Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Pelangi di Sudut Sumatera

Status
Please reply by conversation.
Bel tanda berakhirnya sekolah telah berbunyi sekitar 15 menit yang lalu. Tapi aku malah berdiam diri disini, di toilet sekolah. Aku menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam, ini adalah rokok kedua yang kunyalakan. Sebenarnya tujuanku disini bukan untuk merokok, tapi untuk bersembunyi atau mengulur waktu. Aku menyesalkan mengapa dengan mudahnya aku terprovokasi Bonar untuk mengantarkan Mala pulang. Aku juga menyesalkan mengapa aku tidak menolak atau menghentikan ide brilian Bonar yang mengajak Mala bergabung dengan kami dalam pentas sekolah nanti. Seandainya saja aku lebih berfikir panjang mungkin aku tidak akan bingung seperti saat ini.

Kenapa hal yang sangat penting justru bisa aku lupakan? Aku abaikan? Hal penting yang seharusnya jadi pertimbangan utamaku, Jenni. Ya Jenni kenapa aku bisa lupa dan tidak ingat padanya. Tidak memikirkan bagaimana nanti reaksi dia jika melihat aku berboncengan mengantar Mala pulang. Tidak memikirkan perasaannya jika melihat dan mengetahui bahwa Mala berlatih musik bersama ku dan bahkan tampil bersama di pentas sekolah nanti. Saat kejadian di Plaza waktu itu saja, aku habis di introgasi olehnya seperti seorang penjahat. Apalagi sekarang!?. Entah karena takut membayangkan wajah marah dan reaksi Jenni nanti atau karena memang suasana toilet sekolah yang sudah sepi, tiba-tiba saja bulu kuduk ku merinding. Aku juga tak habis fikir kenapa Mala mau saja dibujuk oleh Bonar untuk bergabung bersama kami. Entah susuk apa yang di tanam Bonar di lidahnya, hingga Mala berhasil dibujuknya. Apa Mala tidak menghiraukan imagenya? Walaupun memang akan sangat menyenangkan bisa berdekatan dengan Mala, tapi aku pribadi merasa bahwa seorang seperti Mala kurang pantas rasanya jika harus bergaul bersama kami. Apalagi kami cowok semua, suatu hal yang belum pernah dilakukan Mala sebelumnya.

Teeleleleeett... Teeleleleeett...
Suara alunan gitar dari Slash sebagai nada dering mengagetkanku. Aku melihat nama Bonar tertera pada layar.

"masih lama gak?" suara Bonar di telpon. Saat keluar kelas tadi aku memang berpamitan ingin ke toilet dulu dan meminta Bonar menunggu di parkiran motor saja.

"lumayan" jawabku. Aku memang belum berniat untuk keluar sekarang, setidaknya 10 menit lagi. Pasti saat ini keadaan di depan gerbang sekolah masih sangat ramai. Dan yang aku takutkan adalah Jenni masih ada disana. Aku berharap mudah-mudahan 10 menit lagi gerbang depan sudah sepi dan tidak ada Jenni. Sehingga dia tidak akan melihat aku membonceng Mala nanti.

"ngapain? coli ya?" tanya Bonar ngawur seperti biasa.

"Bibit super gak selayaknya dibuang di toilet! Jangan samain ama kelakuan kamu ya"

"cuma ngingetin. awalnya aja memang menggebu, nanti juga akhirnya nyesel hahaha.."

"mules kampret! Perut bangsawan biasa sarapan keju, tadi pagi sarapan uduk, jadi kaget perut saya" ucapku.

"gak halal sih. uduk pake gorengan dua, ngakunya cuma satu. Yaudah saya pulang duluan ya, ada urusan mendadak"

"loh kok pulang? Latiannya gimana?"

"tadi saya telpon ke studio, ternyata hari ini penuh ampe sore. Malem baru kosong sekitar jam 8an. Kasian Mala kalo malem, mending besok aja sekalian. Udah saya daftarin kok buat besok"

"oh gitu.. Trus Mala kemana sekarang"

"udah pulang naek angkot. Nungguin kamu kelamaan. Anak-anak yang laen juga dah pada pulang"

"yaudah sip kalo gitu"

"Udah ya saya duluan, penting ini"

"alah penting apa sih, paling juga gak jauh-jauh dari toket ama pantat"

"haha.. Urusin aja pantat kamu, jangan lupa cebok..! tut tut.." ucap Bonar lalu mematikan sambungan telpon.

Haaahh.. Aku akhirnya bisa bernafas lega, setidaknya sementara ini aku aman. Untuk besok dan selanjutnya akan kupikirkan nanti saja. Untuk membatalkan keikutsertaan Mala sepertinya sudah tidak mungkin, pasti tidak enak dan takut menyinggung Mala nanti. Tinggal bagaimana nanti aku mengaturnya agar jangan sampai di lihat oleh Jenni. Atau mungkin sebaiknya aku segera menceritakan hal ini kepada Jenni, fsehingga nanti dia tidak kaget atau marah jika mengetahuinya. Walaupun aku tidak yakin Jenni akan mau mengerti dan tidak akan marah. Tapi kenapa aku repot memikirkan Jenni ya. Dia kan bukan siapa-siapa ku, pacar juga bukan. Tapi walaupun bukan pacar, dia... ah.. aku jadi teringat kejadian diteras rumahnya waktu itu. Ciuman itu... Jika dari gelagat dan reaksinya sih dia tidak menolak, cuma sedikit kaget diawal. Apa itu artinya... Ah sudahlah.

Sambil tersenyum mengingat kejadian itu aku berjalan menuju gerbang depan. Keadaan sekolah sudah mulai sepi, hanya menyisakan beberapa murid dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang masih mengobrol dan ada juga yang sedang pacaran atau pedekate. Seperti sepasang murid yang kulihat di depan kelas itu, mereka berdua sedang duduk di kursi panjang yang ada didepan kelas. Tapi tunggu dulu, aku seperti mengenal murid perempuan itu. Dari potongan badannya, tas sekolah dan model rambutnya. Dia seperti Jenni, Aku semakin yakin setelah melihat sepasang lesung pipinya. Ah tidak, lesung pipinya terlalu kecil untuk terlihat dari sini. Aku lalu mempertajam penciumanku, mengendus-endus coba membaui aroma parfumnya yang khas. Tapi gagal juga karena memang jarak yang jauh. Tapi aku yakin itu Jenni, tidak salah lagi itu pasti Jenni. Dengan siapa dia? Kenapa berdua seperti itu? Kenapa Jenni mau diajak duduk berdua begitu? Kenapa juga dadaku tiba-tiba terasa sakit melihatnya.

Tanpa sadar aku melangkahkan kakiku menuju mereka. Aku berjalan sambil terus memperhatikan mereka dan mengusap dadaku yang terasa sakit. Semakin lama semakin sakit kurasakan dadaku, jantungku pun makin berdebar kencang. Perasaan apa ini? Apa ini yang namanya cemburu? Atau ini hanya efek karena terlalu banyak merokok dan minum kopi? Tapi rasanya tidak mungkin pemuda berprestasi sepertiku akan terkena penyakit jantung, toh aku rajin berolahraga. Kuperhatikan tampang si cowok yang ternyata aku kenal. Dia adalah Dody murid kelas 3 IPA I, sekelas dengan Mala. Dasar Dody, apa maksudnya seperti ini. Apa dia ingin nembak Jenni? Atau malah mungkin mereka sudah pacaran? Sial, kenapa sih dia tidak mengurusi saja Albert Einstein dengan teori relativitasnya atau Sir Alexander Fleming dengan jamur Penicillium notatum untuk antibiotik penisilin nya? Urusan Kahlil Gibran dengan kata-kata mutiara cinta dan Arya Dwipangga dengan syair berdarah biar serahkan saja kepadaku.

Apa yang harus aku lakukan saat ini? Apakah hanya berlalu lewat atau berhenti disana? Tapi bagaimana nanti reaksi mereka jika aku berhenti disana? Apakah aku akan dianggap pengganggu? Saat ini jarak ku sudah semakin dekat, aku memperhatikan Jenni sejak tadi hanya menunduk dan tidak menatap pada Dody. Aku harus berani spekulasi, apapun yang akan terjadi nanti aku harus siap menerimanya. Setidaknya melihat gelagat Jenni yang hanya menunduk seperti itu, aku sudah bisa mengambil kesimpulan. Aku akan kesana dan membawa Jenni pergi layaknya seorang pangeran yang menunggangi kuda putih.

Sesampainya disana aku lalu menghentikan langkahku tepat didepan Jenni yang masih menunduk menatap kebawah.

"udah nunggu lama ya?" tanyaku sekeren mungkin sambil mengusap lembut kepala Jenni. Jenni perlahan mengangkat wajahnya menatapku. Tatapannya seperti kaget, bingung, dan heran. Wajar saja dia seperti itu, selain karena memang kami tidak janjian, sikapku pun seolah kami mempunyai hubungan dekat. Aku hanya tersenyum melihat reaksinya itu. Sebenarnya sungguh nekat apa yang aku lalukan itu, sedangkan aku belum tau apakah Jenni berkenan atau tidak. Tapi aku punya tujuan dengan itu semua, setidaknya secara tidak langsung aku ingin menunjukkan pada Dody bahwa seolah-oleh Jenni adalah milikku, sehingga dia akan mengurungkan niatnya atau bahkan membuang jauh-jauh harapannya untuk mendapatkan Jenni.

"maaf ya, gak marah kan.. " ucapku lagi tersenyum sambil perlahan mengacak-acak rambutnya. Jenni lalu menatapku sebal dan memanyunkan bibirnya sambil merapikan rambutnya yang aku acak-acak tadi. Sepertinya dia sudah bisa menguasai dirinya dan paham maksud dari perbuatan dan kata-kata ku tadi.

"jangan manyun dong, kan udah minta maaf tadi. Berangkat sekarang aja yuk, mumpung masih siang" lanjutku. Jenni tampak bingung ingin menjawab apa, sekilas dia melirik kearah Dody.

"Dod.. " aku lalu menyapa Dody sambil tersenyum.

"mau kemana" tanya Dody sambil membalas senyumku. Senyumnya tampak kaku dan sedikit dipaksakan. Mungkin dia merasa tidak enak dan menyadari situasi yang terjadi.

"nyari sepatu bola. Sama mau beli es krim. Katanya di deket taman ada tempat es krim baru" jelasku.

"oh iya" jawab Dody kaku.

"ayo kita lets go.. " ucapku pada Jenni. Jenni lalu bangkit dari duduknya.

"saya duluan ya.. " ucap Jenni pelan kepada Dody yang hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh Dody.

"duluan ya coy" ucapku pada Dody yang juga dibalasnya dengan anggukan kepala dan senyum kaku.

Aku dan Jenni lalu berjalan beriringan menuju gerbang depan. Tak ada sepatah kata yang keluar dari kami. Rasa sakit didada ku ternyata sudah hilang. Begitu juga dengan jantung yang berdebar kencang, sudah mulai stabil. Berganti dengan tarikan nafas yang berat dan sesuatu yang bergemuruh didadaku. Membuatku gelisah dan seakan ingin meluapkannya. Kenapa seolah aku ingin marah? Apakah begini proses selanjutnya dari sebuah rasa cemburu? Setidaknya sekarang aku lega mengetahui ini bukan penyakit jantung. Sampai didepan gerbang keadaan sudah mulai sepi, hanya tinggal beberapa murid disana. Kami berhenti sejenak disana, masih saling berdiam diri. Aku lalu bergerak melangkahkan kaki meninggalkan Jenni untuk menyebrang jalan.

"mau kemana.. " tanya Jenni yang heran melihat aku ingin menyebrang jalan meninggalkannya. Karena memang jika ingin pulang atau pergi ke plaza dan taman, kami hanya tinggal naik angkot dari depan sekolah tanpa harus menyebrang jalan.

"warung, beli rokok" jawabku datar tanpa menolehnya. Intonasi ku yang datar dipengaruhi suasana hatiku yang sedang kesal.

"ikuuutt.. " ucap Jenni seperti anak kecil.

"gak usah! Bentar aja!" sahutku sedikit keras.

"ikut! " paksa Jenni, rupanya sifat keras kepalanya sudah mulai keluar.

"gak usah! Mau ngapain sih!" jawabku makin keras sambil menoleh kebelakang menatapnya.

"iiihh.. Galak amat sih.. Mau beli choki-choki.. Tapi kalo gak boleh, yaudah saya nunggu disini aja.." jawabnya pelan sambil menunduk dan memainkan tangannya seperti anak kecil yang sedang kena marah. Melihat tingkah dan wajah sedihnya membuatku tidak tega dan merasa bersalah.

"aahh.. yaudah ayo!" ucapku mengalah. Jenni langsung mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar. Luar biasa, bisa cepat sekali suasana hatinya berubah. Dia lalu berjalan kearahku dan menyebrang jalan begitu sudah aman tidak ada kendaraan lewat. Seenaknya saja dia meninggalkanku yang hanya bisa heran melihat tingkahnya dan terburu-buru menyusulnya.

"kenapa diem aja, marah ya. Marah kenapa" tanya Jenni padaku dengan choki-choki yang menggantung di bibirnya. Imut sih tapi suasana hatiku berusaha melarangku untuk terpukau. Kami saat ini sedang duduk berdua disebuah kursi didepan warung.

"jawab doong.. " lanjut Jenni sambil mencolok pinggangku dengan telunjuknya. Aku yang merasa kaget dan geli otomatis menggeliat.

"apa sih!?" ucapku jengkel.

"kenapa diem aja" tanya Jenni sambil masih terus mencolok-colok pinggangku.

"terserah saya lah!" jawabku menggeser duduk menjauhinya.

"ntar gantengnya ilang lho" goda Jenni sambil menggeser duduk mendekatiku.

"biarin!"

"ih.. judes amat sih jadi cowok"

"bodo' amat! "

"ini kenapa.. " tanya Jenni sambil menyentuh pelipisku yang terluka dan sedikit menekannya.

"wadaw... Sakit tau!" jeritku sambil melotot padanya.

"oh sakit ya" ucapnya kalem tanpa rasa berdosa. Aku hanya meliriknya sebal dan mengelus pelipisku yang sakit.

"berantem ya" lanjut Jenni tak menghiraukan aku yang kesakitan dan berusaha menyentuh pelipisku lagi.

"kejedot pintu" jawabku berbohong dan menepis tangannya yang berusaha menyentuh pelipisku.

"gak mungkin kejedot pintu kayak gitu. Pasti berantem, atau kamu dipukulin orang" tebak Jenni

"sok tau. Emang saya ngapain kok di pukulin orang!?"

"bener kan berantem?"

"iya. Kenapa? Gak suka?" ucapku kesal

"tergantung alasan berantemnya apa"

"apa bedanya, emang ngaruh?" tanyaku heran

"bedalah. Karena mungkin memang ada hal-hal yang hanya bisa diselesaikan dengan cara kekerasan. Gak bisa cara halus atau negosiasi. Tapi tetep, kalo bisa kekerasan harus dihindari. Kekerasan itu cuma pilihan terakhir" jelas Jenni.

"sok bijak! sok tua!" sahutku. Baru ini aku tau ada seorang perempuan yang mentolerir kekerasan. Mungkin itu salah satunya kenapa dia sering melakukan kekerasan padaku baik itu fisik, verbal atau sikap. Tapi seandainya dia tahu apa penyebab dari perkelahian ku dengan Andi apakah dia masih membenarkan itu?

"hehe kalah ya?" tanya Jenni

"hah? Apanya?"

"berantemnya, Kamu pasti kalah. Kamu mah cuma menang petantang petenteng doang. Paling berantemnya gaya orang tenggelem, jurusnya gak keluar" ucapnya sinis.

"emang mau ngeluarin jurus apa? Kunyuk melempar buah, punya Wiro Sableng. Atau Tendangan Penakluk Naga punya Tiger Wong!? Seenaknya aja kalo ngomong. Saya jadi mau tau kalo kamu berantem gimana"

"Saya bakal keluarin jurus Moon Tiara Action, dengan kekuatan bulan akan menghukummu" jawabnya sambil menirukan gaya Sailormoon dengan centil.

"norak banget. Paling juga jambak-jambakan sama cakar-cakaran" ucapku sinis

"gak lah. Kamu kan tau gini-gini saya dulu pernah ikut pencak silat. Kita kan satu seperguruan, iya kan kakak seperguruan? Hehe" ucap Jenni.

"itu kan jaman SD dulu, itu juga kamu cuma ikut sebentar. Paling juga sebulan. Apa yang mau kamu banggain"

"abis bajunya gak oke banget sih, gak cocok modelnya. Sama gak pake sendal atau sepatu juga, kaki saya sakit kecucuk batu"

"Emang kamu mau pake baju gimana!? Itu pencak silat bukan fashion show"

"ya paling gak disesuaikan lah untuk yang cewek atau dikasih variasi dikit, biar keliatan manis seragamnya"

"ya ya ya... Kamu atur ajalah ya" ucapku malas menanggapinya. Percuma aku meladeni atau mendebat pola pikirnya.

"Hmm.. tadi ngapain berduaan gitu" kataku menanyakan tentang dia yang berdua bersama Dody tadi.

"oohh.. Itu.. Gak tau.. kenapa ya.." ucapnya sambil pura-pura berpikir.

"kok gak tau? Gak mungkinlah gak tau! Berduaan kayak gitu" ucapku kesal.

"ooh itu ya masalahnya.. Hehe.. Pantesan cemberut aja dari tadi, marah-marah terus. asik asik.. Ada yang cemburu ya.. hehe.." ucap Jenni menggodaku dan memperhatikan wajahku.

"gak ah, cuma nanya aja" elak ku menghindari tatapannya.

"iya ngaku ajalah.. " ucap Jenni sambil terus ingin melihat reaksi wajahku.

"gak lah! Ngapain cemburu!" ucapku menatap kearah lain.

"ngapain nanya-nanya kalo gak cemburu?" tanya Jenni

"pengen tau aja" ucapku

"kenapa pengen tau" tanyanya lagi.

"jawab aja kenapa sih!" ucapku kesal

"emang harus ya saya jawab"

"bodo' lah" ucapku putus asa.

"hehe kamu lucu juga kalo lagi cemburu" ledek Jenni.

"saya gak cemburu!" jawabku cepat

"iya iya gak cemburu hehehe.. "

"aarrrgghh... Kamu tadi ngapain!"

"hehe mau tau bener ya" tanya Jenni lagi.

"ngeselin ya lama-lama, jawab gak!? Buang neh!?" ancamku sambil merebut choki-choki dari tangannya dan bersiap membuangnya.

"eh iya-iya, jangan dibuang. Tadi saya juga gak tau. Dia gak sempet ngomong. Baru juga mau ngomong tau-tau ada cowok sok keren dateng ganggu" sindir Jenni.

"jadi saya ganggu!?" kataku melirik tajam.

"sok mesra lagi, megang-megang kepala, ngacak-ngacak rambut. Matiin pasaran aja. uuh.. Bisa berkurang ini fans saya" ucap Jenni sambil merebut kembali choki-chokinya.

"gak suka? Yaudah kalo gak suka"

"suka sih, suka bangeet.. " gumam Jenni pelan hampir tak terdengar.

"hah? Apaan?" tanyaku ingin mendengarnya lebih jelas.

"gak. Gak papa"

"laen kali jangan maulah kalo diajak gitu" ucapku

"diajak apaan?" tanya Jenni

"berduaan gitu. Kayak orang pacaran aja" jawabku

"emang kalo berduaan pasti pacaran?"

"iyalah"

"kayak kita gini?"

"eh? Mmm.. Itu.. pokoknya jangan mau!" jawabku bingung karena terjebak omonganku sendiri.

"sama si Dody?"

"ya sama yang laen juga"

"termasuk kamu?"

"aaahh ngeyel amat sih dikasih tau" ucapku kesal, kesal karena lagi-lagi aku terjebak kata-kataku sendiri.

"hehe ya di jelasin dong biar saya paham, gak ngeyel lagi"

"pokoknya jangan, titik!"

"yee gak jelas amat sih"

"kamu kan pasti udah tau maksud dia apa. Ngapain juga kamu mau diajak berdua gitu"

"ya mana saya tau maksud dia apa. Ngomong aja belum" ucap Jenni

"harusnya kamu tau. Cowok kalo dah gitu apa maksudnya? 99,99% itu udah bisa ketebak"

"Namanya aja orang ngajak ketemu, kata dia ada yang mau diomongin. Ya kita hargailah, kita temuin. Daripada nanti di bilang sombong atau ke GRan. Iya kalo dugaan kita bener, kalo gak kan malah malu" ucap Jenni

"ya ya ya terserah kamu lah" ucapku menyerah. Karena aku pikir memang ada benarnya penjelasan darinya. Dan tidak sepenuhnya kesalahan Jenni. Tapi apa hak ku ya kok melarang Jenni seperti itu. Bodo' amat lah.

"hehe makasih ya" ucap Jenni lembut.

"buat apa" tanyaku.

"makasih pokoknya"

"gak jelas! pulang aja yuk, mendung mau ujan" ajakku.

"gak jadi beli es krim" tanya Jenni menagih omonganku tadi. Padahal ku kira dia paham kalo aku hanya bersandiwara tadi.

"hah? Es krim? Lain kali aja ya" jawabku

"kok laen kali sih. Katanya tadi mau beli es krim. Berarti kamu bohong tadi" ucap Jenni sambil memasang tampang sedih.

"ini udah mau sore. Lagian cuaca gini gak cocok makan es krim. lain kali aja ya beli es krimnya"

"janji ya, gak boleh bohong. Saya anggep utang. Bakal saya tagih terus seumur hidup" ancam Jenni

"serem amat sih!?"

"iyalah, gak akan tenang hidup kamu kalo belum nepatin janji ini"

"iya bawel" ucapku lalu bangkit dan mengacak-acak rambutnya. Membuat Jenni memasang tampang cemberut dan merapikan rambutnya. Tampang cemberut yang perlahan berubah menjadi sebuah senyuman dan langsung menyusulku yang sudah berjalan lebih dulu.

Kami berdua lalu naik angkot untuk pulang kerumah. Angkot berknalpot racing dan full musik yang penuh dengan sticker dan scotlet. Salah satu angkot favorit disini dan juga merupakan angkot langgananku.

"cewek lu Lang? Cakep amat. Pake dukun mana lu?" tanya Oky si kenek angkot saat kami baru saja duduk didalam angkot. Mendengar itu Jenni langsung memasang tampang kalem sambil merapikan rambutnya dan tersipu malu. Hmm dasar, pasti Jenni besar kepala di puji seperti itu.

"hmm belum tau aja kelakuannya" gumamku pelan dan ternyata masih bisa didengar Jenni yang langsung memasang wajah sadisnya. Ditatap seperti itu membuatku salah tingkah dan tak berani menatapnya.

Dihadapan kami berdua saat ini duduk seorang ibu sambil memangku anaknya yang masih balita. Balita itu sangat lucu dan menggemaskan. pipinya yang tembam seperti bakpao, bibirnya yang imut, dan matanya yang bening. Aku memandangi balita itu, dia tampak sangat tenang dan tidak rewel dipangkuan ibunya sambil sesekali menghisap jempolnya. Anak yang hebat, pasti saat besar nanti dia akan jadi anak yang baik. Tapi saat kuperhatikan lagi, anehnya jika dia melihat kearah Jenni yang duduk disampingku, maka dia akan mulai gelisah seperti ketakutan dan ingin menangis. Ibunya bahkan harus berusaha menenangkannya sambil menggoyangkan pangkuannya. Tapi tetap saja dia selalu gelisah dan ingin menangis saat melihat kearah Jenni. Hal itu membuatku penasaran dengan apa yang terjadi. Aku lalu melihat kearah Jenni untuk mengetahuinya.

Astagfirullah.. Aku tidak habis pikir dan terkejut saat melihat wajah Jenni. Rupanya itu yang membuat si balita rewel dan tidak nyaman. Sejak kapan mata Jenni jadi juling? Wajar saja si balita jadi gelisah dan ingin menangis. Rupanya jika si balita melihat kearah Jenni, maka Jenni akan membuat matanya seolah-olah menjadi juling. Hal itu selalu dilakukannya untuk menakuti si balita, tapi ketika si ibu melihat kearahnya maka Jenni akan memasang wajah kalem dengan senyum manisnya. Selalu diulanginya seperti itu tanpa sepengetahuan si ibu dan penumpang lainnya. Karena kasihan pada si balita aku coba menghentikan Jenni dengan cara menyenggol lengannya. Bukannya berhenti, Jenni malah membalasku dengan cubitan kecil yang sangat pedas dan mematikan, membuatku tak bisa berkata apa-apa dan hanya bisa menghela nafas meratapi penderitaan si balita.

"uuh.. cayang... kenapa... takut ya liat oom ini? mukanya serem ya..mirip culik" ucap Jenni sok manis bersandiwara pada si balita. Dia yang usil kenapa aku yang dijadikan kambing hitam? Lempar batu sembunyi tangan!

"culik? Enak aja!?" protesku.

"emang iya kamu mirip culik" ucap Jenni.

"ya gak lah! Mirip dari mananya!? "

"kalo gak culik trus apa!? Mamang gimbot!?" ucap Jenni. Buset dah aku mau disamakan dengan mamang gimbot. Aku langsung teringat dengan mamang gimbot di SD ku dulu. Orangnya kurus tinggi dan kepala yang agak kecil. Jika ku ingat-ingat lagi sih dia mirip dengan Bosgun, musuhnya Ksatria Baja Hitam RX. Jelas beda jauh denganku yang mirip dengan Kotaro Minami.

"mamang umang-umang sekalian!" sahutku jengkel.

"anak kecil itu punya indera ke enam, jiwanya masih suci jadi bisa ngerasain kalo ada aura jahat. Kamu jangan nakutin anak kecil, kasian nanti nangis. Bisa-bisa ampe kebawa mimpi" lanjut Jenni. Aura jahat? Aura jahat apa sih? Memangnya aku ngapain? Sampe kebawa mimpi. Seserem apa sih wajahku sampe jadi mimpi buruk bagi anak kecil ini? Dasar Jenni bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Bisa-bisanya dia berlagak manis dan perhatian pada balita itu. Luar biasa sekali akting dia, dan luar biasanya lagi ternyata si ibu balita termakan dengan omongan Jenni dan menatapku dengan tidak senang. Juga beberapa penumpang lain didalam angkot ikut menatapku sebal, bahkan termasuk Oky si kenek angkot langgananku.

"gak usah ikut-ikutan bang!" ucapku kesal saat melihat bahwa Oky membuka mulutnya dan seperti ingin berkata sesuatu.

"buset galak amat lu Lang. Nguap aja gak boleh. Sapa yang mau ikut-ikutan? Gua cuma mau nguap, ngantuk!" sahut Oky dengan mata merah dan agak berair karena tidak jadi menguap.

"udah ya cup cup.. jangan di liat mukanya oom itu. Sini pangku sama mbak aja, mau gak?" ucap Jenni sambil ingin memangku si balita. Amazing, luar biasa sekali akting Jenni, aku bahkan berpikir dia akan sangat cocok jika bermain di sinetron Keluarga Cemara atau Tersanjung. Tapi kenapa dia menyebutku dengan 'oom' sementara dia menyebut dirinya dengan 'mbak'. Ah dasar Jenni.

Sepanjang perjalanan aku hanya bisa diam dan selalu menghindari tatapan tajam dari penumpang lain. Tak kudengarkan sindiran dan ucapan sinis dari mereka. Aku sempat berpikir ingin melompat saja dari dalam angkot, tapi kuurungkan niatku karena takut handphone ku akan rusak. Sementara itu Jenni sudah berhasil menaklukkan si balita dan sedang asik bermain serta bercanda dengannya. Dasar balita gak punya sikap! Tadi takut, sekarang malah nemplok. Saat ini enak saja si balita duduk dipangkuan Jenni dan kadang-kadang menyandarkan kepalanya ke dada Jenni dengan manja. Uh bikin pengen aja, Dasar balita mesum! aku yakin besarnya nanti dia akan jadi anak yang cabul. Aku berdoa semoga saja si balita ngompol dan membasahi rok Jenni. Biar Jenni tau rasa dan kapok.

Orang bilang, Allah akan mengabulkan doa orang yang teraniaya. Saat ini aku hanya berdoa agar angkot full modif dengan kenek yang mengantuk ini segera sampai di tempat tujuanku. Aku sudah sangat tidak nyaman dengan situasi ini. Setelah menderita dan merasa terdzolimi selama di perjalanan. Akhirnya doaku terkabul walau sempat tertunda sekitar 10 menit, siksaan ku berakhir juga. Kami sudah sampai di tempat perhentian kami. Saat turun dari angkot aku sangat berhati-hati dan memperhatikan setiap langkahku. Aku takut dan berjaga-jaga seandainya saja ibu si balita atau penumpang lain akan melakukan sliding tackle dari belakang kepadaku. Karena aku yakin, walaupun aku tidak diving, mereka pasti tidak akan mendapat hukuman kartu merah. Tapi ternyata semua ketakutanku tidak terjadi, mereka cukup sportif membiarkanku turun dari angkot dengan selamat dan sentosa. Lega rasanya bisa keluar dan bebas dari sana dengan aman. Aku bahkan sempat berniat untuk sujud syukur saat turun tadi.

"cemberut aja.. Awas jatoh bibirnya.." ucap Jenni padaku saat kami sudah turun dari angkot dan berjalan berdua.

"iseng amat sih. Saya ampe di pelototin penumpang laen" ucapku jengkel.

"hehe.. lucu aja liatnya. Makanya saya godain" ucap Jenni.

"lucu apanya!? Anak cengeng gitu" sahutku.

"hehe beneran lucu tau...bikin gemes"

"kalo gemes ya jangan di takutin. Jangan di nangisin. Kasian anak kecil, tega amat"

"maksud saya kamu yang lucu, bikin gemes" ucap Jenni dengan senyum manisnya.

"hah? itu.. anu.. apa namanya.. eh anak tadi cewek apa cowok ya" ucapku gelagapan. Ah sial, bisa saja Jenni membuatku salah tingkah dan grogi begini.

"kenapa? Mau kamu jodohin sama anak kamu waktu itu" ucap Jenni sinis.

"hmm kumat lagi dia.. " gumamku.

"hmm minta di jambak dia.. " gumam Jenni.

Saat kami baru separuh perjalanan tiba-tiba saja turun hujan. Tidak terlalu deras memang, hanya gerimis kecil. Aku lalu celingukan mencari pohon pisang untuk mengambil daunnya. Aku ingin menciptakan sebuah moment romantis yang terinspirasi dari sebuah lagu dangdut berjudul memori daun pisang. Tapi tidak jadi karena tidak kutemui pohon pisang disekitar jalan yang kami lalui. Aku lalu mengeluarkan handuk kecilku dan memberikannya kepada Jenni.

"neh buat nutupin kepala kamu. Biar gak pusing kena gerimis" ucapku.

"males ah, dekil gitu. Gak pernah di cuci" tolak Jenni memperhatikan handukku.

"yee gak papalah, daripada gerimisan. nanti kamu sakit. Kalo kamu sakit, nanti saya nyakitin siapa" ucapku mengulangi kata-kata yang pernah dia katakan padaku. Jenni hanya melirikku sebal.

"ini aja neh, bersih" ucapku sambil memberikan baju hitam biru Inter Milan ku. Sudah menjadi kebiasaan aku selalu membawa baju ganti didalam tas sekolahku. Sebagai persiapan jika diperlukan suatu saat. Misalnya untuk dipakai saat membolos atau sebagai salin jika kehujanan seperti saat ini. Jenni memperhatikan sejenak baju itu lalu mengambilnya.

"wangi itu, pake molto... " ucapku saat melihat Jenni membauinya sejenak. Baju itu langsung difungsikannya untuk melindungi dari tetesan air hujan. Kami lalu berjalan berdua dibawah gerimis hujan. Ah kalo saja ini salju, pasti lebih romantis kayak drama korea.

"jangan lupa dipulangin, baju andalan saya itu" ucapku saat kami telah sampai di persimpangan jalan yang akan memisahkan kami.

"gak janji yaa week..." ucap Jenni sambil meleletkan lidahnya dan berbelok dipersimpangan jalan menuju kearah rumahnya.

"biasa aja jalannya! Pantatnya gak usah di goyangin gitu bener!" teriak ku dari kejauhan sambil memperhatikan pantatnya. Jenni langsung menoleh kebelakang melihatku dengan sebal dan mulut yang tampak mengoceh, entah mengoceh apa karena aku langsung berlari sambil tertawa.

***
 
Selesai bermain sepakbola sore itu, aku langsung mandi dan bersantai diteras belakang rumahku. Ditemani segelas kopi dan beberapa batang rokok mild. Saat bermain sepakbola tadi aku tidak melihat Jenni disana atau didepan rumahnya. Apa dia sakit ya karena gerimis tadi? Atau dia pergi les? Ah paling-paling dia tidur, anak manja seperti dia pasti akan bermalas-malasan di cuaca seperti ini. Kenapa tiba-tiba aku kangen padanya ya. Ingin melihat wajahnya, mendengar suaranya dan mendengar ocehannya. Padahal baru siang tadi aku berpisah dengannya. Malam nanti aku berniat untuk berkunjung kerumahnya, mudah-mudahan saja dia ada dirumah dan tidak ada pengganggu.

"Lang.. Lang.. Tok tok... " suara seseorang memanggilku dan mengetuk pintu pagar belakang rumahku. Dari suaranya seperti itu adalah om Haryono, suami bulek Nita.

"ya om.. Bentar.." sahutku sambil beranjak dan membuka pintu pagar belakang.

"what happen, ada apa om?" tanyaku setelah membuka pintu dan melihat bahwa memang benar itu adalah om Haryono.

"no what what, cuma mau minta tolong" ucapnya meladeni candaanku.

"oke, siap. Apaan itu om"

"bantuin pasang antena tipi. Bediriin antenanya, susah kalo sendirian. Kalo udah berdiri kan gampang tinggal boster dalem aja, bisa dikerjain sendiri" jelasnya.

"oke ayo om, mumpung belum magrib" ucapku. Aku lalu membantunya untuk memasang antena tv. Antenanya sudah dirakit dan dipasang di sebuah pipa besi. Hanya tinggal mendirikan dan mengikatnya saja dibelakang rumah. Setelah selesai kami masuk kedalam rumah untuk merakit boster.

"makasih ya Lang, tinggal boster dalem aja ini. mudah-mudahan gak ada masalah" ucap om Haryono.

"sekalian beresin lah om, kata guru PMP kalo bantu orang gak boleh separo-separo, harus sampe beres" ucapku

"haha iya sih, sapa tau masih harus diputer antenanya nanti" jawabnya.

"pada kemana om, sepi amat" tanyaku celingukan kesana kemari mencari bulek Nita sambil mengingat aksi kami terakhir yang benar-benar menegangkan.

"Eko dikamar lagi ngerjain PR. Bulek mu lagi di dapur tuh mau buat donat katanya" jawabnya sambil mulai dengan kesibukannya.

"mas, ini VCD nya kok berantakan di meja makan gini?" teriak bulek Nita dari arah dalam.

"iya dek, lupa. Tadi mas bongkar, karena sering macet-macet" jawab suaminya.

"apa sudah beres? Kok gak dipasang lagi, gak di beresin"

"belum dek, lupa. Nanti ya beresin antena ini dulu, tinggal boster aja gak lama kok"

"emang rusak apanya sih mas. Apa kamu ngerti dandan beginian"

"ya gak tau dek. Bongkar-bongkar aja, mungkin cuma kotor karena debu. Kalo gak bisa yaudah, emang rusak"

"kalo cuma bongkar-bongkar, saya juga bisa om. Sini saya aja yang beresin. Bersihin doang trus pasang lagi kan" ucapku sambil berjalan kebelakang.

"iya Lang. Kalo gak bisa lagi yaudah, besok kirim ke tukang service aja" jawab om Haryono.

"eh ada Gilang ya. Daritadi?" tanya bulek Nita yang melihat kedatanganku di dapur.

"barusan bulek. Abis bantuin pasang antena. Lagi ngapain bulek?"

"ini mau buat kue donat. Buat cemilan aja. Nanti kamu cobain ya" jawab bulek Nita.

"saya sukanya bakpao. Bakpao tembem isi kacang" bisik ku yang disambutnya dengan senyuman.

"ini saya pindahin kebawah dulu aja ya bulek. Biar bulek enak bikin donatnya diatas meja, jangan dibawah" ucapku.

"udahlah gak usah, tanggung. Lanjut aja kamu diatas, bulek dibawah" jawabnya penuh arti.

Posisi ku saat ini sedang berdiri didepan meja makan menghadap keruangan tengah dimana om Haryono sedang sibuk dengan aktifitasnya, jarak kami saat ini sekitar 8 meter. Sementara itu bulek Nita ada dibelakang ku, posisinya yang dibawah tertutup oleh meja makan sehingga tidak terlihat dari arah ruang tengah tempat suaminya saat ini. Aku memperhatikan posisi kami bertiga, lalu memeriksa meja makannya yang tertutup taplak meja hingga bawah hampir menyentuh lantai. Tiba-tiba saja muncul ide gila dalam kepalaku. Secara perlahan aku menurunkan celana pendek dan celana dalamku sampai sebatas lutut. Meja makan yang setinggi perutku membuat bagian perut kebawahku tidak terlihat dari arah depan. Aku lalu memperhatikan bulek Nita, daster batik tanpa lengan dengan panjang selutut tampak sangat indah ditubuhnya.

"bulek, sini.. Pake ini aja bolongin donatnya" panggilku pelan. Bulek Nita menoleh kearahku dan tampak terkejut melihat celanaku yang sudah melorot.

"ngapain? Gila kamu" ucapnya pelan, tapi matanya tidak lepas memandangi kontolku yang sudah setengah tegang.

"sini bentar bulek, kangen neh ama bulek yang hot dan seksi" ucapku.

"dasar nakal kamu ya. Bener-bener nekad" ucap bulek Nita sambil perlahan merangkak mendekatiku agar tidak terlihat dari ruang tengah. Bulek Nita mendekatkan wajahnya didepan selangkanganku. Kontolku yang setengah tengah berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Matanya tampak memperhatikan kontolku dengan seksama. Nafasnya tampak turun naik bahkan hembusannya terasa menyapu kepala kontolku.

"bulek... aaww.. " ucapku terputus karena kaget. Dengan gerakan cepat dan tiba-tiba bulek Nita langsung mencaplok kontolku dengan mulutnya. Tanpa pemanasan seperti kecupan atau kocokan lembut. Dia melahapnya dengan rakus. Rupanya bulek Nita pun merasakan gairah yang membara.

"nafsu amat bulek, maen caplok aja aahh.." bisikku. Bulek Nita hanya tersenyum dan tetap melanjutkan aktifitasnya. Kontolku yang sudah semakin tegang sempurna tampak keluar masuk mulutnya. Bulek Nita yang tampak sangat bernafsu berusaha mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Pipinya sampai kempot menghisap kontolku. Posisinya yang berlutut dihadapanku tertutup meja makan, sehingga menutupi pandangan dari arah suaminya membuatnya semakin leluasa beraksi.

Melihat semangat dan antusiasnya membuat ku semakin bergairah. Tangan kananku langsung menjambak rambutnya dan pinggulku kusodokkan makin dalam ke mulutnya. Clok..! Clok..! Clok..! Suara kontolku yang menusuk mentok tenggorokannya terdengar seksi di telinga kami. Aku semakin cepat menghujamkan kontolku dan bulek Nita pun tampak tidak kesulitan berusaha mengimbangi dengan mulutnya. Air liurnya semakin banyak membanjiri batang kontolku, bahkan sampai menetes ke lantai. Aku sesekali melirik keruang tengah untuk mengawasi keadaan, takut kalo suaminya menyadari perbuatan kami.

Tiba-tiba saja bulek Nita melepaskan kontolku dari mulutnya. Bulek Nita lalu dengan cepat memposisikan dirinya menungging membelakangi ku. Menyingkapkan bagian bawah pakaiannya keatas. Sehingga memamerkan bongkahan pantat putih yang dibalut celana dalam berwarna hitam. Mungkin bulek Nita menyadari bahwa kami tidak memiliki waktu yang banyak, sehingga dia langsung ingin ke acara inti. Tanpa menunggu lebih lama, aku langsung menurunkan celana dalamnya sampai ke paha dan mengarahkan kepala kontolku kearah lubang memeknya yang sudah basah. Setelah memantapkan posisi, dengan sekali hentakan aku menancapkan kontolku dalam-dalam.

"aahh! " lenguh bulek Nita sampai mendongak, agak keras karena kaget dengan seranganku.

"kenapa Dek?" tanya suaminya dari ruang tengah. Rupanya suara bulek Nita tadi terdengar sampai sana. Aku dan bulek Nita sejenak terdiam.

"ini mas, Gilang nakal banget. Donat adek di teken kenceng. Bisa penyok nanti" jawab bulek Nita.

"haha gitu aja marah kamu dek. ya biarin lah gak papa, iseng aja itu" jawab suaminya tanpa melihat kearah kami, dia masih sibuk dengan urusan bosternya.

"tuh kan gak papa, suami bulek aja malah ketawa, malah seneng memek istrinya disodok kontol orang lain" bisikku lalu mulai menggerakkan pantatku menggenjot memeknya.

"aahh iyaa sodok terruss, soddok memmek gatel buleekk.. " ucapnya sambil memaju mundurkan pantatnya mengimbangi sodokanku.

"hmm nakal ya. ini memek bener-bener nakal, senengnya di sodok kontol orang lain" ucapku sambil mempercepat sodokanku.

"hmm.. Ennaakk.. Kontol anak mudaa mmeemang ennakk.. Kuaaatt.. Kerraass.."

"ini memek kok ennak banget sih, memek istri orang memang lebih mantap... " ucapku.

Aku yang tidak tahan melihat bongkahan pantat putihnya lalu meremas dengan kuat keduanya. Membuka celah keduanya lebar mempertontonkan lubang pantatnya yang kecil dan imut. Aku lalu meludahi lubang pantatnya, meratakan dengan telunjukku. Lalu dengan perlahan aku menusukkan jariku kedalam sampai setengah. Bulek Nita tampak terkejut, pantatnya terasa makin menjepit, begitu pula dengan memeknya yang terasa makin mencengkram.

"kamu apain lubang pantat bulleeek.. " tanya bulek Nita sambil menoleh kebelakang.

"udah diem aja bulek.. Nikmatin aja. Ini lubang pantat sama binalnya dengan lubang memeknya. Sama-sama minta di colok" sahutku sambil menggerakkan jariku didalam lubang pantatnya. Bulek Nita tampak menutup mulutnya dengan tangannya, pantatnya makin mencengkram dan gerakannya makin cepat dan liar. Kontolku yang yang terasa makin nikmat membuatku makin mempercepat sodokanku. Jariku makin liar bermain dan mengorek didalam lubang pantatnya.

"gakk kuuaat.. Bulek mauu keluuar.. " rintihnya

"keluar bareng bulek.. Saya juga mau keluar.. Saya mau nyemprot memek bulek dengan sperma saya, mau saya banjiri memek tembem bulek.. " sahutku.

"iyah.. Iyah.. Semprot memek bulek.. Entot memek bulek.. Bulek pengen ngerasain mani kamu di memek bulek.. Ahh.. Acchh.. Yang cepeeettt terruusss.. Ceepeeettt... Ach.. kellluuuaaaarr...!!" bulek Nita terlihat liar saat akan mencapai orgasmenya. Bersamaan dengan itu aku menusukkan mentok jariku didalam lubang pantatnya. Begitu juga dengan kontolku yang membenam maksimal menyemprotkan sperma bercampur dengan air orgasmenya tak kuasa menahan cengkraman nikmat memeknya.

Aku lalu mendiamkan sejenak kontolku yang berkedut, terasa juga kedutan memek bulek Nita yang makin lama makin mereda. Kami terdiam sambil mengatur nafas dan menikmati orgasme yang baru saja kami alami. Sungguh sebuah orgasme yang luar biasa, sebuah pengalaman yang sangat liar, bersetubuh dengan istri orang sementara sang suami ada di dekat kami.

Secara perlahan aku mencabut kontol dan jariku yang menancap di kedua lubang bulek Nita. Tampak cairan kami berdua yang tumpah keluar mengalir membasahi paha bulek Nita dan lantai. Bulek Nita langsung ambruk ke lantai seperti tak bertenaga, matanya terpejam dengan nafas yang mulai mereda. Kurapihkan pakaian bulek Nita yang acak-acakan, menutupi area kenikmatan yang baru saja ku raih. Perlahan ku kecup dan kubeli keningnya dan Nita hanya tersenyum meresponnya. Aku lalu berjalan cepat kearah kamar mandi setelah melihat posisi suaminya tak melihat kami.

Setelah membersihkan batang pusakaku yang habis bekerja keras, aku keluar kamar mandi dan melihat bulek Nita sedang membersihkan lantai bekas pertempuran kami tadi. Bulek Nita hanya tersenyum manis sambil menggelengkan kepalanya kepadaku. Aku lalu mempercepat proses pemasangan VCD player karena hari sudah maghrib. Setelah selesai aku lalu pamit pada mereka untuk kembali kerumahku. Mandi wajib, sholat magrib, makan malam, ngerokok sebatang dan lanjut kerumah Jenni.

***

Sekitar jam delapan kurang saat aku sampai dirumah Jenni. Tidak seperti biasanya, kondisi rumahnya tampak sepi tak ada tamu. Bahkan si mbak yang biasa menghuni pohon mangga pun tidak terlihat. Tadinya sebelum berangkat kesini, aku berniat untuk mengirim sms kepada Jenni untuk sekedar memberitahu kedatanganku malam ini. Tapi biaya kehidupan yang makin besar dengan sering rental studio musik, kiriman dari Ibu yang sedikit tersendat, serta harga pulsa yang tidak bersahabat dengan anak sekolah, membuat nokia 8250 silverku tidak ada pulsa dan sedikit berkurang ketampanannya.

Diteras depan rumah, aku melihat papa Jenni sedang duduk seorang diri sambil membaca koran Bola. Dimeja depannya terhidang segelas kopi dan sepiring pisang bakar. Sungguh sangat keren dimataku, suatu saat aku pasti bisa atau harus bisa seperti dia. Punya istri cantik dan baik, anak yang cerewet, duduk diteras sambil membaca koran dan menikmati hidangan kopi plus cemilan. Sebuah impian sederhana yang didambakan setiap pria sepertiku. Mungkin karena terlalu fokus membaca atau karena memang ilmu meringankan tubuhku yang sudah mencapai tingkat sempurna, papa Jenni tidak menyadari kehadiranku.

"Assalamualaikum om.. " aku mengucapkan salam.

"waalaikumsallam.. Eh kamu Lang.." jawabnya

"lagi nyantai neh om.. " sapaku. Sebenarnya bukan karena aku tidak sopan atau menghormati orang yang lebih tua. Tapi karena aku cukup kenal dan sering bergaul satu sama lain dengan papa Jenni di dunia persepakbolaan kampung kami, sehingga aku tidak terlalu canggung kepadanya.

"iya neh fokus baca. Gak liat kamu dateng. Sini sini duduk sini" ucapnya sambil melipat koran dan meletakkannya diatas meja lalu menyalakan rokoknya.

"iya makasih om, koran baru om" tanyaku lalu duduk sambil melirik korannya.

"koran lama sih sebenernya. Gak ada kerjaan jadi di baca-baca lagi aja. Mau ngopi apa teh neh"

"gak usah repot-repot om, nyantai aja. Abis ngopi tadi" jawabku

"gimana orangtua kamu, sehat? Usahanya lancar?"

"ya alhamdulillah om.."

"nyantai aja, ngerokok aja gak papa. Sama tuh ada pisang, makan aja buat enakin ngerokok" ucapnya sambil menunjuk ke piring pisang bakar.

"emang cocok itu om dingin-dingin gini, ngerokok sambil makan pisang bakar" ucapku

"pisang bakar mana?" tanyanya heran.

"hmm? Itu.. " tunjukku ke piring yang ada diatas meja.

"pisang goreng itu.." ucapnya. Aku lalu memperhatikan lagi piring yang berisi pisang itu. Memang sih seperti pisang goreng kalo di teliti lagi. Tapi dari bentuknya yang tidak beraturan dan warnanya, membuatku ragu untuk menyebutnya sebagai pisang goreng.

"Jenni yang bikin, udah makan aja. Jangan dikomentarin, ngamuk nanti dia" ucapnya yang melihatku tampak heran memperhatikan pisang itu.

"oh iya om. Buatan Jenni ternyata, pantes aja.." jawabku. Kami berdua lalu tertawa sambil memandangi pisang tersebut.

"untung kamu dateng, kalo gak bingung om mau ngabisin pisangnya. Harus habis kata Jenni, kalo gak bisa ngamuk dia" lanjutnya.

"aman kan om?" tanyaku

"aman, tadi om udah makan abis satu" jawabnya.

"bukannya apa sih om, masalahnya rumah sakit jauh" ucapku yang disambut tawa olehnya.

Bisa maen catur gak, kita maen catur aja ya" ucapnya sambil mengambil papan catur yang ada dibawah meja.

"cuma tau jalannya aja om. Gak bisa strateginya" jawabku. Oh plis dong om pengertiannya, aku kesini mau ketemu anak gadismu, bukan maen catur batinku.

"ah udah gak papa. Om juga gak terlalu bisa kok. Kita maen-maen aja" ucapnya sambil menumpah isi bidak catur dan menyusunnya. Mau tidak mau aku ikut menyusun juga dan meladeninya bermain catur. Mudah mudahan cuma 2 atau 3 permainan.

"paaahh.. Cas hape dimana.. " suara teriakan Jenni dari dalam rumah. Dasar Jenni senengnya kok teriak-teriak. Tapi mendengar suaranya saja sudah bisa membuatku senang, apalagi melihat orangnya ya. Mudah mudahan dia kesini dan melihat kalo aku ada disini. Dan mudah-mudahan saja dia keluar sambil memakai baju tidurnya yang tipis dan berenda.

"deket tipi.. Kan kamu tadi yang pake.." sahut Papanya. Ah aku jadi kecewa mendengarnya, kenapa sih harus di sahuti. Seandainya tidak disahuti pasti Jenni akan kesini dan melihatku.

Kami lalu melanjutkan bermain catur. Sambil merokok dan sesekali menikmati pisang goreng ala Jenni yang ternyata aman untuk dikonsumsi. Mengenai khasiat dan kandungan vitaminnya aku yakin sudah tidak ada lagi. Sudah sebanyak dua putaran kami bermain, dan skor adalah 2-0 untuk papa Jenni. Tapi sepertinya masih belum ada tanda-tanda dia segera mengakhiri permainan catur ini. Kenapa dia tidak ke gardu depan saja sih, disana pasti banyak bapak-bapak yang dengan sukarela meladeninya bermain catur. Kenapa harus denganku yang jelas-jelas datang kesini untuk menemui anak gadisnya. Seperti tidak pernah muda saja pikirku.

"paaahh.. Besok jadi ya beliin tas.. " terdengar lagi teriakan Jenni dari dalam.

"iyaa.." sahut papanya sambil fokus menatap papan catur.

"dua ya pa... " teriak Jenni lagi

"iyaa.." sahut papanya sambil memakan luncur ku.

"paahh pengen makan mie goreng lho.. " teriak Jenni tak lama kemudian.

"iya minta masakin mama kamu sana.." sahut papanya.

"maahh mamah... " teriak Jenni mencari mamanya kebelakang.

"haah.. Cerewet banget ya" ucap papa Jenni sambil menghela nafas.

"hah? Apa om?" tanyaku

"Jenni. Anaknya cerewet, manja, suka ngambek. Mungkin karena anak satu-satunya dia jadi begitu. Salah kami juga yang terlalu manjain dia. Setiap kemauan dia selalu kami turutin, akhirnya jadi begini. Entah kapan dia bakal dewasa, om suka khawatir sama kepikiran dia nantinya" ucapnya serius.

"oh itu, ya masih wajar kok om. Memang rata-rata begitu anak cewek seumur dia, nanti juga dewasa om pemikirannya" jawabku sok ngerti.

"saya naruh harapan besar sama dia. Saya pengen dia bisa sukses nantinya, punya pekerjaan bagus, bisa jadi Dokter, hidup layak kecukupan dan bisa mandiri juga berpikir dewasa" lanjutnya. Aku hanya diam mendengarkan tak bisa berkomentar apa-apa. Kenapa permainan catur ini malah berubah menjadi obrolan serius yang membuatku bingung. Harapan setiap orangtua kepada anaknya pasti begitu. Tapi kenapa disampaikan kepadaku saat ini, apa maksudnya? Kenapa juga nada dan bahasanya jadi lebih formal tidak seperti sebelumnya.

"Jenni pasti belum mikirin sampe sejauh itu. Makanya sebagai orang tua saya bener-bener khawatir. Saya mau dia bener-bener fokus ke sekolahnya, lanjut ke kuliah, kerja, baru mikirin hal lainnya" lanjutnya sambil menghisap dalam-dalam rokoknya. Hal lainnya? Apa yang dimaksudnya dengan hal lainnya ya? Posisi duduknya saat ini menyandar dan seolah tidak perduli lagi dengan permainan catur kami.

"kami punya rencana buat mindahin sekolah Jenni." lanjutnya. Aku sangat terkejut mendengar perkataannya dan tidak bisa berkata apa-apa. Mulutku sampai ternganga dan lidahku terasa kelu.

"pindah ke Jogja, ikut neneknya. Menurut kami dengan Jenni ikut neneknya di Jogja adalah hal yang bagus buat dia. Lingkungan dan tata krama masyarakat Jogja yang baik dan jauh dari orangtua mungkin bisa membuat Jenni jadi lebih dewasa dan mandiri. Selain itu juga bisa untuk penyesuaian dia untuk lanjut kuliah disana nanti. Waktu itu sudah kami omongin sama Jenni, dan dia sudah setuju. Awalnya kami mau pindahkan di pertengahan sekolah ini, tapi Jenni minta sampai selesai kelas 2 disini. Tapi entah kenapa siang tadi sepulang sekolah dia berubah pikiran, dia bilang untuk pikir-pikir lagi masalah itu. Makanya itu salah satunya yang buat saya bingung" ucapnya. Aku masih terdiam mendengarkan semua itu, coba mencerna dan memahami maksud dan tujuan perkataannya. Lidahku masih terasa kelu, jantung dan dadaku kembali terasa sakit, bahkan lebih sakit dari yang kurasakan siang tadi. Membayangkan Jenni yang pergi saja sudah membuatku sakit begini, apalagi jika dia benar-benar pergi nanti.

"mungkin kamu bingung kenapa saya cerita gini sama kamu. Selain kamu udah dewasa, sebagai sesama lelaki kamu pasti ngerti apa maksud dan tujuan saya, semua semata buat kebaikan Jenni. Disamping itu juga mungkin kamu tau apa kira-kira yang membuat Jenni jadi ragu dan pikir-pikir lagi untuk ke Jogja" lanjutnya.

"hmm.. Itu saya gak tau om.. " jawabku bingung.

"saya udah berusaha ngasih pengertian ke beberapa temen lelaki Jenni yang sering main kesini. Dengan tujuan supaya Jenni bisa fokus ke Jogja dan tidak ada yang dipikirkan atau diberatkan disini." lanjutnya. Rupanya itu yang jadi penyebab kenapa tidak ada lagi tamu cowok yang datang kerumah Jenni. Apakah ini juga berlaku untuk ku? Apakah seperti ini juga yang disampaikan papa Jenni kepada mereka. Seperti kata papa Jenni, aku sudah dewasa dan sebagai sesama lelaki aku paham maksud dari semua perkataanya, paham dengan segala tujuannya.

"apa terlalu berlebihan harapan saya? Apa terlalu keras saya pada Jenni? Atau terlalu jahat saya sama mereka?" tanyanya. Mereka? Mungkin maksudnya adalah kalian. Kalian dan juga termasuk aku, orang-orang yang menaruh hati pada Jenni dan dianggap memberatkan kepergiannya ke Jogja.

"gak om, wajar itu. Semua orangtua pasti punya harapan begitu ke anaknya. Begitu juga orangtua saya" jawabku.

"ya.. Bener itu. Orangtua kamu juga pasti punya harapan besar sama kamu. Begitu juga saya ke Jenni. Saya bukannya melarang kalian menikmati masa-masa sekolah dan sebagainya. Saya juga pernah muda, Tapi saya berpikir jauh kedepan dan memikirkan masa depan Jenni, anak saya satu-satunya. Saya mau yang terbaik untuk dia dalam segala hal"

"iya om saya paham maksud om. Bener-bener paham" ucapku.

"terima kasih kalo kamu paham dan mau ngerti. Satu hal lagi, selain memang belum saatnya buat kalian, disamping itu juga seperti yang udah saya bilang tadi. Saya mau yang terbaik buat Jenni. Yang terbaik pastinya punya standar dan kriteria, dalam segala hal pastinya" lanjutnya.

"saya paham om maksud dari omongan om itu" ucapku mantap dan menatap matanya.

"saya sadar om, saya gak pantes buat Jenni. Orang kayak saya, bahkan berteman dengan Jenni aja gak pantes. Saya juga sadar berasal dari keluarga yang kehidupan dan ekonominya ada dibawah keluarga om. Secara pribadi saya berterima kasih sama om yang udah nyadarin dan ngingetin tempat saya dan darimana saya berasal om" ucapku lagi.

"jujur aja, saya gak marah atau tersinggung om, apa yang om omongin semuanya bener. Tapi satu hal yang pasti om, apa yang menurut om baik atau terbaik buat Jenni, itu semua belum tentu yang baik atau terbaik bagi Jenni. Om tadi bilang saya sudah dewasa dan kita bicara sebagai sesama lelaki. Sekarang sebagai sesama lelaki saya berjanji om, saya gak akan ngehalangin Jenni atau memberatkan Jenni ke Jogja. Saya gak akan mengganggu kehidupannya lagi, saat ini. Saya bilang saat ini om. karena suatu saat nanti, saat saya sudah layak dan pantas untuk Jenni, saya akan datang lagi kesini, kerumah ini, kehadapan om untuk menjemput Jenni. Dan saat itu tiba nanti, saya harap om juga mau nepatin janji om, janji kita, janji sebagai lelaki. Dengan tangan om sendiri, om dengan lapang dada bakal nyerahin Jenni ke saya. Gimana om?" ucapku mantab dan mengulurkan tanganku mengajaknya bersalaman. Papa Jenni tampak kaget dan tertegun mendengar semua perkataanku. Dia lalu menatap uluran tanganku, dan setelah berpikir agak lama dia lalu menyambut tanganku, bersalaman. Bersalaman menyatakan setuju atas perjanjian kami, perjanjian antar lelaki.

"mah.. Ngapain berdiri disitu.. " suara Jenni dari dalam rumah.

"oh enggak, gak papa" jawab mamanya gugup yang rupanya berdiri di dalam rumah dekat dengan pintu. entah sejak kapan dia berdiri disana, mungkin dia juga mendengar semua obrolanku dan suaminya.

"papah mana? Masih didepan?" tanya Jenni.

"iya ada, mamah kedalem dulu ya" jawab mamanya.

"paah.. Udah abis belum pisangnya? Pokoknya awas aja kalo.. " Jenni tidak menyelesaikan ucapannya karena kaget begitu mengetahui keberadaanku di teras bersama papanya. Jenni tampak sangat menggemaskan malam ini, rambutnya yang dikuncir kuda dan sedikit acak-acakan semakin memberi kesan manis padanya. Dan yang lebih mengagetkan adalah Jenni memakai baju berwarna hitam biru. Sebuah baju bola dari klub sepakbola dari Italia, Inter Milan. Baju bola milikku, baju bola andalanku, baju bola yang tadi kupinjamkan kepadanya untuk melindunginya dari hujan. Baju itu tampak kebesaran dipakai olehnya, bahkan hampir menutupi celana pendek yang dipakainya saat ini. Mengingat keadaan yang terjadi dan kepergiannya nanti ke Jogja, aku jadi merasa sangat sedih dan kehilangan saat memandangnya. Semakin memandangnya membuatku semakin merasa sakit di dadaku. Jenni masih saja diam dan seperti terpaku dan kaget melihat keberadaanku.

"loh kamu belum mandi sayang.. " tegur papanya.

"hah? Enggak, dingin males mandi. Eh udah kok, udah mandi. iiihh... Apaan sih papa ini" ucap Jenni seperti orang bingung dan kemudian berlari kedalam rumah meninggalkan kami. Kami hanya melongo melihat kelakuannya.

Aku kemudian mengalihkan pandanganku kearah piring pisang goreng diatas meja. Pisang goreng ala Jenni yang sangat unik. Karena merasa akan kehilangannya dan sekedar untuk mengingatnya, aku mengambil sepotong pisang itu. Baru saja aku mengambil pisang goreng itu, seketika saja Jenni datang dengan tiba-tiba dan merampas pisang goreng ditanganku. Setelah itu dia pun mengangkat piring pisang diatas meja dan membawanya berlari kedalam rumah.

"aaarrrggghhh...!!" teriak Jenni dari dalam rumah. Aku dan papanya hanya bisa saling memandang.

"yaudah om, kalo gitu saya pamit dulu ya. Sudah malem. Salam buat tante" ucapku berpamitan.

"oh iya iya.. Om harap obrolan kita tadi jangan sampe Jenni tau. Kalo dia tau nanti om takut dia bakalan marah sama om. Cukup kita aja yang tau ya" ucapnya.

"iya om. Assalamualaikum.."

"waalaikumsallam. "

Dengan langkah gontai dan hati yang galau aku melangkahkan kaki meninggalkan rumah Jenni. Rumah yang entah kapan akan ku datangi lagi. Aku lalu menghentikan sejenak langkahku dan berbalik memandang rumah itu. Suatu saat aku akan datang lagi, pasti! suatu saat nanti. Janjiku dalam hati.

"kopinya tambah lagi pah" ucap mama Jenni kepada suaminya sambil mengelus dan memijat pundak suaminya. Seolah memahami beban yang ada pada suaminya.

"mamah denger semua tadi?" tanya papa Jenni

"iya"

"Jenni?"

"Gak, dia gak tau. Dia dibelakang tadi lagi makan"

"huft... " papa Jenni menghela nafas.

"Papah udah bener kok, papah gak salah. Semua buat kebaikan anak kita, Jenni" ucap mama Jenni berusaha menenangkan suaminya.

"iya, semoga aja Mah. Semoga aja Jenni gak marah nanti sama papah"

"gak lah pah, Jenni juga pasti ngerti kok nanti"

"tapi papah agak kaget tadi. Anak itu.. Ternyata kuat juga tekad dia. Papa gak nyangka dia bakal bilang begitu. Ada sedikit ketakutan waktu papa denger omongan dia tadi"

"iya pah, mamah ngerti. Mamah juga begitu. Dia memang beda dengan yang lainnya. Jenni juga kayaknya ada perasaan sama dia. Beda aja sikap Jenni ke dia dibandingin ke yang lain"

"iya mah, menurut papah juga gitu"

"loh.. Kemana anak itu mah.. " tanya Jenni yang datang dari dalam rumah.

"anak mana" tanya mamanya

"si Gilang bulan puasa.. " jawab Jenni. Ah dasar Jenni. Gilang Ramadhan Jen, bukan Gilang bulan puasa.

"sudah pulang tadi, kamu kelamaan sih" jawab mamanya.

"iiihh.. Kebiasaan bener lho anak itu. Orang disuruh tunggu malah pergi!" ucap Jenni lalu masuk kedalam sambil menghentakkan kakinya jengkel.

Sementara itu aku masih berjalan seorang diri menembus gelapnya malam. Gelap, karena orang-orang disini sangat pelit dan peritungan dengan tidak memasang lampu jalan sebagai penerangan. Suasana hatiku yang saat ini sedang rapuh sangat membutuhkan penyemangat dan gairah hidup. Yang semua itu hanya bisa kudapat dari belahan jiwaku. Maka aku kemudian memasuki sebuah wartel yang kulalui untuk menghubunginya.

Tuutt... Tuutt... Tuutt.. Suara nada sambung menandakan panggilanku sudah masuk.

"halo.. " jawab suara diseberang sana

"halo.. Lagi dimana.." tanyaku lesu

"sapa ini? " tanyanya.

"bapak kamu!" jawabku

"hahaha... Woy ada apa anak muda" jawabnya yang sudah mengenali suaraku.

"saya lagi sedih neh. Pinjem pundak dong buat nangis"

"hahaha.. Dimana gerangan dirimu berada"

"wartel yang deket rumah Jenni. Kesini ya cepet"

"oke, langsung kesana. Jangan bunuh diri dulu ya"

"iya makanya cepet, kalo kelamaan bisa berubah pikiran saya.. Cklek" ucapku lalu menutup gagang telpon setelah melihat angka yang tertera didepanku. Mahal amat ini wartel, baru bentar doang udah 3 ribuan. Untung hape Bonar aktif, seandainya gak aktif dan yang menjawab adalah mbak veronika maka aku masih harus tetap membayar biaya telpon. Tau begitu mending cari telpon koin saja tadi, dan nelpon ke telpon rumah saja jangan hape.

Sambil menunggu kedatangan Bonar, aku duduk didepan wartel dan kembali memikirkan kejadian tadi. Bisakah aku merelakan kepergian Jenni? Bisakah aku kehilangan dia? Dan bagaimana kah caraku untuk melepaskannya. Seperti kata papanya tadi, tak mungkin aku menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada dia. Karena terlalu asik melamun aku sampai tidak menyadari jika Bonar sudah sampai ditempat ini.

"alhamdulillah masih idup. Kirain dah kaku di rubungin laler ijo.. " ucap Bonar mengagetkanku.

"kampret.. Ngagetin aja. Cabut yok, lagi suntuk neh. Minum aja kita malem ini" ajakku.

"oke sip, yo berangkat" jawab Bonar bersemangat lalu memutar motornya dengan gaya motocross.

"eh nanti dulu.. " cegahku

"apaan lagi" tanyanya heran.

"bayarin wartel dulu" ucapku

"ah kampret belum dibayar ya"

"3.450 doang. Bayarin dulu, uang saya gede semua belum dipecahin"

"segede apa sih. Pecahin tuh sama martil" sungut Bonar sambil ngeloyor masuk kedalam wartel.

"coy.. Mbak wartelnya cakep coy... Ah gak bilang-bilang, tau gitu kesini aja ya kalo mau ke wartel" ucap Bonar dengan mata berbinar saat keluar dari dalam wartel.

"udah kawin, anaknya 2" jawabku sambil menyalakan motor dan memegang kemudinya.

"kira-kira kapan cerai ya" ucapnya

"doain aja secepetnya. Tapi sekalian doa juga suaminya gak ngeliat kita disini"

"kenapa emangnya"

"waktu itu ada cowok nongkrong disini, babak belur di gebukin suaminya. Sampe ampir putus kupingnya dijambak. Suaminya cemburuan, preman sini, mana mantan pemaen debus lagi. Tau sendiri pemaen debus kebal, gak mempan dibacok" ucapku menakuti Bonar.

"ahh kalo gitu ayo cepet kita cabut dari sini. Eeh saya aja yang bawa motor, jangan kamu. Orang lagi putus harapan biasanya suka ngawur bawa motornya" ucap Bonar merebut kemudi motor dan memaksaku mundur kebelakang.

Malam itu aku menghabiskan waktu dengan Bonar di sebuah lapo tuak milik temannya. Aku ceritakan semua kejadian dirumah Jenni tadi kepadanya. Bonar hanya mendengarkan dan terlihat sedih seolah ikut merasakan kesedihanku. Kami berdua minum hingga larut malam menjelang pagi. Entah sudah berapa banyak minuman keras yang masuk kedalam tubuhku. Seingatku aku tidak pernah minum sebanyak ini, dan tidak pernah sampai mabuk seperti ini. Entah ocehan apa saja yang keluar dari mulutku saat mabuk. Kegundahanku yang membuatku ingin melupakan realita yang ada, ingin melupakan segala beban permasalahanku. Aku benar-benar ingin mabuk dan melupakan segalanya.

***

Aku membuka mataku dan merasakan sedikit sakit dan berat dikepalaku. Aku memandang berkeliling mencoba menyesuaikan pandanganku dan mencoba mengenali tempatku terbaring saat ini. Ternyata saat ini aku terbaring dan ada disebuah kamar. Dari kondisinya yang berantakan dan bau nya yang apek, aku yakin saat ini sedang ada dikamar Bonar. Entah bagaimana aku sampai disini dan jam berapa aku kesini, aku tidak mengingatnya. Pasti karena terlalu mabuk semalam sampai aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi. Aku melihat jam dinding dikamar Bonar menunjukkan angka 09.25 wib. Ah sudah siang rupanya, dan aku sudah terlambat untuk ke sekolah. Bonar kemana ya? Apa dia sudah berangkat sekolah meninggalkanku?

"kemana saja kau semalam! Pulang sampai pagi!" suara menggelegar dari Ibu Bonar yang segera aku kenali.

"maenlah mak, namanya anak bujang" suara Bonar menyahuti.

"terus kalo kau sudah bujang, bisa seenaknya pulang pagi" suara Ibu Bonar.

"ya kata mamak jangan pulang malam, ya aku pulang pagi lah" suara Bonar menjawab.

"akhirnya apa! Kesiangan kan kau. Gak sekolah kau. Bolos lagi" suara Ibu Bonar.

"gak bolos mak, udah kirim surat. Nitip temen" ucap Bonar

"kirim surat.. Emangnya guru kau itu cantik apa. Kok sering kali kau kirimi surat. Kayak orang pacaran saja" ucap Ibu Bonar.

"laki mak gurunya.. " ucap Bonar.

"nah lebih bahaya itu. Ngapain lelaki kok kau kirimi surat terus"

"surat ijin mak.. Bukan surat cinta... "

"ya bisa aja karna terlalu sering kau kirimi surat, bisa suka dia sama kau"

"aah.. Ya gak lah mak.. Emangnya apaan ah mamak ini"

"benar-benar lah mau sekolah, pintar-pintar. Biar nanti bisa jadi pengacara... "

"ah males lah mak jadi pengacara"

"trus mau jadi apa kau nanti. Tukang tambal ban? Buka lapo tuak! "

"ya gak gitu lah mak. Mentang mentang kita orang batak harus jadi pengacara, tambal ban, lapo tuak. Banyak mak kerjaan lain."

"nah trus mau jadi apa kau sekarang hah mamak tanya!"

"ya belum tau lah mak.. "

"cita-cita aja kau gak punya, sedih kali hidup kau ini Bonar.."

"nantilah mak, tenang aja. Kubuat banggalah nanti mamak sama aku. Nanti pasti mamak bakalan bilang sama temen-temen mamak, itu anak ku Bonar.. "

"alah pintar kali kau ngomong, persis bapak kau. Itu ngapa pula itu si Gilang begitu, kenapa lagi dia"

"patah hati dia mak, sedih menyayat hati"

"sama saja dengan kau. Hari ini sedih, besok kalo liat cewek montok langsung melotot mata kalian. Cewek terus yang dipikirin"

"gak mak, sekarang ini beneran patah hati dia. Sedih mak kalo diceritain. Udah kayak sinetron ceritanya"

"nah coba kau tengok dulu kedalem kamar itu, siapa tau udah bunuh diri dia. Kau singkirkan dulu barang-barang tajam sama tali tambang dari kamar mu itu"

"udah mak, udah aman. Tinggal obat nyamuk bakar aja, itu juga tinggal setengah. Gak akan mati kalo dimakan dia"

"ya kau hibur-hibur lah dia biar gak sedih. Atau suruh tinggal sini aja dia daripada dirumahnya sendirian begitu."

"ya gampanglah mak. Makanya ini nanti mau ku ajak cari cewek lagi dia mak, biar gak sedih lagi dia"

"gaya kau mau carikan cewek. Kau sendiri belum punya cewek. Makanya maulah mamak jodohkan dengan anak temen mamak di pasar. Dia sudah suka bener sama kau"

"ah males lah mak, gak cantik anaknya"

"gak cantik, gak cantik. Kau liat tampang kau di cermin. Kau pun gak ganteng, jelek rupa! jangan banyak gaya kau. Sudah untung ada yang mau"

"aku ini anak kandung bukanlah mak? Kok mamak sendiri ngomongin aku jelek, gak ganteng. Anak siapa aku sebenernya mak... Jawab maak.. "

"entah anak siapa, dulu kami nemu waktu kau masih bayi, dibuang ditempat sampah pasar. Karena kasian, kami uruslah kau sampai sekarang"

"mamaak...."

"makanya jangan banyak gaya kau, nurut sama mamak. Mau lah sama anak temen mamak itu. Calon bidan dia"

"yaudah mak, aku mau dijodohin. Tapi bukan sama cewek itu. Aku maunya nikah sama sodara jauh opung yang sekarang tinggal di jakarta itu"

"Anak ini dasar! Mikir kau, otak kau dimana! Mau nikah sama Lulu Tobing! Kau itu siapa! Itupun dia bukan sodara kita, gak kenalah dia sama kita. Opung kau sama opung dia itu dulu satu kampung. itupun dulu, dulu sekali.. "

"sapa tau jodoh mak.."

"aah sudahlah, bisa gila ngomong sama kau ini. Sudah mamak mau pergi dulu kepasar, kasian bapak kau sendirian. Nanti kalo Gilang sudah bangun, diajak makan."

"iya mak, mak minta uang lah mak.. "

"itu uang dimeja depan kau"

"seribu ini mak, kuranglah.. "

"boros kali kau ini, uang terus. Ambilah di laci kamar itu, jangan banyak-banyak"

"iya mak, makasih ya mamak ku yang cantik. Oiya mak, mamak naek becak aja mak. Motor mau kubawa sama Gilang nanti"

"iya iya!"

Kemudian hening setelah kepergian ibu Bonar. Mendengar obrolan Bonar dan ibunya membuatku rindu kepada ibuku. Kesedihanku karena Jenni semakin bertambah dengan kesedihan ku yang merindukan ibuku. Aku lalu memeriksa hape ku dan melihat ada 5 pesan yang masuk disana. Aku membuka kuncinya dan melihat siapa pengirimnya. Mala, Jenni, Jenni, Jenni, Bulek Nita. Aku lalu membuka pesan itu satu persatu.

From : Bulek Nita (19.45 pm)
"Kamu dimana lang, bulek mau anterin kue donat"

Aku lalu melanjutkan membaca 3 pesan berikutnya dari Jenni.

From : Jenni ( 20.17 pm)
"tunggu, saya salin dulu"
Ini pasti pesan yang dikirimkannya tidak lama setelah dia merebut pisang goreng dari tanganku dan berlari kedalam rumah. Aku lalu membaca pesan Jenni yang kedua.

From : Jenni (20.23 pm)
"kamu kemana! Disuruh tunggu Kok malah pergi!
Dari waktunya pesan ini sepertinya dikirimkan tidak lama setelah aku pergi, mungkin saat aku masih di wartel. Aku lanjutkan membaca pesan yang ketiga.

From : Jenni (01.15 am)
"udah tidur?"
Jam satu lebih. Apakah Jenni terbangun dari tidurnya? atau memang dia belum tidur? Jangan-jangan dia tidak bisa tidur karena memikirkanku yang tidak membalas sms nya. Aku jadi merasa bersalah dan kasihan kepadanya. Aku kemudian melanjutkan membuka sms dari Mala.

From : Mala (07.15 am)
"kamu sakit apa? Sudah berobat? "
Aku kemudian membalas sms dari Mala tersebut.

Reply : Mala
"sakit biasa, cuma panas aja. Bentar juga baikan kok"
Jawabku dan langsung mengirimkannya.
Pesan Tidak Terkirim! Ah sial, aku lupa jika pulsaku habis dari semalam. Aku lalu meletakkan kembali hape ku. Saat itu kemudian masuk Bonar kedalam kamar.

"wuih udah bangun.. Reseh nyusahin aja semalem" ucapnya.

"ngapain emang semalem" tanyaku.

"pake nanya lagi. Udah maboknya reseh, ngoceh gak jelas. Pake jackpot lagi ampe dua kali"

"hehe sori sori.. Emang ngoceh apaan saya"

"ya segala macem lah. Malu kamu nanti kalo saya ceritain. Haha"

"hehehe.. Sori ya ngerepotin"

"udahlah nyantai aja. Udah ya jangan galau lagi. Apa yang kamu lakuin udah bener kok"

"trus selanjutnya gimana ya coy" tanyaku

"ya lupain Jenni, kalo perlu buat Jenni jadi marah dan benci sama kamu. Supaya dia bisa pergi ke Jogja tanpa ada beban lagi"

"tapi berarti perginya ngebawa kebencian sama saya dong"

"ya gak papa untuk sementara ini. Suatu saat nanti kan bisa kamu jelasin kondisi sekarang ini sama dia nanti, pasti dia paham"

"begitu ya"

"iya, yang paling penting adalah bener pesen papanya Jenni. Jenni jangan sampe tau masalah ini. Bisa ngamuk dia nanti sama orangtuanya, kalo ngamuk bisa kacau semuanya. Toh kita tau ini semua buat kebaikan Jenni"

"iya bener itu coy.. "

"udah ya fix, lupain Jenni. Tapi bersikap biasa aja sama dia, seolah olah gak ada apa-apa. Tapi pelan-pelan kamu jauhin dia. Ah kamu ahlinya lah kalo bikin cewek benci mah hahaha.. " ucap Bonar menepuk pundakku.

"iya memang itu kayaknya yang terbaik saat ini"

"iyalah, udahlah santai aja. Masih ada cewek laen yang perhatian dan membutuhkan kasih sayang kamu"

"hah? Siapa?" tanyaku

"Mala. Neh dia udah sms saya terus nanyain kamu"

"kamu bilang apa"

"saya bilang aja gak sakit. Tapi ada masalah sedikit, masalah keluarga. Jadi butuh ketenangan dan berpikir"

"kok kamu bilang gitu"

"biar dia simpati ama kamu. Kasian ama kamu. Pasti dia bakal lebih perhatian nanti sama kamu. Haha gimana sip gak? Udahlah lupain Jenni, Mala aja ya. Tapi Mala jangan sampe tau masalah ini, biar jadi rahasia kita. Udah mandi sana trus kita makan" ucap Bonar sambil keluar kamar meninggalkanku.

Mala.. Secara fisik dia memang sangat menarik dan tidak kalah jika dibandingkan dengan Jenni. Tapi dari sikap dan sifatnya, mereka berdua adalah pribadi yang sangat jauh berbeda. Apa aku harus mengikuti saran dari Bonar untuk mengalihkan perasaanku pada Mala? Apakah langkahku ini sudah benar? Bukankah malah akan sangat tidak baik jika aku mendekati Mala hanya sebagai pelarian saja. Jujur saja aku memang ada ketertarikan dan mungkin sedikit perasaan kepada Mala, walau tidak sebesar kepada Jenni. Tapi memang seperti ada sesuatu pada diri Mala yang membuatku atau seolah menahanku untuk dekat kepadanya. Tapi jika kupikir lagi, entah salah atau tidak. Tapi memang hanya Mala lah jalan keluarku saat ini. Hanya Mala lah yang bisa membantuku saat ini. Hanya Mala lah yang bisa menjadi tempat pelarianku, dan hanya Mala lah yang bisa membuat Jenni menjadi 'sedikit membenciku' dan akhirnya pergi ke Jogja tanpa ada beban.

Tiit.. Tiit.. Tiit.. Tiit.. Suara sms yang masuk di hapeku.

From : Mala
"lagi ngapain? Udah makan belum?"

"Naar... Isiin saya pulsa dooong... " teriakku sambil keluar kamar mencari Bonar.

***
 
Terakhir diubah:
Mohon maaf yang sebesarnya kepada semua sesepuh dan para pendekar yang ada disini. Bukan bermaksud untuk menghilang tanpa kabar atau pergi tanpa pesan, tapi kepergianku adalah pergi untuk kembali.

Sekedar curhat, kurang lebih satu purnama yang lalu, saya mengalami beberapa kesibukan terkait dengan pekerjaan saya. Perubahan manajemen, struktur, sistem dan lain sebagainya. Sehingga membuat saya harus lebih fokus dan sejenak meninggalkan forum tercinta kita ini.

Semoga updatenya bisa jadi sekedar penghilang dahaga atau penawar obat rindu bagi kita semua.

NB : Saya belum sempat cek ulang dan memeriksa jika ada kesalahan pada update ini. Mohon di infokan jika ada yang harus di edit.

Best Regards,
 
Terakhir diubah:
Pertamax maning.. :haha:
Percakapan bonar ma emak nya ngakak habis gue..
:mantap:
 
Terakhir diubah:
Uahh ada bacaan baruu :hore:
 
kasian jenny nya pastinya jg lebih sakit ...
:galau:
meski gentlemen aja lang sebagai kesatria aliran putih
 
selamat datang kembali kisanak...begitu turun gunung lsg kau keluarkan seribu jurus...hehe...agak puas membacanya...#bacajurus...kwkwkwk...semoga kesibukan yang menghadang terhapus dgn kemenangan nerazzuri.....#kpn update lagi....bwahahahahaha
 
Mantap suhu..kasihan jenni..


Sini jenni kk peluk dulu..:cup:

Maaf suhu triple post..koneksinya lg ga stabil:aduh:
 
Gilang, kl lo berani ninggalin si jenni liat akibatnya lo hadepin nich preman jogja... N kl lo nyakiti si mala lo urusan sama jend nagabonar... Awas lo... :marah:

Hahaha... Lanjut suhu.. Smg kerjaannya dah beres n sehat selalu jd ga lama lg nunggu updatenya... :hore:
 
Bimabet
its oke suhu....
kuat juga tekadmu nak gilang....
ndak mudah memang....
tapi semoga endingnya baik....
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd