Selesai bermain sepakbola sore itu, aku langsung mandi dan bersantai diteras belakang rumahku. Ditemani segelas kopi dan beberapa batang rokok mild. Saat bermain sepakbola tadi aku tidak melihat Jenni disana atau didepan rumahnya. Apa dia sakit ya karena gerimis tadi? Atau dia pergi les? Ah paling-paling dia tidur, anak manja seperti dia pasti akan bermalas-malasan di cuaca seperti ini. Kenapa tiba-tiba aku kangen padanya ya. Ingin melihat wajahnya, mendengar suaranya dan mendengar ocehannya. Padahal baru siang tadi aku berpisah dengannya. Malam nanti aku berniat untuk berkunjung kerumahnya, mudah-mudahan saja dia ada dirumah dan tidak ada pengganggu.
"Lang.. Lang.. Tok tok... " suara seseorang memanggilku dan mengetuk pintu pagar belakang rumahku. Dari suaranya seperti itu adalah om Haryono, suami bulek Nita.
"ya om.. Bentar.." sahutku sambil beranjak dan membuka pintu pagar belakang.
"what happen, ada apa om?" tanyaku setelah membuka pintu dan melihat bahwa memang benar itu adalah om Haryono.
"no what what, cuma mau minta tolong" ucapnya meladeni candaanku.
"oke, siap. Apaan itu om"
"bantuin pasang antena tipi. Bediriin antenanya, susah kalo sendirian. Kalo udah berdiri kan gampang tinggal boster dalem aja, bisa dikerjain sendiri" jelasnya.
"oke ayo om, mumpung belum magrib" ucapku. Aku lalu membantunya untuk memasang antena tv. Antenanya sudah dirakit dan dipasang di sebuah pipa besi. Hanya tinggal mendirikan dan mengikatnya saja dibelakang rumah. Setelah selesai kami masuk kedalam rumah untuk merakit boster.
"makasih ya Lang, tinggal boster dalem aja ini. mudah-mudahan gak ada masalah" ucap om Haryono.
"sekalian beresin lah om, kata guru PMP kalo bantu orang gak boleh separo-separo, harus sampe beres" ucapku
"haha iya sih, sapa tau masih harus diputer antenanya nanti" jawabnya.
"pada kemana om, sepi amat" tanyaku celingukan kesana kemari mencari bulek Nita sambil mengingat aksi kami terakhir yang benar-benar menegangkan.
"Eko dikamar lagi ngerjain PR. Bulek mu lagi di dapur tuh mau buat donat katanya" jawabnya sambil mulai dengan kesibukannya.
"mas, ini VCD nya kok berantakan di meja makan gini?" teriak bulek Nita dari arah dalam.
"iya dek, lupa. Tadi mas bongkar, karena sering macet-macet" jawab suaminya.
"apa sudah beres? Kok gak dipasang lagi, gak di beresin"
"belum dek, lupa. Nanti ya beresin antena ini dulu, tinggal boster aja gak lama kok"
"emang rusak apanya sih mas. Apa kamu ngerti dandan beginian"
"ya gak tau dek. Bongkar-bongkar aja, mungkin cuma kotor karena debu. Kalo gak bisa yaudah, emang rusak"
"kalo cuma bongkar-bongkar, saya juga bisa om. Sini saya aja yang beresin. Bersihin doang trus pasang lagi kan" ucapku sambil berjalan kebelakang.
"iya Lang. Kalo gak bisa lagi yaudah, besok kirim ke tukang service aja" jawab om Haryono.
"eh ada Gilang ya. Daritadi?" tanya bulek Nita yang melihat kedatanganku di dapur.
"barusan bulek. Abis bantuin pasang antena. Lagi ngapain bulek?"
"ini mau buat kue donat. Buat cemilan aja. Nanti kamu cobain ya" jawab bulek Nita.
"saya sukanya bakpao. Bakpao tembem isi kacang" bisik ku yang disambutnya dengan senyuman.
"ini saya pindahin kebawah dulu aja ya bulek. Biar bulek enak bikin donatnya diatas meja, jangan dibawah" ucapku.
"udahlah gak usah, tanggung. Lanjut aja kamu diatas, bulek dibawah" jawabnya penuh arti.
Posisi ku saat ini sedang berdiri didepan meja makan menghadap keruangan tengah dimana om Haryono sedang sibuk dengan aktifitasnya, jarak kami saat ini sekitar 8 meter. Sementara itu bulek Nita ada dibelakang ku, posisinya yang dibawah tertutup oleh meja makan sehingga tidak terlihat dari arah ruang tengah tempat suaminya saat ini. Aku memperhatikan posisi kami bertiga, lalu memeriksa meja makannya yang tertutup taplak meja hingga bawah hampir menyentuh lantai. Tiba-tiba saja muncul ide gila dalam kepalaku. Secara perlahan aku menurunkan celana pendek dan celana dalamku sampai sebatas lutut. Meja makan yang setinggi perutku membuat bagian perut kebawahku tidak terlihat dari arah depan. Aku lalu memperhatikan bulek Nita, daster batik tanpa lengan dengan panjang selutut tampak sangat indah ditubuhnya.
"bulek, sini.. Pake ini aja bolongin donatnya" panggilku pelan. Bulek Nita menoleh kearahku dan tampak terkejut melihat celanaku yang sudah melorot.
"ngapain? Gila kamu" ucapnya pelan, tapi matanya tidak lepas memandangi kontolku yang sudah setengah tegang.
"sini bentar bulek, kangen neh ama bulek yang hot dan seksi" ucapku.
"dasar nakal kamu ya. Bener-bener nekad" ucap bulek Nita sambil perlahan merangkak mendekatiku agar tidak terlihat dari ruang tengah. Bulek Nita mendekatkan wajahnya didepan selangkanganku. Kontolku yang setengah tengah berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Matanya tampak memperhatikan kontolku dengan seksama. Nafasnya tampak turun naik bahkan hembusannya terasa menyapu kepala kontolku.
"bulek... aaww.. " ucapku terputus karena kaget. Dengan gerakan cepat dan tiba-tiba bulek Nita langsung mencaplok kontolku dengan mulutnya. Tanpa pemanasan seperti kecupan atau kocokan lembut. Dia melahapnya dengan rakus. Rupanya bulek Nita pun merasakan gairah yang membara.
"nafsu amat bulek, maen caplok aja aahh.." bisikku. Bulek Nita hanya tersenyum dan tetap melanjutkan aktifitasnya. Kontolku yang sudah semakin tegang sempurna tampak keluar masuk mulutnya. Bulek Nita yang tampak sangat bernafsu berusaha mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Pipinya sampai kempot menghisap kontolku. Posisinya yang berlutut dihadapanku tertutup meja makan, sehingga menutupi pandangan dari arah suaminya membuatnya semakin leluasa beraksi.
Melihat semangat dan antusiasnya membuat ku semakin bergairah. Tangan kananku langsung menjambak rambutnya dan pinggulku kusodokkan makin dalam ke mulutnya. Clok..! Clok..! Clok..! Suara kontolku yang menusuk mentok tenggorokannya terdengar seksi di telinga kami. Aku semakin cepat menghujamkan kontolku dan bulek Nita pun tampak tidak kesulitan berusaha mengimbangi dengan mulutnya. Air liurnya semakin banyak membanjiri batang kontolku, bahkan sampai menetes ke lantai. Aku sesekali melirik keruang tengah untuk mengawasi keadaan, takut kalo suaminya menyadari perbuatan kami.
Tiba-tiba saja bulek Nita melepaskan kontolku dari mulutnya. Bulek Nita lalu dengan cepat memposisikan dirinya menungging membelakangi ku. Menyingkapkan bagian bawah pakaiannya keatas. Sehingga memamerkan bongkahan pantat putih yang dibalut celana dalam berwarna hitam. Mungkin bulek Nita menyadari bahwa kami tidak memiliki waktu yang banyak, sehingga dia langsung ingin ke acara inti. Tanpa menunggu lebih lama, aku langsung menurunkan celana dalamnya sampai ke paha dan mengarahkan kepala kontolku kearah lubang memeknya yang sudah basah. Setelah memantapkan posisi, dengan sekali hentakan aku menancapkan kontolku dalam-dalam.
"aahh! " lenguh bulek Nita sampai mendongak, agak keras karena kaget dengan seranganku.
"kenapa Dek?" tanya suaminya dari ruang tengah. Rupanya suara bulek Nita tadi terdengar sampai sana. Aku dan bulek Nita sejenak terdiam.
"ini mas, Gilang nakal banget. Donat adek di teken kenceng. Bisa penyok nanti" jawab bulek Nita.
"haha gitu aja marah kamu dek. ya biarin lah gak papa, iseng aja itu" jawab suaminya tanpa melihat kearah kami, dia masih sibuk dengan urusan bosternya.
"tuh kan gak papa, suami bulek aja malah ketawa, malah seneng memek istrinya disodok kontol orang lain" bisikku lalu mulai menggerakkan pantatku menggenjot memeknya.
"aahh iyaa sodok terruss, soddok memmek gatel buleekk.. " ucapnya sambil memaju mundurkan pantatnya mengimbangi sodokanku.
"hmm nakal ya. ini memek bener-bener nakal, senengnya di sodok kontol orang lain" ucapku sambil mempercepat sodokanku.
"hmm.. Ennaakk.. Kontol anak mudaa mmeemang ennakk.. Kuaaatt.. Kerraass.."
"ini memek kok ennak banget sih, memek istri orang memang lebih mantap... " ucapku.
Aku yang tidak tahan melihat bongkahan pantat putihnya lalu meremas dengan kuat keduanya. Membuka celah keduanya lebar mempertontonkan lubang pantatnya yang kecil dan imut. Aku lalu meludahi lubang pantatnya, meratakan dengan telunjukku. Lalu dengan perlahan aku menusukkan jariku kedalam sampai setengah. Bulek Nita tampak terkejut, pantatnya terasa makin menjepit, begitu pula dengan memeknya yang terasa makin mencengkram.
"kamu apain lubang pantat bulleeek.. " tanya bulek Nita sambil menoleh kebelakang.
"udah diem aja bulek.. Nikmatin aja. Ini lubang pantat sama binalnya dengan lubang memeknya. Sama-sama minta di colok" sahutku sambil menggerakkan jariku didalam lubang pantatnya. Bulek Nita tampak menutup mulutnya dengan tangannya, pantatnya makin mencengkram dan gerakannya makin cepat dan liar. Kontolku yang yang terasa makin nikmat membuatku makin mempercepat sodokanku. Jariku makin liar bermain dan mengorek didalam lubang pantatnya.
"gakk kuuaat.. Bulek mauu keluuar.. " rintihnya
"keluar bareng bulek.. Saya juga mau keluar.. Saya mau nyemprot memek bulek dengan sperma saya, mau saya banjiri memek tembem bulek.. " sahutku.
"iyah.. Iyah.. Semprot memek bulek.. Entot memek bulek.. Bulek pengen ngerasain mani kamu di memek bulek.. Ahh.. Acchh.. Yang cepeeettt terruusss.. Ceepeeettt... Ach.. kellluuuaaaarr...!!" bulek Nita terlihat liar saat akan mencapai orgasmenya. Bersamaan dengan itu aku menusukkan mentok jariku didalam lubang pantatnya. Begitu juga dengan kontolku yang membenam maksimal menyemprotkan sperma bercampur dengan air orgasmenya tak kuasa menahan cengkraman nikmat memeknya.
Aku lalu mendiamkan sejenak kontolku yang berkedut, terasa juga kedutan memek bulek Nita yang makin lama makin mereda. Kami terdiam sambil mengatur nafas dan menikmati orgasme yang baru saja kami alami. Sungguh sebuah orgasme yang luar biasa, sebuah pengalaman yang sangat liar, bersetubuh dengan istri orang sementara sang suami ada di dekat kami.
Secara perlahan aku mencabut kontol dan jariku yang menancap di kedua lubang bulek Nita. Tampak cairan kami berdua yang tumpah keluar mengalir membasahi paha bulek Nita dan lantai. Bulek Nita langsung ambruk ke lantai seperti tak bertenaga, matanya terpejam dengan nafas yang mulai mereda. Kurapihkan pakaian bulek Nita yang acak-acakan, menutupi area kenikmatan yang baru saja ku raih. Perlahan ku kecup dan kubeli keningnya dan Nita hanya tersenyum meresponnya. Aku lalu berjalan cepat kearah kamar mandi setelah melihat posisi suaminya tak melihat kami.
Setelah membersihkan batang pusakaku yang habis bekerja keras, aku keluar kamar mandi dan melihat bulek Nita sedang membersihkan lantai bekas pertempuran kami tadi. Bulek Nita hanya tersenyum manis sambil menggelengkan kepalanya kepadaku. Aku lalu mempercepat proses pemasangan VCD player karena hari sudah maghrib. Setelah selesai aku lalu pamit pada mereka untuk kembali kerumahku. Mandi wajib, sholat magrib, makan malam, ngerokok sebatang dan lanjut kerumah Jenni.
***
Sekitar jam delapan kurang saat aku sampai dirumah Jenni. Tidak seperti biasanya, kondisi rumahnya tampak sepi tak ada tamu. Bahkan si mbak yang biasa menghuni pohon mangga pun tidak terlihat. Tadinya sebelum berangkat kesini, aku berniat untuk mengirim sms kepada Jenni untuk sekedar memberitahu kedatanganku malam ini. Tapi biaya kehidupan yang makin besar dengan sering rental studio musik, kiriman dari Ibu yang sedikit tersendat, serta harga pulsa yang tidak bersahabat dengan anak sekolah, membuat nokia 8250 silverku tidak ada pulsa dan sedikit berkurang ketampanannya.
Diteras depan rumah, aku melihat papa Jenni sedang duduk seorang diri sambil membaca koran Bola. Dimeja depannya terhidang segelas kopi dan sepiring pisang bakar. Sungguh sangat keren dimataku, suatu saat aku pasti bisa atau harus bisa seperti dia. Punya istri cantik dan baik, anak yang cerewet, duduk diteras sambil membaca koran dan menikmati hidangan kopi plus cemilan. Sebuah impian sederhana yang didambakan setiap pria sepertiku. Mungkin karena terlalu fokus membaca atau karena memang ilmu meringankan tubuhku yang sudah mencapai tingkat sempurna, papa Jenni tidak menyadari kehadiranku.
"Assalamualaikum om.. " aku mengucapkan salam.
"waalaikumsallam.. Eh kamu Lang.." jawabnya
"lagi nyantai neh om.. " sapaku. Sebenarnya bukan karena aku tidak sopan atau menghormati orang yang lebih tua. Tapi karena aku cukup kenal dan sering bergaul satu sama lain dengan papa Jenni di dunia persepakbolaan kampung kami, sehingga aku tidak terlalu canggung kepadanya.
"iya neh fokus baca. Gak liat kamu dateng. Sini sini duduk sini" ucapnya sambil melipat koran dan meletakkannya diatas meja lalu menyalakan rokoknya.
"iya makasih om, koran baru om" tanyaku lalu duduk sambil melirik korannya.
"koran lama sih sebenernya. Gak ada kerjaan jadi di baca-baca lagi aja. Mau ngopi apa teh neh"
"gak usah repot-repot om, nyantai aja. Abis ngopi tadi" jawabku
"gimana orangtua kamu, sehat? Usahanya lancar?"
"ya alhamdulillah om.."
"nyantai aja, ngerokok aja gak papa. Sama tuh ada pisang, makan aja buat enakin ngerokok" ucapnya sambil menunjuk ke piring pisang bakar.
"emang cocok itu om dingin-dingin gini, ngerokok sambil makan pisang bakar" ucapku
"pisang bakar mana?" tanyanya heran.
"hmm? Itu.. " tunjukku ke piring yang ada diatas meja.
"pisang goreng itu.." ucapnya. Aku lalu memperhatikan lagi piring yang berisi pisang itu. Memang sih seperti pisang goreng kalo di teliti lagi. Tapi dari bentuknya yang tidak beraturan dan warnanya, membuatku ragu untuk menyebutnya sebagai pisang goreng.
"Jenni yang bikin, udah makan aja. Jangan dikomentarin, ngamuk nanti dia" ucapnya yang melihatku tampak heran memperhatikan pisang itu.
"oh iya om. Buatan Jenni ternyata, pantes aja.." jawabku. Kami berdua lalu tertawa sambil memandangi pisang tersebut.
"untung kamu dateng, kalo gak bingung om mau ngabisin pisangnya. Harus habis kata Jenni, kalo gak bisa ngamuk dia" lanjutnya.
"aman kan om?" tanyaku
"aman, tadi om udah makan abis satu" jawabnya.
"bukannya apa sih om, masalahnya rumah sakit jauh" ucapku yang disambut tawa olehnya.
Bisa maen catur gak, kita maen catur aja ya" ucapnya sambil mengambil papan catur yang ada dibawah meja.
"cuma tau jalannya aja om. Gak bisa strateginya" jawabku. Oh plis dong om pengertiannya, aku kesini mau ketemu anak gadismu, bukan maen catur batinku.
"ah udah gak papa. Om juga gak terlalu bisa kok. Kita maen-maen aja" ucapnya sambil menumpah isi bidak catur dan menyusunnya. Mau tidak mau aku ikut menyusun juga dan meladeninya bermain catur. Mudah mudahan cuma 2 atau 3 permainan.
"paaahh.. Cas hape dimana.. " suara teriakan Jenni dari dalam rumah. Dasar Jenni senengnya kok teriak-teriak. Tapi mendengar suaranya saja sudah bisa membuatku senang, apalagi melihat orangnya ya. Mudah mudahan dia kesini dan melihat kalo aku ada disini. Dan mudah-mudahan saja dia keluar sambil memakai baju tidurnya yang tipis dan berenda.
"deket tipi.. Kan kamu tadi yang pake.." sahut Papanya. Ah aku jadi kecewa mendengarnya, kenapa sih harus di sahuti. Seandainya tidak disahuti pasti Jenni akan kesini dan melihatku.
Kami lalu melanjutkan bermain catur. Sambil merokok dan sesekali menikmati pisang goreng ala Jenni yang ternyata aman untuk dikonsumsi. Mengenai khasiat dan kandungan vitaminnya aku yakin sudah tidak ada lagi. Sudah sebanyak dua putaran kami bermain, dan skor adalah 2-0 untuk papa Jenni. Tapi sepertinya masih belum ada tanda-tanda dia segera mengakhiri permainan catur ini. Kenapa dia tidak ke gardu depan saja sih, disana pasti banyak bapak-bapak yang dengan sukarela meladeninya bermain catur. Kenapa harus denganku yang jelas-jelas datang kesini untuk menemui anak gadisnya. Seperti tidak pernah muda saja pikirku.
"paaahh.. Besok jadi ya beliin tas.. " terdengar lagi teriakan Jenni dari dalam.
"iyaa.." sahut papanya sambil fokus menatap papan catur.
"dua ya pa... " teriak Jenni lagi
"iyaa.." sahut papanya sambil memakan luncur ku.
"paahh pengen makan mie goreng lho.. " teriak Jenni tak lama kemudian.
"iya minta masakin mama kamu sana.." sahut papanya.
"maahh mamah... " teriak Jenni mencari mamanya kebelakang.
"haah.. Cerewet banget ya" ucap papa Jenni sambil menghela nafas.
"hah? Apa om?" tanyaku
"Jenni. Anaknya cerewet, manja, suka ngambek. Mungkin karena anak satu-satunya dia jadi begitu. Salah kami juga yang terlalu manjain dia. Setiap kemauan dia selalu kami turutin, akhirnya jadi begini. Entah kapan dia bakal dewasa, om suka khawatir sama kepikiran dia nantinya" ucapnya serius.
"oh itu, ya masih wajar kok om. Memang rata-rata begitu anak cewek seumur dia, nanti juga dewasa om pemikirannya" jawabku sok ngerti.
"saya naruh harapan besar sama dia. Saya pengen dia bisa sukses nantinya, punya pekerjaan bagus, bisa jadi Dokter, hidup layak kecukupan dan bisa mandiri juga berpikir dewasa" lanjutnya. Aku hanya diam mendengarkan tak bisa berkomentar apa-apa. Kenapa permainan catur ini malah berubah menjadi obrolan serius yang membuatku bingung. Harapan setiap orangtua kepada anaknya pasti begitu. Tapi kenapa disampaikan kepadaku saat ini, apa maksudnya? Kenapa juga nada dan bahasanya jadi lebih formal tidak seperti sebelumnya.
"Jenni pasti belum mikirin sampe sejauh itu. Makanya sebagai orang tua saya bener-bener khawatir. Saya mau dia bener-bener fokus ke sekolahnya, lanjut ke kuliah, kerja, baru mikirin hal lainnya" lanjutnya sambil menghisap dalam-dalam rokoknya. Hal lainnya? Apa yang dimaksudnya dengan hal lainnya ya? Posisi duduknya saat ini menyandar dan seolah tidak perduli lagi dengan permainan catur kami.
"kami punya rencana buat mindahin sekolah Jenni." lanjutnya. Aku sangat terkejut mendengar perkataannya dan tidak bisa berkata apa-apa. Mulutku sampai ternganga dan lidahku terasa kelu.
"pindah ke Jogja, ikut neneknya. Menurut kami dengan Jenni ikut neneknya di Jogja adalah hal yang bagus buat dia. Lingkungan dan tata krama masyarakat Jogja yang baik dan jauh dari orangtua mungkin bisa membuat Jenni jadi lebih dewasa dan mandiri. Selain itu juga bisa untuk penyesuaian dia untuk lanjut kuliah disana nanti. Waktu itu sudah kami omongin sama Jenni, dan dia sudah setuju. Awalnya kami mau pindahkan di pertengahan sekolah ini, tapi Jenni minta sampai selesai kelas 2 disini. Tapi entah kenapa siang tadi sepulang sekolah dia berubah pikiran, dia bilang untuk pikir-pikir lagi masalah itu. Makanya itu salah satunya yang buat saya bingung" ucapnya. Aku masih terdiam mendengarkan semua itu, coba mencerna dan memahami maksud dan tujuan perkataannya. Lidahku masih terasa kelu, jantung dan dadaku kembali terasa sakit, bahkan lebih sakit dari yang kurasakan siang tadi. Membayangkan Jenni yang pergi saja sudah membuatku sakit begini, apalagi jika dia benar-benar pergi nanti.
"mungkin kamu bingung kenapa saya cerita gini sama kamu. Selain kamu udah dewasa, sebagai sesama lelaki kamu pasti ngerti apa maksud dan tujuan saya, semua semata buat kebaikan Jenni. Disamping itu juga mungkin kamu tau apa kira-kira yang membuat Jenni jadi ragu dan pikir-pikir lagi untuk ke Jogja" lanjutnya.
"hmm.. Itu saya gak tau om.. " jawabku bingung.
"saya udah berusaha ngasih pengertian ke beberapa temen lelaki Jenni yang sering main kesini. Dengan tujuan supaya Jenni bisa fokus ke Jogja dan tidak ada yang dipikirkan atau diberatkan disini." lanjutnya. Rupanya itu yang jadi penyebab kenapa tidak ada lagi tamu cowok yang datang kerumah Jenni. Apakah ini juga berlaku untuk ku? Apakah seperti ini juga yang disampaikan papa Jenni kepada mereka. Seperti kata papa Jenni, aku sudah dewasa dan sebagai sesama lelaki aku paham maksud dari semua perkataanya, paham dengan segala tujuannya.
"apa terlalu berlebihan harapan saya? Apa terlalu keras saya pada Jenni? Atau terlalu jahat saya sama mereka?" tanyanya. Mereka? Mungkin maksudnya adalah kalian. Kalian dan juga termasuk aku, orang-orang yang menaruh hati pada Jenni dan dianggap memberatkan kepergiannya ke Jogja.
"gak om, wajar itu. Semua orangtua pasti punya harapan begitu ke anaknya. Begitu juga orangtua saya" jawabku.
"ya.. Bener itu. Orangtua kamu juga pasti punya harapan besar sama kamu. Begitu juga saya ke Jenni. Saya bukannya melarang kalian menikmati masa-masa sekolah dan sebagainya. Saya juga pernah muda, Tapi saya berpikir jauh kedepan dan memikirkan masa depan Jenni, anak saya satu-satunya. Saya mau yang terbaik untuk dia dalam segala hal"
"iya om saya paham maksud om. Bener-bener paham" ucapku.
"terima kasih kalo kamu paham dan mau ngerti. Satu hal lagi, selain memang belum saatnya buat kalian, disamping itu juga seperti yang udah saya bilang tadi. Saya mau yang terbaik buat Jenni. Yang terbaik pastinya punya standar dan kriteria, dalam segala hal pastinya" lanjutnya.
"saya paham om maksud dari omongan om itu" ucapku mantap dan menatap matanya.
"saya sadar om, saya gak pantes buat Jenni. Orang kayak saya, bahkan berteman dengan Jenni aja gak pantes. Saya juga sadar berasal dari keluarga yang kehidupan dan ekonominya ada dibawah keluarga om. Secara pribadi saya berterima kasih sama om yang udah nyadarin dan ngingetin tempat saya dan darimana saya berasal om" ucapku lagi.
"jujur aja, saya gak marah atau tersinggung om, apa yang om omongin semuanya bener. Tapi satu hal yang pasti om, apa yang menurut om baik atau terbaik buat Jenni, itu semua belum tentu yang baik atau terbaik bagi Jenni. Om tadi bilang saya sudah dewasa dan kita bicara sebagai sesama lelaki. Sekarang sebagai sesama lelaki saya berjanji om, saya gak akan ngehalangin Jenni atau memberatkan Jenni ke Jogja. Saya gak akan mengganggu kehidupannya lagi, saat ini. Saya bilang saat ini om. karena suatu saat nanti, saat saya sudah layak dan pantas untuk Jenni, saya akan datang lagi kesini, kerumah ini, kehadapan om untuk menjemput Jenni. Dan saat itu tiba nanti, saya harap om juga mau nepatin janji om, janji kita, janji sebagai lelaki. Dengan tangan om sendiri, om dengan lapang dada bakal nyerahin Jenni ke saya. Gimana om?" ucapku mantab dan mengulurkan tanganku mengajaknya bersalaman. Papa Jenni tampak kaget dan tertegun mendengar semua perkataanku. Dia lalu menatap uluran tanganku, dan setelah berpikir agak lama dia lalu menyambut tanganku, bersalaman. Bersalaman menyatakan setuju atas perjanjian kami, perjanjian antar lelaki.
"mah.. Ngapain berdiri disitu.. " suara Jenni dari dalam rumah.
"oh enggak, gak papa" jawab mamanya gugup yang rupanya berdiri di dalam rumah dekat dengan pintu. entah sejak kapan dia berdiri disana, mungkin dia juga mendengar semua obrolanku dan suaminya.
"papah mana? Masih didepan?" tanya Jenni.
"iya ada, mamah kedalem dulu ya" jawab mamanya.
"paah.. Udah abis belum pisangnya? Pokoknya awas aja kalo.. " Jenni tidak menyelesaikan ucapannya karena kaget begitu mengetahui keberadaanku di teras bersama papanya. Jenni tampak sangat menggemaskan malam ini, rambutnya yang dikuncir kuda dan sedikit acak-acakan semakin memberi kesan manis padanya. Dan yang lebih mengagetkan adalah Jenni memakai baju berwarna hitam biru. Sebuah baju bola dari klub sepakbola dari Italia, Inter Milan. Baju bola milikku, baju bola andalanku, baju bola yang tadi kupinjamkan kepadanya untuk melindunginya dari hujan. Baju itu tampak kebesaran dipakai olehnya, bahkan hampir menutupi celana pendek yang dipakainya saat ini. Mengingat keadaan yang terjadi dan kepergiannya nanti ke Jogja, aku jadi merasa sangat sedih dan kehilangan saat memandangnya. Semakin memandangnya membuatku semakin merasa sakit di dadaku. Jenni masih saja diam dan seperti terpaku dan kaget melihat keberadaanku.
"loh kamu belum mandi sayang.. " tegur papanya.
"hah? Enggak, dingin males mandi. Eh udah kok, udah mandi. iiihh... Apaan sih papa ini" ucap Jenni seperti orang bingung dan kemudian berlari kedalam rumah meninggalkan kami. Kami hanya melongo melihat kelakuannya.
Aku kemudian mengalihkan pandanganku kearah piring pisang goreng diatas meja. Pisang goreng ala Jenni yang sangat unik. Karena merasa akan kehilangannya dan sekedar untuk mengingatnya, aku mengambil sepotong pisang itu. Baru saja aku mengambil pisang goreng itu, seketika saja Jenni datang dengan tiba-tiba dan merampas pisang goreng ditanganku. Setelah itu dia pun mengangkat piring pisang diatas meja dan membawanya berlari kedalam rumah.
"aaarrrggghhh...!!" teriak Jenni dari dalam rumah. Aku dan papanya hanya bisa saling memandang.
"yaudah om, kalo gitu saya pamit dulu ya. Sudah malem. Salam buat tante" ucapku berpamitan.
"oh iya iya.. Om harap obrolan kita tadi jangan sampe Jenni tau. Kalo dia tau nanti om takut dia bakalan marah sama om. Cukup kita aja yang tau ya" ucapnya.
"iya om. Assalamualaikum.."
"waalaikumsallam. "
Dengan langkah gontai dan hati yang galau aku melangkahkan kaki meninggalkan rumah Jenni. Rumah yang entah kapan akan ku datangi lagi. Aku lalu menghentikan sejenak langkahku dan berbalik memandang rumah itu. Suatu saat aku akan datang lagi, pasti! suatu saat nanti. Janjiku dalam hati.
"kopinya tambah lagi pah" ucap mama Jenni kepada suaminya sambil mengelus dan memijat pundak suaminya. Seolah memahami beban yang ada pada suaminya.
"mamah denger semua tadi?" tanya papa Jenni
"iya"
"Jenni?"
"Gak, dia gak tau. Dia dibelakang tadi lagi makan"
"huft... " papa Jenni menghela nafas.
"Papah udah bener kok, papah gak salah. Semua buat kebaikan anak kita, Jenni" ucap mama Jenni berusaha menenangkan suaminya.
"iya, semoga aja Mah. Semoga aja Jenni gak marah nanti sama papah"
"gak lah pah, Jenni juga pasti ngerti kok nanti"
"tapi papah agak kaget tadi. Anak itu.. Ternyata kuat juga tekad dia. Papa gak nyangka dia bakal bilang begitu. Ada sedikit ketakutan waktu papa denger omongan dia tadi"
"iya pah, mamah ngerti. Mamah juga begitu. Dia memang beda dengan yang lainnya. Jenni juga kayaknya ada perasaan sama dia. Beda aja sikap Jenni ke dia dibandingin ke yang lain"
"iya mah, menurut papah juga gitu"
"loh.. Kemana anak itu mah.. " tanya Jenni yang datang dari dalam rumah.
"anak mana" tanya mamanya
"si Gilang bulan puasa.. " jawab Jenni. Ah dasar Jenni. Gilang Ramadhan Jen, bukan Gilang bulan puasa.
"sudah pulang tadi, kamu kelamaan sih" jawab mamanya.
"iiihh.. Kebiasaan bener lho anak itu. Orang disuruh tunggu malah pergi!" ucap Jenni lalu masuk kedalam sambil menghentakkan kakinya jengkel.
Sementara itu aku masih berjalan seorang diri menembus gelapnya malam. Gelap, karena orang-orang disini sangat pelit dan peritungan dengan tidak memasang lampu jalan sebagai penerangan. Suasana hatiku yang saat ini sedang rapuh sangat membutuhkan penyemangat dan gairah hidup. Yang semua itu hanya bisa kudapat dari belahan jiwaku. Maka aku kemudian memasuki sebuah wartel yang kulalui untuk menghubunginya.
Tuutt... Tuutt... Tuutt.. Suara nada sambung menandakan panggilanku sudah masuk.
"halo.. " jawab suara diseberang sana
"halo.. Lagi dimana.." tanyaku lesu
"sapa ini? " tanyanya.
"bapak kamu!" jawabku
"hahaha... Woy ada apa anak muda" jawabnya yang sudah mengenali suaraku.
"saya lagi sedih neh. Pinjem pundak dong buat nangis"
"hahaha.. Dimana gerangan dirimu berada"
"wartel yang deket rumah Jenni. Kesini ya cepet"
"oke, langsung kesana. Jangan bunuh diri dulu ya"
"iya makanya cepet, kalo kelamaan bisa berubah pikiran saya.. Cklek" ucapku lalu menutup gagang telpon setelah melihat angka yang tertera didepanku. Mahal amat ini wartel, baru bentar doang udah 3 ribuan. Untung hape Bonar aktif, seandainya gak aktif dan yang menjawab adalah mbak veronika maka aku masih harus tetap membayar biaya telpon. Tau begitu mending cari telpon koin saja tadi, dan nelpon ke telpon rumah saja jangan hape.
Sambil menunggu kedatangan Bonar, aku duduk didepan wartel dan kembali memikirkan kejadian tadi. Bisakah aku merelakan kepergian Jenni? Bisakah aku kehilangan dia? Dan bagaimana kah caraku untuk melepaskannya. Seperti kata papanya tadi, tak mungkin aku menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada dia. Karena terlalu asik melamun aku sampai tidak menyadari jika Bonar sudah sampai ditempat ini.
"alhamdulillah masih idup. Kirain dah kaku di rubungin laler ijo.. " ucap Bonar mengagetkanku.
"kampret.. Ngagetin aja. Cabut yok, lagi suntuk neh. Minum aja kita malem ini" ajakku.
"oke sip, yo berangkat" jawab Bonar bersemangat lalu memutar motornya dengan gaya motocross.
"eh nanti dulu.. " cegahku
"apaan lagi" tanyanya heran.
"bayarin wartel dulu" ucapku
"ah kampret belum dibayar ya"
"3.450 doang. Bayarin dulu, uang saya gede semua belum dipecahin"
"segede apa sih. Pecahin tuh sama martil" sungut Bonar sambil ngeloyor masuk kedalam wartel.
"coy.. Mbak wartelnya cakep coy... Ah gak bilang-bilang, tau gitu kesini aja ya kalo mau ke wartel" ucap Bonar dengan mata berbinar saat keluar dari dalam wartel.
"udah kawin, anaknya 2" jawabku sambil menyalakan motor dan memegang kemudinya.
"kira-kira kapan cerai ya" ucapnya
"doain aja secepetnya. Tapi sekalian doa juga suaminya gak ngeliat kita disini"
"kenapa emangnya"
"waktu itu ada cowok nongkrong disini, babak belur di gebukin suaminya. Sampe ampir putus kupingnya dijambak. Suaminya cemburuan, preman sini, mana mantan pemaen debus lagi. Tau sendiri pemaen debus kebal, gak mempan dibacok" ucapku menakuti Bonar.
"ahh kalo gitu ayo cepet kita cabut dari sini. Eeh saya aja yang bawa motor, jangan kamu. Orang lagi putus harapan biasanya suka ngawur bawa motornya" ucap Bonar merebut kemudi motor dan memaksaku mundur kebelakang.
Malam itu aku menghabiskan waktu dengan Bonar di sebuah lapo tuak milik temannya. Aku ceritakan semua kejadian dirumah Jenni tadi kepadanya. Bonar hanya mendengarkan dan terlihat sedih seolah ikut merasakan kesedihanku. Kami berdua minum hingga larut malam menjelang pagi. Entah sudah berapa banyak minuman keras yang masuk kedalam tubuhku. Seingatku aku tidak pernah minum sebanyak ini, dan tidak pernah sampai mabuk seperti ini. Entah ocehan apa saja yang keluar dari mulutku saat mabuk. Kegundahanku yang membuatku ingin melupakan realita yang ada, ingin melupakan segala beban permasalahanku. Aku benar-benar ingin mabuk dan melupakan segalanya.
***
Aku membuka mataku dan merasakan sedikit sakit dan berat dikepalaku. Aku memandang berkeliling mencoba menyesuaikan pandanganku dan mencoba mengenali tempatku terbaring saat ini. Ternyata saat ini aku terbaring dan ada disebuah kamar. Dari kondisinya yang berantakan dan bau nya yang apek, aku yakin saat ini sedang ada dikamar Bonar. Entah bagaimana aku sampai disini dan jam berapa aku kesini, aku tidak mengingatnya. Pasti karena terlalu mabuk semalam sampai aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi. Aku melihat jam dinding dikamar Bonar menunjukkan angka 09.25 wib. Ah sudah siang rupanya, dan aku sudah terlambat untuk ke sekolah. Bonar kemana ya? Apa dia sudah berangkat sekolah meninggalkanku?
"kemana saja kau semalam! Pulang sampai pagi!" suara menggelegar dari Ibu Bonar yang segera aku kenali.
"maenlah mak, namanya anak bujang" suara Bonar menyahuti.
"terus kalo kau sudah bujang, bisa seenaknya pulang pagi" suara Ibu Bonar.
"ya kata mamak jangan pulang malam, ya aku pulang pagi lah" suara Bonar menjawab.
"akhirnya apa! Kesiangan kan kau. Gak sekolah kau. Bolos lagi" suara Ibu Bonar.
"gak bolos mak, udah kirim surat. Nitip temen" ucap Bonar
"kirim surat.. Emangnya guru kau itu cantik apa. Kok sering kali kau kirimi surat. Kayak orang pacaran saja" ucap Ibu Bonar.
"laki mak gurunya.. " ucap Bonar.
"nah lebih bahaya itu. Ngapain lelaki kok kau kirimi surat terus"
"surat ijin mak.. Bukan surat cinta... "
"ya bisa aja karna terlalu sering kau kirimi surat, bisa suka dia sama kau"
"aah.. Ya gak lah mak.. Emangnya apaan ah mamak ini"
"benar-benar lah mau sekolah, pintar-pintar. Biar nanti bisa jadi pengacara... "
"ah males lah mak jadi pengacara"
"trus mau jadi apa kau nanti. Tukang tambal ban? Buka lapo tuak! "
"ya gak gitu lah mak. Mentang mentang kita orang batak harus jadi pengacara, tambal ban, lapo tuak. Banyak mak kerjaan lain."
"nah trus mau jadi apa kau sekarang hah mamak tanya!"
"ya belum tau lah mak.. "
"cita-cita aja kau gak punya, sedih kali hidup kau ini Bonar.."
"nantilah mak, tenang aja. Kubuat banggalah nanti mamak sama aku. Nanti pasti mamak bakalan bilang sama temen-temen mamak, itu anak ku Bonar.. "
"alah pintar kali kau ngomong, persis bapak kau. Itu ngapa pula itu si Gilang begitu, kenapa lagi dia"
"patah hati dia mak, sedih menyayat hati"
"sama saja dengan kau. Hari ini sedih, besok kalo liat cewek montok langsung melotot mata kalian. Cewek terus yang dipikirin"
"gak mak, sekarang ini beneran patah hati dia. Sedih mak kalo diceritain. Udah kayak sinetron ceritanya"
"nah coba kau tengok dulu kedalem kamar itu, siapa tau udah bunuh diri dia. Kau singkirkan dulu barang-barang tajam sama tali tambang dari kamar mu itu"
"udah mak, udah aman. Tinggal obat nyamuk bakar aja, itu juga tinggal setengah. Gak akan mati kalo dimakan dia"
"ya kau hibur-hibur lah dia biar gak sedih. Atau suruh tinggal sini aja dia daripada dirumahnya sendirian begitu."
"ya gampanglah mak. Makanya ini nanti mau ku ajak cari cewek lagi dia mak, biar gak sedih lagi dia"
"gaya kau mau carikan cewek. Kau sendiri belum punya cewek. Makanya maulah mamak jodohkan dengan anak temen mamak di pasar. Dia sudah suka bener sama kau"
"ah males lah mak, gak cantik anaknya"
"gak cantik, gak cantik. Kau liat tampang kau di cermin. Kau pun gak ganteng, jelek rupa! jangan banyak gaya kau. Sudah untung ada yang mau"
"aku ini anak kandung bukanlah mak? Kok mamak sendiri ngomongin aku jelek, gak ganteng. Anak siapa aku sebenernya mak... Jawab maak.. "
"entah anak siapa, dulu kami nemu waktu kau masih bayi, dibuang ditempat sampah pasar. Karena kasian, kami uruslah kau sampai sekarang"
"mamaak...."
"makanya jangan banyak gaya kau, nurut sama mamak. Mau lah sama anak temen mamak itu. Calon bidan dia"
"yaudah mak, aku mau dijodohin. Tapi bukan sama cewek itu. Aku maunya nikah sama sodara jauh opung yang sekarang tinggal di jakarta itu"
"Anak ini dasar! Mikir kau, otak kau dimana! Mau nikah sama Lulu Tobing! Kau itu siapa! Itupun dia bukan sodara kita, gak kenalah dia sama kita. Opung kau sama opung dia itu dulu satu kampung. itupun dulu, dulu sekali.. "
"sapa tau jodoh mak.."
"aah sudahlah, bisa gila ngomong sama kau ini. Sudah mamak mau pergi dulu kepasar, kasian bapak kau sendirian. Nanti kalo Gilang sudah bangun, diajak makan."
"iya mak, mak minta uang lah mak.. "
"itu uang dimeja depan kau"
"seribu ini mak, kuranglah.. "
"boros kali kau ini, uang terus. Ambilah di laci kamar itu, jangan banyak-banyak"
"iya mak, makasih ya mamak ku yang cantik. Oiya mak, mamak naek becak aja mak. Motor mau kubawa sama Gilang nanti"
"iya iya!"
Kemudian hening setelah kepergian ibu Bonar. Mendengar obrolan Bonar dan ibunya membuatku rindu kepada ibuku. Kesedihanku karena Jenni semakin bertambah dengan kesedihan ku yang merindukan ibuku. Aku lalu memeriksa hape ku dan melihat ada 5 pesan yang masuk disana. Aku membuka kuncinya dan melihat siapa pengirimnya. Mala, Jenni, Jenni, Jenni, Bulek Nita. Aku lalu membuka pesan itu satu persatu.
From : Bulek Nita (19.45 pm)
"Kamu dimana lang, bulek mau anterin kue donat"
Aku lalu melanjutkan membaca 3 pesan berikutnya dari Jenni.
From : Jenni ( 20.17 pm)
"tunggu, saya salin dulu"
Ini pasti pesan yang dikirimkannya tidak lama setelah dia merebut pisang goreng dari tanganku dan berlari kedalam rumah. Aku lalu membaca pesan Jenni yang kedua.
From : Jenni (20.23 pm)
"kamu kemana! Disuruh tunggu Kok malah pergi!
Dari waktunya pesan ini sepertinya dikirimkan tidak lama setelah aku pergi, mungkin saat aku masih di wartel. Aku lanjutkan membaca pesan yang ketiga.
From : Jenni (01.15 am)
"udah tidur?"
Jam satu lebih. Apakah Jenni terbangun dari tidurnya? atau memang dia belum tidur? Jangan-jangan dia tidak bisa tidur karena memikirkanku yang tidak membalas sms nya. Aku jadi merasa bersalah dan kasihan kepadanya. Aku kemudian melanjutkan membuka sms dari Mala.
From : Mala (07.15 am)
"kamu sakit apa? Sudah berobat? "
Aku kemudian membalas sms dari Mala tersebut.
Reply : Mala
"sakit biasa, cuma panas aja. Bentar juga baikan kok"
Jawabku dan langsung mengirimkannya.
Pesan Tidak Terkirim! Ah sial, aku lupa jika pulsaku habis dari semalam. Aku lalu meletakkan kembali hape ku. Saat itu kemudian masuk Bonar kedalam kamar.
"wuih udah bangun.. Reseh nyusahin aja semalem" ucapnya.
"ngapain emang semalem" tanyaku.
"pake nanya lagi. Udah maboknya reseh, ngoceh gak jelas. Pake jackpot lagi ampe dua kali"
"hehe sori sori.. Emang ngoceh apaan saya"
"ya segala macem lah. Malu kamu nanti kalo saya ceritain. Haha"
"hehehe.. Sori ya ngerepotin"
"udahlah nyantai aja. Udah ya jangan galau lagi. Apa yang kamu lakuin udah bener kok"
"trus selanjutnya gimana ya coy" tanyaku
"ya lupain Jenni, kalo perlu buat Jenni jadi marah dan benci sama kamu. Supaya dia bisa pergi ke Jogja tanpa ada beban lagi"
"tapi berarti perginya ngebawa kebencian sama saya dong"
"ya gak papa untuk sementara ini. Suatu saat nanti kan bisa kamu jelasin kondisi sekarang ini sama dia nanti, pasti dia paham"
"begitu ya"
"iya, yang paling penting adalah bener pesen papanya Jenni. Jenni jangan sampe tau masalah ini. Bisa ngamuk dia nanti sama orangtuanya, kalo ngamuk bisa kacau semuanya. Toh kita tau ini semua buat kebaikan Jenni"
"iya bener itu coy.. "
"udah ya fix, lupain Jenni. Tapi bersikap biasa aja sama dia, seolah olah gak ada apa-apa. Tapi pelan-pelan kamu jauhin dia. Ah kamu ahlinya lah kalo bikin cewek benci mah hahaha.. " ucap Bonar menepuk pundakku.
"iya memang itu kayaknya yang terbaik saat ini"
"iyalah, udahlah santai aja. Masih ada cewek laen yang perhatian dan membutuhkan kasih sayang kamu"
"hah? Siapa?" tanyaku
"Mala. Neh dia udah sms saya terus nanyain kamu"
"kamu bilang apa"
"saya bilang aja gak sakit. Tapi ada masalah sedikit, masalah keluarga. Jadi butuh ketenangan dan berpikir"
"kok kamu bilang gitu"
"biar dia simpati ama kamu. Kasian ama kamu. Pasti dia bakal lebih perhatian nanti sama kamu. Haha gimana sip gak? Udahlah lupain Jenni, Mala aja ya. Tapi Mala jangan sampe tau masalah ini, biar jadi rahasia kita. Udah mandi sana trus kita makan" ucap Bonar sambil keluar kamar meninggalkanku.
Mala.. Secara fisik dia memang sangat menarik dan tidak kalah jika dibandingkan dengan Jenni. Tapi dari sikap dan sifatnya, mereka berdua adalah pribadi yang sangat jauh berbeda. Apa aku harus mengikuti saran dari Bonar untuk mengalihkan perasaanku pada Mala? Apakah langkahku ini sudah benar? Bukankah malah akan sangat tidak baik jika aku mendekati Mala hanya sebagai pelarian saja. Jujur saja aku memang ada ketertarikan dan mungkin sedikit perasaan kepada Mala, walau tidak sebesar kepada Jenni. Tapi memang seperti ada sesuatu pada diri Mala yang membuatku atau seolah menahanku untuk dekat kepadanya. Tapi jika kupikir lagi, entah salah atau tidak. Tapi memang hanya Mala lah jalan keluarku saat ini. Hanya Mala lah yang bisa membantuku saat ini. Hanya Mala lah yang bisa menjadi tempat pelarianku, dan hanya Mala lah yang bisa membuat Jenni menjadi 'sedikit membenciku' dan akhirnya pergi ke Jogja tanpa ada beban.
Tiit.. Tiit.. Tiit.. Tiit.. Suara sms yang masuk di hapeku.
From : Mala
"lagi ngapain? Udah makan belum?"
"Naar... Isiin saya pulsa dooong... " teriakku sambil keluar kamar mencari Bonar.
***