Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (ORIGINAL CONTENT) Berburu Binor Montok di Desa Lembang

Bimabet
"Leluhur berikan waktu,
Kumohon dengarkan nyanyianku,
Apa yang telah terjadi, sepertinya hilang jati diri..
Mengingat jemari yang menuai padi,
Yang dahulu membangun candi,
Dengan penuh budi pekerti, kini telah runtuh dan ditinggalkan..

Ooo-aaaae ooaa eo-eo ae

Isyarat dan budaya..

Oooaaaae ooaa eoeo ae

Aksara dan tata krama..

Ooo-aaaae oo-aa eo-eo ae

Alam sebagai petunjuk..

Ooo-aaaae oo-aa eo-eo ae

Maka ku panggil oh wahai leluhur.."

Lagu bertajuk "Leluhur" karya Ras Muhamad dan Kunokini menggelegar dari sepasang sound system yang berdiri kokoh di samping panggung. Di area persawahan yang sudah kering itu, tampak sejumlah warga sudah mulai berkerumun.

Meskipun jam baru menunjukkan pukul 5.45 pagi, Aep dan pemuda-pemuda desa tampak sudah ngos-ngosan. Mereka sudah wara-wiri duluan sejak subuh tadi untuk menyelesaikan beberapa persiapan akhir, termasuk menjemput rombongan orkes ke Cimahi.

Setibanya di desa, Aep dan sejumlah warga langsung gotong royong mengangkut meja, kursi, aneka suguhan dan masakan, berbagai instalasi, dan sebagainya.

"Ngopi dulu kang, dari tadi asem banget mulut belum ngopi" kata seorang warga.

"Iya hayu kang, kita ke belakang panggung aja, sambil istirahat dulu cape euy" balas Aep.

Suasana pagi di tempat itu sungguh asri dan cantik.

Lahan persawahan seluas 5 hektar menghampar layaknya permadani raksasa di dataran rendah yang dikelilingi bukit-bukit perkebunan teh. Tepat di pusatnya, berdiri sebuah panggung berukuran 10x15 meter dengan ornamen-ornamen keemasan, lengkap dengan beragam instalasi bernuansa alam.

Pemandangan itu kian menghipnotis dengan selimut tipis kabut pagi yang tiba-tiba turun dari arah bukit, suasana desa pagi ini terkesan epik sekaligus magis.

"Karuhun sumping" (leluhur datang) bisik seorang nenek bertongkat di sebelah Aep yang sedang jongkok sambil merokok, sorot matanya tampak berkaca-kaca memandang ke arah kabut.

Aep cuma mesem-mesem melihat si nenek. Baru saja ia berusaha memulihkan energi, sekarang malah dibuat merinding.

Selametan panen raya bukan sekadar festival rakyat biasa. Bagi para sesepuh desa, pergelaran ini merupakan kesempatan bagi mereka untuk bersilaturahmi dengan para "leluhur".

Dahulu, acara selametan rutin diselenggarakan setiap tahun. Namun kini, berhubung kualitas dan kuantitas panen tidak lagi konsisten seperti dulu, selametan panen raya hanya muncul 3-4 tahun sekali. Perubahan iklim dan penurunan unsur hara dalam tanah memang kian memburuk dari tahun ke tahun.

Merasa tak kerasan melihat tingkah misterius si nenek, Aep akhirnya memilih bergeser ke tenda. Di sana tampak juragan Mukidi bersama tiga orang lainnya sedang duduk-duduk sambil menyantap gorengan.

"Aep sini" tukas juragan Mukidi begitu melihat Aep berjalan ke arahnya.

"Ngopi juragan hehehe" balas Aep.

"Semalem harusnya jangan pulang dulu, nih, jatah kamu" sambil menarik tangan Aep mendekat, juragan Mukidi mengeluarkan amplop dari sakunya secara sembunyi-sembunyi.

"Asiiiiik akhirnya turun juga" wajah Aep tampak berseri-seri.

"Inget, tunggu dulu komando dari Wa Haji, jangan pergi jauh-jauh" bisik juragan Mukidi.

"Siap komandan!" Balas Aep sambil mengacungkan tangan hormat di dahinya.

"Waaah udah pada siap kayaknya nih" celetuk bapak-bapak baju hitam di samping juragan Mukidi.

"Hayu atuh pak" ujar juragan Mukidi.

"Hayu, hayu" balas mereka bersamaan.

"Aep tah gorengan masih anget-anget, abisin" sambung juragan Mukidi sambil pergi melangkah ke arah kerumunan bersama tiga orang tersebut.

Sebagai pemilik beberapa lahan perkebunan stroberi di area desa, juragannya Aep ini turut melibatkan diri dalam rangkaian prosesi selametan bersama para petani dan juragan-juragan komoditas lainnya.

Mereka semua tampak serasi dengan setelan pangsi (setelan kemeja polos yang agak longgar dan celana longgar sebatas mata kaki) serba hitam, lengkap dengan iket kepala bermotif batik khas Sunda.

Begitu pula dengan para petani perempuan yang tampil seragam dengan atasan kebaya dan bawahan kain batik senada.

Sementara itu, di atas panggung terlihat beberapa orang sudah berdiri berjejer rapi. Diantaranya hadir pak camat beserta jajarannya, pak lurah dengan beberapa orang perangkat desa, ketua RT dan RW, dan turut hadir pula tetua-tetua adat. Di belakang mereka, kelompok orkes tampak bersiaga di depan instrumen musik tradisionalnya masing-masing.

Warga desa tampak antusias mendengar sambutan pembukaan pagi ini.

Selanjutnya, pak kyai dan perwakilan tetua adat memimpin doa bersama, memunajatkan puji syukur atas hasil panen tahun ini sekaligus memohon kelancaran untuk jalannya acara.

Setelah itu, puluhan petani tampak berbaris rapi membentuk pola lingkaran, mereka menari mengenakan topeng sambil mengayun-ayunkan beberapa ikat padi di tangannya. Tarian ini dikenal sebagai tari pengarak topeng sebagai simbol pengusir hama.

Orang-orang yang berdiri di atas panggung berpegangan tangan satu sama lain, mengayunkan genggaman tangan mereka ke depan dan ke belakang seiringan dengan tembang kecapi yang dimainkan kelompok orkes.

Pertunjukan ini berlangsung meriah selama 30 menit. Tampak kerumunan warga yang menonton dari tenda plafon saling sahut menyoraki.

Dari belakang panggung, Aep bersama beberapa pemuda cuma duduk menonton sambil ngopi dan menyantap gorengan. Bagi Aep, pertunjukan sesungguhnya ada di sisi lain, tepatnya di tenda plafon sebelah utara. Tempat dimana perempuan-perempuan berbalut kebaya duduk menonton bersama anak-anak kecil.

Aep mengenali beberapa perempuan yang duduk di sana, terutama yang bertubuh montok dan padat; diantaranya ada Teh Dewi, Bu Rahma, Bu Guru Sri, Teh Linda, dan tampak hadir pula Bu Irma dan Hj Lia. Mereka semua terlihat bersolek anggun sekaligus seksi dibalut kebaya, lekuk tubuh montok mereka tercetak sempurna bagaikan mahakarya.

Wajah Aep memerah melihat pemandangan itu, tersihir dengan kemolekan dan kecantikan eksotis khas perempuan Sunda berbalut kebaya seksi.

"Lalajo naon mang?" (Nonton apaan bang?) Celetuk seorang pemuda di kuping Aep begitu menangkap sorot matanya ke arah yang lain.

"Lalajo ZuZu, ZuZu bukan sembarang ZuZu, ini ZuZu lezat bergizi khas pegunungan Lembang" Jawaban Aep cuma dibalas cekikikan panjang para pemuda.

"Hoyong nu mana mang? Sok kari milih" (Mau yang mana bang? Tinggal pilih) tanya pemuda lainnya.

"Hayang kabeh uing mah" (mau gua bungkus semuanya) balas Aep.

"Aaahh siga nu kuat wae mang" (kayak yang kuat aja lu bang) timpal si pemuda.

Dari kejauhan, Aep bisa menangkap jelas kebaya yang mereka pakai cukup rendah di bagian leher, sehingga belahan-belahan buah dada sekal mereka tampak terekspos.

Pemandangan ini membuat batangnya berontak di balik celana. Pikiran Aep tak karuan dibuatnya. Aep lantas berniat pura-pura pergi mengambil sesuatu agar bisa melepas birahinya sembunyi-sembunyi di kamar mandi umum.

"Saya ke depan dulu ah nyari rokok" Aep berkata sambil bangkit berdiri meninggalkan kawan-kawannya.

"Nitip mang!" Sahut salah seorang pemuda.

"Okeeeh" balas Aep singkat.

Kamar mandi umum yang terletak di pinggir jalan setapak area kebun teh ini merupakan tempat para petani biasa bersih-bersih sepulang dari sawah atau kebun. Tempatnya terbuat dari beton tanpa atap setinggi dada orang dewasa yang cuma dibatasi sekat triplek seadanya.

Mengingat kondisinya yang seperti itu, akhirnya Aep harus onani sambil duduk di bangku kayu kecil yang tersimpan di pojokan kamar mandi.

Setelah tengok kanan-kiri memastikan tidak ada orang disekelilingnya, Aep lantas mulai mengocok-ngocok batangnya sambil memejamkan mata, sambil membayangkan lagi lekukan-lekukan tubuh montok para perempuan berkebaya yang dilihatnya tadi.











_
_
_
_
_









((BINOR LIA))


"Aduh kebelet nih, neng, nitip kursi ya, ibu mau ke WC atas dulu bentar, teu kiat yeuh (gak tahan lagi)" bisik pelan Hj Lia yang tampak tidak nyaman dengan kondisinya.

"Mau ditemenin gak Bu Haji?" Tanya seorang perempuan di sampingnya.

"Ah teu kedah wios, ibu we nyalira" (gak usah gak apa-apa, saya aja sendiri) jawab Hj Lia sambil buru-buru menyelinap pergi dari tempatnya.

Istri Wa Haji itu kemudian berjalan melewati kerumunan warga, melambaikan tangan ke arah Wa Haji yang sedang duduk di tenda sebelah bersama sesepuh desa.

"Ibu ka cai heula" (Ibu ke WC dulu) mulutnya mengisyaratkan ke suaminya tanpa bersuara sambil terus melangkah.

Hj Lia kemudian tiba di jalur setapak yang mengarah ke kebun teh tempat kamar mandi umum berada.

Ketika Hj Lia sudah hampir sampai, ia melihat tempat pancuran air tampak kosong, pertanda tidak ada siapa-siapa di sana. Namun, tempat WC jongkok di sampingnya tampak tertutup papan triplek.

Ragu-ragu, Hj Lia lantas berjalan mendekat untuk mengintip, memastikan tidak ada orang di dalam sana.

Begitu kepala berhijabnya sedikit mendongak dari balik beton, dirinya menemukan sosok Aep tampak merem-melek sambil duduk di bawah sana.

"Lah, kenapa tuh si Aep" katanya dalam hati.

Hj Lia merasa heran sekaligus penasaran melihat ekspresi wajah Aep seperti itu. Ia tidak yakin Aep sedang BAB karena posisinya bukan pada tempatnya, ditambah lagi sebelah tangannya tampak bergerak-gerak seperti sedang memainkan sesuatu.

Dari posisinya, Hj Lia tidak bisa melihat lebih jauh ke bawah sana, akhirnya ia bergeser sedikit untuk melihat lebih jelas. Dirinya sedikit khawatir kalau Aep ternyata sedang kesurupan atau kena serangan jantung.

Namun, begitu ia sudah mendapatkan sudut pandangan yang lebih jelas, justru jantungnya sendiri lah yang terasa seakan-akan kena serangan.

Sambil tangannya menutup mulut berusaha tidak terpekik terkejut, Hj Lia menyaksikan Aep Galon sedang mengocok-ngocok batangnya yang berukuran di atas normal. Batang itu besar dan panjang, keras penuh urat, dan tampak mengkilap penuh keringat.

Di tengah-tengah keterkejutannya, ekspresi Hj Lia tampak memerah, bergidik ngeri sekaligus dibuat salting. Perasaannya tidak karuan, seharusnya ia lekas pergi dari situ, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, ia tampak mematung sambil terus melotot ke arah kontol Aep.

Ukuran kontol itu lebih besar dan panjang melampaui milik pak lurah, apalagi batang suaminya yang memang sudah impoten sejak 10 tahun lalu.

Keinginannya untuk kencing tiba-tiba hilang, berubah menjadi sensasi menggelitik, dan tanpa sadar Hj Lia menggigit bibirnya sendiri.

Tak lama kemudian, kocokan tangan Aep bergerak makin cepat, kontolnya terlihat seperti ingin meletus. Dirinya makin dibuat salting dengan pemandangan itu.

"AAAAAHHHHHSSSSS AAAHHHHHSSSS AAAAHHHH"

Tangan Hj Lia semakin kencang menutup mulutnya, seiringan dengan kedua bola matanya yang terbelalak, di hadapannya Aep terengah-engah saat kontolnya berkedut hebat memuncratkan mani kental dalam jumlah banyak, saking banyaknya sampai berceceran membasahi dinding WC yang berada di pojokan lainnya.

Bersamaan dengan kontol Aep menyemburkan mani panasnya, hidung Hj Lia tiba-tiba menangkap aroma yang terasa tidak asing. Aroma khas pejantan yang hanya bisa dideteksi oleh penciuman perempuan. Selangkangan Hj Lia terasa basah ketika aroma itu tiba-tiba menyergap.

Sesaat kemudian Aep tiba-tiba bangkit berdiri, dan secara refleks pula Hj Lia menunduk sembunyi di balik tembok beton tersebut. Tak lama kemudian ia mendengar bunyi air mengguyur lantai, resleting celana ditarik, suara papan kayu berdecit, kemudian terdengar suara kaki melangkah turun menjauh.

Hj Lia lantas bangkit dan segera masuk ke WC. Tampak lantai semen tersebut sudah diguyur basah tanpa jejak, namun, di ujung lainnya matanya menangkap ada jejak cairan kental bening meleleh di tembok, lelehan sperma Aep yang masih hangat.

Dengan hati yang bimbang sekaligus penasaran, Hj Lia kemudian mencolek-colek lelehan sperma tersebut, mendekatkan jari telunjuknya ke hidung, dan seketika dibuat mabuk dengan aromanya. Setelah puas mencium aromanya, ujung telunjuk itu bergerak ke bawah, berhenti tepat di depan bibir tebalnya yang perlahan membuka menjulurkan lidah.

"Liccckkkk"

Sperma Aep terasa gurih sekaligus kecut di lidah Hj Lia.

Sesaat kemudian, ia berjongkok menuntaskan hajatnya.











_
_
_
_
_












"Lila-lila teuing neang udud teh mang (lama amat nyari rokok mang)" celetuk seorang pemuda tak sabaran.

"Ngising heula sakeudeung ka luhur (kencing dulu bentar ke atas)" balas Aep sekenanya sambil melempar sebungkus rokok.

Dari situ, mereka kemudian bergerak ke arah tenda di sebelah panggung, duduk berjejer sambil lanjut menonton berbagai pertunjukan kesenian rakyat.

Kemeriahan-kemeriahan hari itu membuat waktu berjalan cepat, hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang.

Sesaat kemudian, alunan musik tiba-tiba berhenti, lalu terdengar suara mikrofon sedikit berdengung.

"Kepada para hadirin sekalian, khususnya kepada warga setempat Kelurahan Haur Jambe yang saya cintai, ada sedikit pengumuman terkait rangkaian acara yang perlu saya sampaikan"

Seketika semua orang tampak bergeming ke arah pak lurah yang bicara di atas panggung.

"Seperti yang sudah disepakati sebelumnya, bahwa pagelaran pesta dangdutan dijadwalkan untuk dimulai selepas dzuhur hingga menjelang ashar hari ini, akan tetapi, setelah ketua RT, RW, dan perwakilan dari tim orkes berkumpul bermusyawarah dan melakukan pertimbangan ulang beberapa saat lalu, dengan ini saya menyampaikan bahwa acara dangdutan akan ditunda, dan dijadwalkan ulang pada pukul 7.30 malam ini sampai dengan waktu tengah malam di kediaman Haji Edi,"

"Taaaah mending kitu lah, peuting we dangdutan mah, wayah kieu jojogedan tengah sawah siga bebegig wae" (Nah gitu dong, dangdutan ya enaknya malem, tengah hari begini joget-joget tengah sawah udah kayak orang-orangan sawah aja) suara seorang bapak-bapak nyeletuk entah dari mana dibalas sorak tawa penonton.

"Gimana setuju?" Sambung pak lurah.

"Setujuuuuuuuuuu" warga kompak menjawab.

"Anying hanas geus siap-siap aing" (ajg gua udah siap-siap) seorang pemuda karang taruna misuh-misuh di sebelah Aep.

"Geus simpen heula dieu ku sayah, bising beak disimpen ku maneh mah" (udah sini gua aja yang amanin, tar abis kalo lu yang nyimpem) Aep meraih keresek hitam besar berisi aneka botol minuman yang disembunyikan di belakang badan pemuda itu.

"Bener ketang, mending malem aja ya mang, lebih yahud, bisa mawa awewe (bawa cewe)" sahut salah seorang pemuda lainnya.

Mendengar pengumuman itu Aep nampak senang. Malam hari memang waktu yang paling cocok untuk joget berpesta sambil minum-minum, meskipun harus minum sembunyi-sembunyi agar tak ketahuan warga.

Sesungguhnya ini lah alasan utama Aep hadir hari ini. Ia cuma ingin menikmati pemandangan langka ketika para binor desa berjoget mempertontonkan lekukan tubuh montok mereka.

Tak sabar dirinya menanti malam ini, mengintai kemungkinan datangnya kesempatan untuk menikmati tubuh-tubuh nikmat para binor desa.


BERSAMBUNG……
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd