan UAS. Ujian tertulis itu juga bukan tujuanku bersekolah. Tanpa UAS pun aku masih bisa hidup dari ladang. Hal yang terpenting untukku bersekolah adalah supaya menambah wawasan. Supaya bisa menerima sudut pandang yang tak biasa. Supaya tidak mudah dibohongi orang.

Supaya... tidak mudah dibohongi perasaan.

Kata Niken, aku ini sudah seperti adiknya. Siapakah yang berbohong? Niken atau aku? Aku menganggap dia lebih karena sebetulnya kami memang tidak punya pertalian darah. Apakah itu bohong? Atau, karena bapakku dan om berewok adalah teman akrab, lalu kami sudah jadi adik dan kakak, itukah yang benar?

“Halo, halo, Nando?” Novia menjentikkan jarinya.

Aku kembali dari awang-awang.

Indak pernah takut UAS.” Jawabku singkat.
“Sombong nian.” Ledeknya.
“Memang begitu.” Aku mendatar.
“Bantu lah.”

Aku menggeleng. Membantu untuk mencontek selalu dikatakan oleh bapak sebagai suatu yang koruptif. Aku bahkan diajari untuk berani melawan kawan-kawan lain di kelas agar mereka berhenti memanggilku saat ujian. Itu berisik dan tidak akan membuahkan hasil.

“Ih, bukan buat contekan.” Kata Novia.

Keningku berkerut.

“Bantu belajar.” Pintanya.

Novia mulai tidak waras lagi. Dia bersikeras untuk minta diajari. Apalagi untuk pelajaran matematika dan kimia yang katanya menjadi kelemahannya.

Aku tidak mau. Berdekatan dengan datuak dan keluarganya adalah sebuah kesalahan. Itu melanggar sumpahku sendiri. Nanti pasti akan ada hal-hal aneh lainnya yang dilakukan kepala dusun tua itu kalau tau aku semakin dekat dengan anak perempuannya.

Novia pun mulai berlebihan setelah aku berulang kali menolak. Dia menggenggam erat dan mengguncang-guncang bajuku.

“Ehm, ehm...” Orang lewat.

Untungnya ada orang dusun yang kebetulan lewat di belakang kami. Seorang yang baru pulang dari sawah. Dia pastinya menegur kami karena seorang bujang dan gadis tidak selayaknya berduaan menjelang gelap.

Kalau begitu waktunya pulang, lalu melupakan omong kosong ini. Aku selamat.

Novia terpaksa berjalan terlebih dulu, lalu aku menyusul. Kulihat dirinya dari belakang, dia sudah berbeda dari dulu ketika mulai iseng menguntitku ke pintu rimba. Rambut Dora yang dipeliharanya dulu sudah dibiarkan memanjang lurus melewati punggung. Tubuhnya mulai meliuk seperti gitar kepunyaanku.

Inikah perempuan yang disebut Niken menyukaiku? Mana mungkin. Aku bahkan hanya mengenal Novia sebatas ciri fisiknya.


Novia

---

Seperti yang aku bilang, aku tidak pernah takut UAS. Kalau mau berhasil, belajar sungguh-sungguh itu kuncinya. Kompensasilah waktu yang hilang karena sibuk bermain. Bukan sibuk karena berpacaran di atas motor milik orang tua, melamun sambil merokok di atas jembatan sungai, apalagi menyontek waktu ujian.

Dengan ini, aku dinobatkan wali kelas sebagai satu-satunya putra dusun yang memiliki masa depan untuk bisa kuliah di kota Padang. Itu melalui jalur rapor tentunya.

“Mau ke Jawa, lah.” Kataku cuek.
“Bisa dipertimbangkan itu.” Jawab wali kelas.

Sebenarnya aku bilang begitu supaya bisa keluar dari ruang guru cepat-cepat.

Liburan telah datang. Ini adalah waktunya aku bisa menjelajah lebih jauh lagi dari biasanya. Bapak pun tau itu, maka bapak dan aku sudah punya janji untuk masuk ke hutan dan menginap di sana, seperti tahun-tahun sebelumnya.

Tahun ini ada yang berbeda. Empat anak bimbingan skripsi om berewok akan sampai besok di kota Padang naik pesawat. Di hari yang sama, mereka langsung menuju ke dusun ini untuk penelitian. Jadwalnya, kami akan masuk ke hutan lusa.

Kemudian, aku dengan senang hati mempersiapkan semua perlengkapan pribadi dan titipan anak-anak bimbingan om berewok. Dua tenda berdebu kukeluarkan dari dalam gudang untuk dibersihkan.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
"Takdir bukan lagi hal yang bisa disalah-salahkan akibat kegagalan diri."

nah ini bener banget nih.. Manusia suka banget 'menghibur diri' pake tameng takdir. Akhirnya jadi lupa untuk koreksi diri & tambah jauh dari sifat reflektif. akibat yg nggak disadarin adalah jadi doyan nyalahin orang lain/faktor diluar dirinya, tapi nggak mau berkaca..

lanjut lagi, suhu.. gue suka sama tema yg suhu bawain
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Thx updatenya om

Konsep perpindahan ruang dan waktu Nando hanya kesadarannya saja bukan fisik kan? Berarti ada kemungkinan kesadaran Nando masuk ke fisik orang lain?
 
Bagus ya kalimatnya? Saya masih banyak belajar dan eksperimen dengan kosakata unik supaya bikin pembaca mau mikir. Hehehe.

Selamat sore.
 
Episode 4
Ekspedisi Rimba


Terjebak dalam situasi yang membosankan itu... membosankan. Mungkin itu yang terjadi pada orang-orang yang sudah dewasa. Terjebak dalam rutinitas pergi ke ladang, ke balai, mencuci baju, merokok, bermain gitar, pasti membosankan. Atau kalau di kota besar, membosankan itu mungkin pergi ke kantor dan menghabiskan banyak usia di dalam kendaraan. Atau sebagainya, yang aku belum tau konsep membosankan lainnya.

Aku pernah melihat bapak mengalami masa begitu malasnya untuk menyiram kentang, menebar pupuk, dan menebas macam-macam gulma. Aku pernah melihat Mak Etek mempunyai masa mengeluh saat setiap pagi harus memasak banyak demi dagangannya di balai. Rumit sekali sepertinya kehidupan orang dewasa.

Maka itu, mungkin itu alasannya muncul kebutuhan akan liburan. Orng-orang butuh lari menjauh dari rutinitas untuk waktu tertentu. Mereka biasanya ingin mencoba hal baru, melihat hal baru, apalagi melupakan masalah. Bagi kota yang polusinya berlebih-lebih, ini termasuk fungsi detoksifikasi, katanya.

Aku mungkin belum merasakan bosan, tapi aku ingin juga liburan.

Liburan buatku maksudnya adalah bisa pergi jauh-jauh dari dusun dan dari pasien. Pergi jauh masuk ke hutan.

“Nando, jemput kawan-kawan baru kita itu di travel ya.” Panggil bapak.
Iyo.” sahutku.

Kemudian, aku sudah sampai di tempat travel menggunakan motor tua bapak. Tempat travel inilah satu-satunya titik ujung transportasi umum dari ujung dusun ke kota Bukittinggi dan ke Padang. Lokasiya dibangun apa adanya, selayak rumah toko yang ada di kota-kota. Halamannya dibiarkan luas dan rata untuk parkir mobil-mobil minibus milik empunya travel. Saat aku tiba, di sana terparkir dua minibus, namun keduanya bukan yang ditumpangi tamu-tamu kami dari tanah Jawa.

Jadi aku masih harus menunggu.

Kata bapak, mereka tiba di bandara jam 8 pagi. Harusnya sudah sampai di sini jam 11 siang tadi. Tapi, ini sudah lewat tengah hari dan minibus belum ada yang datang dari Padang.


Uni, mobil dari Padang belum datang?” Aku bicara kepada seorang resepsionis muda berperawakan kecil. Dia asik duduk di belakang meja sambil memegang handphonenya sedari tadi.

Ini dia daya tarik dari usaha travel di sini, resepsionisnya selalu perempuan yang masih muda meski tiap beberapa bulan selalu berganti orang-orang. rata-rata usia mereka mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku, sekitar usia lulus SMA. Tak jarang kudengar juga banyak laki-laki di sekitar sini mencoba menggoda sang nona resepsionis, siapa saja.

“Belum ada kabar. Ditelepon juga indak masuk.” Balas si Uni.

Uni bilang kalau kabar terakhir dari sang sopir diterima lebih dari satu jam lalu. Kabar itu berisi bahwa mereka baru di Lembah Anai. Kabar itu tidak kunjung i, bahkan sekarang sang sopir tak bisa dihubungi. Karena itulah uni resepsionis sibuk dengan handphonenya sendiri. Maka, kupikir ada apa-apa karena itu wilayah lembah. Sulit menerima sinyal dan rawan lewat binatang buas.

Lebih baik kuperiksa sendiri keadaan mereka lewat dimensi mimpi. Tapi kali ini percobaanku akan berbeda, karena aku tidak masuk ke mimpi siapapun. Kata Niken, cara ini lebih menguras tenaga daripada biasanya. Aku harus melakukan sekuat-kuatnya, karena tamu-tamu bapak ada di sana.

Aku meminta izin kepada uni untuk dapat duduk di bagian belakang meja resepsionis supaya aman. Sayangnya uni tidak mengizinkan. Semohon apapun aku meminta waktu sejenak, pun tidak diperbolehkan karena alasan bahwa tempat itu adalah daerah khusus staff.

“Hoi, Nando!” Tiba-tiba ada suara menggelegar yang familiar di telingaku.

Kutengok ke arah pinggir jalan. Datang seorang bapak-bapak gendut sambil memegang segelas plastik kopi panas. Kancing atas baju kemejanya dibuka, biasanya karena gerah. Tapi walau gerah tetap saja dia minum yang panas-panas di hari yang panas pula.

“Bang Tepu!” Sahutku.
“Ada urusan apa kau di sini?” Logat bataknya kental.

Itu Abang Sitepu, teman berdagang Mak Etek di balai. Kami saling kenal karena aku cukup sering mengantarkan Mak Etek selagi bapak tidak sempat.

“Ini bang...” Kataku, terpotong.
Buyuang ini mau izin tidur di belakang, Bang.” Uni resepsionis yang memotong.
“Bah, kenapa kau mau tidur siang-siang begini?” Suara Bang Tepu menggelegar lagi.

Aku mengetuk jidatku sendiri. Itu kode tertentu yang hanya diketahui oleh orang-orang yang hanya tau kemampuanku. Bang Tepu pernah diminta Mak Etek untuk dilihat mimpinya karena lupa jadwal untuk sesuatu hal di balai. Jadi, kuharap dia sudah tau apa mauku.

“Oh.” Mulut Bang Tepu membulat.

Aku menempelkan kedua telapak tanganku pertanda memohon.

“Put, kau kasih lah dia tidur di belakang.” Bang Tepu bicara ke Uni.
“Tapi, bang..” Kata Uni.
“Kau harus tau, biar muda begitu, dia dukun. Mau kau disantetnya?”

Aku mendadak tegelitik dan jadi tersedak ludah sendiri. Bang Tepu sangat gila sampai di luar dugaan. Tapi tak apa, karena akhirnya aku diizinkan tidur di belakang. Kemudian, beralaskan tikar pandan, aku membaringkan badan.

Bagi orang-orang yang memahami apa itu mimpi sadar, pasti tau apa yang terjadi dengan hal-hal semacam itu. Dalam satu buku yang dipamerkan Niken, mimpi semacam itu merupakan latihan yang akhirnya membuat sang pemimpi ingat apa yang dimimpikan. Pada puncak kemampuan itu, sang pemimpi bisa mengendalikan mimpinya sendiri. Itulah yang sering kulakukan di hari-hari biasa dalam menangani pasien.

Tapi dalam kasus ini, akan sangat berbeda untuk disebut sebagai mimpi sadar. Aku mampu untuk tau kapan mimpi ini dimulai dan akan berhubungan langsung dengan dunia nyata. Sebagaimana yang sekarang terjadi setelah memejamkan mata, sekarang aku bisa melihat tubuhku sendiri terbaring lurus di atas tikar pandan.

Bang Tepu sedang duduk di atas kursi plastik, di depan resepsionis. Uni sedang bingung melihat aku tertidur.

“Benar dukun, bang?” Tanya si uni.
“Ya iyalah. Kapan pula aku suka berbohong.”

Kutinggalkan percakapan mereka. Aku terbang melayang semakin tinggi. Secepat angin aku menjauh dari tanah, melihat atap-atap rumah mengecil seukuran semut. Sayangnya, baru sebentar aku langsung merasakan kelelahan.

Aku harus berhemat tenaga dan waktu sebelum tertarik kembali ke dalam tubuhku sendiri. Aku harus tau dengan tepat daerah mana yang aku telusuri. Jadi, aku langsung masuk ke daerah Lembah Anai. Kucari mobil milik usaha travel itu di sepanjang jalan nasional di sana.

Kemudian, kutemukanlah ada satu mobil hitam yang menepi di pinggir tebing. Di hari yang terik begini, para penumpangnya pasti lelah dan panas kalau tetap di dalam lmobi. Jadi, kulihat mereka sedang duduk-duduk di luar. Ada enam orang penumpang dan satu sopir yang sedang kebingungan. Sang sopir sedang menunggu kendaraan apapun yang lewat, yang mana itu jarang terjadi, sedangkan sebagian penumpang sedang sibuk mengomel.

Kulihat masalah sang sopir itu, lalu mudah sekali disimpulkan karena semua orang sangat cerewet. Masalah mereka adalah ban pecah, baterai handphone habis, atau tidak ada sinyal.

Aku semakin berkeringat, baju imajinerku basah, tapi untungnya tepat waktu saat badanku mulai terasa ditarik dengan kekuatan maha dahsyat ke arah belakang.

“HUAAAAAAH!! HAAAAH!!!” Aku terbangun.

Kuhela nafas banyak-banyak. Aku juga meminta tolong diberikan segelas air.

“Hei, Nando, apa yang kau cari?” Tanya Bang Tepu.
“Travelnya pecah ban di daerah Lembah Anai, bang.” Kataku.

Uni resepsionis matanya tidak berkedip. Bang Tepu tertawa terbahak-bahak dengan lantangnya. Kemudian, uni panik sendiri dengan nasib mobil travel perusahaan yang pecah ban.

---

Apa perbedaan anak kecil dan orang dewasa? Ayo bahas satu-satu.

Anak kecil punya kelebihan energi. Itu karena sedang berlangsung masa pertumbuhan sehingga sel-sel mereka aktif bermetabolisme. Akibatnya, anak kecil lebih banyak tingkah dan sulit dikendalikan. Orang tua justru harus khawatir kalau anak-anaknya tidak pernah aktif menjelajah ruang yang mereka punya, karena itu pertanda ada yang tak normal.

Anak kecil juga banyak sekali melontarkan pertanyaan. Itu karena otak mereka sedang berproses, mencoba berpikir nalar sekaligus berimajinasi, dan suka meniru orang-orang di sekitarnya. Saat itulah realitas seumur hidup mereka terbentuk dari jawaban-jawaban yang didengar dan dilihat. Maka, orang tua berhati-hatilah berkata dan memberi penjelasan pada anak-anaknya.

Sore ini, aku menyaksikan banyak anak-anak kecil tetangga bermalu-malu, mengintip dari depan rumahku untuk mengamati pendatang dari tanah Jawa. Mereka ingin tau rupa-rupa anak kuliahan bimbingan om berewok.

“Najwa, kalo ngantuk tidur dulu aja. Ntar malam lagi bisa kok beres-beresnya.” Kata lelaki besar.
“Gapapa nih?” Tanya balik perempuan bernama Najwa itu.

Perempuan yang dipanggil Najwa itu mencoba mengonfirmasi. Dirinya tampak ragu-ragu untuk bisa istirahat dengan barang-barang yang masih belum selesai dipersiapkan. Padahal, si lelaki besar sudah mengizinkan.

“Kak, air panasnya sudah matang ini kalau mau minum teh.” Kataku kepada siapa pun.
“Nuhun, ya, Nando.” Kata laki-laki yang lain, berkacamata.

Nuhun. Itu bahasa Sunda ya. Aku pusing sendiri mendengar logat mereka yang macam-macam. Aku pun masih mencoba menghafal nama dan muka mereka berempat.

Tadi, perempuan yang sibuk merapihkan barang-barang itu namanya Kak Najwa kan. Dia, apa ya sebutannya, bermata lebar. Bentuk mukanya beda jauh dengan kami. Pastinya bukan orang Padang.

Laki-laki besar tegap yang sering bicara dengan Najwa itu namanya Kak Fadil, kalau tidak salah. Dia yang paling peduli dari tadi. Pacarnya Kak Najwa mungkin? Atau ketua kelompok ini?

Laki-laki yang berbahasa sunda tadi suka bilang dirinya sendiri sebagai Abdi, tapi dia sempat bilang kalau namanya itu Karya. Tadinya aku bingung sendiri mana nama yang benar, sampai kemudian Kak Fadil mengoreksi kalau abdi artinya adalah 'saya' dalam bahasa sunda halus. Perawakannya lebih kurus dan lebih coklat warna kulitnya dibanding Fadil, jadi mudah untuk dibedakan.

Yang terakhir, perempuan berjilbab dan badannya paling kecil. Mana orangnya itu? Kalau tidak salah panggilannya Le.

“Kak, Kak Le ke mana ya?” Tanyaku ke Kak Karya.
“Kalo nggak salah tadi main di luar sama anak kecil.” Katanya.

Mulutku membulat.

“Yah, lo gimana sih, Kar. Itu jagain dong si Le. Ntar ilang aja, baru hari pertama.”

Kak Fadil menimpali. Kutebak pasti dia memang ketua kelompok karena kegalakannya itu.

“Gak apa-apa, Kak. Biar saya yang panggil.” Kataku.
“Maaf ya ngerepotin.” Balas Kak Karya.

Lumayan repot menjadi tuan rumah di waktu bapak dan Mak Etek sedang pergi entah ke mana. Semuanya harus kusiapkan sendiri supaya rumah terasa nyaman bagi tamu. Apalagi mereka pendatang dari jauh.

Aku kemudian keluar dari pintu, turun dari tangga kayu, lalu melirik ke arah mana tadi Kak Le pergi bermain dengan anak-anak kecil. Kulihat sendal gunung kakak-kakak cuma ada tiga pasang, jadi artinya Kak Le kemungkinan pergi agak jauh dari rumah.

“Repot nian.” Aku bertolak pinggang.
“Cari siapo?” Suara perempuan mengagetkanku.

Itu Novia datang dari arah belakang. Sangat kebiasaannya untuk mengejutkan dengan cara yang tiba-tiba. Seperti setan yang datang tak diundang.

“Tamu.” Kataku singkat.
“Yang dari Jawa itu?” Tanya Novia lagi.
Iyo.”
“Tadi ke warung Uda Zar sama anak-anak kecil.” Kata Novia.

Aduh, baru 2 jam Kak Le datang, sudah diminta-mintai oleh anak kecil. Aku kalang kabut sendiri jadinya. Belum lagi warung Uda Zar itu menjual segala macam jajanan. Anak-anak pasti meminta dibelikan banyak kalau mereka sudah diizinkan begitu.

Aku buru-buru pergi ke arah warung Uda Zar. Kemudian, Novia mengekor.

Di sana, anak-anak kecil sudah mengunyah apa yang bisa mereka makan. Di genggamannya juga banyak permen, biskuit, dan minuman sebanyak yang bisa mereka bawa. Alhasil, tawa bahagia menyeruak dari wajah-wajah ingusan itu.

Kak Le tampak senang dengan kebahagiaan anak-anak. Tapi tidak denganku karena bisa membuat repot di hari-hari berikutnya. Mereka pasti akan kembali ke depan rumah untuk meminta dibelikan jajanan lagi.

“Kak Le, dicari kawan-kawannya.” Aku menghampiri.
“Oh iya? Aduh maaf ya, abis mereka lucu-lucu sih.” Jawab Kak Le.

Kami pun kembali ke rumah. Novia kutinggalkan supaya dia terjebak bermain dengan anak-anak di depan warung Uda Zar. Rasakan.

Bapak dan Mak Etek baru pulang jam 4 sore dengan banyak sekali makanan. Ada pisang, kelapa muda, dan kue-kue. Malam ini bisa jadi banyak sajian. Di ruang tamu, Kak Najwa masih tidur berbantalkan tasnya sendiri. Kak Fadil dan Kak Karya sibuk memisahkan barang sehari-hari dengan barang yang akan dibawa menginap di dalam hutan, sedangkan Kak Le sedang minum teh panas.

Cuacanya memang mendukung untuk mulai minum teh panas. Di sini, gelap lebih cepat datang dan menjadi dingin. Gunung Singgalang di sebelah barat selalu menghalangi cahaya matahari sore, seolah bulatnya bola panas itu tenggelam lebih awal dari tempat-tempat lain.

“Wah, anak-anaknya Pak Deni udah mulai sibuk aja.” Celoteh bapak, menyebutkan nama asli om Berewok yang baru kutahu.

Kak Fadil paling pertama kali menyalami bapak, dilanjutkan oleh Kak Karya, lalu terakhir Kak Le. Tadinya Kak Najwa mau dibangunkan, tapi lebih baik dibiarkan saja, kata bapak.

“Pak Deni titip salam.” Kata Kak Fadil.
“Iya, iya, hahaha.” Sahut bapak.
“Dingin ya pak di sini.” Kak Karya menimpali.
“Ya, namanya juga kaki gunung.”

Diskusi sore itu berlangsung menyenangkan. Dari situ juga aku sekali lagi mengonfirmasi kalau nama asli om berewok adalah Pak Deni. Tapi aku merasa masih lebih asik memanggil dengan sebutan om berewok. Bawaan sejak kecil, kan.

Sajian makan malam dibawa oleh Mak Etek dan diriku sendiri dari dapur. Ada gulai ayam, labu siam, kentang balado, dan pisang goreng. Makanan ala dusun yang terasa sudah mewah, tapi wajar mengingat ini hari pertama tamu kami datang.

Kak Najwa sudah bangun tidur sejak tadi maghrib dan barang-barangnya sudah masuk ke kamar. Mereka tinggal menikmati sisa hari untuk pergi berangkat besok.

Dari obrolan-obrolan malam ini, aku mengenal bahwa Kak Fadil benar-benar sebagai ketua kelompok. Dia mengambil topik skripsi tentang keanekaragaman herpetofauna, kelompok hewan yang bergerak dengan perut menempel dengan tanah yang didalamnya beranggotakan reptil dan amfibi. Katanya, mungkin akan sedikit reptil yang ditemukan karena ini tempat dingin. Tapi, akan menjadi rekaman unik kalau ada.

“Dulu aku pernah dipatuk ular, kak.” Kataku.
“Oh iya? Ular apa? Di mana?” Kak Fadil langsung antusias.
“Di dekat pintu rimba, ularnya warna hijau.”

Kak Fadil meminta waktu sebentar. Dia mengeluarkan handphonenya untuk menunjukkan gambar-gambar ular. Dia sisihkan warna yang bukan hijau, lalu menunjukkan satu-satu jenis ular kepadaku setelah disortir.

“Ini bukan?” Kak Fadil menunjukkan satu.

Aku tidak yakin dengan ukuran yang ditunjukannya, tapi bagian kepala yang memanjang, warna iris mata kuning dan ada bagian hitam yang menggaris ke samping itu masih aku ingat betul. Gambar yang ditunjukkan Kak Fadil sama persis.

“Iya, ini.” Aku menunjuk gambar dengan yakin.
“Ah, wajar, wajar.” Kak Fadil tersenyum.

Kata Kak Fadil, itu ular gadung namanya. Dia menjelaskan ular itu termasuk tipe taring belakang. Artinya, dia punya bisa, tapi tidak berbahaya untuk manusia. Maka itu, sangat wajar kalau aku masih hidup dan tidak mengalami cacat apapun. Keberadaannya di pulau Sumatra pun juga umum.

Kalau cerita tentang Kak Karya, dia mengambil penelitian tentang kantong semar. Kebetulan aku sudah pernah melihat satu jenis meski untuk menjangkau lokasinya itu susah sekali. Posisi keberadaannya sangat tersembunyi di lereng dan puncak-puncak bukit.

“Sebenarnya tadi ada sih aku lihat banyak di pinggir jalan, waktu naik travel.” Kata Kak Karya.
“OH IYA?” Aku heboh.
“Loh, belum tau di pinggir jalan ada?”

Aku menoleh ke bapak.

“Bapak juga sudah pernah lihat, Do.” Ledek bapak.

Aku jadi kesal, kenapa bapak tidak pernah mengajakku keliling di lokasi lain-lain yang jauh.

Aku mengetahui juga bahwa Kak Najwa melakukan penelitian tentang talas. Aku lupa ceritanya, tapi lumayan menarik. Aku juga mau bisa membedakan macam-macam talas. Apalagi katanya ada talas yang hidupnya merambat di batang-batang pohon.

Cerita Kak Le lah yang paling unik. Dia mencari semut! Apalagi, ini katanya tempat dingin. Sama seperti reptil, semut pasti susah dicari, tapi sangat unik kalau bisa ditemukan. Di samping itu, ini bukan saatnya musim kawin, jadi akan lebih susah lagi mencari di sarangnya sambil menggali-gali tanah. Besok hingga satu minggu ke depan pasti jadi petualangan yang menarik.

Hingga kemudian, datang dua tamu tak diundang... Mereka adalah Datuak dan Novia. Mereka secepat kilat masuk ke dalam rumah, bersalam-salaman singkat demi sopan santun, lalu langsung berbicara ke inti masalah kepada bapak. Sangat inti masalah, buatku. Kabarnya, Novia ingin ikut masuk ke hutan dan menginap.

Bencana besar! Novia tidak pernah masuk hutan dan tidak pernah tau caranya melakukan persiapan yang benar. Dulu, bertemu ular dari jauh pun dia sudah teriak-teriak. Bagaimana nanti kalau Kak Fadil menemukan dan memegang ular yang lebih besar.

“Jadi, tolong dibantu lah yo.” Tutup pembicaraan Datuak.

Biar bapak yang menjawab, sedangkan aku hanya memberi tatapan suntuk kepada Datuak.. Sementara itu, kulihat Novia seperti habis mandi. Bedaknya tidak rata menyebar di sekujur mukanya. Dia lebih mirip donat kematangan dengan gula halus yang ditebar tidak karuan.

Bisa kutebak, raut muka bapak berubah. Saat itu pula bapak mengajak Datuak ke luar rumah. Nampaknya pembicaraan serius telah dimulai, meninggalkan kami untuk berbasa-basi di dalam rumah. Terdengar beberapa kali kekagetan dan ketidaksetujuan dari bapak sebagai tanda-tanda yang tidak baik.

Selang sekian menit, bapak dan Datuak masuk kembali ke rumah.

“Nah, jadi besok kita ketambahan kawan ya.” Bapak mengumumkan.
“Hah?!” Aku refleks kaget.
Tarimo kasih, yo.” Kata Datuak.

Tidak ada basa-basi panjang lagi, tidak ada perdebatan, tidak ada macam-macam. Bapak mengizinkan Novia bergabung sebagai penghambat kami di dalam hutan. Sangat resmi!

“Nah, Novia jangan pulang dulu, yo. Karena kita berangkat esok, Novia harus tau alat-alat dan caranya berkemas. Nanti pulang dari sini biar Nando antarkan.” Titah bapak.

Aku pasrah. Sisa malam ini terpaksa harus kuajarkan nama-nama alat, cara pemakaian, penyusunannya yang baik di dalam tas, dan apa yang boleh serta tidak boleh dikerjakan selama di dalam hutan nanti. Untungnya Kak Fadil mau menemani kami karena merasa sebagai tanggung jawabnya juga.

Butuh kurang lebih satu jam untuk mengajarkan Novia tentang semuanya dengan praktis. Semoga dia ingat. Kini dia harus pulang supaya bisa istirahat.

Kuambil kunci motor bapak, lalu aku dan Novia pamit keluar dari rumah. Kunyalakan mesin tua beroda dua ini Dengan starter kaki. Kemudian, si perempuan tukang ulah duduk menyamping di belakang punggungku. Sebenarnya, rumahnya tidak jauh, tapi bermotor itu wajib untuk mengantarkan orang.

Motor berjalan.

“Kak Le cantik yo.” Novia mulai bicara.
Iyo, dari kota pastinya modis.” Aku menjawab asal.
Iyo, lah.” Katanya.

Tidak perlu lama sampai aku menyadari maksudnya Novia bertanya begitu. Terima kasih karena buku-buku yang aku baca, aku bisa menakar kalau Novia sedang cemburu tak beralasan. Novia cemburu dengan Kak Le.

Urang gilo! Aku memaki dalam hati.

Aku menepikan kendaraan. Kutanyakan hal ini langsung kepada Novia supaya dia jujur.

“Kau cemburu??” Tanyaku keras.
Indak.”
“Dengan Kak Le??” Tanyaku lagi.
Indak!”
“Itu makanya kau mau ikut masuk hutan??” Tanyaku terus.
Indak...!”

Lho, lho, Novia malah mau menangis. Gampang sekali. Salah langkah aku mengambil keputusan untuk bertanya tadi. Kalau Novia mengadu ke Datuak karena aku membentak dia, bisa makin panjang masalah keluarga kami.

Aku jadi bertanya kepada diri sendiri, kenapa aku mengambil kesimpulan kalau Novia cemburu? Dia dan aku tidak punya hubungan apa-apa. Masa iya, hanya karena asumsi yang ditanam Niken bahwa Novia suka padaku itu, lalu aku jadi gelap akal?

Iyo, maaf lah. Sudah. Makin malam ini.” Aku merendahkan nada.

Novia mengusap air matanya. Bagian putih matanya memerah. Hidungnya basah.

“Antar pulang.” Pinta Novia.
Iyo.” Sahutku malas.

Syukur dia masih mau pulang.


Novia

---

Setelah selesai sarapan dan bekal kami dipersiapkan. Keberangkatan tinggal menghitung mundur. Kamera nan bagus sudah keluar dari tas Kak Karya, dipegang erat-erat sambil ada tali menggulung di pergelangan tangannya. Tas-tas serba efisien menempel di punggung kami semua. Khusus di tas bapak dan aku, ada tenda untuk kami dirikan nanti di dalam hutan sana.

Hari ini cuacanya bagus, pertanda alam merestui kami.

“Mak Etek, kalau ada pasien datang, bilang sedang libur lama.” Aku bergurau kepada Mak Etek.

Mak Etek membalas dengan tawa.

“Pasien?” Kak Karya kebingungan.
Ado bae, lah.” Jawabku.

Di depan kami, Novia baru saja datang dengan tampilan yang lumayan pas. Dia mengikat ekor kuda rambutnya, memakai baju lengan panjang, dan sepatu boot. Pelajaran kilat semalam membuahkan hasil baik walau aku sempat kena getahnya.

Kami akan masuk ke hutan lewat pintu rimba. Jalan ke sana telah kukenal baik dengan segala bentuk detailnya. Di perjalanan, kutunjukkan juga tempatku dipatuk ular 9 tahun lalu kepada Kak Fadil. Sudah lama sekali, mungkin ularnya sendiri sudah mati karena berusia tua.

Tibalah kami di depan pintu rimba. Ada batas yang jelas antara semak yang kami lewati dengan apa yang ada di hadapan mata. Pohon-pohon besar menjulang, akar-akarnya membentuk alur tangga alami sebagai tempat kami menapak. Jalurnya sangat menanjak, berbeda dari tanah datar yang kami tinggalkan di belakang.

“Tinggi, ya.” Kata Kak Najwa.
“Pelan-pelan dulu.” Kata bapak.

Inilah kami, tim ekspedisi rimba, ditambah satu anak kepala dusun cengeng, mulai memasuki hutan.


Kak Najwa


Kak Le

BERSAMBUNG
 
Thx updatenya om
Keknya bakal ada penemuan penting dalam ekspedisi kali ini :pandajahat:
Atau ekspedisinya sendiri yang berkesan :pandapeace:
 
Karyanya luar biasa hu... Dengan bahasa yang agak ilmiah, serta penjelasannya yang 'waw'... Sedikit bertemakan out of box ...

Ditunggu kelanjutannya bang...

:mantap::beer:
 
Okke sih hmmm tapiii skin alur cerita bakalan panjang kayanya jdi bakal banyak chapter nih dan kbanyakan kentang kayanya ntar wkakwkakkw
 
Cerita yang bagus hu ...
Baca cerita ini harus sambil putar otak mikir keraaas...tapi Perfect hu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd