Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Pacarku yang Terlalu Baik

3 : Akibat Terlalu Penasaran

Kulihat badan kekarnya yang basah akan bulir-bulir air itu. Kulitnya yang coklat bersinar di bawah cahaya bulan purnama yang menyinari pancoran air malam ini. Tatto garuda di punggungnya semakin mempertegas bidangnya punggung dan dadanya. Tubuhnya yang kekar, tinggi, serta rambutnya yang gondrong, melepaskan aroma maskulin yang sangat kental. Dari belakang, aku bisa melihat tonjolan-tonjolan ototnya, begitu kuat dan kokoh.

Lengannya berbulu, urat-urat nadi di tangannya tegas terlihat. Ah… sempurna sekali laki-laki ini. Aku membayangkan bagaimana tangannya yang kekar itu meraba leherku dengan lembut, lalu dengan cepat berubah menjadi cekikan yang membuatku tak berdaya. Tatapan matanya yang ganas bak serigala alpha yang buas setelah menangkap mangsanya yang lemas.

Dalam keadaan itu. Hanya ada satu pilihan untuk bertahan. Pasrah dan menuruti semua keinginan sang pejantan alpha. Membiarkan ia menikmati setiap jengkal tubuhmu, sesukanya, sepuasnya, adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup sebagai mangsa yang lemah.

Aku pasrah. Tanganku kuletakkan pada tangannya yang mencekik leherku. Kutatap matanya dalam-dalam sambil mengisyaratkan kepasrahan dan kepatuhan. Ia tersenyum dan mendekatkan bibirnya ke bibirku. Aku menutup mata, pasrah akan apa yang terjadi selanjutnya, lalu…..

“Hahh….” aku terbangun dari mimpiku.

Bisa-bisanya aku bermimpi tentang pemandangan yang kulihat semalam di pancoran. Pemandangan tubuh seorang pria yang kukenali, Bli Bagus, seorang pekerja di peternakan Ayahku. Tubuhnya memang sangat atletis dan ideal. Sempurna untuk ukuran seorang pria. Tapi aku tak menyangka aku sampai terbawa mimpi.

Aku iseng-iseng mengecek celana dalamku sendiri. Basah. Tanda bahwa aku terangsang dalam mimpi. Ah mungkin karena sekarang memang masa suburku saja. Aku segera bangun dan melupakan mimpiku tadi dan beraktivitas seperti biasa.

***
Hari ini, sebagai anak pemilik peternakan, tugasku biasanya hanya melihat dan mengawasi para pekerja di sini. Biasanya aku juga diminta untuk mencatat pengeluaran apapun dari pekerja. Misalnya mereka membeli pakan ternak, membeli bensin untuk motor operasional, atau urusan-urusan lainnya. Maka tak heran kalau aku sudah kenal hampir semua pekerja di peternakan ini.



Aku duduk di depan teras rumah sambil mengawasi karung-karung pakan ayam yang turun dari truk. Para pekerja mulai menyambangi truk tersebut dan bahu membahu mengangkat karung-karung pakan ternak itu. Umumnya, para pekerja di sini usianya sudah di atas 50 tahun. Pak Ade, Pak Wira, dan Pak Angga adalah tiga orang yang turut mengangkut karung-karung konsentrat itu turun dari truk. Sebenarnya ada satu lagi, dia adalah Bli Bagus. Satu-satunya yang paling muda diantara semua pekerja Ayah. Dia adalah pria yang kutemui di pancoran kemarin malam.

Semua pria yang mengangkat karung-karung tersebut bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana tiga perempat. Tak terkecuali dengan Bli Bagus, bulir-bulir keringat membasahi kulitnya yang coklat, mengkilap ketika terkena cahaya matahari. Aku menelan ludah ketika melihat tubuhnya yang kekar berotot itu. Berbeda dengan para pekerja lainnya yang relatif terlalu kurus atau terlalu buncit, hanya Bli Bagus yang berbadan atletis dan indah.

“Udah sarapan, gek?” tanya Pak Ade saat lewat di depanku yang sedang sibuk mencatat dan menghitung jumlah karung pakan ternak yang masuk

“Sudah pak. Bapak udah sarapan?” tanyaku basa-basi

“Sudah dong. Tadi udah sarapan di Mbok Rini” balasnya menyebut nama warung nasi di depan rumah

“Tapi ada yang kurang sih, gek” sahut Pak Wira menambahkan

“Kurang apa, Pak?” tanyaku

“Kurang susu!” jawab Pak Wira dan Pak Ade kompak

“Ohh… bapak-bapak mau susu?” aku tahu maksud mereka tapi aku senang menjahili mereka

“Ma-mau dong” jawab Pak Ade

“Mau susu sapi atau susu saya hihihi”

“Waduh…, kalo itu mah saya gak bisa nolak. Mau susu gek aja boleh gak?”

“Boleh…, ambil aja di kulkas pak. Saya masih punya susu kedelai di kulkas, ambil aja hihihi”

“Yahh, kirain” sorak mereka bertiga kecewa. Bli Bagus hanya tersenyum kecil dan tak menanggapi.

Setelah selesai mencatat dan para pekerja sudah selesai menurunkan semua barang, aku mendekati Bli Bagus dan bertanya

“Bli, lagi ada kerjaan gak?”

“Hmm? Engga, kenapa gek? Butuh bantuan apa?” jawabnya sopan

“Pengen ikut ke kandang, boleh?”

“Boleh dong, kenapa ndak boleh”

“Hihihi… makasi Bli”

“Okedeh kalo gitu, sebentar ya saya ambil baju dulu”

“Eh gak usah Bli, gak papa. Aku bentar aja ke kandangnya”

“Oh yaudah kalo gitu. Ayo jalan”

Hari itu aku hanya mengenakan baju kaos berwarna putih dan celana pendek. Bli Bagus masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana tiga perempat.

“Jam segini biasanya ke kandang mana, Bli?” tanyaku penasaran karena biasanya aku jarang diajak ke kandang oleh Ayahku

“Kalo pagi gini biasanya ke kandang sapi, meres susu”

“Ohhh gituu” pikiranku mulai melayang-layang, membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Hari ini memang hari ovulasiku, aku menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan.

Bli Bagus berjalan menuntunku menuju kandang sapi. Peternakan ini memiliki 3 jenis hewan ternak, sapi perah, ayam, dan babi. Kali ini Bli Bagus mengajakku ke kandang sapi yang letaknya di belakang rumahku.

Aku mengikuti jalan Bli Bagus. Jarakku dengannya hanya beberapa centi saja, sehingga aku bisa melihat dengan jelas tatto burung garuda di punggungnya, bulir-bulir keringat yang menetes di sana, serta tonjolan ototnya yang kekar dan gagah. Nafasku semakin berat ketika berada di dekatnya. Aroma feromon yang kental keluar dari tubuhnya, menggoda inderaku untuk meningkatkan sensitivitasnya. Sebuah aroma yang bukan tidak menyedapkan, tetapi aroma alami tubuh yang unik dan membangkitkan nafsu. Apalagi tubuhnya yang kekar itu berkeringat, membuatnya semakin jantan dan dominan di mataku.

Kami berjalan beriringan, ia fokus dengan jalan di depannya sedangkan aku melihat kiri kanan, melihat deretan kandang babi dan ayam di sebelah kiri dan kananku. Tiba-tiba Bli Bagus berhenti mendadak. Aku yang tak siap berhenti tiba-tiba menabraknya dari belakang. Payudaraku menabrak punggungnya, uhh… malu sekali rasanya

“Gek Bulan…” ucapnya

Aku mundur beberapa langkah menjauhkan payudaraku dari punggungnya,

“Ya, Bli?” sahutku

“Saya ambil ember dulu ya. Gek tunggu sini” ucapnya

“Oya, Bli” sahutku

Kemudian pergi mengambil ember di gudang, sedangkan aku menunggunya di sini. Aku masih teringat mimpiku semalam. Bisa-bisanya aku bermimpi melihat Bli Bagus sedang mandi dan di dalam mimpiku itu, Bli Bagus mencekik leherku dan aku hanya bisa pasrah. Aku pasrah ke dalam dominasinya, ke dalam sikap jantannya yang buas.

Tak lama, Bli Bagus kembali dari belakangku sambil membawa ember di tangan kanannya. Aku memperhatikan tangannya itu. Kekar, berurat, dan kuat. Persis seperti tangan yang kubayangkan dalam mimpiku. Tangan yang kekar yang mencekik leherku dan membuatku pasrah dalam kenikmatannya.

“Yok jalan lagi, gek. Pelan-pelan ya jalannya licin”

Bli Bagus berjalan di belakangku. Kami berjalan di jalan setapak yang sebelah kiri dan kanannya adalah kandang sapi. Jalannya licin karena kandang-kandang ini baru dibersihkan, lumpur dan air sedikit menggenang membuatku harus berjalan pelan dan hati-hati.

Tiba-tiba dari sisi kiriku, sapi yang tadinya sedang makan dengan santai tiba-tiba bersuara dengan kencang di sebelahku dan membuatku terkejut.

“Mooooowwww!” suara sapi itu tepat di samping tubuhku

Aku oleng, keseimbanganku hilang, dan aku terpeleset, Namun, dengan sigap Bli Bagus menahan tubuhku. Meski lututku sudah sampai membentur lantai, tetapi setidaknya tubuhku tidak terhempas ke bawah. Kejadian itu terjadi begitu cepat. Aku hanya berteriak kecil dan memejamkan mata ketika kusdari tubuhku mulai terjatuh. Hingga kusadari aku tidak jadi merasakan kotornya lantai kandang, namun aku merasakan sesuatu yang lain di bagian tubuhku yang saat itu sedang sensitif-sensitifnya, yaitu dadaku.

Bli Bagus berhasil mendekapku agar tidak jatuh, tetapi posisi telapak tangan kirinya saat itu tepat berada di payudara sebelah kriku. Tidak hanya memegang, kurasakan tanannya begitu menekan payudaraku. Mungkin karena berat tubuhku membuat tangannya begitu terasa kuat di dadaku. Dunia serasa berhenti sejenak. Payudaraku diremas oleh Bli Bagus.

“Eh pelan-pelan gek” ucapnya

Aku mencoba bangkit. Tangan Bli Bagus tak dilepaskan dari payudaraku sampai aku benar-benar berdiri. Ia mendahului langkahku, menatapku, dan memastikan aku tidak terluka.

“Gek gak papa?” ucapnya sambil melihatku atas bawah, memastikan aku tak terluka.

Kemudian ia berlutut di depanku,

“Duh ini kotor, tak bersihin ya” ucapnya sambil membersihkan lututku yang kotor dengan air yang ia bawa

“Eh udah gapapa, Bli”

“Sakit ndak lututnya?”

“Ndak, Bli. Ndak papa. Yuk lanjut”

Bli Bagus menuntunku berjalan sambil menggandeng tanganku. Beberapa meter lagi kami sampai di kandang sapi perah. Bli Bagus membuka kandangnya dan menunjukkan sapi mana yang akan kita perah hari ini.

Kami berhenti di seekor sapi betina dewasa. Bli Bagus berjongkok lalu dengan telaten menaruh ember susu di bawah payudara sapi betina itu. Aku ikut berjongkok di sebelah Bli Bagus. Ia dengan sabar mengajariku cara memerah susu,

“Jadi untuk merah susu, ini gak boleh asal pegang atau asal remes kayak gini” ia mencontohkan cara memerah susu yang salah

“Kalo gini sapinya kesakitan. Yang bener kayak gini, satu tangannya di sini, satu lagi di sini” ucapnya sambil memberikan contoh

Aku hanya memerhatikan dengan baik sambil mengangguk-angguk. Padahal di dalam diriku, aku sedang membayangkan hal yang lain. Payudaraku masih berdenjut akibat diremas oleh Bli Bagus tadi. Seperti rasanya tangannya masih menempel di payudaraku ini. Belum selesai aku dengan perasaanku sendiri, sekarang aku melihatnya begitu telaten meremas payudara sapi sampai sapi tersebut mengeluarkan susu yang ditampung dalam ember.

Cara Bli Bagus meremas susu itu dengan kedua tangannya secara bergiliran serta tangannya yang kekar dan berurat membuatku malah membayangkan, bagaimana jadinya jika yang ia remas itu bukan payudara sapi, melainkan payudaraku? Fantasiku sebagai perempuan submissive yang pasrah disetubuhi dengan kasar kembali mencuat. Aku membayangkan bagaimana jika aku berada di posisi sapi itu dan Bli Bagus adalah pemerah yang sangat telaten dalam meremas payudaraku.

Aku membayangkan bagaimana aku tidur telentang dengan tangan terikat di atas kepalaku, telanjang bulat, dan mataku ditutup oleh kain hitam. Kubayangkan Bli Bagus berada di depanku, dengan telaten ia meremas payudaraku, memainkan pentilnya dengan jari-jarinya, meremasnya dengan kencang dengan tangannya yang berotot itu. Uhhhh…. pasti nikmat sekali rasanya.

“Gek…. gekk… haloo?? Mau coba meres, ndak?” tanyanya membuyarkan lamunanku

“Eh… boleh Bli”

Bli Bagus mengajarkanku bagaimana cara memerah susu sapi yang baik. Ia mengarahkan tanganku, membimbing tanganku, dan bahkan menggenggamnya, membuatku merasakan nafsuku semakin membuncah. Tangannya yang kekar dan berurat itu membuatku semakin bernafsu dengannya. Tanpa kusadari, di bawah sana vaginaku sudah sangat basah.

“Ngghhh….” desahku saat memerah susu sapi sambil berfantasi payudaraku sedang diremas oleh Bli Bagus.

“Kenapa gek?”

“Ndak papa, Bli”

Setelah selesai memerah susu, Bli Bagus pamit untuk pergi mengantar susu ke koperasi susu, sedangkan aku kembali ke rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah lainnya,

***
Sore harinya, saat Sandhikala, aku merasa gelisah sendiri. Nafsuku memuncak akibat seharian ini bersama Bli Bagus. Fantasiku dipenuhi olehnya. Pikiranku sepanjang hari hanya bisa memikirkan tubuhku dipasrahkan kepada dominasi Bli Bagus, sang pejantan alpha. Terlebih lagi caranya meremas payudaraku tadi saat menolongku, membuat payudaraku terus berdenyut dan terasa nyeri, seakan-akan merasa perlu untuk disentuh dan diremas sekali lagi.

Aku ingin melampiaskan ini dengan bermasturbasi, tetapi hari ini ada banyak pekerjaan rumah yang harus aku kerjakan. Aku tidak sempat untuk bermasturbasi, walaupun pikiranku sudah memuncak ingin segera memuaskan diriku sendiri.

Tiba-tiba aku terlintas satu ide. Aku teringat kejadian kemarin ketika aku melihat Bli Bagus di pancoran. Biasanya jam segini pancoran sudah sepi dan tidak ada lagi yang mandi. Aku bisa pergi ke sana untuk mengintip Bli Bagus sedang mandi, siapa tahu itu bisa memuaskan nafsuku dengan lebih baik.

Aku akhirnya izin kepada Ibu untuk keluar sebentar tanpa bilang sebenarnya aku akan ke pancoran.

***


Aku berjalan sendirian ke pancoran. Jalanan yang gelap dan sepi membuatku takut sebenarnya, tapi untuk kembali pun rasanya tanggung. Aku pun berjalan ke sini tak banyak pikir panjang, didorong nafsu, aku mencoba peruntungan bisa melihat pemandangan indahnya tubuh Bli Bagus sekali lagi. Aku berjalan cepat sampai di dekat pancoran. Di sana, aku sudah bisa mendengar suara gemericik air yang sama. Suara air yang mengalir, ditangkup, lalu dibasuhkan ke tubuh.



Sepertinya Bli Bagus mandi di waktu yang sama setiap harinya. Aku berhenti sejenak. Jantungku berdegup kencang. Otakku bertanya-tanya, apa yang membuatku melangkah sejauh ini? Kemarin adalah ketidaksengajaan. Aku tidak sengaja mengintip Bli Bagus ketika ia sedang mandi karen apenasaran akan suara air di pancoran di malam hari, tetapi aku datang ke sini dengan sengaja, hanya karena ingin melihat tubuhnya lagi? Aku sudah gila sepertinya.

Aku ingin kembali, tapi pancoran hanya berjarak lima langkah lagi. Tanggung rasanya kalau kembali tanpa membawa apa-apa. Kalau aku melangkah, aku takut kalau terjadi apa-apa. Bagaimana jika Bli Bagus melihatku? Bagaimana jika aku dipergoki warga? Ah tapi rasanya di sini sudah sangat sepi dan tidak ada yang lewat pancoran sore-sore seperti ini, ucapku menepis pikiranku sendiri.

Dilema di pikiranku berkecamuk, akhirnya kuputuskan untuk melangkah saja. Rasa penasaranku dan perasaan nanggung sudah sejauh ini membuatku akhirnya memberanikan diri. Aku mengendap-endap, berjalan menyusuri dinding pancoran. Suara gemercik air semakin terdengar.

Aku sampai di pintu pancoran. Dengan jantung yang berdebar, perasaan yang campur aduk, aku menggerakan kepalaku mengintip ke arah dalam pancoran laki-laki. Benar saja. Di sana Bli Bagus sedang mandi. Genangan air hanya sebatas pantatnya. Aku melihatnya sedang membasuh wajah. Tangannya menangkup air dari pancuran air, ditampung, dan dibasuhkan ke wajahnya. Tubuhnya yang telanjang, otot-ototnya yang kekar, tattonya yang maskulin, serta bulir-bulir air yang bertengger di kulit coklatnya. Aku suka semuanya. Nafasku berat. Mataku seperti enggan berkedip. Aku mencoba maju sedikit agar bisa melihat lebih jelas, sampai…

KREKK…..

Aku menginjak ranting kering yang menutupi jalan tanah berlumpur di dekat pancoran. Kakiku sedikit terjerembab, sendalku masuk ke dalam lumpur, aku hampir jatuh ke depan. Di saat yang bersamaan, Bli Bagus reflek menoleh dengan sangat cepat. Aku tak tahu ia sempat melihatku atau tidak, tetapi aku bisa melihatnya menoleh. Apakah ia melihatku?

Aku buru-buru bangkit. Kutinggalkan sendalku yang terjebak di lumpur. Aku punya dua pilihan. Kembali ke rumah dengan jalan yang cukup jauh dan gelap, atau bersembunyi di pancoran perempuan, yang relatif lebih aman dan tidak mungkin Bli Bagus akan ke sana. Dengan cepat aku melipir masuk ke pancoran perempuan.

Hufft…., aku menghela nafas lega. Pancoran perempuan ini sepi. Aku pikir aku sudah selesai, sampai saat aku sedang bersandar di dinding pancoran, aku mendengar sesuatu…

“Bulan…” suara berat itu terdengar memanggilku

Bersambung ke Part Berikutnya….

Cerita ini sudah diupdate sampai part 6. Yang mau baca lebih cepat dan baca cerita lainnya, DM aku ya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd