Episode 4
Ekspedisi Rimba
Terjebak dalam situasi yang membosankan itu... membosankan. Mungkin itu yang terjadi pada orang-orang yang sudah dewasa. Terjebak dalam rutinitas pergi ke ladang, ke
balai, mencuci baju, merokok, bermain gitar, pasti membosankan. Atau kalau di kota besar, membosankan itu mungkin pergi ke kantor dan menghabiskan banyak usia di dalam kendaraan. Atau sebagainya, yang aku belum tau konsep membosankan lainnya.
Aku pernah melihat bapak mengalami masa begitu malasnya untuk menyiram kentang, menebar pupuk, dan menebas macam-macam gulma. Aku pernah melihat Mak Etek mempunyai masa mengeluh saat setiap pagi harus memasak banyak demi dagangannya di
balai. Rumit sekali sepertinya kehidupan orang dewasa.
Maka itu, mungkin itu alasannya muncul kebutuhan akan liburan. Orng-orang butuh lari menjauh dari rutinitas untuk waktu tertentu. Mereka biasanya ingin mencoba hal baru, melihat hal baru, apalagi melupakan masalah. Bagi kota yang polusinya berlebih-lebih, ini termasuk fungsi detoksifikasi, katanya.
Aku mungkin belum merasakan bosan, tapi aku ingin juga liburan.
Liburan buatku maksudnya adalah bisa pergi jauh-jauh dari dusun dan dari pasien. Pergi jauh masuk ke hutan.
“Nando, jemput kawan-kawan baru kita itu di travel ya.” Panggil bapak.
“
Iyo.” sahutku.
Kemudian, aku sudah sampai di tempat travel menggunakan motor tua bapak. Tempat travel inilah satu-satunya titik ujung transportasi umum dari ujung dusun ke kota Bukittinggi dan ke Padang. Lokasiya dibangun apa adanya, selayak rumah toko yang ada di kota-kota. Halamannya dibiarkan luas dan rata untuk parkir mobil-mobil minibus milik empunya travel. Saat aku tiba, di sana terparkir dua minibus, namun keduanya bukan yang ditumpangi tamu-tamu kami dari tanah Jawa.
Jadi aku masih harus menunggu.
Kata bapak, mereka tiba di bandara jam 8 pagi. Harusnya sudah sampai di sini jam 11 siang tadi. Tapi, ini sudah lewat tengah hari dan minibus belum ada yang datang dari Padang.
“
Uni, mobil dari Padang belum datang?” Aku bicara kepada seorang resepsionis muda berperawakan kecil. Dia asik duduk di belakang meja sambil memegang handphonenya sedari tadi.
Ini dia daya tarik dari usaha travel di sini, resepsionisnya selalu perempuan yang masih muda meski tiap beberapa bulan selalu berganti orang-orang. rata-rata usia mereka mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku, sekitar usia lulus SMA. Tak jarang kudengar juga banyak laki-laki di sekitar sini mencoba menggoda sang nona resepsionis, siapa saja.
“Belum ada kabar. Ditelepon juga
indak masuk.” Balas si Uni.
Uni bilang kalau kabar terakhir dari sang sopir diterima lebih dari satu jam lalu. Kabar itu berisi bahwa mereka baru di Lembah Anai. Kabar itu tidak kunjung i, bahkan sekarang sang sopir tak bisa dihubungi. Karena itulah uni resepsionis sibuk dengan handphonenya sendiri. Maka, kupikir ada apa-apa karena itu wilayah lembah. Sulit menerima sinyal dan rawan lewat binatang buas.
Lebih baik kuperiksa sendiri keadaan mereka lewat dimensi mimpi. Tapi kali ini percobaanku akan berbeda, karena aku tidak masuk ke mimpi siapapun. Kata Niken, cara ini lebih menguras tenaga daripada biasanya. Aku harus melakukan sekuat-kuatnya, karena tamu-tamu bapak ada di sana.
Aku meminta izin kepada uni untuk dapat duduk di bagian belakang meja resepsionis supaya aman. Sayangnya uni tidak mengizinkan. Semohon apapun aku meminta waktu sejenak, pun tidak diperbolehkan karena alasan bahwa tempat itu adalah daerah khusus staff.
“Hoi, Nando!” Tiba-tiba ada suara menggelegar yang familiar di telingaku.
Kutengok ke arah pinggir jalan. Datang seorang bapak-bapak gendut sambil memegang segelas plastik kopi panas. Kancing atas baju kemejanya dibuka, biasanya karena gerah. Tapi walau gerah tetap saja dia minum yang panas-panas di hari yang panas pula.
“Bang Tepu!” Sahutku.
“Ada urusan apa kau di sini?” Logat bataknya kental.
Itu Abang Sitepu, teman berdagang Mak Etek di
balai. Kami saling kenal karena aku cukup sering mengantarkan Mak Etek selagi bapak tidak sempat.
“Ini bang...” Kataku, terpotong.
“
Buyuang ini mau izin tidur di belakang, Bang.”
Uni resepsionis yang memotong.
“Bah, kenapa kau mau tidur siang-siang begini?” Suara Bang Tepu menggelegar lagi.
Aku mengetuk jidatku sendiri. Itu kode tertentu yang hanya diketahui oleh orang-orang yang hanya tau kemampuanku. Bang Tepu pernah diminta Mak Etek untuk dilihat mimpinya karena lupa jadwal untuk sesuatu hal di balai. Jadi, kuharap dia sudah tau apa mauku.
“Oh.” Mulut Bang Tepu membulat.
Aku menempelkan kedua telapak tanganku pertanda memohon.
“Put, kau kasih lah dia tidur di belakang.” Bang Tepu bicara ke
Uni.
“Tapi, bang..” Kata
Uni.
“Kau harus tau, biar muda begitu, dia dukun. Mau kau disantetnya?”
Aku mendadak tegelitik dan jadi tersedak ludah sendiri. Bang Tepu sangat gila sampai di luar dugaan. Tapi tak apa, karena akhirnya aku diizinkan tidur di belakang. Kemudian, beralaskan tikar pandan, aku membaringkan badan.
Bagi orang-orang yang memahami apa itu mimpi sadar, pasti tau apa yang terjadi dengan hal-hal semacam itu. Dalam satu buku yang dipamerkan Niken, mimpi semacam itu merupakan latihan yang akhirnya membuat sang pemimpi ingat apa yang dimimpikan. Pada puncak kemampuan itu, sang pemimpi bisa mengendalikan mimpinya sendiri. Itulah yang sering kulakukan di hari-hari biasa dalam menangani pasien.
Tapi dalam kasus ini, akan sangat berbeda untuk disebut sebagai mimpi sadar. Aku mampu untuk tau kapan mimpi ini dimulai dan akan berhubungan langsung dengan dunia nyata. Sebagaimana yang sekarang terjadi setelah memejamkan mata, sekarang aku bisa melihat tubuhku sendiri terbaring lurus di atas tikar pandan.
Bang Tepu sedang duduk di atas kursi plastik, di depan resepsionis.
Uni sedang bingung melihat aku tertidur.
“Benar dukun, bang?” Tanya si
uni.
“Ya iyalah. Kapan pula aku suka berbohong.”
Kutinggalkan percakapan mereka. Aku terbang melayang semakin tinggi. Secepat angin aku menjauh dari tanah, melihat atap-atap rumah mengecil seukuran semut. Sayangnya, baru sebentar aku langsung merasakan kelelahan.
Aku harus berhemat tenaga dan waktu sebelum tertarik kembali ke dalam tubuhku sendiri. Aku harus tau dengan tepat daerah mana yang aku telusuri. Jadi, aku langsung masuk ke daerah Lembah Anai. Kucari mobil milik usaha travel itu di sepanjang jalan nasional di sana.
Kemudian, kutemukanlah ada satu mobil hitam yang menepi di pinggir tebing. Di hari yang terik begini, para penumpangnya pasti lelah dan panas kalau tetap di dalam lmobi. Jadi, kulihat mereka sedang duduk-duduk di luar. Ada enam orang penumpang dan satu sopir yang sedang kebingungan. Sang sopir sedang menunggu kendaraan apapun yang lewat, yang mana itu jarang terjadi, sedangkan sebagian penumpang sedang sibuk mengomel.
Kulihat masalah sang sopir itu, lalu mudah sekali disimpulkan karena semua orang sangat cerewet. Masalah mereka adalah ban pecah, baterai handphone habis, atau tidak ada sinyal.
Aku semakin berkeringat, baju imajinerku basah, tapi untungnya tepat waktu saat badanku mulai terasa ditarik dengan kekuatan maha dahsyat ke arah belakang.
“HUAAAAAAH!! HAAAAH!!!” Aku terbangun.
Kuhela nafas banyak-banyak. Aku juga meminta tolong diberikan segelas air.
“Hei, Nando, apa yang kau cari?” Tanya Bang Tepu.
“Travelnya pecah ban di daerah Lembah Anai, bang.” Kataku.
Uni resepsionis matanya tidak berkedip. Bang Tepu tertawa terbahak-bahak dengan lantangnya. Kemudian,
uni panik sendiri dengan nasib mobil travel perusahaan yang pecah ban.
---
Apa perbedaan anak kecil dan orang dewasa? Ayo bahas satu-satu.
Anak kecil punya kelebihan energi. Itu karena sedang berlangsung masa pertumbuhan sehingga sel-sel mereka aktif bermetabolisme. Akibatnya, anak kecil lebih banyak tingkah dan sulit dikendalikan. Orang tua justru harus khawatir kalau anak-anaknya tidak pernah aktif menjelajah ruang yang mereka punya, karena itu pertanda ada yang tak normal.
Anak kecil juga banyak sekali melontarkan pertanyaan. Itu karena otak mereka sedang berproses, mencoba berpikir nalar sekaligus berimajinasi, dan suka meniru orang-orang di sekitarnya. Saat itulah realitas seumur hidup mereka terbentuk dari jawaban-jawaban yang didengar dan dilihat. Maka, orang tua berhati-hatilah berkata dan memberi penjelasan pada anak-anaknya.
Sore ini, aku menyaksikan banyak anak-anak kecil tetangga bermalu-malu, mengintip dari depan rumahku untuk mengamati pendatang dari tanah Jawa. Mereka ingin tau rupa-rupa anak kuliahan bimbingan om berewok.
“Najwa, kalo ngantuk tidur dulu aja. Ntar malam lagi bisa kok beres-beresnya.” Kata lelaki besar.
“Gapapa nih?” Tanya balik perempuan bernama Najwa itu.
Perempuan yang dipanggil Najwa itu mencoba mengonfirmasi. Dirinya tampak ragu-ragu untuk bisa istirahat dengan barang-barang yang masih belum selesai dipersiapkan. Padahal, si lelaki besar sudah mengizinkan.
“Kak, air panasnya sudah matang ini kalau mau minum teh.” Kataku kepada siapa pun.
“Nuhun, ya, Nando.” Kata laki-laki yang lain, berkacamata.
Nuhun. Itu bahasa Sunda ya. Aku pusing sendiri mendengar logat mereka yang macam-macam. Aku pun masih mencoba menghafal nama dan muka mereka berempat.
Tadi, perempuan yang sibuk merapihkan barang-barang itu namanya Kak Najwa kan. Dia, apa ya sebutannya, bermata lebar. Bentuk mukanya beda jauh dengan kami. Pastinya bukan orang Padang.
Laki-laki besar tegap yang sering bicara dengan Najwa itu namanya Kak Fadil, kalau tidak salah. Dia yang paling peduli dari tadi. Pacarnya Kak Najwa mungkin? Atau ketua kelompok ini?
Laki-laki yang berbahasa sunda tadi suka bilang dirinya sendiri sebagai Abdi, tapi dia sempat bilang kalau namanya itu Karya. Tadinya aku bingung sendiri mana nama yang benar, sampai kemudian Kak Fadil mengoreksi kalau abdi artinya adalah 'saya' dalam bahasa sunda halus. Perawakannya lebih kurus dan lebih coklat warna kulitnya dibanding Fadil, jadi mudah untuk dibedakan.
Yang terakhir, perempuan berjilbab dan badannya paling kecil. Mana orangnya itu? Kalau tidak salah panggilannya Le.
“Kak, Kak Le ke mana ya?” Tanyaku ke Kak Karya.
“Kalo nggak salah tadi main di luar sama anak kecil.” Katanya.
Mulutku membulat.
“Yah, lo gimana sih, Kar. Itu jagain dong si Le. Ntar ilang aja, baru hari pertama.”
Kak Fadil menimpali. Kutebak pasti dia memang ketua kelompok karena kegalakannya itu.
“Gak apa-apa, Kak. Biar saya yang panggil.” Kataku.
“Maaf ya ngerepotin.” Balas Kak Karya.
Lumayan repot menjadi tuan rumah di waktu bapak dan Mak Etek sedang pergi entah ke mana. Semuanya harus kusiapkan sendiri supaya rumah terasa nyaman bagi tamu. Apalagi mereka pendatang dari jauh.
Aku kemudian keluar dari pintu, turun dari tangga kayu, lalu melirik ke arah mana tadi Kak Le pergi bermain dengan anak-anak kecil. Kulihat sendal gunung kakak-kakak cuma ada tiga pasang, jadi artinya Kak Le kemungkinan pergi agak jauh dari rumah.
“Repot
nian.” Aku bertolak pinggang.
“Cari
siapo?” Suara perempuan mengagetkanku.
Itu Novia datang dari arah belakang. Sangat kebiasaannya untuk mengejutkan dengan cara yang tiba-tiba. Seperti setan yang datang tak diundang.
“Tamu.” Kataku singkat.
“Yang dari Jawa itu?” Tanya Novia lagi.
“
Iyo.”
“Tadi ke warung
Uda Zar sama anak-anak kecil.” Kata Novia.
Aduh, baru 2 jam Kak Le datang, sudah diminta-mintai oleh anak kecil. Aku kalang kabut sendiri jadinya. Belum lagi warung
Uda Zar itu menjual segala macam jajanan. Anak-anak pasti meminta dibelikan banyak kalau mereka sudah diizinkan begitu.
Aku buru-buru pergi ke arah warung
Uda Zar. Kemudian, Novia mengekor.
Di sana, anak-anak kecil sudah mengunyah apa yang bisa mereka makan. Di genggamannya juga banyak permen, biskuit, dan minuman sebanyak yang bisa mereka bawa. Alhasil, tawa bahagia menyeruak dari wajah-wajah ingusan itu.
Kak Le tampak senang dengan kebahagiaan anak-anak. Tapi tidak denganku karena bisa membuat repot di hari-hari berikutnya. Mereka pasti akan kembali ke depan rumah untuk meminta dibelikan jajanan lagi.
“Kak Le, dicari kawan-kawannya.” Aku menghampiri.
“Oh iya? Aduh maaf ya, abis mereka lucu-lucu sih.” Jawab Kak Le.
Kami pun kembali ke rumah. Novia kutinggalkan supaya dia terjebak bermain dengan anak-anak di depan warung
Uda Zar. Rasakan.
Bapak dan Mak Etek baru pulang jam 4 sore dengan banyak sekali makanan. Ada pisang, kelapa muda, dan kue-kue. Malam ini bisa jadi banyak sajian. Di ruang tamu, Kak Najwa masih tidur berbantalkan tasnya sendiri. Kak Fadil dan Kak Karya sibuk memisahkan barang sehari-hari dengan barang yang akan dibawa menginap di dalam hutan, sedangkan Kak Le sedang minum teh panas.
Cuacanya memang mendukung untuk mulai minum teh panas. Di sini, gelap lebih cepat datang dan menjadi dingin. Gunung Singgalang di sebelah barat selalu menghalangi cahaya matahari sore, seolah bulatnya bola panas itu tenggelam lebih awal dari tempat-tempat lain.
“Wah, anak-anaknya Pak Deni udah mulai sibuk aja.” Celoteh bapak, menyebutkan nama asli om Berewok yang baru kutahu.
Kak Fadil paling pertama kali menyalami bapak, dilanjutkan oleh Kak Karya, lalu terakhir Kak Le. Tadinya Kak Najwa mau dibangunkan, tapi lebih baik dibiarkan saja, kata bapak.
“Pak Deni titip salam.” Kata Kak Fadil.
“Iya, iya, hahaha.” Sahut bapak.
“Dingin ya pak di sini.” Kak Karya menimpali.
“Ya, namanya juga kaki gunung.”
Diskusi sore itu berlangsung menyenangkan. Dari situ juga aku sekali lagi mengonfirmasi kalau nama asli om berewok adalah Pak Deni. Tapi aku merasa masih lebih asik memanggil dengan sebutan om berewok. Bawaan sejak kecil, kan.
Sajian makan malam dibawa oleh Mak Etek dan diriku sendiri dari dapur. Ada gulai ayam, labu siam, kentang balado, dan pisang goreng. Makanan ala dusun yang terasa sudah mewah, tapi wajar mengingat ini hari pertama tamu kami datang.
Kak Najwa sudah bangun tidur sejak tadi maghrib dan barang-barangnya sudah masuk ke kamar. Mereka tinggal menikmati sisa hari untuk pergi berangkat besok.
Dari obrolan-obrolan malam ini, aku mengenal bahwa Kak Fadil benar-benar sebagai ketua kelompok. Dia mengambil topik skripsi tentang keanekaragaman herpetofauna, kelompok hewan yang bergerak dengan perut menempel dengan tanah yang didalamnya beranggotakan reptil dan amfibi. Katanya, mungkin akan sedikit reptil yang ditemukan karena ini tempat dingin. Tapi, akan menjadi rekaman unik kalau ada.
“Dulu aku pernah dipatuk ular, kak.” Kataku.
“Oh iya? Ular apa? Di mana?” Kak Fadil langsung antusias.
“Di dekat pintu rimba, ularnya warna hijau.”
Kak Fadil meminta waktu sebentar. Dia mengeluarkan handphonenya untuk menunjukkan gambar-gambar ular. Dia sisihkan warna yang bukan hijau, lalu menunjukkan satu-satu jenis ular kepadaku setelah disortir.
“Ini bukan?” Kak Fadil menunjukkan satu.
Aku tidak yakin dengan ukuran yang ditunjukannya, tapi bagian kepala yang memanjang, warna iris mata kuning dan ada bagian hitam yang menggaris ke samping itu masih aku ingat betul. Gambar yang ditunjukkan Kak Fadil sama persis.
“Iya, ini.” Aku menunjuk gambar dengan yakin.
“Ah, wajar, wajar.” Kak Fadil tersenyum.
Kata Kak Fadil, itu ular gadung namanya. Dia menjelaskan ular itu termasuk tipe taring belakang. Artinya, dia punya bisa, tapi tidak berbahaya untuk manusia. Maka itu, sangat wajar kalau aku masih hidup dan tidak mengalami cacat apapun. Keberadaannya di pulau Sumatra pun juga umum.
Kalau cerita tentang Kak Karya, dia mengambil penelitian tentang kantong semar. Kebetulan aku sudah pernah melihat satu jenis meski untuk menjangkau lokasinya itu susah sekali. Posisi keberadaannya sangat tersembunyi di lereng dan puncak-puncak bukit.
“Sebenarnya tadi ada sih aku lihat banyak di pinggir jalan, waktu naik travel.” Kata Kak Karya.
“OH IYA?” Aku heboh.
“Loh, belum tau di pinggir jalan ada?”
Aku menoleh ke bapak.
“Bapak juga sudah pernah lihat, Do.” Ledek bapak.
Aku jadi kesal, kenapa bapak tidak pernah mengajakku keliling di lokasi lain-lain yang jauh.
Aku mengetahui juga bahwa Kak Najwa melakukan penelitian tentang talas. Aku lupa ceritanya, tapi lumayan menarik. Aku juga mau bisa membedakan macam-macam talas. Apalagi katanya ada talas yang hidupnya merambat di batang-batang pohon.
Cerita Kak Le lah yang paling unik. Dia mencari semut! Apalagi, ini katanya tempat dingin. Sama seperti reptil, semut pasti susah dicari, tapi sangat unik kalau bisa ditemukan. Di samping itu, ini bukan saatnya musim kawin, jadi akan lebih susah lagi mencari di sarangnya sambil menggali-gali tanah. Besok hingga satu minggu ke depan pasti jadi petualangan yang menarik.
Hingga kemudian, datang dua tamu tak diundang... Mereka adalah
Datuak dan Novia. Mereka secepat kilat masuk ke dalam rumah, bersalam-salaman singkat demi sopan santun, lalu langsung berbicara ke inti masalah kepada bapak. Sangat inti masalah, buatku. Kabarnya, Novia ingin ikut masuk ke hutan dan menginap.
Bencana besar! Novia tidak pernah masuk hutan dan tidak pernah tau caranya melakukan persiapan yang benar. Dulu, bertemu ular dari jauh pun dia sudah teriak-teriak. Bagaimana nanti kalau Kak Fadil menemukan dan memegang ular yang lebih besar.
“Jadi, tolong dibantu lah
yo.” Tutup pembicaraan
Datuak.
Biar bapak yang menjawab, sedangkan aku hanya memberi tatapan suntuk kepada
Datuak.. Sementara itu, kulihat Novia seperti habis mandi. Bedaknya tidak rata menyebar di sekujur mukanya. Dia lebih mirip donat kematangan dengan gula halus yang ditebar tidak karuan.
Bisa kutebak, raut muka bapak berubah. Saat itu pula bapak mengajak
Datuak ke luar rumah. Nampaknya pembicaraan serius telah dimulai, meninggalkan kami untuk berbasa-basi di dalam rumah. Terdengar beberapa kali kekagetan dan ketidaksetujuan dari bapak sebagai tanda-tanda yang tidak baik.
Selang sekian menit, bapak dan
Datuak masuk kembali ke rumah.
“Nah, jadi besok kita ketambahan kawan ya.” Bapak mengumumkan.
“Hah?!” Aku refleks kaget.
“
Tarimo kasih, yo.” Kata
Datuak.
Tidak ada basa-basi panjang lagi, tidak ada perdebatan, tidak ada macam-macam. Bapak mengizinkan Novia bergabung sebagai penghambat kami di dalam hutan. Sangat resmi!
“Nah, Novia jangan pulang dulu,
yo. Karena kita berangkat esok, Novia harus tau alat-alat dan caranya berkemas. Nanti pulang dari sini biar Nando antarkan.” Titah bapak.
Aku pasrah. Sisa malam ini terpaksa harus kuajarkan nama-nama alat, cara pemakaian, penyusunannya yang baik di dalam tas, dan apa yang boleh serta tidak boleh dikerjakan selama di dalam hutan nanti. Untungnya Kak Fadil mau menemani kami karena merasa sebagai tanggung jawabnya juga.
Butuh kurang lebih satu jam untuk mengajarkan Novia tentang semuanya dengan praktis. Semoga dia ingat. Kini dia harus pulang supaya bisa istirahat.
Kuambil kunci motor bapak, lalu aku dan Novia pamit keluar dari rumah. Kunyalakan mesin tua beroda dua ini Dengan starter kaki. Kemudian, si perempuan tukang ulah duduk menyamping di belakang punggungku. Sebenarnya, rumahnya tidak jauh, tapi bermotor itu wajib untuk mengantarkan orang.
Motor berjalan.
“Kak Le cantik
yo.” Novia mulai bicara.
“
Iyo, dari kota pastinya modis.” Aku menjawab asal.
“
Iyo, lah.” Katanya.
Tidak perlu lama sampai aku menyadari maksudnya Novia bertanya begitu. Terima kasih karena buku-buku yang aku baca, aku bisa menakar kalau Novia sedang cemburu tak beralasan. Novia cemburu dengan Kak Le.
Urang gilo! Aku memaki dalam hati.
Aku menepikan kendaraan. Kutanyakan hal ini langsung kepada Novia supaya dia jujur.
“Kau cemburu??” Tanyaku keras.
“
Indak.”
“Dengan Kak Le??” Tanyaku lagi.
“
Indak!”
“Itu makanya kau mau ikut masuk hutan??” Tanyaku terus.
“
Indak...!”
Lho, lho, Novia malah mau menangis. Gampang sekali. Salah langkah aku mengambil keputusan untuk bertanya tadi. Kalau Novia mengadu ke
Datuak karena aku membentak dia, bisa makin panjang masalah keluarga kami.
Aku jadi bertanya kepada diri sendiri, kenapa aku mengambil kesimpulan kalau Novia cemburu? Dia dan aku tidak punya hubungan apa-apa. Masa iya, hanya karena asumsi yang ditanam Niken bahwa Novia suka padaku itu, lalu aku jadi gelap akal?
“
Iyo, maaf lah. Sudah. Makin malam ini.” Aku merendahkan nada.
Novia mengusap air matanya. Bagian putih matanya memerah. Hidungnya basah.
“Antar pulang.” Pinta Novia.
“
Iyo.” Sahutku malas.
Syukur dia masih mau pulang.
Novia
---
Setelah selesai sarapan dan bekal kami dipersiapkan. Keberangkatan tinggal menghitung mundur. Kamera nan bagus sudah keluar dari tas Kak Karya, dipegang erat-erat sambil ada tali menggulung di pergelangan tangannya. Tas-tas serba efisien menempel di punggung kami semua. Khusus di tas bapak dan aku, ada tenda untuk kami dirikan nanti di dalam hutan sana.
Hari ini cuacanya bagus, pertanda alam merestui kami.
“Mak Etek, kalau ada pasien datang, bilang sedang libur lama.” Aku bergurau kepada Mak Etek.
Mak Etek membalas dengan tawa.
“Pasien?” Kak Karya kebingungan.
“
Ado bae, lah.” Jawabku.
Di depan kami, Novia baru saja datang dengan tampilan yang lumayan pas. Dia mengikat ekor kuda rambutnya, memakai baju lengan panjang, dan sepatu boot. Pelajaran kilat semalam membuahkan hasil baik walau aku sempat kena getahnya.
Kami akan masuk ke hutan lewat pintu rimba. Jalan ke sana telah kukenal baik dengan segala bentuk detailnya. Di perjalanan, kutunjukkan juga tempatku dipatuk ular 9 tahun lalu kepada Kak Fadil. Sudah lama sekali, mungkin ularnya sendiri sudah mati karena berusia tua.
Tibalah kami di depan pintu rimba. Ada batas yang jelas antara semak yang kami lewati dengan apa yang ada di hadapan mata. Pohon-pohon besar menjulang, akar-akarnya membentuk alur tangga alami sebagai tempat kami menapak. Jalurnya sangat menanjak, berbeda dari tanah datar yang kami tinggalkan di belakang.
“Tinggi, ya.” Kata Kak Najwa.
“Pelan-pelan dulu.” Kata bapak.
Inilah kami, tim ekspedisi rimba, ditambah satu anak kepala dusun cengeng, mulai memasuki hutan.
Kak Najwa
Kak Le
BERSAMBUNG