Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Who do you think Gilang will end up with?

  • Saras, kan dia First Love nya Gilang

    Votes: 44 10,7%
  • Tara dong.... dia yang bareng Gilang dalam susah dan senang

    Votes: 161 39,0%
  • Gak sama siapa-siapa.... Sedih amat ya?

    Votes: 51 12,3%
  • Dua-duanya, bobonya digiliar tiap hari, kadang-kadang threesome

    Votes: 157 38,0%

  • Total voters
    413
  • Poll closed .
penant10.jpg

PENANTI – PART 2

------------------------------

#GILANG – 2

rumah-10.jpg

Kapan terakhir kali jantungku berdegup sekencang ini? Motorku sudah ada di depan gerbang rumah Saras. Rumah besar yang berhalaman luas itu terlihat hangat di mataku.

“Mas Gilang, apa kabar?” tanya sang satpam. Satpamnya masih hafal mukaku. Tentu hafal, tiap tahun, setiap lebaran, aku selalu silaturahmi ke rumah ini, bertemu dengan orang tua Saras, yang selalu menyambutku dengan baik.

“Baik Pak”
“Seneng banget mukanya”
“Iya dong Pak”

Memang benar. Mukaku rasanya kaku karena tersenyum terus. Sejak sehabis masak burger yang dipesan oleh keluarga Saras, aku sepertinya tersenyum terus. Dengan tak sabar kuparkirkan motorku di halaman rumahnya. Dan setelah melepas helm dan sedikit merapikan diri, aku menenteng pesanan mereka sambil berjalan dengan penuh percaya diri ke dalam rumah Saras.

Sampai di depan pintu, aku menarik nafas panjang. Aku menekan bel, dan tidak bisa menyembunyikan senyumku. Sekarang saatnya aku menunggu pintu dibukakan.

Ini dia. Pintunya terbuka lebar. Dan sosok yang menyambutku adalah sosok yang terlihat familiar. Aku menahan nafas saat melihatnya.

“Gilang?”
“Saras?”
“Ya ampun…..” Saras tersenyum lebar, sambil menutup mulutnya yang rahangnya seperti akan jatuh ke lantai. Senyumnya lebar sekali melihatku. Aku yakin, aku juga terlihat tolol seperti itu. Aku menatap matanya dengan tatapan yang sangat lekat. Aku tak bisa mengalihkan pandanganku ke tempat lain.

Dia masih seperti yang kuingat. Alisnya yang tebal, rahangnya yang mungil tapi tegas, bibirnya yang indah, serta rambutnya yang terlihat sangat lembut, semuanya berdiri di mataku. Kami berdua masih terpaku, terpana saling melihat. Saras memegang daun pintu, seakan-akan seperti ingin jatuh. Rambut ikalnya dibiarkan tergerai sebahu, dan Tuhan, dia tidak berkurang cantiknya. Raut muka dewasanya menambah keindahannya. Dandanannya sangat elegan dan feminin. Iya, ini Saras yang kuingat.

“Kenapa sayang? Pangling ya?” ibunya Saras muncul dan menepuk bahu Saras. Saras tampak kaget dan lalu bangkit dari kekakuannya.
“Enggak, enggak sama sekali Bunda…. Gilang gak pernah berubah”
“Masuk yuk Gilang, sudah ditungguin burgernya” aku mengangguk sambil mengulum senyumku.

Gila, haha. Rasanya jantungku berdegup kencang. Ini benar-benar di luar ekspektasiku. Aku masuk ke dalam rumah, jalan ke dalam, dan membiarkan pembantu keluarga Saras mengambilkan bingkisan burger dari tanganku untuk disiapkan, semuanya dengan menunduk. Aku dan Saras tampak malu-malu. Rasanya benar-benar indah. Kami berdua seperti sedang bertemu lagi untuk pertama kalinya.

“Nah ini dia chef burger ter-enak sedunia” Ayahnya Saras muncul dan menyalamiku.
“Bisa aja Om”
“Bisa dong…. Saras penasaran katanya, mudah-mudahan gak kalah sama burger seisi dunia ya” canda ayahnya.
“Amin Om”

“Kita makan dulu ya, nanti Saras sama Gilang bisa ngobrol berdua, pasti kalian berdua banyak yang harus diobrolin” potong ibunya. Aku dan Saras mengangguk, sambil malu-malu berdua. Haha, lucu, kami seperti anak remaja lagi rasanya.

Baiklah, mudah-mudahan Saras menyukai Red Comet Burger.

------------------------------

image010.jpg

Aku duduk di teras rumah belakang Saras, sambil menghadap ke kolam renang. Aku menyalakan rokokku, sambil menatap ke langit Jakarta yang tenang malam ini. Secangkir kopi yang sudah mendingin menemaniku. Aku dan Saras belum berbicara sedari tadi. Di meja makan, aku hanya menanggapi obrolan Ayah dan Ibunya Saras, sementara Saras dan adik-adiknya hanya diam, menikmati burger-ku dalam hening.

Beberapa kali, mataku bertemu dengan Saras, dan kami langsung mengalihkan pandangan. Entah, rasanya lucu. Seperti ABG yang cinta monyet. Padahal umurku 30, dan Saras 28. Perasaan macam apa ini. Bertemu cinta pertama, dan malu-malu lagi.

Mendadak ada suara langkah yang mendekat. Aku menengok. Yang kulihat adalah sosok yang begitu indah di mataku. Siapa lagi kalau bukan Saras. Dia lantas duduk di kursi sebelahku. Kami langsung terdiam, sambil mengulum senyum.

“Kamu jadi ngerokok sekarang?” tanyanya.
“12 tahun gak ketemu, dan itu yang kamu obrolin buat pertama kali?” tawaku.
“Maaf… Rasanya gimana ya ketemu kamu lagi, bener-bener gak nyangka…”
“Iya… Sebenernya kamu gak berubah sih Ras, masih tetep sama, cuma nambah tua aja”
“Kamu juga”

“Untung banget, aku stick ke janji kita untuk saling gak berhubungan langsung…. Pas ketemu, rasanya salting gini, jadi susah ngobrol” lanjutku. Saras cuma senyum, sambil menyibakkan rambutnya dan memperlihatkan telinganya.

“Padahal aku udah pasrah kalo-kalo kamu mau add FB ku”
“Tapi enggak kan?”
“Kamu emang selalu tepat janji orangnya” puji Saras.
“12 tahun sih gak lama buat aku”

“Tapi… Maaf, aku sedih banget waktu denger cerita soal keluarga kamu dari Ayah dan Bunda…. Aku sampe bingung, aku pengen banget langsung nelepon kamu waktu itu… Tapi entah kenapa gak terjadi…”

“Gak papa kok, udah lewat, aku udah banyak berkembang sekarang”
“Kamu hebat berarti”
“Berkat kamu”

“Haha”
“Haha”

Kami lantas diam lagi. Aku mengisap rokokku lagi, menatap ke langit lagi. Lalu menatap ke air yang ada di kolam renang. Lalu liat ke arah pohon. Lalu, tak sengaja aku bertemu mata dengan Saras. Kami berdua langsung menunduk sambil tersenyum. Hahaha. Gila, apa-apaan ini. Dua orang dewasa bagaikan anak baru gede yang belajar pacaran.

Sebenarnya kami berdua juga tidak bisa disebut pacar sih. Tidak pernah ada proses jadian. Tidak pernah ada proses putus. Yang kami tahu, kalau kami berdua saling sayang.

“Kamu inget waktu itu?” tanya Saras, membuka lagi percakapan.
“Yang mana?”
“Banyak sih… Yang mana dulu ya?”

“Kalau yang di situ aku inget” aku menunjuk ke salah satu sudut di taman. Dulu waktu Saras dan aku masih kecil, di sana ada ayunan. Dan di sekitaran ayunan itu, kami main rumah-rumahan. Aku jadi ayahnya, Saras jadi ibunya, dan boneka beruang Saras adalah anaknya.

“Hehe” tawa Saras pelan.
“Boneka kamu yang itu apa kabar?”
“Mr. Bobo?”
“Iya hahaha”
“Aku bawa ke Inggris, sekarang aku bawa pulang lagi…. Kamu kangen sama anak kita?” canda Saras.

“Kangennya sama kamu”
“Aku juga” Saras masih menunduk dan sepertinya, sulit sekali malam ini bicara dengan dia.
“Kemaren hujan dan bau rumput”
“Hahaha”
“Kangen main hujan sama kamu” lanjutku.

Saras cuma diam dan menunduk dalam senyumnya. Tunggu. Aku seharusnya tidak seagresif itu mungkin. Pelan-pelan dulu, bicarakan obrolan yang santai dan tidak langsung menjurus ke hubungan kami berdua.

“Jadi, pulang ke Indonesia, aku denger dari Eyang, kamu mau bantuin bokap?” tanyaku.
“Iya… Udah bakal konsentrasi bantuin ayah, aku…”
“Terjun ke politik langsung dong berarti?”
“Bisa dibilang gitu” jawab Saras dengan senyumnya yang manis.

“Sayang bokap gagal ya di Pemilu yang kemaren….” aku mengulum senyumku.
“Gak papa, kan mau coba lagi tahun depan”
“Untung bokap orangnya lurus dan jujur ya, jadi aku gak ragu-ragu promosiin ke temen-temen buat pilih dia…..”

“Ya tapi kamu tau sendiri kan, di DPR, sikut-sikutannya kayak apa…. Ayah udah abis banyak kemaren, untuk kampanye gila-gilaan, tapi tetep aja kalah sama nama-nama itu lagi itu lagi”
“Harusnya kalau kamu dateng dari luar dan ngebantu buat taun depan, bisa makin oke dong kampanye bokap?”
“Amin” senyum Saras.

Saras lagi-lagi cuma tersenyum kaku, sambil melihat ke arah lain. Mungkin dia masih malu-malu. Kami mungkin sudah dewasa di luar sana, tapi di sini, berdua, kami seperti anak kecil lagi. Seperti anak SMA tolol yang tidak tahu apa-apa soal hubungan cinta antara dua orang dewasa.

“Kamu masih capek? Jet lag?” tanyaku melihat gesturenya.
“Masih sih…”
“Apa aku pulang aja? Kita masih bisa ketemu di luar rumah kan? Biar kamu istirahat dulu, kan kita masih punya banyak waktu banget….”

“Hmm…” Saras makin lama kelihatannya makin diam. Sebenarnya tadi pembicaraan kami berdua menarik sih, tapi sekarang dia tampak lebih banyak melamun dan menatap ke arah lain.

“Aku pulang aja deh… Kasian kamu, kecapekan pasti… Hari ini baru sampe, terus diganggu sama aku, tenang, kita punya banyak waktu kan?”

“Iya” Saras menatapku pelan sambil tetap tersenyum tipis.

“Ortu kamu punya nomer hapeku kok, nanti kamu bisa hubungin aku…”
“Gak usah, ini aja sekarang” senyum Saras.
“Oh… Berapa?”
“0815… 46 64….”

Aku mencatat nomernya, sambil mendengarkan dia mendiktekan nomer tersebut. Aku tak bisa berhenti tersentum dari tadi. Rasanya sungguh seperti mimpi, bertemu Saras lagi setelah belasan tahun. Tenang, Gilang, kamu tidak perlu memaksa ada di sini lebih lama lagi? Karena masih banyak waktu. Kalian berdua punya seumur hidup kalian. Bukankah aku dan Saras sudah berjanji untuk bersama lagi setelah dia pulang?

Janji itu dia ucapkan sewaktu aku pertama kali menciumnya. Di sini. Di kamarnya. Waktu itu beberapa hari sebelum dia berangkat. Ciuman itu lembut, pelan, dan sebentar, tapi selalu kuingat selama 12 tahun. Aku tidak pernah mencium perempuan lain lagi setelah itu. Tidak akan pernah.

“Oke, aku miscall, nanti kita janjian ya? Gak ada jam malam kan?” tanyaku menggoda.

Saras cuma menggeleng sambil menatapku dengan tatapan yang hangat. Dan aku menatap balik dengan sama hangatnya.

------------------------------
------------------------------
------------------------------

gandar10.jpg

“Hei” sapa Saras saat kami bertemu di sebuah mall besar di Jakarta Selatan di hari Senin itu.

“Hei juga” aku tersenyum menatapnya. Dia terlihat cantik. T-shirt putih, dengan rok akordion berwarna coklat, flat shoes yang berwarna coklat juga dan handbag berwarna putih. Semuanya terlihat manis di dirinya.

“Baru pertama kali ke sini, maaf telat” senyumnya. Dia masih memancarkan aura malu-malu yang begitu terasa. Lucu. Dulu dia orangnya sangat lugas. Kenapa jadi malu-malu begini sejak bertemu lagi? Tapi wajar, aku juga merasakan seperti itu. Sebaiknya memang tidak terlalu akrab dulu. Karena bukan hanya jet-lag waktu yang dialami, tapi jet-lag relationship juga.

“Gakpapa, oke, mau ke mana?” tanyaku dengan antusias.
“Terserah”
“Yang pasti aku mau ngobrol banyak sama kamu”

“Di sana?” Saras menunjuk ke arah sebuah gerai kopi yang sangat terkenal itu. Gerai kopi kemahalan, kalau kata Zul. Kopi nya Zul jauh lebih enak dan lebih menggairahkan daripada franchise yang Saras tunjuk. Tapi tak apa. Kita bisa mengobrol di sana.

Setelah mengantri berdua dan memesan, kami lantas duduk diam di sudut ruangan, menunggu minuman kami berdua jadi, lalu mengambilnya setelah nama Saras disebut oleh barista. Oke, setelah selesai, aku akan mengakhiri keheningan ini.

“Aku punya temen, dia punya coffee shop di Kemang, itu enak banget lho, kapan-kapan aku ajak ke sana” aku memulai pembicaraan.

“Kedengarannya menarik” jawab Saras.
“Banyak hal yang menarik sejak kamu pergi”
“Misalnya apa?”
“Red Comet….. Kamu kemarin lupa review rasanya…”

“Oh iya… Sampe lupa… Boleh jujur?” senyum Saras.

“Boleh”
“Terbaik” Saras menunjukkan jempolnya.
“Serius”
“Serius…. Aku udah pernah nyobain banyak, tapi ini paling enak”
“Seneng dengernya”

“Hehe”

Saras masih kelihatan belum luwes di hadapanku. Tentu saja. Wajar. 12 tahun. Seminggu tidak bertemu saja mungkin rasanya akan kaku. Ini 12 tahun. Banyak yang harus diproses dan banyak yang harus dikejar.

“12 tahun…. Lama gak sih?”

Saras cuma tersenyum.

“Lama, buktinya di Jakarta ini banyak yang aku gak tau” jawabnya.
“Aku bisa jadi guide, nganter-nganter kamu”
“Terdengar sangat Gilang sekali”
“Haha” aku tersenyum.

Dari dulu, waktu SMP sampai SMA aku selalu jadi tukang ojek pribadi Saras. Ke sana kemari, untuk urusan apapun. Kadang pulang ke rumah basah kuyup karena kehujanan di motor. Lalu dimarahi oleh ayah ibu kami, lalu dibela oleh Eyang Putriku.

“Eyang Putri sehat?”
“Sehat”
“Kamu hebat, bisa ngurus dia, gak kebayang”
“Awalnya susah, tapi lama-lama biasa” senyumku.

“Dia gak papa kamu tinggal?”
“Udah biasa… Lagian hari ini hari libur Red Comet, kalo hari biasa, aku jam tidurnya pun kebalik, sore ke pagi aku baru beredar, Eyang Putri udah biasa, katanya, yang penting sih aku masak dulu buat dia pagi-pagi” jawabku panjang.

“Hebat”
“Gak sehebat kamu”
“Apa sih haha”
“Gak sehebat kamu yang berani mutusin buat kuliah di luar, dari dulu aku kan selalu ngefans sama kamu, hei ketua OSIS” ledekku, mencoba bercanda. Saras hanya menghirup kopinya sambil menatap ke arah jendela.

Dulu waktu dia jadi ketua OSIS, aku sudah mulai kuliah. Dan aku dulu sering meledeknya ketika kami main bareng, ataupun di setiap kesempatan. Lucu. Kami berdua dekat sekali, tapi tidak bisa dibilang sudah jadian atau pacaran.

Tapi aku selalu ingat janjiku dan Saras ketika ciuman perpisahan itu.

“Gilang, suatu hari nanti aku bakal pulang ke Indonesia, kita bakal ketemu lagi, dan kita bakal jadi suami istri. Suami istri seperti zaman kita TK dulu main rumah-rumahan. Zaman aku jadiin boneka beruangku jadi anak kita. Aku janji, Gilang.”

Adegan hari itu susah digambarkan. Hujan, bau rumput. Saras sedang packing dan aku membantunya. Rumah sedang sepi. Aku waktu itu sulit sekali menahan rasa galau, karena bakal ditinggal oleh Saras dalam waktu yang sangat lama. Setelah selesai packing, kami duduk di karpet, bersandar ke dinding berdua, dengan bahu bertemu bahu, dan saling diam. Tak lama kemudian kami saling berpandangan. Mungkin saat itu, kami menyadari bahwa kami dibuat untuk berpasangan, tapi sudah telat untuk memulai babak baru sebagai pasangan kekasih.

Secara otomatis, suasana waktu itu sangat mendukung. Kami bertatapan sangat lama, dan kemudian, bibir kami berdua bertemu dengan lembutnya. Sebentar, pelan, tapi benar-benar manis. Setelah itu, Saras membisikkan janji itu kepadaku. Dan aku setuju.

“Sekarang lagi sering ujan di Jakarta” lanjutku.
“Iya, ayah sama bunda juga bilang gitu”
“Kalau hujan, aku jadi inget banyak hal”

“Pengalaman kita sama hujan banyak” senyum Saras.
“Emang”
“Kalau yang waktu kehujanan habis kamu jemput aku dari rapat OSIS sih inget”
“Itu konyol hahahaha”

“Kalau yang sebelum kamu berangkat?” aku mencoba memancing dirinya untuk membicarakan janji kami berdua.
“Emang waktu itu ujan kan sebelum pesawatnya terbang?”
“Iya, bukan yang itu…. Yang pas packing”
“Oh…”

Aku tersenyum. Saras membuang mukanya. Pasti dia malu. Wajar kalau malu. Itu sudah lama sekali, dan rasanya memang malu-maluin. Tapi janji adalah janji. Aku menepati janjiku dengan menunggunya selama 12 tahun, dan itu sebentar buatku.

“Lucu ya, tau-tau udah 12 tahun aja, kita masih kepala 1 umurnya waktu itu….” lanjutku.
“Hehe”

“Tapi kalau kamu belum mau ngomongin soal kita, setelah janji kamu pas hujan di rumah itu, gak papa kok, aku paham kita masih punya banyak waktu…”

“Yah, nanti aja diomonginnya gakpapa kan?” tanyanya dengan senyum. Aku mengangguk. Tapi sepertinya dia terlalu banyak senyum hari ini. Aku tidak ingin terlalu mendesaknya. Dia baru tiba, belum ada seminggu dia ada di Jakarta, kok sudah mau bicarakan soal pernikahan lagi. Ini tidak adil buatnya. Biarkanlah dia settle dulu, biarkanlah dia memiliki rutinitas dulu, dan biarkanlah dia beradaptasi kembali dengan ibukota tercinta ini.

Setelah itu, baru kami berdua bebas untuk membicarakan apapun yang perlu dibicarakan, termasuk tentang masa depan kami berdua.

“Masih gagap sama Jakarta yang sekarang?” tanyaku dengan suara pelan, menyeruput kopiku. Rasanya biasa saja. Jauh lebih enak Zul punya. Tapi karena tempatnya enak untuk mengobrol, biarlah.
“Pasti” jawab Saras.
“Misalnya apa aja?”
“Transportasi… Susah memang kalau biasa naik angkutan umum ke mana-mana, lalu dihadapin sama Jakarta begini”

“Maklumin lah ya” jawabku sambil tersenyum.
“Dulu gak separah ini tapi Jakarta”

“Ibaratnya kanker, ngegerogotin terus” lanjutku. Saras diam. Oke, aku mungkin salah mencari istilah. Aku memakai istilah yang ironis, karena ibuku pergi karena kanker. “Salah istilah ya aku?”

“Hehehe… Maaf sekali lagi, aku gak kasih ucapan duka cita ke kamu, or even ngehubungin kamu”
“It’s okay, itu kan pilihanku untuk gak berhubungan langsung sama kamu selama kamu di sana, dan berarti kamu ngehormatin pilihanku” aku merespons ucapan khawatirnya.
“…” Saras lagi-lagi diam dalam senyumnya. Kulanjutkan saja arah pembicaraanku.
“By the way, kalau kamu butuh dibikin familiar lagi sama Jakarta, aku siap kok jadi tukang ojek pribadi kamu lagi”

“Oke”

Mendadak Saras bangkit, sepertinya dia mengambil gula atau semacamnya. Aku menatapnya dari jauh, menatap sosok yang kutunggu selama 12 tahun itu. Dulu, umurnya bahkan belum 17 tahun ketika pergi sendiri ke Inggris. Sekarang dia sudah dewasa. Makin anggun dan makin manis.

Lantas aku menarik nafas panjang, karena sebenarnya aku agak frustasi karena obrolan kami berdua dari pertama bertemu, tidak selancar dahulu. Dulu lancar sekali, dan dia bahkan sangat talkative kepadaku. Kalau minta tolong dianterin ke mana-mana, dulu dia manja sekali. Kalau usil, aku bisa dicubiti sampai habis. Kalau ledek-ledekan, ngeselinnya minta ampun.

Tapi sekarang, tidak, dari pertama bertemu, obrolannya lumayan tersendat-sendat. Beberapa kali memang terdengar lancar karena aku memaksakannya. Bukankah ini wajar? Sudah 12 tahun lho. Kecanggungan itu ada. Itu pasti. Dan aku harus melewatinya dengan natural. Mungkin hari ini aku tidak boleh membicarakan soal janji pernikahan itu. Paling tidak sekarang dia sudah ada di Jakarta. Kami sudah berhubungan lewat sosial media.

Jadi, tidak ada hal yang harus dikhawatirkan bukan?

------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
ketika semua kurasa baik....saat iini hal buruk terjadi....
 
waduh naga"nya saras gx terlalu responsive, apa malu" cat nih,,,
semoga penantian 12 tahun si gilang gx sia",, dh mulai fiktor bad update aja nih huaaaa :((
semoga gx kejadian yg bad bad..
:semangat: terus hu :mantap:
 
ini saras yg emang bahagia banget ketemu gilang sampe canggung gitu, atau emang ada hal lain yg di sembunyiin saras ttg hubungan mereka?


hhhmmmm... :bingung:
 
Dari part 2 ini jelas Saras telah berubah .... Dan alasannya ... Tunggu penjelasan suhu RB ......:beer::beer:
... Si nikah juga sama Zul ... Btw Sutepan sama siapa suhu ???
 
Duh.. Baca part 2 ini, kok perasaan jd gak enak ya. Ada yg salah dari penantian ini..

Ahh.. Semoga waktu ttp berpihak pd Gilang dan Saras. Keren!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd