Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
CHAPTER 3 – Some Things Just Never Change (…or do they?)
Deru beratus-ratus kendaraan menyeruak masuk saat aku membuka pintu balkon kamar apartemenku, sahut-menyahut dengan suara klakson dan suara-suara lain yang datang dari jalanan di bawah. Satu-satunya hal yang ga aku rindukan dari Jakarta memang kemacetan lalu lintasnya. Dan juga polusi udara dan suaranya. Dan terik mataharinya. Dan overpopulasinya. Oke mungkin memang ada banyak yang ga aku rindukan. Tapi tetap saja, Jakarta punya tempat spesial di hatiku sebagai tempatku menghabiskan bertahun-tahun untuk menimba ilmu. Beserta seribu kenangan manis dan pahitnya.

Setelah menutup pintu di belakangku, kunyalakan rokok dan kuhisap dengan pelan, menikmati setiap tarikan asap yang masuk ke mulutku. Hanya di saat-saat langka saat aku pulang inilah aku bisa memanjakan nafsu perokok yang dorman dalam diriku. Sejak pindah ke Sydney, aku betul-betul mengurangi rokok hampir 90% dari sebelumnya, tentunya karena alasan finansial. Dan ini pertama kalinya aku pulang setelah setahun lebih kerja disana, tentu saja ga akan aku sia-siakan untuk kesempatan merokok sepuasnya.

Walaupun ini pertama kalinya aku pulang ke Indonesia lagi, namun aku ga akan pulang ke rumah dan bertemu orangtua dan keluarga. Hal ini karena sebetulnya keluargaku semuanya berada di kota lain, akan makan waktu lumayan lama hanya untuk pulang-pergi dari Jakarta kesana, dan aku beralasan hanya bisa mendapatkan izin cuti selama 5 hari dan banyak hal yang belum sempat kubereskan di Jakarta. Orangtuaku yang sudah tidak muda lagi hanya maklum dan tidak berkeberatan.

Sudah 3 hari aku berada disini, di apartemen yang kusewa selama seminggu untuk membereskan semua urusanku, dan sebetulnya hal terakhir yang harus kuselesaikan pun sudah beres, yaitu membereskan status pajak menjadi non-WP. Dari awal aku memang sudah menghitung apa saja yang harus kulakukan disini dan berapa lama, sengaja biar aku bisa punya waktu beberapa hari untuk sekedar jalan-jalan dan mungkin bertemu teman lama. Tadinya aku udah berencana untuk mampir ke sekitar kosan lama tempatku dulu tinggal saat kuliah, namun rencana itu berubah sebelum berangkat kesini gara2 ada pesan mendadak dari Vera pada hari itu.

Aku udah janji untuk bertemu Vera di rumahnya nanti malam, dan tentu saja Nat ga tahu sama sekali tentang hal itu. Dia bahkan ga tahu Vera menghubungiku hari itu. Aku sebetulnya sedikit merasa bersalah, namun kuyakinkan diriku sendiri bahwa aku ga berbohong pada Nat. Aku hanya tidak menemukan alasan kenapa aku harus memberitahunya. Seandainya dia bertanya, pasti akan aku jawab jujur juga, pikirku berusaha mengelus-ngelus ego sendiri.

Hubunganku dengan Nat selama setahun lebih ini memang seperti itu, kami ga terlalu banyak terlalu berusaha ikut campur dan mengorek2 urusan pribadi satu sama lain, dengan prinsip saling percaya, kami yakin hubungan ini akan lebih sehat dan nyaman daripada terus-terusan ingin tahu dia sedang apa, dimana, dengan siapa, dan sebagainya. Aku berusaha untuk menghormati ruang pribadinya, dan sebagai gantinya, dia pun bersikap sama kepadaku. Apa yang aku rasa perlu dan nyaman untuk kuceritakan padanya, akan kuceritakan. Sedangkan apa yang tidak, Nat tidak akan memaksaku. Begitupun dia kepadaku.

Namun tentu saja, prinsip kepercayaan seperti ini seharusnya tidak diberikan kepada orang sepertiku yang pada dasarnya adalah “serigala” dan susah atau tidak akan berubah.

Dan sekarang, serigala tersebut sedang tertawa jahat di dalam hatiku melihat aku telah merencanakan semuanya untuk bertemu dengan Vera, tak lupa dengan harapan adanya kesempatan untuk dapat sekali lagi menyelinap ke balik celana dalamnya. Sementara malaikatku yang lemah dan kecil berusaha meyakinkanku untuk berubah dan menghargai hubunganku dengan Nat, aku malah ga bisa berhenti membayangkan apa aja yang aku lakukan nanti, step-by-step, sampai aku bisa kembali lagi menjamah tubuhnya yang ga bisa berhenti kubayangkan selama beberapa malam terakhir ini. Dengan banyaknya skenario dan rencana cadangan yang telah kubayangkan, aku merasa seakan Moriarty yang sedang merencanakan sebuah rencana jahat untuk dapat menguasai dunia, walaupun semua ini hanyalah sekedar untuk sebuah tujuan tak terpuji untuk membasahi penisku dengan cairan lain selain milik Nat.

Khayalan grandiosaku terputus sejenak saat ternyata Vera meneleponku. Wah kebetulan sekali saat sedang kubayangkan, pikirku, apakah mungkin dia mau memberitahuku bahwa ibu dan adiknya sedang ga di rumah malam ini?

“Halo Ja? Kalo misalnya ntar malem kita ketemu di luar aja gimana..? Ternyata malem ini Emih aku sama sodara-sodara mama mau nginep…aku agak ga enak ntar kalo nerima kamu disana lagi rame.” Katanya di sambungan telepon.

Ah, sedikit perubahan rencana, saatnya plan B, pikirku.

“Oh, aku sih gapapa, emangnya kira2 mau dimana nih nanti?” tanyaku.

“Hmm aku belum tau sih, kamu ada usul ga? Atau mungkin kamu ada pengen kemana gitu mumpung lagi disini?” dia malah balik bertanya.

Setelah sedikit memutar otak mesumku, tercetuslah sebuah ide licik dan cemerlang.

“Oh iya, kalo gitu gimana kalo di XXX aja? Udah lama juga aku ga kesana dari sebelum pindahan.” Tanyaku mencoba memancing, tempat yang kusebutkan adalah nama suatu Bar di bilangan Jakarta Selatan.

Ada sedikit jeda dimana aku dapat mendengar Vera sedikit mengerutkan dahi dan mungkin berpikir sebentar, sebelum menjawab, “Oh….oke deh gpp kalo kamu pengen, mau jam berapa? Ketemu disana apa gimana?”

Umpan pertama telah disambut, saatnya umpan selanjutnya. “Hmmm kalo misalnya jam 10 aja kamu gapapa…? Boleh ga kira2..? Aku nanti masih ada harus ketemu orang dulu nih malem, mungkin bisa sampe jam 9an.” Ucapku. “Tapi paling ketemu disana aja ya? Aku kan ga ada kendaraan disini.” Lanjutku.

Vera terdengar sedikit berpikir lagi, “Agak malem gitu ya…yaudah deh tapi aku mungkin ga bisa lama-lama gapapa ya?”

Aku hanya mengiyakan saja. Setelah menutup telpon, sempat ada lagi rasa bersalah dan teringat pada Nat yang sedang di benua seberang, mungkin sedang kangen padaku, tapi segera tertutup oleh awan hitam pikiranku yang licik dan mesum. Kuharap rencanaku nanti malam bisa berjalan mulus.

----

Karena sebetulnya aku udah ga ada lagi urusan apa-apa yang harus kuselesaikan, sisa sore itu kuhabiskan hanya menunggu di apartemen dan browsing, daripada harus keluar dan menghadapi jalanan Jakarta saat rush hour. Aku udah berencana untuk pergi ke tempat pada pukul 9, jadi masih ada banyak waktu untuk dihabiskan.

Ponselku bergetar dan kulihat ternyata Nat mengirim sebuah pesan. Ternyata dia baru selesai kerja dan mengabariku bahwa dia akan pergi ke salon sebelum pulang. Aku hanya menjawab dan memintanya untuk berhati-hati, sambil meminta maaf dalam hati akan apa yang mungkin akan kulakukan.

You’re very lucky to have her, such a cool and yet caring girl, and yet you think that’s still not enough?

Hati nuraniku bertanya pada diriku sendiri. Is this really all worth it? Do you really want to betray her trust for this? What if she finds out? What if she indeed deserves better than this? Sebelum kucoba kutepis lagi jauh-jauh pikiran2 itu. Sedari dulu memang aku tahu bahwa aku adalah tipe orang seperti ini, saat ada yang udah aku inginkan, ga ada yang bisa menghentikanku untuk berusaha mendapatkannya, not even my own conscience.

Pada pukul 8 malam aku udah bersiap-siap mau mandi, ketika ada lagi pesan dari Nat. Dia sudah pulang, dan mengirimiku selfie dengan style rambut barunya yang pendek sebahu dan front bang rata, menjadi mirip rambutnya saat kita pertama kali berkenalan. Cantik.

“What do you think? Suka ga kalo pendek segini lagi?” Tanyanya singkat

29033617b30be41c88919c3718f8aba0542a3413.jpg

Aku hanya membalas dengan 3 emoji mata hati, sebelum aku iseng dan mengirim chat lagi.

“Jadi makin kangen kamu deh, apalagi yang bawah ini” kirimku memancing.

“Ih apaan sih, dasar pervert.” Balasnya meledek.

“Kamu tau lahhh…coba dong sekali2 kirim selfie tuh yang lebih hot biar kangenku dikit berkurang” balasku lagi semakin memancing.

“Engga ah…gamauu. Akunya juga udah mau tidur nihh. Ntar aja deh ya liatnya kalo udah ketemuu.” Elaknya

Hahaha, sudah kuduga. Nat memang selama ini ga pernah mau berurusan dengan hal-hal nakal di ponsel atau internet, ga pernah mau mengirim atau mengambil foto2 hot, atau bahkan sekadar percakapan nakal. Dia juga sering marah kalau tau aku mengambil dokumentasi saat kami berhubungan seks, dan pasti segera dia hapus. Takut tersebar, itulah alasannya yang paling utama.

Aku membalas dengan beberapa emoji sedih, sebelum menyuruhnya untuk lanjut tidur saja dan beristirahat. Lagian, aku juga sebentar lagi harus pergi. Nat tidak langsung membalas, mungkin memang langsung ketiduran.

Pukul 9 lebih beberapa menit, aku udah berjalan di bawah menuju ke arah gerbang apartemen, dimana biasanya ada beberapa taksi yang memang mangkal disana. Kunaiki salah satu taksi dan kita pun berangkat setelah kuberitahu supir untuk tujuannya. Tak lama taksi berjalan, ponselku mengeluarkan notifikasi pesan, dari Nat. Ternyata Nat masih belum tidur, pikirku.

29033616-100x100-d5a09e61b67bce78929296877ca331aa.jpg

Aku kaget dan sedikit tak percaya, pertama kalinya sepanjang hubungan kami Nat mau mengambil dan mengirimiku foto seperti ini. “For your eyes only XX” kubaca lagi pesan yang dia kirim bersama dengan foto itu. Aku yang masih agak tak percaya perlu waktu beberapa saat sebelum terpikir akan membalas apa. Tapi belum sempat aku memulai mengetik, dia sudah mengirim pesan lain.

“hmmmm. Inget ya awas aja kalau kamu sebarin ke temen2 kamu. Langsung hapus aja ya abis ini.”

“…terus..coba sekarang kamu foto punya kamu…? Pasti jadi udah keras kan…?” pesannya seperti agak malu2.

What. Bahkan sebelumnya pernah aku iseng dan mengirimi dia foto penisku tiba2 pun dia malah malu sendiri dan langsung dia hapus, ga mau dia liat. Pengen yang asli aja, katanya. Sekarang dia seperti ini? Aku senang namun juga agak kesal. Sedikit kulirik pak supir di cermin tengah. Ah, coba aja kalau daritadi. Mungkin bisa sampai video call sex, pikirku.

Kubalas dulu dengan emoji mata hati sebelum kulanjutkan beritahu dia bahwa aku sedang di perjalanan mau ketemu teman lama. Technically, aku tak berbohong. Tak lupa kuingatkan dia untuk lanjutkan seperti ini lagi besok-besok hari lagi. Tak apa, pikirku, penisku yang sekarang udah menegang mungkin nanti bisa kulampiaskan juga kalau misalnya rencanaku berjalan mulus.

Aku sampai di Bar XXX sekitar 10 menit sebelum waktu yang dijanjikan. Akupun masuk dulu dan mencari meja yang masih kosong. Karena hari itu masih malam weekday, bar itu tidak terlalu penuh pada waktu itu. Aku duduk di kursi yang panjang melingkari sebuah meja yang juga berbentuk lingkaran. Kukirim pesan mengabari Vera sebelum membuka menu dan memesan 2 botol bir dan french fries.

Hanya beberapa menit kemudian, bahkan sebelum tepat jam 9, dapat kulihat sebuah sosok yang familiar masuk melalui pintu masuk di arah depanku. Vera baru sampai. Setelah sedikit melihat-lihat ke sekeliling, dia berjalan ke arahku setelah melihatku. Vera kemudian duduk di tempat duduk, menghadap ke arahku di seberang meja bundar kayu itu.

2903361504fc81103eeab2a91c89e17634226f3e.jpg

Walaupun di bawah lampu yang tak terlalu terang, dapat kulihat wajahnya yang lumayan cantik. Dia tidak banyak nampak berubah setelah beberapa tahun aku ga ketemu. Saat itu Vera tidak mengenakan jilbab. Sudah kuduga, seperti dari dulu Vera tidak terlalu religius bahkan untuk mengenakan jilbab setiap saat keluar, apalagi untuk ke tempat seperti ini.

Kemeja flanelnya terbuka dan memperlihatkan gundukan payudaranya yang besar di dalamnya, tertutup oleh t-shirt hitam yang kelihatannya cukup ketat. Celana jeansnya juga keliatannya skinny fit karena lekukan pahanya pun terlihat dan memperlihatkan bentuk kakinya yang jenjang. Rambut panjangnya terurai dan kulihat sekarang ujungnya di-ombre berwarna sedikit kemerahan.

Dia tersenyum sedikit saat duduk sebelum memulai percakapan dengan sedikit basa-basi. Kujawab sambil melanjutkan percakapan dengan basa-basi lainnya. Sedangkan saat itu aku agak khawatir karena ternyata Vera datang sebelum minuman yang kupesan datang. Ya, rencana jahatku itu adalah dengan mencampurkan sedikit obat perangsang yang telah kusiapkan sebelumnya ke dalam minumannya. Kemudian, dengan sedikit social engineering dan mood building yang tepat, akan kugiring mentalnya agar dia dapat terjebak perangkapku, seorang predator seksual recehan.

Namun, semua rencana ini bisa saja gagal karena sekarang ternyata dia sampai lebih cepat dari perkiraan, yang berarti aku tidak dapat kesempatan untuk menggunakan obat perangsang itu tanpa dia sadari. Sambil menunggu bir yang masih belum datang, aku mencoba memutar otak mengingat-ngingat apa saja contingency plan yang telah kususun dengan rapi dari tadi sore, sambil juga melayani Vera dalam percakapan pertama kami setelah beberapa tahun. Siapa yang bilang lelaki kurang jago dalam multitasking?

Saat waiter datang dan membawa bir dan french fries yang kusesali telah kupesan, Vera ternyata bangkit dan bilang mau ke toilet sebentar. Ah ini dia kesempatan yang kutunggu. So I’m getting that pussy tonight, after all. Setelah memastikan Vera telah beranjak dan hilang dari pandangan, dengan diam-diam aku mencampurkan obat perangsang cair dari botol kecil dari saku celanaku ke dalam kedua botol bir yang ada, untuk jaga-jaga.

Beberapa menit kemudian Vera kembali lagi dan kita berbincang lagi tentang banyak hal, catching up sama perkembangan satu sama lain. Satu hal yang kuperhatikan, Vera kelihatan tidak mau menyinggung ke arah pembicaraan apakah kami sama-sama udah punya pasangan baru, dan menyadari hal itu, akupun ga mau memulai duluan. Tapi secara kasar dapat kurasakan mood obrolan udah sedikit demi sedikit mulai terbangun dan dia juga mulai nyaman dalam percakapan.

Selama mengobrol kami pun sesekali meminum bir yang ada, sampai sekitar sejam kemudian makanan telah habis.

“Ver, mau order minum lagi ga? Masih haus sih ini aku.” Kataku melihat botol bir kami yang sama-sama hampir habis.

“Hmm boleh sih, apa ya…” katanya sambil berpikir sejenak. “emang kamu mau apa? Bintang lagi kah?” tanyanya.

“Engga ah, kurang nendang kayaknya nih rasanya. Jacks mau ga? Aku jadi pengen nih satu-dua shot lumayan keknya.” Kataku menantang.

“Boleh deh kalo gitu, satu shot dulu deh.” Jawabnya yakin.

Kulihat juga mukanya agak memerah, mungkin efek obat udah mulai bekerja, mungkin dia cuma kecapekan. Masih harus lebih kucecoki lagi biar dia lebih open.

“Btw jadi gimana, siapa nih sekarang yang beruntung bisa pacaran sama mojang Bandung yang dulu pernah kepeleset waktu catwalk ini?” tanyaku padanya saat waiter sudah pergi, memberanikan memulai topik ke arah sana.

“Hmmm siapa yaa…ada deh pokoknya, kepo banget males ah ntar distalking” katanya meledek sambil tertawa kecil. “kalo kamu gimana, siapa nih yang sial bakal ditinggal naik gunung terus?” tanyanya balas menantang.

“yeu, disana gunungnya jauh2 teh! Udah lama aku ga nanjak, terakhir waktu masih kuliah dulu, ga ada waktu lagian kalo sekarang.” Jawabku agak berbelok, sengaja agak memancing lebih penasaran.

“iya deh iya…tapi pertanyaannya belum dijawab tuh, siapa nih cewemu sekarang? Orang bule australia kah? Sedep tuh” tanyanya lagi.

Waiter datang membawakan dua shot Jack D’s yang kami pesan tadi. Aku mengajaknya toast dulu dan meneguk habis sebelum menjawab.

“kamu aja ga jawab heu…yaudah aku jawab duluan deh, ada cewek aku sekarang orang Indo juga, tapi sama-sama tinggal disana.” Kataku.

“Wah enak dong masih bisa sering ketemu ya, gimana tuh bisa ketemunya?” tanyanya mulai tertarik.

Wah kalau obrolannya ga diarahin dari sekarang, bakal gagal nih, batinku. Gotta step up the game.

“Eh eh eh sabar dong, aku udah jawab duluan, sekarang kamu yang jawab dong.” Kataku menyela. “aku ganti deh pertanyaannya kalo kamu ga mau jawab yg tadi, gapapa….hmm apa ya..” sambungku lagi.

“yaudah ini deh, sekarang udah punya berapa nih vibratornya? Pasti udah punya banyak lagi yg baru yg desainnya aneh2 ya??” tanyaku agak kurang ajar, kulihat dia sedikit terkejut, tapi setelah itu ekspresinya tidak menunjukkan gelagat-gelagat negatif.

Setauku saat terakhir denganku dulu, dia punya dua vibrator, satu yang berbentuk telur kecil dan satu lagi yang berbentuk batang, tapi bukan yang mirip penis. Dua-duanya dia sendiri yang beli, karena penasaran katanya.

“husshh! Harus banget ya nanya itu, kenceng2 di tempat umum lagi?” suaranya sedikit meninggi tapi tidak terdengar kesal.

“lah ya abisnya yang tadi keliatan banget kamu ga mau jawabnya…jadi gimana nih?” jawabku agak defensif.

“hmmmm….gimana yaaa…iya deh, udah pernah beli lagi abis yang dulu terakhir kamu pesenin itu, bentuknya yang lebih mirip” katanya pelan agak sedikit malu, namun nyengir di akhirnya. “emang kenapa sih penasarannya kok random banget gitu” imbuhnya.

“oooh yaudah tinggal jawab gitu kan gampanggg, ya kan siapa tau…” kataku sengaja menggantung

Saat menjawab itu aku sengaja dengan pelan pura-pura tak sengaja menyenggol pahanya saat memindahkan kakiku menjadi menyilang di bawah meja. Aku udah memperhatikan gelagat, cara bicara, raut muka, dan tatapan dia untuk menilai keadaanya tapi sengaja kulakukan ini untuk tes lebih lanjut.

“Siapa tau..apaaa?” tanyanya penasaran, tatapan matanya memicing tapi ga bisa menutupi pandangannya udah sayu dari pengaruh obat dan alkohol. Untung aja Vera juga salah satu dari sekian banyak cewek yang mudah terpengaruh minuman.

“yaa…siapa tau aja kan…mau aku bantu, mumpung lagi disini.” Jawabku sok2 cryptic. Tapi bersamaan dengan ini aku sengaja mengubah posisi duduk dan menyenggol pahanya lagi, tapi kali ini lebih pelan dan sengaja agak kulama-lamakan mengelus pahanya dengan kaus kakiku.

Vera mengangkat sebelah alis matanya dan menatapku, berusaha untuk tajam tetapi masih ga bisa menahan sayu. “Hmmm padahal mah bilang aja kalo lagi pengen…sok-sok berbelit2 gitu” katanya tersenyum agak sinis.

Belum sempat aku menjawab, dia melanjutkan lagi, “aku kan kenal kamu lumayan lama dulu, aku bisa liat lah kalo kamu lagi “berusaha”” katanya lagi sambil bikin isyarat tanda kutip pakai kedua jari tengah dan telunjuknya.

Ah sial, kegep. Otakku langsung shift ke mode overdrive, cari cara dan jawaban yang tepat buat menghindari rasa tengsin yang siap menyergap.

“Gini deh, gimana kalo besok malem aku ke apartemen kamu aja?” katanya tersenyum nakal. Aku terkejut.

Tapi aku masih harus berusaha untuk selamatkan mukaku ini. Ga akan kubiarkan aku kalah secara ego, walaupun sebenernya aku senang juga.

“Ooooh, jadi kamu single nih ya..? makanya udah ga tahan pengen karena ga ada yang nyuplai cairan rutin?” tanyaku balik, mencoba mengarahkan pembicaraan lebih dalam lagi.

“enak aja, aku baru putus bulan kemaren kok, masih anget-angetnya. Jadi sori nih ya kalo kamu cuma jadi pelampiasan sekejap doang.” Katanya tersenyum meledek. Sial, smash ku ternyata berhasil dia tangkis dan sekarang aku gelagapan berusaha menahan smash balik darinya.

“yaudah, aku sih bodo amat, aku udah pernah dapat hati kamu dulu, sekarang mah cukup fisiknya aja. Serius nih besok??” jawabku, makin kurang ajar, tapi masih berusaha ngasih jawaban diplomatis.

“Ya serius lahh, kecuali kalo kamu cuma becanda.” Katanya menantang. “kalo malem ini aku udah harus balik rumah dulu, ada Emih juga kan soalnya, aku juga ga bilang2 mau nginep diluar ntar kebanyakan diinterogasinya.” Lanjutnya, dengan tepat menerka pertanyaan selanjutnya yang ingin kuajukan.

Yess! Ujarku dalam hati. Travel permit telah kudapatkan, sekarang aku hanya tinggal pergi mengambil hadiahnya.

“Hmm, yaudah deh gapapa. Tapi kamu tahan ga nih sampe besok?” tanyaku menantang.

Ku julurkan kakiku ke tengah, kudorong sampai menyentuh Vera tepat di antara kedua pahanya. Di bawah meja bundar itu, kugunakan jempolku untuk sedikit mengelus2 selangkangannya dari luar celana jeansnya.

Sekarang udah makin terlihat jelas kalo Vera udah terangsang, dan saat kuelus selangkangannya kulihat pandangan matanya merasa kenikmatan, tapi dia masih bisa mengontrol diri.

“Hussh…hh…dah ah, kan besok!” katanya kemudian menutup selangkangannya sehingga aku menarik lagi kakiku.

Aku hanya cengengesan sedikit. Tapi tak lama setelah itu Vera bilang dia harus pulang karena udah kemaleman. Ternyata malam itu masih belum menghasilkan, tapi ga apa, karena besok udah confirm aku bakalan dapat sesuatu. Kami pulang terpisah dari sana, sepanjang jalan aku ga bisa berhenti membayangkan apa aja yang akan kami lakukan besok malam, sampai di apartemen pun masih tak dapat berhenti kubayangkan. Ingin rasanya cepat2 sampai besok malam lagi.

----

Besoknya, pagi hari aku pergi dulu keluar apartemen untuk cari makan. Memang aku ga bisa berhenti membayangkan Vera dan dosa-dosa yang nanti akan kami perbuat, namun aku tetap manusia, dan perutku udah protes dari pagi tadi. Saat memesan makan di salah satu restoran di bawah, iseng2 aku menelpon Nat, karena tumben juga pagi ini dia ga ngabarin dulu.

Saat Nat mengangkat telpon dengan masih ngantuk, barulah aku ingat bahwa hari itu libur nasional disana. Kalau ga lagi kerja, Nat emang biasa bangun siang dan waktu itu dia baru bangun pas aku telpon. Akhirnya hanya kuingatkan saja untuk sarapan dan selamat istirahat, tak lupa kubilang I miss you juga.

Jam berganti, matahari makin meninggi. Sebetulnya aku udah sangat ga sabaran banget untuk nanti malam dengan Vera, tapi aku ga mau ngontak dia sekarang kalau ga ada keperluan, aku masih harus jaga image dan sok cool. Aku takut ngontak dia duluan akan menunjukkan bahwa aku “lemah”, jadinya siang itu hanya kuhabiskan dengan browsing dan main game di laptop. Kecuali kalau Vera yang ngontak aku duluan, barulah akan kujawab.

Selepas pukul 2 lebih, aku jadi ingin menelpon Nat lagi, pastinya dia udah bangun kalau sore begini. Kutelpon dia melalui aplikasi chat yang langganan kami pakai, dan kali ini langsung kutelpon dengan video call mumpung aku masih nganggur di kamar apartemen. Ternyata, kebetulan aku menelpon dia di saat yang sedang tidak tepat.

“Yaa….halo Ja, gimana?” katanya, nadanya agak terburu-buru. Kulihat dia sepertinya sedang di dapur flat, pakai celemek. Lagi masak ternyata. Ada kudengar juga suara Vi sedikit2 di belakangnya.

“Eh gapapa sih, iseng aja. Kamu lagi masak nih? Masak apaan?” tanyaku penasaran, sambil bodohnya berusaha memutar hpku untuk melihat kompor di belakang Nat, tentu saja ga akan keliatan.

“Eng…iya ini lagi masak, bentar dulu ya ini lagi nanggung banget.” Katanya sambil kemudian meletakkan ponselnya di rak dapur, kameranya menghadap dia, Vi di sampingnya, dan kompor yang sedang menyala.

Sialnya, entah apa yang terjadi, kulihat panci yang sedang diletakkan di atas kompor itu tiba2 terbakar sekejap. Akupun kaget melihatnya, apalagi Nat dan Vi yang berada di depannya langsung. Kelihatannya, Nat menyenggol minyak atau sesuatu dengan tangannya saat akan mengambil spatula setelah meletakkan ponselnya. Yang membuatku lebih kaget adalah api yang menyembur entah bagaimana sempat menyambar ke arah Nat, walaupun tak terlalu terlihat dari layar ponselku yang kecil, tapi dapat kupastikan setidaknya apinya menyambar mitten yang dia pakai.

“Yaampun! Nat! kamu gapapa?” kataku hampir berteriak ke ponsel, sambil kudekatkan lagi wajahku berusaha melihat lebih jelas apa yang terjadi di layar.

Nat tidak langsung menjawab tapi dengan gugup dan panik berusaha memadamkan api, kelihatannya apinya ga padam walaupun knob di kompornya dia putar. Kulihat Vi pergi sebentar dan kembali lagi dengan bawa extinguisher kecil yang aku yakin dia ambil dari koridor depan pintu masuk.

Walaupun api hanya menyembur sebentar, namun smoke alarm yang berada tepat di atas kompor itu ternyata teraktifkan, jadi kulihat Nat dan Vi terguyur air sprinkler. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Yaampun…

Mereka akhirnya bisa mengendalikan situasi, kompor telah dipadamkan dan sprinkler dimatikan. Aku yang sedari tadi berasa melihat sebuah live show comedy campur thriller akhirnya bertanya lagi, setelah kulihat mereka agak santai.

“Nat! hati-hati dong. Itu mitten kamu sampe gosong? Tangan kamu gapapa?!” tanyaku khawatir.

“Iyaa tadi kesenggol tapi kukira ga deket kompor jadi ga langsung diambil. Gapapa kok ini cuma basah aja semua kena air.” Katanya sambil membuka mitten gosong yang dia pakai. Kulihat tangannya ga kenapa-kenapa, tetap mulus seperti biasa.

Aku yang lega kemudian bertanya lagi, “Aduh kamu makanya hati2 ya kalo masak, kan udah tau kamu agak ceroboh…kan udah aku bilang ganti aja kompor apinya, ntar aku jadi beliin yang electric waktu itu aja yah, itu balikin aja ke si landlord. Lagian kamu masak apaan sih barusan emangnya??” kataku cepat sambil menceramahi.

Nat yang mungkin masih agak shock karena kejadian tadi dan mungkin ditambah nadaku yang tinggi, terlihat mulai menahan suaranya agar tidak gemetaran. Terlihat juga matanya mulai basah saat menjawab.

“Iya…iya maaf aku ga sengaja kan tadi…ga usah ntar aku sama Vi mau beli kok…ini aku sebenernya lagi mau masak ayam serundeng tapi jadi gagal deh.” Katanya agak gemetaran. Sementara itu aku kulihat Vi di dapur membersihkan sekitar kompor sendirian.

Aku agak heran, mereka berdua sama-sama ga terlalu sering dan pandai masak, dan biasanya pun masak hanya yang mudah dan instan seperti frozen food atau mie instan, kenapa tiba-tiba ngide masak ayam serundeng?

“Hah, kok tumben, ayam serundeng? Kamu emangnya bisa? Udah2 jangan nangis, gapapa kok aku ga marah.” tanyaku lagi sambil menenangkan.

“ya belum pernah coba..makanya coba belajar sekarang…aku mau nyoba aja biar ntar bisa masakin buat kamu, kan kata kamu suka kangen makanan Indo…tadi siang aku beli dulu bahan-bahan di Asian market, ada juga bumbu pecel buat nanti aku coba bikin pecel, aku udah liat resep2 sama caranya di—” Nat masih terus mengoceh, namun pikiranku terhenti.

Aku terhenyuk,

Ratusan penggalan pikiran dan suara-suara kepalaku sendiri tiba-tiba datang membanjiri kepalaku, seolah sebuah gelombang tsunami.

Ah, Nat sampai rela bersusah payah seperti itu demi aku.

Dia tahu dia ga pandai masak tapi berusaha belajar karena aku sering bilang ingin.

Padahal aku juga ga pernah minta dia yang masak.

Nat, segitu care dan sayangnya sama aku sampai seperti itu demi hal kecil seperti ini.

Ah, sedangkan aku, apa yang aku lakukan dari kemarin? Secara halus, aku sama saja sudah mengkhianatinya secara batin.

Apa aku setega itu? Apa aku memang sejahat itu?

Can you really live with this?


Ratusan pikiran terus berkecamuk di kepalaku, dan aku tiba2 merasakan rasa bersalah dan sedih yang amat sangat, sampai tak terasa air mataku sendiri mulai berlinang.

Di layar ponselku, Nat yang sadar aku terdiam, jadi heran dan bertanya,

“…Ja? Ja, kenapa? Udah aku gapapa kok, serius!” katanya

“uh…iya…gapapa, aku tadi emang khawatir banget takut kamu kenapa-kenapa” kataku mengelak.

Video call kami masih tersambung dan kami mengobrol cukup lama, tapi sepanjang itu pikiranku sudah tidak fokus dan hanya terpikir satu hal: she doesn’t deserve this.

----

Segera setelah aku menutup panggilan video dengan Nat, aku mengirim pesan singkat ke Vera. Kubilang saja aku ga bisa jadi malam itu karena aku mendadak harus pergi. Sudah kuputuskan. Aku ga langsung melihat dan membalas balasan yang dia kirim, bodo amat.

Sorry, Nat. I’m so, so sorry.

CHAPTER 4
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Setelah sekian lama, ketemu juga cerita yang kesannya orisinil. Sederhana, tidak banyak khayalan yang terlalu membumbung tinggi dan menarik untuk diikuti alurnya.

Semoga lancar suhu ceritanya sampai tamat.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd