Chapter 27. Perjanjian Hati
Cuplikan chapter sebelumnya...
Sementara itu seorang pemuda mulai menggeliat tubuhnya, kesadarannya mulai pulih dan matanya mulai terbuka.
Saat ini ia bingung, ketika mendapati langit-langit kamar ini berbeda dengan langit-langit di kamar rumahnya.
Namun rasa bingungnya berubah menjadi kaget ketika pandangan matanya kearah sesosok gadis cantik bertubuh seksi berambut coklat berdiri membelakanginya sambil menerima telepon dalam keadaan telanjang bulat.
Dan yang membuatnya shock adalah ketika ia baru menyadari keadaannya pun sama seperti gadis itu. Bugil tak berpakaian sama sekali.
Wajah pemuda itu seketika berubah pucat, menyadari bahwa ia melakukan kesalahan yang sangat fatal. Kesalahan yang bisa membuat rumah tangganya yang baru seumur jagung diambang kehancuran.
Ia seperti terpukul mendapati kenyataan seperti ini. Apalagi ketika ia mengetahui dengan jelas siapa sosok wanita telanjang yang kini mulai mendekatinya sambil memberikan senyumannya.
"Apa kabar mas Adit? Semoga saja kita bisa menjadi orang tua, karena aku sedang dalam masa suburku mas."
"Apa.....?"
.
.
.
Keesokan harinya....
Pov Adit
"Ya, Allah! Apa yang sudah ku lakukan semalam? Bodoh, kamu bodoh Dit. Kenapa sampai kamu terbuai dan masuk kembali ke dalam lubang yang sama." Gumam ku sambil memaki diri sendiri.
"Mas Adit," seru Tasya manja.
Terlihat wajahnya sungguh bahagia, wajah yang dulu ceria dan selalu membuatku ikut bahagia kini hadir disampingku.
Tasya sudah berada di atas ranjang, ia menyenderkan tubuhnya ke bahuku.
"Apa yang kita lakukan semalam sungguh indah mas?" Katanya sambil mengelus dada bidangku yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
"Aku sangat mencintaimu, Dit. Walaupun semalam kamu menyetubuhiku dan menganggap diriku Cinta istrimu."
Aku hanya diam tak menjawab.
Semalam yang kuingat, aku seperti bermimpi dan menggauli Cinta istriku sendiri. Tetapi ternyata yang kugauli bukan Cinta melainkan Tasya.
"Dit, tolong beri aku kesempatan kedua. Aku ingin membuktikan kesungguhanku, aku mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku. Apapun syarat yang kamu minta akan aku penuhi dengan sumpah dan janji yang telah kuucapkan semalam. Aku mohon jadikanlah aku bagian dari hidupmu, Dit. Menjadi istri dan ibu dari anakmu," Tasya menciumi buku tanganku seperti layaknya seorang istri yang ingin berbakti pada suaminya.
Ia lalu melanjutkan perkataannya.
"Sejak kamu tinggalkan dan menjauhiku, Dit. Sejak itu pula hidupku rapuh dan kehilangan arah. Hanya kenangan indah sewaktu kita di Paris yang bisa memberikanku harapan. Aku tidak mau lagi terpisahkan darimu, Dit."
Hiksss... Hiksss... Hiksss....
Tasya menangis, ia lalu membenamkan wajahnya di dada bidangku sambil melingkarkan tangannya di pinggangku.
Aku yang melihatnya sedih timbul rasa iba di hatiku, selama ini aku hanya bisa membuatnya sedih dan kecewa. Kemudian ku elus rambutnya supaya ia kembali tenang.
Jujur saat ini aku dalam posisi dilematis. Dihadapkan dengan permasalahan hati yang memerlukan keputusan yang bijak.
Aku diam dan hanya merenung, memikirkan masalah ini. Terlintas di benakku bayangan Cinta yang kecewa dan sedih bercampur marah. Betapa ia pasti marah, kecewa sekaligus sedih bila ia mengetahui suaminya terpedaya oleh wanita lain.
Tubuhku bergetar hebat, karena bayangan Cinta tersebut membuatku sangat takut. Takut kehilangan Cinta. Takut bila istriku akan pergi menjauh, pergi meninggalkanku.
"Sya. Kenapa kamu nekat melakukan ini? Tidakkah kamu berpikir bahwa apa yang kita lakukan ini menyakiti Cinta, istriku. Kenapa Sya?" Tanya ku meminta penjelasannya.
Tubuhku bergetar, wajahnya memandang ke arahku, dengan air mata yang membasahi pipinya, tatapannya sayu.
"Maafin aku, Dit. Aku hanya bisa menyusahkan mu, selalu mengganggu hidupmu, serta membuat hidupmu kacau," ucapnya lirih menyesal.
Aku menyeka air matanya, kemudian kucium keningnya. Entah kenapa setiap aku melihatnya sedih hatiku tidak tega? Ku benamkan kepalanya ke dadaku.
"Tapi tidak seperti ini caranya, Sya. Aku selama ini belum bisa menerima perbuatanmu itu bukan berarti aku tidak peduli sama sekali denganmu," kata ku geram dengan tindakan nya saat ini.
Tasya hanya diam, malah terdengar suara isak tangisnya sambil ia terus mempererat pelukan tangannya di pinggangku.
"Sudah Sya. Kamu jangan menangis, lebih baik kita segera berpakaian, aku mau pulang dulu ke rumah. Nanti kita bicarakan lagi."
Aku melirik sejenak ke arah jam dinding, dan terkejut saat melihat waktu sudah menunjukkan pukul 9:30 wib. Aku bergegas mau berdiri dan mengenakan kembali pakaianku dan sesegera mungkin keluar dari kamar Tasya.
Tetapi sebelum aku bergerak bangkit, tiba-tiba tangan Tasya menahanku. Ia makin membenamkan wajahnya didadaku, sambil berbisik.
"Please, Dit. Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku lagi. Aku mohon, aku...," rengek Tasya memelas dengan semakin mempererat pelukannya ditubuhku.
Duh gimana ini? Bahaya. Jika papa dan mama sampai kesini melihat keadaan kami yang telanjang tanpa sehelai benang, hancur sudah rumah tanggaku dengan Cinta. Apa yang mesti ku lakukan supaya aku bisa lepas dari masalah ini?
Belum sempat aku bisa menjawab semua pertanyaan yang ada di dalam benakku tiba-tiba aku melihat handle pintu kamar Tasya berbunyi.
Ceklek.....
Kriiieeet....
Perlahan-lahan pintu itu pun mulai terkuak.
Dan aku pun segera menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang kami berdua.
Lalu terlihatlah orang yang berdiri didepan pintu sambil menatap tajam dengan wajah merah menahan marah.
"Adit.....," seru suara wanita berteriak memanggil namaku.
"Ma...Mama," seruku memanggil wanita tersebut dengan suara gemetar dan gugup.
"Cepat kalian berdua berpakaian temuin papa dan mama di rumah. Sekarang." Perintah mama tegas lalu segera keluar dari kamar dengan ekspresi wajah marah.
"I.....Iya, ma," sahut ku. Tubuhku gemetar bagai pencuri yang tertangkap tangan sedang mencuri.
Setelah mamaku berlalu dari kamar.
Kami berdua terlihat panik dan tegang. Aku segera mencari pakaianku. Begitu pun dengan Tasya, ia berdiri, melangkah menuju koper nya. Memilih baju yang pantas ia kenakan untuk menghadap papa dan mama ku.
Dengan suara berat dan meninggi aku berkata padanya.
"Sya. Apalagi yang kamu rencanakan? Apakah ini rencanamu untuk menjebakku? Aku kecewa sama kau Sya."
Refleks tangan ku sudah berada diatas dan siap untuk menampar pipinya, karena emosiku tiba-tiba meluap.
Tasya yang melihatku hendak menamparnya dia hanya diam dan memejamkan matanya, dengan suara lirih ia berkata.
"Tampar Dit. Tampar saja", tantangnya pasrah. "Jika ini bisa membuatmu puas. Aku memang pantas mendapatkan semua itu."
Tanganku yang sudah diatas siap menamparnya tiba-tiba berhenti, hati kecilku yang tidak tega untuk menyakitinya membuat aku kembali menurunkan tanganku.
Dengan perasaan marah dan masih emosi aku pergi meninggalkan Tasya yang masih berdiri gemetar dengan mata terpejam.
Keluar dari kamarnya menuju rumahku dengan penuh amarah sambil menggerutu memaki-maki diriku sendiri.
"Bodoh... Bodoh.... Kamu bodoh Dit, kamu bodoh tidak bisa menjaga kepercayaan Cinta, mengkhianati cinta istrimu."
.
.
.
Suasana di rumah Rahadi Wahyu Gunawan....
Adit, Tasya, Gunawan dan Hanum, kini sudah berada di ruang keluarga. Pembantu mereka tidak diperbolehkan untuk masuk ke ruang tersebut.
Tampak ketegangan diwajah mereka berempat, terutama Adit yang sejak pulang ke rumahnya terlihat emosi dan menyimpan kekesalan di hatinya.
Kemudian Gunawan selaku orangtua Adit memulai pembicaraan mereka.
"Adit, Tasya. Kalian berdua sudah dewasa. Tentunya bisa memutuskan sebaiknya seperti apa hubungan kalian ke depannya. Papa berharap kamu Dit sebagai lelaki mesti bersikap jantan segera nikahi nak Tasya, papa tidak mau punya anak yang lari dari tanggung jawab. Kamu mengerti Dit."
Adit mengangguk pasrah, terlihat ia masih menyesali semua yang telah terjadi.
"Bagaimana dengan kamu nak, Tasya? Kamu bersedia menerima Adit, Sya?" Tanya Gunawan pada Tasya.
"Iya om, Tasya menerima Adit sepenuhnya. Bahkan Tasya mau pindah keyakinan jika itu menjadi permintaan Adit," jawab Tasya mantap dan yakin.
"Ok, untuk masalah ini papa rasa sudah jelas dan tidak perlu di perdebatkan. Kalian berdua sudah bersedia untuk menikah.
Tapi...." Gunawan memandang wajah Hanum, istrinya sejenak. Lalu kembali fokus melanjutkan perkataannya.
"Tapi.... Papa juga tidak ingin Adit menceraikan Cinta. Biar bagaimanapun dalam kandungan Cinta itu adalah anaknya. Bagaimana Sya? Apakah kamu mau menerima Adit yang sudah beristrikan Cinta?"
Adit yang mendengar perkataan papanya barusan sedikit lega. Ternyata papanya juga memikirkan nasib pernikahannya dengan Cinta.
Emosi dan kemarahannya mulai mereda, terpancar raut ketenangan yang perlahan mulai meliputi ekspresi Adit.
"Om Gunawan. Tasya bersyukur sekali om dan tante bersedia menerima Tasya sebagai menantu kalian. Jujur ini adalah impian Tasya sejak lama, Tasya mencintai Adit dan saatnya Tasya akan membuktikan kesungguhan perkataan dan hatiku. Dijadikan istri kedua pun, tidak masalah buat Tasya. Asalkan Adit berjanji akan sama membagi hati dan cintanya pada kami berdua. Harus adil om." Jawab Tasya menjelaskan keinginannya.
Gunawan memberikan senyum pada Tasya. Lalu ia melihat ke arah Adit, dan selanjutnya ia melanjutkan perkataannya.
"Kamu dengar sendiri Dit. Apa jawaban Tasya? Bagaimana jawaban kamu nak dengan permintaan Tasya dengan kata ADIL? Apakah kamu sanggup membagi hati dan cintamu sama adilnya?"
Adit menggelengkan kepalanya, kemudian ia mulai bersuara.
"Jujur pa. Untuk saat ini hati Adit masih sepenuhnya milik Cinta. Tetapi Adit akan berusaha membuka hati demi Tasya. Adit tidak akan mengecewakan papa dan mama juga tidak akan memalukan keluarga Widjaja. Biarlah Adit akan menjalani kehidupan rumah tangga ini dengan apa adanya. Adit hanya berharap Tasya mau mengikuti didikan dan bimbingan Adit."
Suasana menjadi hening setelah Adit menyampaikan apa jawaban dan keinginannya. Masing-masing diam berpikir dengan pikiran mereka masing-masing.
Namun beberapa menit kemudian Hanum melihat kearah Gunawan suaminya, dan suaminya menganggukan kepala seakan memberi persetujuannya pada Hanum untuk bersuara.
"Mama mohon maaf padamu, Dit. Mungkin kamu setelah mengetahui ini kamu bakalan marah sama mama. Semua itu telah mama rencanakan bersama Tasya. Jujur mama kecewa sama kamu, yang lari begitu saja setelah mendapatkan kesucian Tasya. Apapun alasan kamu mama tidak akan bisa terima, karena mama juga perempuan sama seperti Tasya. Mama minta kamu sayangi dan cintai Tasya sama besarnya cintamu pada istrimu. Didiklah mereka menjadi istri-istri mu yang nantinya akan menjadi kebanggaanmu nak. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, semua tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Mulailah dengan hati yang baru, belajarlah untuk mencintai kekurangannya karena dibalik itu semua akan ada keindahan nantinya untuk kalian. Mama berpesan jadilah suami yang bijaksana, didiklah mereka dengan cinta dan ketulusan."
"Bagaimana, Dit? Apa kamu marah dengan penjelasan mamamu?." Tanya Gunawan menyambung perkataan Hanum istrinya.
Adit langsung menjawab dengan tegas.
"Awalnya Adit sudah menduga pa, semua ini sudah direncanakan Tasya. Ternyata mama juga ikut mengatur semua ini. Marah, kecewa san benci itu pasti wajar dalam posisi Adit, tetapi Adit sadar pa, ma. Adit memang harus menikahi Tasya demi menyelamatkan harga diri keluarga kita dan martabat keluarga opa Widjaja. Adit akan memperlakukan Tasya sama dengan Cinta. Tapi yang jadi permasalahan apakah keluarga opa Widjaja mau Tasya dijadikan istri kedua Adit, dan membiarkan putri dan cucunya berpindah keyakinan?"
Mendengar perkataan Adit, wajah Tasya bersemu merah, kesedihannya berubah menjadi kebahagiaan. Ia lalu menjawab tanpa penuh keraguan.
"Keluargaku tidak akan melarangku, mas. Mereka akan mendukung semua yang kulakukan demi kebahagiaanku. Mereka semua sudah tau kalau aku sangat menyayangimu mas, kamu tidak perlu ragu dengan keluargaku mereka semua pasti menerimamu dengan tangan terbuka mas."
Gunawan tersenyum sumringah, Hanum mendekati Tasya dan memeluknya. Sementara Adit berusaha ikut tersenyum walau dihatinya masih ada kegelisahan yang melandanya.
"Sekarang masalah ini sudah selesai. Papa harap kamu segera menikahi nak Tasya secepatnya. Urusan Cinta istrimu nanti kalian berdua bicarakan dengan baik-baik seperti apa ke depannya. Yang jelas papa harap kamu lebih dewasa lagi Dit. Didik dan bimbinglah kedua istrimu dengan ketulusan karena itu akan membuat kalian bahagia."
"Boleh mama menambahi pa," potong Hanum.
Gunawan menganggukkan kepala.
"Kamu yakin Sya, dengan keputusan untuk berpindah keyakinan. Mama tidak mau kamu berpindah keyakinan hanya karena terpaksa."
"Yakin ma. Tasya tidak ragu dengan keputusan Tasya ini. Tasya ingin rumah tangga kami nantinya benar-benar sejalan tanpa adalagi perbedaan diantara kami. Tasya berharap dan meminta dididik mama, papa dan mas Adit untuk menjadi istri yang baik, sesuai tuntunan dari kalian." Jawab Tasya penuh keyakinan.
Hanum mencium kening Tasya, lalu mereka berpelukan seperti layaknya ibu dan anak.
Mereka berempat langsung berembuk membicarakan rencana pernikahan Adit dan Tasya yang akan diadakan tiga hari lagi.
Gunawan segera menelpon papanya Tasya, memberitahukan masalah ini.
Hanum meninggalkan Adit dan Tasya menuju dapur.
Sementara Adit dan Tasya masih berada di ruang keluarga itu sambil menunggu Gunawan yang sedang serius berbicara melalui telepon genggamnya.
Dalam diamnya, keduanya hanya saling memandang satu sama lain. Adit sedikit demi sedikit mulai membuka hatinya untuk mencintai Tasya. Sementara Tasya terlihat sangat bahagia karena harapan dan impiannya busa terwujud.
Mereka berdua saling tersenyum satu sama lain.
"Mas", seru Tasya memanggil Adit dengan sapaan yang baru.
"Iya." Jawab Adit singkat.
"Ih... Bikin bete, apa kek, jawab sayang napa?" Rengek Tasya manja lalu ia memeluk Adit.
"Hahahaha." Tawa Adit meledak.
Tasya memanyunkan bibirnya.
"Kamu itu cantik, Sya. Imut dan ngegemesin kalau seperti ini," goda Adit sambil mengelus rambut Tasya.
Tasya mencubit gemas perut sixpack pemuda itu.
"Awwww. Sakit, Sya." Erang Adit meringis.
"Rasain, itu cubitan sayang buat kamu mas, karena godain aku."
"Hahaha...." Tawa mereka berdua membahana di ruang keluarga.
"Nah gitu, kalian mesti akur. Jangan seperti Tom dan Jerry," celetuk Hanum ketika kembali dari dapur diiringi seorang ART membawa makanan ringan untuk mereka santap.
Adit dan Tasya berhenti tertawa dan melepas pelukan mereka. Wajah keduanya tersenyum kompak ke arah Hanum.
"Taruh di sini aja, mbak," perintah Hanum tegas pada ART nya.
"Oiya mbak. Nanti siapin juga sekalian untuk makan siang di meja makan, ya."
"Iya. Nya," sahut ART tersebut lalu ia berlalu kembali ke dapur mengerjakan perintah Hanum.
Setelah ART itu kembali, Hanum kembali bersuara.
"Tapi ingat ya. Kalian belum sah menjadi suami istri, jangan sampai terulang kembali kejadian seperti yang mama lihat tadi. Adit jaga sikapmu sebentar lagi kalian menikah jangan sampai ada gunjingan tetangga kiri kanan, kalian mengerti."
"Iya ma. Adit ngerti," jawab Adit tegas.
"Yaudah, mama mau ke dapur dulu, mau bantuin
.
.
.
Pov Jelita
Namaku Jelita Sukmawati Pramudya, aku putri kedua dari pasangan suami istri Pramudya Adi Pratama dan Sekar Rahayu Sukmawati. Kakak sulung ku mas prima dan adik perempuan ku bernama Cinta Rahayu Pramudya.
Pagi itu atau kemaren pagi tepatnya. Aku sedang berada di kantor suamiku, aku selain istrinya juga membantu bisnis kami. Suamiku pemilik PT. XYZ (Persero) yang bergerak di bidang properti dan perumahan, perusahaan yang merupakan diberikan mertuaku ini merupakan anak perusahaan mertuaku dan sekarang resmi diserahkan sepenuhnya kepada mas Har, sapaanku padanya.
Aku menempati ruangan Manajer Pemasaran, karena itulah kemampuanku yang aku miliki. Aku lulusan dari universitas Trisakti fakultas ekonomi jurusan manajemen kosentrasi ilmu ku di bidang pemasaran.
Tiba-tiba hpku berbunyi.
Tut....Tut.... Tut.....
"Ya hallo Dit!", ucapku segera menjawab panggilan telepon dari ponselku.
"Hallo mbak Jelita kan. Ini Cinta mbak", sahut suara dari ujung telepon sana.
"Benaran itu kamu Cin. Duh adek mbak, mbak kangen sama kamu dek. Dimana kalian tinggal sekarang? Adit suamimu kemana kok ponselnya ada sama kamu? Gimana kabar kamu dan kandunganmu, Dek?", ucapku mulai mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.
"Aduh mbak, satu-satu mbak nanyanya", sahut Cinta menanggapi beberapa pertanyaanku.
"Iya..Iya...Bagini saja dek, kamu WA aja alamat kamu sekarang mbak mau main ke rumah kalian. Mumpung mbak nggak sedang sibuk nih", kataku sambil memintanya mengirimkan alamat rumah mereka melalui aplikasi WA.
Beberapa menit kemudian...
Drrt... Drrrt...
Hp ku bergetar, ternyata Cinta sudah mengirimkan alamatnya melalui WA.
"Jl. Garuda No.100, kelurahan Gajahmada kecamatan Hayam Wuruk, Depok."
Setelah aku membaca alamat rumah mereka aku segera membalas WAnya.
"Tunggu ya. Mbak kesana, mau ijin dulu sama mas Har."
Dibalas Cinta dalam beberapa menit kemudian dengan cukup singkat.
"Iya mbak. ttdj, adek tunggu mbak di rumah."
Aku berpamitan dengan suamiku dan segera menemui Cinta, sebelumnya aku mampir dulu ke sebuah toko kue untuk sekedar buah tangan, tidak enak rasanya bertamu tanpa membawa sesuatu, walaupun bertamu di rumah sudara sekalipun.
"Ini kayaknya rumah mereka," gumamku setelah melihat alamat WA yang ia kirimkan.
Lalu aku turun dari mobilku dan melangkah menuju rumah mungil tersebut. Segera memencet bell rumah itu.
Ting...Tong... (suara bell berbunyi)
"Cinta....", seruku kegirangan ketika pintu rumah itu terbuka.
"Mbak Jelita", kata Cinta berteriak kegirangan.
Kami berdua langsung berpelukan cipika-cipiki menumpahkan rasa rindu setelah beberapa hari dia kabur tanpa memberikan kabar kepada kami sama sekali.
"Masuk mbak! Maaf rumahnya kecil, hehehe", ucap adikku mempersilahkanku masuk.
Aku langsung masuk ke dalam rumah, dan menyerahkan kantong plastik yang tadi ku beli dari toko kue.
Cinta mengajakku sebentar melihat-lihat keadaan rumah ini, sampai diajaknya ke belakang rumah yang terdapat taman kecil serta beberapa jenis tanaman hias yang dibeli oleh mereka.
Setelah puas berkeliling rumah kami kembali ke ruang tamu, aku kemudian menilai beberapa ruangan di rumah kontrakan mereka, dengan wajah senang aku pun berkomentar mengenai rumah ini.
"Wah pinter kalian milih rumah ini dek, mbak aja langsung kerasan dan nyaman. Alam dan lingkungan sekitarnya masih terlihat asri dan udaranya nya segar jauh dari polusi dan kebisingan.
"Mas Adit, yang milih rumah ini, Mbak", sahutnya ikut senang atas pujian dariku.
"Suamimu seleranya bagus dalam memilih rumah dan lokasinya, pasti kamu betah dan kerasan ya cin tinggal disini!", timpalku meneruskan perkataannya.
"Iya, betah mbak. Udaranya segar dan aku juga bisa berkebun di belakang rumah kalo sedang suntuk", kata Cinta menanggapi perkataanku.
"Eh, iya Cin, kamu terlihat semakin cantik, kelihatan sekali kamu bahagia ya sama Adit", kataku mulai bertanya serius.
Cinta mengangguk.
"Syukurlah kalo begitu mbak juga ikutan senang mendengarnya. Kemana suamimu dek, kok ponselnya ada sama kamu?", tanyaku sedikit heran kenapa ponsel Adit ada ditangannya.
"Sedang tugas ke Surabaya, mbak. Mas Adit sengaja memberikan ponsel ini untuk komunikasi kami, kan mas Adit masih punya satu lagi ponselnya", katanya menjawab pertanyaaanku dengan memberitahu kalau mas Adit ke Surabaya sedang bertugas.
Aku menelepon suami dan meminta ijin padanya untuk menginap di rumah kontrakan Cinta, menemaninya malam ini.
Dengan kehadiranku setidaknya Cinta tidak merasakan kesepian, banyak hal yang kami obrolin berdua.
Bahkan pada saat makan siang akulah yang memasak, aku mempraktekkan resep masakan ku kuasai, dan mencontohkan serta mempraktekkanya langsung padanya.
Malam pun datang, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 20:00 wib. Cinta sedang mencuci piring setelah tadi kami baru selesai makan malam. Dia mencuci piring dengan melamun.
Aku melihatnya bengong, langsung menegurnya dengan suara pelan.
"Cin, kamu sedang melamun apa? Apa yang sedang kamu pikirkan dek?".
"Nggak ada mbak, mungkin karena kecapean saja mbak, dah yuk kita ke kamar", katanya menutupi masalah yang sedang ia hadapi.
Lalu Cinta mengajakku ke kamar tidur.
Tak lama setelah bercerita, aku pun tertidur.
"Braaaakkkk... Pranng..." Suara gelas jatuh ke lantai dan menimbulkan bunyi pecahannya.
Aku seketika terkejut mendengar suara bunyi pecahan gelas jatuh yang berasal dari arah dapur, apalagi melihat di sisiku Cinta tidak ada.
Sedikit ada kepanikan dalam diriku aku bangkit dan sedikit berlari menuju kearah asal suara gelas jatuh tadi.
"Cinta...." Seruku, memanggilnya dengan sedikit berteriak.
Dia memelukku dalam keadaan menangis sesegukkan.
"Sudah kau kembali saja ke kamar, biar mbak yang membersihkannya. Tenangkan dirimu dek! Berdoalah!" Aku menasehatinya dengan bijak.
Dia mengangguk lalu berbalik badan kembali ke kamar tidur.
Setelah membereskan pecahan gelas tersebut dan membuangnya di tempat kotak sampah, aku segera menyusulnya ke kamar tidur sambil membawa segelas air putih.
Setelah ada di dalam kamar, aku mendapati Cinta duduk melamun dengan wajah yang terlihat gelisah dan penuh kecemasan.
"Minum dulu dik," kataku sambil menyerahkan segelas air minum yang tadi kubawa padanya.
Cinta menyambut gelas tersebut dan meminumnya.
Setelah beberapa menit kemudian sambil menghela nafas terlihat Cinta mulai tenang. Aku mulai mengajaknya bicara.
"Kalau boleh mbak tau, kamu sedang ada masalah apa dek? Sejak pagi tadi kamu terlihat gelisah dan ada sesuatu yang kamu tutupi. Mbak tidak bermaksud ikut campur rumah tangga kalian, mbak hanya ingin kau tau bahwa mbak ada untukmu dan kamu jangan merasa sendiri kita semua sayang sama kamu dek."
"Mbak. Cinta khawatirin mas Adit mbak. Sampai sekarang ia belum nelepon Cinta, cuma tadi papa telepon bahwa mas Adit baik-baik saja disana. Tapi tadi Cinta mimpi buruk mbak, mas Adit bersama seorang gadis. Gadis itu menarik mas Adit menjauhkan Cinta untuk menarik tangan mas Adit. Cinta takut mbak jika itu jadi kenyataan. Cinta sayang dan cinta sama mas Adit karena dia Cinta bisa kembali bersemangat menatap masa depan dengan penuh kebahagiaan. Mas Adit sosok yang tepat yang bisa membimbing adik menjadi lebih baik."
"Mbak..." Seru Cinta memanggil namaku.
Hikzzz... Hikzzz... Hikzzz
Aku lalu memeluk Cinta, sengaja aku membiarkan ia menangis untuk menumpahkan semua kegelisahannya. Ku elus rambutnya supaya ia nyaman dan tenang.
Beberapa menit kemudian aku lalu memberikan nasehat buatnya.
"Dek, kamu tenangin dirimu. Jangan berprasangka buruk dan menduga-duga. Serahkan kepada Allah dek. Mbak yakin suamimu disana tidak seperti mimpimu itu. Jangan seperti ini ya, kasihan dengan anak dalam kandunganmu."
"Iya mbak. Makasih ya, adik bisa tenang. Adik tidak merasa sendirian menghadapi hidup ini," ucap Cinta semakin mempererat pelukannya kepadaku.
"Sudah kita istirahat sekarang, semoga saja besok suamimu segera meneleponmu dik," kataku mencoba membujuk dan menenangkannya.
Tak lama kemudian, Cinta sudah tertidur, aku berkata dalam hati, "selamat tidur adikku, semoga besok kamu lebih ceria dan bisa tersenyum seperti dahulu."
Aku pun tersenyum dan berusaha memejamkan mataku hingga lambat laun mataku terpejam.
Lanjutannya dibawah.....