Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

New Student in Collage [2019]

MonyetPerak

Semprot Holic
Daftar
1 Jun 2017
Post
355
Like diterima
1.478
Bimabet
2014, 16 July.
Pagi ini rasanya mata ini begitu bersemangat menyambut mentari, aku terbangun dengan tubuh yang segar, dan penuh semangat hari ini. Udara sejuk terasa begitu segar ketika aku membuka jendela kecil di kamarku. Terlihat taman kecil ku menghiasi rumah sederhana yang sudahku tempati setahun belakangan ini. Rasanya senang sekali bisa menikmati pagi yang begitu tenang di kawasan perumahan sederhana yang terletak dipinggiran kota Palembang.
Aku kemudian tersadar, aku harus menjalankan kewajibanku sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi ternama di kota sederhana ini. Walau sebenarnya aku juga memiliki beberapa pekerjaan diluar mengajar. Aku juga menghabiskan waktuku sebagai konsultan hukum pada sebuah perusahaan swasta dan juga menjadi konsultan juga untuk perusahaan asing yang berkantor di Jakarta. Dengan teknologi seperti saat ini, aku bisa mengerjakan pekerjaanku bahkan sambil berada dirumah
Menjadi dosen rasanya sebuah panggilan, walau gaji tidak seberapa dibanding menjadi konsultan dan jadwal yang padat, tetap saja rasanya ini adalah panggilan jiwa. Sejak lulus kuliah aku sudah mendapatkan kesempatan untuk menjadi konsultan di perusahaan kota ini, berkat kinerja yang cukup bagus akhirnya aku dikenalkan dengan relasi mereka di Jakarta itu. Penghasilan dari mereka itu bisaku investasi dalam bentuk rumah sederhana ini. Selain itu aku juga berhasil melanjutkan pendidikanku hingga magister dengan kerja itu juga, dan boleh kitakan beruntung karena bahkan sebelum lulus aku sudah di tawari menjadi dosen karena aku cukup berprestasi. Jadi disinilah aku sekarang, walau baru berusia 25 tahun, aku sudah cukup mapan dan kalau masalah finansial sudah terjamin berkat investasi-investasiku yang lain, jadi boleh dibilang tidak kerjapun aku sekarang sudah bisa hidup seadanya.
Tapi berbeda dari keadaan ekonomiku, perjalanan cintaku berbeda, jauh dari kata sukses. Selepas SMA aku tidak lagi pernah memiliki kisah cinta yang serius, aku dihianati olehnya rasanya perih dalam hati. Walau perih, dia tetap telah mengisi hari-hariku dulu, jadi tak ada yang perlu disesali, tapi tetap saja harus menjadi pelajaran. Mungkin itu juga yang membuatku takut menjalani hubungan serius lagi sejak saat itu. Walau ketika kuliah dulu aku pernah dekat dengan seseorang tapi tetap saja hubungan itu tidak berjalan hingga pelaminan. Setelah itu ada beberapa teman yang mengenalkanku, dan ada beberapa yang dekat denganku, mereka hanya menjadi teman dekat saja tanpa melanjutkan kehubungan yang lebih serius. Banyak rupa yang menarik mata, tapi tidak ada yang menarik hatiku. Mungkin belum waktunya, mungkin belum bertemu, atau mungkin tidak akan bertemu.
***
“Pak Adi, tumben sepagi ini sudah ada di kampus, ada kelas pagi ya?” tegur Dian seorang staf admin di kampus kami, melihatku sudah datang pukul 0700 pagi untuk mengisi absenku. Aku tersenyum menatapnya.
“Tidaklah, inikan masih orientasi mahasiswa baru…”, sambil tetap tersenyum kepadanya, diapun membalasku dengan tawa kecil yang manis. Diana wanita yang cantik, walau sudah berumur 34 dia tetap terlihat imut, mungkin karena tubuhnya yang kecil, padahal dia sudah punya seorang anak berusia 3 tahun.
Aku berjalan menuju ruang dosen, aku ingin duduk dulu memeriksa beberapa bahan ajarku, memastikan semua bahan presentaseku tertata dengan baik. Melihat mahasiswa baru yang sedang berkumpul, dan penuh semangat menyongsong hari baru mereka di kampus. Dalam pikiranku terbesit rasa nostalgia, 10 tahun yang lalu aku juga seperti mereka, di kampus ini bersama teman-temanku yang kini telah bertualang juga keseluruh penjuru Indonesia.
Melihat empat orang bocah yang nongkrong di pojokan kantin yang penuh canda tawa mengingatkan aku pada teman-temanku, Ted, Zaza, dan Edward. Rasanya ingin mencari mereka lagi, rasanya cukup lama juga aku lost contact dengan mereka. Apa Cuma aku yang merasa nostalgia seperti ini, atau mungkin karena aku masih berada disini, tempat memori itu dibangun.
“Adi…” sebuah tangan menepuk pundakku dengan cukup keras, tentu saja aku segera menoleh melihat siapa orang itu.
“Prof Budi, kirain siapa, ngagetin saja…” kataku dengan sedikit tertawa dan mengelus dadaku. Pria paruh baya ini adalah dosenku sejak aku mulai belajar di kampus ini. Rasanya sudah lama juga aku mengenal beliau.
“Sepertinya kamu sedang terbawa nostalgia ya?” kata padaku, benar sih aku merasa terbawa nostalgia dengan semangat mahasiswa baru ini. Apa mungkin dia juga merasakannya.
“Iya pak, tidak terasa sudah 10 tahun yang lalu…”, jawabku pada Prof. Budi.
“Kalau kangen hubungi dong teman-temanmu, sekarang sosmed gampang!”, sambil pak Budi mencengkram bahuku, sambil menatapku serius.
“Jangan sampai menyesesal seperti dengan ‘dia’ dulu”, sambungnya lagi, beliau baru saja mengingatkanku akhir hubungan cintaku dulu, karena aku tidak berani menghadapi masalahku dengan ‘dia’ dan rasanya masih menggantung hingga kini. Prof. Budi sudah menjadi tempat curhatku sejak menempuh magister, kami menjadi dekat dan beliau sudah menjadi sosok ayah bagiku selama ini, sosok yang bijak tapi tetap juga muda bagi usianya. Beliau juga merupakan langganan beerhouse tempatku kami nongkrong, dia lebih sering daripada aku nongkrong di sana.
“Mungkin benar juga, aku harus menghubungi mereka, khususnya ‘dia’”, jawabku, tapi masih ada juga rasa ragu, aku takut tidak berani meminta maaf padanya, aku takut hubunganku tidak bisa seperti dulu lagi. Ketakutan ku ini membuatku lebih baik lost contact dan membiarkan memoriku mengingat yang indah saja tentang hubungan kami, Pengecut. Sudah waktunya aku memberanikan diri untuk menghadapi itu mungkin.
“Aduh, aku mesti membuka sambutan mahasiswa baru nih…, kamu ikutkan ke Aula?” tanya Prof Budi padaku, sambil sepertinya mulai menarik bahuku.
“Iya tentunya, kan asisten kepala Jurusan”, kataku sambil bercanda pada Prof Budi, iya dia kepala jurusan perdata di kampus ini. Dia hanya membalasku tersenyum.
“Mau ngegusur Bu Ella?”, sambil melirik tajam padaku sambil dengan wajah serius.
“Jadi wanita dulu kamu!”, jawabnya singkat lalu kami berdua tertawa bersama dan berjalan menuju Aula besar fakultas kami. Prof tua tua keladi ini sepertinya hanya aku yang tahu belangnya, karena semua orang yang lain tahunya dia itu bijak dan berwibawah banget, mungkin hanya denganku saja beliau bisa selepas ini.
***
Selama proses penerimaan itu, dengan berbagai ucapan sambutan dari para petinggi fakultas aku hanya duduk dibelakang meperhatikan, bersama jajaran para mahasiswa pasca sarjana. Setelah pembukaan dan penerimaan mahasiswa baru ini, kampus penuh hiruk pikuk mahasiswa baru dan para BEM yang berkeliaran memberikan perkenalan kampus dan dosen-dosen, salah satu bentuk orientasi mereka adalah menyuruh pada mahasiswa mengenal dosen. Jadi para maba ini akan mencari tandatangan dosen dan berfoto bersama para dosen. Tentunya aku akan menghindari hal ini dengan berpura-pura menjadi mahasiswa pasca sarjana. Aku mulai mengobrol dengan mahasiswa pasca yang baru masuk, di kampus kami ini belum memiliki progra doktorat, jadi mereka ini hanya program magister.
Aku mulai bercerita dengan mereka, sambil mengenalkan namaku, tapi karena mereka tidak bertanya aku tidak akan mengatakan aku adalah dosen disini. Hanya ada 23 orang saja yang mengambil magister tahun ajaran ini, mereka semua tampak begitu bersemangat juga melanjutkan pendidikan, bahkan diantara mereka ada yang sudah berusia 50 tahun. Belajar itu tidak mengenal usia.
Ada yang menarik perhatianku seorang gadis, sepertinya dia masih baru lulus S1 dan langsung melanjutkan magister di kampus ini, namanya Fanny. Dia tampak tegang tapi juga exited disaat bersamaan, mungkin karena nuansa kampus yang baru untuknya. Dia salah satu lulusan universitas swasta di kota ini juga, baru pertama masuk kampus negeri sepertinya, dia terlihat canggung.
“Adi!” menepuk pundakku dari belakang lagi, beliau sepertinya senang melihatku terkejut hari ini.
“Siap Prof!”, sambil menoleh padanya menjawabnya. Beliau tersenyum kepadaku dan para mahasiswa pasca sarjana ini.
“Kalian sudah kenalan?” tanyanya pada para mereka, mereka lalu satu persatu menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan beliau dan memperkenalkan diri mereka masing-masing.
“Ini dia nih, dosen muda kampus kami, buat ngajar strata 1…” kata beliau, tanpa angin tiba-tiba nge-braging tentang aku. Aku hanya bisa tersenyum, menanggapi itu. Tapi mereka yang ada disana langsung berubah tatapannya menjadi semangat melihatku. Malah si Fanny terlihat makin canggung ketika mengetahui aku adalah dosen.
“Aduh… kebetulan saja…” jawabku sedikit sungkan pada mereka. Kamipun akhirnya melanjutkan percakapan dengan mereka berusaha menghindari mahasiswa s1 yang mencari foto dan tandatangan.
***
Sehabis dari kampus aku sempatkan diriku untuk absen hadir dulu di perusahanku berkeja, memastikan semuanya berjalan dengan lancar tidak ada laporan, gugatan atau konsultasi hukum. Aku juga benarnya melayani pertanyaan-pertanyaan seputar hukum dari karyawan perusahaan itu, karena memang masalah gugat menggugat memang jarang terjadi, daripada nganggur aku temani saja mereka mengobrol seputar hukum.
Di kantor mereka kadang walau sudah lewat jam kantor masih menungguku, malah ada yang sengaja menelpon agar bisa berkonsultasi langsung. Aku juga terhitung cukup akrab dengan mereka, sebenarnya aku cukup supel dalam bergaul tapi sayangnya tidak bagus dalam bersilahturahmi mempertahankun hubungan dan kontak. Sebenarnya rasanya senang juga bisa berguna buat orang lain disekitarku sih.
Waktu malamku gunakan untuk mengecek email dari perusahaan dari Jakarta, apakah perlu diproses lebih jelas atau legal opinion, tapi biasanya sih tidak ada, mereka akan menepon terlebih dahulu sebelum mengemail biasanya. Pekerjaannya santai, gaji tetap jalan, luarbiasa banget rasanya. Jadinya dengan gaji seperti ini, semuanya bisa kualihakn kedalam tabungan investasi semacam reksadana dan juga tabungan emas, lumayanlah.
***
Perkuliahan sudah mulai berjalan, walaupun nanti masih akan memasuki masa libur lebaran lagi, nuansa puasa tidak begitu terasa di kampus mungkin karena para mahasiswa baru penuh dengan semangat mereka melakukan aktifitasnya, tidak hanya S1 tapi juga S2.
***
Entah bagaimana, rasanya aku menjadi akrab bersama dengan mahasiswa S2 angkatan ini, mungkin karena beberapa di antara mereka seumuran denganku, itu juga yang membuat rasanya mudah akrab dengan mereka. Walau dalam seminggu awal kuliah mereka sering kumpul denganku, baik di kantin ataupun di café di luar kampus.
Fanny juga cukup sering kontak dengan ku, sering bertanya tentang tugas dan minta diajari mengenai pelaharan Magister yang sekarang dia pelajari. Beberapa kali aku juga ikut berkumpul bersama mereka di luar kampus, acara nongkrong sambil belajar gitu. Mereka juga tidak canggung dengan ku karena aku tidak mengahar mereka dikampus.
“Di, apa sih rasanya jadi dosen semuda ini?”, tanya Edy, salah satu mahasiswa S2 yang sering kumpul bersama-sama. Kali ini kami sedang duduk di sebuah café kecil yang cukup ramai dan asik juga.
“Ya sama saja sih, rasanya biasa saja…” jawabku dengan santai kepada Edy, ya bagiku tidak ada istimewanya, hanya saja memang sedikit berbeda karena aku jadinya yang harus berdiri di depan dan memberikan materi.
“Ada tidak mahasiswi cantik gitu yang jadi incaranmu gitu?” tanya Edy lagi, dia itu main nyosor saja pertanyaannya. Memang banyak juga mahasiswi cantik juga di kampus kami, apalagi yang masih S1. Tapi aku tidak permah terlalu memperhatikan mereka sebenarnya.
“Banyak yang cantik, liat saja sendiri di fakultas… tapi kalau incaran mah tidak ada” lalu sedikit tidak sadar mataku melirik kearah Fanny, dan segera aku alihkan agar yang lain tidak memperhatikan. Jujur saja Fanny memang terlihat kalem dan cantik, lebih ayu mungkin dari wanita umumnya. Tapi kalau untuk karekter profesi kami, sebenarnya dia kurang tepat, karena kami harus percaya diri dan berani melabrak semuanya.
“Hahaha… dosen muda, masa tidak ada mahasiswi yang kepincut juga sih?” sambung Edy lagi, malah diikuti oleh tawa mereka yang ada di sana. Akupun hanya tersenyum pada mereka, dan tentunya sedikit malu-malu juga.
“Ada sih yang kepincut tapi gimana ya…” jawabku berusaha memberikan kode juga, aku ingin melihat reaksi Fanny. Tapi dia tampak masih asik dengan gawainya saat aku mengakatan itu.
“Emangnya kenapa? Masih terlalu maba? Takut dibilang pedofil?” kata Edy lagi, sambil mentoyor pundakku. Lalu mereka semua tertawa lepas mendengarkan perkataan Edy itu. Fanny terlihat cukup menarik buatku, senyumnya manis dan kulitnya terlihat kuning langsat dengan rambut sedikit berombak dan hitam legam, khas Indonesia banget. Pakainya juga selalu sopan, dengan kemeja lengan panjang dan juga celan panjang jins dan sepatu casual yang nyaman dikenakkan, dia memang sudah menginjak usia 22 tahun tapi tetap saja terlihat seperti gadis 18 tahunan.
“Eh tugas kalian sudah selesai belum yang dari Prof Ahmad?” tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan ini. Wajah mereka langsung sedikit serius mendengarkan tugas mereka.
“Lagi dikit nih, masa disuruh ngerangkum buku setebal itu jadi esai 10 halaman, pusing ini…” kata Burhan yang duduk dari tadi dipojokan sambil mengemil kentang goreng yang sudah hampir habis. Sebenarnya kadang dosen memberikan tugas seperti itu hanya memastikan agar mahasiswanya segera menghabiskan buku itu, dan menjadikannya bahan diskusi dipertemuan berikutnya.
“Hari Kamis loh dikumpul, lagi dua hari nih…” kataku pada mereka lagi, sambil mengutak atik handphoneku melihat tanggal di kalender.
“Kalau Fanny pasti sudah selesai tuh” kata Edy sambil melirik kepadanya, Fanny memang yang sepertinya paling rajin di antara mereka. Walau ada Dina, dan Jenny juga yang sering ngumpul bareng kami tetap Fanny yang paling rajin di antara mereka semua.
“Ayo segera selesaikan, minggu depankan libur lebaran, bisa mudik sebentar, dan bisa buat istirahatkan…”, minggu depan sudah hari raya Idulfitri jadi perkuliahan akan libur untuk seminggu dan setelah itu akan kembali seperti biasa.
“Iya juga sih, boleh dimanfaatkan tuh buat liburan… Aku sendiri disini sih tidak mudik, coba keliling-keliling wisata lokal di sini”, jawab Edy santai, dia memang berasal dari kota lain, dan memilih tinggal menikmati kota.
“Kalau yang lain?”, tanyaku lagi kepada mereka, karena aku sendiri tidak mempunyai sanak keluarga lagi di kota ini, hanya sendirian sepeninggal Ibuku 6 tahun lalu.
“Aku lahir dan besari di sini, jadi tidak ada tempat mudik, semua keluarga juga di sini”, jawab Fanny dengan suara lembut dan merdunya.
“Kalau aku mesti mudik, mesti menghadap sama orang tua dulu…”, jawab Dina sambil tersenyum.
“Aku sih tidak mudik, tapi mesti bawa Isteri kerumah mertua, jadi ya sama aja mudik sih…” jawab Burhan, walau berusia 27 tahun tapi dia sudah menikah dan punya dua orang anak, dia memang menikah cukup cepatlah menurutku.
“Jadinya Edy, dan Fanny saja nih yang di kota ya?” sambungku lagi kepada mereka, sepertinya aku bisa mengajak mereka jalan-jalan di hari raya nanti.
“eh aku juga tidak mudik kok”, tiba-tiba Jenny nyeletuk, iya aku melupakan Jenny dia belum menjawab pertanyaan tadi.
“Oh iya… hahahaha… nanti kita jalan bareng deh, mobil ku cukup kok kalau buat berempat nanti”, sambungku lagi, aku ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman, aku sudah sangat jarang bercengkrama diluar pekerjaan dengan orang lain.
“Boleh juga tuh, emangnya mau kemana?”, tanya Jenny dengan semangat juga, gadis ini juga seusia dengan Fanny, baru saja menginjak 22 tahun, masih penuh dengan semangat tentunya.
“Gimana kalau wisata alam? Kalau perkotaankan sudah biasa?” saranku kepada mereka, karena tentunya aku juga ingin wisata alam, kalau kota sudah biasa.
“Iya nih, keluar kota saja, atau kewisata alam… bagus tuh…” kata Jenny nyeletuk.
“Ayo…” yang lain juga terdengar menyetujui hal itu, tentunya aku juga senang, karena selama perjalanan kita juga bisa mengakrabkan diri satu sam lain.
“Gimana kalau ke Gunung Dempo?” aku menyearankan tempat itu, walau cukup jauh kurang lebih 8 jam dari kota, tempat itu sangat indah dan sangat asrih dan banyak tempat yang bisa dikunjungi di sana, tentunya juga lebih enak juga beberapa hari di sana.
“eh bukannya itu sudah kabupaten Pagar Alam ya?” tanya Burhan, sedikit penasaran.
“Iya sudah masuk wilayah Pagar Alam…”, jawabku singkat pada Burhan, tapi terlihat dia tertarik ingin ke sana.
“Tidak bisa sehari juga di sana, tempatnya luas banyak tempat-tempat bagus untuk explore…”, kata Burhan, memang dia sepertinya tertarik kesana.
“Ya udah, liburkan panjang, bisa seminggu juga di sana…”, jawab Jenny dengan santainya. Dia memang hidup sendiri di kota ini, dia asli Lampung dan sedang kuliah sambil kerja di Palembang ini, masalah uang dan waktu bukan kendala untuknya.
“Tempatnya keren tuh, kampungkukan di Bengkulu, dari sana Aku bisa ikut deh… ” sambung Burhan antusias.
“Tunggu dulu, emangnya Edy, dan Fanny bisa sampe berapa hari?” segera kupastikan dulu, sebelum mereka berdua malah takut terlalu lama berkeliaran di luar kota.
“Aku mah santai, bisa diatur itu…” jawab Edy tentunya dengan santai, sambil melirik ke arah Fanny, tentunya aku juga menatapnya.
“Aku juga tidak papa kok, yang penting tetap wajib lapor orang tua tiap hari…” jawab Fanny sedikit malu-malu ditatap oleh kami semua di sana.
“Oke kalau gitu, aku coba cari informasi dulu penginapan lokasi, dan kisaran biaya untuk bertahan hidup di sana sampai 7 hari” kataku kepada mereka, karena mungkin di antara mereka aku yang paling santai dan tidak ada tugas, karena mahasiswaku belum kuberikan tugas sama sekali di minggu pertama ini, jadi tidak ada yang harus aku periksa.
***
Sebelum mengatur jadwal perjalan dengan mereka tentunya aku pastikan dulu apakah mereka akan sanggup untuk hiking atau hanya akan wisata di tempat yang tidak memerlukan fisik dan stamina untuk di tanjak. Gunung Dempo juga cukup aktif, dan semoga saat kami kesana gunung itu tidak sedang merancu. Mereka sih katanya bisa hiking kok, dan sudah beberapa kali juga ikut pendakian, jadi seharusnya mereka bisalah, mungkin sedikit bulkup stamina dan membugarkan dirilah sebelum proses hiking, tapi track gunung Dempo tidak terlalu berat.
Kami berencana untuk memulai perjalanan kami dari Palembang pada tanggal 28 Juli, tepat pada hari raya, agar jalanan agak sepi dan kami bisa tempuh dengan waktu yang lebih singkat, dan kemungkinan jalur hikingpun kemungkinan lebih kosong.
***
Sampailah waktunya kami bersiap berangkat, tanggal 27, malam sebelum hari raya, kota terasa ramai karena banyak arak-arakan yang berkeliling kota. Mereka memutuskan untuk menginap di rumahku, sekaligus mengecek seluruh perlengakapan kami. Mengecek seluruh bawaan kami, Edy sudah menyiapkan carrier 50 liter, dengan membawa tenda untuk 2 orang, sama sepertiku, aku juga hanya punya tenda untuk 2 orang, dan carrier 80 liter, agak kebesaran untuk perjalanan ini.
Nantinya Aku dan Edy akan menggunakan satu tenda, dan Jenny dan Fanny akan menggunakan satu tenda lagi. Rencananya kami ingin menikmati fajar di puncak gunung. Fanny sendiri ternyata sudah beberapa kali hiking tapi tidak pernah ke gunung Dempo, sedangkan Jenny pernah sekali sampai puncak gunung Dempo. Tempatnya memang indah, aku sendiri sudah beberapkali kesana sejak kuliah dulu.
Periksa keperluan lagi, seperti sleeping bags, kompor kecil, sedikit mie instan, dan juga beberapa tubler berisi air telah kami siapkan. Bekal makan kami untuk pendakian, seral, sosis, kalengan, dan beberapa makanan instanlain, dan tentunya madu, air wedang. Tapi selain itu kami harus menyiapkan bekal perjalanan dari Palembang ke Pagaralam juga, karena ini hari raya kemungkinan banyak kios yang tutup.
“Oke, kurang senter tambah lagi lah, biar cukup buat kita semua…”, kata Edy setelah selesai mengecek semua perlengkapan kami.
“Cobaku ambil dilemari dulu, sepertinya ada…” kataku sambil berjalan menuju lemari perkakasku, mengecek apakah masih ada senter yang bisa digunakan. Jenny dan Fanny sedang asik bercerita sambil memasak sedikit untuk bekal perjalan kami di mobil besok pagi.
“Wih masak apa nih, wangi banget?”, tanyaku kepada Fanny dan Jenny. Memang aroma masakan mereka terasa sekali dan cukup menggugah selera, tapi sudah jam 10 malam juga, tidak mungkinku embat sekarang.
“Ini kita masak opor ayam, nuasan hari rayakan, biar tidak dirayakan tetap dinikmati…” iya aku baru sadar, kami tidak ada yang merayakan hari raya. Jadi besok tanpa peduli bisa langsung berangkat sepagi mungkin. Boleh juga bekal kami untuk perjalanan adalah nasi opor, tapi kira-kira mules dijalan ngak ya karena makan santen? Peduli setanlah, yang penting besok tidak lapar.
***
Jam 4 dini hari, aku sudah terbangun, Aku kembali mengecek seluruh perlengkapan yang sudah di naikkan ke mobil, seluruh tas, air dan beberapa minuman isotonik juga sudah naik semuanya ke mobil sejuta umatku ini. Kalau sesuai rencana perjalanan kami mungkin akan memakan waktu 7 sampai 8 jam, dan kami akan manfaatkan sisa waktu hari ini untuk menikmati keindahakn kota Pagaralam, dan besok pagi-pagi sekali kami akan mulai hiking ke Gunung Dempo.
Fanny terlihat sudah bangun juga, berkeliaran dari kamar tamuku ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Terlihat dia sudah membawa handuk dan perlengkapan mandinya, mungkin dia ingin mandi agar segar sebelum perjalanan.
“Eh pagi sekali bangunnya?” tanyaku membuatnya sedikit terkejut, mungkin dia tidak menduga aku sudah bangun.
“Aduh, ngagetin saja Kak, iya biar mandinya bisa santai dan agak lama”, sambil tersenyum padaku, manis sekali senyumannya, walau wajahnya masih berantakan sehabis bangun dan seperinya matanya masih penuh belek.
“Awas loh, airnya agak dingin, nanti malah masuk angin…” kataku lagi sambil berlalu. Memang rencana berangkat kami baru sejam lagi atau jam 5 nanti, tapi aku tetap harus mengecek semuanya lagi, sebelum berangkat. Hampir saja lupa, kami belum memasak nasi untuk bekal perjalanan.
Akupun melangkah kedapur, dan mulai mempersiapkan beras yang akanku masak dengan ricecooker. Dapur dan kamar mandi hanya berbataskan tembok, lalu mulai terdengar bunyi percikan air saat Fanny mulai mandi. Entah mengapa pikiranku mulai sedikit kotor, ingin rasanya aku melihat tubuh moleknya saat ini. Aduh apa yang kupirkan, tidak mungkin aku intip, jangan sampai nanti Edy atau Fanny bangun dan aku kedapatan bisa gawat. Akupun menekan perasaan itu dalam, agar tidak kulakukan.
Selesai menyiapkan beras, aku masukkan dalam ricecooker dan ‘clik’ proses menanaknyapun dimulai. Suara percikan air itu terhenti sebentar, apakah dia sedang membasuh tubuhnya dengan sabun? Atau dia mungkin sedang keramas? Apasih yang ada dalam pikiranku ini?
Aku bukannya berjalan menuju kamarku untuk bersiap mandi di kamar mandi dalam kamar, malah melangkahkan kakiku keteras belakang. Terdapat sebuah lubang ventilasi kecil, tembok batu yang tinggi itu membuatku bisa sedikit memanjat untuk mengintip kedalam. Cahaya mentari yang belum bersinar membuat suasana remang lebih aman untuk melihat kedalam kamar mandi yang penuh cahaya.
Aku kini telah memposisikan tubuhku, mataku melirik masuk, memandang diantara celah halus itu. Tubuh Fanny membelakangi tatapanku, dirinya menghadap ke pancuran air, sambil dia kini membilas sabun yang menutupi sekujur tubuhnya. Tubuhnya putih, rambutnya hitam terurai basah oleh derasnya air yang mengguyurnya. Kini dia berbalik membasuh sabun di punggungnya.
Cantik sekali tubuh itu, payudaranya tidak begitu besar, tapi terlihat proporsional ditubuhnya. Terlihat kenyal dan kencang, ingin rasanya tangan ingin segerah meraihnya dan bibir ini menyentuh pucuk payudaranya. Membelai tiap inci dari tubuh indah itu, mengecup tiap jengkalnya, dan memiliki tubuh dan jiwanya.
‘knok…knok…’ terdengar ketukan di pintu kamar mandi, hal itu mengejutkanku. Aku hampir saja terjatuh karena terkejut, akupun segera turun perlahan dari dinding.
“ya?” tanya Fanny, ke arah ketukan itu.
“Fan, kamu lagi mandi ya?” tanya suara itu, suara itu jelas milik Jenny, siapalagi wanita di rumahku saat ini. Tidak peduli lagi pembicaraan mereka, aku segera ngacir berputar dari teras belakang melalui jalan samping menuju ke teras depan agar dia tidak curiga.
Hampir saja aku ketahuan, aku terduduk sejenak di kursi teras depan. Terasa sejuk udara pagi ini, tapi rasanya tubuhku panas, panas karena melihat keindahan alam itu. Bagaimana aku memadamkan gelora api birahi ini kalau sudah seperti ini. Aku harus menahan diriku, aku seorang dosen, dan harus tentang dan tidak mencederai profesiku.
“Kak, sudah bangun?” tanya Jenny yang keluar dari dalam rumah melihatku sedang terduduk melamun di kursi terasku.
“iyalah, masa jalan sambil tidur” jawabku sedikit bercanda padanya.
“Kali aja…” sambil dia kemudian mencubit lenganku dengan gemas. Akupun hanya tersenyum melihat tingkahnya. Aku baru melirik ke tubuh Jenny, dia hanya mengenakkan atasan dari piyama berbentuk kemeja yang longgar dan pahanya terlihat dengan jelas, cukup tinggi malah, mungkin 10 centi lagi sudah terlihat pakaian dalamnya, ah mungkin dia mengenakkan celana pendek di dalamnya.
Aku berusaha tetap tenang dengan tampilan gadis yang satu ini, tadi baru saja libidoku naik karena Fanny, nanti bisa naik lagi kalau kuperhatikan terus si Jenny. Tapi sepertinya terlambat, pikiranku sudah mengawang dan adik kecilku mulai menegang, aku segera mengubah posisi dudukku, dan membuat tubuhku lebih condong kedepan agar tidak terlihat. Jenny masih menikmati udara pagi sambil melihat-lihat jalanan depan rumahku, semoga dia tidak memperhatikan gelagatku.
***
Kini aku dan Edy sudah siap, sudah segar sehabis mandi, sambil meneguk secangkir kopi dan kami siap berangkat. Sesuai rencana juga kami sebentar lagi akan menuju Pagaralam. Aku kembali mengecek keperluan kami semuanya, rute, dan juga rumahku, pastikan semuanya ditinggalakan dalam keadaan aman.
Edy dan aku hanya mengenakkan kaos oblong dan celana jins yang nyaman, bedanya aku menggunakan sepatu, dan Edy hanya menggunakan sendal jepit, tapi biasanya saat nyupir juga aku lebih sukar nyeker, karena pedal gas lebih terasa. Sedangkan Fanny dan Jenny tampak cantik, dengan rambut terikat dibelakang, dan dengan kaos oblong yang sedikit longgar dan Fanny menggunakan celana jins, sedangkan Jenny menggunakan hotpans. Pahaputihnya terlihat dengan jelas, kalau dikampus tentu saja dia tidak pernah mempertontonkan paha mulusnya itu.
Perjalanan kami disambut dengan terbitnya mentari di ufuk timur. Rasanya penuh energi dan penuh semangat menyambut liburan ini. Mobil kupacu dengan kecepatan sedang, Fanny duduk di depan, karena takut mabuk perjalanan, sedangkan Edy dan Jenny duduk dibelakang, dan barisan ketiga kulipat dan penuh dengan carrier kami dan juga bekal makan kami.
Kuputar lagu yang semangat, biar tidak mengantuk dan lebih ngejreng dipagi ini. Fanny terlihat menikmati pilihan laguku, begitu juga dengan yang lain. Rasanya lebih semangat lah, kadang juga aku tetap curi-curi pandang kepada Fanny. Walau hanya sepintas, pikiranku membayangkan tubuh polosnya lagi. Tapi segeraku tepis harus konsentrasi membawa kendaraan ini.
Jalanan yang relatif sepi dan kecepatan kendaraan yang bisa kupacu lebih cepat membuat kami bisa tiba di Prabumulih lebih cepat, tidak sampai 2 jam kami sudah tiba di kota itu. Mungkin kami akan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan kami. Kami melewati sebuah spot yang sedang dalam proses konstruksi katanya nanti ini akan menjadi ikon baru kota ini, katanya sih patung kuda, tapi entah lah. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak di SPBU, walau tangki masih cukup banyak, biar aman kuisi saja lagi.
“Tukaran yuk, aku yang nyupir”, kata Edy kepadaku, padahal aku sebenarnya masih kuat saja bawa ini, sampai Pagaralampun harusnya masih kuat.
“masih kuat kok, santai”, kataku kepada Edy, karena aku belum mau diganti juga berkendara. Aku lebih nyaman jika aku yang sedang menyupir.
“Aku bosen nih, mumpung efek kopi masih nendang juga…” kata Edy sambil tersenyum kepadaku. Ya daripada berebut, paling tidak aku bisa sedikit bersantai, dan kopi sebenarnya tidak terlalu berpengaruh padaku, jika ingin tidurpun aku bisa langsung tidur. Aku mengambil tempat di belakang kursi pengemudi dan bersender kepintu, dan juga Jenny juga mengambil sisi satunya.
“Oke lah kalau gitu, nanti di Muara Enim tukaran lagi”, kataku pada Edy sambil mengambil posisi di baris kedua bersama Jenny. Edy cukup mahir menyupir, kecepatannya tergolong cukup stabil, hanya di awal saja sedikit tersentak, mungkin karena belum terbiasa dengan perseneling mobilku. Lepas kota Prabumilih dia sudah sigap dan mampu berkendara dengannyaman.
***
Selama perjalanan kami menikmati pemandangan, bersenda gurau, dan juga bernyanyi bersama di mobil diiringi dengan musik seadanya dari thumbdriveku. Tapi setelah sejam perjalanan kemudian, suasana mulai sedikit redup, para gadis sepertinya sudah mulai bosan, dan terlihat Fanny sepertinya sudah mulai tertengun memandang kejendela. Jenny sendiri sepertinya sudah terkantuk-kantuk karena bosan.
‘duk…’ kepala Jenny terjedut di jendela mobil, saat sedang bersandar, mungkin karena dia sudah mengantuk banget. Akupun sedikit tertawa kecil mendengarnya, Edy juga berbalik mengintip melalui spion tapi sepertinya tidak terlihat olehnya, dia tampak sedikit kecewa. Fanny sendiri sepertinya sudah tertidur di depan, tapi karena ada safty belt jadinya tidak terlalu terantuk.
“Pinjam bahumu dong kak”, sambil Jenny mulai menarik tubuhnya merapat padaku, dan langsung sadar menyenderkan bahunya padaku tanpa persetujuanku dulu. Lalu dia mengambil jaket milikku yang kuletakkan tadi di jok mobil pengemudia dan menggunakannya menutup tubuhnya. Dia meringkukkan tubuhnya naik hingga tubuhnya yang mungil tertutup oleh jaketku.
Edy menatapku melalui spion, sambil mengangkat jempolnya dan tersenyum mengejek dan mesum. Sialan, tentu sebagai laki normal aku akan senang diperlakukan seperti itu, tapi mereka ini mahasiswa pascasarjana di kampusku, dan aku dosen, ini sepertinya kurang pantas. Paling tidak aku bukan dosen pengajar mereka.
Aku terus berusaha menemani Edy mengobrol agar dia juga tidak bosan saat berkendara, dan tetap terjaga dan awas selama jalur antar kota ini. Karena beberapa jalanan yang terasa berkelok, tubuh Jenny hampir terjatuh, dan aku secara refleks lalu merangkul tubuhnya mencegahnya dari terjatuh. Aku melihat matanya terbuka dan sepertinya dia terbangun, bukannya kembali bangun, tapi dia malah berganti posisi.
“Biar tidak jatuh”, dia kini tiduran di pahaku, dia tidur di pahaku. Apa yang bisa kuperbuat di mobil sempit ini, kakinya terlihat sedikit tertekuk menyentuh pintu, dan paha putihnya kembali terlihat karena tentunya jaketku tidak bisa menutupinya. Dia menggunakan jaketku untuk menutupi kepalanya dari cahaya matahari yang mulai terang. Aku merasa sedikit panik dengan posisinya yang seperti itu, tentunya kepalanya akan sangat dekat dengan penisku, semoga saja si otong tidak berulah dan tiba-tiba bangun.
Akupun karena bosan sempat tertidur, dan ternyata kami sudah sampai ke Muara Enim, sebuah kecamatan kecil yang cukup ramai dilalui orang, tapi mungkin karena hari raya tempat ini cukup sepi. Bahkan SPBU yang kami singgahi ini tidak operasional, tapi untung saja terbuka, jadi Edy bisa menumpang buang air kecil.
Aku masih duduk di kursi belakang, tidak bergerak karena Jenny masih tidur di pahaku. Fanny sendiri terlihat mereganggkan tubuhnya, padahal yang aku harapkan di pahaku sekarnag adalah Fanny, eh malah Jenny. Fanny malah terlihat memaklumi kelakukan Jenny yang seenaknya tidur dipahaku itu, malah dia hanya cengengesan melihatnya.
Aku sebenarnya juga ingin ke toilet, saat aku berusaha mengangkat tubuhnya menarik tubuhku keluar, tiba-tiba tangannya merangkul pinggulku dan tidak membiarkanku pergi. Aduh, apakah dia mengigau atau dia sengaja, aku tidak bisa melihat wajahnya karena tertutup oleh jaketku. Aku berusaha mengintipnya tapi tidak berhasil melihat wajahnya dibalik jaket itu. Akhirnya akupun tidak jadi ke toilet. Edy pun kembali yang membawa kendaraan kami, hingga spot selanjutnya, Lahat.
Mobil kembali dipacu, tapi aku merasa sedikit was-was, karena aku tadi tidak sempat buang air kecil, rasanya kurang nyaman. Tanganku kuletakkan di pundak Jenny yang tertutup jaket, dan tubuhnya saat ini menghadap ke arah depan mobil atau membelakangiku. Tapi aku merasa ada pergerakan dari tubuh Jenny, mungkin dia sudah tidak nyaman dengan posisi itu.
Tubuhnyapun berbalik, dan kini dia terlentang dan tubuhnya menghadap ke atas. Tentunya aku menyingkirkan tanganku ke samping. Menggantung pada jok mobil baris kedua itu. Sambil menikmati perjalanan rasanya cukup lama juga ya perjalanan ini, matahari juga sepertinya sudah hampir di tengah. Aku mulai terkantuk, dan tidak sengaja tangankupun terjatuh, mengenai pinggir tubuh Jenny.
Aku tidak langsung menariknya, karena posisiku yang memang sedikit blank karena tergegun akibat kantukku. Terasa tiba-tiba tangan Jenny meraih tanganku dan menariknya masuk kedalam jaket, dan membuat tanganku tidak terlihat berada di bawah jaket. Aku sendiri masih berusaha memproses apa yang terjadi barusan, kini tanganku telah merangkul perutnya. Terasa bidang dan langsing, terasa hangat tubuh Jenny dari balik kaosnya itu. terasa sedikit lenganku menyentuh bagian bawah payudaranya yang sekal, dan montok. Tapi aku bersaha menepis segala birahi yang timbul, mungkin dia hanya ngigau cari guling. Aku meresakan juga tangannya merangkul tangganku, menahannya tetap diposisinya. Kubirakan saja, toh hanya merangkulnya, kalau bisa membantunya tidur mengapa tidak.
Aku melihat tubuh kecil Jenny mulai bergeliat lagi, tapi tidak berubah dari posisinya. Tapi ada yang lain yang kurasakan di tanganku, ini kulit, aku menyentuh kulit perutnya secara langsung. Jenny mengangkat bajunya perlahan keatas membuat telapak tanganku menyentuh langsung kulit perutnya yang halus itu. Apa yang dia lakukan? Rasa halus kulitnya, rasa hangat di telapak tanganku, rasa lembut yang sudah lama tidak kurasakan ini.
Beberapa menit tanganku hanya disana, merasakan dan menikmati perasaan itu. Tapi perlahan tanganku diarahkannya naik, ini sudah bukan mengigau lagi, dia ingin aku menyentuh tubuhnya, Jenny menginginkannya. Tapi apakah harus di mobil ini, dalam perjalanan, dan ada Fanny dan Edy di barisan depan kami, Kalau ketahuan bisa kacau.
Tanganku menyentuh payudara Jenny, membuyarkan pikiranku, rasa kenyal dan lembut itu terasa diujung jemariku, walau masih tertutup oleh pakaian dalamnya. Dia sepertinya menggunakan sportbra karena aku tidak merasakan cup dari branya itu. Rasanya kenyal dan hangat, ketika tangan yang mengarahkan tanganku itu tidakku lawan, semakin naik tangan ini, kini tepat berada di atas gundukan surgawi itu. Tangan Jenny mengencang, membuat tanganku yang berada di bawahnya juga ikut meremas payudara itu.
Perlahan dengan lembut di bawah arahannya tanganku terus bergerak, meremas dan merasakan kenyalnya payudara Jenny. Namun ketika tangannya telah berhenti menuntunku, aku tetap meremasnya. Tangan nakal ini terus bergerak, walau otakku terus ingin menghentikannya, tapi tangan ini terus bergerak. Tentunya perlahan penisku mulai menegang karena perbuatanku sendiri, perlehan mengeras di balik jinsku.
Sepertinya Jenny menyadari perubahan di balik celanaku ini, ketika dia mulai menggerakkan tubuhnya. Dia sedikit memiringkan tubuh bagian atasnya kearahku, tapi kakinya tetap berusaha lurus, dan dia memperbaiki jaketnya, berharap tubuh miring terlihat oleh Edy dan Fanny di depan, dan semoga saja tidak. Dengan posisi tubuh yang memiring tersebut aku bisa lebih leluasa menikmati payudara Jenny.
Wajah Jenny tidak terlihat di balik jaketku, namun aku merasakan nafasnya menjadi sedikit cepat. Rasanya perlahan tangan kanannya mulai merogoh resliting celanaku dan menarinya turun, karen suara lagu dalam mobil yang cukup keras, bunyi reslitingkupun tersamarkan. Perlahan tapi pasti jemarinya yang lentik berusaha mengeluarkan penisku yang sudah menegang dan terjebak di balik celana dalamku. Tidak butuh waktu lama, penisku sudah mencuat keluar dari dalam celana dalamku, dan masih tertutup jaket.
Terasa deru nafas Jenny yang hangat menerpa batang penisku yang tegang. Hembusan nafas yang hangat itu semakin mendekati penisku, dan perlahan rasa basah dangan hangat menyapu batang penisku. Aku berusaha menahan perubahan nafasku agar tidak terdengar oleh Edy yang sedang mengemudi, tapi sepertinya dia asik menikmati lagu, dan Fanny terlihat tertidur di sisi depan.
Aku tidak ingin kalah dari Jenny, aku kemudian berusaha untuk menyelipkan tanganku masuk dalam sportbranya, dan ternyata cukup mudah melalui karet bra itu. kini aku bisa menyentuh payudara kenyalnya secara langsung dan aku mencari putingnya. Ternyata putingnya juga sudah menegang dan segeraku pilin puting itu dengan perlahan. Terasa perubahan nafas dari bibir Jenny yang tengah menjilati penisku. Nafasnya perlahan menjadi lebih tidak beraturan, namun dia dengan cepat sudah bisa mengatur kembali nafasnya.
Tangan kanannya menekan penisku turun, membuat lidahnya mampu untuk menyapu kepala penisku, sensasi lidahnya dan rasa hangat itu membuatku merem melek. Beberapa kali juga dia menyelipkan lidahnya diantara celah penisku memberikan sensasi yang luarbiasa.
Dia beberapa kali berusaha menarik penisku agar masuk dalam mulutnya, tetapi sepertinya posisinya tidak memungkinkan untuk dia memasukkannya kedalam mulut. Akhirnya dia kembali menjilati batang penisku, tapi rasanya itu sudah membuatku merem melek, permainan lidahnya benar-benar nikmat. Tangan kananku menyelip masuk kedalam jaket dan mengusap-usap rambut Jenny yang lembut dan hitam itu.
Aku hanya bisa memejamkan menikmati sensasi di telapak tanganku dan di penisku, sensasi yang sudah lama tidak kurasakan, aku tidak membayangkan akan memperolehnya dari Jenny, gadis yang baruku kenal tidak lebih dari sebulan ini. Aku menjadi bersemangat apa yang akan kudapat jika kami sudah tiba di Pagaralam nanti, apakah aku bisa menikmati tubuh Jenny sepenuhnya atau hanya sebatas ini saja. Pikiranku berpetualang dan tubuhku bergejolak, aku harus mendapatkan seluruhnya.
Aku merasa kenikmatan ini sudah di ubun-ubun tapi, juiniorku masih jauh dari akan klimaks tentunya. Aku berusaha menurunkan tanganku, aku ingin menjamah vaginanya, tapi cukup sulit aku untuk menggapainya, dan tangan Kiri Jenny juga berusaha menahan tanganku, dan kembali meletakkannya ke atas payudaranya. Ya tanganku kembali menikmati ranumnya payudara Jenny. Lidah Jenny juga terus menelusuri batang penisku, naik dan turun, tapi sepertinya dia juga sudah mulai bosan, dia kini berusaha menyelipkan tangannya dan menarik biji zakarku untuk keluar, untung saja celana yang kugunakan sedikit longgar, kalau tidak sudah terjepit diantara celana dalam dan jelana jinsku.
Kini biji zakarku sudah keluar, tapi sedikit tertekan kearah penisku, itu membuatku malah ingin kencing, karena tadipun aku tidak sempat mengeluarkan air seniku di SPBU tadi. Bisa gawat nih kalau aku malah kencing sekarang, tapi sepertinya perjalanan tidak lama lagi, mungkin sekitar 15 menit lagi kami akan tiba di Lahat, dan semoga segera bisa singgah di SPBU terdekat. Tapi apakah aku akan bisa bertahan dengan jilatan-jilatan ini hingga nanti.
Rasanya jilatan Jenny di kantung zakarku semakin intens, isapan dan kuluman itu semakin cepat, dan juga terasa lidahnya menyapu seluruh permukaannya, membuat bulukudukku merinding merasakan sensai itu.
‘pok..’ terdengar kecil suara saat dia menyedotnya dengan kencang, memberikan rasa sakit tapi nikmat, tapi bisa-bisa Edy mendengarnya bisa gawat. Tapi beruntung dengan hal itu, rasa ingin bunag airku menghilang. Beberapa kali terdengar lagi suara itu, tapi sepertinya lagu berhasil menutupi suara itu.
TIdak lama kami memasuki wilayah Lahat, dan berharap agar segera bisa tiba di SPBU, agar bisa buang air kalau tidak bisa gawat. Aku menghentikan usapakan tangan kananku di kepala Jenny, dan sedikit mendorong kepalanya, kuharap dia mengerti bahwa sebentar lagi kita akan tiba diperhentian berikutnya.
“Ed, bentar lagi sampai SPBU ya?” aku sengaja bertanya pada Edy agar Jenny mendengarnya dan menghentikan aktifitasnya dulu.
“Iya, paling dua kilo lagi sampai, si Jenny masih tidur?” tanya Edy sambil mengintip lewat spion mobil, terlihat Fanny juga masih pulas dengan tidurnya.
“Iya nih, kalau nanti sampai SPBU ngak bangun ya aku bangunin, aku sudah tidak tahan pengen buang air…” kataku sembari menepuk-nepuk kepala Jenny agar dia mengerti maksudku. Sepertinya dia mengerti maksudku, karena tidak lama kemudian dia sudah mengehentikan aktifitasnya dan mendorong penisku masuk kedalam celanaku dan perlahan mengancing reslitingku. Aku juga menarik tanganku dari payudaranya, dan merapikan pakaiannya.
Tidak sampai 10 menit kemudian kami telah tiba di sebuah SPBU, SPBU itu terlihat sepi, dan sebenarnya dipalang dengan bambu, sepertinya memang SPBU itu tutup karena hari raya. Tapi kondisi mendesak ini, aku harus turun.
“Jen… bangun dulu…” kataku pura-pura menepuk-nepuk pundaknya. Diapun membuka perlahan jaket yang menutup wajahnya itu, sambil pura-pura juga baru bangun, memperhatikan sekitarnya.
“sudah sampai kah kak?” tanyanya yang pastinya sandiwara.
“Belum baru di lahat, masih dua jam lagi perjalanan ke Pagaralam…”, kataku sambil menjelaskan padanya.
“Kok dibangunin padahal belum juga sampai…” katanya dengan nada yang merajuk.
“Ah si Adi itu udah kebelet pipis, kalau kamu tidak bangun bisa-bisa dia ngompol…” kata Edy nyeletuk dari kursi depan. Jenny seperti menahan tawanya, dan menatapku.
“Kalau kak Adi ngompol, aku basah juga dong… pergi deh sanah…”, sambil Jenny mendorongku dengan manja. Ah dia itu, bukan lagi basah kalau tadi aku ngompol, ku cekoki air urin dia.
“Aku ke toilet dulu deh…” sambil membuka pintu mobil, dan bergerak meninggalkan mobil kami, Fanny, sepertinya kembali tidur dan Edy, berjalan keluar meninggalkan mobil sambil berusaha mereganggkan tubuh.
“Aku ikut dong…” terdengar suara dari Jenny memanggil dan mengikutiku menju kedalam SPBU itu.
Dia merangkulku dengan cepat, tapi aku refleks memperhatikan Edy dan Fanny, aku tidak melihat Fanny, dan aku rasa dia tidak akan bisa melihat kami dari dalam mobil, dan Edy sepertinya sedang mencari sesuatu di bagasi belakang, mungkin air minum. Aku segera mempercepat langkahku menuju toilet yang terletak di belakang kantor SPBU itu, sedikit tersembunyi memang. Aku mengecek pintu toiletnya ternyata terbuka, baik yang pria maupun yang wanita. Tapi bukannya melangkah masuk ke Toilet wanita, Jenny malah ikut denganku masuk ke toilet pria dan memasuki salah satu bilik dalam toilet itu.
“Eh, toilet pria…” kataku, sambil membuka reslitingku dan mulai kencing di toilet berdiri untuk pria dalam ruangan itu.
“Takut kalau sendiri disebelah… mending di sini, ada kak Adi…” lalu terdengar juga suara desiran air, sepertinya dia juga buang air kecil di dalam bilik itu.
Setelah selesai buang air kecilku, aku membasuh tanganku, dan dari belakang Jenny juga sudah keluar. Dengan sedikit menyempil dia juga ikut mencuci tangannya. Tubuh kami jelas bersentuhan dengan posisi yang rapat.
“Pantas saja tadi agak rasa pesing, ternyata mau kencing toh…” sambil tersenyum nakal Jenny menatapku melalui cermin.
“Ah sialan…” aku lalu mencubit pinggulnya, membuatnya menjerit kecil. Lalu dengan cepat aku meraih dagunya, lalu mengecup bibirnya. Dia tampak sempat terkejut namun tidak ada perlawanan malah tangannya dengan sigap melingkar di leherku. Bibir kami tertaut dan saling mengecup dengan hangat dan saling merangkul dengan erat dalam toilet SPBU itu.
Aku mengecupnya dengan buas, dan dia juga menyambutnya dengan sama buasnya. Lidah kami saling berduet dalam mulut kami, saling meraba sekujur tubuh kami, tangannya di tubuhku dan tanganku di tubuhnya.
“Quikie?”, bisikku padanya, tanpa suara Jenny hanya menantapku dan mengangguk. Laluku rangkul tubuh kecilnya dan kubopong masuk kedalam salah satu bilik toilet, dan kupastikan bilik itu terkunci. Segera kuluciti kaosku sendiri dan kutarik ketas kaos yang menutupi tubuh Jennny. Mataku tertegun melihat mulusnya tubuh gadis manis dihadapanku ini. Tubuhnya mungil dengan payudara yang proporsional dan juga bentuk tubuh yang ramping dan fit ini. Guratan tubuhnya begitu singset dan menggoda, seperti biola yang indah dan elegan.
“Ayo melamun…” tegur Jenny dengan berbisik, aku kembali tersadar dan segera membuka celanaku, ikat pinggang dan juga seluruhnya, kuletakkan pakaian kami di atas bak closet. Aku kemudian mengecup lehernya dengan buas menyusuri jenjangnya leher itu dengan cepat, lalu dengan sekali tarik ku lepaskan sportbranya dari tubuh indah itu.
Kini putingnya terekspose di hadapanku, dan begitu indah terlihat pink dan menggoda. Tapi waktu kami tidak banyak, akan ada waktuna aku bisa menikmati keindahan tubuh Jenny nanti, tapi sekarnag aku ingin menikmati liang senggamahnya.
AKu kemudian segera menurunkan celana dalamku dan penisku segera mencuat dan berdiri kokoh.
“Besarnya, pantas tadi tidak bisa ku embat…” kata Jenny sambil tersenyum manja. Aku kemudian menarik celana jins dan sekaligus celana dalamnya turun hingga lututnya. Terdengar jerita kecil dari bibir mungilnya itu, dan akupun segera duduk di atas closet yang tertutup itu.
Jenny kini dalam posisi membelakangiku, dan perlahan ku turunkan tubuhnya, Ku arahkan penisku kedalam liang senggah Jenny dari belakang. Sekali tarik, kubuat tubuh kecil itu bergetar saat penisku masuk, kering dan seret.
“AH… pelan kak…”, terdengar desahannya dengan lembut, pasrah tapi merdu. Kubirkan penisku terdiam sejenak dalam vagiannya yang kering itu, perlahan kurasakan rasa hangat sudah membasahi penisku, vaginanya perlahan menerima kehadiran penisku. Lalu akupun perlahan mulai menggerakkan tubuh kecilnya dengan kedua tanganku mengangkatnya sedikit lalu menjatuhkannya kembali ke atas penisku. Membuat penisku bergerak kerluar masuk dengan perlahan.
Kupercepat gerakan kami, kubuat tubuh Jenny naik turun dengan cepat, dengan bantuan sedikit pahaku membuat tubuhnya terangkat dan membuat kecepatan keluar masuk penisku semakin cepat, membuatnya sedikit merancuh.
“Ah…ah…”, terdengar desah halus dibibirnya, tapi berusaha dia tutupi dengan meletakkan tangannya di depan mulutnya. Aku gerakkan tubuhnya dengan cepat, aku berusaha meraih kenikmati ini dengan segera, tapi aku juga ingin dia mencapi klimaksa sebelum diriku.
“Ah…ah… kak…”, aku terus mempercepat gerakanku, membuat tubuh kecil itu bergetar. Tapi sepertinya tidak lama, Jenny sudah bergetar, tubuhnya seperti kejang halus, dan desah nafasnya melemah, dia telah lunglai, dan tidak berdaya lagi.
“AKu keluar kak…” sambil menahan tubuhnya agar tetap tegang saat penisku merajam vaginannya, tapi sepertinya pun dia sudah tidak berdaya.
“Di…sudah belum..” terdengar suara Edy berteriak dari depan toilet. AKu sedikit panik, tapi aku harus segera menjawabnya.
“Belum nih, jadinya BAB gue…” kataku dari dalam bilik toilet itu, mencegah hal yang tidak diinginkan ku angkat kaki Jenny keatas, jaga-jaga jika Edy melihat ke bawah bilik.
“Si Jenny mana ya?”, tanya Edy lagi, sudah kuduga dia akan menanyakan itu.
“Ngak tahu, aku dari tadi dalam sini brooo…” jawabku asal kena biar dia cepat pergi.
“Ok aku cari dulu…”, lalu suara derap kaki Edy menghilang, semoga dia tidak curiga pada kami dan segera pergi.
Akupun tidak ingin menarik curiga lagi, aku dan Jenny segera berbenah dan kembali kemobil, dengan alasan Jenny sehabis dari toilet berkeliaran sekitar SPBU untuk mencari toko yang buka, dan ternyata tidak ada. AKhirnya kami melanjutkan perjalanan ke Pagaralam, dan setelah kejadian itu aku dan Jenny belum memiliki kesempatan lagi untuk mengulanginya.
 
Selamat ya gan

Alangkah baiknya di setiap paragraf diberi enter buat space antar paragrafnya,biar baca nya ga pusing


Susunan per kalimat ada yang rancu juga, mungkin karena keterbatasan waktu ya :ampun:

Tapi nanti lo editnya tunggu sebulan lagi ya wkwkwkwk :ha:


Skali lagi selamat sudah rilis yaa, jangan lupa mampir di ceritaku yang berjudul Senandung Petrichor
 
Selamat suhu... Mantap setting palembang nih
 
Umur 25 tahun dah jadi Master??? "Wwoowww... Amazing..."
Jadi disinilah aku sekarang, walau baru berusia 25 tahun,
But
Dalam pikiranku terbesit rasa nostalgia, 10 tahun yang lalu aku juga seperti mereka,
“Iya pak, tidak terasa sudah 10 tahun yang lalu…”, jawabku pada Prof. Budi.
Berarti umur 15 tahun mulai berkuliah, SMA umur berapa tuh ya??

"Hey @Yuri_90 kritik tread orang mulu luh, lu nggak ngaca sama thread sendiri yang brantakan???"
 
Hehe dpt yg muda & fresh
Makasih atas karyanya
ditunggu kelanjotanya.
Selamat ya gan

Alangkah baiknya di setiap paragraf diberi enter buat space antar paragrafnya,biar baca nya ga pusing
Susunan per kalimat ada yang rancu juga, mungkin karena keterbatasan waktu ya :ampun:
Tapi nanti lo editnya tunggu sebulan lagi ya wkwkwkwk :ha:

Skali lagi selamat sudah rilis yaa, jangan lupa mampir di ceritaku yang berjudul Senandung Petrichor
Ternyata tidak sadar banyak death line RL yang berkenaan...jadi aduh..

Lanjot lor wonk kito galo
Selamat suhu,
Atas rilisnya cerita untuk gelaran LKCTP.

Di check lagi suhu, banyak typo-nya
Hahaha...ane kayanya hanya meramaikan jadinya... jauh dari sempurna...
hihihi...

Selamat suhu... Mantap setting palembang nih
Umur 25 tahun dah jadi Master??? "Wwoowww... Amazing..."

But


Berarti umur 15 tahun mulai berkuliah, SMA umur berapa tuh ya??

"Hey @Yuri_90 kritik tread orang mulu luh, lu nggak ngaca sama thread sendiri yang brantakan???"
25 bisa lah Magister, sikat lanjut sekolah terus...
hahaha...itu ngak sadar pengalaman sendiri yang masuk :p

Terima kasih atas masukannya semua dan sudah mampir...
Boleh juga mampir di CerBung Ane yang belum kelar-kelar juga...
 
Umur 25 tahun dah jadi Master??? "Wwoowww... Amazing..."

But


Berarti umur 15 tahun mulai berkuliah, SMA umur berapa tuh ya??

"Hey @Yuri_90 kritik tread orang mulu luh, lu nggak ngaca sama thread sendiri yang brantakan???"
baru mau bikin komen spt ini, untung baca dulu komen dibawahnya :D
yg salah sebenarnya angka 10 tahun lalu, harusnya cukup 5-7th
 
Udah kelar ceritanya???? Tadi gw baca apaan yakkk ???
Piss om... :Peace:
Sayang banget super duper nggantung.... Lanjutin ye om kalo dah selesai pagelaran acaranya...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd