rotitawar
Semprot Holic
Setelah mengambil sepeda motor Bonar yang kutitipkan dirumah temanku, aku mampir terlebih dahulu kesebuah wartel dipinggir jalan. Aku berniat untuk menghubungi ibuku. Jika diingat ternyata sudah cukup lama aku tidak menghubungi ibuku. Selain karena kangen mendadak setelah mendengar lagu Ibu dari Iwan Fals dirumah temanku tadi, aku juga ingin membahas terkait masalah bayaran SPP yang deadline nya adalah besok.
Menelpon Jenni? Nanti aja pake telpon koin, itupun kalo inget. Karena aku sudah tau dengan pasti apa yang akan kualami atau dilakukannya padaku nanti. Datang kerumahnya sama saja dengan masuk ke sarang macan, lagipula kondisi wajahku yang sedang berkurang kadar ketampanannya tidak pas untuk di pandang Jenni saat ini.
"haloo.." terdengar suara lembut ibuku diseberang sana. Mendengar suaranya membuatku sejenak terpaku. Selain karena rindu suaranya, aku seketika merasa tidak enak dan tidak tega untuk meminta uang SPP
"Assalamualaikum.." ibu mengucap salam
"waalaikum salam.." aku menjawab salam dengan suara sedikit bergetar
"iya, siapa ini" tanya ibu
"Gilang bu.."
"Gilang siapa ya" tanyanya lagi
"Gilang bu, anak ibu yang paling tampan"
"yang mana ya. Saya gak punya anak namanya.. Siapa tadi? Galang apa Gilang?" ucap ibuku.
"ibu...Gilang bu.." aku merengek
"lho kamu itu cari siapa?" tanya ibuku lagi yang membuatku ragu dan melirik ke layar dalam wartel, memeriksa no telpon yang kutuju siapa tahu aku salah sambung. Padahal aku yakin itu suara ibuku, dan setelah kuperiksa memang benar aku tidak salah menekan nomor.
"iih.. Ibu ini lho, mahal ini bayar wartelnya. Malah becanda aja lho" ucapku cemas jika benar ternyata ibuku telah melupakanku.
"makanya kemana aja kamu. Gak pernah telpon, lama gak pulang. Ibu kan jadi lupa kalo punya anak kamu"
"iya maaf bu. Ibu apa kabar? Bapak Gimana?" tanyaku
"ah.. Ibu lagi bingung ini gara-gara kelakuan Bapakmu itu" keluh ibuku
"bapak kenapa bu?"
"tadi siang naek motor, malah nabrak tukang somay"
"hah? Trus Bapak gimana bu? Gak papa? Bapak dimana sekarang" tanyaku khawatir.
"tuh molor dari tadi, habis makan langsung molor. Apa kamu gak kedengeran dari situ suara ngoroknya yang nyaring?"
"hehe.. Berarti Bapak gak papa ya bu"
"bapakmu ya gak papa. Tapi tukang somaynya lecet-lecet. Minta obatin ke puskes, minta biaya pijet, minta dandanin gerobaknya. Belum lagi terpaksa beli somaynya segerobak. Ahh pusing ibu, mau dikemanain itu somay segerobak" jelas ibuku yang membuatku ikut merasakan kesusahannya. Dan otomatis membuatku tidak tega untuk meminta uang SPP karena pasti hanya akan menambah beban pikirannya.
"uang simpenan ibu jadi kepake untuk nutupin semua itu. Untung gak sampe jual cincin" lanjut ibu
"namanya musibah bu. Yang penting bapak gak papa" ucapku menenangkan ibu
"ya memang gak papa. Tapi ngedenger alasan bapakmu, ibu gak percaya. malah bikin jengkel. Katanya nabrak tukang somay itu gara-gara menghindari tukang jamu yang lewat. Padahal kemungkinan itu karena mata bapakmu aja yang jelalatan ngeliatin tukang jamu gendong. makanya sampe bisa nabrak gitu"
"haha.. Ya gak lah bu" aku coba membela bapak. Ah dasar bapak, sampe segitunya ngeliatin tukang jamu gendong. Pasti dia bukan tukang jamu biasa. Dengan pakaian kebaya ketat dan balutan kain yang membuat pantatnya semakin bahenol, ditambah lagi dengan kilauan bulir keringat di dahi dan leher. Ah anak mu ini maklum padamu pak.
"ya sudah kalo begitu bu, besok Gilang pulang kesana" ucapku yang memutuskan untuk tak jadi membahas masalah uang SPP
"lho memangnya sudah libur? Ujiannya kapan?"
"ujiannya minggu depan bu. Ini mulai minggu tenang. Besok sudah gak belajar lagi, paling cuma....Liat ruangan ujian aja" jelasku yang tidak menceritakan bahwa besok ada hari pembagian kartu ujian.
"oh gitu. Besok pagi atau siang darisana?"
"iya bu, berangkatnya ya sebangunnya bu. Agak siang lah, hehe.. Oh iya bu besok masakin pepes tahu ya"
"iya beres. Hati-hati dijalan. Kebetulan kamu besok pulang, ada yang mau ibu ceritain. Sekalian minta pendapat kamu"
"masalah apa bu?"
"Besok aja ya nunggu kamu udah disini"
"aah.. Ibu bikin penasaran aja kan. Apa sih bu? Gak bisa tidur neh" desakku
"panjang ceritanya, gak cukup kalo cerita di telpon"
"garis besarnya aja bu, intinya lah. Biar gak penasaran"
"hmm intinya aja ya. Lebih rincinya nunggu kamu besok"
"iya bu, siap"
"Warung makan yang kita sewa disini, mau dijual sama yang punya. Berikut tanahnya karna mereka lagi perlu uang"
"jadi?"
"Jadi terpaksa kita harus pindah, gak jualan lagi"
"tapi kan sudah kita sewa setahun bu, masa belum setahun udah mau dijual"
"kalo masalah itu sih, nanti dikembalikan uang sewanya sama mereka. Cuma ibu sayang aja, warung kita udah lancar, rame pelanggannya. Pemasukannya juga lumayan, pikir ibu bisa lah buat biaya kuliah kamu nanti"
"jadi gimana bu?"
"kamu tenang aja, jangan kecil hati. Ibu sama Bapak tetep usahain kamu bisa kuliah"
"kalo itu mah gampang bu. Gak kuliah juga gak papa. Maksud Gilang warung makan ibu gimana kedepannya? Sedangkan pemasukan dari warung itu lumayan untuk perekonomian keluarga kita"
"tetep ibu usahain kamu kuliah. Pokoknya kamu tenang aja, gak usah dipikirin. Kita obrolin besok aja ya nunggu kamu pulang"
"jangan terlalu dipikirin bu. Jangan jadiin beban, Gilang gak harus kuliah kok. Pake ijazah SMA aja masih kepake buat cari kerja"
"benerkan kata ibu, gak cukup ngobrol di telpon. Udahlah besok kita lanjut lagi ya kalo kamu udah pulang"
"iya bu, ibu jangan banyak pikiran ya. salam buat bapak. Assalamualaikum"
"iya. waalaikum salam"
Clekk.. aku menutup gagang telpon yang langsung disambut oleh suara printer yang mencetak struk wartel. Hmm 4.750 mahal amat neh wartel, nelpon bentar doang ampe segitu. Mau naek haji kayaknya yang punya. Sekarang aku harus bagaimana ini, mendengar kesusahan ibuku membuatku tidak mungkin untuk meminta uang SPP. Pinjem mamaknya Bonar, gak enak. Pinjem Bulek Nita, Malu. Beli tuyul seken, udah gak sempet.
Crek crek!! Fiiuuhh... Aku menyalakan sebatang rokok dan menghembuskan asapnya tinggi-tinggi. Berharap semua bebanku terbang tinggi bersama asap itu. Aku masih berdiri didepan wartel sambil memandangi kendaraan yang lalu lalang. Saat sedang melamun aku melihat sebuah mobil sedan hitam yang datang dan berhenti disampingku. Pintu bagian kemudi terbuka dan turunlah seorang wanita usia akhir 30an yang sangat mempesona.
Seperti di film-film, aku memandang kearah kakinya yang turun terlebih dahulu. Lalu memandang naik kearah kaki sampai dadanya. Dan terakhir baru memandang kearah wajahnya. Dari penampilannya menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga yang berada. Pakaiannya berhijab tapi sangat modis dan terlihat mahal, kulitnya putih bersih, jari lentiknya dihiasi beberapa cincin emas. Aku melihat wajahnya yang putih berkilau minyak. Hmm orang kaya mah beda, mau mukanya berminyak juga tetep keliatan cakep.
Setelah turun dari mobil dan menutup pintunya, dia lalu memandang kearahku. Dipandang oleh wanita dewasa yang mempesona membuatku otomatis mengeluarkan senyum maut andalanku, senyum pepsodent. Setelah menerima senyum mautku, dia mulai bergerak melangkahkan kakinya. Bukan berjalan kearahku, bukan menghampirku, tapi kearah samping wartel yang ternyata sebuah counter hape. Ah sial, mau beli pulsa ternyata.
***
Bonar tampak sedang duduk santai diteras rumahnya saat aku datang. Sorot dari lampu sepeda motor yang menerpa wajahnya membuatnya langsung melihat kedatanganku.
Ciiittt...!! Suara berdecit sepeda motor Bonar yang ku injak dalam.
"wuih di dandanin ya rem nya!?" seru Bonar melihat motornya berhenti dengan mantap
"yoi coy, sebagai bentuk tanggung jawab dan peduli akan keselamatan sahabat baik saya. Saya dandanin neh motor, di bengkel yang montirnya mantan mekanik max biaggi" jawabku sambil turun dari sepeda motor dan duduk disampingnya.
"max biaggi yang pembalap motor grasstrack?"
"itu mah Mat Bagio!"
"hehe sakit gigi ya? Makanya jangan kebiasaan gigitin es batu" ucap Bonar yang melihat bengkak pada pipiku.
"Dikeroyok" sahutku sambil mengusap rahangku yang agak bengkak
"kan udah di bilang berkali-kali, jangan suka ngintip tetangga mandi. Di massa orang kan kamu" Bonar langsung menuduhku yang tidak-tidak
"enak aja, yang ada malah saya yang di intipin mandi" ucapku yang membuat Bonar melengos
"dikeroyok coy.. sama empat orang begundal" ucapku
"begundal siapa? Gimana ceritanya" tanya Bonar antusias. Aku lalu mulai menceritakan kejadian saat aku menghadapi empat orang pendekar golongan hitam dari daerah Mala tadi. Dari awal hingga akhir, kecuali tentang cerita aku dan Mala yang akrab bercengkrama. Bonar sangat serius mendengarkan dan tampak emosi, dia bahkan memberi usulan untuk mencari mereka lagi dan membalasnya. Tak lupa aku juga menceritakan kepada Bonar mengenai warung makan ibu dan tragedi gerobak somay yang disebabkan oleh tukang jamu gendong.
"jadi gimana?" tanya Bonar saat aku menyelesaikan ceritaku dan menutupnya dengan menyeruput gelas kopi Bonar
"yang mana?" tanyaku balik
"anak-anak daerah Mala. Kita cariin aja mereka, samperin ke tempat nongkrongnya"
"gak usahlah, gak perlu. Malah panjang nanti urusannya. Mana kita mau ujian. Sekarang aja saya was-was kalo seandainya mereka lapor polisi atau keluarganya gak terima. Bisa-bisa nasib saya kayak aer di bak mandi, kena ciduk"
"kayaknya gak lah kalo mereka lapor polisi. Kan mereka yang mulai, mereka yang maen keroyok" ucap Bonar
"tetep aja saya khawatir. Makanya malem ini rencananya saya gak tidur dirumah. Buat jaga jaga aja sih takut dicariin polisi atau keluarga mereka"
"yaudah tidur sini aja. Pasti aman lah"
"kalo disini percuma, sama aja bohong. Kalopun dicariin, tau saya gak ada dirumah, mereka pasti nyari kesini"
"iya ya. Jadi mau minep kemana malem ini?" tanya Bonar
"minep rumah Asep aja, anterin ya nanti" sahutku cepat yang tiba-tiba saja terbayang akan bertemu dengan Teh Lia lagi.
"iya ntar saya anterin. Itu pipi bengkak aja, apa ada gigi yang copot?" ucap Bonar
"ngenyut dikit aja, sama gak bisa lebar-lebar buka mulut" ucapku
"kirain ada yang copot giginya. Kalo copot, gigi atas jangan buang keatas"
"hmm malah iklan"
"hehe mau ngenyut juga, kalo cipokan pasti gak kerasa ya ngenyutnya. Besok gimana sekolah?" tanya Bonar lagi
"hah? jadi besok saya gak sekolah, lagian kan udah gak belajar. Besok siang saya mau pulang aja, kangen orangtua" ucapku. Hmm bener juga sih kata Bonar, buktinya tadi waktu sama Mala gak kerasa tuh sakitnya. Hehe..
"Oh gitu, besok kartu ujian kamu saya ambilin aja ya. Wah tadi sore abis saya coy di omelin mamak saya, karena make uang bayaran. Untung masih dikasih lagi. Eh bayaran SPP kamu gimana? katanya tadi gak ke omong mau minta"
"ini uangnya udah ada, besok tolong bayarin ya. Susuknya ambil aja" ucapku sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya diatas meja. Bonar seperti heran melihatnya.
"jual hape" lanjutku singkat setelah melihat rasa heran diwajah Bonar
"hape siapa?"
"hape saya lah. Tadi waktu mau kesini saya mampir dulu ke wartel, disebelah wartel ada toko hape. Sepintas saya dengar ada tante-tante bawa sedan nyari nokia 8250 seken. Tapi disana kosong. Ngedenger itu, saya jadi kepikiran buat jual hape saya untuk bayar SPP. Sisanya lumayan buat bayar biaya dandan gerobak somay" jelasku
"apa gak sayang coy?" tanya Bonar sambil menghitung uang yang kuletakkan diatas meja
"Sayang sih sayang, tapi mau gimana lagi. Urgent ini urusannya. Lagian tante itu cakep banget, ngomongnya lembut lagi. Untung dia gak pake nawar, kalo nawar bisa luluh saya. Gak kuat nolak"
"doyannya kok ama tante-tante, daun muda dong"
"mendingan tante-tante lah, aman. Kalo ama yang muda, bisa kena marah kak seto lho"
"jangan juga muda banget kali! yaudah besok saya bayarin SPP kamu ya. Kartu ujiannya saya ambilin juga sekalian. Ah kampret, susuknya cuma 4 ribu ini!" gerutu Bonar
"lumayan buat beli bensin, itu tadi saya lupa mampir ke pom ngisi bensin"
"sama aja bohong!"
"sori ya coy.." ucap Bonar pelan kemudian
"sori kenapa?"
"gak bisa bantu kamu. Kamu sampe jual hape gitu"
"ya gak papalah, saya juga sadar dirilah udah banyak ngerepotin kamu. Masa' uang SPP juga masih mau ngerepotin kamu"
"kamu tau gak rumah tante itu. Kita cari aja, kita tebus hape kamu. Nanti saya ngomong mamak saya, sapa tau mamak saya ada uang. Kamu pake aja dulu. Atau kita telpon aja dia, pasti nomor kamu masih dipake sama dia" usul Bonar
"udahlah gak usah Nar, malah gak enak saya sama mamak kamu. Udah gak papa, nyantai aja jangan anggep beban buat kamu"
"tetep aja ada ganjelan, karna saya gak bisa bantu kamu"
"namanya hidup coy, pasti ada lika liku. Momentnya aja yang kurang pas. Datengnya barengan"
"yaudah yang sabar aja, pasti nanti ada jalan keluarnya. Mungkin keluarga kamu lagi dikasih cobaan ama Tuhan. sekarang mending kamu sholat dulu aja. Masih bisa kan sholat malem jam segini. Supaya pikiran kamu tenang, abis itu baru kita kerumah Asep" ucap Bonar
"yaudah, makasih ya. Ayo temenin masuk, mau wudhu saya" ajak aku sambil berdiri
"masuk sendiri lah! Biasanya juga nyelonong aja! Saya nyiapain tempat kamu sholat dulu di kamar ya"
"ada sarung bersih Nar?"
"ada, masih baru malahan, belum pernah dipake"
"peci?"
"ya gak ada"
"kiblat nya kearah mana Nar?"
"mana saya tau lah!"
***
"bener ini rumah Asep?" tanya Bonar sambil mematikan mesin motornya
"ho oh"
"kok gelep? Cuma lampu depan yang idup. Kosong kayaknya"
"Assalamualaikum... Sep.. Asep... Maen yuukk.." aku berteriak memanggil.
"jaman udah modern oy, gak perlu teriak-teriak kayak di hutan. Pake hape dong, oiya lupa gak punya hape ya?" ucap Bonar meledek ku lalu mengeluarkan hapenya
"yaudah sms aja" usulku
"telpon aja, pulsa saya banyak. Abis ngisi tadi, lumayan sisaan bayaran SPP saya buat beli voucher"
"tetep ngambil ujung, emak sendiri diakalin" gumamku
"cerewet. Yang penting kalo ditanya mamak saya nanti kamu jangan bilang berapa bayaran sebenernya" sahut Bonar
"males amat, kamu yang nipu kok saya yang harus berbohong"
"halo Sep, Abdi Bonar neh... Kunaon naon sep" Bonar berbicara dengan Asep di telpon
"bade kamana' kok rumah kosong. Ente' aya' orang" Bonar masih melanjutkan dengan bahasa sunda hancurnya
"minep apa minep bahasa sundanya?" bisik Bonar
"bermalam" jawabku
"rencanana kita mau bermalam dirumah kamu sep.... Ho oh ente' naon-naon sih, pengen aja.."
"urang sama Gilang, ente' acan Sep. Ho oh Sep hatur nuhun... Ngapunten ngaririweh nyak Sep" lanjut Bonar lalu mematikan telponnya.
"yuk cabut" ajak Bonar sambil menyalakan motornya
"kemana? Asepnya dimana?" tanyaku
"Asep gak tau kemana"
"lah tadi ngobrol di telpon ngomongin apa?"
"Asep cepet bener sih ngomong sundanya, saya jadi gak ngerti. Ada teteh tetehnya gitu. Tau teteh apa tetek tadi, pokoknya gitulah"
"makanya bahasa indonesia aja tadi, mau sok bahasa sunda segala. Ngerti juga gak! Berarti ngobrol panjang lebar tadi itu gak nyambung?" gerutuku
"intinya Asep gak ada, udah itu aja. Yang laen mah ya gak perlu. Udah cepet naek! Tinggal neh!" ancam Bonar
"ah bleguk sia' Nar" ucapku sambil naik ke boncengan
"kanjut!" sahut Bonar.
"cari makan dulu Nar, laper" ucapku pada Bonar dari belakang boncengan
"oke, mau makan apa? Mie tek tek deket pom bensin ya"
"yang kerenan dikit Nar, sate kambing ama tongseng aja. Mumpung banyak duit neh" sahutku
"oke, sate kabita aja ya. Mantep itu" usul Bonar
"berangkatin" sahutku
Kira-kira perjalanan sepeminuman teh, akhirnya kami sampai disebuah warung sate kambing kabita. Sebuah warung sate dekat taman yang terkenal enak dan selalu ramai pengunjung. Seperti malam ini, kami melihat beberapa pengunjung yang sudah hampir memenuhi semua meja.
"Mal, kambing sepuluh, sama sop buntut ya" ucap Bonar sambil menepuk pundak si Jamal yang sedang sibuk mengipas sate. Sok akrab biar dikasih banyak sop buntutnya.
"kambing lima, ayam lima. Sama tongseng satu Mal" ucapku sambil menepuk pantatnya. Lebih sok akrab biar tongsengnya enggak banyakan kol daripada dagingnya.
"jodoh emang gak kemana..." bisik Bonar dengan senyum mesum saat aku duduk disampingnya. Aku lalu melihat kedepan kearah pandangan matanya. Tampak dimeja seberang depan, duduk seorang cewek yang tempo hari dikirimi surat cinta oleh Bonar, Fitri.
"yoi coy, jodoh emang gak kemana. Gak jauh-jauh duduknya hahaha" ucapku saat mengetahui ternyata Fitri duduk berdua dengan seorang cowok yang sebaya dengannya. Dari gelagat dan gerak geriknya, sepertinya mereka berpacaran.
"kampret! Pantesan surat saya gak dibales! Ah mending makan mie tek tek aja tadi deket pom" gerutu nya
"haha sabar coy sabar.. Cinta tidak harus memiliki. Melihat si dia bahagia dengan yang lain adalah salah satu bentuk bukti cinta kamu kepadanya hahaha" aku meledek Bonar yang sebal melihat kemesraan antara Fitri dan pacarnya. Sepertinya Fitri belum menyadari keberadaan kami.
"kok malah mau sama cowok kayak gitu. Apa coba kurangnya saya dibanding cowok itu"
"banyak! Haha"
"woy Mal! Lama amat sih ngipasnya? Bisa gak!? Lelet bener!" Bonar berteriak melampiaskan kekesalannya kepada Jamal. Membuatnya menjadi pusat perhatian seisi warung, termasuk Fitri dan pacarnya. Bonar lalu menghampiri Jamal dan memeriksa pekerjaannya.
"nah ini balik Mal, gosong nanti. Yang itu udah mateng tuh! Cepet angkat! Awas jadi areng!“ Bonar mengomentari Jamal
"udah coy duduk sini aja, sabar. Sori ya Mal, Bonar ini kalo laper suka gampang kesurupan" sahutku sambil tersenyum pada Fitri yang melihatku. Cowoknya? Melihatku tak senang. Mungkin dikiranya aku tebar pesona dengan pacarnya. Bodo' amat.
"korek korek Mal, ada korek gak" tanya Bonar sambil menyelipkan sebatang rokok dibibirnya.
"ada. Waduh dimana ya" ucap Jamal sambil celingukan mencari koreknya
"ah kelamaan, ini aja neh" ucap Bonar menunjuk bara arang didepannya. Bonar lalu menyalakan rokoknya dengan bara arang yang dijepit dengan gunting dan disodorkan oleh Jamal. Mungkin biar serem didepan cowoknya Fitri.
"jangan lama-lama Mal, apa perlu saya pinjemin kipas sakti istrinya Gu Mo Ong siluman kerbau!" ucap Bonar sambil kembali duduk disampingku.
Sambil menunggu pesanan kami datang, aku dan Bonar beberapa kali mencuri pandang kearah Fitri dan pacarnya. Tampak Fitri yang kikuk dan serba salah kami perhatikan, sementara pacarnya masih tetap berusaha romantis dengan memegang tangan dan sesekali membelai rambut Fitri. Seseolah memamerkannya kepada kami, Sesuatu yang membuat Fitri risih dan emosi Bonar.
"selamat malam bapak ibu mas mas dan mbak mbak, mohon maaf jika kehadiran" ucapan salam pembuka dari seorang pengamen yang baru saja masuk. Pengamen tersebut adalah salah satu rekan kami mengamen. Nama aslinya aku tidak tau, tapi dia biasa dipanggil Ableh. Ucapan salam pembuka itu tidak selesai karena langsung di potong Bonar.
"Bleh Bleh, request lagu gua Bleh" ucap Bonar
"lagu apa coy" tanya si Ableh
"ingin kubunuh pacarmu!" ucap Bonar mantab
"cemburu Bleh, cemburu.. DEWA 19" sahutku
"langsung reff aja Bleh" ucap Bonar ketika Ableh mulai memetikkan intro dari gitarnya. Dengan cekatan jari jemari Ableh mulai memetik gitar, Ableh membawakan lagu itu dengan penuh penghayatan. Tapi penghayatan Ableh masih kalah jauh dengan Bonar yang ikut menyanyi dengan suara sembernya. Bahkan sampai menepuk-nepuk dada dan memejamkan mata saking menghayatinya. Sementara aku hanya cengengesan melihat tingkahnya dan sesekali melihat kearah Fitri dan pacarnya. Fitri tampak makin kikuk, sementara pacarnya menampakkan raut wajah tak suka. Mungkin menyadari bahwa lagu itu di request bonar untuk Fitri.
Selesai lagu tersebut, Cak Eman si pemilik warung membisiki sesuatu ke Ableh sambil memberikan selembar uang lima ribuan. Ableh lalu pergi meninggalkan warung tersebut setelah menyapa kami dengan gerakan alisnya. Sementara itu Cak Eman langsung menghampiriku dan berbisik,
"minta tolong ya, gak enak sama pengunjung laen. Takut keganggu. Nanti gak mau dateng lagi kesini" ucap Cak Eman
"iya Cak, maaf ya Cak" jawabku tak enak. Memang benar ucapan Cak Eman, semua tingkah laku kami mungkin saja mengganggu pengunjung lain, sehingga membuat mereka kapok makan disini lagi.
"apaan?" tanya Bonar
"dikasih diskon 50% sama Cak Eman, tapi diem-diem aja jangan tau yang lain" ucapku berbohong
"oh, oke sip"
"si Fitri kalo pake baju sekolah keliatan cakep. Tapi kalo pake baju biasa gitu, biasa aja ya. Gak menarik" ucapku
"enggak ah, sama aja. Tetep cakep" sahut Bonar
"Fitri mah kutilang darat. Kurus tinggi langsing dada rata. Mending Santi, bahenol. Apalagi kalo pake baju biasa. Beh.. Gini bodinya coy, gitar spanyol" ucapku sambil membentuk angka delapan dengan tanganku, berusaha mengalihkan perhatian Bonar dari Fitri dan melupakan emosinya.
"masa sih? Liat dimana?" tanya Bonar mulai antusias
"waktu kerumah Mala. Sore-sore dia nyiramin kembang, pake tengtop warna ijo. Manteb coy, sampe luber-luber" lanjutku
"celananya?" tanya Bonar makin antusias
"gak pake celana!"
"masa iya?"
"pake rok, ketat. Apalagi rambutnya basah abis keramas. Hmm.. Bikin pengen ikutan keramas juga" ucapku. Mendengar cerita hiperbolaku, Bonar tampak seperti sedang berpikir keras. Entah berpikir apa, mungkin berpikir jorok. Aku kemudian melanjutkan doktrin ku kepada Bonar, dengan tujuan dia mau melupakan Fitri dan melupakan emosinya.
Karena terlalu serius obrolan kami, sampai kami tidak menyadari jika Fitri dan pacarnya sudah tidak ada disana. Bonar tampak sedikit kecewa mengetahui bahwa mereka sudah tidak ada disana. Tapi rasa kecewanya langsung hilang begitu melihat kepulan asap dari sop buntut yang dibawakan Jamal.
Selesai makan dan membayar, yang ternyata beneran diskon 50%. Aku dan Bonar keluar dari warung sambil menghisap rokok. Baru saja selangkah keluar warung, kami berdua terkejut beradu pandang dengan seorang wanita yang kebetulan lewat. Saking terkejutnya membuat Bonar ternganga dan rokoknya terjatuh.
"bagus! Begini ya kerjaan kalian! Enak-enak makan disini, merokok sok gagah!" hardiknya
"maak..." hanya kata itu yang keluar dari mulut Bonar
"sudah bisa cari uang kalian, sok sok merokok begitu! Pulang!" ucapnya sambil menghampiri kami. Aku langsung berdiri kebelakang Bonar, berlindung dari amukan mamaknya.
"malu ah mak, diliatin orang. Jangan marah disini" bisik Bonar
"masih punya malu kau rupanya. Makanya ayo pulang, daripada mamak ngamuk disini. Kau juga pulang Gilang! Sudah malam ini" ucapnya. Aku langsung mengangguk cepat.
"Bonar anter Gilang dulu ya mak, kasian dia pulangnya gimana nanti. Mamak pulang duluan aja, nanti Bonar langsung pulanglah mak" Bonar coba bernegosiasi
"tega kau liat mamak pulang jalan kaki. Malah lebih penting kawan kau yang suka mewek karena cewek ini"
"bukan gitu mak, tadi mamak kesini naek apa"
"naek becak!"
"nah pulangnya naek becak lagi lah mak"
"begitu ya! Mamak jauh-jauh naek becak kesini karna disuruh bapak kau beli martabak. Naek becak karna motor kau bawa kelayapan. Harusnya kau yang beliin ini martabak, bukan mamak. Sekarang kau masih nyuruh mamak naek becak lagi? Dasar bodat kau!" oceh mamak Bonar
"udah Nar pulang aja, saya nanti naek becak aja. Cepetan, daripada mamak kamu berubah jadi seiya empat. Kalo diliat Fitri ama cowoknya gimana? Bisa malu kamu" ucapku
"iya ya, bener juga. Yaudah ayo mak pulang" ucap Bonar sambil berjalan kearah motornya
"kau juga pulang! Buang itu rokok!" bentak mamak Bonar kepadaku, membuatku langsung membuang rokok dan mengangguk-ngangguk seperti boneka di dashboard mobil.
Sepeninggal Bonar dan mamaknya, aku lalu berjalan seorang diri. Berjalan dimalam hari tanpa tau arah dan tujuan. Aku hanya berjalan mengikuti kemana langkah kakiku membawa. Sambil kembali memikirkan beberapa hal yang mengganggu pikiranku. Memikirkan Mala, Memikirkan Jenni, Bulek Nita, Ibu, Bapak, Nokia 8250 ku yang tampan, warung makan ibu dan tidak ketinggalan juga tukang jamu gendong.
Yang penting sekarang adalah besok aku harus pulang. Selain melihat kondisi bapak, aku juga harus membantu ibu mencari jalan keluar untuk warungnya. Mengenai kuliah ku? Aku tidak memikirkannya. Mungkin memang bukan jalanku untuk kuliah, pake jas almamater, demo dipinggir jalan, gondrongin rambut, dikelilingi mahasiswi cantik dan seksi. Mungkin aku harus mengubur semua angan itu dalam-dalam. Karena aku percaya, jalan hidup seseorang tidak bisa ditebak dan dapat berubah kapanpun dan dengan cara apapun. Dengan kepercayaan itulah aku tetap optimis akan janjiku, sebuah janji akan masa depan, sebuah janji yang akan tetap kuperjuangkan.
***
Menelpon Jenni? Nanti aja pake telpon koin, itupun kalo inget. Karena aku sudah tau dengan pasti apa yang akan kualami atau dilakukannya padaku nanti. Datang kerumahnya sama saja dengan masuk ke sarang macan, lagipula kondisi wajahku yang sedang berkurang kadar ketampanannya tidak pas untuk di pandang Jenni saat ini.
"haloo.." terdengar suara lembut ibuku diseberang sana. Mendengar suaranya membuatku sejenak terpaku. Selain karena rindu suaranya, aku seketika merasa tidak enak dan tidak tega untuk meminta uang SPP
"Assalamualaikum.." ibu mengucap salam
"waalaikum salam.." aku menjawab salam dengan suara sedikit bergetar
"iya, siapa ini" tanya ibu
"Gilang bu.."
"Gilang siapa ya" tanyanya lagi
"Gilang bu, anak ibu yang paling tampan"
"yang mana ya. Saya gak punya anak namanya.. Siapa tadi? Galang apa Gilang?" ucap ibuku.
"ibu...Gilang bu.." aku merengek
"lho kamu itu cari siapa?" tanya ibuku lagi yang membuatku ragu dan melirik ke layar dalam wartel, memeriksa no telpon yang kutuju siapa tahu aku salah sambung. Padahal aku yakin itu suara ibuku, dan setelah kuperiksa memang benar aku tidak salah menekan nomor.
"iih.. Ibu ini lho, mahal ini bayar wartelnya. Malah becanda aja lho" ucapku cemas jika benar ternyata ibuku telah melupakanku.
"makanya kemana aja kamu. Gak pernah telpon, lama gak pulang. Ibu kan jadi lupa kalo punya anak kamu"
"iya maaf bu. Ibu apa kabar? Bapak Gimana?" tanyaku
"ah.. Ibu lagi bingung ini gara-gara kelakuan Bapakmu itu" keluh ibuku
"bapak kenapa bu?"
"tadi siang naek motor, malah nabrak tukang somay"
"hah? Trus Bapak gimana bu? Gak papa? Bapak dimana sekarang" tanyaku khawatir.
"tuh molor dari tadi, habis makan langsung molor. Apa kamu gak kedengeran dari situ suara ngoroknya yang nyaring?"
"hehe.. Berarti Bapak gak papa ya bu"
"bapakmu ya gak papa. Tapi tukang somaynya lecet-lecet. Minta obatin ke puskes, minta biaya pijet, minta dandanin gerobaknya. Belum lagi terpaksa beli somaynya segerobak. Ahh pusing ibu, mau dikemanain itu somay segerobak" jelas ibuku yang membuatku ikut merasakan kesusahannya. Dan otomatis membuatku tidak tega untuk meminta uang SPP karena pasti hanya akan menambah beban pikirannya.
"uang simpenan ibu jadi kepake untuk nutupin semua itu. Untung gak sampe jual cincin" lanjut ibu
"namanya musibah bu. Yang penting bapak gak papa" ucapku menenangkan ibu
"ya memang gak papa. Tapi ngedenger alasan bapakmu, ibu gak percaya. malah bikin jengkel. Katanya nabrak tukang somay itu gara-gara menghindari tukang jamu yang lewat. Padahal kemungkinan itu karena mata bapakmu aja yang jelalatan ngeliatin tukang jamu gendong. makanya sampe bisa nabrak gitu"
"haha.. Ya gak lah bu" aku coba membela bapak. Ah dasar bapak, sampe segitunya ngeliatin tukang jamu gendong. Pasti dia bukan tukang jamu biasa. Dengan pakaian kebaya ketat dan balutan kain yang membuat pantatnya semakin bahenol, ditambah lagi dengan kilauan bulir keringat di dahi dan leher. Ah anak mu ini maklum padamu pak.
"ya sudah kalo begitu bu, besok Gilang pulang kesana" ucapku yang memutuskan untuk tak jadi membahas masalah uang SPP
"lho memangnya sudah libur? Ujiannya kapan?"
"ujiannya minggu depan bu. Ini mulai minggu tenang. Besok sudah gak belajar lagi, paling cuma....Liat ruangan ujian aja" jelasku yang tidak menceritakan bahwa besok ada hari pembagian kartu ujian.
"oh gitu. Besok pagi atau siang darisana?"
"iya bu, berangkatnya ya sebangunnya bu. Agak siang lah, hehe.. Oh iya bu besok masakin pepes tahu ya"
"iya beres. Hati-hati dijalan. Kebetulan kamu besok pulang, ada yang mau ibu ceritain. Sekalian minta pendapat kamu"
"masalah apa bu?"
"Besok aja ya nunggu kamu udah disini"
"aah.. Ibu bikin penasaran aja kan. Apa sih bu? Gak bisa tidur neh" desakku
"panjang ceritanya, gak cukup kalo cerita di telpon"
"garis besarnya aja bu, intinya lah. Biar gak penasaran"
"hmm intinya aja ya. Lebih rincinya nunggu kamu besok"
"iya bu, siap"
"Warung makan yang kita sewa disini, mau dijual sama yang punya. Berikut tanahnya karna mereka lagi perlu uang"
"jadi?"
"Jadi terpaksa kita harus pindah, gak jualan lagi"
"tapi kan sudah kita sewa setahun bu, masa belum setahun udah mau dijual"
"kalo masalah itu sih, nanti dikembalikan uang sewanya sama mereka. Cuma ibu sayang aja, warung kita udah lancar, rame pelanggannya. Pemasukannya juga lumayan, pikir ibu bisa lah buat biaya kuliah kamu nanti"
"jadi gimana bu?"
"kamu tenang aja, jangan kecil hati. Ibu sama Bapak tetep usahain kamu bisa kuliah"
"kalo itu mah gampang bu. Gak kuliah juga gak papa. Maksud Gilang warung makan ibu gimana kedepannya? Sedangkan pemasukan dari warung itu lumayan untuk perekonomian keluarga kita"
"tetep ibu usahain kamu kuliah. Pokoknya kamu tenang aja, gak usah dipikirin. Kita obrolin besok aja ya nunggu kamu pulang"
"jangan terlalu dipikirin bu. Jangan jadiin beban, Gilang gak harus kuliah kok. Pake ijazah SMA aja masih kepake buat cari kerja"
"benerkan kata ibu, gak cukup ngobrol di telpon. Udahlah besok kita lanjut lagi ya kalo kamu udah pulang"
"iya bu, ibu jangan banyak pikiran ya. salam buat bapak. Assalamualaikum"
"iya. waalaikum salam"
Clekk.. aku menutup gagang telpon yang langsung disambut oleh suara printer yang mencetak struk wartel. Hmm 4.750 mahal amat neh wartel, nelpon bentar doang ampe segitu. Mau naek haji kayaknya yang punya. Sekarang aku harus bagaimana ini, mendengar kesusahan ibuku membuatku tidak mungkin untuk meminta uang SPP. Pinjem mamaknya Bonar, gak enak. Pinjem Bulek Nita, Malu. Beli tuyul seken, udah gak sempet.
Crek crek!! Fiiuuhh... Aku menyalakan sebatang rokok dan menghembuskan asapnya tinggi-tinggi. Berharap semua bebanku terbang tinggi bersama asap itu. Aku masih berdiri didepan wartel sambil memandangi kendaraan yang lalu lalang. Saat sedang melamun aku melihat sebuah mobil sedan hitam yang datang dan berhenti disampingku. Pintu bagian kemudi terbuka dan turunlah seorang wanita usia akhir 30an yang sangat mempesona.
Seperti di film-film, aku memandang kearah kakinya yang turun terlebih dahulu. Lalu memandang naik kearah kaki sampai dadanya. Dan terakhir baru memandang kearah wajahnya. Dari penampilannya menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga yang berada. Pakaiannya berhijab tapi sangat modis dan terlihat mahal, kulitnya putih bersih, jari lentiknya dihiasi beberapa cincin emas. Aku melihat wajahnya yang putih berkilau minyak. Hmm orang kaya mah beda, mau mukanya berminyak juga tetep keliatan cakep.
Setelah turun dari mobil dan menutup pintunya, dia lalu memandang kearahku. Dipandang oleh wanita dewasa yang mempesona membuatku otomatis mengeluarkan senyum maut andalanku, senyum pepsodent. Setelah menerima senyum mautku, dia mulai bergerak melangkahkan kakinya. Bukan berjalan kearahku, bukan menghampirku, tapi kearah samping wartel yang ternyata sebuah counter hape. Ah sial, mau beli pulsa ternyata.
***
Bonar tampak sedang duduk santai diteras rumahnya saat aku datang. Sorot dari lampu sepeda motor yang menerpa wajahnya membuatnya langsung melihat kedatanganku.
Ciiittt...!! Suara berdecit sepeda motor Bonar yang ku injak dalam.
"wuih di dandanin ya rem nya!?" seru Bonar melihat motornya berhenti dengan mantap
"yoi coy, sebagai bentuk tanggung jawab dan peduli akan keselamatan sahabat baik saya. Saya dandanin neh motor, di bengkel yang montirnya mantan mekanik max biaggi" jawabku sambil turun dari sepeda motor dan duduk disampingnya.
"max biaggi yang pembalap motor grasstrack?"
"itu mah Mat Bagio!"
"hehe sakit gigi ya? Makanya jangan kebiasaan gigitin es batu" ucap Bonar yang melihat bengkak pada pipiku.
"Dikeroyok" sahutku sambil mengusap rahangku yang agak bengkak
"kan udah di bilang berkali-kali, jangan suka ngintip tetangga mandi. Di massa orang kan kamu" Bonar langsung menuduhku yang tidak-tidak
"enak aja, yang ada malah saya yang di intipin mandi" ucapku yang membuat Bonar melengos
"dikeroyok coy.. sama empat orang begundal" ucapku
"begundal siapa? Gimana ceritanya" tanya Bonar antusias. Aku lalu mulai menceritakan kejadian saat aku menghadapi empat orang pendekar golongan hitam dari daerah Mala tadi. Dari awal hingga akhir, kecuali tentang cerita aku dan Mala yang akrab bercengkrama. Bonar sangat serius mendengarkan dan tampak emosi, dia bahkan memberi usulan untuk mencari mereka lagi dan membalasnya. Tak lupa aku juga menceritakan kepada Bonar mengenai warung makan ibu dan tragedi gerobak somay yang disebabkan oleh tukang jamu gendong.
"jadi gimana?" tanya Bonar saat aku menyelesaikan ceritaku dan menutupnya dengan menyeruput gelas kopi Bonar
"yang mana?" tanyaku balik
"anak-anak daerah Mala. Kita cariin aja mereka, samperin ke tempat nongkrongnya"
"gak usahlah, gak perlu. Malah panjang nanti urusannya. Mana kita mau ujian. Sekarang aja saya was-was kalo seandainya mereka lapor polisi atau keluarganya gak terima. Bisa-bisa nasib saya kayak aer di bak mandi, kena ciduk"
"kayaknya gak lah kalo mereka lapor polisi. Kan mereka yang mulai, mereka yang maen keroyok" ucap Bonar
"tetep aja saya khawatir. Makanya malem ini rencananya saya gak tidur dirumah. Buat jaga jaga aja sih takut dicariin polisi atau keluarga mereka"
"yaudah tidur sini aja. Pasti aman lah"
"kalo disini percuma, sama aja bohong. Kalopun dicariin, tau saya gak ada dirumah, mereka pasti nyari kesini"
"iya ya. Jadi mau minep kemana malem ini?" tanya Bonar
"minep rumah Asep aja, anterin ya nanti" sahutku cepat yang tiba-tiba saja terbayang akan bertemu dengan Teh Lia lagi.
"iya ntar saya anterin. Itu pipi bengkak aja, apa ada gigi yang copot?" ucap Bonar
"ngenyut dikit aja, sama gak bisa lebar-lebar buka mulut" ucapku
"kirain ada yang copot giginya. Kalo copot, gigi atas jangan buang keatas"
"hmm malah iklan"
"hehe mau ngenyut juga, kalo cipokan pasti gak kerasa ya ngenyutnya. Besok gimana sekolah?" tanya Bonar lagi
"hah? jadi besok saya gak sekolah, lagian kan udah gak belajar. Besok siang saya mau pulang aja, kangen orangtua" ucapku. Hmm bener juga sih kata Bonar, buktinya tadi waktu sama Mala gak kerasa tuh sakitnya. Hehe..
"Oh gitu, besok kartu ujian kamu saya ambilin aja ya. Wah tadi sore abis saya coy di omelin mamak saya, karena make uang bayaran. Untung masih dikasih lagi. Eh bayaran SPP kamu gimana? katanya tadi gak ke omong mau minta"
"ini uangnya udah ada, besok tolong bayarin ya. Susuknya ambil aja" ucapku sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya diatas meja. Bonar seperti heran melihatnya.
"jual hape" lanjutku singkat setelah melihat rasa heran diwajah Bonar
"hape siapa?"
"hape saya lah. Tadi waktu mau kesini saya mampir dulu ke wartel, disebelah wartel ada toko hape. Sepintas saya dengar ada tante-tante bawa sedan nyari nokia 8250 seken. Tapi disana kosong. Ngedenger itu, saya jadi kepikiran buat jual hape saya untuk bayar SPP. Sisanya lumayan buat bayar biaya dandan gerobak somay" jelasku
"apa gak sayang coy?" tanya Bonar sambil menghitung uang yang kuletakkan diatas meja
"Sayang sih sayang, tapi mau gimana lagi. Urgent ini urusannya. Lagian tante itu cakep banget, ngomongnya lembut lagi. Untung dia gak pake nawar, kalo nawar bisa luluh saya. Gak kuat nolak"
"doyannya kok ama tante-tante, daun muda dong"
"mendingan tante-tante lah, aman. Kalo ama yang muda, bisa kena marah kak seto lho"
"jangan juga muda banget kali! yaudah besok saya bayarin SPP kamu ya. Kartu ujiannya saya ambilin juga sekalian. Ah kampret, susuknya cuma 4 ribu ini!" gerutu Bonar
"lumayan buat beli bensin, itu tadi saya lupa mampir ke pom ngisi bensin"
"sama aja bohong!"
"sori ya coy.." ucap Bonar pelan kemudian
"sori kenapa?"
"gak bisa bantu kamu. Kamu sampe jual hape gitu"
"ya gak papalah, saya juga sadar dirilah udah banyak ngerepotin kamu. Masa' uang SPP juga masih mau ngerepotin kamu"
"kamu tau gak rumah tante itu. Kita cari aja, kita tebus hape kamu. Nanti saya ngomong mamak saya, sapa tau mamak saya ada uang. Kamu pake aja dulu. Atau kita telpon aja dia, pasti nomor kamu masih dipake sama dia" usul Bonar
"udahlah gak usah Nar, malah gak enak saya sama mamak kamu. Udah gak papa, nyantai aja jangan anggep beban buat kamu"
"tetep aja ada ganjelan, karna saya gak bisa bantu kamu"
"namanya hidup coy, pasti ada lika liku. Momentnya aja yang kurang pas. Datengnya barengan"
"yaudah yang sabar aja, pasti nanti ada jalan keluarnya. Mungkin keluarga kamu lagi dikasih cobaan ama Tuhan. sekarang mending kamu sholat dulu aja. Masih bisa kan sholat malem jam segini. Supaya pikiran kamu tenang, abis itu baru kita kerumah Asep" ucap Bonar
"yaudah, makasih ya. Ayo temenin masuk, mau wudhu saya" ajak aku sambil berdiri
"masuk sendiri lah! Biasanya juga nyelonong aja! Saya nyiapain tempat kamu sholat dulu di kamar ya"
"ada sarung bersih Nar?"
"ada, masih baru malahan, belum pernah dipake"
"peci?"
"ya gak ada"
"kiblat nya kearah mana Nar?"
"mana saya tau lah!"
***
"bener ini rumah Asep?" tanya Bonar sambil mematikan mesin motornya
"ho oh"
"kok gelep? Cuma lampu depan yang idup. Kosong kayaknya"
"Assalamualaikum... Sep.. Asep... Maen yuukk.." aku berteriak memanggil.
"jaman udah modern oy, gak perlu teriak-teriak kayak di hutan. Pake hape dong, oiya lupa gak punya hape ya?" ucap Bonar meledek ku lalu mengeluarkan hapenya
"yaudah sms aja" usulku
"telpon aja, pulsa saya banyak. Abis ngisi tadi, lumayan sisaan bayaran SPP saya buat beli voucher"
"tetep ngambil ujung, emak sendiri diakalin" gumamku
"cerewet. Yang penting kalo ditanya mamak saya nanti kamu jangan bilang berapa bayaran sebenernya" sahut Bonar
"males amat, kamu yang nipu kok saya yang harus berbohong"
"halo Sep, Abdi Bonar neh... Kunaon naon sep" Bonar berbicara dengan Asep di telpon
"bade kamana' kok rumah kosong. Ente' aya' orang" Bonar masih melanjutkan dengan bahasa sunda hancurnya
"minep apa minep bahasa sundanya?" bisik Bonar
"bermalam" jawabku
"rencanana kita mau bermalam dirumah kamu sep.... Ho oh ente' naon-naon sih, pengen aja.."
"urang sama Gilang, ente' acan Sep. Ho oh Sep hatur nuhun... Ngapunten ngaririweh nyak Sep" lanjut Bonar lalu mematikan telponnya.
"yuk cabut" ajak Bonar sambil menyalakan motornya
"kemana? Asepnya dimana?" tanyaku
"Asep gak tau kemana"
"lah tadi ngobrol di telpon ngomongin apa?"
"Asep cepet bener sih ngomong sundanya, saya jadi gak ngerti. Ada teteh tetehnya gitu. Tau teteh apa tetek tadi, pokoknya gitulah"
"makanya bahasa indonesia aja tadi, mau sok bahasa sunda segala. Ngerti juga gak! Berarti ngobrol panjang lebar tadi itu gak nyambung?" gerutuku
"intinya Asep gak ada, udah itu aja. Yang laen mah ya gak perlu. Udah cepet naek! Tinggal neh!" ancam Bonar
"ah bleguk sia' Nar" ucapku sambil naik ke boncengan
"kanjut!" sahut Bonar.
"cari makan dulu Nar, laper" ucapku pada Bonar dari belakang boncengan
"oke, mau makan apa? Mie tek tek deket pom bensin ya"
"yang kerenan dikit Nar, sate kambing ama tongseng aja. Mumpung banyak duit neh" sahutku
"oke, sate kabita aja ya. Mantep itu" usul Bonar
"berangkatin" sahutku
Kira-kira perjalanan sepeminuman teh, akhirnya kami sampai disebuah warung sate kambing kabita. Sebuah warung sate dekat taman yang terkenal enak dan selalu ramai pengunjung. Seperti malam ini, kami melihat beberapa pengunjung yang sudah hampir memenuhi semua meja.
"Mal, kambing sepuluh, sama sop buntut ya" ucap Bonar sambil menepuk pundak si Jamal yang sedang sibuk mengipas sate. Sok akrab biar dikasih banyak sop buntutnya.
"kambing lima, ayam lima. Sama tongseng satu Mal" ucapku sambil menepuk pantatnya. Lebih sok akrab biar tongsengnya enggak banyakan kol daripada dagingnya.
"jodoh emang gak kemana..." bisik Bonar dengan senyum mesum saat aku duduk disampingnya. Aku lalu melihat kedepan kearah pandangan matanya. Tampak dimeja seberang depan, duduk seorang cewek yang tempo hari dikirimi surat cinta oleh Bonar, Fitri.
"yoi coy, jodoh emang gak kemana. Gak jauh-jauh duduknya hahaha" ucapku saat mengetahui ternyata Fitri duduk berdua dengan seorang cowok yang sebaya dengannya. Dari gelagat dan gerak geriknya, sepertinya mereka berpacaran.
"kampret! Pantesan surat saya gak dibales! Ah mending makan mie tek tek aja tadi deket pom" gerutu nya
"haha sabar coy sabar.. Cinta tidak harus memiliki. Melihat si dia bahagia dengan yang lain adalah salah satu bentuk bukti cinta kamu kepadanya hahaha" aku meledek Bonar yang sebal melihat kemesraan antara Fitri dan pacarnya. Sepertinya Fitri belum menyadari keberadaan kami.
"kok malah mau sama cowok kayak gitu. Apa coba kurangnya saya dibanding cowok itu"
"banyak! Haha"
"woy Mal! Lama amat sih ngipasnya? Bisa gak!? Lelet bener!" Bonar berteriak melampiaskan kekesalannya kepada Jamal. Membuatnya menjadi pusat perhatian seisi warung, termasuk Fitri dan pacarnya. Bonar lalu menghampiri Jamal dan memeriksa pekerjaannya.
"nah ini balik Mal, gosong nanti. Yang itu udah mateng tuh! Cepet angkat! Awas jadi areng!“ Bonar mengomentari Jamal
"udah coy duduk sini aja, sabar. Sori ya Mal, Bonar ini kalo laper suka gampang kesurupan" sahutku sambil tersenyum pada Fitri yang melihatku. Cowoknya? Melihatku tak senang. Mungkin dikiranya aku tebar pesona dengan pacarnya. Bodo' amat.
"korek korek Mal, ada korek gak" tanya Bonar sambil menyelipkan sebatang rokok dibibirnya.
"ada. Waduh dimana ya" ucap Jamal sambil celingukan mencari koreknya
"ah kelamaan, ini aja neh" ucap Bonar menunjuk bara arang didepannya. Bonar lalu menyalakan rokoknya dengan bara arang yang dijepit dengan gunting dan disodorkan oleh Jamal. Mungkin biar serem didepan cowoknya Fitri.
"jangan lama-lama Mal, apa perlu saya pinjemin kipas sakti istrinya Gu Mo Ong siluman kerbau!" ucap Bonar sambil kembali duduk disampingku.
Sambil menunggu pesanan kami datang, aku dan Bonar beberapa kali mencuri pandang kearah Fitri dan pacarnya. Tampak Fitri yang kikuk dan serba salah kami perhatikan, sementara pacarnya masih tetap berusaha romantis dengan memegang tangan dan sesekali membelai rambut Fitri. Seseolah memamerkannya kepada kami, Sesuatu yang membuat Fitri risih dan emosi Bonar.
"selamat malam bapak ibu mas mas dan mbak mbak, mohon maaf jika kehadiran" ucapan salam pembuka dari seorang pengamen yang baru saja masuk. Pengamen tersebut adalah salah satu rekan kami mengamen. Nama aslinya aku tidak tau, tapi dia biasa dipanggil Ableh. Ucapan salam pembuka itu tidak selesai karena langsung di potong Bonar.
"Bleh Bleh, request lagu gua Bleh" ucap Bonar
"lagu apa coy" tanya si Ableh
"ingin kubunuh pacarmu!" ucap Bonar mantab
"cemburu Bleh, cemburu.. DEWA 19" sahutku
"langsung reff aja Bleh" ucap Bonar ketika Ableh mulai memetikkan intro dari gitarnya. Dengan cekatan jari jemari Ableh mulai memetik gitar, Ableh membawakan lagu itu dengan penuh penghayatan. Tapi penghayatan Ableh masih kalah jauh dengan Bonar yang ikut menyanyi dengan suara sembernya. Bahkan sampai menepuk-nepuk dada dan memejamkan mata saking menghayatinya. Sementara aku hanya cengengesan melihat tingkahnya dan sesekali melihat kearah Fitri dan pacarnya. Fitri tampak makin kikuk, sementara pacarnya menampakkan raut wajah tak suka. Mungkin menyadari bahwa lagu itu di request bonar untuk Fitri.
Selesai lagu tersebut, Cak Eman si pemilik warung membisiki sesuatu ke Ableh sambil memberikan selembar uang lima ribuan. Ableh lalu pergi meninggalkan warung tersebut setelah menyapa kami dengan gerakan alisnya. Sementara itu Cak Eman langsung menghampiriku dan berbisik,
"minta tolong ya, gak enak sama pengunjung laen. Takut keganggu. Nanti gak mau dateng lagi kesini" ucap Cak Eman
"iya Cak, maaf ya Cak" jawabku tak enak. Memang benar ucapan Cak Eman, semua tingkah laku kami mungkin saja mengganggu pengunjung lain, sehingga membuat mereka kapok makan disini lagi.
"apaan?" tanya Bonar
"dikasih diskon 50% sama Cak Eman, tapi diem-diem aja jangan tau yang lain" ucapku berbohong
"oh, oke sip"
"si Fitri kalo pake baju sekolah keliatan cakep. Tapi kalo pake baju biasa gitu, biasa aja ya. Gak menarik" ucapku
"enggak ah, sama aja. Tetep cakep" sahut Bonar
"Fitri mah kutilang darat. Kurus tinggi langsing dada rata. Mending Santi, bahenol. Apalagi kalo pake baju biasa. Beh.. Gini bodinya coy, gitar spanyol" ucapku sambil membentuk angka delapan dengan tanganku, berusaha mengalihkan perhatian Bonar dari Fitri dan melupakan emosinya.
"masa sih? Liat dimana?" tanya Bonar mulai antusias
"waktu kerumah Mala. Sore-sore dia nyiramin kembang, pake tengtop warna ijo. Manteb coy, sampe luber-luber" lanjutku
"celananya?" tanya Bonar makin antusias
"gak pake celana!"
"masa iya?"
"pake rok, ketat. Apalagi rambutnya basah abis keramas. Hmm.. Bikin pengen ikutan keramas juga" ucapku. Mendengar cerita hiperbolaku, Bonar tampak seperti sedang berpikir keras. Entah berpikir apa, mungkin berpikir jorok. Aku kemudian melanjutkan doktrin ku kepada Bonar, dengan tujuan dia mau melupakan Fitri dan melupakan emosinya.
Karena terlalu serius obrolan kami, sampai kami tidak menyadari jika Fitri dan pacarnya sudah tidak ada disana. Bonar tampak sedikit kecewa mengetahui bahwa mereka sudah tidak ada disana. Tapi rasa kecewanya langsung hilang begitu melihat kepulan asap dari sop buntut yang dibawakan Jamal.
Selesai makan dan membayar, yang ternyata beneran diskon 50%. Aku dan Bonar keluar dari warung sambil menghisap rokok. Baru saja selangkah keluar warung, kami berdua terkejut beradu pandang dengan seorang wanita yang kebetulan lewat. Saking terkejutnya membuat Bonar ternganga dan rokoknya terjatuh.
"bagus! Begini ya kerjaan kalian! Enak-enak makan disini, merokok sok gagah!" hardiknya
"maak..." hanya kata itu yang keluar dari mulut Bonar
"sudah bisa cari uang kalian, sok sok merokok begitu! Pulang!" ucapnya sambil menghampiri kami. Aku langsung berdiri kebelakang Bonar, berlindung dari amukan mamaknya.
"malu ah mak, diliatin orang. Jangan marah disini" bisik Bonar
"masih punya malu kau rupanya. Makanya ayo pulang, daripada mamak ngamuk disini. Kau juga pulang Gilang! Sudah malam ini" ucapnya. Aku langsung mengangguk cepat.
"Bonar anter Gilang dulu ya mak, kasian dia pulangnya gimana nanti. Mamak pulang duluan aja, nanti Bonar langsung pulanglah mak" Bonar coba bernegosiasi
"tega kau liat mamak pulang jalan kaki. Malah lebih penting kawan kau yang suka mewek karena cewek ini"
"bukan gitu mak, tadi mamak kesini naek apa"
"naek becak!"
"nah pulangnya naek becak lagi lah mak"
"begitu ya! Mamak jauh-jauh naek becak kesini karna disuruh bapak kau beli martabak. Naek becak karna motor kau bawa kelayapan. Harusnya kau yang beliin ini martabak, bukan mamak. Sekarang kau masih nyuruh mamak naek becak lagi? Dasar bodat kau!" oceh mamak Bonar
"udah Nar pulang aja, saya nanti naek becak aja. Cepetan, daripada mamak kamu berubah jadi seiya empat. Kalo diliat Fitri ama cowoknya gimana? Bisa malu kamu" ucapku
"iya ya, bener juga. Yaudah ayo mak pulang" ucap Bonar sambil berjalan kearah motornya
"kau juga pulang! Buang itu rokok!" bentak mamak Bonar kepadaku, membuatku langsung membuang rokok dan mengangguk-ngangguk seperti boneka di dashboard mobil.
Sepeninggal Bonar dan mamaknya, aku lalu berjalan seorang diri. Berjalan dimalam hari tanpa tau arah dan tujuan. Aku hanya berjalan mengikuti kemana langkah kakiku membawa. Sambil kembali memikirkan beberapa hal yang mengganggu pikiranku. Memikirkan Mala, Memikirkan Jenni, Bulek Nita, Ibu, Bapak, Nokia 8250 ku yang tampan, warung makan ibu dan tidak ketinggalan juga tukang jamu gendong.
Yang penting sekarang adalah besok aku harus pulang. Selain melihat kondisi bapak, aku juga harus membantu ibu mencari jalan keluar untuk warungnya. Mengenai kuliah ku? Aku tidak memikirkannya. Mungkin memang bukan jalanku untuk kuliah, pake jas almamater, demo dipinggir jalan, gondrongin rambut, dikelilingi mahasiswi cantik dan seksi. Mungkin aku harus mengubur semua angan itu dalam-dalam. Karena aku percaya, jalan hidup seseorang tidak bisa ditebak dan dapat berubah kapanpun dan dengan cara apapun. Dengan kepercayaan itulah aku tetap optimis akan janjiku, sebuah janji akan masa depan, sebuah janji yang akan tetap kuperjuangkan.
***