Ah Jenni, cewek yang aneh dan tidak bisa ditebak menurutku. Pada kejadian tempo hari dikantin, melihat sikapnya aku mengira dia cemburu atau apa. Tapi melihat tingkahnya malam ini yang biasa saja dan sedikit 'menyebalkan', aku menangkap bahwa dia baik-baik saja dan tidak ada apa-apa. Terus kenapa dia bersikap begitu ya waktu dikantin, ah mungkin lagi kebelet pipis ya.
"ada korek Lang" tanya Ratna sedikit mengagetkanku, Kulihat dibibirnya sudah terselip sebatang rokok. Hmm ngerokok juga ternyata dia.
Aku mengeluarkan rokok dan korek dari saku celanaku, Menyalakan sebatang dan tanpa mematikan koreknya aku sodorkan ke Ratna yang langsung menyalakan rokoknya dengan api tersebut. Ratna cuek saja merokok sambil sesekali meneguk minumannya.
"Rat... " panggilku
"hmm.." jawabnya yang sedang memandang keatas langit tanpa menoleh kearahku
"gelep banget ya" ucapku pelan
"kenapa? Takut? Cemen amat" jawabnya lagi tetap menatap keatas langit
"iya takut, tapi bukan sama hantu"
"trus takut sama siapa?“
"sama kamu, saya takut diapa-apain sama kamu. Mana kita cuma berdua. Saya kan masih perjaka Rat" ucapku dengan nada memelas
"potongan kamu kok masih perjaka. Lagian yang ada kamu yang ngapa-ngapain saya, bukan saya yang ngapa-ngapain kamu" ucapnya sambil merubah posisi duduknya menghadapku
"eh mau ngapain!? kalo kamu macem-macem saya teriak lho. Beneran ini" ucapku sambil sedikit menjauh dan menutupkan kedua tanganku didada.
"hahaha dasar cowok aneh.. " ucapnya sambil menggelengkan kepala.
" hahaha... " kami tertawa bersama
"besok kan minggu, gak ke kota nemuin ortu kamu?“ tanya Ratna sambil menghembuskan asap rokok tingg-tinggi.
"gak ah, nanggung. Sorenya harus balik kesini lagi"
"jam berapa sih ini. Itu dangdutan kok belum bubar"
"bentar lagi itu. Lumayan rame sih acaranya, pasti seneng tuan rumahnya kalo meriah gitu"
"iyalah, gak papa. Lagian kasian om Haryono itu"
"kasian kenapa Rat, acara rame gitu kok kasian"
"bukan masalah itu. Tapi masalah penyakit. Om Haryono itu kan sakit" ucapnya pelan
"sakit apa emangnya" tanyaku penasaran
"diabetes. udah setaunan lebih, ampir 2 taun lah"
"sotoy ah"
"yee bulek nita sendiri yang cerita, curhat sama saya"
"kurangin konsumsi gula lah kalo gitu"
"itu sih gak terlalu repot, yang repot kan masalah ranjang"
"ya kalo konsumsi gula jangan diranjang lah, biar gak semutan haha"
"yee koplak neh anak"
"emang ngaruh kesana ya Rat?" tanyaku serius
"iyalah. Bikin disfungsi ereksi atau impotensi. Perasaan kamulah yang sekolah nya favorit, kok malah gak ngerti. Saya aja ngerti" liriknya sinis
"saya kan IPS Rat, mana ngerti gituan" aku berkilah
"halah alasan aja, nyogok ya masuknya"
"enak aja, waktu SD saya ini pernah mewakili lomba cerdas cermat sekabupaten lho"
"menang?"
"juara 3"
"dari?“
“3 peserta"
"mengagumkan" cibirnya menyindir
"biasa aja, saya tuh rendah diri orangnya"
Aku jadi memikirkan dan merasa kasihan kepada om Haryono, ternyata dia menderita penyakit berat hampir 2 tahun ini. Pantas saja dia agak kurusan sekarang. Dan jika benar omongan Ratna tentang efek penyakit yang dideritanya pada fungsi seksual, itu berarti sudah selama itu bulek Nita terganggu kebutuhan biologisnya. Padahal usia mereka belum kepala 4, yang mana kebutuhan biologis masih sangat dibutuhkan.
"eh, tadi itu pacar kamu ya?" tanya Ratna membuyarkan lamunanku
“yang mana?"
"yang toketnya gede"
"cuma temen. Yaelah Rat, nyablak amat kalo ngomong. Yang rambutnya kunciran kek, atau yang pake jaket pink kek. Ini malah yang toketnya gede. Tapi emang gede sih toketnya hahaha.. "
"huu sok munafik, taunya doyan juga. Cowok tuh sama aja dimana-mana pasti mesum otaknya" ucapnya lalu menghembuskan asap rokoknya membentuk lingkaran. Eh buset neh cewek keren amat.
"normal itu namanya, bukan mesum. Lagian cewek juga bangga kan kalo punya toket gede" ucapku sambil melihat ke arah dadanya.
"iya sih. sama lah ya gedenya ama toket saya" sambutnya sambil melihat dan membusungkan dadanya.
"tapi kenceng punya dia" komen ku datar sambil mencoba membuat lingkaran dari asap rokok, tapi gagal.
"jadi punya saya kendor gitu, enak aja" jawabnya sewot lalu memukul lenganku
"kayaknya sih gitu, emang ukuran ampir sama tapi proses pembentukannya yang beda" ucapku yang kembali mencoba membuat lingkaran dari asap rokok, tapi masih tetap gagal
"maksudnya?" tanyanya penasaran
"punya dia besar alami, kalo punya kamu besar karna sering di remes" jelasku sambil melihat dan memperhatikan dadanya dengan seksama
"emang ketara ya?" ucapnya pelan sambil menunduk melihat kearah dadanya lalu menyadari bahwa aku telah mengerjainya
"ah ngaco kamu ya, ngerjain aja" ucapnya kesal
"haha hayo nakal ya...." aku meledeknya
"ah reseh kamu" Ratna mencubit pinggangku, menyadari bahwa aku meledeknya
"hahahah" kami lalu tertawa bersama.
Kami lalu mengobrol banyak dari hal yang serius sampai hal yang tidak berguna. Aku berfikir ternyata asik juga ngobrol dengan Ratna. Dia begitu cuek, santai dan apa adanya. Sehingga membuat aku merasa nyaman dan seperti sudah lama mengenalnya. Sebelumnya aku hanya mengenalnya sebagai tetangga yang suka numpang nonton tv dan tidak tahu diri. Cukup lama kami mengobrol, hingga tidak kami sadari bahwa acara dirumah bulek Nita telah selesai. Disana sudah mulai tampak sepi, hanya tinggal beberapa orang yang sedang berberes.
"abis ya minumnya?" tanya Ratna melihat aku yang meminum tegukkan terakhir minumanku
"iya neh, rokok juga tinggal sebatang buat boker besok pagi. Udah waktunya pulang kayaknya neh" jawabku
"kayak anak perawan aja jam segini mau balik" ledeknya
"hahaha sial"
"masih ada sebotol sih di bawah. Rokok saya juga masih ada setengah neh. Pindah kedalem aja yuk, dingin disini lama-lama" ajaknya
"hmm ayoklah"
Saat ini aku berada diruang tengah tempat tinggal Ratna, aku duduk dilantai yang beralaskan ambal cukup tebal. Tak lama kemudian Ratna keluar dari kamarnya membawa sebotol asoka. Ternyata dia sudah mengganti pakaiannya. Saat ini dia memakai celana pendek model kolor berbahan kain dan baju kaos sedikit tipis.
"kok duduk dibawah?" tanya Ratna sambil menyerahkan botol asoka lalu duduk disamping ku dengan agak menyender pada kursi.
"enakan dibawah, bisa selonjoran. Lah kamu dah salin, mau tidur ya" aku meneguk asoka lalu memberikannya kembali pada Ratna
"belum lah. kalo udah salin kan enak, tinggal tidur" jawab Ratna menyambut botol asoka dan meminumnya
Kami melanjutkan mengobrol sambil saling mengoper botol asoka. hingga saat kuberikan botol kepada Ratna, dia hanya diam saja tak menyambut. kulihat kesamping ternyata dia sudah tertidur pulas, nafasnya tampak teratur turun naik. Ah sial neh cewek, malah molor duluan.
"Rat.. Rat.. " aku membangunkannya sambil menggoyangkan pundaknya. Tak ada jawaban darinya, malah dia bergerak merubah posisi tidurnya miring kearahku.
Mata merahku yang sudah agak pedas secara otomatis menelusuri seluruh tubuhnya. Matanya yang terpejam, lengannya yang mulus sedikit besar, Pahanya yang putih, gumpalan dada yang terhimpit karena posisinya yang menyamping, dan segaris tali kutang warna hitam yang mengintip. Ah sial, jadi sangek gini. Sambil memandanginya aku membayangkan seandainya saja jika Jenni yang ada didepanku saat ini. Membayangkannya Jenni justru membuat nafsuku hilang. entahlah jika dengan Jenni justru nafsu dan pikiran mesumku hilang, mungkin itu karena perasaan sayangku kepadanya.
Aku mematikan rokok dan meletakkan botol asoka keatas meja, mengambil bantal kursi dan merebahkan tubuhku disamping Ratna. Sambil tiduran aku kembali membaca-baca sms yang kuperkirakan dari Jenni tadi. tanpa kusadari kemudian aku terlelap tidur, tidur disamping Ratna yang sudah lebih dulu ke alam mimpi.
Pagi harinya aku terbangun karena suara kicauan burung dan ayam yang berkokok. Kulirik kesamping melihat Ratna, dia tampak masih tertidur lelap. Kedua tangannya terangkat keatas kepala memamerkan sedikit ketiaknya dan bajunya yang terangkat membuat perut mulusnya terlihat, sedangkan pahanya sudah terpampang kemana-mana. Hmm pagi-pagi gini malah dapet sarapan menggiurkan. Saat aku sedang memelototi tubuhnya, Ratna terbangun dan membuka matanya.
"udah bangun, jam berapa ini" tanya Ratna sambil meregangkan otot-otot tubuhnya
"jam setengah 6" jawabku sambil berusaha tidak melihat tubuhnya dan membuang jauh pikiran mesumku
"sori ya semalem ketiduran"
"saya balik ya, mau lanjut tidur mumpung minggu" bahaya lama-lama disini pikirku, bisa terjadi hal-hal yang sangat di inginkan nanti.
"iya, tutup ya pintunya" jawab Ratna berjalan menuju kamarnya.
Kusambar dan kukantongi kotak sampoerna mild Ratna lalu berjalan pulang. Sampai dirumah keadaan sudah sepi, mungkin kru orgen langsung pulang semalam setelah selesai. Aku memeriksa kamar tamu untuk memastikannya, setelah itu aku ke kamar ku untuk melanjutkan tidurku.
***
"tok tok tok Lang.. Lang.. Bangun oy.." suara andi memanggilku mengusik tidur ronde kedua ku. Kulihat jam di nokia 8250 ku sudah menunjukkan jam 08.10. Ngapain nih anak pagi-pagi sudah nongol. Kubuka pintu rumahku sambil menguap.
"woy jam berapa ini kok baru bangun. Berangkat gak ke ultah Reni" tanya Andi padaku sambil ngeloyor masuk.
"masih pagi ini. Acaranya kan jam 10" jawabku santai. Aku berjalan ke belakang sambil menyalakan sampoerna mild milik Ratna lalu menyambar handuk yang ada di atas kursi.
"malah boker dulu, cepetan ya" ucapnya kesal melihatku yang santai. Dia kemudian duduk didepan pintu belakang menungguiku.
"ngapain juga sih buru-buru amat" kataku sambil menutup pintu wc.
"si bendot coy, kampret bener dia" kata andi kesal
"ngapain bendot" tanyaku dari dalam wc
"kemaren dia nembak Jenni! Makanya mereka semalem males mau gabung, karna disana ada bendot"
"paling juga ditolak"
"iya sih, emang ditolak. Tapi kan kampret anak itu. Untung di tolak, kalo diterima bisa kecolongan saya"
"emang tau darimana ndi? "
"Reni n Endang, pokoknya gak bisa ditunda lagi ini. Hari ini juga saya mau nembak dia"
"hmm.. "
Sambil merokok didalam wc aku memikirkan tentang Jenni, tentang andi dan tentang persahabatan kami. Untuk peluang menurutku pribadi peluang Andi diterima Jenni cukup kecil. Aku menaruh keyakinan bahwa Jenni memiliki perasaan yang sama dengan ku. Tapi mengingat andi teman baikku dan dia juga menaruh hati pada Jenni membuatku jadi bimbang dengan perasaan ku. Haruskah aku membohongi perasaanku pada Jenni dan membuang jauh-jauh keinginanku untuk mendapatkannya. Atau aku harus mengabaikan persahabatan kami dan lebih mengutamakan perasaanku. Bisakah aku asik berpacaran dengan Jenni didepan sahabatku sendiri yang juga menyukainya. Kenapa juga Andi harus curhat kepadaku tentang perasaan dia, kenapa bukan aku yang curhat duluan kepada dia.
Andi sudah berteman lama denganku, selama ini dia selalu baik padaku dan terkesan selalu mengalah padaku. Mengalah saat aku ngotot ingin yang jadi Ranger Merah, mengalah saat aku meminta kembali kelerengku jika aku kalah, mengalah padaku saat aku mencetak gol walaupun handball. Andi bahkan pernah menyelamatkanku saat aku tenggelam mandi di empang.
Sambil menghabiskan sisa rokokku, aku memantapkan hati mengambil keputusan. Aku akan lebih mengutamakan persahabatan daripada cinta. Akan kurelakan Jenni dan membuang jauh-jauh hasrat memilikinya. Setidaknya Andi lebih baik daripada aku, dia berani mengakui perasaannya dan usaha yang gigih untuk mendapatkannya. Akan ada yang namanya mantan pacar, tapi tidak akan ada yang namanya mantan sahabat. Semoga berhasil sobat...
***
Dirumah Reni tampak sudah ramai yang datang, rata-rata teman sekampung kami dan hanya beberapa teman sekolahnya.
"ayok masuk coy, banyak cewek tuh" kata Andi bersemangat
"duluan, ngabisin rokok dulu"
"buang ajalah udah pendek ini"
"sayang masih 200" ucapku sambil duduk di bale-bale yang ada dibawah pohon jambu depan rumah reni
"duluan ya, ntar nyusul lho"
"yo"
Dengan semangat 45 Andi masuk kedalam rumah, tampak dia menyapa para tamu lain lalu duduk disamping Reni dan memberikan kadonya. Ah buset kayak anak kecil aja bawa kado, palingan isinya kotak pensil. Karena seperti biasanya dikampung ku jika ada acara seperti ini tidak ada acara bawa kado. Acaranya pun biasanya sangat sederhana, hanya potong kue, makan bersama diselingi games-games yang menurutku norak.
Aku kembali menyalakan sebatang rokok, jujur saja aku malas masuk kedalam. sebenarnya aku sangat tidak menyukai acara-acara seperti ini dan malas datang, tapi karena ajakan Andi dan juga tidak enak pada Reni si punya acara akhirnya aku ada disini. Kulihat Andi sedang mengobrol dengan Reni dan beberapa orang teman, kulihat juga ada Jenni disana. Dia tampak sangat cantik dengan baju terusan sedikit diatas lutut berwarna biru muda, rambutnya? Ah lagi-lagi dikuncir kuda. Sambil mengobrol kulihat Andi menunjuk kearahku, lalu beberapa orang melihat kearahku. Reni kemudian beranjak dan berdiri didepan pintu.
"Lang, ngapain disitu. Ayo masuk acaranya mau mulai" panggil Reni kepadaku
"iya Ren, gak bawa kado sih jadi gak berani masuk" jawabku bercanda
"alah kayak apa aja. Ayo masuk" ucapnya lagi
"sendal saya tarok mana ya, baru neh neckermen" lanjutku bercanda sambil clingak-clinguk berjalan ke arahnya
"hahaha gaya sendal baru, ayok ah masuk" ucapnya sambil menarik tanganku
"selamat ulang tahun ya ren, semoga panjang umur dan gak jomblo lagi" ucapku sambil menyalaminya
"amiiinnn, makasih doanya dan makasih juga udah mau dateng" jawabnya sambil tersenyum
Acarapun kemudian dimulai dengan segala macamnya sesuai dengan susunan acara. Dari potong kue sambil menyanyikan lagu ulang tahun, tiup lilin, makan bersama dan kemudian acara hiburan atau games. Selama acara berlangsung aku memperhatikan Andi yang selalu berusaha untuk mendekati Jenni. Sedangkan aku hanya berani saling lirik dari jauh dengan Jenni. Kok Jenni biasa aja ya, apa mungkin bukan sms dari dia semalam itu.
Setelah acara selesai, ada beberapa orang yang pulang dan ada juga beberapa yang masih mengobrol. Aku kemudian keluar dan duduk dikursi teras sambil menyalakan sebatang sampoerna mild. Sedang asyik menikmati nikotin, Andi kulihat akan keluar juga.
"ayo, bentar aja. ada yang mau saya omongin" katanya pelan kepada seseorang didekat pintu bagian dalam rumah.
"lima menit aja, gak nyampe 10 menit" lanjutnya lagi.
Andi kemudian melewatiku sambil tersenyum lalu menuju ke bale-bale dibawah pohon jambu. Tak lama kemudian tampak Jenni melewatiku sambil menunduk dan menyusul ke arah Andi. Ah sial, kenapa harus disitu sih proses eksekusinya pikirku. Posisi mereka berdepanan langsung dengan posisi duduk ku, agak jauh memang berjarak sekitar 10 meteran. Andi duduk di bale-bale sementara Jenni hanya berdiri disampingnya. Tampak Andi yang sudah mulai menyatakan perasaannya, mereka terlihat sedikit gugup. Aku yang gelisah menyaksikan mereka memutuskan untuk merokok lagi, ah sial rokok ku habis. Aku lalu berjalan kearah warung yang berjarak sekitar 4 rumah dari rumah Reni untuk membeli rokok. Meninggalkan mereka yang sepintas melirikku saat aku beranjak pergi. Cukup lama aku diwarung itu sekitar 10 menit setelah itu aku kembali ke rumah Reni. Kulihat Andi sedang duduk diteras sedangkan Jenni tidak terlihat, mungkin didalam.
"rokok coy" ucapku sambil melemparkan rokok keatas meja, lalu duduk disamping Andi. Andi lalu mengambil sebatang dan menyalakannya.
"gimana, sukses?" tanyaku
"50-50" jawab Andi sambil menghembuskan asap rokoknya
"maksudnya"
"ya belum diterima, tapi gak ditolak juga"
"kalo ngomong yang jelas kenapa, kebanyakan makan kue tart ya"
"ya kata dia, jujur dia sebenarnya gak ada perasaan ama saya. Tapi ngeliat kejujuran sama kegigihan saya yang dia denger dari Reni n Endang dia mau mempertimbangin. Dan banyak juga hal negatif di saya yang dia gak suka, sambil dia mau ngeliat bisa gak saya memperbaikin diri. Nah keputusan diterima atau gak nya ya nanti kata dia"
"jadi sekarang statusnya?"
"ya belum pacaran, tapi temen deketlah. Intinya dia mau menilai saya dulu. Masalah keputusannya sih entah kapan kata dia"
"trus menurut kamu gimana"
"ya gak papa, paling gak saya masih ada harapan kan. Ya 50-50 itu tadi. Pokoknya saya sekarang harus berubah"
"berubah, emangnya power ranger"
"silit lah"
"hahahha.. "
Mendengar cerita dari Andi justru membuatku menjadi bingung bagaimana harus bersikap, entah harus senang atau justru sedih. Dalam hati aku mempertanyakan keputusan Jenni yang memberi jawaban seperti itu. Apa maksud dan tujuannya seperti itu? Kenapa tidak langsung terima atau tolak saja? Tapi yang lebih utama, aku justru meragukan keputusan ku sebelumnya untuk merelakan Jenni. Bagaimana kalo mereka jadian dan pacaran nanti? Sanggupkah aku melihat kemesraan mereka berdua? sanggupkah aku untuk benar-benar merelakannya? Entah bagaimana nanti, mungkin saja dikemudian hari keputusanku ini salah, tapi setidaknya untuk saat ini memang inilah keputusan yang terbaik menurutku.
***
Sorak sorai penonton semakin menambah semangat kami, saat ini aku sedang berlari mengejar umpan terobosan dari Dika temanku. Dua bek tengah tim lawan yang berbadan besar dan kekar tampak bergerak juga menyongsong bola. Saat berjajar denganku, lengan kekarnya mendorong tubuhku hingga membuatku keluar dari jalur bola. Bola bergulir keluar lapangan dan hanya menghasilkan tendangan gawang bagi tim lawan, sedangkan aku yang tidak bisa menghentikan lariku hampir saja menabrak kerumunan penonton. Tampak sekumpulan cewek tertawa melihatku hampir menabrak. Hmm yang baju kuning boleh juga tuh toge pasar, toket gede pantat besar.
Tim kami saat ini tertinggal 1 gol dibabak pertama. Bermain dikandang lawan membuat kami harus sedikit bertahan di babak pertama tadi. Formasi standar 4-4-2 yang biasa kami pakai, kami ubah menjadi 4-1-4-1. Dengan aku sebagai ujung tombak, posisi yang sebenarnya tidak aku sukai. Aku lebih suka di posisi tengah mengendalikan tempo permainan, mengontrol alur bola dan mengatur serangan. Formasi yang kami pakai dibabak kedua ini adalah 4-4-1-1 dengan aku sebagai penyerang kedua dan Sandi temanku sebagai ujung tombak. Tim lawan terus menekan kami, bermain di hadapan pendukungnya membuat keunggulan 1 gol tidak membuat mereka puas. Mereka terus mengurung dan menggempur pertahanan kami, sedangkan kami hanya mengandalkan serangan balik.
Bek kami membuang bola sejauh mungkin, bola melambung tinggi ke arah Sandi sang penyerang tunggal. Tampak Sandi beradu body dengan salah satu bek tengah lawan berebut posisi yang baik untuk menerima bola. Melihat posisi mereka dan arah datangnya bola aku memperkirakan posisi mereka sedikit agak maju, jadi walau mereka bisa menggapai bola dengan kepala mereka arah pantulan bola akan menuju ke belakang ke arah gawang lawan. Aku langsung berlari menuju arah gawang lawan melewati mereka dan satu bek belakang lawan yang hanya terdiam karena yakin temannya akan memenangkan duel udara melawan Sandi. Sesuai dugaan ku bola dapat digapai bek lawan, dan arah pantulan bolanya kebelakang tepat kearahku yang sedang berlari menuju gawang lawan. Bek lawan yang satunya sudah jauh tertinggal dibelakang dan tak sempat untuk mengejarku. Sang kiper yang menyadari akan bahaya langsung maju mencoba menutup ruang tembakan ku. Aku berpikir cepat dan langsung mengambil keputusan. Ruang tembak yang sempit karena kiper sudah maju, bola yang datang dengan memantul, dan sadar akan tendanganku yang tidak terlalu kencang, membuatku tidak mungkin untuk melakukan tendangan plesing atau kuat mendatar. Dengan sekali sentuhan aku menendang bola dengan kekuatan sedang, menendang keatas melewati kepala kiper yang hanya bisa diam saja melihat bola karena diluar jangkauannya. Bola meluncur keatas dan dengan mulus masuk ke dalam gawang, GOOOOL....!!! Kedudukan berubah menjadi sama kuat 1-1. Aku langsung berlari kedepan kerumunan penonton, membuat selebrasi gol menembak ala Van Der Meyde, dan sudah pasti arah tembakan ku arahkan ke toge pasar yang bersorak dan melompat-lompat membuat aset berharganya turun naik kesana kemari.
Pertandingan 45 menit x 2 telah selesai dengan skor akhir 2-1, tim tuan rumah keluar sebagai pemenang dan kembali berhasil mengalahkan kami di leg kedua. Walaupun kalah tapi setidaknya kami telah berusaha dengan keras, dan banyak hal yang didapat dari pertandingan ini dengan beberapa catatan penting menurut kacamataku. Bahwa pertahanan terbaik adalah menyerang, penyerang tunggal bukanlah posisi terbaikku, dan si toge pasar layak di telusuri identitasnya.
***
Malam ini aku sedang duduk diteras sendirian sambil merokok dan menikmati secangkir kopi hitam. Pikiranku melayang memikirkan kejadian hari, memikirkan kekalahan kami sore tadi, memikirkan si toge pasar yang memikat, memikirkan jawaban Jenni atas Andi, memikirkan perasaan ku kepada Jenni, dan memikirkan apa yang mungkin terjadi nanti. Tiba-tiba lamunanku terusik dengan sesosok tubuh yang datang kearahku agak tergesa-gesa bahkan sedikit berlari. Aku memegang gelas kopi ku, bersiap melemparkan kearahnya jika terjadi hal yang tidak-tidak. Begitu sampai dihadapanku ternyata dia adalah Saiful teman sekolahku tapi beda kelas.
"Ah kamu Pul, kirain siapa. Ampir melayang neh gelas" kataku lalu menyeruput kopiku.
"sori coy ngagetin, hehe" jawabnya lalu duduk disampingku
"darimana kok sendiri? “ tanyaku heran karena rumah Saiful yang lumayan jauh dari rumahku.
"abis dari rumah Ayu anak sini. Kenal kan"
"iya, yang sekolah di SMEA kan. Emang pacar km itu ya? “
"belum sih masih PDKT. Sial saya coy"
"sial kenapa? "
"saya di tabokin sama anak-anak sana"
"lah kok bisa. Emang kenapa"
"gak tau. Alasan mereka sih karna saya lewat tapi gak nyapa mereka"
"kejadiannya dimana trus kamu hapal gak ama mukanya"
"perapatan yang ada gardunya. Mereka sekitar orang 6 sampe 7 lah"
"jadi gimana, mau balik lagi apa gak. Kalo masih mau ngapel si Ayu yaudah ayok saya anterin. Amanlah tenang aja"
"gak lah coy. Tapi ya itu motor saya ketinggalan disana, soalnya saya tadi kabur pas di tabokin"
"yaudah ayok balik lagi, sekalian ambil motor"
"kamu aja deh yang tolong ambilin, sama sekalian ambilin jam tangan saya ya. Punya bokap coy"
"yaudah lah tunggu sini ya, bener gak mau ikut"
"gak deh nunggu sini aja, yang penting ya motor ama jam itu. Kalo duitnya gak papa gak usah diminta"
"huft makanya Pul kalo mau maen kesini bilang-bilang, kan gini jadinya. Yang ngambil jam sama yang nabokin kamu gimana orangnya"
"kurus kecil item rambutnya keriting"
"yaudah tunggu sini bentar ya, kopi saya jangan diminum"
"iya cepet ya, takut saya masih gemeter neh"
"kalo ada orang dateng, gonggong aja ya"
"asem emangnya guguk"
Aku lalu berjalan menuju perapatan tempat biasa kami berkumpul, meninggalkan Saiful sendirian diteras rumahku dengan pipi merahnya. Sampai di perapatan aku melihat teman-teman ku sedang berkumpul termasuk Andi. Bersamaan denganku sampai juga cabe-cabean boncengan motor bertiga, Reni, Endang dan Jenni.
"baru nongol dia, sini coy pesta kita. Rokok banyak, jagung bakar ada. Nanti kalo cewek-cewek dah balik kita beli tuak" kata Agus melihatku datang.
"mau vigour juga boleh, tenang aja" sahut Somad
"ah kampret kalian semua, lain kali liat-liat atau tanya dulu lah. Jangan maen sikat aja. Kasian anak orang ditabokin gitu" kataku sambil geleng-geleng
"kawan kamu Lang? " tanya Ridho yang paham arah bicaraku
"iyalah, kawan sekolah. Ampe kabur gitu ketakutan. Motornya aja ampe di tinggal. Sini siapa yang ngambil jam tangannya. Kunci motornya mana"
"ya sori coy, gak tau haha.. " jawab Agus
"sori deh kalo gitu, soalnya anaknya gak sopan. Lewat-lewat aja gak klakson" kata Ridho sambil menyerahkan jam tangan milik Saeful kepadaku.
"halah dasar kalian aja cari masalah. Mau dia nyapa juga tetep salah dimata kalian. Dibilang melotot lah, motor di gas-gas lah. Kunci motornya mana? "
“itu masih ngegantung di motor" kata Somad
"tapi duitnya dah buat beli rokok coy, sisa dikit rencananya mau buat beli minuman nanti" lanjut Ridho
"yaudah duitnya gak papa, tapi lain kali tanya dulu anak mana, sekolah mana gitu. Saya sebagai pemuda berprestasi malu dengan kelakuan kalian. Kalian sebagai penerus bangsa tidak sepatutnya seperti itu. Belum lagi dosa yang akan kalian tanggung di akherat nanti" ceramahku panjang lebar.
"jiaaah.. Malah khotbah dia"
"hahaha... " kami lalu tertawa bersama.
Kuperhatikan Jenni, Reni dan Endang yang hanya memperhatikan kami, Andi tampak berdiri disamping mereka dan sepintas kudengar menjelaskan permasalahan yang terjadi. Awalnya niatku hanya ingin mengambil jam tangan dan motor milik Saiful lalu kembali kerumah menemui Saiful lagi, tapi aku memutuskan untuk tetap disini sebentar mengobrol bersama mereka karena tidak enak, bagaimana pun mereka adalah teman-temanku. Setidaknya aku harus mencairkan suasana dulu karena aku ingin agar seimbang antara teman sekolah dan teman kampungku.
"kawan kamu jangan suruh ngapel Ayu lagi Lang" ucap Ridho kepadaku. Aku paham maksud dari perkataannya dan aku juga tahu bahwa dia menaruh hati pada Ayu.
"hmm gak bisa gitu coy, saya tau kamu sir sama Ayu. Tapi masalah perasaan kan gak bisa dipaksa. Lagian kalo pun dia gak maen kesini kan bisa aja ketemuan diluar. Atau kalopun mereka gak jadian, belum tentu Ayu bakal jadian ama kamu" jelasku
"tapi ya gimana coy, saya suka ama Ayu udah dari dulu. Gak rela aja ngeliat kalo dia diapelin orang lain. Apalagi orang luar" jawabnya pelan
"tapi bukan gitu caranya coy. Dengan kamu make cara tadi justru buat Ayu makin gak respek ama kamu, malah benci jadinya."
"jadi gimana dong"
"ya kamu tetep berusaha lah dapetin dia, jangan nyerah. Jangan putus asa. Kamu tunjukkin perjuangan kamu buat dapetin dia. Tapi ya dengan cara yang baik, bukan kayak tadi. Intinya tetap berjuang"
"hmm paling bisa kalo nasehatin orang" sebuah suara sinis menyela obrolan kami. Kami melihat kearah suara itu, tampak Jenni memalingkan wajahnya kearah lain dengan jutek. Kami semua diam mendengarnya, aku bahkan tak tahu harus bersikap bagaimana. Cewek yang aneh pikirku, suasana hatinya kok berubah-ubah, apa punya kepribadian ganda ya. Sms kemaren itu dari dia bukan ya.
"udahlah, udah malem. Kasian kawan saya nungguin dirumah. Cabut dulu ya" ucapku pada teman-temanku sambil berjalan kearah motor Saiful. Setelah aku duduk diatas motor dan menyalakan mesinnya, tiba-tiba saja
"sekalian anterin saya pulang" suara Jenni yang tiba-tiba duduk diboncengan belakang.
Aku kaget dan menoleh kebelakang, ternyata Jenni sudah duduk dibelakang dengan wajah jutek. Reflek aku mematikan mesin motor dan melihat kearah teman-temanku, melihat kearah Andi yang hanya tersenyum tapi tersenyum kecut.
"udah, ayo jalan" ucap Jenni sedikit membentak
Aku lalu menghidupkan mesin motor dan menjalankannya, meninggalkan teman-temanku dan Andi yang terdiam menyaksikannya. Aku menjalankan motor dengan kecepatan sedang, jangankan pelukan tangan dipinggangku, tekanan sepasang payudara besar di punggungku, atau hembusan hangat nafas di leherku, sekedar obrolan diantara kami pun tidak ada.
"pelan aja bawa motornya" ucap Jenni tiba-tiba masih dengan suara jutek
"ini udah pelan" jawabku. kecepatan motor di speedometer menunjukkan angka 30 km/jam
"pelanin lagi" sahutnya
Ah apa sih maunya neh cewek, udah minta anterin maksa, ngomongnya gak ada manis-manisnya, boro-boro mau pegangan. Tapi setidaknya ada sisi positif dari kejadian ini, impian yang selama ini ku idamkan telah tercapai. Naik motor F1ZR hitam orange dengan suara knalpotnya yang khas dan dibelakang boncengan duduk seorang gadis cantik dan seksi (abaikan wajah juteknya). Tanpa sadar aku tersenyum dan kepalaku agak mendongak sombong, lubang hidungku terasa makin lebar. Kusapa setiap orang yang berpapasan dengan kami, baik itu yang kenal ataupun yang tidak kenal.
Tak terasa kami telah sampai didepan rumah Jenni, aku menghentikan motor didepan terasnya tanpa mematikan mesin motor. Kutunggu reaksinya yang hanya diam saja, tidak turun dari boncengan motor.
"udah nyampe" ucapku pelan sambil menoleh kebelakang
"huh, cepet amat" ucapnya sambil turun dari motor dan berdiri disamping motor
"matiin motornya, berisik tau" lanjutnya lagi
Aku mematikan mesin motor, kok suruh matiin sih pikirku. Tapi yaudahlah turutin aja apa maunya, wajahnya yang jutek sedikit membuatku takut.
"turun dari motor, gak sopan amat ngomong ama cewek sambil duduk dimotor. Kayak lagi ngelobi cewek di pinggir jalan aja" ucapnya ketus.
Aku memasang standar motor lalu berdiri dan menyandarkan pantatku di jok motor menghadap ke arahnya, jarak antara kami hanya sekitar 1 meter. Aroma parfumnya tercium jelas olehku, membuatku terbuai dan menghisap nafas dalam-dalam menikmatinya. Kuperhatikan wajahnya, matanya tajam menatap mataku seolah marah tapi jika Kuperhatikan lagi dengan seksama wajahnya seperti ingin tertawa. Ah entahlah.
"eh Gilang ya. Kirain siapa yang dateng" suara didepan pintu menyapaku. Ternyata Mamanya Jenni sudah berdiri didepan pintu.
"iya tante, nganterin Jenni pulang" jawabku sesopan mungkin
"gimana kabar ibu kamu, sehat kan" tanyanya lembut
"alhamdulillah sehat tante, gimana kabar tante sehat juga kan" tanyaku
"sok perhatian" ucap Jenni pelan tapi masih bisa jelas kudengar. Aku melihat kearahnya dengan tatapan seolah marah, bukannya takut dia malah balik menatapku melotot. Aku langsung memalingkan wajahku kearah Mamanya.
"sehat juga, sini masuk aja kedalem ngapain ngobrol disitu. Jen.. Ajak masuk dong Gilang nya, buatin minum" ucap Mama Jenni.
"iya tante" jawabku sambil bangkit dan ingin berjalan kearah rumahnya, tapi baru selangkah berjalan
"gak usah mah, ini juga udah mau pulang" Jawab Jenni tanpa melepaskan pandangan tajamnya dariku. Mendengar itu aku langsung menghentikan langkahku dan kembali mundur duduk di jok motor.
"iya tante terima kasih, lain kali aja" jawabku halus
"huh sok manis" kembali Jenni mencibirku, kali ini kubiarkan saja dia daripada nanti melotot lagi pikirku
"oh yasudah kalo gitu, sering-sering main kesini ya. Tante masuk dulu, salam buat ibu kamu" ucap Mama Jenni yang lalu masuk kedalam rumah
"iya tante" jawabku sambil melihatnya masuk kedalam rumah. Masih dengan pandangan kedalam rumah aku lalu berkata pelan seolah berkata kepadaku sendiri
"hmm kok bisa beda banget ya, mamanya baik, lembut, ramah tapi anaknya.... " ucapku yang sengaja tak melanjutkannya sambil melirik kearah Jenni.
"apa, kenapa? Anaknya kenapa?" ucap Jenni dengan wajah seperti ingin menelanku hidup-hidup
"gak papa... " ucapku pelan dan tak berani menatap wajahnya. Aku lalu memutar kontak motor berniat ingin pulang.
"mau kemana?" tanya Jenni jutek
"pulanglah, katanya tadi disuruh pulang" jawabku santai tanpa melihat kearahnya
"siapa yang nyuruh pulang, kamu pulang kalo udah saya suruh pulang. Kalo belum saya suruh jangan berani kamu pulang" ucapnya tegas.
Mendengar itu aku lalu mengurungkan niatku untuk pulang, kuputar lagi kontak motor kearah kiri. aku makin bingung dengan sikap dan maksudnya. Okelah turutin aja maunya apa, biar jelas sekalian mau dia apa pikirku. Aku berniat untuk merokok agar mengurangi sedikit grogi ku, kukeluarkan sebatang rokok dan baru saja aku membuka mulutku ingin menyambut dan menyalakan rokokku
"jangan ngerokok! Bau asepnya" cegah Jenni. Mendengar itu aku mengurungkan niatku dan memasukkan kembali rokokku sambil mulutku mengecap-ngecap karena masam.
Cukup lama kami saling berdiam diri dan tak mengucapkan apa-apa, aku hanya menunduk tidak berani menatap wajahnya.
"kamu itu orang paling nyebelin sedunia" ucapnya pelan sedikit bergetar, kulihat matanya tampak sedikit berkaca-kaca seperti ingin menangis, oh tidak please jangan menangis.
"iya, tapi ngangenin ya" jawabku coba melucu agar dia tidak jadi menangis
"gak lucu! Sebenernya mau kamu apa sih" tanyanya dengan tatapan tajam
"mau pulang... " jawabku kembali dengan nada melucu
"bisa serius gak? Apa sih tujuan kamu sebenernya?"
"kita ini lagi bahas apa sih" tanyaku heran
"kamu tau apa yang saya maksud, jangan pura-pura gak ngerti. Apa maksud kamu nyuruh Andi nembak saya" tanyanya tajam
"saya gak nyuruh.. "
"bohong! apa kamu juga yang nyuruh bendot nembak saya waktu itu, iyakan pasti kamu. Apa sih tujuan kamu sebenernya" tuduhnya lagi
"beneran saya gak nyuruh.. "
"kamu tau kan niat mereka? Kamu tau kan perasaan saya ? Kenapa kamu malah nyuruh mereka nembak saya, apa tujuan kamu. Kamu anggep saya apa kok kamu tawar-tawarin gitu ke temen-temen kamu. Kamu mau saya pacaran sama mereka? Sama siapa? Sama Bendot, sama Andi? Iya itu mau kamu kan" ucap Jenni dengan emosi, aku hanya diam tak tahu harus menjawab apa.
"iya, kamu mau saya pacaran sama Andi? " tanyanya lagi
"Andi suka sama kamu.." jawabku pelan
"trus gimana dengan perasaan saya? Apa saya suka sama dia. Egois kamu! Waktu saya pacaran dengan temen sekelas saya, reaksi kamu biasa aja, Setiap Andi deketin saya, reaksi kamu juga biasa aja. Ternyata saya salah ya nilai kamu. Saya yang bodoh" ucapnya
"Jenn... " hanya itu yang keluar dari mulutku. aku diam tak melanjutkan ucapanku, aku bingung harus berkata apa.
"kamu pengecut.." ucap Jenni menatapku dengan air mata yang menetes, dia kemudian berlari masuk kedalam rumah meninggalkan aku sendiri dengan segala kebodohanku.
Kupacu F1ZR milik Saiful sekencang-kencangnya meninggalkan rumah Jenni, suara knalpot yang meraung-raung seolah mewakili perasaan dan suasana hatiku saat ini. Terbayang wajah dan air mata Jenni, terngiang ucapan terakhirnya. Dan seolah terngiang di telingaku sebuah lagu dari sang maestro Iwan Fals
"Sudah cukup jauh
Perjalanan ini
Lewati duka lewati tawa
Lewati segala persoalan
Kucoba berkaca
Pada jejak yang ada
Ternyata aku sudah tertinggal
Bahkan jauh tertinggal
Bodohnya diriku
Tak percaya padamu
Lalu sempat aku berfikir
Untuk tinggalkan kamu
Nona maafkan aku
Nona peluklah aku
Nona begitu perkasanya dirimu
Yakiniku
Nona marahlah padaku
Nona
Nonaku... "
Sampai dirumah kulihat Saiful tampak tertidur dengan posisi meringkuk diteras rumahku. Pipinya tampak sedikit bengkak, mulutnya terbuka meneteskan air liur.
"dek dek.. Bangun. Mau buka tokonya" kataku membangunkannya
"ah sial dikira gelandangan apa" gumamnya sambil bangun
"pintu kan gak dikunci ngapain tidur disitu" ucapku
"ketiduran, kamu sih lama bener"
"ya emangnya gampang. Saya harus berjuang mati-matian ngelawan mereka. Sampe saya harus ngeluarin pedang matahari trus berubah jadi RX-ROBO" ucapku berlebihan
"gak pake kapak maut naga geni 212 aja"
"itu beda misi. Kan misi yang sekarang nyelametin belalang tempur kamu"
"iya iya, makasih ya" ucapnya mengalah
"neh, mau nginep sini apa gimana" tanyaku sambil memberikan jam tangannya
"pulang ajalah coy, makasih ya"
"ya ati-ati dijalan, kalo jatoh bangun sendiri"
Setelah kepergian Saiful, pikiranku kembali memikirkan banyak hal. Semua ucapan Jenni, sikapku selama ini kepadanya, sikap Andi kepadaku tadi yang terkesan berbeda tidak seperti biasanya. Untuk si toge pasar please jangan ikut masuk pikiranku juga, jangan tambah beban pikiranku lagi. Tanpa kusadari tanganku ternyata membuka sms dari Jenni malam itu, aku berfikir sejenak lalu mengetik dan mengirimkan sebuah sms kepadanya. Hanya satu kata, maaf.
***