Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bimabet
CHAPTER 4 – It’s Not You, It’s Me
Kuketuk perlahan pintu flatnya tiga kali, tidak sampai 10 detik Nat telah membuka pintu dan mempersilakanku masuk. Aku baru saja sampai kembali ke Sydney pagi itu, tapi aku segera bergegas untuk bertemu Nat terlebih dulu bahkan sebelum aku pulang ke flatku sendiri. Maka dari itu, aku menunggu di depan pintunya masih lengkap dengan koper ukuran kabin yang daritadi kudorong, serta mengenakan pakaian yang masih beraroma interior pesawat.

Kejadian dan “pertobatan” di Jakarta beberapa hari yang lalu seakan betul-betul mengetuk pintu hati nuraniku dan sejak saat itu sampai sekarang aku masih dihantui rasa malu dan bersalah, walaupun aku ga berani dan mungkin tetap ga akan menceritakan komunikasiku dengan Vera pada Nat. Karena itu pula, aku langsung pergi kesini untuk bertemu dengan Nat sesegera mungkin saat aku udah sampai. Dan selain alasan itu, juga untuk menagih jatah kepuasan jasmani yang tertunda selama seminggu, tentu saja.

Setelah menutup pintu, langsung kudekap tubuh Nat dari belakang dan kuciumi lehernya. Tercium aroma badannya yang harum khas dan bercampur dengan aroma salah satu merk sabun. Nat yang saat itu hanya mengenakan tank top hitam dan celana pendek sedikit terkejut dan mendengus geli sambil meremas tanganku yang kulingkarkan di pinggang rampingnya.

29035570455f212dfd0e3e98385dad6894b598d5.jpg

“I miss you” bisikku pelan tepat ke telinganya, sambil masih mendekap tubuhnya erat dari belakang.

“Miss you too” katanya pelan, kuputar kepalanya pelan ke samping dan mulai kulumat bibir mungilnya yang memang udah kurindukan beberapa hari terakhir ini.

Beberapa detik kami berciuman dengan bergairah, seakan pembalasan atas seminggu yang kami lalui tanpa sentuhan satu sama lain. Tak lama kemudian mulai kugesek-gesek juga selangkanganku yang mengeras ke pantatnya yang masih tertutupi celana jogging pendek. Penisku mulai mengeras dari balik celana jeans yang masih kukenakan.

Nat menyambut dengan mulai meraba-raba selangkanganku dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya masih meremas tanganku. Tak mau kalah, tangan kananku mulai menyelinap dari bawah ke balik tanktop nya dan mengelus perutnya yang rata itu. Dapat kurasakan kulitnya yang mulus dan hangat, membuat penisku semakin bangun dan mulai sakit tertahan celana dalam. Perlahan kuarahkan tanganku ke bagian atas badannya, sampai mencapai buah dadanya yang masih tertutup bra. Kuangkat bra itu dan dengan jari-jariku mulai kumainkan putingnya dengan halus. Desahan mulai terdengar keluar dari mulutnya yang masih kulumat dengan ganas.

“Aaahhhhh” suaranya yang sangat halus semakin membangkitkan gairahku.

Tanganku semakin menggerayangi tubuhnya, dengan tangan kiriku yang masih bebas aku mulai menggaruk2 selangkangannya dari luar celana yang sedang dia kenakan. Namun sebelum sempat kuraih ke balik celananya, dia melepaskan diri dari pelukanku dan berbalik menghadapku. Dia meletakkan telunjuknya di bibirku dan berkata,

“Let me treat you for the night.” Katanya sambil tersenyum.

Nat kemudian meraih ke balik tanktopnya dan melepas bra nya yang telah kuangkat. Dia kemudian menggantungkan bra itu ke leherku sambil tersenyum. Sebelum aku sempat bereaksi, dia sudah jongkok di depanku dan membuka kancing jeans lusuh yang belum sempat kucuci selama pergi ke Jakarta. Dia kemudian menurunkan celana boxer yang kupakai, penisku langsung menyeruak keluar karena sudah mengeras dari tadi.

“Hey little fella, do you miss me?” katanya kepada penisku, seakan berbicara dengan bayi.

“I miss you.” Lanjutnya lagi sambil mulai memegang dan mengocok penisku yang sudah berdiri tegak.

Sebuah rasa yang nikmat menjalar dari sana, menyebar ke seluruh tubuhku, sampai akupun sedikit bergidik keenakan.

“Kenapa...kok tiba-tiba..?” tanyaku menunduk melihatnya.

“Gapapa...kamu kan pasti udah cape di pesawat...sekarang biar aku yang melayani kamu biar kamu istirahatin aja...” jawabnya.

Ah, paling nanti ujung-ujungnya juga aku capek lagi nyodokin vaginamu, ujarku dalam hati. Namun aku ga membalas dan hanya merem-melek menikmati saja.

Semenit tangannya memompa penisku maju mundur, sebelum dia membuka mulutnya dan mulai menjilati batang penisku, membuatku semakin terpejam merasakan kenikmatan yang semakin menjadi. Penisku kemudian dia hisap, pelan-pelan dia masukkan sampai mulutnya mentok menyentuh biji zakarku. Dapat kurasakan sentuhan bibirnya dan dinding mulut serta lidahnya yang hangat di batang penisku, dengan menggerakkan kepalanya perlahan maju-mundur, dia menghisap kepala penisku dengan kuat tapi gentle.

Secara refleks kupegangi kepalanya, mengikuti gerakan maju mundur, dan kubelai rambutnya dengan sayang. Selama dia memberiku blowjob service itu aku kami ga berbicara sama sekali, aku yang hanya ingin menikmati momen ini terkadang beradu pandang dengannya yang melihat ke atas, menatapku dengan rasa puas seakan bangga bisa membuatku merasakan kenikmatan ini.

Mungkin karena rasa birahiku yang terpendam selama satu minggu, dan juga rencana dengan Vera yang kubatalkan hingga menjadi kentang, aku tak kuasa lama-lama menahan serangan mulutnya terhadap penisku. Sekitar 5 menit diberi blowjob seperti itu, aku mulai merasakan sesuatu akan datang dari pangkal penisku, kepalanya sudah berdenyut-denyut panas sedari tadi. Nat yang mungkin dapat merasakan kepala penisku mengembang dan melihat gelagatku yang semakin kegelian mengerti. Dia mempercepat tempo gerakan maju mundur kepalanya sambil memfokuskan hisapan mulutnya di kepala penisku. Bagian batang penisku yang terbuka kemudian dia kocok pelan di depan mulutnya.

Tanpa aba-aba, aku tiba2 menarik kepalanya dan mendorong penisku lebih dalam ke dalam mulut Nat. Aku mencapai klimaks. Penisku menyemburkan banyak cairan yang dapat kurasakan menyemprot bagian dalam mulut dan tenggorokan Nat, tetap kutahan posisi penisku disana sampai kepala penisku berdenyut-denyut mengeluarkan sisa-sisa cairan terakhir, dan selama itu pula Nat semakin menghisap kepala penisku dengan kuat. Sungguh kenikmatan yang tiada tara.

Saat penisku sudah berhenti mengeluarkan cairan, Nat mengeluarkannya dari mulutnya dan mendongak ke atas, menatapku yang terengah-engah mencapai orgasme. Masih dengan sebuah ekspresi bangga, dia membuka mulutnya sedikit dan memperlihatkan cairan putih kental yang memenuhi mulutnya sambil sedikit tersenyum tipis. Dia kemudian menutup mulutnya lagi sebelum cairannya tumpah dari bibirnya dan akupun menahan rahangnya dengan tanganku serta sedikit meremas pipinya sembari Nat berusaha menelan semua cairannya. Hal ini sebetulnya sebuah kebiasaan setiap aku keluar di mulutnya karena dulu dia pernah bilang dia suka kalo aku seakan memaksanya menelan seperti itu.

Dengan sekali teguk, sepertinya semua cairan spermaku berhasil dia telan. Dia kemudian berdiri dan membuka mulutnya, memperlihatkan isi mulutnya yang telah bersih.

“Wow, lumayan banyak juga hari ini, udah pengen banget yah?” tanyanya tersenyum.

Akupun hanya menjawab, “Iya dong, aku kangen tubuh kamu, udah lumayan lama ga ngerasain hangatnya tubuh kamu, tiba-tiba dikasih gini ya keenakan.”

“Oh, kangen tubuh aku doang nih? Jadi ga kangen aku dong?” tanyanya lagi sambil pura-pura cemberut.

“Ya kangen kamunya udah pasti lah...masa sih engga” jawabku meyakinkan. Kemudian kutarik kepalanya dan kucium pelan bibirnya yang baru saja basah oleh cairan spermaku. “Makasih yah...love you.” Ujarku.

Sejenak sempat terasa lagi sedikit rasa bersalah karena telah hampir mengkhianati kepercayaan Nat selama kami terpisah, tapi kutepis jauh-jauh pikiran itu.

Nat kemudian pergi ke arah dapur sedangkan aku membuka koperku untuk mengambil makanan yang memang telah kubeli tadi di bandara. Aku kemudian mengikuti Nat ke dapur sambil membawa bungkusan makanan itu, tapi sesampainya disana birahiku naik lagi saat melihat paha Nat yang putih mulus di bawah celana pendeknya ketika dia sedang membersihkan muka di wastafel. Rasa laparku hilang lagi dan aku menghampiri Nat, menarik tangannya dan menggiringnya ke kamar tidurnya. Nat ga berontak sama sekali, dan kudorong dia ke kasur dengan pelan. Saat mulai kulucuti pakaianku satu-satu, Nat yang terhempas di kasur, menumpukan kedua sikunya di belakang badannya, menatapku dan bertanya.

“Kenapa…kamu masih pengen…? Emangnya ga capek..?”

Aku tidak menjawab dan hanya menunjuk ke penisku yang sudah tegang berdiri lagi sambil tersenyum iseng. Nat hanya geleng2 kepala sambil tertawa kecil, kemudian dengan cepat membuka dan memelorotkan celana pendek dan celana dalamnya sehingga sekarang tubuh indahnya hanya tertutup oleh sehelai kain tanktop. Dengan posisinya badannya yang bertumpu di sikunya, dia kemudian membuka kedua kakinya lebar2 sehingga degup jantungku seolah terlewat beberapa kali.

Dengan posisi kakinya yang mengangkang lebar seperti itu di depanku, dapat kulihat vaginanya yang ternyata sekarang gundul, ternyata Nat sempat waxing selama aku pergi. Tak cukup sampai sana, Nat bahkan kemudian membuka lubang kewanitaannya dengan kedua jarinya sehingga dapat kulihat bagian dalam di bawah clitorisnya yang sudah basah dan agak kemerahan.

“Come and get it….” Katanya sambil tersenyum nakal, sisi binalnya udah muncul sepenuhnya sekarang.

Tanpa berlama-lama langsung kutimpa tubuhnya dengan tubuhku, tak lupa langsung kubuka tanktop hitamnya yang masih terpakai sehingga kedua tubuh kami yang sama-sama telanjang bersentuhan langsung, tubuhnya yang hangat terasa sangat halus menyentuhku. Dengan cekatan, kuarahkan penisku yang sudah sangat tegang ke lubang vaginanya, dan dengan mantap kudorong sehingga seluruh batangnya terbenam di dalam hangatnya lubang tersebut. Basah dan berdenyut-denyut hangat. Nat melenguh nikmat saat ujung kepala penisku menyentuh rahimnya.

“Aaaaacccchhhh….so gooood…terusin lagi sayaanngggg…” katanya di sela2 desahan dan nafas yang memburu.

Aku ga mau repot2 menjawab, aku hanya ingin menikmati tubuh indahnya yang memang memabukkan ini, perlahan tapi pasti kupompa vaginanya yang sudah sangat basah, maju mundur dengan irama yang konsisten. Nat kemudian melingkarkan kakinya ke badanku dan tangannya memelukku dengan erat, seperti tidak rela melepaskanku. Setiap kuangkat penisku dari vaginanya, aku merasakan rasa geli dan nikmat yang luar biasa di batang penisku, sedangkan bagi Nat titik kenikmatannya kelihatannya saat aku mendorong balik penisku sampai mentok.

Dengan posisinya yang masih memeluk erat tubuhku dengan kedua tangan dan kakinya, aku menyibakkan rambutnya yang udah acak-acakan menutupi telinganya, dan berbisik.

“…kalo kamu sendiri gimana…you miss me, or my dick…?”

“uhhh….both..aku udah nunggu lama pengen penis kamu lagi…” jawabnya terengah.

Aku sebenarnya ga terlalu peduli dengan jawabannya. Mungkin keduanya ada sama-sama benar, hatinya rindu padaku sedangkan tubuhnya rindu penisku. Dan dari reaksinya saat kusetubuhi seperti itu, memang sepertinya kebutuhan biologisnya ga dapat ditutupi.

Semakin lama, desahan dan erangan Nat semakin kencang, sedangkan vaginanya semakin hangat dan basah, cairannya membanjiri kasur di titik dimana kedua kemaluan kami sedang beradu. Mencium suatu gelagat yang aku sudah familiar, aku semakin mempercepat lagi iramaku karena tanpa dia bilang pun aku yakin Nat sudah hampir mencapai klimaks.

Benar saja, tak lama kemudian pelukan Nat menjadi lebih erat dan bahkan dia menancapkan kukunya ke punggungku, sebelum akhirnya seluruh badannya menegang dan Nat melenguh panjang. Kurasakan vaginanya berkontraksi seakan menyedot penisku sebelum akhirnya bergetar beberapa kali, tanda Nat telah mencapai orgasme.

Pelukan tangan dan kaki Nat terlepas dari badanku dan terkulai lemas, sementara penisku masih saja maju mundur mengobrak-abrik isi vaginanya. Kini aku yang sedikit dilema, di satu sisi aku masih ingin melanjutkan dengan berganti gaya lain, sedangkan di sisi lain aku sendiri udah mulai merasakan sebentar lagi akan mencapai klimaks. Akhirnya kuputuskan untuk segera orgasme aja, lagian badanku sendiri udah capek dan belum beristirahat sejak sampai disini. Dengan pertimbangan itu kuubah sedikit posisi kami menjadi posisi yang paling kusukai untuk orgasme, kuangkat kedua kaki Nat dan kutahan sehingga kalau dilihat menyamping, posisinya terlihat seperti jongkok. Dari arah ini, aku semakin leluasa untuk mendorong penisku sampai betul-betul masuk lebih dalam dari sebelumnya.

Nat yang kini hanya terpejam lemah dan mendesah pelan membuka matanya sedikit dan berusaha memberitahuku sesuatu. Sambil terus menggenjot vaginanya kencang, kudekatkan mukaku. Buah dadanya yang bulat sempurna dan kenyal kulihat terantuk maju mundur kencang mengikuti goyangan badannya.

“rrrhhh…sayangg…kamu keluarin di dalem aja yahhh….aku lagi safe day sekarang…” bisiknya lemah, Nat memang selalu paling lemah saat setelah orgasme.

Yess! Ini yang kutunggu-tunggu, saat bisa keluar di dalam, apalagi sekarang ketika ingin melampiaskan semua sisa nafsu setelah seminggu ga ketemu. Ga lama kemudian akupun merasakannya, sebuah dorongan kenikmatan yang semakin kuat yang kurasakan mengalir menuju ujung kepala penisku. Dengan kedua tanganku masih mencengkeram erat kedua pahanya yang kutahan ke atas, kudorong penisku sedalam mungkin, dan kusemburkan seluruh sisa isi buah zakarku, yang ternyata masih lumayan banyak, dalam-dalam ke rahim Nat. Merasakan cairan spermaku yang panas menyiram rahimnya, Nat agak melotot dan ikut melenguh keenakan, sambil kedua tangannya mencengkeram dan menarik-narik sprei kasur.

“aaaahhhhhh….so hottthh…enak banget sayaannggg…” erangnya, desahannya malah lebih keras daripada aku yang orgasme.

Tubuhku ambruk di atasnya, peluhku bercampur dengan peluhnya dan payudaranya yang kenyal sedikit menahan dadaku di atasnya. Tak peduli dengan cairan spermaku yang mulai mengalir menetes ke kasur, dari balik vagina Nat yang masih ditancap penisku yang masih setengah keras, maupun baju2 yang kami lepas sekenanya dan teronggok di lantai dan kasur, atau kasurnya sendiri yang telah kusut dan dilumuri berbagai macam cairan tubuh kami, aku dan Nat hanya berbaring berpelukan, menikmati sisa-sisa persetubuhan kami dan berusaha merasakan lagi kehangatan satu sama lain yang kami rindukan.

Dalam hati, aku menyesal telah hampir mengkhianati Nat dan berencana berbuat macam-macam di belakangnya. Dengan masih mendekap tubuhnya yang hangat, aku berjanji pada diriku sendiri dalam hati, “I’m gonna be a better person that she deserves.”

----

Malam ini aku telah ada janji bertemu dengan Nat. Bukan sekedar kencan biasa, malam ini kami akan menginap bersama di sebuah hotel. Suatu hal yang surprisingly jarang kami lakukan, karena satu dan lain hal. Di antara kesibukan kami berdua yang ga memungkinkan untuk tidur di luar tempat tinggal kami masing-masing, adanya Vi yang tinggal serumah dengan Nat juga salah satu alasan kuat karena Nat masih agak takut kalau dia tahu. Terakhir kali kami menginap di hotel seperti ini adalah ketika anniversary pertama kami, hampir setengah tahun yang lalu.

Terkadang akupun merasa agak ga percaya, sudah hampir satu setengah tahun aku berpacaran dengan Nat, dan dia masih bisa merahasiakan hubungan seks kami dari Vi. Sepolos-polosnya orang, rasanya ga mungkin untuk ga membayangkan bahwa kami berdua, pria dan wanita yang masih muda dan masih dimabuk cinta, ga pernah merasakan tubuh satu sama lain lebih daripada sekedar berpelukan. Mungkin sebetulnya Vi udah curiga, atau bahkan memang tahu, kalau aku selalu ngeseks dengan kakaknya setiap kali ada kesempatan, tapi dia memilih untuk diam aja. Ah, bukan terlalu urusanku.

Itulah yang terlintas di benakku sementara aku bergegas ke flat Nat untuk menjemputnya dan pergi ke hotel bareng. Setelah itu terlintas pula bayangan berbagai macam hal-hal yang akan kami lakukan nanti malam di hotel, membuatku betul-betul tak sabar. Aku sampai di flatnya dan kami pun pergi ke hotel tujuan bersama-sama.

Sesampainya di kamar hotel, tentu saja, hal yang pertama kali kami lakukan adalah seks. Kami masih ga pernah merasa bosan akan hal yang satu ini, walaupun udah ga terhitung lagi berapa kali aku dan Nat sudah berhubungan seks. Setelah itu, kami makan di restoran hotel, dan segera kembali ke kamar lagi. Seks lagi. Membersihkan diri dan beristirahat sejenak, dan seks lagi. Sampai di pagi harinya, setelah seks kami yang keempat kali sejak tiba di hotel ini, Nat tengah duduk di pangkuanku yang sedang duduk di sofa, dalam keadaan masih tak berbusana sama sekali. Sambil kupeluk dia dari belakang, Nat tiba-tiba bertanya.

“hmmm, aku mau ngasih kamu sesuatu deh, kamu mau tau ga?” katanya misterius, tetapi tanpa sedikitpun ekspresi yang dapat kutangkap di suaranya.

Aku agak penasaran dengan yang dia katakan. Apa yang mau dia kasih? Hadiah? Ulang tahunku masih sangat lama. Atau ada something important yang sialnya aku lupa? Pikirku terheran.

“…..emang mau ngasih apa?” tanyaku menyerah.

“yaudah bentar dulu ya.” Katanya sambil bangun dari pangkuanku dan berjalan memakai celana dalam dan T shirt yang tergeletak di lantai.

Dia kemudian berjalan ke arah meja dan mengambil suatu amplop besar dari dalam tasnya.

Perasaanku jadi sedikit ga enak. Ada suatu perasaan ga nyaman yang tiba-tiba merambat naik ke belakang leherku. Firasatku mengatakan ini bukan hal yang baik. Apa jangan-jangan Nat hamil?? Pikirku was-was.

Nat berjalan balik ke arahku, membuka amplop tersebut, dan mengeluarkan beberapa lembar kertas putih yang telah distaples, dan memberikannya kepadaku.

“Nih,” katanya sambil menjulurkan serangkaian kertas tersebut kepadaku, masih tanpa ekspresi yang jelas.

Yang kubaca di kertas paling depan kemudian menyambarku seperti geledek di siang bolong. Tak percaya, kubaca dengan cepat seluruh tulisan yang ada di halaman pertama, kubuka halaman kedua dan kubaca, kulanjutkan ke halaman ketiga, dan kembali lagi ke halaman pertama, aku sangat terkejut.

Kumpulan kertas itu adalah print out dari history chat ku dengan Vera, lengkap dimulai dari hari pertama kali dia menghubungiku, sampai beberapa hari setelah aku tiba kembali di Sydney. Kejadian yang saat ini telah berlalu 4 bulan yang lalu.

Memang, setelah kejadian ghosting terhadap Vera di Jakarta, kami masih sempat melanjutkan komunikasi, dan nyatanya Vera tidak terlalu ambil hati saat aku membatalkan rencana kami sepihak. Dia dapat menyimpulkan bahwa aku udah punya pasangan dan dia menghormati keputusanku itu. Tapi karena masih ga enak, aku sendiri masih melanjutkan hubungan melalui chat selama beberapa hari setelah aku pulang.

Dan kini, semua riwayat percakapan tersebut tercetak dengan jelas di tiga lembar kertas A4 putih yang kupegang dengan gugup. Lebih parahnya lagi, riwayat percakapan tersebut ternyata banyak yang dikomentari oleh Nat, dengan ditulisi pulpen disana. Komentar-komentar seperti “kamu ga pernah ngasitau aku tentang ini” tertulis di sebelah chatku dengan Vera yang membicarakan sesuatu di masa lalu, atau “I wonder what you guys are planning to do, cooking? Must be fun.” di sebelah chat kami yang merencanakan kedatangan Vera ke apartemenku. Atau bahkan “kamu jahat banget sama dia, she may be already missing your dick for god knows how long.” pada chat dimana aku membatalkan sepihak rencanaku dengan Vera.

Aku terkejut dan speechless, tak tau apa yang harus kukatakan terlebih dahulu. Dengan agak takut kutatap Nat, takut akan apa yang akan kulihat di mukanya. Ternyata, mukanya masih hampir tanpa ekspresi sama sekali, tak ada raut marah, kecewa, atau bahkan sedih yang dapat kutangkap. Seakan dia hanya menungguku bereaksi.

Melihatku yang masih saja terdiam, Nat memulai percakapan.

“Kalau kamu pengen tahu, aku dapat chat history kamu ini dari HP kamu, waktu itu aku export dan copy waktu HP aku rusak.” Katanya tenang.

Astaga, aku betul-betul khilaf. Sekitar 3 minggu yang lalu HP milik Nat memang mengalami suatu kerusakan sampai ga bisa dipakai, dan aku membantu dengan meminjamkan HP milikku padanya, karena aku sendiri punya dua HP. Dia sempat punya waktu kurang lebih 24 jam untuk menggeledah Hpku, tapi aku yakin waktu itu semua chat dengan Vera sudah kuhapus. Ah, tapi udah ga ada gunanya memikirkan hal itu sekarang.

“………” aku masih terdiam, belum menemukan respons atau kata-kata yang menurutku tepat untuk dikatakan.

“gapapa, aku ga minta kamu untuk jelasin apa-apa, kayaknya udah cukup jelas dari chat kamu sama dia. Aku juga udah bisa nebak kalian tadinya mau ngapain pas dia mau ke apartemen kamu tapi ga jadi.” Lanjutnya lagi.

“….maaf…” setelah sekian lama berpikir, hanya ini kata terbaik yang dapat kukatakan pada Nat. “aku ga ada maksud apa-apa sama dia…” belum sempat kuteruskan kalimatku, Nat memotong.

“aku udah bilang aku ga minta penjelasan apa2…toh sekarang juga udah kejadian…aku tadinya cuma mau bilang, jujur, aku memang kecewa, aku sedih, sedih banget, aku udah percaya sepenuhnya sama kamu, ternyata kamu malah main di belakang sama mantan kamu. Dan bahkan kamu ga bilang sama sekali sama aku kalo dia ngontak kamu. Aku kecewa sama kamu Ja, kecewa.”

Sekarang mulai terlihat sedikit raut-raut kekecewaan dan sedih di semburat mukanya.

Tak dapat mengelak lagi, aku berusaha jelaskan apa yang aku pikirkan dan rasakan selama hubungan komunikasiku dengan Vera saat itu, dan kuceritakan juga bagaimana aku membatalkan rencana dengannya karena aku teringat Nat. Tak henti-hentinya kuucapkan maaf padanya.

“Ja, kamu harus tau…sekecewa-kecewanya aku sama kamu, sesedih-sedihnya aku sama kamu, sekarang sebenernya aku lebih kecewa lagi sama aku sendiri. Aku kecewa aku masih belum bisa bikin kamu nyaman sepenuhnya sampai kamu masih bisa melirik orang lain. Aku sayang sama kamu, Ja. I still do. But now I’m not sure if you truly love me back.” Katanya lirih sambil menatap ke lantai.

Ah, her mind is so pure that I bet it gotta look like a clear blue sky in there.

“……jangan kayak gitu…it’s not you, it’s me. Semua ini salah aku, tolong maafin aku. Aku udah janji sama sendiri, I’m gonna be a better man, just for you.” Balasku.

Aku meraih tangan Nat dan menggenggamnya. Dia tidak menolak, namun juga tidak menyambut genggamanku. Dia masih terdiam dan tidak menjawab apa-apa.

“….please, jangan putusin aku…aku bener2 nyesel dan minta maaf, I’d do anything to make it right.” Kataku mengiba.

Dari sini, baru kusadari bahwa Nat adalah cewek yang pertama kali, dan satu-satunya, yang membangkitkan sisi bucin ku.

Nat hanya menggeleng perlahan, menunduk. Kulihat ada air mata yang mulai menggenang di ujung kedua matanya.

“I’m not gonna break up with you, Ja. I don’t want to. I don’t know what is happening, what I will do, or how should I feel. But not to cut you off, I love you too much to do that.” Tangisnya sedikit-sedikit mulai keluar sepanjang kalimatnya ini.

It was a fine morning, and I thought that I’ve dodged a bullet. I was oblivious that life has yet to take another turn for me…

CHAPTER 5
 
Terakhir diubah:
sebelumnya makasih banyak untuk semua suhu2 semprot yg udah berkenan baca, kasih like dan komentar...maaf saya mungkin ga bisa baca dan balas komentar suhu2 semua satu2..
semoga cerita ini bisa lancar saya selesaikan, sebetulnya hanya perlu cari waktu untuk menulis sama posting. tapi saya rasa setiap satu chapter yg saya kelarin, beban yg saya rasain pun berkurang satu. jadi saya sendiri emang ingin cepet2 kelarin seluruh ceritanya biar hati cepat plong..

Setelah sekian lama, ketemu juga cerita yang kesannya orisinil. Sederhana, tidak banyak khayalan yang terlalu membumbung tinggi dan menarik untuk diikuti alurnya.

Semoga lancar suhu ceritanya sampai tamat.
makasih banyak hu..

surprisingly iseng mencet judul thread ini karena unik, ternyata hidden gems bgt ceritanya baguss😭 terusin huu jangan sampe macet
makasih banyak hu...sekedar spoiler menurut saya arti dari judul thread ini hanya akan make sense di akhir ceritanya nanti...semoga bisa cepet2 saya kelarin yaa

Kerennn ceritanya suhu, feelnya dapet bangett. Sampai deg2an waktu Nat ngasih amplopnya
hahaha...ane sendiri masih ga bisa lupa gimana waktu itu rasa deg-degan nya...makasih udah baca hu...

Keren banget ceritanya, kerasa real. Dan seperti biasa, cowo emang bodoh :)
makasih hu...yaa saya waktu itu memang masih muda dan sangat bodoh...dan dari sana banyak penyesalan yg bakal lama saya rasain, tp seengganya karena itu bisa saya tuangin jadi tulisan disini hehe
 
CHAPTER 5 – Multitudes
It was a fine morning, and I thought that I’ve dodged a bullet. Well, maybe I did dodge that particular bullet, but unbeknownst to me, there was a whole barrage of bullets waiting right in the corner…

Semenjak Nat mengungkap aku dan Vera pada hari itu, hubunganku dengan Nat memasuki sebuah fase yang aneh dan awkward. Di satu sisi, kami resminya masih dalam suatu hubungan, tapi di sisi lain sudah jarang lagi kurasakan kehangatan Nat yang sebelumnya selalu dia pancarkan setiap kali bertemu atau menghubungiku. Selama satu bulan setelah kejadian itu, kami hanya berkomunikasi seakan hanya sebuah kewajiban, dengan Nat yang masih agak dingin dan cuek, dan aku yang ga terlalu mau memaksa dan mengungkit2 hal ini padanya akan hal itu, karena kupikir lebih baik kuberi dia waktu untuk dapat mencerna semuanya dan betul-betul memaafkanku dari dalam hatinya sendiri.

Nat ga pernah bilang bahwa dia marah atas apa yang telah kulakukan, tetapi dapat kurasakan bahwa dia masih memendam sesuatu di hatinya, walaupun sekarang obrolan kami biasanya ga sepanjang dan sehangat dulu lagi. Satu hal yang masih sangat membekas di benakku adalah bagaimana caranya Nat bisa memendam semuanya dari saat dia mengetahui chatku dengan Vera, sampai dia mengkonfrontirku pada pagi itu di hotel. Berarti ada sekitar 3 minggu dimana dia memendam semua kekecewaan, kesedihan, kemarahan, dan mungkin berbagai perasaan lain sebelum dia meluapkannya padaku, dan selama rentang waktu itu pula aku ga pernah merasa ada yang berbeda dengannya. Entah aku yang ternyata tidak sepeka yang kukira, atau dia yang ternyata bisa memendam perasaan lebih baik daripada yang kukira sebelumnya.

Sedangkan mengenai seks, kami masih tetap berhubungan seks kalau ada kesempatan, walaupun dengan frekuensi yang ga se-intens dulu. Selain itu, kurasakan juga kehangatan yang biasanya kurasakan darinya juga memudar, seolah sekarang kami hanya memakai tubuh satu sama lain hanya untuk menyalurkan biologis, dan tak lebih dari itu. Sudah jarang sekali aku mendengar dia sekedar bilang I love you, dan kalaupun aku yang bilang duluan, biasanya dia ga membalas. Tapi aku sendiri ga mau memaksa dia, seengganya engga untuk sekarang.

Aku yang masih dipenuhi rasa sesal yang tak kunjung hilang selama satu bulan ini terus bilang ke diri sendiri bahwa aku harus memberi dia waktu, bahwa ini semua memang salahku sendiri, dan aku sudah cukup beruntung tidak kehilangan Nat sepenuhnya. Tapi aku yang waktu itu masih muda, bodoh dan berapi-api, ga punya kesabaran yang dalam bak seorang nabi.

Sampai akhirnya datang suatu hari dimana aku dan Nat sedang makan lunch bareng di salah satu restoran di Chinatown. Kami hanya menyantap makanan masing-masing tanpa ada yang mau membuka obrolan, tenggelam di pikiran masing-masing seperti tidak menganggap satu sama lain yang sedang berada di seberang meja. Semua pikiran tentang situasi hubunganku dengan Nat sampai saat itu berkecamuk di pikiranku, membuatku ga merasakan sama sekali makanan yang sedang kukunyah. Sedangkan Nat sendiri kulihat hanya menyantap makanannya sambil asyik dengan ponselnya, dengan ekspresi yang seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami sebulan yang lalu.

Melihatnya seperti itu dan teringat lagi bagaimana dia selalu bersikap seakan tidak ada apa-apa, aku merasa jadi kesal sendiri.

“Nat, so are we ever gonna address the elephant in the room here, or not? Sampai kapan kamu mau kayak gini terus?” tanyaku agak ketus, suatu cara yang kusadari salah untuk membuka percakapan pertama kami waktu itu.

“Hmm, emang kayak gini gimana?” katanya agak acuh, sambil masih melihat sesuatu di ponselnya.

“Ya kayak gini…kamu masih dingin aja abis hampir sebulan ini, aku ga ngerti gimana kamu bisa terus diem aja.” Kataku makin kesal. “kalo kamu masih marah, kecewa, ato apa langsung bilang sama aku, biar kita harus hadapi bareng sama cari closurenya. Kalo kayak gini terus we’re not going anywhere sampe tua.” Lanjutku lagi agak memaksa.

Nat hanya menatapku, seakan ingin menjawab sesuatu, tapi mengurungkan niatnya. Instead, dia hanya bilang.

“Aku engga apa apa kok, mungkin kamunya aja kali yang banyak pikiran…” terdengar Nat berusaha menahan dirinya sendiri saat bilang itu.

“Ga apa apa gimana?! Kamu sekarang tiap hari dingin sama aku, balas chat seperlunya, jarang mau ketemu dan kalau ketemu pun kayak gini, saling diem-dieman. Sedangkan aku liat kamu masih bisa pasang sikap ceria kalo sama temen2 kamu, seakan ga ada apa2. Kamu udah ga ada lagi hangat kayak dulu, ga pernah lagi sekedar bilang selamat pagi atau ngabarin kalo kamu ada apa2.” Ujarku dengan suara yang meninggi, walaupun belum selesai meluapkan semua yang kupikirkan saat itu.

Nat tampak terkesiap melihatku tiba2 seperti itu, apalagi dengan suaraku yang jadi meninggi. Aku masih belum puas.

“It’s not fair! Aku udah bilang berkali-kali aku nyesal dan minta maaf, dan aku bener2 serius nyesel dan minta maaf. Aku udah berusaha selama ini treat you better, tapi kamu sendiri kayak ga mau buka diri dan hati lagi buat aku. I feel like I’m dating a zombie. Aku harus ngapain lagi, kayak gimana lagi sih biar kamu bisa kayak dulu lagi?” lanjutku dengan suara yang masih meninggi dan nada memaksa.

Dia yang selama aku berbicara tampak mulai kesal juga kelihatannya sudah ga bisa menahan emosi. Nat tiba2 sedikit menggebrak meja yang kami gunakan dan menjawab, nada marah yang sedikit masih tertahan terdengar keluar dari balik giginya.

“You think this is fair for me too?! Aku masih ga habis pikir gimana kamu bisa dengan mudahnya balik lagi ke pelukan mantan kamu itu, walau aku udah berusaha sebisanya bikin kamu nyaman sama aku! Selama ini aku terus-terusan mikir, aku masih kurang apa lagi sampe kamu masih bisa berpaling, tapi ujungnya I have to face the fact that you’re just an ungrateful dick!” balasnya dengan suara yang lebih tinggi.

Beberapa orang lain yang makan di restoran yang sama di sekitar kami melihat sekejap ke arah kami, untungnya kami sedang makan di area luar dan suara perdebatanku dan Nat agak sedikit tertutup oleh suara jalanan.

Aku akui yang Nat katakan memang benar, tapi aku masih teguh berpikir bahwa aku sendiri ga sepenuhnya salah, apalagi dari cara dia menghadapi keadaan hubungan kami sekarang yang lebih terlihat lari dari kenyataan daripada menghadapinya bersama-sama. Selain itu, aku juga masih merasa benar karena aku sudah merasa menyesal dari awal dan ga melanjutkan rencanaku dengan Vera, bahkan sebelum ketahuan.

“So, kamu sekarang mau gimana? Kalo kamu emang udah ga tahan lagi, why don’t you just leave?! You don’t even love me anymore.” Aku ga tau kenapa kata-kata terakhir itu bisa meluncur dengan cepat dari mulutku, terdorong oleh emosi yang meluap.

Mendengar itu, Nat hanya menggeleng-geleng perlahan, kulihat dia menahan bibirnya dengan agak bergetar, menunduk sebelum menatapku lagi dan menjawab dengan pelan.

“I…don’t know… tapi, kamu juga ga tahu, ini semua ga sesimpel itu buat aku, Ja…” katanya dengan menahan emosi tangis. “I need time.” Katanya menutup pembicaraan.

Tanpa sempat aku membalas apa2, Nat tiba2 bangun dan mengambil tas kecilnya dan berbalik, beranjak pergi meninggalkanku. Saat dia berjalan sempat kulihat dia mengusap ke arah matanya, mungkin dia udah ga bisa menahan tangis.

Semuanya terjadi terlalu cepat untukku yang masih dilanda berbagai macam pikiran. Aku ga sempat menahan dia pergi atau bahkan memanggilnya. Aku juga ga peduli dengan orang sekitar yang melihat pertengkaran kami, aku masih dilanda emosi dan hanya terdiam melihatnya pergi.

Setelah agak tenang, aku membereskan meja dan barang2 ku tanpa menghabiskan sisa makanan yang masih lumayan banyak, aku udah ga ada nafsu untuk makan sama sekali. Aku kemudian membayar bill dan pulang, semuanya dalam kondisi autopilot, pikiranku saat itu hanyalah ingin tidur dan beristirahat.

----

Kubuka bungkus rokok yang masih tersegel plastik dan kukeluarkan satu batang sebelum kubakar di mulutku. Satu hisap, dua hisap, dan kuletakkan dulu di atas asbak sambil aku membuka bir dingin yang sudah mulai berair itu. Malam itu aku sedang agak gelisah, apa lagi kalau bukan karena Nat. Sudah dua hari sekarang Nat tak mengabariku sama sekali. Aku masih berusaha sabar dan memberinya waktu untuk sendiri setelah kejadian di restoran kemarin lusa, tetapi karena udah hampir mencapai batas, aku niatkan akan menghubunginya duluan besok pagi kalau dia masih belum memberi kabar.

Setelah kejadian di restoran itu dan aku mulai bisa berpikir jernih, aku mulai lagi-lagi menyesal karena terlalu impulsif dan bertanya2 apakah aku udah keterlaluan. Karena itu aku sengaja tidak menghubunginya dan memberinya waktu sendiri, sementara aku sendiri berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan dan hal2 lain, walaupun tetap aku ga bisa berhenti kepikiran dia. Ga apa, pikirku pada diri sendiri, aku yakin dia baik2 aja.

Dan ternyata memang dia baik2 aja, walau mungkin masih sedikit shock dan tertekan karena kejadian itu. Keesokan paginya aku mengirimi Nat pesan dan menanyakan kabarnya, dan juga menelepon Vi siang itu untuk menanyakan kabar Nat. Vi bilang dia masih baik2 aja dan pergi ke kantor pagi itu seperti biasa, jadi hatiku sedikit lega mendengarnya. Vi sendiri tahu ada sesuatu yang sedang terjadi di hubungan kita, tapi nampaknya Nat ga cerita secara detail. Sedangkan aku sendiri enggan bercerita padanya bila Nat memang belum cerita duluan. Vi hanya maklum dan ga berusaha bertanya lebih jauh apa yang terjadi padaku.

Tapi, Nat yang masih hanya membaca pesanku dan belum membalasnya membuatku sedikit kesal dan penasaran, tapi aku masih berusaha menahan diri agar tidak impulsif dan membuat situasi semakin buruk lagi seperti sebelumnya. Aku mulai berniat untuk mencari tahu lebih lanjut tentang keadaannya secara diam-diam.

Secara kebetulan, pada hari Jumat itu kantorku hanya buka setengah hari karena sore harinya management atas sudah memesan construction service untuk memulai renovasi beberapa ruangan, dengan tujuan pada hari Senin sudah siap digunakan lagi. Sore hari itu akhirnya kupakai untuk masuk ke mode “intelijen” dan kepo2 tentang keberadaan Nat dari medsos teman2nya. Berbekal fake account yang udah kumiliki sejak lama, serta kemampuan kepo seadanya, satu persatu medsos teman2 nya yang kuketahui mulai kuperiksa. Masalahnya hanyalah beberapa di antaranya diset secara private dan aku ga punya akses untuk melihatnya. Kebanyakan ga ada yang memposting apapun yang ada kaitannya dengan Nat, sampai aku melihat profil Sarah, salah satu teman kerja Nat.

2906076012a35949e86ca92d8b44a1549a07af9e.jpg

Aku hanya pernah bertemu dua kali dengan Sarah sebelumnya, dan itupun saat bareng2 dengan Nat. Dia adalah seorang native Australian, teman kantor Nat yang taksiranku umurnya ga jauh beda dengan kami. Dari profilnya saat itu, dapat kuketahui bahwa hari itu dia sedang berulang tahun dan nanti malam akan mengadakan sebuah birthday party kecil di sebuah restoran. Aku punya firasat bahwa Nat akan ikut datang ke acara itu, karena pertemanan mereka di dalam dan luar lingkungan kerja cukup erat. Dengan informasi itu, aku mulai mempertimbangkan apakah akan diam-diam pergi ke restoran itu hanya untuk memastikan Nat baik2 aja, atau bagaimana.

Tak lupa, sore itu aku mengirimi Nat satu pesan lagi. Ternyata kali ini dia membalas.

“I’m fine, I just need more time. Tapi nanti malam aku kabari kamu lagi kok.”

Hatiku sedikit senang melihat pesannya. Karena itu juga kuurungkan niat pergi diam-diam ke birthday party Sarah karena jika Nat memang betul2 ikut, aku bisa aja jadi party crasher kalau ketahuan. Aku melanjutkan sore itu dengan aktifitas lain tapi masih dengan kondisi mengharap2 kabar susulan dari Nat.

Sayangnya, sampai jam 9 malam, Nat masih belum mengabari lagi. Kucek sekali lagi di medsos Sarah, pestanya telah berakhir beberapa saat lalu, dia sendiri sudah posting banyak post terima kasih pada teman2nya yang datang. Aku jadi kembali gelisah dan penasaran. Apakah Nat udah pulang? Atau dia masih keluar lagi ke tempat lain?

Sambil bertanya-tanya, aku juga bertanya lagi ke Vi, tapi sayangnya dia belum pulang jadi dia pun ga tahu. Tapi Vi cukup baik untuk menanyakan kabar Nat untukku, dan dia menyampaikan bahwa Nat malam ini mungkin akan pulang lebih larut dari biasanya. Larut malam? Mau kemana dulu dia? Mendapat kabar seperti itu dari Vi justru membuatku semakin gelisah. Kondisi gelisah dalam ketidaktahuan seperti ini betul2 sebuah perasaan yang sangat ga nyaman.

Tapi ternyata, mungkin karena alam semesta yang menghendaki, aku mendapat secercah info baru, lagi-lagi melalui Sarah. Dari medsosnya dapat kulihat bahwa dia dan at least seorang teman lelakinya baru sampai di suatu bar, nampaknya untuk melanjutkan bagian “party” dari birthday partynya yang baru saja selesai. Firasatku makin menggebu2 bahwa Nat ikut kesana. Aku tidak sadar bersiap2 untuk pergi menyusul kesana, walaupun setelah kupikir lagi baik2, aku ga tau untuk apa tujuanku kesana. Aku ga mungkin kesana untuk mengajak Nat ngobrol atau menanyakan kenapa dia ga memberi kabar, karena itu hanya akan memancing keributan baru. Tapi aku tetap berangkat pergi kesana dengan pikiran, setidaknya dapat melihat Nat baik2 aja harusnya akan bikin aku sedikit tenang. Saat berpikir seperti itu, baru kusadari sesuatu yang mungkin menjadi alasan sebenarnya kenapa aku sangat gelisah hari itu: aku kangen sama Nat.

----

Jam tanganku menunjukkan pukul 10.28 saat aku turun dari Uber ke pelataran complex dimana bar itu berada. Dari kejauhan kulihat bar itu udah mulai ramai dengan beberapa kelompok orang mulai masuk dari luar. Akupun bergegas menuju kesana. Setelah dapat masuk, aku duduk di salah satu stool di bagian bar, kupesan dulu satu pint ke bartender sebelum kubuka ponselku. Malam itu suasana bar udah cukup ramai dengan kerumunan orang, mungkin karena malam Sabtu. Secara sekilas kulihat ke sekelilingku, ga ada nampak tanda-tanda Nat, Sarah, ataupun orang lain yang kulihat di postingan Sarah sebelumnya. Aku cek lagi medsosnya dan masih belum ada post baru, yang bisa saja menandakan mereka masih belum beranjak pindah tempat.

Setelah bir yang kupesan datang, aku mulai mengalihkan perhatianku ke bagian dalam bar, dimana banyak meja dan sofa bundar berjejer, yang bisa ditempati oleh beberapa orang. Hampir semuanya udah penuh oleh grup 4-5 orang, hanya ada dua meja yang masih kosong di jejeran yang paling dekat denganku duduk. Di bar itu sendiri ada sebuah dance floor / stage kecil, yang terletak di ujung jejeran meja bundar, tapi saat itu masih belum ada musik atau entertainer yang dimulai. Setelah beberapa kali memindai daerah jejeran meja2 tadi, barulah aku bisa melihat tempat dimana Nat dan Sarah memang sedang berada.

Dari balik kerumunan orang yang berlalu lalang di antara tempatku duduk dengan mereka, dapat kulihat Nat dan Sarah yang duduk menghadap arah stage, membelakangiku, beserta dua orang lelaki dan satu orang wanita lain yang ga kukenal. Ketiga orang yang ga kukenal itu duduk menghadap ke arah bar dimana aku duduk. Sempat terpikir apakah aku mending pindah tempat ke balik meja bar agar aku ga mudah terlihat, tapi karena stool lain yang udah terisi penuh aku mengurungkan niatku.

Dengan sesekali membuka dan memainkan ponselku agar tak terlalu kelihatan mencurigakan, aku mencuri-curi pandang ke arah mereka. Ah ternyata benar, Nat memang ikut kesini, pikirku. Ternyata usaha surveillance ku berhasil, mungkin aku harus coba apply ke FBI atau CIA, pikirku lagi agak terdistract. Tak lama kemudian saat jam sudah menunjukkan lebih dari pukul 11, kulihat ada beberapa orang naik ke stage dan mulai memainkan instrumen yang ada disana. Ternyata mereka band penghibur untuk malam ini.

Saat Nat beberapa kali berpindah posisi dan bergeser kiri-kanan, kulihat dia sepertinya masih memakai suatu dress pendek selutut, dengan atasnya hanya menutupi sampai lengannya, sehingga aku yakin cleavage nya terbuka cukup jelas, bisa saja sampai ke belahan dadanya. Kulihat pula Sarah masih mengenakan semacam dress juga, jadi bisa kusimpulkan Nat ga berganti pakaian dulu sebelum pergi kesini. Sempat terlintas sedikit rasa cemburu di pikiranku saat melihat Nat mengenakan pakaian seksi seperti itu ke tempat ini, apalagi bersama2 dengan dua orang lelaki yang ga aku kenal.

Tapi kucoba jauhkan pikiran itu, karena aku mengingat tujuan utamaku kesini. Udah dapat melihat Nat secara langsung aja aku harusnya udah bersyukur, berarti dia emang baik2 aja. Sekitar setengah jam berlalu, kulihat mereka kelihatannya masih asyik berbincang, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Aku jadi penasaran, apakah Nat menceritakan tentang kami ke Sarah atau tidak. Aku kemudian dengan akun utamaku mengirim pesan ke medsos Sarah:

“Hi Sarah, you with Nat rn? I’m trying to reach her but she didn’t respond, need to talk to her.” Kirimku tanpa basa-basi.

Kulihat dari kejauhan, beberapa saat kemudian Sarah mengetik sesuatu di ponselnya. Dia membalas pesanku:

“Give her some space. You did this yourself, asshole.” Balasnya singkat dan kasar.

Buset, kasar banget. Tapi ternyata memang benar Nat sudah menceritakan apa yang terjadi padanya, jadi kubiarkan saja tanpa kubalas.

Saat udah hampir midnight, bar semakin ramai dan ga ada tanda2 keramaian akan segera bubar. Seperti seorang stalker yang sedang menguntit mangsanya untuk dijadikan tambahan di koleksi tengkorak, aku berniat tetap disana sampai Nat beranjak pulang. Kulihat dari gerak-gerik mereka, aku yakin mereka sudah lumayan mabuk, apalagi dengan botol-botol bir, whiskey dan vodka yang sudah beberapa kali diantarkan ke meja mereka. Aku sendiri saat itu udah habis 3 pint dan 2 shot, tengah menunggu shot ketigaku diantar.

Aku jadi agak khawatir bayangin bagaimana nanti Nat pulang kalau dalam keadaan mabuk. Apakah Sarah akan mengantarnya pulang? Atau bagaimana? Apakah aku mending menunjukkan diri nanti hanya untuk mengantarnya pulang?

Tak sampai 20 menit kemudian, ternyata Sarah dan salah satu lelaki disana berdiri dan beranjak pergi, ke arah koridor WC. Sekarang hanya tinggal Nat dan seorang lelaki dan satu cewek lain yang masih berada di meja, sedangkan Nat sendiri dari gerak geriknya kulihat entah sudah sangat mabuk atau ngantuk, begitupun kedua orang lain itu. Kuperhatikan mereka selama beberapa menit, apakah harus kuhampiri Nat dan kuajak dia pulang sekarang aja? Tapi bayangan akan Nat yang mungkin akan lebih marah dan bahkan mungkin makin menutup diri setelah itu membuatku menahan kakiku di tempat. Aku hanya terus memperhatikan mereka sambil meminum sisa minuman yang masih ada di depanku.

Sebelum aku dapat mengambil keputusan, kulihat Nat berbicara sesuatu pada lelaki yang duduk di depannya, kemudian lelaki itu berdiri dan menuntun Nat berdiri, dan setengah menuntunnya pergi ke koridor yang sama. Saat mereka berjalan dapat kupastikan Nat memang telah mabuk, terlihat dari mukanya yang merah dan matanya setengah terpejam, serta gerakan berjalannya yang lunglai dan sempoyongan. Sambil terus dipapah oleh lelaki itu, Nat terus berjalan sampai akhirnya hilang dari pandangan karena koridor tersebut terhalang oleh layout dinding bar yang berbelok dari arahku.

29060761477a2c6985f0f9b6f144f2f28e181762.jpg

Aku sudah ga peduli sama satu-satunya teman Nat yang masih duduk di sofa tadi. Pikiranku sekarang hanya tertuju Nat yang menghilang. Aku berdiri dan berjalan pelan2 ke arah koridor tadi, melewati beberapa kerumunan orang yang masih lumayan memenuhi area bar itu. Di koridor itu terdapat empat pintu, yaitu dua toilet dan dua pintu lain di ujung koridor yang saling berhadapan, salah satunya bertuliskan STAFF ONLY. Ternyata toilet di bar itu terpisah untuk pria dan wanita, masing-masing satu ruangan, suatu hal yang seingatku agak jarang untuk bar sekelas itu di sekitar Sydney. Kulihat toilet wanita terbuka kosong sedangkan toilet pria tertutup. Tidak ada orang lain di koridor itu. Perasaanku mulai agak ga enak.

Berdiri di ujung luar koridor, aku dengan harap-harap cemas menunggu dan melihat ke arah toilet pria yang tertutup. Semenit kemudian, pintu terbuka dan seorang lelaki lain, yang bukan salah satu teman2 Nat yang tadi, keluar. Aku sedikit menghembuskan nafas lega tapi kemudian dipenuhi oleh pertanyaan lain – kemana sebenarnya Nat pergi tadi?

Aku berjalan ke arah ujung dalam koridor dan melewati kedua pintu toilet yang terbuka. Pintu bertuliskan STAFF ONLY dan satu pintu di seberangnya sama2 tertutup rapat, tapi firasatku dengan kuat merasakan bahwa Nat ada di balik salah satu pintu tersebut. Setelah sedikit celingak-celinguk ke arah bar dan memastikan ga ada orang datang, perlahan coba kudorong pintu ruangan staff, namun ternyata terkunci. Kucoba dorong pintu yang seberangnya, terkunci juga. Aku yakin terkunci karena kedua pintu mempunyai handle bar, bukan knob, jadi apabila tak terkunci logikanya bisa langsung didorong. Aku bingung. Tak habis akal, kucoba mendengarkan ke balik kedua pintu. Kutempelkan telingaku ke pintu ruangan staff, tapi tak terdengar apa-apa.

Tiba-tiba ada pengunjung bar lain yang memasuki koridor menuju ke arah toilet. Aku agak gelagapan tapi berusaha bersikap normal dan membuka ponselku seakan sedang menunggu seseorang. Kutunggu dia sampai keluar lagi dari toilet, dan setelahnya aku menempelkan telingaku di pintu yang satu lagi. Terdengar suara obrolan pelan dari dalam. Ah, apa Nat di dalam sini? Sedang apa mereka? Hatiku malah semakin gelisah saat aku menemukan tanda2 Nat yang daritadi kucari.

Aku memutar otak mencari cara bagaimana bisa mengetahui apa yang terjadi di dalam. Sebetulnya bisa saja aku ketuk pintu tersebut langsung, tapi aku ga bisa memikirkan langkah selanjutnya yang tepat bila pintu tersebut betul2 dibuka dan aku memang bertemu dengan Nat. Selain itu, aku merasakan ingin mengetahui apa yang terjadi tanpa diketahui oleh siapapun. Dengan tekad seperti itu, aku coba lagi mengingat2 bentuk bangunan bar ini dari luar yang tadi kulihat saat sebelum masuk. Sebuah ide datang ke kepalaku, namun aku harus keluar dulu untuk tahu apakah bisa berhasil atau tidak.

Kemudian akupun keluar dari bangunan bar, ke pelataran parking di depannya, dan melihat ke samping bangunan. Ya, ternyata seperti yang ku ingat, ada sebuah celah sangat sempit di antara bangunan bar dan bangunan di sampingnya, seperti sebuah gang yang sangat kecil. Setelah kuperhatikan gerak-gerik bouncer yang masih berdiri di depan pintu bar dan memastikan dia tidak melihat, aku menyelinap masuk ke celah di antara dua gedung itu, lebarnya mungkin hanya sekitar 1 meter, aku harus memiringkan diri agar bisa masuk. Tidak ada sumber cahaya sama sekali di gang itu, dan jalurku terhambat oleh beberapa barang rongsokan yang kelihatannya diletakkan oleh pemilik bar disana.

Kalau dugaanku tepat, harusnya salah satu area di balik dinding ini adalah ruangan yang tadi aku coba menguping.

Hampir di ujung gang sempit itu, kulihat ada secercah cahaya kecil keluar dari dinding bar, ternyata ada lubang disana, tapi agak atas dan tak dapat kuraih. Setelah kuhitung-hitung lagi dimensi spatial di antara semua ruangan di koridor dalam tadi, aku betul2 yakin bahwa lubang di atas kepalaku ini harusnya menyambung ke ruangan dimana Nat berada. Mudah saja, karena ada banyak barang rongsokan di gang sempit saat aku masuk tadi, kuambil saja sebuah kursi rusak yang sudah tanpa sandaran dan kuletakkan di bawah lubang itu. Harusnya tingginya pas, pikirku. Akupun naik ke atas kursi itu dan mencoba mengintip ke dalam lubang.

Sepertinya lubang tempatku mengintip adalah sebuah bekas jalur untuk selang AC, dilihat dari lubangnya yang bulat kasar dan tidak dirapikan dalamnya. Ukuran diameternya mungkin sekitar 3.5 cm, lebih dari cukup untukku menempelkan satu mata dan melihat ke dalamnya. Tapi, dari balik lubang tersebut ada yang menutupi, mungkin lemari atau lukisan gantung, yang menghalangi setengah dari lubang tersebut. Aku yang masih harus sedikit berjinjit untuk dapat mengintip kesana agak kesusahan untuk dapat berfokus ke view yang tak tertutupi oleh objek di balik dinding, dan lampu ruangan di dalam yang kuning remang-remang pun tak membantu sama sekali. Tapi akhirnya aku dapat memfokuskan pandanganku ke dalam ruangan dan apa yang kulihat selanjutnya hampir memberiku serangan jantung mendadak.

Aku tak salah, Nat memang berada di dalam ruangan tersebut. Ternyata ruangan tersebut adalah semacam gudang, terlihat dari banyaknya berbagai macam barang dan perabotan yang diletakkan begitu saja di dalamnya, serta banyaknya kardus minuman keras yang ditumpuk disana. Mataku melotot melihat apa yang ada di depan kardus bertumpuk tadi, agak jauh dari lubang tempatku mengintip.

Nat sedang duduk di sebuah sofa usang yang kelihatannya bisa dibuka menjadi sebuah kasur lipat, diapit oleh dua orang lelaki. Salah satunya adalah lelaki kulit putih yang tadi kulihat bersamanya, sedangkan satu lagi adalah seorang kulit hitam yang sama sekali ga kulihat dari tadi. Yang paling parah, bibir Nat tengah dilumat dengan ganas oleh si kulit hitam, tangannya kanannya ditahan oleh tangan si kulit hitam. Dress biru nya yang ternyata memang hanya menutupi sampai atas dada telah diturunkan sebelah sampai memperlihatkan buah dadanya yang bulat dan kenyal, yang saat ini tengah dihisap dengan tak kalah ganas oleh si kulit putih di sebelahnya. Selain itu, bagian bawah dress nya pun telah diangkat sedikit sehingga tangan si kulit hitam dapat dengan leluasa meraih ke selangkangan Nat yang telah terkangkang, aku yakin jarinya tengah memainkan clitoris Nat dengan cepat.

What the fuck.

Apa-apaan ini.

Berbagai macam kata umpatan dari berbagai bahasa tiba-tiba timbul di benakku. Aku masih berusaha mencerna apa yang tengah kulihat dari lubang kecil itu, masih ga bisa percaya dengan mataku sendiri.

Karena jarak mereka yang cukup jauh dari lubang intip, aku ga bisa terlalu mendengar suara apa-apa, tapi dapat kulihat Nat mengerang dan mendesah dari balik mulutnya yang masih dilumat oleh si kulit hitam kekar.

What the fuck.

Aku masih terpana menyaksikan Nat terduduk disana, kedua tangannya ditahan oleh dua lelaki berbeda, sementara tubuhnya tengah dijamah dan digerayangi tanpa ampun. Nat yang udah keliatan sangat kegelian terlihat seperti berusaha memberontak, tapi tanpa tenaga sehingga kedua lelaki itu dapat melanjutkan aksi mereka dengan leluasa.

Holy fuck.

Ini ga mungkin terjadi, pikirku masih berusaha menolak kenyataan. Satu sisi ingin aku turun dan masuk mendobrak ke pintu ruangan dimana mereka berada, tapi sebagian diriku malah berusaha menahan badanku agar tetap diam di tempat, dan terus mengintip dengan diam-diam.

Anjing.

Beberapa menit berlalu, beberapa menit terlama yang pernah kurasakan di hidupku saat itu, tapi mereka masih tidak menunjukkan tanda2 akan berhenti. Dan yang lebih parah lagi, kulihat Nat sedikit demi sedikit mulai terbawa birahi dan menyambut rangsangan mereka. Dia mulai menggerakkan kepala dan bibirnya menyambut ciuman bertubi-tubi si kulit hitam sedangkan tangan kirinya yang tadi tertahan sekarang malah memegangi kepala si kulit putih yang masih terus-terusan menghisap dan memainkan payudaranya dengan kasar.

Ga lama, kulihat tubuh bagian bawah Nat mulai bergetar dan kaki jenjangnya yang memakai high heels mengejang. Aku yang udah familiar dengan tubuhnya sadar bahwa Nat sudah hampir, atau baru saja, mengalami orgasme.

God. Nat baru saja orgasme oleh orang lain – dua lelaki, bahkan, yang bukan diriku.

Segala macam pikiran dan perasaan berkecamuk dalam diriku. Ditambah dengan pengaruh alkohol yang masih tersisa, aku udah ga sepenuhnya sadar sedang apa sebenarnya aku disana. Aku hanya dapat terus terdiam, berjinjit di sebuah gang gelap dan sempit, mengintip pacarku yang sangat kusayangi tengah dilecehkan oleh dua orang yang tak kukenal.

Tak lama setelah Nat mengalami orgasme pertamanya, kelihatannya si kulit hitam udah mulai bosan menghajar bibir Nat yang mungil indah dan pasti bau alkohol. Mereka sekarang berganti posisi – kedua lelaki itu berdiri di depan Nat dan sama-sama membuka celana mereka sampai terlepas.

Oh my fucking god. Apa lagi sekarang.

Dengan celananya yang sudah terlepas, penis kedua orang itu sekarang terpampang jelas di depan Nat yang masih menunduk lemah dari pengaruh alkohol dan orgasme. Kedua penis itu sama-sama sudah tegang dan berdiri tegak memancung, penis si kulit hitam sangat besar, kutaksir hampir sebesar kaleng Rexona spray, dapat kulihat walaupun dari jauh urat-urat yang menyembul dari balik kulit batangnya yang hitam legam. Sedangkan penis si kulit putih pun tak kalah mengesankan, walaupun tak sebesar yang satu lagi, namun menurutku masih berukuran di atas rata-rata, apalagi kalau hanya dibandingkan dengan penisku yang hanya rata-rata ukuran orang Indonesia.

Seakan tak sabar, si kulit hitam mengangkat dagu Nat sehingga dia mendongak ke atas, dan memaksakan penisnya yang besar itu masuk ke bibirnya yang mungil. Nat agak tersedak menerima penis sebesar itu, dan jelas2 penis itu ga bisa masuk sepenuhnya ke dalam mulut Nat, hanya sampai sekitar 80% batangnya saja. Sementara itu, si kulit putih pun meraih tangan Nat yang terkulai lemas dan memaksanya mengocok batang penisnya yang juga udah keras.

Nat terduduk disana, memberi deep throat dan handjob ke dua orang asing, sedangkan aku hanya terdiam pengecut melihat aksi mereka diam-diam.

Beberapa menit dalam posisi seperti itu, Nat mulai berinisiatif memberikan variasi dalam servicenya pada kedua orang itu. Dia mulai bergantian mengocok dan memblowjob kedua penis tersebut secara bergantian, dengan sangat lahap. Aku semakin terbakar api cemburu melihat matanya yang terpejam dan sangat menikmati rasa kedua penis yang bukan milikku itu dan melayani mereka dengan mulut dan tangannya dengan sangat lahap.

Sempat ada jeda beberapa kali saat Nat terlihat berkata sesuatu, di sela-sela kesibukan mulutnya melumat habis penis kedua orang itu. Sayangnya dari jarak sejauh itu aku ga bisa mendengar apapun yang mereka katakan. Nat yang kini terlihat udah mulai agak sadar dari pengaruh alkohol – matanya mulai terbuka lebih lebar – terus melayani kedua lelaki bejat itu sepertinya atas keinginannya sendiri sekarang. Rambutnya yang tadi masih tertata rapi sekarang udah sedikit acak-acakan karena terus-terusan dipegangi dan dielus oleh kedua orang itu secara bergantian.

Bozhe moi. Aku sampai sekarang masih ga bisa percaya apa yang tengah kulihat.

Satu menit, sepuluh menit, satu jam, atau mungkin satu hari, aku udah ga sadar lagi berapa lama waktu telah berlalu. Yang kutahu selanjutnya hanyalah si kulit putih yang tengah mendapat giliran blowjob dari mulut Nat tiba2 menarik penisnya keluar dan Nat langsung mengocoknya kencang, sambil membuka mulutnya lebar-lebar di depannya. Cairan sperma yang banyak tersembur dari penisnya ke muka Nat, dan banyak juga yang masuk ke dalam mulutnya.

Sambil terus mengocok-ngocok penis si kulit putih yang masih berdetak-detak habis orgasme, Nat mengalihkan bibirnya, tanpa membersihkan bibir dan mukanya sama yang masih kotor terlumuri sperma, ke penis si kulit hitam dan kembali melumatnya dengan ganas. Kepalanya terlihat maju mundur menghisap penis hitam legam itu, walaupun masih ga bisa memasukkan seluruh batangnya ke dalam.

Si kulit hitam pun sekarang mencapai batasnya. Sama seperti si kulit putih sebelumnya, dia menarik penisnya keluar, dan dengan dibantu gerakan maju mundur tangan Nat yang kencang, menyemburkan spermanya yang lebih banyak ke muka Nat, sampai tercecer banyak ke leher, dada, bahkan rambutnya.

God, please, stop.

Sekarang mereka berhenti sejenak, namun ternyata penderitaanku masih belum berakhir. Si kulit putih terlihat mengambil sebotol whiskey dari area yang tertutup dari lubangku mengintip, dan meminumnya beberapa teguk sebelum memberikannya kepada Nat. Nat menerima botol tersebut, dan dengan satu gerakan mantap, meminumnya lebih banyak daripada si kulit putih. Nat terlihat berkumur-kumur dulu sebelum melanjutkan meminum whiskey itu sampai tinggal sisa setengah botol.

Damn, girl, never saw you chug a bottle like that before.

Si kulit hitam sedikit berjalan ke belakang Nat dan mengutak-atik sesuatu di bawah sofa dimana Nat duduk, dan menurunkan sandarannya sehingga sekarang sofa tersebut menjadi sebuah kasur.

Oh, no. Please don’t.

Si kulit hitam membuka bajunya sampai telanjang bulat. Badan besarnya ternyata sangat kekar dan hitam legam, dengan tato yang memenuhi lengan kirinya yang sangat berotot. Tanpa aba-aba, dia kemudian membalik badan Nat sehingga dia sedikit menungging di kasur usang itu. Si kulit hitam kemudian memasukkan penisnya yang masih sangat keras ke vagina Nat yang sudah basah.

Posisi mereka menyamping, kalau relatif dengan arah pandanganku dari lubang, sehingga dapat kulihat dari samping bahwa vagina Nat yang selama ini masih lumayan sempit bahkan untuk penisku, terlihat kepayahan dan tersedak menerima sodokan penis si kulit hitam yang sangat besar. Bibir vaginanya terlihat sedikit tertarik keluar setiap kali si kulit hitam menarik penisnya sebelum mendorongnya ke dalam kembali. Dorongan penisnya pun tak kalah hebat, dengan sekali dorong dia selalu berhasil memasukkan seluruh batangnya sampai hilang tak terlihat, sampai zakarnya yang menggantung bisa menyentuh bibir vagina Nat. Dengan gerakan seperti ini dan ukurannya yang besar, aku hanya bisa membayangkan kenikmatan setinggi apa yang Nat tengah rasakan saat ini.

Tapi tak perlu kubayangkan susah-susah, akupun dapat melihatnya di ekspresi Nat yang sangat, sangat liar dan keenakan. Mulutnya terlihat meracau dan berteriak-teriak, sesuatu yang tak pernah kulihat selama berhubungan seks dengannya selama ini. Dengan posisinya yang tengah digenjot dari belakang seperti seekor anjing, rambut Nat ditarik dan dijambak kasar oleh si kulit hitam.

Nampaknya itu belum semuanya. Si kulit putih yang sedari tadi masih bersantai sambil menonton dan sedikit-sedikit menghabiskan sisa whiskey, sekarang beralih ke seberang kasur dan berdiri di depan kepala Nat yang terantuk-antuk mengikuti sodokan dari belakangnya. Nat terlihat tanpa disuruh apa-apa langsung meraih penis si kulit putih dan memberinya layanan blowjob sekali lagi.

Nat sekarang tengah bertumpu di kedua kaki dan satu tangannya, vaginanya dipompa dengan kencang dari belakang oleh penis besar seorang kulit hitam yang kekar sedangkan mulutnya tengah melumat habis penis orang lain yang tak kalah besar pula, dressnya yang masih menempel sekenanya tak dapat menahan kedua payudaranya yang menggantung dan bergoyang maju-mundur mengikuti gerakan badannya.

Aku yang masih terbakar cemburu sebetulnya sudah merasakan penisku sendiri mengeras sedari tadi melihat Nat yang kucintai tengah dihajar oleh dua orang asing, tapi aku masih berusaha tak menghiraukan penisku sendiri karena masih adanya rasa malu yang kurasakan bersamaan dengan itu.

Lagi-lagi, aku tak bisa menghitung dengan jelas berapa jam waktu telah berlalu selama aku disuguhi pemandangan hebat itu. Rasanya seakan aku telah berdiri, berjinjit disana selama berhari-hari.

Nat mencapai orgasmenya yang kedua dalam posisi yang masih sama. Tubuhnya bergetar hebat dan refleks berteriak, mengeluarkan penis si kulit putih dari mulutnya sejenak. Kulihat sedikit cairan yang menyembur ke bawah dari vaginanya. What the fuck, dia ga pernah squirting sebelumnya denganku. Bahkan setelah Nat tampak sangat lemas setelah orgasmenya yang kedua, kedua lelaki itu ga memberinya waktu istirahat sama sekali. Si kulit hitam semakin mempercepat tempo gerakannya beberapa saat sebelum dia mencengkeram pinggang Nat yang ramping kuat2 dan membenamkan penisnya lebih dalam. Dari ekspresinya, aku yakin dia baru saja keluar di dalam rahim Nat.

Fuck.

Mereka sekarang berganti posisi lagi, kini Nat dibaringkan mengangkang dan si kulit putih bergantian memasukkan penisnya ke dalam vagina Nat yang aku yakin telah basah dipenuhi sperma si kulit hitam. Dengan posisi yang juga sering kulakuka dengan Nat, si kulit putih mengangkat dan menahan paha mulus Nat sehingga dia dari samping terlihat seperti berjongkok terbalik, sementara penis si kulit putih masih terus-terusan menghajar vaginanya kencang. I can’t really perceive what is happening clearly anymore, as they keep on fucking, on and on.

Si kulit putih akhirnya berhenti dan mengeluarkan penisnya, menyemburkan spermanya yang ga sebanyak tadi di perut Nat yang putih dan rata, juga menggenangi pusarnya yang terpasang piercing kecil.

Keduanya kini udah selesai orgasme dua kali, please, stop. Pintaku dalam hati.

Namun alam semesta masih belum selesai dengan penderitaanku.

Si kulit hitam yang selama permainan Nat dengan si kulit putih ternyata hanya duduk santai di salah satu stool bekas, tiba2 bangun ke arah pintu dorong di ujung ruangan itu. Pintu yang tadi kucoba menguping dari baliknya. Dia kemudian membuka kuncinya dan menarik pintu itu ke dalam. Ada dua orang lelaki lain lagi yang masuk.

Oh….fuck….please, is this fucking serious?!

Aku sadar apa yang akan terjadi. Malam itu Nat effectively telah menjadi budak seks yang mungkin secara sukarela melayani nafsu bejat para lelaki asing tersebut, entah apapun alasannya.

Hal berikutnya yang kulihat adalah kedua orang yang baru masuk tersebut tiba2 sudah telanjang bulat. Mereka sudah bersiap untuk menikmati tubuh Nat. Sedangkan, Nat sendiri yang dari tadi hanya terbaring lemah kelihatannya juga sadar akan apa yang akan terjadi selanjutnya, dan hanya pasrah sementara kedua orang baru itu mendatangi kasur tempatnya terbaring.

Kedua lelaki yang baru masuk itu berkulit putih, yang satu berambut hitam sedangkan yang satu lagi pirang. Tapi keduanya menurutku sangat kurus untuk ukuran orang bule, bisa dibayangkan seperti Shaggy dari kartun Scooby Doo, berbeda jauh dengan perawakan si kulit hitam yang besar dan kekar, atau si kulit putih satunya lagi yang lumayan berisi walaupun ga kekar. Kalau dilihat sekilas, kedua orang baru itu bisa saja terlihat seperti drug addict.

Si rambut hitam mulai membangunkan Nat dan melucuti dress yang masih menempel malas di badannya, sedangkan si pirang berbaring di depan Nat. Tanpa harus ditarik, Nat duduk di atas si pirang dan memasukkan penis si pirang yang berdiri tegak ke dalam vaginanya dalam sekali gerakan. Dengan bertumpu di dada si pirang dengan kedua tangannya, Nat memiringkan sedikit badannya ke depan, dan berjongkok sehingga kakinya yang masih memakai high heels sekarang berada di samping kiri-kanan si pirang, menahan badannya yang naik turun di atas penis si pirang, seperti posisi sedang naik kuda.

Mungkin masih belum puas dengan jumlah penis yang dia layani, Nat kemudian meraih penis si kulit putih tadi yang berdiri di samping kirinya dan mulai mengocoknya, serta meraih penis si rambut hitam yang berdiri di sebelah kanannya dan memberinya blowjob dengan mulutnya yang sudah ternodai banyak penis malam itu.

Yang paling mengejutkanku, selanjutnya si kulit hitam ga mau ketinggalan. Dia memaksa mendorong badan Nat ke depan sehingga berdempetan dengan badan si pirang dan kakinya terlipat di samping, dan mulai mengelus-elus dan memainkan jarinya di lubang pantat Nat. What the flying fuck. Nat yang masih terus digenjot dari bawah oleh penis si pirang kulihat sudah melepaskan penis dari mulutnya dan mengeluarkan sebuah ekspresi keenakan yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Juga kulihat, masih sempat-sempatnya si kulit putih yang penisnya masih dipegangi oleh Nat, mencecoki mulut Nat dengan botol minuman lagi. Nat sendiri tidak melawan dan hanya menengguk cairan yang membuatnya semakin hilang kendali itu, dengan sedikit tersedak.

Belum habis rasa kagetku melihat si kulit hitam memainkan anus Nat, tiba-tiba dia menempelkan penisnya yang sudah kembali tegak sempurna ke lubang anus Nat. Kulihat penisnya basah seperti sudah dilumuri pelumas, namun tetap saja, aku yakin penis sebesar will be too much untuk pantat Nat yang masih perawan.

No, no, please no. What the actual fucking fuck.

Benar saja, si kulit hitam sedikit demi sedikit memasukkan penisnya yang basah ke lubang pantat Nat, sementara di bawahnya, vagina Nat masih dicecoki oleh penis si pirang. Kulihat Nat meringis kesakitan dan sedikit berteriak lagi. What. The. Fuck.

Aku hanya terdiam menyaksikan dari lubang kecil itu, bagaimana wanita yang kusayangi dan kucintai, Natasha-ku yang bahkan sampai tadi siang masih kukejar, saat ini tengah digarap bersamaan oleh 4 lelaki yang ga kukenal sama sekali, secara bersamaan di mulut, vagina, payudara, dan pantatnya. Tubuh indah Nat yang mungkin sampai kemarin masih merupakan privilege-ku, saat ini telah ternoda bagaikan seorang pelacur yang bahkan mau hanya dibayar oleh minuman demi kenikmatan duniawi.

Aku hanya tertegun, sambil terus menyaksikan bagaimana keempat orang itu terus bergantian menikmati tubuh seksi pacarku dalam berbagai macam posisi yang berbeda. Tanpa ada sedikitpun dorongan dan tenaga dalam tubuhku untuk menghentikan aksi bejat mereka. Satu-persatu mereka orgasme, lagi dan lagi, menyemburkan cairan hina mereka di hampir setiap jengkal tubuh Nat: muka, rambut, mulut, perut, vagina, anus, tidak ada sedikitpun bagian tubuhnya sekarang yang masih belum ternoda. Dan selama itu pula, Nat berkali-kali mencapai orgasme lagi dan lagi, jauh lebih sering daripada yang bisa dia dapatkan dari sekali bercinta denganku.

Aku udah betul-betul ga sadar lagi dengan dunia di sekelilingku. Semua pikiran berkecamuk di benakku sebelum akhirnya semuanya berputar-putar membentuk satu pertanyaan paling penting, yang merupakan inti dari semua yang kurasakan saat itu: WHY? Kenapa? Kenapa malah terjadi seperti ini? Kenapa ujungnya bisa begini? Kenapa Nat mau-mau saja tubuhnya dipakai jadi cum dumpster seperti itu? Kenapa aku ga berusaha menghentikan mereka? Kenapa? Kenapa?

Sisi lain pikiranku yang masih berusaha berjalan logis berusaha memberikanku jawaban-jawaban untuk sekedar menutupi pertanyaan-pertanyaanku. Teringat bagaimana aku masih belum tahu bagaimana ceritanya dan kenapa Nat mempunyai tato dan piercing di badannya. Aku teringat lagi pada hari itu bagaimana Nat bisa memendam perasaan dan ekspresi selama hampir 3 minggu saat dia tahu aku berhubungan dengan Vera, tanpa membuatku curiga sama sekali. Aku teringat juga bagaimana dia membuatku menghadapi fakta itu, dengan history chat ku yang dia coret-coret seperti sebuah dokumen skripsi, yang sebetulnya merupakan tindakan yang cukup psycho.

Dan aku tersadar akan satu hal. Sebetulnya, aku masih belum mengenal Nat sedalam itu. Setidaknya untuk sisi-sisi yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Pikiranku yang sudah kalut mengaburkan pandanganku dan semakin melemahkan ototku yang dari tadi sudah tak berdaya. Tak terasa, tumitku sudah tak berdaya lagi menahan badanku yang masih ingin menonton Nat diperlakukan semena-mena seperti itu. Tiba-tiba kaki kiriku sedikit terpeleset dari kursi rusak yang kupakai, sehingga lututku mengenai sebuah rak plastik rusak yang teronggok di sebelahku, menimbulkan bunyi yang cukup nyaring karena banyak benda-benda kecil yang jatuh.

Aku terkesiap, yanked back to reality. Kulihat dengan was-was ke arah ruangan yang tengah kuintip, dan benar saja, mereka sekarang sadar ada seseorang di luar yang mengintip melalui lubang kecil itu. Mereka semua menatap ke arah lubang tempatku mengintip. Termasuk Nat. Nat, dengan dua penis yang masih menancap di dalam vagina dan anusnya, sempat beradu pandang dengan mataku selama sepersekian detik. Namun di waktu yang sangat singkat itu, aku yakin dia sadar akan identitasku.

Sebelum mereka sempat bereaksi apa-apa, aku udah turun duluan dan dengan cepat bergegas keluar dari gang sempit itu. Aku ga peduli kalau ada orang lihat mereka akan berpikir apa. Setelah keluar dari celah sempit itu, aku setengah berlari pergi menjauhi tempat itu, berharap semuanya hanyalah mimpi. Dini hari itu, aku merasakan seakan sebuah kiamat kecil telah terjadi dalam diriku.

----
----
----

Nat duduk bersimpuh, tangannya lurus mendorong lantai ke bawah, terdiam menunduk di hadapanku. Rambutnya menutupi pandangan matanya yang berlinang air mata.

Mungkin sudah hampir sekitar setengah jam kami duduk berhadapan tanpa berkata apa-apa.

Aku sendiri memang ga tahu apa yang ingin kukatakan. Hell, I don’t even know what I’m feeling. Tapi aku masih memasang muka demanding, meminta penjelasan. Walaupun mungkin sebetulnya aku ga perlu atau ga mau mendengar penjelasan apa-apa.

Kedua rokok yang kami nyalakan sekarang terbakar sampai habis di atas asbak, tanpa kami hisap sama sekali.

Beberapa saat kemudian berlalu, Nat mengangkat kepalanya, memperlihatkan mukanya yang sembap, dan bersiap untuk mengatakan sesuatu.

Sebelum dia bahkan sempat membuka mulutnya, aku udah tak tahan lagi.

Satu tamparan keras mendarat di pipi kirinya.

CHAPTER 6
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd