Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI Nyai Ajeng Galuh Andini - a Mini Series

Status
Please reply by conversation.
Dilanjutpun...

Cerita Sebelumnya...

Bunda, maafkan anakmu ini… sesalku…

Bunda…

Ijinkan aku kembali ke pelukan-mu lagi…

Bunda…



Telik Winarna
(Rahasia Terpendam)​

Kami membisu dalam perjalanan ke Wanadri, Bungsu pun tampak tak begitu ingin mengobrol, hanya mengemudikan mobil ayah dengan pandangan menerawang, entah apa yang dipikirkan. Semalam, Bunda ‘mem-briefing’ kami tentang apa yang boleh dan tidak boleh kami lakukan di daerah Lereng Sumbing yang kami tuju ini

“Gimana kuliahmu dik?” tanyaku memecah keheningan, sebuah pertanyaan standar wagu, cerminan ketidak-tahuan-ku terhadap kehidupan adik kandungku sendiri

“Biasa aja” jawabnya pendek, tidak memberikan keterangan apa-apa

“Maaf…” desisku lirih

“Buat apa?”

“Aku akhir-akhir ini tidak dapat menjadi kakak buat kamu dan Icha…” jawabku sambil menahan batuk yang kurasakan semakin parah, dan dadaku juga terasa semakin sesak

Si bungsu hanya melirik ku aneh “Santai aja kali mas…” jawabnya ringan

Dan kami kembali membisu, tenggelam dalam lamunan kami sendiri-sendiri

---
“Jalannya ngeri juga…” desisku lirih saat kami sudah memasuki daerah dengan jalan makadam dengan kontur menanjak dan banyak sekali tikungan tajam

“Aku sudah sering nyupir kesini mas, nderekke bunda ngirimin berkat buat lik Rono. Kita nanti akan parkir di rumah bawah, nginep sana malam ini, baru besok pagi jalan kaki ke padepokan, lik Rono tinggal di sana, jalan kaki sekitar 6 jam sampai hampir puncak Sumbing, jalannya muter soalnya, aku juga baru sekali ke Padepokan-nya lik Rono…” jelas Bungsu

“Iya, bunda juga bilang gitu semalem, tapi kamu sering ke rumahnya yang akan kita pakai nginep ini?”

“Emangnya siapa yang nyupirin kalau bukan aku mas?” jawabnya innocence, yang entah dia sadari atau tidak begitu menohok-ku.

Aku, dari kecil memang di asuh Eyang, udah pernah tak certain ya? Dan dalam asuhan beliau, aku seperti di ‘isolasi’ dari saudara-saudara, terutama saudara eyang dari bunda. Dan aku hanya ikut bunda sekitar empat tahun, dari SMP sampai kelas 1 SMA, setelah itu aku kost. Dan jarang pula pulang ke Bunda, karena setiap sabtu, aku sudah dijemput sama utusan Eyang – yah , kecuali pas aku ngabur duluan…

Hal ini, membuatku ‘terasing’ di keluarga besarku sendiri. Jangankan keluarga besar, dengan keluarga inti saja aku juga tidak begitu blending. Aku mempunyai ‘kehidupan’ sendiri. Walau aku selalu berusaha untuk ‘mendekatkan diri’ kepada keluarga, namun kehudupan seakan selalu mendorongku menjauh

Dengan adik bungsu-ku ini, sedikit yang kuketahui tentang-nya, hanya fakta bahwa si Bungsu ini terlahir dengan ‘kesempurnaan’ yang membuat siapapun iri, atau jatuh cinta. Tampang wah, serius males aku menjelaskan. Body, aku aja hanya setinggi telinganya, dengan proporsi dan otot yang, ah, masa harus detail sih? Dan bakat, ni anak mungkin masuk dalam katagori Prodigy. Dan secara keseluruhan, membuat kehidupan seakan mudah saja buatnya. Belum pembawaan cool-nya yang - dengan sedikit ragu aku claim – ditirunya dari-ku. Ah…

Cerita dikit tentang dia?

Ada, Aku dulu suka basket. Quite good on it. Saat SMA, kami masuk komunitas street basket, disana aku adalah seorang living legend, seorang point guard yang sangat disegani. Dengan julukan ‘The Magician’ dalam grup 3-on-3 yang kami bentuk; ‘Three Man’ merujuk pada komik yang saat itu kami gandrungi.

Saat itu Bungsu masih SD, sekali kuajakin liat aku main, dan sebentar kutinggal kuliah di Semarang, pas main lagi ke komunitas itu, sudah muncul legenda hidup baru ‘God of Rebound’ dari grup 3-on-3 ‘Symptoms’ – tebak siapa orangnya?

Yep, si Bungsu! Anak SMP yang memporak-porandakan reputasi sang legenda, Three Man yang kutinggalkan…

Magician vs God

Can you believe it?

Aku panas dong! Dan saat kami berhadapan tiga-lawan-tiga, kamu tau apa yang terjadi?

Pembantaian! Hanya itu yang bisa kujelaskan kepada kalian. Selebihnya, silahkan tafsirkan sendiri, aku males ngejelasin lebih dari itu!

Kurang-lebih gitu deh gambarannya. Tapi ada satu yang sampai sekarang tidak masuk dalam logika-ku. Saat dulu Eyang dari bunda selalu komplain pada ‘bakat’ ku yang hampir tidak ada, beliau malah sama sekali tidak mengajari silat kepada si Bungsu yang penuh bakat itu. Mungkin karena dia adalah cucu kesayangan-nya Eyang dari ayah? Aku gak tau pasti. Tapi tu anak memang berkali-kali diajak ke Jepang sama Eyang dari Ayah. Whatever, fakta tidak penting ini. Walau nantinya aku akan sadari, betapa pentingnya si Bungsu buat hidupku…

---

Bulik Sekar, Istri lik Surono – lik Rono dan adiknya bulik Wulan, menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Beberapa kali bulik Wulan memeluk dan seakan selalu ngglendot dengan si Bungsu, mungkin saking akrab-nya. Bulik Wulan ini, menurut penjelasan bungsu kemudian, adalah janda tanpa anak yang ditinggal mati oleh suaminya, mas Eki – saat kapalnya tenggelam di perairan cina selatan. Yup, suami bulik Wulan dulunya adalah pelaut, katanya dikenalkan oleh Ayah, yang juga pelaut. Dan semenjak kematian beliau, bulik Wulan pulang ke rumah kakak-nya, bulik Sekar.

Dan bulik Wulan ini, menurutku adalah deskripsi kata ‘Ayu’ secara umum…

Anindhita Wulansari begitu wanita ayu itu dinamai, menurut tropi wisuda yang dipajang di buffet sih…

---

Aku kaget saat merasa ada seseorang menepuk-nepuk punggung-ku yang disertai dengan elusan sayang saat aku terbatuk-batuk dengan heboh malam itu. Bulik Sekar.

“Piss… pisss… sing sabar le… sing sabar… piss…” desisnya lembut sambil masih menepuk dan mengelus punggung-ku, sambil menyodorkan gelas berisi teh hangat kepadaku

“Matursuwun bulik” jawabku pendek sambil menerima gelas itu dan meminumnya. Rasanya agak aneh

“Bulik campur sereh, jahe dan sedikit jamu, biar tenggorokanmu hangat…” ujar bulik Sekar menjelaskan setelah dengan geli melihat ekspresiku, sambil masih ngelus-elus punggungku

“Hehe… makanya rasanya agak aneh bulik…” selorohku sok ngakrab

“Dikit, lagian kamu ngapain sini, diluar kan dingin, masuk aja yuk…” ajak bulik Sekar, karena saat ini aku memang duduk santai di serambi rumah, sambil menikmati angin berembun di lereng Sumbing ini. Sambil nunggu si Bungsu sih, sebenernya. Tadi dia diminta bulik Sekar nemenin bulik Wulan buat ambil beberapa barang, ga ktau kemana

“Emangnya bungsu diutus kemana sih sama bulik?” tanyaku untuk mengestimasi kira-kira berapa lama si Bengal itu balik

“Ambil beberapa barang, kita ngobrol di dalem aja yuk…” Ajaknya lagi

Aku agak mamang, bukannya punya pikiran yang gimana-gimana sih, tapi fakta dengan kepergian si Bungsu dan bulik Wulan, maka aku cuman berduaan aja dengan bulik Sekar. Dan menjaga sesuatu, karena entah kenapa akhir-akhir ini ketertarikanku pada wanita setengah baya agak sedikit… ah, bukannya aku punya pikiran yang aneh-aneh dengan bulik-ku yang ‘baru kukenal’ ini…

Tapi, beliau memang…

Ayu… Se-Ayu adik nya, bulik Wulan

Ah…

“Nggih bulik…” kataku mengiyakan sambil beringsut masuk, karena diluar memang sudah sangat dingin karena kabut lereng Sumbing yang turun semakin tebal, bukan karena alasan lain apappun. Sumpah deh…

---
“Jadi, menurut bunda-mu, kamu diutus ke padepokan menemui pak lik-mu untuk mencari kesembuhan?” kata bulik memulai pembicaraan

“katanya begitu sih bulik…”

“Boleh bulik tahu, sejarah sakitmu?” Tanya-nya lagi

Aku menceritakan apa adanya kepada bulik Sekar, mulai dari pertarungaku dengan Vincent, si cakar naga dan luka-luka tambahan yang kudapat dari ‘pekerjaan’ yang harus kulakukan di bawah ‘bujukan’ mereka. Tentusaja aku tidak menceritakan dengan detail ‘pekerjaan-pekerjaan’ itu

“Boleh bulik lihat lukanya?” pintanya lagi

Aku gamang, tapi kubuka juga sweater dan kaos yang ku kenakan. Bulik memandang luka-luka-ku dengan serius sambil berguman, lalu memintaku untuk berdiri

“Boleh bulik pegang?” Tanya-nya lagi, dan aku mengangguk meng-iya-kan-nya

Bulik mulai menelusuri dadaku dengan tangan-nya yang tak kusangka demikian hangat. Meneliti dengan sungguh-sungguh bekas luka-luka itu. Dan mulai memijit-mijit dibeberapa titik dadaku. Kusadari, ada berkas seperti memar besar di daerah kulit dimana jantungku berada. Dari kapan bercak ini muncul?

“Sakit?” Tanya-nya saat aku mengernyit pada salah satu pijitannya

“Nggih bulik” jawabku pendek

Bulik Sekar kembali berguman sendiri sambil masih meneruskan pemeriksaannya, lalu tiba-tiba memandangku dengan iba

“Apa Bunda-mu menyebutkan tentang sendang Kahuripan, saat memintamu mencari kesembuhan disini?” tebak-nya tiba-tiba

“Nggih bulik…” jawabku meng-iyakan

“Pertaruhan yang sedikit sembrono… mbak Ni… ini pertaruhan yang semrono…” guman-nya lagi, menyebut nama panggilan bunda-ku “Sudah, pakai kembali bajumu” perintahnya lagi

Aku menurutinya “Emangnya gimana sih bulik?” Tanya-ku heran, yang hanya di jawab dengan senyum simpul bulik Sekar

“Duduk-lah” perintah-nya, lalu mulai member keterangan

“Disini, sebenarnya aku yang biasa mengobati” kata bulik Sekar membuka keterangan “Sedangkan pak-llik mu di atas, di padepokan, hanya mengejar Dharmasunyata – Ilmu kesempurnaan hidup” terangnya lagi

“Oh? Berarti yang seharusnya mengobati saya adalah bulik?” tanyaku memotong keteragannya

“Aku dan Bunda-mu sama-sama praktisi obat tradisional – jamu –“ terangnya lagi “Tapi luka-mu… Apabila bunda-mu mengirim ke sendang Kahuripan, maka bisa kutebak, beliau tidak menemukan cara untuk menyembuhkan-mu dengan jamu-jamu-nya…”

Aku tertegun, mencoba mencerna penjelasan bulik Sekar

“Bunda menyuruhku meminta ijin kepada pak-lik Rono, untuk berendam di sendang itu bulik, aku juga gak habis pikir, dijaman seperti ini, masa luka bisa sembuh hanya dengan berendam di ‘sendang ajaib’ lalu tiba-tiba Cling, Sim-Salabim sehat wal-afiat, gak masuk akal juga, tapi karena Bunda bersikeras, maka…” curhat-ku sambil sedikit terbatuk. Bulik Sekar malah ketawa geli

“Ah, anak jaman sekarang…” jawab-nya standar template omongan dukun

“Serius deh bulik, aku sudah berencana untuk general check-up dan mengikuti terapi medis… eh, emang bener ya bulik, sendang Kahuripan itu ajaib?” tanyaku songong, bulik malah tambah ngekek

“Enggak lah mas, ada-ada saja, sendang kahuripan ya Cuma sendang biasa saja, cuman airnya yang segar dan murni, mungkin dapat memberimu ketenangan…”

“trus efeknya apa bulik?”

“Efek apa? Sendangnya? Ya, itu, airnya segar dan murni, sendangnya sih biasa saja… hanya saja disana memang ada Nyai Ajeng Galuh Andini…”

‘Siapa dia? Dokter? Atau tabib juga seperti bulik dan bunda?” tanyaku songong, bulik malah ngikik

“Hush! Bundamu gak cerita apa-apa ya?”

“Enggak…”

“Mbak Ni, apa yang njenengan rencanakan? Ini teledor… Begini mas Deny, Mas Deny percaya Dunia Lain?” Tanya bulik Sekar absurd

“Acara TV?” tanyaku tak kalah absurd, bulik tersenyum

“Bukan ah! Malah becandaan lho… maksud bulik, mahluk lain, ruh, jin? Hantu? Memedi? Mahluk halus?”

“Ish, bulik kie lho, malah nakut-nakutin…”

“Hahaha… enggak, gini, mas Deny percaya mbak Ni, Bunda mas Deny punya kelebihan?”

“Hmm… Iya…” Desis-ku lirih, teringat entah kenapa bunda bisa tau perbuatanku dengan Mbak Marni. Dari dulu, aku memang punya feeling kalau bunda memang bukan wanita biasa saja, hanya saja aku gak begitu yakin. Bulik Sekar malah ketawa ngakak… entah kenapa…

“Hahaha… ternyata nakal juga mas Deni ini… sekilas kelihatan kayak anak baik-baik… ternyata… aduuhh… kaget bulik…. Hihihi…”

“Maksudnya?” suwer, aku bingung…

“Gini, Bulik kasih tau rahasia, mbak Ni, bunda mas Deny, mempunyai kelebihan, Condro Waskitho – biasa disebut begitu, beliau bisa melihat masa lalu, bahkan kadang bisa bercakap-cakap dengan masa lalu, dan bulik mu ini juga jelek-jelek punya kelebihan…” katanya sambil mengedipkan sebelah mata dengan centil…

Aku menelan ludah, gugup, jangan-jangan yang dimaksud bulik kalau aku ‘nakal’ adalah karena bulik juga bisa… “Ah, keluarga macam apa yang kupunyai ini?” desisku lirih

“Sudahlah, yang lalu ya sudah, yang penting mas Deny belajar dari kesalahan itu dan tidak mengulangi-nya lagi dengan… Marni?” katanya kemudian, masih disertai kerlingan genit sebelah mata, sambil dengan berani meraih punggung tangan-ku dan mengelusnya

Aku tercengang “Eh?” kaget-ku sambil secara reflek menarik tangan-ku dari elusannya

“Tapi… walau mungkin bundamu sudah melihat ke masa lalu, atau berkomunikasi dengan siapaun disana, hingga akhirnya memutuskan untuk mengirim-mu ke sendang Kahuripan, bulik masih merasa, hal ini merupakan pertaruhan yang sembrono… bisa saja mas Deny sembuh, bisa juga tidak kembali sama-sekali… tapi, keadaan mas Deny juga sudah seperti ini... pertaruhan...nyawa...” desisnya serem…

---

Aku terlentang diranjang kamar yang memang disediakan oleh bulik Sekar kepada kami. Aku dan si Bungsu. Memikirkan lagi arti kata-kata bulik Sekar. Dan adik-ku, si Bengal itu begitu masuk kamar, langsung sok pura-pura tidur, ngantuk katanya, besok harus jalan jauh, jadi harus cepet-cepet istirahat. Setelah beberapa saat kemudian, waktu aku juga pura-pura tidur, dia menggoncangku sedikit, lalu setelah yakin aku tidur – padahal aku hanya pura-pura, dengan pelan dia beringsut dari ranjang. What’s your play bro? dengusku pada diriku sendiri

Dan tak lama kemudian kudengar dengan jelas - melalui indera pendengaranku yang dari sewaktu aku bangun dari koma dahulu, tiba-tiba saja meningkat ketajamannya – desahan desahan lirih dari arah kamar bulik Wulan. Anak idiot itu… Main api ternyata…

Aku beringsut turun dari ranjang, langsung menuju ke dapur, mencari air putih. Dan saat melewati kamar bulik Wulan, iseng aku melongok ke atas pintunya, ada ventilasi – diatasnya. Dengan ringan, aku - sesenyap laba-laba, meloncat dan menggapai lobang itu dengan tangan kiri-ku lalu mengangkat tubuhku. Yep, aku memang bisa melakukan pull-up dengan satu tangan, bahkan, saat mengangkat badanku untuk mengintip, aku masih sempet dengan santai menyeruput air hangat yang kupegang di tangan kanan

Kulihat, adik-ku terlentang telanjang sambil memejamkan mata diatas ranjang bulik Sekar, dan bulik Wulan duduk mengangkang diatas pinggul-nya, menunggangi adik-ku, menggeliat-nggeliat sambil menutup mulutnya sendiri, mungkin agar tidak mengeluarkan desahan yang terlalu heboh. Amatir! Pikirku sambil meloncat turun dengan keanggunan seekor kucing dan berjalan santai kembali ke arah kamar-ku

“Maaf… bulik dilema antara tidak setuju dengan kelakuan Wulan dan rasa kasihan karena kesepian yang dia alami…” sebuah suara kudengar lirih, namun sangat jelas berasal dari ruang tamu

Walau lirih, tapi begitu mengagetkanku, brengsek! hampir aja aku kesedak!

“Bu… bulik Sekar?” desisku tergagap. Diruang tamu, kulihat bulik Sekar duduk dikeremangan ruangan sambil tertunduk. Aku reflek menghampirinya

“Maafkan Wulan ya mas…” desisnya lagi, memintakan maaf buat adik-nya yang kupergoki sedang menunggangi adik-ku. Aku semakin dekat menghampiri bulik Sekar

“Aku sih… terserah mereka bulik, mereka yang menjalani kok… habis ini juga, bungsu masih adik-ku, bulik Wulan masih bulik-ku, kecuali mereka seriusan, trus nikah, nah baru aku bingung, harus tetap memanggil bulik Wulan, atau dik Wulan… hehehe…” Candaku ngawur. Lagian, mereka tidak bertalian darah, dan sah-sah saja untuk menikah, kalau mereka memang mau menikah sih, begitu pikirku serampangan. Tapi kalau mereka cuman mau kawin-kawinan, ya suka-suka, udah gede ini…

Zina? Serah! Dosa tanggung sendiri-sendiri! Aku juga bukan manusia alimun munafikun, ngapain juga harus sok menghakimi? Lho, iya kan?

Bulik Sekar malah nyegir, manis juga sebenernya bulik Sekar ini. Ngakunya sih usianya hampir setengah abad, tapi sumpeh, bleger-nya – penampakan fisik-nya masih dua puluh tahunan. Gak tau napa bisa begitu

“Iya, kelihatanny mereka berdua memang saling menyukai. Ah, biar ngalir saja lah… Biarkan mereka manjalani hidup mereka dengan cara mereka sendiri. Duduklah, ada yang mau bulik tanyakan” pintanya kemudian. Cara berfikir bulik Sekar-ku ini... Tidak kolot, aku suka...

“Nggih bulik” jawabku nurut

“Gini, mbak Ni, Bunda-mu, apakah secara spesifik meminta kalian untuk nginep dulu disini sebelum ke padepokan dan berendam di sendang?”

“Nggih bulik” jawabku jujur

“Ooo… Apakah bunda-mu memintamu untuk melakukan sesuatu disini?” Tanya-nya lagi

“Mboten bulik, tidak…”

“Aahh… Apakah bunda-mu memintamu untuk memintaku melakukan ritual tertentu untukmu?”

“Hah? Ritual? Mboten niku bulik…” jawabku, menyampaikan bahwa bunda memang tidak memintaku ngapa-ngapain waktu nginep disini. Aku kembali terbatuk

“Hmmm… Aku bisa mengerti… mbak Ni, apa benar-benar sudah tidak ada cara lain? Ini sama saja dengan mengadu nasib… untung-untungan ah…” Desahnya…

“Ehem…” Dehemku, sok menahan batuk sambil meminta perhatian bulik-ku yang setengah ngalamun sambil manggut-mangut dan meracau sendiri seolah mempertimbangkan sesuatu “Ada sesuatu yang seharusnya aku ketahui bulik?” insting interogasiku keluar

“Gini, bulik certain dulu. Sederhana-nya mas Deny, disuruh berendam di sendang Kahuripan oleh bundamu untuk mencari kesembuhan, betul?” Tanya-nya kemudian

“Nggih bulik, kurang lebih begitu, tapi saya juga gak yakin bagaimana caranya, apa cuman berendem, atau gimana, atau sambil minum obat, atau gimana…”

“Gini, substansinya bukan berendem-nya” lanjut bulik Sekar menerangkan. Substansi? Ah, bulik-ku ini rupanya lebih terpelajar dari yang ku perkirakan “…Tapi, apa yang ada di sana, dengan berendam di hari dengan hitungan tertentu, aku yakin mbak Ni sudah menghitungnya, kamu akan di paksa untuk menemui Nyai Galuh, beliau yang mungkin menurut bunda-mu mampu menyembuhkanmu, tapi…” lanjutnya lagi

“Tapi?”

“Tapi masalahnya, nyai Galuh ini, walau secara silsilah dia adalah leluhurmu, tapi, sifatnya agak…” Jiancuk, aku merinding iq, ndengerin penjelasan bulik Sekar, emang nyai jin ini ada beneran ya? Kalau jin dalam botol sih aku punya, si Ine, tapi dia jin becandaan…

“Sifatnya bulik?”

“Sifatnya agak egois, kalau dia suka seseorang, dia pasti menyimpan orang itu…”

“Menyimpan?”

“Iya, menyimpannya di alam-nya… sudah banyak pendaki yang kebetulan tersesat di sendang itu dan kebetulan bertemu lalu disukai sama Nyai, tidak ada yang pulang, dan aku pun tidak bisa berbuat apa-apa, karena aku tidak mempunyai kaitan sukma dengan mereka…” aku berhenti mencerna penjelasan serem itu sampai ‘menyimpannya di alam-nya’ - karena selebihnya terlalu seram untuk kucerna dalam otak penakut-ku

Dan aku melongo… “Seriusan bulik? Ini bukan mitos kan? Semacam Urban Legend gitu?” tanyaku kemudian. Bulik Sekar hanya melirik-ku tajam. Dramatisasi yang membuatku semakin merinding

“Aku adalah salah satu-nya yang bisa menarik-mu kalau-kalau saja Nyai menyukaimu dan ingin menyimpan-mu… tapi…” desisnya lagi

“Tapi?” serius, aku merinding beneran iq, beneran gak sih ceritanya?

“Tapi, bulik juga tidak mempunyai ikatan sukma denganmu…”

“Ikatan sukma?”

“Soul Bound, ikatan Chi, atau apapun sebutan yang kamu ketahui… ikatan sukma, kami menyebutnya seperti itu…” Terangnya. Beneran deh, bulik-ku ini kelihatannya memang well educated. Eh, iya juga ya, kalau tidak salah, bungsu sempat menyebutkan kalau bulik Sekar ini memang pernah kuliah kedokteran. Di UGM, kalau gak salah inget, pantes aja… gak tau tuh lulus atau enggak

“Dan gimana caranya agar kita punya… ikatan sukma itu bulik? Agar bulik bisa rescue saya, kalau…” ucapku, sudah mulai tergiring. Abis serem tau! Aku kan paling penakut kalau menyangkut soal-soal ginian…

“Hmm… bisa, kita bisa bermeditasi bersama, menyelaraskan sukma kita… tapi akan memakan waktu berbulan-bulan, dan kalau diagnosa bulik tidak salah, jantungmu sudah sangat lemah detakan-nya… beruntung kalau kamu bisa bertahan beberapa minggu, dengan ramuan-ramuan jamu… atau mungkin secara medis, bisa dicoba transplantasi, tapi, tranplantasi jantung tidak sesimple itu…” jelasnya kemudian. Fix, bulik Sekar memang well educated!

Aku garuk-garuk kepala “Ya… memang setelah apa yang aku lalui…”

“Batuk-mu mengeluarkan darah?” Tanya-nya kemudian

“Nggih bulik, tapi setelah meminum jamu bunda, batuk-ku agak berkurang…”

“Warnanya?”

“Warna apanya? Jamunya? Ya biasa bulik, coklat pekat…” jawab-ku

“Darahya…”

“Hitam bulik…” jawabku lesu… “Kukira itu Karena luka radang di tenggorokanku…” desisku kemudian semakin lirih. Sumpah, aku hampir menangis, menyadari apa yang kualami. Divonis mati dalam beberapa minggu? Yang benar saja? Aku gak tau legitimasi vonis itu seberapa valid. Tapi di vonis mati, setelah semua hal-hal yang ku percayai memang merusak fisik ku secara luar biasa? Oh...Aku benar-benar… terpukul…

Bukannya aku takut mati, kemtian selalu membayangiku, bahkan dari dulu saat gemblengan Eyang berkali-kali hampir merenggut nyawaku. Aku hanya… Belum benar-benar berani untuk… mati…

Dan aku hampir terisak karenanya… karena hal-hal ini... Diluar kendali maupun kemampuanku untuk mengatasinya. Dan, aku selalu benci kalau ada hal-hal yang di luar kendaliku...

“Racun… warna hitam menandakan tinggi-nya level karbon pada darahmu. Dalam arti lain, jantungmu sudah tidak mampu menyaring karbondioksida dari hasil pernafasanmu sendiri… saat ini, tubuhmu memproduksi racun, untuk meracuni dirimu sendiri dalam setiap tarikan nafasmu...” desisnya lirih, iba

Aku menelan ludah

“Bulik bisa membuatkan jamu, agar tubuhmu tidak merasakan sakit sama sekali sampai… jantungmu berhenti berdetak dengan sendirinya…” desis-nya menawarkan

“Kematian yang sedikit lebih tidak menyakitkan…” gurauku kehilangan harapan…

Bulik meraih tangan-ku dan mengelusnya dengan iba “Jalan hidupmu… luar biasa mas…” selorohnya menghibur.

Menghibur? Aku adalah mayat hidup. Kalau kau bia melihatnya dari sisi humor, itu saja sudah luar biasa lucu. Hiburan apa lagi yang aku butuhkan? Kematian yang begitu pasti akan mendatangiku sebentar lagi. Seakan aku bisa melihat malaikat maut sudah menuliskan namaku di daftar-nya. Lalu mengirimiku pesan pemberitahuan...

“Atau….” Desisku lirih “Aku bisa berendam di sendang, dan meminta Nyai siapapun itu untuk menyembuhkanku…” ujarku lagi. Aku masih belum mau menyerah. Keuletan, itu salah satu bakatku, kata eyang dulu, hal ini yang nantinya akan menentukan jatidiri-ku…

“Dengan fisik dan mental seperti ini, bisa dipastikan Nyai akan kesengsem…” desisnya bulik Sekar lagi, kali ini sambil tersenyum… sedikit pujian bagi jiwa yang berada diambang kematian “Dan kehidupan di alam-nya…” beliau tidak menyelesaikan kalimat itu

“Tapi bulik bisa menarik-ku kan?” tanyaku penuh harap, dan beliau menggelengkan kepala

Aku manggut-manggut pasrah “Yah… mungkin, jamu anti rasa sakit itu adalah solusinya…hehehe…” walau berkelakar, tapi aku benar-benar tidak bisa mendeskripsikan perasaanku sendiri

“Selain meditasi, ada satu cara lagi untuk penyatuan sukma…” Desisnya “tapi, itu mungkin benar-benar tidak bisa kita lakukan…”

Entah dapat kekuatan darimana, aku tiba-tiba merasa tegar dalam kepasrahan. Kuelus pundak bulik Sekar yang duduk disampingku dengan pengertian. Karena kulihat beliau malah jadi lebih melodramatis daripada aku sendiri “Gak papa bulik, dalam sisa umurku, aku berjanji akan berbuat sebanyak mungkin kebaikan… dan aku juga bersyukur, karena keadaan ini, aku jadi kenal saudara seperti bulik, mohon dimaaf-kan, sebelumnya, aku… tidak pernah bersilaturahmi… dan kalau ini memang takdirku… aku akan menerimanya…” ucapku sambil tersenyum. Pasrah, itu kuncinya…

Dan kulihat malah bulik-ku mulai menangis…

Aku memeluknya. Dan beliau tambah terisak didekapanku…

Lalu seperti terkaget, bulik Sekar tiba-tiba menyantakkan diri dari pelukanku

“Baiklah! Kita lakukan!” ucapnya tiba-tiba dengan pandangan bertekad, sambil mengusap air-mata-nya sendiri

“Apanya?” Tanya-ku kaget

“Penyatuan sukma!” ucapnya mantap

“Kata bulik, untuk meditasi tidak cukup waktu, dan cara satu lagi, tidak mungkin…”

“Mungkin! Ya, kalau mas Deny mantap!” ujarnya yakin

“Mantap?”

“Iya, harus mantap!”

“Eh, emangnya, cara satunya lagi itu… apa?”

“Eee… itu…” bulik Sekar kembali ragu

Aku menatapnya bertanya-tanya

“Eeee… cara paling cepat untuk menyatukan sukma adalah… eee… “

Aku masih menatapnya bingung

“Berhubungan badan…” desisnya

“Apa?!” sumpah aku kaget beneran…

“Dan, untuk melambangkan arah jalan pulang, kita harus melakukannya… dijalan…”

“HAH???!!!” Aku melongo

---

Dan disinilah kami. Setalah tadi bulik memberiku beberapa ramuan, menyuruhku mandi lalu bersuci. Beliau juga segera mandi, dan bersuci. Dengan air hangat tentunya, dingin-nya udara di lereng Sumbing ini memang naudzubilah! Satu lagi, kita mandi sendiri-sendiri tentunya!

Dan setelah banyak sekali diskusi, sanggahan, pertimbangan-pertimbangan serta perjanjian-perjanjian, kami memutuskan untuk…

Ah…

“Seriusan nih bulik?” Tanya-ku kemudian dengan keraguan absolute saat kami sudah berdiri berhadapan di tempat itu.

Bulik Sekar ini tingginya hanya sekitar dagu-ku. Dan oleh karena itu, aroma harum shampoo yang menguar dari rambutnya benar-benar langsung menusuk indera penciumanku karena kepala beliau memang berada tepat didepan hidungku. Dan aroma itu disertai aliran getaran yang… Ah, kamu tau sendiri kan bau cewek habis keramas dan efek yang bisa di timbulkannya?

Haiz…

Yep, kami memang sudah ada di jalanan. Beberapa meter naik dari rumah bulik Sekar ke arah gunung. Sebuah jalan setapak yang sepi. Aku mengenakan baju dan jaket komplit, hanya disebelah bawah mengenakan sarung, tanpa celana dalam maupun kolor, sesuai instruksi bulik. Dan beliau pun kulihat mengenakan pakaian komplet. Sweater cardigan biru dan beberapa lapis kaos, sedangkan dibawahnya, mengenakan kain jarik yang dililitkan ke pinggul gilik-nya. Kuduga, tanpa celana dalam maupun kolor bergambar sponge-bob atau apapun juga

Bulik Sekar celingak-celinguk “Kelihatannya sepi, jalan ini adalah setapak yang biasa di gunakan penduduk buat cari kayu bakar di hutan, berharap saja, tidak ada yang cari kayu bakar malam-malam begini…” desisnya ragu juga

“Enggak, maksudnya, apa yang akan kita lakukan… bulik benar-benar…”

“Ah… itu…” sejenak kulihat keraguan di mata bulik Sekar “Sudahlah, ini hanya ritual, berbaringlah, bulik akan memasukkan dari atas” sambungnya kemudian agak sedikit mantap

“Dan yang harus kulakukan hanya…” aku memastikan

“Keluar di dalem” ulang nya, sedikit malu

“Yep… keluar didalem…” absurd gak sih, ritual seperti ini? “Dan setelah aku keluar di dalem bulik, maka sukma kita akan menyatu?” tanyaku lagi, masih dengan keraguan yang sama

“Teori-nya sih seperti itu” jawabnya pendek

Teori? Teori dari siapa? Dari mana? Professor mana coba yang pernah membikin jurnal yang menjelaskan teori tentang hal ginian? Hadeh… Teori?

Dan aku mulai berbaring di jalan tanah setapak itu. Tanahnya sendiri kurasakan lembut, karena ditutupi oleh butiran-butiran debu halus dan pasir gunung. Tapi terasa sangat dingin di punggung-ku

“Siap? Kamu seharusnya sudah berdiri karena jamu yang kamu minum…” Desah bulik Sekar lirih. Dan memang kurasakan batangku sudah berdiri semenjak kami sampai disini tadi, kukira karena ketegangan dan pikiran mesum-ku, ternyata ada dorongan efek jamu to?

Owalah…

Dan aku terlentang dengan sempurna

“Eee… sarungnya…” bisik bulik Sekar setelah memposisikan diri berdiri mengangkang diatas tubuh terlentangku sambil sedikit mengangkat kain jarik-nya. Dengan masih sedikit ragu, aku menyingkap sarung lahnat ini. Bulik Sekar membeliak kaget “Haaaahhh… Gede banget… kenapa harus gede banget sih?” protesnya absurd

Aku suruh gimana jal?

“Bentar, bulik basahi dulu… aduuh, sudah lama bulik gak ginian lagi…” racaunya gak jelas sambil beberapa kali meludahi tangannya sendiri dan mengoleskan ludah itu ke kemaluannya. Aku melihat proses situ dengan mulut terkunci dan perasaan yang… Ah… masa harus ku deskripsikan sih?

Bulik Sekar kembali meludahi telapak tangannya sendiri lalu berjongkok di depan batang-ku yang entah kenapa kurasakan semakin keras berdiri, lalu tiba-tiba menghentikan gerakannya sambil menatap wajahku “Bulik pegang ya?” Tanya nya aneh… hadehh…

“Haduh bulik, gak usah nanya kali… aku udah pasrah ini… hihihi…” gurauku wagu

“Hush! Abis punyamu nih, kegedean! Punya bulik udah lama nggak di masukin pak lik-mu, baru bulik merawatnya dengan jamu sari rapet lagi, jadi mengecil dan peret, pak lik mu suka kalau peret, soalnya punya-nya kecil, jadi kalau peret, gesekannya lebih kerasa… Tapi punya mu segedhe ini, pasti kalau dipaksa masuk, punya bulik bisa langsung lecet… kenapa harus gede banget sih? ” terangnya sambil mulai mengelus dan melumasi batang-ku dengan air liurnya . Hadehhhh… Perlu gak sih informasi sekomplet ini mengenai hal-hal ginian?

Ikutan ‘Nike’ aja napa? Just do it, gitu loch!

“Aaaghh… Bawaan lahir bulik… Emang bulik gak seneng yang besar ya?” jawabku setengah nggodain, juga setengah melenguh diantara birahi yang semakin tidak bisa kukendalikan dan nikmatnya baluran tangan Bulik saat melumuri batang kontol-ku dengan ludah-nya

“Mantep kali ya kalau ditusuk segini? Belum pernah ngerasain yang segini… hihihi…” jawab-nya mengikuti alur sange-ku. Mungkin beliau ikutan sange juga kali ya?

“Ya, coba aja bulik…” desisku ngawur

“Masukin ya?” ujar bulik tiba-tiba setelah pelumas itu beliau rasakan cukup. Bulik mulai menggesek-gesekkan kepala penisku di bibir vaginanya dalam posisi beliau jongkok di atas tubuh terlentangku…

Peret memang…

Dan beliau menekan…

Kulihat bulik Sekar meringis menahan apapun yang beliau ingin tahan. Entah nikmat, entah perih atau apa. Bibir bawahnya digigit dengan cara paling erotis yang pernah kulihat. Dan tiba-tiba beliau berhenti, lalu menatapku dengan ekspresi sedikit aneh. Kepala penisku bahkan belum sampai menerobos lubang vagina peret bulik-ku ini

“Jangan liatin bulik dong! Tutup matamu mas!” pintanya

“Kenapa bulik?”

“Bulik maluu… ekpresi bulik suka aneh kalau anu bulik ditusuk…” desahnya sambil masih berusaha memasukkan burung-ku ke sangkar-nya

“Kalau merem aku susah keluar bulik” jawabku dengan argumentasi ngawur

“Serah ah! Tapi jangan ketawain bulik lho ya… Egghttt… Sssspppp… Aaaa….” Sergahnya pendek sambil masih berusaha “Aduuh… sudah mass… punyamu kegedeannn… dalem anu-nya bulik masih kering nih… perih rasanya…” ujarnya kemudian sambil menghentikan kegiatan itu. Masa nyerah sih? Kentang dong gue… hadeh! Pikiran sange! Padahal kan ini ritual untuk kebaikanku sendiri. Yah, katanya sih gitu…

“Gimana kalau… tak lumasin dulu bulik?” tawarku, penawaran model apa pula jal?

“Lumasin gimana?” Tanya-nya heran. Aduh! Kelihatannya pengalaman bulik dalam hal ini tidak se-well-educated pengetahuan kesehatannya

“Berdiri bulik” saranku pendek yang lalu diikutinya dengan tingkat kepatuhan tinggi, seperti tentara yang diperintahkan oleh komendannya. Sekarang, vagina aneh nan peret setengah baya itu terpampang didepan wajahku. Jembut-jembut nya mengeriting lebat karena dibiarkannya tumbuh secara alami. Kukira cukur jembut tidak ada dalam pertimbangan estetika-nya. Ah, ngapain juga aku mikir cukur jembut ya?

Segera kuangkat sebelah kaki bulik dan ku sampirkan paha-nya di pundak-ku. Saat itu posisiku nggelosoh di tanah, hanya bagian belakang sarungku yang membatasi antara pantat kedinginan ini dengan tanah dibawahnya yang lebih dingin. Semoga si john tegar dan tidak mengkeret karena suhu udara ini. Tapi kan ada si jamu yang menjaganya dalam posisi siaga satu! Hadeh..

“Mau di lumasin gimana?” Tanya nya heran disela senggalan nafasnya

Dan tanpa memberikan keterangan lanjutan, karena kurasa memang informasi detail tidak terlalu priotitas dalam tahap ini, aku mulai menjilati vagina itu. Mencecap gelambirnya, menyedot dan menyodok-nyodokkan lidahku ke dalam liang peret itu. Klitorisnya yang menonjol cantik itu pun tidak luput dari sapuan permainan silat lidahku

Dan bulik mengerang kaget dan kenceng….

“AAAAGGHHH!!!” lalu cepat-cepat menutup mulutnya sendiri menggunakan kedua telapak tangan-nya

Vagina bulik-ku ini begitu… gurih… dan anyep. Maksudku, tanpa rasa-rasa amis aneh dan aroma yang biasanya ada pada vagina-vagina lain. Malah rasanya cenderung manis. Gurih-gurih-manis. Apa kata lezat layak kuaplikasikan disini? Kalau Lezat bisa diaplikasikan untuk mendieskripsikan rasa sebuah vagina, maka vagina ini sangat lezat. Dan kukira juga bebas micin. Jadi aman dikonsumsi. Dan oleh karena itu, aku begitu rakus melahapnya. Persetan dengan ritual, rasa ini… memabukkan-ku

Dan bulik Sekar semakin meracau tidak karuan…

“Berhentiiii… berhentii…. Sudahhhhh….stoooopp…ahhhggghhkk…. Stooooo…ooooghhh....” racaunya sambil menjambak rambutku dengan kenceng. Aku yang menebak artinya malah menyedot vagina itu kuat-kuat sambil menahan pantat kenceng bulik setangah baya-ku ini

Bulik Sekar mengejang-ngejang dengan hebat…

Dari seruan tertahannya, kukira beliau membekap mulutnya sendiri kuat-kuat dengan kedua tangan-nya

Lagian tangan beliau sudah tidak menjambak-ku…

Lalu kejang-kejang itu berhenti…

Dan bulik Sekar ambruk, menggelosot di pangkuan-ku dengan lemas…

Kubiarkan beliau meresapi apapun yang beliau rasakan itu dengan sabar sambil memeluknya

“Ediyaannn….” Ujar beliau terengah-engah sambil memandangku saat beliau sudah memiliki tenaga untuk menarik kepalanya yang sebelumnya bersandar lemas di bahuku

“Maaf bulik… bulik merasa sakit?” tanyaku sambil nyengir. Sakit apa? Wong wajahnya sumringah gitu…

“Ediyaan kamu mas… belajar dimana sih, pinter banget bikin enak? Hihihi…” celotehnya malu-malu-manja. Kenapa harus manja-manjaan ya?

“Enak ya bulik?” cengir-ku lagi. Mesum

“Hush!” desahnya malu-malu sambil mencolek pipi-ku gemas “Harusnya hanya ritual biasa, masukin titit, keluarin di dalem, udah… malah bulik yang keluar duluan…” erang-nya lagi

Aku kembali nyengir

“Eh, kamu telan ya?” Tanya-nya ngawur

“Apanya?”

“Cairannya bulik…”

“Iya, maaf, tadi kusedot, soalnya gurih banget, enak punya bulik…” jawabku jujur. Emang enak kok!

“Aduh, peret lagi deh jadinya anu-ku…”

“Kayaknya masih licin deh bulik” napa juga aku harus menebak-nebak hal kayak gini coba? Cles clup crot aja udahh...

“Coba masukin lagi aja yuk?” pintanya. Yes! Gitu dong, maknyus kan?

“Bulik masih belum puas?” goda-ku

“Iiihh! Apaan sih? Untuk ritual juga…” sanggahnya

“Oo… kirain, belum puas…”

“Iiiihh!” bulik memencet gemas hidungku “Penasaran dikit juga sih…” ujarnya lagi sambil nyengir

Hadeh…

---
“Aw…. Aw… Aw… tahan… tahan duluuuhh…” ujar bulik sambil memejamkan mata, dan menggigit bibir bawahnya saat penisku sudah mulai mempenetrasi lubang kenikamatannya yang sempit dan peret itu

Posisi kami masih sama, aku terlentang di bawah, sedangkan bulik Sekar dengan sok tegar memposisikan dirinya dalam gaya wanita diatas. Berjongkok mengangkangiku sambil berusaha menjejalkan batang penisku ke vaginanya

“Napa bulik?” tanyaku sudah luar biasa sange karena ngeliatin ekspresi wajah wanita paruh baya ayu-imut ini

“Penuh bangett… batang penismu menuhin semua bagian lorong vagina-ku… ahh…” desahnya akademis

“Belum masuk semua juga…” protes-ku

“Masa…sih…?” lenguh-nya ragu sambil berusaha menunduk untuk mengecek koneksi persetubuhan kami. Yep, batang penisku memang kira-kira baru tiga per empat masuk ke liang vaginanya. Dan saat beliau menunduk untuk melihat bagaimana batang itu menusuk vagina mungil-nya, aku menghentakkan pinggul kuat-kuat keatas

Bulik Sekar sepontan menejerit…

Lalu diikuti reflek membekap mulutnya sendiri dengan kedua telapak tangannya…

Dan kembali mulai kejang-kejang dengan liar…

Masa bulik Sekar orgasme lagi?

Dalam tusukan pertama?

Tapi memang kurasakan lorong vagina itu mengedut-ngedut liar seiring dengan kejangan badannya sambil menyemprotkan cairan hangat yang banyak sekali…

Aku dengan sengaja malah menancapkan batang penis-ku dalam-dalam ke liang vaginanya. Mentok sampai titik terdalam. Terasa menyundul bantalan lembut nan panas…

“OOoooooggghhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh” bulik Sekar membiarkan desahan terakhirnya lepas dari mulutnya saat kejang-kejang nya juga makin melemah, lalu ambruk ke dadaku…

Dengan nafas yang luar biasa tersenggal-senggal

---

“Bulik gak papa?” ujarku lembut sambil mengelus punggung bulik Sekar yang sekarang menelungkupi-ku dalam senggalan nafas-nya yang senen-kemis

“Aku… aku dapet orgasme lagi mas…” desahnya, kali ini dengan intonasi full manja

“Masa sih bulik? Baru tusukan pertama…” desahku

“Ternyata… gini rasanya kontol gede…” desisnya ngawur. Tapi, kontol? Ah, rupanya bisa ngomong nakal juga bulik-ku. Soalnya dari tadi beliau selalu normative, menyebut barang-barang kami dengan istilah akademis, atau hanya menganalogikan-nya dengan kata ‘anu’

Meng-anal-ogikan? Anal? Ah, bisa pingsan beneran kali kalau bulik di-anal

Hadeh, mikir apa sih?

Aku malah tambah sange. Kurasakan penisku yang masih tertanam sempurna di liang vagina bulik Sekar semakin membengkak…

“Tapi aku kan belum keluar bulik? Apa sudahan aja?” tanyaku mincing-mancing

“Belum lah! Nanggung, sudah terlanjur kejadian, kita selesaiin aja…”

“Iya bulik…”

“Tapi kamu di atas ya? Bulik sudah lemes banget… eh, kok kontolmu rasanya tambah gede ya di dalem memek bulik?” racaunya sambil sedikit menggoyangkan pantat, seolah ingin mengukur seberapa penuh lubang kenikmatannya oleh batang penisku

Hah? Kontol? Memek?

Istilah-istilah vulgar itu?

Yang benar aja…

Semakin liar aja bulik Sekar-ku ini…

Atau… ini memang sifat aslinya?

Aku memutar posisi kami, sambil masih mempertahankan posisi batang penisku didalam vagina bulik Sekar. Sekarang posisinya beliau dibawah dan aku mengangkanginya diatas. Menusuk lubang peretnya yang walaupun sudah dibanjiri cairan orgasme, namun masih terasa njepit banget

“Bulik…” desahku

“Ya?” jawabnya dengan pandangan sayu

“Aku boleh full?” tanyaku

“Full gimana?”

“Full, sambil ciumin bibir bulik atau ngenyotin payudara bulik, biar cepet keluar….” Pintaku. Bener kok, kalau main full kan kita bisa lebih cepet keluar ya? Walau memang harus diperdebatkan lagi durasi ‘cepet’ yang dimaksud disini

“Boleh mas, asal mas Deny bisa keluar di rahim bulik… biar kelar ritualnya”

“Makasih bulik…”

“Dan mas…”

“Ya bulik?”

“Jangan peduliin bulik orgasme lagi, genjot aja terus, fokus buat keluarin spermamu di rahim bulik…”

“Siap komendan!” jawabku nyengir

“Hehehe… “ beliau ikutan nyengir “Dan mas…” potongnya lagi

“Iya bulik?”

“Genjot yang kenceng… habisin memek bulik dengan… kontol gede mu…. Hihihi…” lanjutnya binal. Nah, kali ini aku yakin kalau sebenernya bulik-ku ini full original-binal

Dan aku mulai menggoyang. Bibir sensual dan payudara kenceng itu pun tak luput dari garapanku

Cepat keluar dalam deskripsi ini, mungkin tidak secepat yang beliau kira

Entah berapa kali bulik Sekar mengejang-ngejang orgasme, dan sesuai arahan beliau saat breefing singkat tadi, aku tak memberi jeda. Sodok dan terus kusodok. Relung vagina istimewanya ku korek tanpa meninggalkan setitik lokasipun tidak terjelajah oleh batang penis ku. Pokok'e menjelajah sampai final frontier, to seek out new life and new civilizations. To boldly go where no man has gone before!

Saat ayam hampir mulai berkokok, aku semprotkan spermaku kuat-kuat dirahim binal bulik Sekar-ku

Hey, ini semua demi ritual kan?

Lalu, karena durasi itu, terpaksa aku harus menggendongnya saat perjalanan pulang ke rumah

Karena bulik Sekar-ku ngakunya terlalu lemas buat jalan…

Ah, sebenernya bukan masalah terlalu lemes ding, selemes apa sih ngentot? Palingan istirahat bentar juga boro-boro lemes, malah seger iya…

Karena sok manja, menurutku itu yang terjadi sebenernya

Wanita paruh baya kesepian ber-vagina peret yang sehari-hari ditinggal suaminya di padepokan demi mengejar ilmu kesempurnaan hidup ini, kurasa benar-benar kesepian dan sangat butuh dimanja oleh laki-laki…

Tapi kenapa minta manjanya ke-aku?

Kan seharusnya disini pasien-nya aku yak?

Seharusnya, yang dimanja-manja kan aku…

Kebalik gak sih?

Haiz…

---

Siang itu, aku berhenti berjalan karena terbatuk batuk dengan hebat. Si Bungsu menyenderkan-ku di pohon sambil dengan sigap mengambil botol minuman berisi ramuan dari bulik Sekar yang disiapkannya khusus untuk-ku pagi tadi sebelum kami berdua pamit untuk mulai mendaki ke arah padepokan, bekal diperjalanan katanya. Diminum kalau aku mulai lemas atau terbatuk-batuk. Aku menenggak isinya hampir setangah botol. Rasanya pahit minta ampun… Tapi batuk ini segera mereda

Aku menggelosoh lemas di bawah pohon itu

Bungsu meraba-raba kantong depan celana lapangan-nya sendiri lalu mencabut benda yang dibungkus dengan tissue

“Ni mas, di telen” ujarnya pendek

Aku mengerutkan alis dengan keki ke adik laki-laki ku ini saat melihat benda yang ada di uluran tangan-nya

“Batu akik? Kamu suruh aku nelen batu akik?” protes-ku

Bungsu hanya mengangkat bahu cuek “ Yang suruh bulik Wulan, katanya kalau mas mulai batuk-batuk dan merasa badannya lemes, suruh nelen ini. Katanya energinya akan membantu mas buat segar kembali, sementara sih, tapi katanya cukup. Dan jangan kuatir, batu itu secara otomatis akan balik ke bulik Wulan kok. Itu mustika-nya. Katanya begitu…”

“Tidak adakah hal-hal yang normal dalam keluarga kita?” dengusku sambil menyahut akik sialan itu dari tangan adik-ku

Bungsu hanya kembali mengangkat bahu. Aku memandangnya dengan tatapan interogasi

“Hati-hati kamu bermain hati dik” ujarku dengan maksud tertentu, dalam lirikan tajam kearah si bungsu yang kuyakin dipahaminya setelah menelan itu Akik…

Hadeh…

Nelen Akik, kebayang gak sih betapa putus asa-nya diriku akan kondisiku sendiri?

Tapi efekya memang luar biasa aneh. Begitu batu akik itu tertelan olehku. Aku merasakan... adem... seger... dada-ku terasa adem dan perasaan selalu ingin muntah dari perutku tiba-tiba menghilang. Perasaan ingin batuk ini juga lenyap. Dan badanku pun terasa penuh energy. Benar-benar tidak ada hal normal disini

“Aku… sayang beneran sama bulik Wulan mas…” dengusnya ragu

Aku menepuk bahunya seperti layaknya seorang kakak

“Hey, aku tidak mencoba menghakimi-mu disini!” ujarku, setelah tahu si Bungsu menebak maksud perkataanku dengan tepat

Si Bungsu tersenyum

“Dan mas juga mempunyai ritual yang hebat semalem dengan bulik sekar…” Dengusnya cuek sambil mulai mendaki, meninggalkanku

Eh?

Darimana si Bungsu tau?

Dasar tukang intip sialan!!!

Aku berlari-lari heboh menyusulnya lalu dengan loncatan gemas menendang bokong-nya

Buk!

“Sialan lu!” maki-ku gemes

Bungsu ngekek

“Eh, bunda tau gak ya?” Tanya ku ragu sambil merangkul pundak adik-bengal-ku ini

“Enggak” jawabnya pasti

“Sok yakin lo!”

“Bunda memiliki keterbatasan pandangan mas, dan salah satu dari banyak batas pandangannya adalah bulik Wulan, bisa dibilang Wulaniyut-ku adalah antithesis dari pandangan Bunda…. Hehehe…” info nya dengan cengengesan sambil memgacungkan dua jari membentuk huruf V. Vagina? Eh, Victory ding...

Antithesis?

Wulaniyut?

Ah…

Memang benar-benar tidak ada yang normal dalam keluargaku…

Dan kami kembali mendaki

Padepokan Darmasunyata, Sendang Kahuripan…

Kami datang!!

End of Telik Winarna
(Rahasia Terpendam)

INDEX
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Makasih atas updatenya om @fran81

Semoga aja Dede bisa tertolong dan sembuh setelah pulang dari Gunung Sumbing..
 
hangkrikkk....crita2mu mesti menghanyutkan om..salutt.

( lgsg tergambarkan yg di cerita ini di benakku...lengkap dengan sosok bulik Sekar & Wulan )
 
Bimabet
Komik basketnya HarlemBeat ya suhu, kalo ngomong point guardnya pasti si Sakurai, tapi julukan The Magician punya si Masamune, ato sapa dah itu lupa namanya
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd