kucingnakal1991
Suka Semprot
- Daftar
- 12 Dec 2018
- Post
- 19
- Like diterima
- 1
=Over The Sea=
Part 1
Cuaca di pantai panas menyengat menembus kulit, membuat keringat gue bercucuran. Kepiting kecil yang gue perhatikan sejak 10menit lalu masih enggan beranjak dari lubangnya.
Hanya sejenak ia keluar dari persembunyiannya...kemudian masuk lagi, mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang ada jika ia keluar.
Kepiting kecil itu mengerjapkan sepasang matanya, mungkin bertanya-tanya : Apakah ada jebakan diluar sana?
“Tenang kepiting kecil..” ucap gue berbicara kepada kepiting itu
Gue mengamati sekitaran lubang, tidak ada suatu apapun yang mengancam, hanya butiran pasir putih yang tak terhitung jumlahnya.
“Tidak ada apa-apa” lanjut gue lagi.
Pikiran gue semakin teralihkan karena heran mengapa kepiting begitu ragu-ragu padahal sudah mempunyai sepasang mata yang terdiri dari beberapa ribu unit optik, dan meskipun ada bahaya pun sejatinya kepiting juga mempunyai empat pasang kaki yang dapat digunakannya untuk bergerak secepat kilat dan sepasang kaki lagi yang digunakan untuk mencapit lawan-lawannya.
Namun..
Sang kepiting kecil pun akhirnya mengambil keputusan untuk enggan untuk keluar dari lubang persembunyiannya.
Gue sedikit kecewa, karena apa yang harapkan tidak terjadi kemudian dan pada akhirnya dapat terobati karena setelah penantian yang melelahkan kapal yang gue tunggu pun tiba.
Secera reflek gue memandang laut biru tak jauh dari dermaga tempat kapal berikutnya akan bersandar beberapa saat lagi. Kapal tersebut, kapal boat namun dengan ukuran yang lebih besar yang dapat mengangkut sekitar 20 orang penumpang didalamnya.
Beberapa saat kemudian.Tepat ketika ombak menghantam tepian kapal dan membuat buih-buihnya bertebaran, seorang perempuan keluar dari dalam kapal itu dan berdiri oleng berpegangan di atas deck dekat dengan laki-laki tanpa baju dengan otot kekar yang memegang tambang guna mempersiapkan kapal yang akan bersandar.
Lalu, setelah sikap berdirinya telah sempurna, dia menatap jembatan tempat gue berdiri sekarang seakan mencari-cari dan kemudian diapun melambaikan tangan karena akhirnya dia melihat sosok gue disini.
Perempuan itu melambaikan tangannya.
Gue mengangguk dan balas melambaikan tangan. Gue menunggu dengan sabar perahu itu bersandar dan dia beserta penumpang lainnya turun.
Setelah turun, diapun berjalan dengan pasti ke arah gue sambil menebar senyumnya yang lebar tanpa putus.
“Maaaaaf yaaaa Ranggaaaaa.... kapalnya maceeeet ditengah lauuttt”
Gue spontan tersenyum, tapi lebih tepatnya ingin menjitaknya karena alasannya tidak rasional.
Namun, lebih dari itu semua, perasaan gue merasa senang akhirnya gue bisa menatap wajah cantiknya kembali setelah sekian lama.
“Kamu semakin terlihat dewasa” ucapnya dan mengulurkan tangan
"Kamu juga..." jawab gue dan menyambut tangannya yang terulur.
"Tasnya kesiniin, biar aku yang bawain"
“Nggak usah Rangga, aku bisa bawa sendiri kok”
“Udah, biar aku yang bawa”
Lalu gue membuka jari-jari lentiknya yang memegang erat tali tas tersebut.
“Tas ini terlalu berat untuk kamu bawa sendiri”
"Kita ke rumah langsung yah" ajak gue untuk berpindah tempat menjauhi keramaian ketika berhasil merebut tas yang dipertahankannya.
“Ranggaaaa...” panggilnya dengan lembut
Dia menatap gue..
Gue pun menatap dia..
Mata indah secara garis lurus itu menatap mata gue, seakan menuntut mata gue untuk terus juga menatap matanya.
“Hey cowo pendiam,” tanyanya tiba-tiba dengan kesal yang dibuat-buat.
Gue menunduk melepaskan tatapan dari matanya.
"Kamu masih terluka, ya?" tanyanya lagi mendadak lembut
“Enggak. Hanya saja...”
“Hanya saja .. setiap kali kita kesini, kamu yang udah pendiam semakin pendiam, sebentar lagi kamu bakalan duduk-duduk aja ga jelas di jembatan lalu aku disini juga ikutan murung karena tingkah kamu itu” potongnya cepat.
“Ha Ha Ha...memang begitu ya?”
“Aku tau kamu Nggaaaa” lanjutnya dan kali ini sambil melotot semakin kesal karena gw malah tertawa-tawa.
Setelah tertawa, gue pun tersenyum lagi padanya. Mengajaknya untuk meneruskan langkah ke tempat kami menginap. Kemudian kami terus melangkah tanpa berbicara, hanya sesekali berseru “ooh” atau “wah” tanda dia teringat kembali sebuah ingatan dikepalanya.
Kami sekarang berada di salah satu pulau di kepulauan seribu, tepatnya Pulau Tidung. Tempat kami menginap berada tak jauh dari dermaga, hanya 15 menit berjalan kaki santai, 10 menit naik sepeda dan 2 Menit berlari kencang seperti orang kesetanan yang dikejar anjing setan.
“Hallo rumah biru...” panggilnya ketika kami hampir sampai dirumah itu.
Dia lama menatap rumah yang gue sewa ini, rumah biasa yang disebutnya rumah biru, karena memang biru warnanya baik cat diluar maupun didalamnya. Pagarnya terbuat dari kayu bambu yang dicat juga berwarna biru namun dengan campuran hijau dan garis hitam.
Selagi dia menatap rumah biru itu, gue menatapnya sembunyi-sembunyi.
kerut-kerut terbentuk dalam keningnya tanda tidak puas.
Lalu diapun berbalik..
“Baru kita aja yang dateng ya, Rangga?"
"Iya"
Perlu waktu hingga beberapa detik hingga diapun sadar bahwa malam ini gue dan dia hanya berdua.
"Ha?? Malam ini kita cuma berduaaaa? tanyanya sambil menutupi dada dengan kedua belah tangannya seperti mencegah gue untuk menyentuhnya
"Ha Ha Ha.. ayolah. Kamu tau aku gak seperti itu, yuk kita masuk" ajak gue dan tertawa kembali.
Kemudian kita masuk.
Gue meletakkan tas bawaannya di dalam kamar satu-satunya dirumah ini.
Sedangkan dia menarik kursi kayu meja makan dan mengelusnya.
"Banyak debu-nya ih.."
Dia lalu duduk setelah mengelapnya dan dengan ujung jari telunjuknya dia membentuk sesuatu diatas meja yang berdebu itu.
Kemudian meraih gelas kaca yang tidak lagi bening karena terlalu lama terkena rendaman air teh.
"Inget nggak? Waktu kita semua di sini, pertama kali dateng langsung minum air teh basi?"
Pikiran gue menerawang sebentar lalu mengiyakannya. Kemudian gue ikut duduk, bukan di kursi melainkan di bawahnya, di lantai dengan karpet tipis yang sudah usang.
"Iya, aku inget. Eh....setelah ini kamu mau ngapain? Mungkin mereka datang baru besok"
"Aku mau tidur"
"Dateng jauh-jauh, di kapal hampir empat jam, kamu cuma tidur?"
Kening dia kembali berkerut.
"Rang"
"Gue bukan semut"
"Bodo, Rangga.. perasaan kamu sekarang gimana?"
"Masih sama" jawab gue salah tingkah.
"Perasaan aku juga masih sama Ngga, tiga tahun lalu, dua tahun lalu, sampai sekarang"
Pikiran gue seperti terbaca olehnya.
Di pulau ini.
Di rumah ini..
Di Pantai ini...
Gue mempunyai kenangan dengannya dan dia, kenangan yang masih saja merantai hidup gue sampai sekarang, mengikatnya dengan kuat hingga tak bisa berpaling kepada yang lain.
"Eh ya.. aku keluar dulu ya" ucap gue setelah berdiri dan langsung menuju pintu.
"Kemana?" tanyanya
“Sama. Seperti tiga tahun lalu, sama seperti dua tahun lalu dan Sama seperti setahun sebelumnya. Aku kembali ke dermaga ini. Aku menanti kapal berikutnya. Kapal yang membawa dia kesini sama seperti dirimu sekarang sampai disini”
“Segalanya baik-baik saja kan?”
“Mungkin iya atau mungkin tidak, Aku tak tahu. Aku hanya berusaha menunggunya kembali disini seperti ucapnya waktu itu”
“Kalo dia tidak datang lagi?”
“Ini tahun terakhirku disini. Aku tidak yakin bisa datang lagi untuk menunggunya di tahun depan. Aku percaya... Tahun ini dia akan datang... membawa keajaiban”
“Keajaiban?”
“Ya”
"Kira-kira apa lagi yang akan dia buat?"
"Aku nggak tahu"
Tiba-tiba gue teringat masa itu.
Masa dimana hanya perlu waktu semenit untuk mengenalnya.
Dan menit berikutnya untuk menyukainya
dan sehari langsung mencintainya
tetapi hari ini... aku memerlukan waktu seumur hidup untuk dapat melupakannya.. tak rela ditinggalkannya.
"Rangga.."
"Ya?"
"Aku juga menanti keajaiban terucap dari mulut kamu"
"Terimakasih"
"Kamu yakin, aku yakin juga Rangga, karena yakin membuat segalanya jadi mungkin" ucapnya mengakhiri percakapan kali ini.
-Over The Sea Part 1-