Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI Nyai Ajeng Galuh Andini - a Mini Series

Status
Please reply by conversation.
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Maaf suhu, saya barusaja senin kemarin balik dari Makassar, maklum sebagai kuli yang berdedikasi terhadap istri -- bukan diperbudak, zumpah deh hu, kalau gak prcaya tanya aja sama lembaga survey kepuasan hihi-- , harus giat mencari sesuap masi.. wkwkwk...

Update will be soon, lha ni aja reply via HP, lom sempet nyolokin anu di hardisk mesum yg ane slempitkan di pojok lemari sempak...

Maaf juga nubi blm bisa reply komen master satu per satu, pasti nanti akan nubi kasih reward atas kesediannya membaca tulisan sederhana ini.

And btw, tadi ada yg nyamain nubi ama master @Jaya Suporno - Jangan lah, nubi malu semalu malunya sampai kemaluan nubi aja ikut malu maluin... Jauhlah nubi sama beliau

Anyway, sekali lagi terimakasih banyak. Cerita ini pasti tamat (krn emang sudah nubi tulis raw - tinggal editing, trus upload)

Salam Hormat

Frans
:ampun::ampun::ampun:
Tenang aja Hu, kami sabar menanti koq
 
Dilanjutpun...

Cerita Sebelumnya --

Memang benar-benar tidak ada yang normal dalam keluargaku…

Dan kami kembali mendaki

Padepokan Darmasunyata, Sendang Kahuripan…

Kami datang!!



Sendang Kahuripan

Aku terbangun dan terbatuk-batuk dengan hebat. Setiap hentakan nafas seakan membuat dadaku terasa begitu perih, rasa ini juga menjalar sampai ke punggung dan seluruh tubuh. Aku memaksakan diri untuk bangkit dari ranjang kayu beralaskan tikar pandan ini. Sekilas kulihat sekeliling, aku dikamar, tapi dikamar siapa?

Kamar ini dibatasi dinding bambu yang sederhana, penataannya pun sangat sederhana, hanya berupa sebuah ranjang kecil beralaskan tikar yang barusaja kutiduri, sebuah meja kayu dan kursinya yang juga sangat sederhana. Diatas meja itu ada secangkir air putih yang langsung kuminum untuk meredakan rasa panas di tenggorokanku. Aku berusaha berjalan, tertatih menuju pintu. Tubuhku terasa lemas sekali. Hampir tanpa tenaga

Apa yang terjadi?

Terakhir kuingat, siang menjelang sore itu, aku dan adik-ku berjalan melewati tumpukan batu aneh yang disusun vertikal, yang menurut adik-ku adalah tetenger atau penanda, semacam gerbang masuk ke wilayah padepokan, lalu tiba-tiba aku merasa sangat pusing dan lemas. Trus apa yang terjadi?

Aku masih merasa sangat lemas, dengan merambat pada dinding, aku menelusuri semacam lorong dalam rumah yang menghubungkan satu ruangan dengan ruangan yang lain

“Lho, mas, udah bangun?” sapa adik-ku kaget dan langsung berdiri, seger menyongsongku. Ternyata mereka sedang duduk-duduk di ruang depan

“Iya...” desisku lirih, dengan pandangan heran, mengharapkan sebuah penjelasan darinya

“Kita sudah ada dipadepokan, ini lik Rono...” ujar bungsu singkat sambil memperkenalkan seorang laki-laki paruh baya yang memiliki mimik sangat sabar. Beliau juga ikutan menyongsongku, yang kusambut dengan uluran berjabat tangan, sungkem

“Nggih pak lik, ngapunten apabila saya merepotkan...” ucapku segera dengan hormat

“Walah, ngopo to le, sama saudara sendiri, jangan sungkan lah...” jawabnya sabar, sambil membantu bungsu medukungku ke kursi terdekat

“Mas tadi tiba-tiba pingsan setelah melewati watu tenger” ujar bungsu menjelaskan bahwa tadi aku tiba-tiba pingsan setelah melewati batu yang disusun, yang dijadikan penanda masuk wilayah padepokan, padahal sebelumnya, sesudah aku menelan akik sialan itu, tubuhku baik-baik saja, bahkan hampir penuh energi

“Mas bungsu yang meggendongmu kemari mas” ujar lik Rono menambahkan penjelasan

“Yep, makasih dik” jawabku sambil menepuk-nepuk bahu adik-ku. Yang dibalasnya dengan mengangkat bahu, cuek

“Yuk semua makan dulu” ajak lik Rono kemudian

Dan kami mulai duduk disekeliling meja yang ada di pendopo padepokan itu, yang juga berfungsi sebagai meja makan lalu mulai melanjutkan obrolan sambil makan malam

“Ini semua lik Rono yang memasak?” tanyaku basa-basi

“Iya, pak lik sudah biasa, lha bulik mu ada di rumah bawah to?” jawabnya. Yang membuatku merasa sangat bersalah telah melakukan 'ritual' gila dengan istri orang baik ini

“Stt mas, ternyata jimat bulik wulan batrenya cuman cukup sampe watu tenger aja, kurang di charge kali... hehehe... tapi kata pak lik njenengan gak pa-pa, awalnya aku sempet panik tadi” seloroh bungsu mbanyol

“Jimat?” tanya lik Rono singkat

“Anu, batu akik pak lik, tadi setelah mustika yang katanya punya bulik Wulan itu saya telen, memang rasanya tubuh saya sangat bertenaga, tapi begitu melewati watu apa itu, tiba-tiba saya merasa lemas...” terangku, yang entah kenapa aku tiba-tiba merasa absurd dengan keteranganku sendiri

“Mustikanya Wulan? Ditelan? Kenapa batu mustika harus ditelan?” tanya pak lik lagi dengan heran

“Tauk tuh pak lik, kata bungsu, begitu pesan bulik Wulan” jawabku sambil melotot bengis-menyelidik ke arah adik ku yang bengal ini. Yang kini malah cengar-cengir dengan tengil

“Anu pak lik, kata bulik Wulan, kalau mas Deny mulai lemes-lemes, aku disuruh ngasihin batu itu kepadanya, katanya bisa membantu...” jawabnya masih dengan cengiran yang super tengil

“Batu berwarna ungu? Maksudnya Mustika kecubung ungu?” tanya lik Rono

“Nggih lik” jawabku singkat kurang yakin

“Lah, batu itu pak lik yang kasih, masak Wulan nyuruh batu itu ditelan? Padahal seharusnya dikantongi saja sudah cukup...” desisnya kemudian

Aku melotot kepada adik ku si bengal yang super rese ini

“Kata bulik Wulan, kalau fungsinya sudah selesai, itu batu akan kembali ke bulik, saya cuman penasaran pak lik, kalau ditelen, bisa balik lagi nggak? Wkwkwk...” jawab si tengil itu malah ngekek

“Sialan luh! Bacandanya jelek!” jawabku sambil nonjok lengan adik-ku yang malah semakin ngakak

“Ah, sudah-sudah, InyaAllah batu itu juga akan balik ke Wulan kok...” Ujar pak lik Rono ikutan geli “Lagian mas Bungsu sudah gendong njenengan sampai sini, lumayan jauh lho, mungkin empat sampai lima kilo meter-an...” lanjut pak lik melerai

“Tapi beneran nggih pak lik? Batu itu...” Ucapku agak khawatir sambil memegang perutku sendiri

Bungsu semakin ngakak

Awas lu ya!!!

---

Sesiangan ini, aku duduk dan beristirahat di bale depan padepokan. Semalam, setelah makan pak Lik mulai memeriksa keadaan tubuh-ku dan menyampaikan kesimpulan yang sama sekali tidak membuat perasaanku lebih enak. Kurang lebih sama dengan diagmosa bulik Sekar. Tubuhku sudah rusak. Umur-ku...

Ah...

Si Bungsu juga ngilang entak kemana, sedangkan lik Rono, setelah tadi pagi beberapa kali memijat dan menyalurkan tenaga dalamnya kepadaku kembali masuk ke ruang tidurnya. Malam ini, sesuai rencana, aku akan memulai 'ritual' berendam di Sendang Kahuripan. Itupun kalau tidak ada SMS urgent dari Bapak Presiden Republik Indonesia memintaku untuk rapat di Istana Negara, yang akan sangat tidak mungkin terjadi. Wkwkwk...

Walaupun batuk-batuk ku memang mereda, setelah kembali mengkonsumsi jamu dari bulik sekar, tapi tubuh-ku terasa sangat lemas dan kepalaku rasanya seperti barusaja dihantam palu godham

“Hoi, Bangsat! Berhenti kau bocah!” kudengar seseorang memaki dari luar gerbang padepokan, lalu dari balik tikungan kulihat bungsu berjalan dengan cuek sambil ditarik-tarik bahunya oleh seseorang

“Serah” gerutu bungsu terus berjalan cuek sambil bersedekap, enggan menanggapi orang itu

“Ada apa ini ribut-ribut?” ujar pak lik Rono yang ternyata sudah ada di ambang pintu padepokan

Bungsu masuk ke padepokan tak menghiraukan situasi itu, sambil membungkuk sedikit ketika melewati pak lik Rono

“Handoko, ada apa ini?” tanya pak lik Rono pada orang itu dengan sabar, ternyata beliau mengenalnya

“Ayah gak usah ikut campur!” hardik lelaki yang ditanya dengan kurang ajar. Ayah?

“Mas, ada apa ini?” celetuk-ku sambil bangkit dari bale-bale

“Siapa dia yah?” tanya orang itu dengan intonasi tidak sopan dan mata mendelik kepada lik rono sambil menunjuk-nunjuk-ku

“Dia dik Deny, adikmu, kakaknya bungsu... ada apa to ini le? Mbok yang sabar...” jelas lik Rono sambil memegang bahu orang itu, berusaha menyabarkannya

“Oooohhh...” kata orang itu dengan tidak sopan sambil menepis lengan lik Rono dan berjalan mendekatiku “Ternyata kamu orangnya, pewaris biang maling? Bagus! Mau apa lagi kesini? Mau mencuri lagi? Belum pernah digebuki kamu??” ujarnya dengan kurang ajar menunjuk wajahku

Entah kenapa, aku mendadak marah, darah muda lah. Maling apaan?

BRAK!!

Terdengar suara meja di gebrak didalam rumah, lalu bungsu keluar dengan langkah marah

“Cukup! Aku sudah cukup sabar dengan ulah kekanak-kanakan mu mas!” hardiknya kepada orang itu

“Oh! Berani juga kamu bocah kosong!” jawab orang itu sambil berbalik kearah bungsu “Nantang kamu?” ujarnya lagi sambil menarik kerah baju adik-ku

Bungsu hanya diam, membalas tatapan mata orang itu dengan tatapan yang tidak kalah marah

“Selama ini, karena ada bunda, kubiarkan kamu mengoceh, kali ini aku sudah tidak sabar lagi” Desis bungsu seram. Aku jarang sekali melihat adik-ku marah

Aku melirik pak lik Rono, beliau hanya berdiri diam, mungkin bingung mau ngapain

“Terus maumu apa?” tantang orang itu

“Kita selesaikan disini, sekarang” desis bungsu menantang

“Pak lik...” desisku lirih sambil menatap pak lik Rono, meminta bantuan. Namun kulihat pak lik hanya berdiri diam, sambil menimbang-nimbang sesuatu

“Semua masuk!” desis pak lik Rono yang tiba-tiba terlihat sangat berwibawa dan berkuasa

---

Kami duduk melingkari meja pendopo, mengikuti perintah pak lik Rono. Aura tadi, kukira tidak akan bisa ditolak oleh siapapun. Aura seperti seorang raja yang bertitah

“Sebelumnya biar kujelaskan dahulu duduk perkaranya, juga agar nak Deny paham” ujar pak lik mengawali pembicaraan

“Handoko, putraku ini, dari kecil diasuh oleh eyang-nya, bapak ku, Sumitro Ponosoemarto. Entah apa yang disampaikan bapak kepadanya, sehingga cerita lama keluarga besar kita, betul-betuil menggoreskan kebencian dihati-nya kepada keluarga eyang mu, mbah Sukadi Ponosoemarto” jelas pak lik lebih lanjut

“Itu karena mbah-mu adalah maling! Maling yang mencuri dari kakang-nya sendiri!” hardik handoko sambil menunjuk-nunjuk muka-ku

“Handoko! Kukira biar ayah saja yang berbicara!” desis lik Rono yang disertai tekanan aura yang betul-betul membuat bulu kuduk-ku berdiri. Ilmu apa sebenarnya yang dikuasai pak lik? Menakutkan sekali...

“Nggih yah” desis Handoko kemudian, kukira, dia merasakan apa yang aku rasakan. Kukira, kami semua merasakan apa yang aku rasakan

Lalu pak lik mulai menjelaskan. Ternyata ada perseteruan diantara eyang kami, dari tiga bersaudara, Sumitro, Sukadi dan Suhono Ponosumarto, mbah Mitro – panggilan mbah Sumitro lah yang katanya paling cerdas dan terlibat politik praktis pada masa itu. Tidak hanya beliau adalah anak tertua, namun beliau juga bisa menggantikan mbah buyut kami yang gugur dalam perjuangan melawan penjajah, dahulu...

Mbah Mitro ini, selain pemangku adat keluarga kami, juga adalah seorang yang sangat terpelajar. Dan ideologi beliau lebih condong ke timur, Uni Soviet, kalau aku boleh menyimpulkan. Maka, dengan kegiatan politiknya, pada saat geger PKI tahun 60an, beliau dituduh terlibat dan nama beliau masuk dalam daftar buron. Saat itu eyang-ku, mbah Pono yang kebetulan sudah menjabat sebagai kepala desa, melakukan tindakan yang 'Tabu' dimata keluarga besar mbah Mitro

Beliau berniat menangkap sendiri kakak-nya untuk diserahkan kepada yang berwajib

Karena mbah Mitro ini terkenal licin dan sangat tangguh berkat ilmu silat keluarga Ponosumarto. Untuk mengalahkan serta menangkap kakak-nya, eyangku mencuri kitab silat Ponosumarto yang oleh mbah buyut kami diwariskan kepada mbah Mitro, lalu menyerahkannya kepada guru besar yang sangat hebat, dihormati, dan disegani pada waktu itu, RM. Harimurti – Sang pencipta Silat Tejokusuman, agar diajari cara melawan silat Ponosoemarto tersebut.

Berkat ajaran eyang guru Harimurti, mbah Mitro berhasil ditangkap oleh eyang, lalu diserahkan kepada seorang petinggi dengan perjanjian agar mbah Mitro tidak dibunuh, karena pada masa itu memang semua orang yang dituduh terlibat PKI akan dibunuh tanpa proses pengadilan. Tembak ditempat.

Lalu, tidak berhenti disana, menggunakan kekuasaan dan koneksi-nya eyang-ku juga mengeluarkan nama mbah Mitro dari kartu keluarga kami. Beliau menyebutkan bahwa di keluarga Ponosumarto, hanya ada anak. Eyang-ku dan Adiknya. Sedangkan anak-anak mbah Mitro diaku-kan sebagai anak-anak yatim yang diangkat putra oleh beliau. Jadi secara administratif mbah Mitro tidak pernah ada.

Walau hal itu kelihatan sangat buruk, mengingkari keluarga sendiri hanya karena terlibat gerakan yang terlarang pada zaman-nya, namun setelah bertahun-tahun, baru kami sadari alasan eyangku, beliau berusaha menyelamatkan anak-cucu mbah Mitro dari cap 'keturunan PKI' yang sangat didiskriminasikan pada era Orde Baru

Namun ada hal yang salah. Perwira tinggi yang diserahi mbah Mitro tidak dapat menepati janjinya. Mbah Mitro dieksekusi didepan warga bersama tertuduh PKI yang lain, lalu dikubur secara masal dan tidak terhormat

Nah, disinilah misterinya. Bertahun-tahun kemudian, mbah Mitro muncul lagi...

Bergabung dengan keluarganya yang sekarang sudah 'dikeluarkan' dari trah Ponosoemarto, oleh adik nya sendiri...

Takdir juga tidak sampai sana saja dalam memelintir benang kusut keluarga kami. Bertahun tahun kemudian, bundaku, menjalin asmara, lalu dilamar seorang pemuda. Yang belakangan diketahui adalah anak dari perwira tinggi yang 'mengkhianati' kepercayaan eyang dimasa lalu saat dititipi mbah Mitro.

Yep, dan kami sekarang, adalah Keluarga pencuri dan pengkhianat dimata keluarga mbah Mitro

Itulah kenapa, bunda berusaha dengan sekuat tenaga selalu menyatukan tali silaturahmi yang ruwet ini. Dengan usaha-usahanya, Bunda menjelma sosok yang paling disegani dikeluarga besar kami, karena berhasil menjelma menjadi 'jembatan' dalam hubungan kakak-beradik yang dilumuri dendam dan kesalahpahaman.

Bunda memang luar biasa, sesuai dengan namanya. Bundaku, oleh eyang diberi nama: Kartini. Mereka memanggilnya, Mbak Ni, tua, muda, siapapun, mereka memanggil bunda: Mbak Ni...

“Nah, sekarang cerita aslinya sudah jelas kalian pahami, masih mau berkelahi sesama keluarga?” tanya pak lik kemudian

“Mohon maaf pak lik, mas Handoko ini omongannya sudah berlebihan, terutama kepada bunda. Untuk itu, saya... belum bisa memaafkan...” desis adik-ku, mengagetkan. Biasanya bungsu ini kalem, tapi memang dia sangat protektif kepada bunda. Tugas yang dengan memalukan tidak berhasil kuemban, melindungi bunda...

Pak lik Rono melirik putranya

“Bocah kosong ini bahkan tidak bau silat Ponosumarto, tapi lagaknya sok-sok-an, seseorang perlu memberinya pelajaran yang pantas, ayah...” desis Handoko menjawab tantangan adik-ku

Pak lik tersenyum

Aku bingung...

---

Aku duduk di bale-bale padepokan bersama dengan pak lik yang saat ini sudah 'merestui' perkelahian yang menurutku sangat tidak perlu itu. Sedangkan adik-ku dan mas Handoko sudah berdiri berhadapan di halaman padepokan

“Ini... benar-benar tidak apa-apa pak lik?” tanyaku gagu

“Semenjak kepergian ibu-nya, Handoko memilih hidup bersama dengan eyang-nya, aku tidak tahu apa yang diajarkan bapak kepadanya. Setelah bapak meninggal, handoko balik ke rumah, lalu mengatahui kalau aku sudah menikah lagi dengan Sekar, Handoko... Ah, mungkin ini semua salahku...” kulihat pancaran kesedihan dari mata pak lik Rono

“Dan untuk menghindariku, Handoko mencurahkan waktunya untuk mempelajari satu-satunya peninggalan eyang-nya yang menurutnya paling berharga, silat Ponosumarto... aku berusaha melarang, karena belajar silat tanpa guru bisa menjadi sangat berbahaya, namun saat dia memintaku untuk mengajarinya silat, aku juga tidak bisa... Karena...” lanjutnya

“Kuharap adik-mu bisa mengalahkannya...” desisnya kemudian

“Mengapa pak lik merasa adik-ku bisa mengalahkannya?” tanya-ku. Dan aku bertanya-tanya, apakah paklik tidak bisa mengajarkan silat karena paklik memang tidak mempelajarinya?

“Adikmu, mempunyai jiwa yang sangat dalam... dan kudengar dia belajar cukup baik dari eyang-mu... Karate Shotokan?”

“Iya...” desisku kurang yakin. Adik-ku ini adalah seorang yang memiliki bakat luar biasa, namun, silat Ponosumarto, seperti yang kuketahui, mempunyai gerakan-gerakan yang diciptakan secara genius oleh pendahulu kami. Gerakan-gerakan efektif yang sangat berbahaya...

Dan silat handoko adalah jurus-jurus murni, membuatnya berlipat-kali lebih berbahaya...

“Kowe sudah siap mati, bocah kosong?” kudengar Handoko membentak

Dan kulihat, atau lebih tepatnya kukira kulihat, adik-ku bergerak. Kecepatan ini...

Mae Geri – tendangan lurus kearah perut?

Bukan...

Seolah-olah melakukan Mae Geri, adik-ku tiba-tiba meloncat lalu dengan posisi masih melayang diudara, dia mengantarkan tendangan beruntun, tiga kali?

Bukan, lima kali – kearah kepala handoko yang ditahannya dengan double cover yang sempurna. Kenapa tidak di hindari dengan kiritan putih? Batinku. Tidak sampai disana, begitu mendarat, adik-ku langsung menghantarkan tendangan putar, Mawahi Ushio Gerie yang dengan telak menghantam bahu Handoko, lalu - entah bagaimana dia melakukannya, adik-ku membalikan arah putaran tubuhnya sendiri dan melakukan sapuan kaki.

Handoko yang sebelumnya sudah terhuyung karena tumbukan Mawahi Ushio Gerie dibahu kanan-nya, sekarang benar-benar terpelanting karena sapuan kaki adik-ku. Tidak sampai disana, tiba-tiba adik-ku melompat lagi dan menghujamkan lutut ketubuh Handoko yang masih terpuntir diudara. Tumbukan itu menerbangkan tubuh Handoko seperti selembar daun kering yang tertiup angin. Melontarkannya kebelakang dan membuatnya jatuh berdebum, berguling-guling

Alih-alih kembali memberondong serangan memanfaatkan posisi tubuh Handoko yang sudah jatuh dan rentan, adik-ku malah menghentikan serangannya. Dia berdiri kalem sambil melihat Handoko yang bangkit dengan susah-payah

“Omonng besar hanya membuatmu lengah, bocah silat!” desisnya kalem

Aku segera menambahkan catatan untuk diriku sendiri: Jangan macem-macem sama si Bungsu.

Noted!

Ngeri!

Bahkan, si Bengal itu belum menggunakan pukulan tangan sama sekali, yang kutahu, lebih dilatih dalam Karate Shotokan. Ngeri kuadrat! Bocah Gemblung, setinggi apa kamu sudah berhasil meloncat, le?

“Brengsek!” hardik Handoko sambil meludah lalu memasang kuda-kuda

“Lihat Serangan Bocah!!” teriaknya kemudian sambil meluncur dengan kecepatan yang tak kalah deras kearah adik-ku

Dibuka dengan jurus Keluk Nyamber, Handoko dengan sebat menyerang adik-ku. Gerakan jurus-jurusnya terlatih sampai pada ketajaman yang membuatku begidik ngeri. Jonggrang Waloka, Ombak Segoro Pitu, Lepen Pinaringan lalu dilanjutkan dengan kombinasi jurus Kidang Emas dan Gelar Langit Lipet Bumi, semua mematikan, mengarah ke saran vital, dari ulu hati sampai colokan mata dan tendangan kejam ke arah kemaluan

Adik-ku terdesak dengan hebat, jurus-jurus silat kami memang bukan gerakan remeh temeh yang bisa diantisipasi begitu saja. Beberapa serangan kulihat masuk ketubuh adik ku. Tapi dia bertahan dengan tangkisan-tangkisan yang sampai saat ini masih berhasil mengimbangi keganasan dan kecepatan liukan kombinasi serangan dan tipuan ala silat Ponosumarto

WUUTT!!

Jurus Nogo Angon Ganjaran hampir saja menumbuk dagu adik-ku, kalau saja jurus ini masuk, aku tidak bisa membayangkan akibatnya. Tulang lehernya bisa terulur dan patah, bahkan aku yakin dengan kecepatan dan tenaga seperti itu, bisa-bisa kepalanya langsung terbetot lepas. Tapi adik-ku menghindarinya dengan liukan aneh

Gerakan apa itu? Aku berusaha mengaduk-aduk Ensiklopedia bela-diri yang ada di kepalaku. Daito Ryu Aiki Jujutsu kah? Gerakan kaki adik-ku semerta-merta berubah, dari kuda-kuda kaku Karate menjadi gerakan melingkar-lingkar dalam pusaran besar dan kecil

Aiki Jujutsu, aku yakin sekali. Dari mana si-Bengal ini mempelajari gerakan kaki rahasia para Sensei Aiki? Ah, dia kan dulu sering diajak eyang buat 'jalan-jalan' ke-Jepang, tidak mustahil dia mempelajarinya dari seseoramg disana. Dan kalau dia memang mempelajari Aiki lalu dikombinasikan dengan Karatenya – yang mustahil dilakukan oleh kebanyakan orang didunia, selain mungkin oleh si-Bengal itu tentu saja, maka...

Betul juga, aku gak tau apakah karena gerakan Handoko sedikit kacau karena kaget oleh perubahan gerakan adik-ku atau memang adik-ku sudah menemukan 'celah' dalam silat kami, sekarang serangan Handoko sedikit terasa 'hambar' dan adik-ku perlahan-lahan semakin memantapkan posisinya. Bahkan, berhasil memasukkan beberapa serangan balasan. Sebentar lagi mungkin keadaan akan berbalik. Sebuah bantingan tangan mungkin? Karena serangan itu khas Aiki Jujutsu

BUGG!!

Sebuah pukulan lurus menumbuk dada handoko dengan telak membuatnya terjajar ke belakang, memisahkan mereka yang sedetik lalu masih jual-beli jurus dengan sebat

“Aku sudah bosan dengan tarianmu, kita selesaikan sekarang!” desis Adik-ku ke Handoko

“Tarian kata-mu bocah? Akan kubungkam omong besarmu saat ini juga!” sahut Handoko ketus dengan nada yang sangat marah

Lalu Handoko mulai 'menari'. Diawali dengan mengatupkan kedua telapak tangan di depan perut, mengangkatnya ke dada, lalu disertai dengan gerakan rumit dan pengambilan pernafasan yang terstruktur. Handoko masih terus memperagakan 'tarian”-nya. Lalu sesaat aku menyadari satu hal...

“Pak lik, apakah itu... Sukmo Ani-Ani?” tanyaku khawatir kepada pak lik ku, sekilas kulirik gestur tubuh paklik-ku juga menegang

Sukmo Ani-Ani, adalah salah satu jurus larangan tertinggi dalam silat kami. Jurus ini, melalui gerakan-gerakan tertentu dan tehnik pernafasan rahasia, memaksa aliran tenaga-dalam untuk dipadatkan diseluruh bagian tubuh. Dan apabila digunakan untuk menyerang, aliran tenaga itu akan meledak-ledak, membuat tebasan tanganmu setajam parang dan pukulan serta tendanganmu berkekuatan layaknya sebuah gada. Dan apakah aku sudah menyebutkan? Dengan tehnik ini, tubuhmu-pun akan menjadi sekeras baja.

Begitu terlarangnya jurus ini, bahkan Eyang hanya menunjukkan padaku sekali, tanpa menyuruhku mempelajarinya. Walau aku memang dituruni tehnik-nya, namun sejauh ini, tidak pernah secara khusus kupelajari. Karena, setahuku, kerusakan yang bisa diakibatkannya, bukan hanya kepada lawan, tetapi juga kepada diri sendiri. Hanya orang-orang dengan tubuh dan jiwa setingkat master yang diperbolehkan untuk mempelajarinya, apalagi menggunakannya

Sukmo Ani-Ani, atau Memanen Jiwa – begitu jurus mengerikan ini dinamai

Tapi, kulihat adik-ku juga tidak kalah mengerikan. Tubuhnya dibiarkannya melemas, leher dan bahunya turun, namun kakinya masih menapak seperti layaknya seorang karateka. Satu tangan di pinggang dan satu lagi lemas disamping badan. Sikap 'santai' ini setahuku didalam aliran Aiki disebut dengan Minamoto Sutansu – kuda-kuda Minamoto. Yep, Minamoto Genji yang terkenal itu. Sebuah sikap “tenang sebelum badai” - Arashi no mae no shizukesa - yang mampu mengeluarkan tenaga yang dahsyat pada saat menyerang. Dan apakah dia memang benar-benar berhasil memaduka Aiki dengan Karate?

Ini hibrid yang mengerikan antara aliran Lembut dan Keras. Kulihat adik-ku juga bernafas dengan tehnik tertentu. Mungkinkah si-Bengal itu benar-benar berhasil memadukan dua aliran beladiri yang saling bertolak belakang? Apa efeknya? Bagaimana kedahsyatannya? Yang benar aja, Ying dan Yang bersatu dalam satu tubuh?

Brengsek-brengsek kecil itu...

Kini membuatku merasa begitu kecil...

Kulirik, tiba-tiba pak lik berdiri

“HEAGGGG!!!!”

hampir bersamaan, Handoko dan adik-ku berteriak lalu bergerak!

DUAGGGG!!!

Aku memalingkan wajah, tak kuasa melihat benturan itu...

Lalu, saat keberanian sudah terkumpul kembali, pandanganku segera kualihkan lagi kepada pertarungan itu. Dan aku mendapati pemandangan yang sangat ganjil

Alih-alih seseorang terkapar dalam adu tenaga tersebut, yang kupinta jangan si-Bungsu yang terkapar, aku malah melihat...

Pak lik Rono ada di tengah mereka. Terjepit. Membentangkan tangan dan menerima pukulan lurus diulu hatinya dari kepalan tangan adik-ku dan sebuah pukulan telapak di yang dikeluarkan oleh Handoko, anak-nya sendiri di punggung. Dua pukulan telak yang aku yakin sangat mematikan...

Paklik... menggunakan tubuhnya sendiri sebagai tameng agar pukulan kedua bocah tolol itu tidak saling membunuh mereka sendiri. Namun, aku ngeri membayangkan akibatnya...

“HAH!” Paklik membentak pendek, dan secara aneh Handoko dan Adik-ku terpelanting, membal ke belakang. Lalu ambruk dan sesaat tidak ada yang berhasil berdiri kembali

Paklik segera mengehembuskan nafas panjang, lalu dengan santai melihat mereka berdua dengan tatapan sabar

“Kalian tidak apa-apa?” tanya-nya riang

Shit!

Aku baru saja melihat seorang master beraksi...

Paklik ternyata...

Ah...

Lalu tiba-tiba aku teringat perbuatanku bersama istrinya...

Sial!

Udara ini, tiba-tiba mendadak dingin, atau aku gemetaran karena hal lain ya?

Begooo!!

---

Kami makan malam agak awal sore itu, karena malam ini, sesuai dengan hitungan hari, seperti yang di pesankan oleh bunda, aku akan mulai ritual berendam. Walau semua yang kumasukkan dalam mulut terasa sangat hambar, karena entah mengapa, aku merasa mulai kehilangan inderaku satu per-satu. Dan saat ini yang paling terasa meninggalkanku adalah indera pengecapku. Beberapa kali muntah darah semenjak pertunjukan menghebohkan siang tadi juga tidak membantu. Malah memperparah, kalau menurut perhitunganku.

Bungsu sempet protes karena melihatku yang pucat-pasi serta lemah harus berendam di air yang dinigin nanti malam, namun, setelah hal-hal tak masuk akal yang kami alami, mungkin dibawah sadar, kami semua sepakat, kalau Sendang Kahuripan adalah kesempatan terakhirku. Mitos atau fakta? Sebentar lagi akan kubuktikan sendiri. Aku, sang kelinci percobaan akan mempertaruhkan nyawa demi menjawab pertanyaan konyol non ilmiah itu. Dan lebih dari itu, berusaha untuk menyelamatkan nafas dekilku ini, mencegahnya untuk sementara agar tidak pergi meninggalkan tubuh hina ini. Hadeh...

Sekilas teringat gumanan yang berkali kali dilontarkan oleh bulik Sekar: Ini adalah pertaruhan yang sembrono. Namun, apa artinya hidup tanpa pertaruhan, bukan?

Bagaimanapun, ada hal yang sedikit menggembirakanku. Adik-ku dan Handoko, saat ini duduk berjejeran dengan damai, dan mengobrol dengan biasa pula, walau memang masih terlihat sedikit canggung. Kuharap, perselisihan apapun yang pernah terjadi diantara mereka, sekarang sudah sirna. Saudara, ngapain pula harus tidak akur? Lagipula Bunda yang selama ini bertindak sebagai duta dalam rangka mengakurkan keluarga besar kami. Kita harus menghormati hal itu kan?

Ya, gambaran besarnya adalah seprti itu, itupun kalau kamu mengabaikan mimik jeri ketakutan dari mereka berdua saat sesekali pak lik Rono ngendikan – berbicara. Yep, atraksi yang dilakukan oleh pak lik bagi kalian mungkin 'biasa', tapi, bagi pebeladiri seperti kami memang sangat menakutkan.

Kami melatih dan menggembleng fisik dan mental, melalui berbagai tahapan rasa sakit dan usaha yang luar biasa untuk bisa mencapai level ini, untuk bisa menguasai “ilmu” ini. Lalu,bayangkan saja jurus puncak andalan dari ilmu yang kita dapatkan melalui segala siksaan baik yang bisa maupun tidak bisa kalian bayangkan itu dipecundangi dengan mudahnya.

Ini seakan menggambarkan tinginya langit ketika kita merasa bisa terbang. Langit yang tak ter-raih. Ini mengerikan!

“Pak lik mau bicara dengan nak Deny sebentar, kalian berdua tolong keluar” begitu ujar pak lik diujung makan malam, yang diikuti dengan patuh oleh kedua mahluk tengil yang beberapa jam sebelumnya begitu bengal bin ngeyel

Dan ketika mereka berdua sudah beranjak keluar, pak lik mulai memberiku “wejangan” tentang apa yang mungkin akan terjadi, dan apa yang harus kulakukan maupun kuhindari saat berendam di Sendang Kahuripan. Sebagian besar hanya instruksi berupa perkiraan-perkiraan normatif. Tapi yang paling membuatku terpana adalah dengan gamblang pak lik menuturkan tentang garis waktu yang memisahkan alam-alam.

Dengan kedalaman pengertian beliau tentang ruang dan waktu, kalau aku boleh menterjemahkan secara akademis, maka besar sangkaanku, dalam penjabaran sedetail itu, paklik-ku ini sudah - sekali lagi ini hanyalah sangkaan-ku – pernah melakukan perjalanan ruang dan waktu. Sebuah perjalanan melintas batasan ruang dan waktu?

Tuhan pastinya memiliki alasan yang bagus saat me-tasbih-kan manusia agar 'terpenjara' oleh dimensi ruang dan waktu, dan individu yang akhirnya mampu melampaunya, menurutku, sudah tidak boleh digolongkan dalam ras kita, spesies kita. Ini tabu! Ini lancang! Ini melangar titah Ilahi!!!

Menurutku, mahluk-mahluk lancang seperti mereka: Bukan Golongan Kami!

Lalu, paklik ku ini mahluk apa?

Ah...

Aku sih pernah mendengar tentang 'ilmu-ilmu magis' semacam ini. Ngrogo Sukmo, begitu rata-rata orang jawa menyebutnya secara umum. Yaitu ilmu yang 'memungkinkan' seseorang untuk 'melepaskan diri' dari batasan raga nya. Sehingga Sukma, atau nyawa atau ruh nya bebas berkelana tanpa batasan apapun. Tapi itu sekedar mitos dan teori. Betulkan?

Ah...

Pakde Einstein dan om Hawking akan stres kalau mendengarkan teori-teori paklik

Hadeh...

Tidak ada-kah hal-hal normal dalam keluargaku?

Whatever, aku sampai saat ini, dan mungkin sampai kapanpun, dengan bangga menempatkan diriku dalam golongan manusia Rasionalis.

Titik

Magic? Klenik?

Is out of my consideration!

Walaupun dalam kenyataannya, sebentar lagi mungkin aku akan mengalami hal-hal diluar kotak batasan yang kutetapkan untuk diriku sendiri, lalu melangkah melalui pintu penebusan dosa. Dosa-dosa yang terasa menggunung dipundak kiriku...

This is my redemption...

---

Udara terasa dingin ketika menyentuh kulitku. Suhu air Sendang dimana aku berendam ini juga tidak membantu, walapun entah kenapa, perpaduan dua suhu dingin itu membuatku merasakan kedamaian. Kilasan-kilasan buram berkelebat di benakku. Menghambur dan berkelebat riuh. Potongan-potongan frame-frame kelabu yang semakin tidak dapat kucerna maknanya

Sendang Kahuripan, sebenarnya hanyalah genangan kecil yang berasal dari sumber mata air yang mengalir dari celah batu yang mengelilinginya. Membuatnya seperti air terjun mini. Sendang ini terletak di sebuah lembah yang tersembuyi oleh bebatuan disekelilingnya. Dalamnya pun hanya sebatas pinggang ku. Hanya sebuah pagar kayu sederhana yang membuatnya tampak sedikit terjamah oleh manusia, selebihnya keanggunan mini ini hanyalah sebuah titik diantara luasnya lembah Kahuripan, begitu daerah ini dinamai – Lembah Kahuripan.

Aku duduk bersila di sebuah batu yang sepertinya memang berfungsi sebagai tempat duduk, entah siapa yang menaruhnya disana. Dari atas batu itu, posisi bersilaku membuat air hanya mencapai ujung bawah dadaku. Sesuai instruksi Paklik, aku bermeditasi disana bertelanjang dada, hanya celana pendek yang menjagaku dari ketelanjangan. Baju, celana dan jaket kulipat rapi dan kutaruh diatas batu dekat pintu masuk. Semuanya ada dalam sebuah kantung plastik, untuk mencegahya basah oleh embun. Sedangkan sarung yang terakhir kulepas kulipat di bibir sendang

Semua instruksi sudah kukerjakan. Menyampaikan niat kedatanganku ditempat ini, menaburkan bunga disekeliling sendang, membakar kemenyan dan masuk kedalam air dengan kaki kanan terlebih dahulu. Selanjutnya, hanya tinggal berendam, bermeditasi dan memasrahkan semuanya kepada Sang Tunggal. Tuhan yang Maha Satu. Semua detail manual dan instuksi sudah kukerjakan. Namun, instruksi terakhir beliau: memejamkan mata dan bermeditasi, mengosongkan pikiran dan memasrahkan jiwa-raga kepada-Nya, ternyata begitu sulit kulakukan, terutama karena pikiran yang berkelebat tak beraturan ini.

Dan – barangkali aku lupa menyebutkan – juga karena catatan kaki yang disampaikan paklik secara serampangan, sekilas dengan nada bercandaan; Jangan tergoda oleh apapun. Terutama oleh Bisikan-Bisikan Menyesatkan dan Seekor Ular Besar

Pertama: Aku penakut. Jangankan bisikan, gemerisik daun yang bergerak karena terinjak kaki hewan-hewan malam-pun sudah membangkitkan dorongan yang hampir tak tertahankan untuk segera melarikan diri saja dari tempat ini. Yang kedua: Ular besar – Aku cukup akrab dengan hewan melata ini, karena dari kecil aku sering membantu eyang putri menangani ular-ular untuk ramuan jamunya. Ular dan bisa-nya bukan hal yang menakutkanku, tapi Besar? Damn! Membuatku teringat film Anaconda. Terutama adegan pas baju you-can-see-nya J-Lo basah... eh?

Lalu sekonyong-konyong bisikan lahnat itu datang. Bisikan itu terdengar lirih, gelap, pekat dan menyedihkan sekaligus mempesona. Terdengar begitu jauh, sekaligus begitu dekat. Seperti hampir kurasakan pahitnya penderitaan dan ajakan erotis dari mahluk apapun yang membisikkannya. Membelai belai kesadaranku. Menghanyutkanku, menarikku dalam pusaran geloranya. Lalu kurasakan sentuhan. Pelan dan merayap. Menyusuri tubuh bawahku yang terendam air. Menggesek kulitku dengan rayuan seduktif

Tekstur ini seperti hampir kukenali. Halus namun... bersisik! Ular! Sial! Dari luasnya permukaan gesekan ini, aku bisa membayangkan kira-kira besarnya. Dan ini besar. Aku menahan mataku sekuat tenaga untuk tetap terpejam,namun dorongan untuk membukanya benar-benar sudah hampir tidak tertahankan

“Sttt... tenang mas... jangan panik... “ sebuah bisikan menimpa semua sensasi yang sebelumnya membelitku. Suara ini, aku seperti mengenalnya

“Bulik Sekar?” panggilku

“Sssttt... tetap pejamkan mata, atur nafas, kosongkan pikiran... rasakan arusnya...”

“Arus? Arus apa?” tanyaku lagi

“Sttt... Atur nafas, kosongkan pikiran... Putih... Alam Putih... masuklah ke-alam putih...” kata bisikan itu lagi

“Alam putih?” guman-ku. Alam putih? Alam-ku? Alam ciptaanku? Alam dimana sebelumnya aku dikurung tak berdaya oleh iblisku? Iya, itu alam meditasiku. Putih....

Dan aku segera memvisualkan didalam benak-ku, masuk ke alam serba putihku...

Lalu kurasakan, bisikan dan belitan itu perlahan menghilang. Meninggalkanku sendiri. Bermanifestasi di-alam putihku. Kosong. Dan merasakan sensasi nikmat berendam dalam air yang hangat...

Hangat?

Bukankah seharusnya air ini dingin?

Lalu, sapuan angin semilir melenakan-ku, menarik-ku kedalam sebuah kenyamanan yang sama-sekali tidak bisa kutolak. Sensasi ini, serasa ketika memasuki ruangan dengan suhu berbeda. Berkas-berkas udara ruangan sebelah masih kurasakan meyambar tipis di-kaki-ku. Seperti hembusan angin yang berasal dari celah bawah pintu. Dan aku mengikuti arusnya dengan suka-cita

Dan aku merasa nyaman

Sangat nyaman...

Aku kini, sudah sepenuhnya memasuki alam meditasi. Inderaku sudah terpisah dengan dunia

Nyaman...

Sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, aku mendengar teriakan minta tolong

Godaan lagi kah?

“Tolongg!!” suara wanita itu terdengar begitu dekat dan nyata

Godaan! Ini pasti hanya godaan. Batinku mempertahankan konsentrasi

“Hehehe... Jangan lari lagi cah ayu! Kita bersenang-senang saja malam ini...” timpal suara laki-laki dengan nada mesum yang ditimpali oleh tawa temannya. Tiga jenis suara, tebak-ku dalam hati..

Tiga orang laki-laki kah? Dan seorang wanita?

Aku masih mencoba mempertahankan meditasiku. Menolak untuk membuka mata

“Tolongg... Jangan...” ratap suara wanita itu, mengiba disela isak tangisnya yang ditimpali oleh suara tertawa mesum tiga laki-laki. Kurasa si-wanita sudah tidak sanggup berlari.

Ini godaan lain kah?

Tapi, suaranya terasa begitu nyata dan dekat

Kalau aku masih ngotot meditasi dan tidak memperdulikannya

Mungkin si-wanita...

Arrrggghhh!!

Shit!

Persetan dengan meditasi!

Dan aku membuka mata. Semerta-merta membeliak karena kejadian itu memang beneran ada didepan mataku. Tepatnya diluar pagar kayu yang menjadi batas sendang. Seorang wanita dengan baju terkoyak terduduk ketakutan sambil berusaha melindungi tubuhnya dengan kedua tangan rapuhnya dari pelototan tiga orang lelaki bertelanjang dada bertubuh dempal dengan jambang semrawut

“Hoi! Berhenti!” Teriak-ku yang disertai dengan batuk-batuk tertahan, masih dari tempat berendamku

Dan segera dengan tergopoh-gopoh, dikuti batuk-batuk yang benar-benar membuatku sama sekali tidak terlihat mengancam, aku menyeret tubuh bebalku keluar dari sendang. Kusambar sarung-ku lalu dengan cepat kukenakan. Kedua laki-laki itu menatap kepada temannya. Kukira dia pemimpinnya

“Bunuh saja” perintahnya ringan

Bunuh? Wait! Tunggu dulu! Ini...

“Tu... tunggu! Uhuk..uhuk...” protesku. Bunuh? Ngaco banget gak sih? Segampang itu? Ini....

Dan kukira protes cemenku tidak masuk dalam pertimbangan mereka, karena kedua laki-laki menyeramkan itu mulai mencabut parang yang terselip di pinggang mereka. Ya Tuhan! Baru kusadari, ketiganya memang membawa parang. Napa pula aku tadi sok pahlawan. Mengingat kondisi tubuhku, jangankan tiga laki-laki berparang, melawan anak PAUD aja aku akan kewalahan!

Dan serangan itu datang. Sabetan parang yang sadis, mengarah langsung ke tubuhku. Aku meloncat mundur. Sabetan itu berlalu hanya hitungan centimeter dari dadaku. Dan mereka merangsek. Menyabetkan parangnya secara membabi buta. Secara reflek aku mengeluarkan jurus menghindar. Langkah Slipi-angin. Aku berputar-putar elegan dan sistematis, menghindari derasnya sabetan parang mereka. Sampai sejauh ini, aku hampir selamat. Hanya hampir, karena sebuah sabetan berhasil mengenai lengan atasku, menggoreskan luka yang lumayan dalam

Akhirnya, demi mengatur nafas, karena menyerang secara bertubi-tubi bukanlah hal yang mudah. Sabetan itu berhenti untuk sementara. Aku juga ngos-ngosan dan terbatuk-batuk dengan parah. Saat kuharap mereka akan berhenti menyerangku karena rasa kasihan, dan memutuskan untuk sekedar melumpuhkan dan mengikatku, mereka malah melangkah mengitariku, mengapitku dari kanan dan kiri

Sial! Mereka pebeladiri. Serangan dari dua arah, entah kanan dan kiri atau depan belakang adalah mimpi buruk. Serangan ini jauh lebih susah dihindari dibanding serangan searah dari depan

“Tunggu... tunggu bang! Kita bisa membicarakan hal ini...” mohonku disela batuk

Tentu saja mereka tidak menggubris, karena disertai bentakan pendek, mereka segera menyerangku dengan cerdik. Satu menyabet pinggul dan satu lagi mengincar leherku. Dua sabetan dari dua arah berbeda. Mustahil kuhindari...

WUUUTT!!

Disinilah letak definisi “Tidak Berbakat” yang selalu dan selalu di-maki-kan oleh eyang padaku saat latihan dahulu. Dan aku memang menyadari bahwa aku memang tidak berbakat dalam bela-diri. Atau bisa dibilang insting-bertarung-ku payah. Sedangkan dalam bela diri, banyak sekali keadaan yang mengharuskanmu untuk bergerak berdasarkan insting. Dan aku tidak pernah bisa. Aku selalu berfikir sebelum bergerak. Itulah yang membuat eyang selalu marah, kata beliau, hal ini fatal, karena kalau harus berfikir dahulu sebelum bergerak, pasti gerakanku akan menjadi jauh lebih lambat. Sama sekali tidak efktif.

Leher!

Fikirku singkat menjatuhkan pilihan, yep, aku memilih menghindari sabetan parang yang mengarah ke leherku. Untuk itu aku segera meloncat ke-arah laki-laki yang menyabet leherku. Membenturkan badanku kepadanya. Membuat sabetan itu luput, hanya lengan-nya yang membentur leherku. Tapi kali ini aku juga tidak setengah-setengah. Saat tubuh kami berbenturan, aku menyodokkan siku-ku tepat di ulu hatinya, tidak hanya itu, aku juga semerta-merta menarik badan ke bawah lalu melakukan sapuan kaki. Si lelaki berparang terpelanting.

Sudah kukatakan aku tidak akan setengah-setengah, kan? Saat tubuhnya masih terpelanting diudara, aku menerkam, mengantarkan sebuah pukulan lurus, lagi-lagi keulu hatinya

Dan karena aku, sekali-lagi, memang tidak setengah-setengah, pukulan yang kukeluarkan itu langsung jurus pamungkasku. Bledek Sekilan!!

BUGGG!!

Jurus ini ciptaanku sendiri, gabungan dari Gerakan karate yang disebut Chudan Tsuki – Pukulan lurus ke ulu hati, dengan hentakan kaki ala Silat Tejokusuman aliran Ponosoemarto dan ledakan tenaga dalam dari tehnik pernafasan. pukulan ini mampu menghantarkan ledakan tenaga yang dapat mengaduk organ dalam korban-nya, mengacaukan keseimbangan cairan tubuh dan mengacak-acak alirah darah. Dampak umum dari terkena jurus ini, biasanya akan kejang-kejang, keluar darah dari seluruh lubang di tubuhnya, lalu – yah, apabila sakit berlanjut, hubungi dokter!

Tubuh si-lelaki berparang terbanting, mengejang-ngejang lalu kaku dengan lelehan darah hampir dari setiap lubang tubuhnya. Mulut, hidung dan telinga. Mati, itu tebakan terbaik ku...

Kulihat sekilas, kedua laki-laki berparang itu nanar menatap temannya yang meregang nyawa karena pukulanku. Kurasakan juga, pinggulku perih. Aku hampir pingsan saat mengetahui adanya luka menganga disana. Ternyata sabetan parang satu lagi tidak berhasil 100% kuhindari.

Sial!!

Aku terlambat memutuskan gerakan-ku. Peringatan eyang yang diulang-ulangnya pada setiap latihan terbukti. Sial!!

“Bangsat!! Kau membunuh adik-ku!!” raung lelaki yang tadi mengeroyok-ku

Dan aku melirik lelaki satu-nya lagi, si pemimpin segera turun tangan, menghampiri kami sambil mencabut parangnya. Aku tau niatnya pasti untuk membunuhku, untuk apalagi mencabut parang coba? Mau kerja-bakti? Berkebun?

Aku terhuyung, luka di pinggulku ini dalam sekali. Darah mengucur deras dari sana

Mati...

Hampir bisa dipastikan cerita hidupku berakhir disini.

Belum...

“Belum...” desisku pada diri sendiri. Sebongkah niat membulat dibenak-ku. Kalau memang aku harus mati, gadis itu harus selamat. Begitu yang kupikirkan

Aku melepas sarung yang kukenakan, lalu melilitkan kuat-kuat pada luka dipinggulku. Nafasku tersengal-sengal. Pandangan-ku mengabur. Dan tubuh ku terasa berat. Kaki-ku terasa lemas. Darah yang belum mau berhenti mengucur dari luka ini-pun memperparahnya. Tapi belum, aku belum habis. Masih ada satu lagi! Satu lagi! Usaha terakhirku!

Segera aku mengatupkan kedua telapak tanganku didepan ulu hati, mengatur nafas, membuka tangkupan itu didepan dada, dan mulai melakukan gerakan.

Sukma Ani-Ani!

Aku berniat menggunakannya. Ini adalah Pertama kali aku mencoba menggunakannya dan mungkin yang terakhir kalinya. Tehniknya sudah diturunkan kepadaku bertahun-tahun lalu. Kepengecutanku-lah satu-satunya yang menahanku untuk melatih dan menggunakannya. Tapi kini, aku tidak ada pilihan lain. Jurus ini akan merusak-ku luar dalam, itu pasti. Aku akan mati sesudah ini, itu hampir pasti, aku akan lumpuh total sesudah ini, itu kemungkinan yang lebih pasti!

Tekanan tenaga dalam menghentak-hentak diseluruh tubuhku setelah seluruh tahapan jurus ini selesai kulakukan. Tenaga murni menjejali tubuhku dengan kejam. Memenuhi setiap jengkalnya dengan desisan kematian. Sensasi yang menyeramkan. Jurus larangan ini, memang seharusnya benar-benar terlarang. Kini, semua akan berjalan dengan lain, batin-ku

Tapi, aku juga menyadari, dengan kondisi tubuhku saat ini, kuperkirakan, paling banter aku hanya akan mampu mempertahankan jurus Sukmo-Ani-Ani ini dalam beberapa tarikan nafas. Pernah membayangkan meniup balon yang sudah ada mata-ikan-nya? Nah, kurang lebih begitulah deskripsi keadaanku sekarang. Dan jurus ini benar-benar memaksa memenuhi setiap jengkal tubuhku, membuatnya seolah-olah menggelembung

Lalu, serangan mereka datang…

Aku tidak begitu jelas mengingat kelebatan kejadian ini. Yang kuingat hanya, sekali tebasan telapak tanganku memutuskan leher salah satu dari mereka. Membuat kepalanya menggelinding jatuh ditanah. Kemudian dalam gerakan selanjunya, tusukan telapak tangan-ku menembus dada lelaki yang lain, sembari merenggut jantungnya dalam proses itu...

Itu sebelum kesadaranku tiba-tiba dengan cepat meninggalkan otak gila ini

Seperti balon yang baru saja Meletus, aku ngedrop dengan cepat

Ah, Inikah saatnya?

Maaf semuanya...

Usaha penyembuhan ini, kelihatannya tidak berhasil...

Maaf...

Aku duluan...

Maafkan aku semuanya...

Lalu gelap...

Lalu aku memantapkan hati, menyambut kematianku sendiri, walau tak pernah kukira akan datang se-cepat, se-tragis dan se-konyol ini...

Gelap...

Selamat tinggal...

Semoga wanita itu selamat...

Ah, aku bahkan belum sempat melihat dengan jelas wajahnya...

Tapi, semua itu sudah tidak ada artinya sekarang kan?

Dan aku tersenyum...

End of Sendang Kahuripan

INDEX




Note: Bagi yang ingin tahu cerita dibalik jurus-jurus silat yang kusebutkan diatas, silahkan membaca Cerbung: Trampoline
 
Terakhir diubah:
Dilanjutpun...

Cerita Sebelumnya --

Memang benar-benar tidak ada yang normal dalam keluargaku…

Dan kami kembali mendaki

Padepokan Darmasunyata, Sendang Kahuripan…

Kami datang!!



Sendang Kahuripan

Aku terbangun dan terbatuk-batuk dengan hebat. Setiap hentakan nafas seakan membuat dadaku terasa begitu perih, rasa ini juga menjalar sampai ke punggung dan seluruh tubuh. Aku memaksakan diri untuk bangkit dari ranjang kayu beralaskan tikar pandan ini. Sekilas kulihat sekeliling, aku dikamar, tapi dikamar siapa?

Kamar ini dibatasi dinding bambu yang sederhana, penataannya pun sangat sederhana, hanya berupa sebuah ranjang kecil beralaskan tikar yang barusaja kutiduri, sebuah meja kayu dan kursinya yang juga sangat sederhana. Diatas meja itu ada secangkir air putih yang langsung kuminum untuk meredakan rasa panas di tenggorokanku. Aku berusaha berjalan, tertatih menuju pintu. Tubuhku terasa lemas sekali. Hampir tanpa tenaga

Apa yang terjadi?

Terakhir kuingat, siang menjelang sore itu, aku dan adik-ku berjalan melewati tumpukan batu aneh yang disusun vertikal, yang menurut adik-ku adalah tetenger atau penanda, semacam gerbang masuk ke wilayah padepokan, lalu tiba-tiba aku merasa sangat pusing dan lemas. Trus apa yang terjadi?

Aku masih merasa sangat lemas, dengan merambat pada dinding, aku menelusuri semacam lorong dalam rumah yang menghubungkan satu ruangan dengan ruangan yang lain

“Lho, mas, udah bangun?” sapa adik-ku kaget dan langsung berdiri, seger menyongsongku. Ternyata mereka sedang duduk-duduk di ruang depan

“Iya...” desisku lirih, dengan pandangan heran, mengharapkan sebuah penjelasan darinya

“Kita sudah ada dipadepokan, ini lik Rono...” ujar bungsu singkat sambil memperkenalkan seorang laki-laki paruh baya yang memiliki mimik sangat sabar. Beliau juga ikutan menyongsongku, yang kusambut dengan uluran berjabat tangan, sungkem

“Nggih pak lik, ngapunten apabila saya merepotkan...” ucapku segera dengan hormat

“Walah, ngopo to le, sama saudara sendiri, jangan sungkan lah...” jawabnya sabar, sambil membantu bungsu medukungku ke kursi terdekat

“Mas tadi tiba-tiba pingsan setelah melewati watu tenger” ujar bungsu menjelaskan bahwa tadi aku tiba-tiba pingsan setelah melewati batu yang disusun, yang dijadikan penanda masuk wilayah padepokan, padahal sebelumnya, sesudah aku menelan akik sialan itu, tubuhku baik-baik saja, bahkan hampir penuh energi

“Mas bungsu yang meggendongmu kemari mas” ujar lik Rono menambahkan penjelasan

“Yep, makasih dik” jawabku sambil menepuk-nepuk bahu adik-ku. Yang dibalasnya dengan mengangkat bahu, cuek

“Yuk semua makan dulu” ajak lik Rono kemudian

Dan kami mulai duduk disekeliling meja yang ada di pendopo padepokan itu, yang juga berfungsi sebagai meja makan lalu mulai melanjutkan obrolan sambil makan malam

“Ini semua lik Rono yang memasak?” tanyaku basa-basi

“Iya, pak lik sudah biasa, lha bulik mu ada di rumah bawah to?” jawabnya. Yang membuatku merasa sangat bersalah telah melakukan 'ritual' gila dengan istri orang baik ini

“Stt mas, ternyata jimat bulik wulan batrenya cuman cukup sampe watu tenger aja, kurang di charge kali... hehehe... tapi kata pak lik njenengan gak pa-pa, awalnya aku sempet panik tadi” seloroh bungsu mbanyol

“Jimat?” tanya lik Rono singkat

“Anu, batu akik pak lik, tadi setelah mustika yang katanya punya bulik Wulan itu saya telen, memang rasanya tubuh saya sangat bertenaga, tapi begitu melewati watu apa itu, tiba-tiba saya merasa lemas...” terangku, yang entah kenapa aku tiba-tiba merasa absurd dengan keteranganku sendiri

“Mustikanya Wulan? Ditelan? Kenapa batu mustika harus ditelan?” tanya pak lik lagi dengan heran

“Tauk tuh pak lik, kata bungsu, begitu pesan bulik Wulan” jawabku sambil melotot bengis-menyelidik ke arah adik ku yang bengal ini. Yang kini malah cengar-cengir dengan tengil

“Anu pak lik, kata bulik Wulan, kalau mas Deny mulai lemes-lemes, aku disuruh ngasihin batu itu kepadanya, katanya bisa membantu...” jawabnya masih dengan cengiran yang super tengil

“Batu berwarna ungu? Maksudnya Mustika kecubung ungu?” tanya lik Rono

“Nggih lik” jawabku singkat kurang yakin

“Lah, batu itu pak lik yang kasih, masak Wulan nyuruh batu itu ditelan? Padahal seharusnya dikantongi saja sudah cukup...” desisnya kemudian

Aku melotot kepada adik ku si bengal yang super rese ini

“Kata bulik Wulan, kalau fungsinya sudah selesai, itu batu akan kembali ke bulik, saya cuman penasaran pak lik, kalau ditelen, bisa balik lagi nggak? Wkwkwk...” jawab si tengil itu malah ngekek

“Sialan luh! Bacandanya jelek!” jawabku sambil nonjok lengan adik-ku yang malah semakin ngakak

“Ah, sudah-sudah, InyaAllah batu itu juga akan balik ke Wulan kok...” Ujar pak lik Rono ikutan geli “Lagian mas Bungsu sudah gendong njenengan sampai sini, lumayan jauh lho, mungkin empat sampai lima kilo meter-an...” lanjut pak lik melerai

“Tapi beneran nggih pak lik? Batu itu...” Ucapku agak khawatir sambil memegang perutku sendiri

Bungsu semakin ngakak

Awas lu ya!!!

---

Sesiangan ini, aku duduk dan beristirahat di bale depan padepokan. Semalam, setelah makan pak Lik mulai memeriksa keadaan tubuh-ku dan menyampaikan kesimpulan yang sama sekali tidak membuat perasaanku lebih enak. Kurang lebih sama dengan diagmosa bulik Sekar. Tubuhku sudah rusak. Umur-ku...

Ah...

Si Bungsu juga ngilang entak kemana, sedangkan lik Rono, setelah tadi pagi beberapa kali memijat dan menyalurkan tenaga dalamnya kepadaku kembali masuk ke ruang tidurnya. Malam ini, sesuai rencana, aku akan memulai 'ritual' berendam di Sendang Kahuripan. Itupun kalau tidak ada SMS urgent dari Bapak Presiden Republik Indonesia memintaku untuk rapat di Istana Negara, yang akan sangat tidak mungkin terjadi. Wkwkwk...

Walaupun batuk-batuk ku memang mereda, setelah kembali mengkonsumsi jamu dari bulik sekar, tapi tubuh-ku terasa sangat lemas dan kepalaku rasanya seperti barusaja dihantam palu godham

“Hoi, Bangsat! Berhenti kau bocah!” kudengar seseorang memaki dari luar gerbang padepokan, lalu dari balik tikungan kulihat bungsu berjalan dengan cuek sambil ditarik-tarik bahunya oleh seseorang

“Serah” gerutu bungsu terus berjalan cuek sambil bersedekap, enggan menanggapi orang itu

“Ada apa ini ribut-ribut?” ujar pak lik Rono yang ternyata sudah ada di ambang pintu padepokan

Bungsu masuk ke padepokan tak menghiraukan situasi itu, sambil membungkuk sedikit ketika melewati pak lik Rono

“Handoko, ada apa ini?” tanya pak lik Rono pada orang itu dengan sabar, ternyata beliau mengenalnya

“Ayah gak usah ikut campur!” hardik lelaki yang ditanya dengan kurang ajar. Ayah?

“Mas, ada apa ini?” celetuk-ku sambil bangkit dari bale-bale

“Siapa dia yah?” tanya orang itu dengan intonasi tidak sopan dan mata mendelik kepada lik rono sambil menunjuk-nunjuk-ku

“Dia dik Deny, adikmu, kakaknya bungsu... ada apa to ini le? Mbok yang sabar...” jelas lik Rono sambil memegang bahu orang itu, berusaha menyabarkannya

“Oooohhh...” kata orang itu dengan tidak sopan sambil menepis lengan lik Rono dan berjalan mendekatiku “Ternyata kamu orangnya, pewaris biang maling? Bagus! Mau apa lagi kesini? Mau mencuri lagi? Belum pernah digebuki kamu??” ujarnya dengan kurang ajar menunjuk wajahku

Entah kenapa, aku mendadak marah, darah muda lah. Maling apaan?

BRAK!!

Terdengar suara meja di gebrak didalam rumah, lalu bungsu keluar dengan langkah marah

“Cukup! Aku sudah cukup sabar dengan ulah kekanak-kanakan mu mas!” hardiknya kepada orang itu

“Oh! Berani juga kamu bocah kosong!” jawab orang itu sambil berbalik kearah bungsu “Nantang kamu?” ujarnya lagi sambil menarik kerah baju adik-ku

Bungsu hanya diam, membalas tatapan mata orang itu dengan tatapan yang tidak kalah marah

“Selama ini, karena ada bunda, kubiarkan kamu mengoceh, kali ini aku sudah tidak sabar lagi” Desis bungsu seram. Aku jarang sekali melihat adik-ku marah

Aku melirik pak lik Rono, beliau hanya berdiri diam, mungkin bingung mau ngapain

“Terus maumu apa?” tantang orang itu

“Kita selesaikan disini, sekarang” desis bungsu menantang

“Pak lik...” desisku lirih sambil menatap pak lik Rono, meminta bantuan. Namun kulihat pak lik hanya berdiri diam, sambil menimbang-nimbang sesuatu

“Semua masuk!” desis pak lik Rono yang tiba-tiba terlihat sangat berwibawa dan berkuasa

---

Kami duduk melingkari meja pendopo, mengikuti perintah pak lik Rono. Aura tadi, kukira tidak akan bisa ditolak oleh siapapun. Aura seperti seorang raja yang bertitah

“Sebelumnya biar kujelaskan dahulu duduk perkaranya, juga agar nak Deny paham” ujar pak lik mengawali pembicaraan

“Handoko, putraku ini, dari kecil diasuh oleh eyang-nya, bapak ku, Sumitro Ponosoemarto. Entah apa yang disampaikan bapak kepadanya, sehingga cerita lama keluarga besar kita, betul-betuil menggoreskan kebencian dihati-nya kepada keluarga eyang mu, mbah Sukadi Ponosoemarto” jelas pak lik lebih lanjut

“Itu karena mbah-mu adalah maling! Maling yang mencuri dari kakang-nya sendiri!” hardik handoko sambil menunjuk-nunjuk muka-ku

“Handoko! Kukira biar ayah saja yang berbicara!” desis lik Rono yang disertai tekanan aura yang betul-betul membuat bulu kuduk-ku berdiri. Ilmu apa sebenarnya yang dikuasai pak lik? Menakutkan sekali...

“Nggih yah” desis Handoko kemudian, kukira, dia merasakan apa yang aku rasakan. Kukira, kami semua merasakan apa yang aku rasakan

Lalu pak lik mulai menjelaskan. Ternyata ada perseteruan diantara eyang kami, dari tiga bersaudara, Sumitro, Sukadi dan Suhono Ponosumarto, mbah Mitro – panggilan mbah Sumitro lah yang katanya paling cerdas dan terlibat politik praktis pada masa itu. Tidak hanya beliau adalah anak tertua, namun beliau juga bisa menggantikan mbah buyut kami yang gugur dalam perjuangan melawan penjajah, dahulu...

Mbah Mitro ini, selain pemangku adat keluarga kami, juga adalah seorang yang sangat terpelajar. Dan ideologi beliau lebih condong ke timur, Uni Soviet, kalau aku boleh menyimpulkan. Maka, dengan kegiatan politiknya, pada saat geger PKI tahun 60an, beliau dituduh terlibat dan nama beliau masuk dalam daftar buron. Saat itu eyang-ku, mbah Pono yang kebetulan sudah menjabat sebagai kepala desa, melakukan tindakan yang 'Tabu' dimata keluarga besar mbah Mitro

Beliau berniat menangkap sendiri kakak-nya untuk diserahkan kepada yang berwajib

Karena mbah Mitro ini terkenal licin dan sangat tangguh berkat ilmu silat keluarga Ponosumarto. Untuk mengalahkan serta menangkap kakak-nya, eyangku mencuri kitab silat Ponosumarto yang oleh mbah buyut kami diwariskan kepada mbah Mitro, lalu menyerahkannya kepada guru besar yang sangat hebat, dihormati, dan disegani pada waktu itu, RM. Harimurti – Sang pencipta Silat Tejokusuman, agar diajari cara melawan silat Ponosoemarto tersebut.

Berkat ajaran eyang guru Harimurti, mbah Mitro berhasil ditangkap oleh eyang, lalu diserahkan kepada seorang petinggi dengan perjanjian agar mbah Mitro tidak dibunuh, karena pada masa itu memang semua orang yang dituduh terlibat PKI akan dibunuh tanpa proses pengadilan. Tembak ditempat.

Lalu, tidak berhenti disana, menggunakan kekuasaan dan koneksi-nya eyang-ku juga mengeluarkan nama mbah Mitro dari kartu keluarga kami. Beliau menyebutkan bahwa di keluarga Ponosumarto, hanya ada anak. Eyang-ku dan Adiknya. Sedangkan anak-anak mbah Mitro diaku-kan sebagai anak-anak yatim yang diangkat putra oleh beliau. Jadi secara administratif mbah Mitro tidak pernah ada.

Walau hal itu kelihatan sangat buruk, mengingkari keluarga sendiri hanya karena terlibat gerakan yang terlarang pada zaman-nya, namun setelah bertahun-tahun, baru kami sadari alasan eyangku, beliau berusaha menyelamatkan anak-cucu mbah Mitro dari cap 'keturunan PKI' yang sangat didiskriminasikan pada era Orde Baru

Namun ada hal yang salah. Perwira tinggi yang diserahi mbah Mitro tidak dapat menepati janjinya. Mbah Mitro dieksekusi didepan warga bersama tertuduh PKI yang lain, lalu dikubur secara masal dan tidak terhormat

Nah, disinilah misterinya. Bertahun-tahun kemudian, mbah Mitro muncul lagi...

Bergabung dengan keluarganya yang sekarang sudah 'dikeluarkan' dari trah Ponosoemarto, oleh adik nya sendiri...

Takdir juga tidak sampai sana saja dalam memelintir benang kusut keluarga kami. Bertahun tahun kemudian, bundaku, menjalin asmara, lalu dilamar seorang pemuda. Yang belakangan diketahui adalah anak dari perwira tinggi yang 'mengkhianati' kepercayaan eyang dimasa lalu saat dititipi mbah Mitro.

Yep, dan kami sekarang, adalah Keluarga pencuri dan pengkhianat dimata keluarga mbah Mitro

Itulah kenapa, bunda berusaha dengan sekuat tenaga selalu menyatukan tali silaturahmi yang ruwet ini. Dengan usaha-usahanya, Bunda menjelma sosok yang paling disegani dikeluarga besar kami, karena berhasil menjelma menjadi 'jembatan' dalam hubungan kakak-beradik yang dilumuri dendam dan kesalahpahaman.

Bunda memang luar biasa, sesuai dengan namanya. Bundaku, oleh eyang diberi nama: Kartini. Mereka memanggilnya, Mbak Ni, tua, muda, siapapun, mereka memanggil bunda: Mbak Ni...

“Nah, sekarang cerita aslinya sudah jelas kalian pahami, masih mau berkelahi sesama keluarga?” tanya pak lik kemudian

“Mohon maaf pak lik, mas Handoko ini omongannya sudah berlebihan, terutama kepada bunda. Untuk itu, saya... belum bisa memaafkan...” desis adik-ku, mengagetkan. Biasanya bungsu ini kalem, tapi memang dia sangat protektif kepada bunda. Tugas yang dengan memalukan tidak berhasil kuemban, melindungi bunda...

Pak lik Rono melirik putranya

“Bocah kosong ini bahkan tidak bau silat Ponosumarto, tapi lagaknya sok-sok-an, seseorang perlu memberinya pelajaran yang pantas, ayah...” desis Handoko menjawab tantangan adik-ku

Pak lik tersenyum

Aku bingung...

---

Aku duduk di bale-bale padepokan bersama dengan pak lik yang saat ini sudah 'merestui' perkelahian yang menurutku sangat tidak perlu itu. Sedangkan adik-ku dan mas Handoko sudah berdiri berhadapan di halaman padepokan

“Ini... benar-benar tidak apa-apa pak lik?” tanyaku gagu

“Semenjak kepergian ibu-nya, Handoko memilih hidup bersama dengan eyang-nya, aku tidak tahu apa yang diajarkan bapak kepadanya. Setelah bapak meninggal, handoko balik ke rumah, lalu mengatahui kalau aku sudah menikah lagi dengan Sekar, Handoko... Ah, mungkin ini semua salahku...” kulihat pancaran kesedihan dari mata pak lik Rono

“Dan untuk menghindariku, Handoko mencurahkan waktunya untuk mempelajari satu-satunya peninggalan eyang-nya yang menurutnya paling berharga, silat Ponosumarto... aku berusaha melarang, karena belajar silat tanpa guru bisa menjadi sangat berbahaya, namun saat dia memintaku untuk mengajarinya silat, aku juga tidak bisa... Karena...” lanjutnya

“Kuharap adik-mu bisa mengalahkannya...” desisnya kemudian

“Mengapa pak lik merasa adik-ku bisa mengalahkannya?” tanya-ku. Dan aku bertanya-tanya, apakah paklik tidak bisa mengajarkan silat karena paklik memang tidak mempelajarinya?

“Adikmu, mempunyai jiwa yang sangat dalam... dan kudengar dia belajar cukup baik dari eyang-mu... Karate Shotokan?”

“Iya...” desisku kurang yakin. Adik-ku ini adalah seorang yang memiliki bakat luar biasa, namun, silat Ponosumarto, seperti yang kuketahui, mempunyai gerakan-gerakan yang diciptakan secara genius oleh pendahulu kami. Gerakan-gerakan efektif yang sangat berbahaya...

Dan silat handoko adalah jurus-jurus murni, membuatnya berlipat-kali lebih berbahaya...

“Kowe sudah siap mati, bocah kosong?” kudengar Handoko membentak

Dan kulihat, atau lebih tepatnya kukira kulihat, adik-ku bergerak. Kecepatan ini...

Mae Geri – tendangan lurus kearah perut?

Bukan...

Seolah-olah melakukan Mae Geri, adik-ku tiba-tiba meloncat lalu dengan posisi masih melayang diudara, dia mengantarkan tendangan beruntun, tiga kali?

Bukan, lima kali – kearah kepala handoko yang ditahannya dengan double cover yang sempurna. Kenapa tidak di hindari dengan kiritan putih? Batinku. Tidak sampai disana, begitu mendarat, adik-ku langsung menghantarkan tendangan putar, Mawahi Ushio Gerie yang dengan telak menghantam bahu Handoko, lalu - entah bagaimana dia melakukannya, adik-ku membalikan arah putaran tubuhnya sendiri dan melakukan sapuan kaki.

Handoko yang sebelumnya sudah terhuyung karena tumbukan Mawahi Ushio Gerie dibahu kanan-nya, sekarang benar-benar terpelanting karena sapuan kaki adik-ku. Tidak sampai disana, tiba-tiba adik-ku melompat lagi dan menghujamkan lutut ketubuh Handoko yang masih terpuntir diudara. Tumbukan itu menerbangkan tubuh Handoko seperti selembar daun kering yang tertiup angin. Melontarkannya kebelakang dan membuatnya jatuh berdebum, berguling-guling

Alih-alih kembali memberondong serangan memanfaatkan posisi tubuh Handoko yang sudah jatuh dan rentan, adik-ku malah menghentikan serangannya. Dia berdiri kalem sambil melihat Handoko yang bangkit dengan susah-payah

“Omonng besar hanya membuatmu lengah, bocah silat!” desisnya kalem

Aku segera menambahkan catatan untuk diriku sendiri: Jangan macem-macem sama si Bungsu.

Noted!

Ngeri!

Bahkan, si Bengal itu belum menggunakan pukulan tangan sama sekali, yang kutahu, lebih dilatih dalam Karate Shotokan. Ngeri kuadrat! Bocah Gemblung, setinggi apa kamu sudah berhasil meloncat, le?

“Brengsek!” hardik Handoko sambil meludah lalu memasang kuda-kuda

“Lihat Serangan Bocah!!” teriaknya kemudian sambil meluncur dengan kecepatan yang tak kalah deras kearah adik-ku

Dibuka dengan jurus Keluk Nyamber, Handoko dengan sebat menyerang adik-ku. Gerakan jurus-jurusnya terlatih sampai pada ketajaman yang membuatku begidik ngeri. Jonggrang Waloka, Ombak Segoro Pitu, Lepen Pinaringan lalu dilanjutkan dengan kombinasi jurus Kidang Emas dan Gelar Langit Lipet Bumi, semua mematikan, mengarah ke saran vital, dari ulu hati sampai colokan mata dan tendangan kejam ke arah kemaluan

Adik-ku terdesak dengan hebat, jurus-jurus silat kami memang bukan gerakan remeh temeh yang bisa diantisipasi begitu saja. Beberapa serangan kulihat masuk ketubuh adik ku. Tapi dia bertahan dengan tangkisan-tangkisan yang sampai saat ini masih berhasil mengimbangi keganasan dan kecepatan liukan kombinasi serangan dan tipuan ala silat Ponosumarto

WUUTT!!

Jurus Nogo Angon Ganjaran hampir saja menumbuk dagu adik-ku, kalau saja jurus ini masuk, aku tidak bisa membayangkan akibatnya. Tulang lehernya bisa terulur dan patah, bahkan aku yakin dengan kecepatan dan tenaga seperti itu, bisa-bisa kepalanya langsung terbetot lepas. Tapi adik-ku menghindarinya dengan liukan aneh

Gerakan apa itu? Aku berusaha mengaduk-aduk Ensiklopedia bela-diri yang ada di kepalaku. Daito Ryu Aiki Jujutsu kah? Gerakan kaki adik-ku semerta-merta berubah, dari kuda-kuda kaku Karate menjadi gerakan melingkar-lingkar dalam pusaran besar dan kecil

Aiki Jujutsu, aku yakin sekali. Dari mana si-Bengal ini mempelajari gerakan kaki rahasia para Sensei Aiki? Ah, dia kan dulu sering diajak eyang buat 'jalan-jalan' ke-Jepang, tidak mustahil dia mempelajarinya dari seseoramg disana. Dan kalau dia memang mempelajari Aiki lalu dikombinasikan dengan Karatenya – yang mustahil dilakukan oleh kebanyakan orang didunia, selain mungkin oleh si-Bengal itu tentu saja, maka...

Betul juga, aku gak tau apakah karena gerakan Handoko sedikit kacau karena kaget oleh perubahan gerakan adik-ku atau memang adik-ku sudah menemukan 'celah' dalam silat kami, sekarang serangan Handoko sedikit terasa 'hambar' dan adik-ku perlahan-lahan semakin memantapkan posisinya. Bahkan, berhasil memasukkan beberapa serangan balasan. Sebentar lagi mungkin keadaan akan berbalik. Sebuah bantingan tangan mungkin? Karena serangan itu khas Aiki Jujutsu

BUGG!!

Sebuah pukulan lurus menumbuk dada handoko dengan telak membuatnya terjajar ke belakang, memisahkan mereka yang sedetik lalu masih jual-beli jurus dengan sebat

“Aku sudah bosan dengan tarianmu, kita selesaikan sekarang!” desis Adik-ku ke Handoko

“Tarian kata-mu bocah? Akan kubungkam omong besarmu saat ini juga!” sahut Handoko ketus dengan nada yang sangat marah

Lalu Handoko mulai 'menari'. Diawali dengan mengatupkan kedua telapak tangan di depan perut, mengangkatnya ke dada, lalu disertai dengan gerakan rumit dan pengambilan pernafasan yang terstruktur. Handoko masih terus memperagakan 'tarian”-nya. Lalu sesaat aku menyadari satu hal...

“Pak lik, apakah itu... Sukmo Ani-Ani?” tanyaku khawatir kepada pak lik ku, sekilas kulirik gestur tubuh paklik-ku juga menegang

Sukmo Ani-Ani, adalah salah satu jurus larangan tertinggi dalam silat kami. Jurus ini, melalui gerakan-gerakan tertentu dan tehnik pernafasan rahasia, memaksa aliran tenaga-dalam untuk dipadatkan diseluruh bagian tubuh. Dan apabila digunakan untuk menyerang, aliran tenaga itu akan meledak-ledak, membuat tebasan tanganmu setajam parang dan pukulan serta tendanganmu berkekuatan layaknya sebuah gada. Dan apakah aku sudah menyebutkan? Dengan tehnik ini, tubuhmu-pun akan menjadi sekeras baja.

Begitu terlarangnya jurus ini, bahkan Eyang hanya menunjukkan padaku sekali, tanpa menyuruhku mempelajarinya. Walau aku memang dituruni tehnik-nya, namun sejauh ini, tidak pernah secara khusus kupelajari. Karena, setahuku, kerusakan yang bisa diakibatkannya, bukan hanya kepada lawan, tetapi juga kepada diri sendiri. Hanya orang-orang dengan tubuh dan jiwa setingkat master yang diperbolehkan untuk mempelajarinya, apalagi menggunakannya

Sukmo Ani-Ani, atau Memanen Jiwa – begitu jurus mengerikan ini dinamai

Tapi, kulihat adik-ku juga tidak kalah mengerikan. Tubuhnya dibiarkannya melemas, leher dan bahunya turun, namun kakinya masih menapak seperti layaknya seorang karateka. Satu tangan di pinggang dan satu lagi lemas disamping badan. Sikap 'santai' ini setahuku didalam aliran Aiki disebut dengan Minamoto Sutansu – kuda-kuda Minamoto. Sebuah sikap “tenang sebelum badai” yang mampu mengeluarkan tenaga yang dahsyat pada saat menyerang. Dan apakah dia memang benar-benar berhasil memaduka Aiki dengan Karate?

Ini hibrid yang mengerikan antara aliran Lembut dan Keras. Kulihat adik-ku juga bernafas dengan tehnik tertentu. Mungkinkah si-Bengal itu benar-benar berhasil memadukan dua aliran beladiri yang saling bertolak belakang? Apa efeknya? Bagaimana kedahsyatannya?

Brengsek-brengsek kecil itu...

Kini membuatku merasa begitu kecil...

Kulirik, tiba-tiba pak lik berdiri

“HEAGGGG!!!!”

hampir bersamaan, Handoko dan adik-ku berteriak lalu bergerak!

DUAGGGG!!!

Aku memalingkan wajah, tak kuasa melihat benturan itu...

Lalu, saat keberanian sudah terkumpul kembali, pandanganku segera kualihkan lagi kepada pertarungan itu. Dan aku mendapati pemandangan yang sangat ganjil

Alih-alih seseorang terkapar dalam adu tenaga tersebut, yang kupinta jangan si-Bungsu yang terkapar, aku malah melihat...

Pak lik Rono ada di tengah mereka. Terjepit. Membentangkan tangan dan menerima pukulan lurus diulu hatinya dari kepalan tangan adik-ku dan sebuah pukulan telapak di yang dikeluarkan oleh Handoko, anak-nya sendiri di punggung. Dua pukulan telak yang aku yakin sangat mematikan...

Paklik... menggunakan tubuhnya sendiri sebagai tameng agar pukulan kedua bocah tolol itu tidak saling membunuh mereka sendiri. Namun, aku ngeri membayangkan akibatnya...

“HAH!” Paklik membentak pendek, dan secara aneh Handoko dan Adik-ku terpelanting, membal ke belakang. Lalu ambruk dan sesaat tidak ada yang berhasil berdiri kembali

Paklik segera mengehembuskan nafas panjang, lalu dengan santai melihat mereka berdua dengan tatapan sabar

“Kalian tidak apa-apa?” tanya-nya riang

Shit!

Aku baru saja melihat seorang master beraksi...

Paklik ternyata...

Ah...

Lalu tiba-tiba aku teringat perbuatanku bersama istrinya...

Sial!

Udara ini, tiba-tiba mendadak dingin, atau aku gemetaran karena hal lain ya?

Begooo!!

---

Kami makan malam agak awal sore itu, karena malam ini, sesuai dengan hitungan hari, seperti yang di pesankan oleh bunda, aku akan mulai ritual berendam. Walau semua yang kumasukkan dalam mulut terasa sangat hambar, karena entah mengapa, aku merasa mulai kehilangan inderaku satu per-satu. Dan saat ini yang paling terasa meninggalkanku adalah indera pengecapku. Beberapa kali muntah darah semenjak pertunjukan menghebohkan siang tadi juga tidak membantu. Malah memperparah, kalau menurut perhitunganku.

Bungsu sempet protes karena melihatku yang pucat-pasi serta lemah harus berendam di air yang dinigin nanti malam, namun, setelah hal-hal tak masuk akal yang kami alami, mungkin dibawah sadar, kami semua sepakat, kalau Sendang Kahuripan adalah kesempatan terakhirku. Mitos atau fakta? Sebentar lagi akan kubuktikan sendiri. Aku, sang kelinci percobaan akan mempertaruhkan nyawa demi menjawab pertanyaan konyol non ilmiah itu. Dan lebih dari itu, berusaha untuk menyelamatkan nafas dekilku ini, mencegahnya untuk sementara agar tidak pergi meninggalkan tubuh hina ini. Hadeh...

Sekilas teringat gumanan yang berkali kali dilontarkan oleh bulik Sekar: Ini adalah pertaruhan yang sembrono. Namun, apa artinya hidup tanpa pertaruhan, bukan?

Bagaimanapun, ada hal yang sedikit menggembirakanku. Adik-ku dan Handoko, saat ini duduk berjejeran dengan damai, dan mengobrol dengan biasa pula, walau memang masih terlihat sedikit canggung. Kuharap, perselisihan apapun yang pernah terjadi diantara mereka, sekarang sudah sirna. Saudara, ngapain pula harus tidak akur? Lagipula Bunda yang selama ini bertindak sebagai duta dalam rangka mengakurkan keluarga besar kami. Kita harus menghormati hal itu kan?

Ya, gambaran besarnya adalah seprti itu, itupun kalau kamu mengabaikan mimik jeri ketakutan dari mereka berdua saat sesekali pak lik Rono ngendikan – berbicara. Yep, atraksi yang dilakukan oleh pak lik bagi kalian mungkin 'biasa', tapi, bagi pebeladiri seperti kami memang sangat menakutkan.

Kami melatih dan menggembleng fisik dan mental, melalui berbagai tahapan rasa sakit dan usaha yang luar biasa untuk bisa mencapai level ini, untuk bisa menguasai “ilmu” ini. Lalu,bayangkan saja jurus puncak andalan dari ilmu yang kita dapatkan melalui segala siksaan baik yang bisa maupun tidak bisa kalian bayangkan itu dipecundangi dengan mudahnya.

Ini seakan menggambarkan tinginya langit ketika kita merasa bisa terbang. Langit yang tak ter-raih. Ini mengerikan!

“Pak lik mau bicara dengan nak Deny sebentar, kalian berdua tolong keluar” begitu ujar pak lik diujung makan malam, yang diikuti dengan patuh oleh kedua mahluk tengil yang beberapa jam sebelumnya begitu bengal bin ngeyel

Dan ketika mereka berdua sudah beranjak keluar, pak lik mulai memberiku “wejangan” tentang apa yang mungkin akan terjadi, dan apa yang harus kulakukan maupun kuhindari saat berendam di Sendang Kahuripan. Sebagian besar hanya instruksi berupa perkiraan-perkiraan normatif. Tapi yang paling membuatku terpana adalah dengan gamblang pak lik menuturkan tentang garis waktu yang memisahkan alam-alam.

Dengan kedalaman pengertian beliau tentang ruang dan waktu, kalau aku boleh menterjemahkan secara akademis, maka besar sangkaanku, dalam penjabaran sedetail itu, paklik-ku ini sudah - sekali lagi ini hanyalah sangkaan-ku – pernah melakukan perjalanan ruang dan waktu. Sebuah perjalanan melintas batasan ruang dan waktu?

Tuhan pastinya memiliki alasan yang bagus saat me-tasbih-kan manusia agar 'terpenjara' oleh dimensi ruang dan waktu, dan individu yang akhirnya mampu melampaunya, menurutku, sudah tidak boleh digolongkan dalam ras kita, spesies kita. Ini tabu! Ini lancang! Ini melangar titah Ilahi!!!

Menurutku, mahluk-mahluk lancang seperti mereka: Bukan Golongan Kami!

Lalu, paklik ku ini mahluk apa?

Ah...

Aku sih pernah mendengar tentang 'ilmu-ilmu magis' semacam ini. Ngrogo Sukmo, begitu rata-rata orang jawa menyebutnya secara umum. Yaitu ilmu yang 'memungkinkan' seseorang untuk 'melepaskan diri' dari batasan raga nya. Sehingga Sukma, atau nyawa atau ruh nya bebas berkelana tanpa batasan apapun. Tapi itu sekedar mitos dan teori. Betulkan?

Ah...

Pakde Einstein dan om Hawking akan stres kalau mendengarkan teori-teori paklik

Hadeh...

Tidak ada-kah hal-hal normal dalam keluargaku?

Whatever, aku sampai saat ini, dan mungkin sampai kapanpun, dengan bangga menempatkan diriku dalam golongan manusia Rasionalis.

Titik

Magic? Klenik?

Is out of my consideration!

Walaupun dalam kenyataannya, sebentar lagi mungkin aku akan mengalami hal-hal diluar kotak batasan yang kutetapkan untuk diriku sendiri, lalu melangkah melalui pintu penebusan dosa. Dosa-dosa yang terasa menggunung dipundak kiriku...

This is my redemption...

---

Udara terasa dingin ketika menyentuh kulitku. Suhu air Sendang dimana aku berendam ini juga tidak membantu, walapun entah kenapa, perpaduan dua suhu dingin itu membuatku merasakan kedamaian. Kilasan-kilasan buram berkelebat di benakku. Menghambur dan berkelebat riuh. Potongan-potongan frame-frame kelabu yang semakin tidak dapat kucerna maknanya

Sendang Kahuripan, sebenarnya hanyalah genangan kecil yang berasal dari sumber mata air yang mengalir dari celah batu yang mengelilinginya. Membuatnya seperti air terjun mini. Sendang ini terletak di sebuah lembah yang tersembuyi oleh bebatuan disekelilingnya. Dalamnya pun hanya sebatas pinggang ku. Hanya sebuah pagar kayu sederhana yang membuatnya tampak sedikit terjamah oleh manusia, selebihnya keanggunan mini ini hanyalah sebuah titik diantara luasnya lembah Kahuripan, begitu daerah ini dinamai – Lembah Kahuripan.

Aku duduk bersila di sebuah batu yang sepertinya memang berfungsi sebagai tempat duduk, entah siapa yang menaruhnya disana. Dari atas batu itu, posisi bersilaku membuat air hanya mencapai ujung bawah dadaku. Sesuai instruksi Paklik, aku bermeditasi disana bertelanjang dada, hanya celana pendek yang menjagaku dari ketelanjangan. Baju, celana dan jaket kulipat rapi dan kutaruh diatas batu dekat pintu masuk. Semuanya ada dalam sebuah kantung plastik, untuk mencegahya basah oleh embun. Sedangkan sarung yang terakhir kulepas kulipat di bibir sendang

Semua instruksi sudah kukerjakan. Menyampaikan niat kedatanganku ditempat ini, menaburkan bunga disekeliling sendang, membakar kemenyan dan masuk kedalam air dengan kaki kanan terlebih dahulu. Selanjutnya, hanya tinggal berendam, bermeditasi dan memasrahkan semuanya kepada Sang Tunggal. Tuhan yang Maha Satu. Semua detail manual dan instuksi sudah kukerjakan. Namun, instruksi terakhir beliau: memejamkan mata dan bermeditasi, mengosongkan pikiran dan memasrahkan jiwa-raga kepada-Nya, ternyata begitu sulit kulakukan, terutama karena pikiran yang berkelebat tak beraturan ini.

Dan – barangkali aku lupa menyebutkan – juga karena catatan kaki yang disampaikan paklik secara serampangan, sekilas dengan nada bercandaan; Jangan tergoda oleh apapun. Terutama oleh Bisikan-Bisikan Menyesatkan dan Seekor Ular Besar

Pertama: Aku penakut. Jangankan bisikan, gemerisik daun yang bergerak karena terinjak kaki hewan-hewan malam-pun sudah membangkitkan dorongan yang hampir tak tertahankan untuk segera melarikan diri saja dari tempat ini. Yang kedua: Ular besar – Aku cukup akrab dengan hewan melata ini, karena dari kecil aku sering membantu eyang putri menangani ular-ular untuk ramuan jamunya. Ular dan bisa-nya bukan hal yang menakutkanku, tapi Besar? Damn! Membuatku teringat film Anaconda. Terutama adegan pas baju you-can-see-nya J-Lo basah... eh?

Lalu sekonyong-konyong bisikan lahnat itu datang. Bisikan itu terdengar lirih, gelap, pekat dan menyedihkan sekaligus mempesona. Terdengar begitu jauh, sekaligus begitu dekat. Seperti hampir kurasakan pahitnya penderitaan dan ajakan erotis dari mahluk apapun yang membisikkannya. Membelai belai kesadaranku. Menghanyutkanku, menarikku dalam pusaran geloranya. Lalu kurasakan sentuhan. Pelan dan merayap. Menyusuri tubuh bawahku yang terendam air. Menggesek kulitku dengan rayuan seduktif

Tekstur ini seperti hampir kukenali. Halus namun... bersisik! Ular! Sial! Dari luasnya permukaan gesekan ini, aku bisa membayangkan kira-kira besarnya. Dan ini besar. Aku menahan mataku sekuat tenaga untuk tetap terpejam,namun dorongan untuk membukanya benar-benar sudah hampir tidak tertahankan

“Sttt... tenang mas... jangan panik... “ sebuah bisikan menimpa semua sensasi yang sebelumnya membelitku. Suara ini, aku seperti mengenalnya

“Bulik Sekar?” panggilku

“Sssttt... tetap pejamkan mata, atur nafas, kosongkan pikiran... rasakan arusnya...”

“Arus? Arus apa?” tanyaku lagi

“Sttt... Atur nafas, kosongkan pikiran... Putih... Alam Putih... masuklah ke-alam putih...” kata bisikan itu lagi

“Alam putih?” guman-ku. Alam putih? Alam-ku? Alam ciptaanku? Alam dimana sebelumnya aku dikurung tak berdaya oleh iblisku? Iya, itu alam meditasiku. Putih....

Dan aku segera memvisualkan didalam benak-ku, masuk ke alam serba putihku...

Lalu kurasakan, bisikan dan belitan itu perlahan menghilang. Meninggalkanku sendiri. Bermanifestasi di-alam putihku. Kosong. Dan merasakan sensasi nikmat berendam dalam air yang hangat...

Hangat?

Bukankah seharusnya air ini dingin?

Lalu, sapuan angin semilir melenakan-ku, menarik-ku kedalam sebuah kenyamanan yang sama-sekali tidak bisa kutolak. Sensasi ini, serasa ketika memasuki ruangan dengan suhu berbeda. Berkas-berkas udara ruangan sebelah masih kurasakan meyambar tipis di-kaki-ku. Seperti hembusan angin yang berasal dari celah bawah pintu. Dan aku mengikuti arusnya dengan suka-cita

Dan aku merasa nyaman

Sangat nyaman...

Aku kini, sudah sepenuhnya memasuki alam meditasi. Inderaku sudah terpisah dengan dunia

Nyaman...

Sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, aku mendengar teriakan minta tolong

Godaan lagi kah?

“Tolongg!!” suara wanita itu terdengar begitu dekat dan nyata

Godaan! Ini pasti hanya godaan. Batinku mempertahankan konsentrasi

“Hehehe... Jangan lari lagi cah ayu! Kita bersenang-senang saja malam ini...” timpal suara laki-laki dengan nada mesum yang ditimpali oleh tawa temannya. Tiga jenis suara, tebak-ku dalam hati..

Tiga orang laki-laki kah? Dan seorang wanita?

Aku masih mencoba mempertahankan meditasiku. Menolak untuk membuka mata

“Tolongg... Jangan...” ratap suara wanita itu, mengiba disela isak tangisnya yang ditimpali oleh suara tertawa mesum tiga laki-laki. Kurasa si-wanita sudah tidak sanggup berlari.

Ini godaan lain kah?

Tapi, suaranya terasa begitu nyata dan dekat

Kalau aku masih ngotot meditasi dan tidak memperdulikannya

Mungkin si-wanita...

Arrrggghhh!!

Shit!

Persetan dengan meditasi!

Dan aku membuka mata. Semerta-merta membeliak karena kejadian itu memang ada didepan mataku. Tepatnya diluar pagar kayu yang menjadi batas sendang. Seorang wanita dengan baju terkoyak terduduk ketakutan sambil berusaha melindungi tubuhnya dengan kedua tangan rapuhnya dari pelototan tiga orang lelaki bertelanjang dada bertubuh dempal dengan jambang semrawut

“Hoi! Berhenti!” Teriak-ku yang disertai dengan batuk-batuk tertahan, masih dari tempat berendamku

Dan segera dengan tergopoh-gopoh, dikuti batuk-batuk yang benar-benar membuatku sama sekali tidak terlihat mengancam, aku menyeret tubuh bebalku keluar dari sendang. Kusambar sarung-ku lalu dengan cepat kukenakan. Kedua laki-laki itu menatap kepada temannya. Kukira dia pemimpinnya

“Bunuh saja” perintahnya ringan

Bunuh? Wait! Tunggu dulu! Ini...

“Tu... tunggu! Uhuk..uhuk...” protesku. Bunuh? Ngaco banget gak sih? Segampang itu? Ini....

Dan kukira protes cemenku tidak masuk dalam pertimbangan mereka, karena kedua laki-laki menyeramkan itu mulai mencabut parang yang terselip di pinggang mereka. Ya Tuhan! Baru kusadari, ketiganya memang membawa parang. Napa pula aku tadi sok pahlawan. Mengingat kondisi tubuhku, jangankan tiga laki-laki berparang, melawan anak PAUD aja aku akan kewalahan!

Dan serangan itu datang. Sabetan dia parang yang sadis, mengarah langsung ke tubuhku. Aku meloncat mundur. Sabetan itu berlalu hanya hitungan centimeter dari dadaku. Dan mereka merangsek. Menyabetkan parangnya secara membabi buta. Secara reflek aku mengeluarkan jurus menghindar. Langkah Slipi-angin. Aku berputar-putar dengan elegan dan sistematis, menghindari derasan sabetan parang mereka. Sampai sejauh ini, aku hampir selamat. Hampir, karena sebuah sabetan berhasil mengenai lengan atasku, menggoreskan luka yang lumayan dalam

Akhirnya, demi mengatur nafas, karena menyerang secara bertubi-tubi bukanlah hal yang mudah. Sabetan itu berhenti untuk sementara. Aku juga ngos-ngosan dan terbatuk-batuk dengan parah. Saat kuharap mereka akan berhenti menyerangku karena rasa kasihan, dan memutuskan untuk sekedar melumpuhkan dan mengikatku, mereka malah melangkah mengitariku, mengapitku dari kanan dan kiri

Sial! Mereka tau beladiri. Serangan dari dua arah, entah kanan dan kiri atau depan belakang adalah mimpi buruk. Serangan ini jauh lebih susah dihindari dibanding serangan searah dari depan

“Tunggu... tunggu bang! Kita bisa membicarakan hal ini...” mohonku disela batuk

Tentu saja mereka tidak menggubris, karena disertai bentakan pendek, mereka segera menyerangku dengan sistematis. Satu menyabet pinggul dn satu lagi mengincar leherku. Dua sabetan dari dua arah berbeda. Mustahil kuhindari...

WUUUTT!!

Disinilah letak definisi “Tidak Berbakat” yang selalu dan selalu di-maki-kan oleh eyang padaku saat latihan dahulu. Dan aku memang menyadari kalau aku tidak berbakat dalam bela-diri. Atau bisa dibilang insting-bertarung-ku rendah. Dalam bela diri, banyak sekali keadaan yang mengharuskanmu untuk bergerak berdasarkan insting. Dan aku tidak pernah bisa. Aku selalu berfikir sebelum bergerak. Dan saat itu eyang selalu marah karena hal ini, kata beliau, hal ini fatal, karena pasti gerakanku akan menjadi jauh lebih lambat. Jauh lebih tidak efktif.

Leher!

Fikirku singkat menjatuhkan pilihan, yep, aku memilih menghindari sabetan parang yang mengarah ke leherku. Untuk itu aku segera meloncat ke-arah laki-laki yang menyabet leherku. Membenturkan badanku kepadanya. Membuat sabetan itu luput, karena hanya lengan-nya yang membentur leherku. Tapi kali ini aku juga tidak setengah-setengah. Saat tubuh kami berbenturan, aku menyodokkan siku-ku tepat di ulu hatinya, tidak hanya itu, aku juga semerta-merta menarik badan ke bawah lalu melakukan sapuan kaki. Si lelaki berparang terpelanting. Sudah kukatakan aku tidak akan setengah-setengah, kan? Saat tubuhnya masih terpelanting diudara, aku menerkam, mengantarkan sebuah pukulan lurus, lagi-lagi keulu hatinya

Dan karena aku, sekali-lagi, memang tidak setengah-setengah, pukulan itu adalah jurus pamungkasku. Bledek Sekilan!!

BUGGG!!

Tubuh si-lelaki berparang terbanting, mengejang-ngejang lalu kaku dengan lelehan darah hampir dari setiap lubang tubuhnya. Mulut, hidung dan telinga. Mati, itu tebakan terbaik ku...

Kulihat sekilas, kedua laki-laki berparang itu nanar menatap temannya yang meregang nyawa karena pukulanku. Kurasakan juga, pinggulku perih. Aku hampir pingsan saat mengetahui luka menganga disana. Ternyata sabetan parang satu lagi tidak berhasil 100% kuhindari.

Sial!!

Aku terlambat memutuskan gerakan-ku. Peringatan eyang yang diulang-ulangnya pada setiap latihan terbukti. Sial!!

“Bangsat!! Kau membunuh adik-ku!!” raung lelaki yang tadi mengeroyok-ku

Dan aku melirik lelaki satu-nya lagi, si pemimpin segera turun tangan, menghampiri kami sambil mencabut parangnya. Aku tau niatnya pasti untuk membunuhku, untuk apalagi mencabut parang coba? Mau kerja-bakti? Berkebun?

Aku terhuyung, luka di pinggulku ini dalam sekali. Darah mengucur deras dari sana

Mati...

Hampir bisa dipastikan cerita hidupku berakhir disini.

Belum...

“Belum...” desisku pada diri sendiri. Sebongkah niat membulat dibenak-ku. Kalau memang aku harus mati, gadis itu harus selamat. Begitu yang kupikirkan

Aku melepas sarung yang kukenakan, lalu melilitkan kuat-kuat pada luka dipinggulku. Nafasku tersengal-sengal. Pandangan-ku mengabur. Dan tubuh ku terasa berat. Kaki-ku terasa lemas. Darah yang belum mau berhenti mengucur dari luka ini-pun memperparahnya. Tapi belum, aku belum habis. Masih ada satu lagi! Satu lagi! Usaha terakhirku!

Segera aku mengatupkan kedua telapak tanganku didepan ulu hati, mengatur nafas, membuka tangkupan itu didepan dada, dan mulai melakukan gerakan.

Sukma Ani-Ani!

Aku berniat menggunakannya. Ini adalah Pertama kali aku mencoba menggunakannya dan mungkin yang terakhir kalinya. Tehniknya sudah diturunkan kepadaku bertahun-tahun lalu. Kepengecutanku-lah satu-satunya yang menahanku untuk melatih dan menggunakannya. Tapi kini, aku tidak ada pilihan lain. Jurus ini akan merusak-ku luar dalam, itu pasti. Aku akan mati sesudah ini, itu hampir pasti, aku akan lumpuh total sesudah ini, itu kemungkinan yang lebih pasti!

Tekanan tenaga dalam menghentak-hentak diseluruh tubuhku setelah seluruh tahapan jurus ini selesai kulakukan. Tenaga murni menjejali tubuhku dengan kejam. Memenuhi setiap jengkalnya dengan desisan kematian. Sensasi yang menyeramkan. Jurus larangan ini, memang seharusnya benar-benar terlarang. Kini, semua akan berjalan dengan lain, batin-ku

Tapi, aku juga menyadari, dengan kondisi tubuhku saat ini, kuperkirakan, paling banter aku hanya akan mampu mempertahankan jurus Sukmo-Ani-Ani ini dalam beberapa tarikan nafas. Pernah membayangkan meniup balon yang sudah ada mata-ikan-nya? Nah, kurang lebih begitulah deskripsi keadaanku sekarang. Dan jurus ini benar-benar memaksa memenuhi setiap jengkal tubuhku, membuatnya seolah-olah menggelembung

Lalu, serangan mereka datang…

Aku tidak begitu jelas mengingat kelebatan kejadian ini. Yang kuingat hanya, sekali tebasan telapak tanganku memutuskan leher salah satu dari mereka, membuat kepalanya menggelinding jatuh ditanah. Kemudian dalam gerakan selanjunya, tusukan telapak tangan-ku menembus dada lelaki yang lain, sembari merenggut jantungnya dalam proses itu...

Itu sebelum kesadaranku dengan cepat meninggalkan otak gila ini

Seperti balon yang baru saja Meletus, aku ngedrop dengan cepat

Ah, Inikah saatnya?

Maaf semuanya...

Usaha penyembuhan ini, kelihatannya tidak berhasil...

Maaf...

Aku duluan...

Maafkan aku semuanya...

Lalu gelap...

Lalu aku memantapkan hati, menyambut kematianku sendiri, walau tak pernah kukira akan datang se-cepat, se-tragis dan se-konyol ini...

Gelap...

Selamat tinggal...

Semoga wanita itu selamat...

Ah, aku bahkan belum sempat melihat dengan jelas wajahnya...

Tapi, semua itu sudah tidak ada artinya sekarang kan?

Dan aku tersenyum...

End of Sendang Kahuripan

INDEX




Note: Bagi yang ingin tahu cerita dibalik jurus-jurus silat yang kusebutkan diatas, silahkan membaca Cerbung: Trampoline
Warbiasyahhhh, seru banget... Sehat n sukses selalu ya hu... :)
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd